Burung Rajawali

Cerpen Maria Magdalena Bhoernomo
Dimuat di Suara Pembaruan (07/12/2009)

Kurbi ingin menjadi calon bupati dalam pilkada tahun depan yang digelar di daerahnya. Sebagai ketua cabang partai politik, dirinya akan bertarung dengan ketua cabang partai-partai politik lainnya untuk merebut jabatan bupati.
Sebagaimana lazimnya orang Jawa, Kurbi membutuhkan modal spiritual yang bersifat mistik. Bagi orang Jawa, jika mau memperoleh pangkat tinggi harus memiliki jimat pangkat. Maka Kurbi segera mencari orang pintar yang sekiranya bisa membantunya untuk memperoleh jimat pangkat.

"Aku akan sowan ke pondok Kyai Subhan," gumam Kurbi menjelang tidur. Istrinya sudah terlelap di sampingnya. Dan setelah pagi tiba, istrinya lebih dulu bangun lalu sibuk di dapur. Setelah menu sarapan sudah siap di meja makan, istrinya membangunkannya untuk segera sarapan.

Kurbi tersenyum-senyum ketika sedang menikmati menu nasi goreng kesukaannya.

"Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu gembira, Pak. Sejak bangun tidur wajahmu ceria dan selalu ter- senyum-senyum saja." Istrinya bicara dengan penasaran.

"Ya, aku memang sedang gembira, Bu. Sebab, tahun depan kamu akan menjadi istri seorang bupati." Kurbi menjawab dengan suara mantap.

Istrinya terperangah. "Apa maksudmu, Pak?"

"Tahun depan ada pilkada, kan? Dan aku akan mencalonkan diri."

"Kamu berani menjadi calon bupati?"

Kurbi mengangguk mantap.

Istrinya masih saja terperangah. Sekilas dibayangkannya dirinya menjadi istri seorang bupati yang sedang menghadap gubernur, lalu menghadap presiden. Banyak wartawan datang memotretnya dan mewawancarainya. Lalu di halaman koran-koran wajahnya terpampang anggun berwibawa.

"Kamu pantas menjadi istri seorang bupati, Bu."

Istrinya masih saja terperangah. Perempuan yang sudah lama hanya menjadi ibu rumah tangga dan sibuk membesarkan anak-anak memang suka berkhayal yang bukan-bukan. Istrinya membayangkan sedang mendampingi bupati yang berkunjung ke desa-desa. Banyak rakyat miskin menyambutnya dengan penuh hormat. Lalu ia pura-pura bersikap ramah dengan mengelus-elus kepala bayi yang sedang digendong ibunya yang ikut menyambut kedatangannya. Bagi rakyat miskin, berjumpa dengan istri bupati tentu sangat membanggakan.

"Mulai saat ini, kamu harus belajar berbagai tata krama pergaulan tingkat tinggi, Bu. Supaya tidak canggung menghadapi orang-orang besar."

Istrinya tetap saja terperangah. Dibayangkannya dirinya bersama suaminya sedang berkunjung ke Singapura. Naik pesawat, menginap di hotel berbintang, lalu belanja pakaian dan perhiasan. Betapa serba menyenangkan.

Kurbi lalu mencium pipi istrinya sebelum kemudian berangkat ke pondok Kyai Subhan di lereng gunung.

Hari masih pagi ketika Kurbi tiba di pondok Kyai Subhan. Ulama sepuh yang terkenal memiliki banyak ilmu gaib itu sedang sibuk mengurus burung-burung di dalam sangkar yang digantungkan di beranda pondoknya. Jalak uren, kutilang, perkutut, kenari, kepodang, srikatan dan kacer berkicau bersahut-sahutan di dalam sangkar masing-masing seolah-olah menyambut kedatangan Kurbi.

Kurbi sudah lama mengenal Kyai Subhan. Bahkan Kurbi sudah beberapa kali datang di pondok itu, sehingga tidak asing lagi di mata Kyai Subhan.

Setelah selesai mengurus burung-burung kesayangannya, Kyai Subhan segera mengajak Kurbi duduk di ruang tamu.

"Apakah sudah mantap untuk menjadi calon bupati?" Kyai Subhan tiba- tiba melontarkan pertanyaan yang membuat Kurbi terheran-heran.

Kyai Subhan sepertinya mampu memahami maksud kedatangan tamunya.

"Jika sudah mantap mau menjadi bupati, sebaiknya segera memenuhi syarat-syaratnya." Kyai Subhan bicara dengan mata terpejam. "Syaratnya gampang-gampang sulit. Tapi kalau memang Tuhan menghendaki, tentu akan gampang-gampang saja."

Kurbi mengangguk-angguk walau belum tahu maksud ucapan Kyai Subhan.

"Bagimu, untuk bisa memenangi pilkada, syaratnya harus makan otak burung Rajawali." Ujar Kyai Subhan dengan mata tetap terpejam.

"Ya, saya akan berusaha memenuhi syarat itu, Romo Kyai," Kurbi bicara dengan ragu. Sekilas terbayang seekor burung Rajawali yang disembelih kemudian dibelah kepalanya untuk diambil otaknya. Tapi sekarang, burung Rajawali sudah menjadi binatang langka.

"Coba segera mencari seekor burung Rajawali. Setelah mendapatkannya, segera bawa kemari. Ada syarat-syarat khusus untuk menyembelihnya dan mengambil otaknya," Kyai Subhan bicara lagi dengan mata tetap terpejam.

Kurbi mengangguk. Lalu merogoh selembar amplop di saku bajunya untuk diletakkan di atas meja sebelum kemudian pamit pulang.

*

SETIBANYA di rumah, Kurbi segera mengajak istrinya bicara.

"Aku harus segera mendapatkan seekor burung Rajawali, Bu. Kyai Subhan mengatakan aku bisa menang pilkada jika aku sudah makan otak burung Rajawali."

Istrinya terpana. Dibayangkannya seekor burung Rajawali yang sedang terbang di angkasa dengan sayapnya yang mengepak lebar-lebar. Betapa indahnya. Betapa terlalu sayang jika burung yang sekarang sudah langka itu harus dibantai untuk diambil otaknya. Sejak kecil, istrinya memang menyukai burung Rajawali. Bahkan ketika duduk di sekolah dasar istrinya juga gemar menggambar burung Rajawali yang sedang hinggap di atas ranting atau sedang terbang dengan sayap terbentang lebar-lebar.

"Mungkin sulit untuk mendapatkan seekor burung Rajawali, Bu. Tapi aku harus berusaha untuk mendapatkannya."

"Kenapa harus burung Rajawali yang akan menjadi korban, Pak?"

"Aku tidak tahu, Bu. Itulah yang diperintahkan Kyai Subhan."

"Seharusnya burung Rajawali dilindungi, karena sudah menjadi binatang langka."

Kurbi menatap wajah istrinya. "Sepertinya kamu keberatan kalau aku mencari burung Rajawali untuk diambil otaknya, Bu?"

"Ya, aku memang keberatan jika kamu akan mengorbankan burung Rajawali, karena sejak kecil aku mencintainya, Pak."

Kurbi tersenyum lebar. "Rupanya Kyai Subhan benar-benar berilmu tinggi."

Istrinya terpana lagi.

Dengan tetap tersenyum-senyum, Kurbi menjelaskan bahwa Kyai Subhan menyuruhnya makan otak burung Rajawali karena istrinya mencintai burung tersebut. Sejak dulu ada mitos, bahwa jimat-jimat yang bertuah memang sering berkaitan dengan masalah cinta mencintai dan sayang, menyayangi. Ada orang diharuskan untuk menyembelih kucing karena kucing menjadi hewan tercintanya. Ada orang disuruh menyembelih kelinci karena hewan itu sangat disayanginya. Ada orang disuruh menyembelih burung merpati karena orang itu sangat menyayanginya. "Kamu mendapat ujian, Bu. Kamu harus mendukungku kalau kamu ingin men-jadi istri bupati."

Istrinya masih saja terpana. Berlintasan dalam benaknya bayang-bayang seekor burung Rajawali yang disembelih untuk diambil otaknya. Dibayangkannya juga seekor burung Rajawali yang sedang hinggap di atas ranting diberondong senapan angin.

"Kyai Subhan tampaknya sedang mengujimu, Bu. Kalau kamu keberatan aku makan otak burung Rajawali, berarti kamu tidak berbakat menjadi istri bupati." Kurbi bicara dengan lembut, karena tahu istrinya memang sejak dulu sangat menyayangi burung Rajawali.

"Baiklah, Pak. Aku mendukungmu. Tapi di mana kamu bisa memperoleh burung Rajawali? Di pasar burung tak ada yang menjualnya. Di hutan-hutan juga tidak ada lagi burung Rajawali. Adanya mungkin hanya di kebun-kebun binatang, dan itu mustahil bisa kamu korbankan." Istrinya akhirnya bicara dengan bimbang. Rasanya mustahil bisa mendapatkan seekor burung Rajawali untuk dikorbankan.

"Aku akan meminta bantuan sejumlah kawan untuk mencari burung Rajawali, Bu. Kalau harus membayar mahal, akan kubayar berapa pun harganya."

*

Kurbi segera menghubungi kawan-kawannya yang suka berburu burung di hutan dan di pelosok desa-desa untuk membantunya mencari seekor burung Rajawali.

"Kalau ada yang bisa mendapatkannya, serahkan segera kepadaku, aku akan membayarnya mahal." Kurbi menebar harapan indah. "Dan jika nanti aku menjadi bupati, aku akan memberikan bonus istimewa kepada kalian."

Kawan-kawannya sangat senang.

"Oke, Boss. Akan kami tangkap burung Rajawali, hidup atau mati."

"Oke Bo0s. Kami sangat bangga jika Boss menjadi bupati."

Kurbi lega. Mereka benar-benar kawan yang baik.

Berhari-hari selanjutnya Kurbi menanti kabar dari kawan-kawannya yang sedang berburu burung. Dan pada suatu pagi, dibacanya berita kecil di sudut halaman koran. Kabar mengenai pencurian yang terjadi di kebun binatang. Seekor burung Rajawali telah hilang dicuri orang.

Setelah Kurbi membaca berita itu, kawan-kawannya datang menyerahkan seekor burung Rajawali.

Kurbi mendengus panjang. "Kenapa kalian harus mencurinya dari kebun binatang?"

"Terpaksa kami mengambilnya di kebun binatang, karena di hutan dan di desa-desa tidak ada lagi, Bos."

"Kalian ceroboh!"

"Tak usah cemas, Bos. Tidak ada saksi mata yang melihat kami mengambil burung Rajawali ini."

"Tapi beritanya sudah dimuat di koran. Coba baca." Kurbi menyuruh kawan-kawannya membaca koran yang tergeletak di atas meja. Mereka lalu membaca sebuah berita pencurian burung Rajawali di kebun binatang yang terjadi kemarin malam. Diberitakan juga pihak polisi sedang mengejar pencurinya. Konon ada seorang penjaga di kebun binatang yang menyaksikan peristiwa pencurian itu, tapi dia sembunyi karena kawanan pencuri membawa bedil.

"Kalian benar-benar ceroboh." Kurbi mengungkapkan kecemasannya.

Kawan-kawannya tampak ketakutan.

"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Kalian akan kuberi uang, dan kalian harus minggat untuk sementara. Jangan sampai kalian tertangkap."

Kawan-kawannya menurut. Mereka kemudian minggat ke luar kota.

*

DENGAN wajah ceria, Kurbi datang lagi di pondok Kyai Subhan dengan membawa seekor burung Rajawali yang diikat dan disembunyikan di dalam koper.

"Saya sudah mendapatkan seekor burung Rajawali, Romo Kyai."

Wajah Kyai Subhan tampak redup. "Kamu sudah melakukan kesalahan berat. Kenapa kamu harus mencuri burung Rajawali di kebun binatang?"

Kurbi tersipu-sipu. "Kawan-kawan saya yang mencurinya, Romo Kyai. Bukan saya."

"Ya, memang kawan-kawanmu yang mencurinya, tapi untuk kamu, jadi sama saja kamu yang mencurinya."

"Maaf, saya telah ceroboh."

Kyai Subhan marah. "Kecerobohanmu bisa menyeret kita masuk penjara."

"Sekali lagi maafkan saya, Romo Kyai."

"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya burung Rajawali itu kamu kembalikan segera."

"Tapi bagaimana kalau saya dituduh telah mencurinya, Romo Kyai? Sekarang polisi sedang mengejar pencurinya."

"Kamu harus belajar bertanggung jawab kalau benar-benar ingin menjadi pemimpin. Apa jadinya kalau kamu menjadi bupati, tapi tidak bertanggung jawab?" Kyai Subhan bicara dengan nada berat.

Kurbi terpaksa mau mengembalikan seekor burung Rajawali itu ke kebun binatang. Tapi di tengah perjalanan menuju kebun binatang, satu regu polisi menyergapnya dan menyita seekor burung Rajawali itu sebagai barang bukti kasus pencurian yang telah dikutuk banyak organisasi pencinta satwa langka. Kurbi kemudian dihukum penjara.

Selama menjalani hukuman penjara, Kurbi sering membayangkan dirinya menjadi bupati yang mengajak istrinya berkunjung ke Singapura dengan kedok kunjungan kerja, tapi acaranya hanya belanja dan berfoya-foya saja. Betapa nikmatnya menjadi pejabat yang menghambur-hamburkan uang rakyat di luar negeri! ***

Griya Pena Kudus, 2009
READ MORE - Burung Rajawali

Lomba Cipta Teks Sastra dan Bangkitnya Perempuan Pengarang

lomba cipta cerpen5lomba cipta cerpen4lomba cipta cerpen3
lomba cipta cerpen1Beberapa waktu yang lalu, Dinas Pendidikan Prov. Jawa Tengah menggelar lomba cipta puisi dan cerpen siswa SMP sebagai rangkaian dari ajang kegiatan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tahun 2009 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Lomba tersebut dimaksudkan untuk memilih peserta terbaik yang akan dikirimkan pada ajang yang sama di tingkat nasional.

Saya yang kebetulan didaulat menjadi salah satu juri lomba cipta cerpen menangkap munculnya fenomena unik dari ajang ini, yakni para peserta yang masuk final, baik lomba cipta puisi maupun cerpen, didominasi oleh perempuan. Saya tidak sedang membahas soal pengarusutamaan gender. Saya juga sedang tidak resah menangkap fenomena semacam itu. Bagi saya, kreativitas kepenulisan tidak ditentukan berdasarkan bias seksis, tetapi lebih ditentukan oleh ketekunan seseorang dalam menggeluti dunianya. Meskipun demikian, otak awam saya tetap saja terusik untuk mencoba menafsirkan fenomena itu.

Tiba-tiba saja saya teringat pernyataan seorang sejarawan kondang, Will Durant, bahwa manusia di seluruh dunia akan menyaksikan revolusi besar mulai abad ke-20. Revolusi tersebut bukanlah revolusi ekonomi, politik, atau militer, melainkan kebangkitan peran kaum perempuan di segala bidang kehidupan. Hal senada juga pernah dilontarkan oleh pasangan futurolog tenar, Naisbitt dan Patricia Aburdene bahwa salah satu trend besar tahun 2000-an adalah kebangkitan peran kaum perempuan.

Agaknya, prediksi sejawaran dan futurolog tersebut bukan isapan jempol. Realitas memang menunjukkan, peran kaum perempuan saat ini makin menonjol di berbagai bidang kehidupan. Profesi sebagai ilmuwan, peneliti, wartawan, pengusaha, politikus, dan semacamnya sudah menjadi demikian akrab melekat pada sosok perempuan.

Demikian juga dalam dunia sastra. Bangkitnya perempuan pengarang sudah lama eksis dalam jagad sastra Indonesia mutakhir. Pemenang Sayembara Menulis Novel 2003 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, misalnya, juga didominasi oleh kaum perempuan, sampai-sampai Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang aktif sejak tahun 1970-an, dengan berani menyebut bahwa masa depan novel Indonesia berada di tangan perempuan. Tak heran jika nama-nama perempuan pengarang semacam Ayu Utami, Dewi "Dee" Lestari, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Nova Riyanti Yusuf, Dinar Rahayu, Linda Christanty, Nukila Amal, Ana Maryam, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, atau Femmy Syahrani, cukup akrab dan sangat dikenal oleh publik sastra. Bahkan, konon karya-karya mereka menjadi rebutan para penerbit.

Nah, apakah fenonema bangkitnya perempuan pengarang membenarkan tesis kritikus sastra, Faruk HT, bahwa revolusi industri yang melanda dunia telah membuat banyak pria cerdas dan berbakat terserap ke sektor industri hingga mereka tidak tertarik lagi menekuni bidang-bidang yang dinilai tidak produktif seperti sastra?

Tak jelas juga. Yang pasti, fenomena “sastra wangi” sudah menjadi sebuah fakta yang tak terbantahkan dalam dunia sastra kita. Bibit-bibit pengarang yang terjaring melalui berbagai ajang lomba pun sudah menunjukkan trend semacam itu. Semoga ini menjadi sebuah dinamika yang positif, bukan semata-mata lantaran “kegeraman” kaum perempuan yang ingin menumbangkan ideologi patriarki semata. ***
READ MORE - Lomba Cipta Teks Sastra dan Bangkitnya Perempuan Pengarang

Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

petaindonesiaKita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: "baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan." Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
("Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?

logo_diknasSejarah kita telah mencatat, guru senantiasa tampil di garda depan dalam membebaskan generasi bangsanya dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan keterasingan peradaban. Lewat entitas pengabdian yang tulus, tanpa pamrih, total, dan intens, guru telah banyak melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, sekaligus bermoral. Tak dapat disangkal lagi, jasa guru dalam mewarnai dinamika peradaban dari zaman ke zaman benar-benar teruji oleh sejarah.

Dulu, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk padepokan atau pertapaan, seorang guru alias resi menjadi figur sentral, otonom, dan bebas menuangkan kreativitasnya dalam menggembleng para cantrik. Resi pada zamannya dinilai menjadi sosok yang benar-benar mumpuni, pinunjul, dan kaya ilmu, sehingga menjadi figur yang dihormati dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi dianggap sebagai “sabda” tak terbantahkan. Perilaku dan kepribadiannya menjadi cermin dan referensi bagi para cantriknya. Tak berlebihan kalau padepokan menjadi sebuah institusi yang kredibel dan begitu tinggi citranya di mata masyarakat.

Resi alias guru, sejatinya adalah hamba kemanusiaan. Mereka menjadi pelayan, abdi pendidikan. Mereka menjadi agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran sehingga mampu membuka mata dan nurani terhadap kesejatian diri, harga diri, harkat, dan martabat bangsanya.

Sebagai hamba kemanusiaan, dengan sendirinya guru sangat akrab dengan kehidupan anak-anak bangsa yang masih butuh sentuhan kearifan, kejujuran, kesabaran, dan ketulusan nurani. Karena tugasnya bersentuhan langsung dengan kehidupan sebuah generasi, guru tak hanya dituntut menguasai materi ajar, tetapi juga diharapkan terampil menyajikannya kepada siswa didik secara menarik sekaligus menyenangkan. Selain itu, guru juga dituntut memiliki integritas kepribadian yang baik sehingga tak gampang tergoda melakukan tindakan tercela yang akan meruntuhkan citra dan kredibilitasnya. Hal ini sangat beralasan, sebab tugas guru tak hanya sebagai pentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur baku kepada siswa didiknya.

Pergeseran Nilai

Seiring derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan, beban yang mesti dipikul guru jelas semakin berat. Modernisasi yang membawa imbas terjadinya pergeseran tata nilai menjadi persoalan krusial bagi guru. Guru mesti dihadapkan pada persoalan serius ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dimarginalkan, nilai-nilai moral dan agama semakin terbonsai, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial) makin terabaikan.

Dalam pandangan Erich Fromm, era modernisasi yang mengibarkan bendera peradaban teknologi, bukan perjuangan manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan, melainkan merupakan masa di mana manusia telah terhenti menjadi manusia. Manusia telah berubah menjadi mesin yang tidak berpikir dan berperasaan sehingga gampang kehilangan kontrol terhadap sistem yang telah dibangun bersama. Meminjam bahasa Max Weber, masyarakat tak ubahnya seperti ”kandang besi” yang memasung dan membelenggu kehidupan manusia modern.

Iklim dan atmosfer kehidupan modern semacam itu, disadari atau tidak, juga memiliki andil yang cukup besar terhadap munculnya generasi ”robot” yang kehilangan kepekaan etika, estetika, dan religi. Mereka telah menjadi generasi instan yang kehilangan apresiasi terhadap nilai kejujuran, kesabaran, dan ketelatenan. Untuk mencapai harapan dan keinginan, mereka tak segan-segan mencari jalan pintas dan suka menerabas.

Yang lebih mencemaskan, para pelajar masa kini dinilai juga mulai kehilangan sikap hormat dan respek terhadap gurunya. Hubungan guru dan murid telah kehilangan kedalaman komunikasi yang intens dan harmonis. Akibatnya, guru seringkali tak berdaya dalam menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif; efektif, menarik, dan menyenangkan.

Dalam kondisi demikian, diperlukan sinergi antara guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan elemen pendidikan yang lain Di tengah situasi peradaban yang makin rumit dan kompleks, stakeholder pendidikan perlu memiliki kesamaan visi dalam upaya membebaskan generasi masa depan negeri ini dari belenggu peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Orang tua perlu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman nilai moral, budaya, dan agama. Kesibukan memburu gebyar materi jangan sampai menjadi penghalang untuk dekat dengan anak-anak. Demikian juga halnya dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka perlu mengembalikan fungsinya sebagai kekuatan kontrol terhadap berbagai perilaku menyimpang yang rentan dilakukan oleh anak-anak.

Sebagai hamba kemanusiaan, guru juga perlu mengembalikan ”khittah”-nya sebagai sosok yang benar-benar bisa ”digugu dan ditiru” sehingga tetap sanggup menjalankan perannya sebagai agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran terhadap nilai-nilai kesejatian diri. ***
READ MORE - Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?

Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Benarkah kita hidup di tengah peradaban horor? Bagaimana kita mesti memaknai meruyaknya berbagai bentuk kekerasan, korupsi, manipulasi, atau kejahatan yang tampil begitu telanjang dan vulgar di depan mata kita? Haruskah kita terus tenggelam dalam kubangan budaya “horor” yang nyata-nyata telah menanggalkan hakikat kemanusiaan kita yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok-sosok buas dan kanibal yang rela memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat kebuasan hati?

karnavalPascakemerdekaan, setidaknya kita telah melampaui tiga orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Namun, banyak kalangan menilai, dari tiga orde yang kita lalui, (nyaris) belum manghasilkan perubahan yang mampu mengangkat harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan terhormat. Situasi transisi dari satu orde ke orde berikutnya, selalu saja menampilkan drama horor yang berending tragis; yang telah meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Era Orde Lama, misalnya, – meminjam istilah Budiman (2008) -- telah menghasilkan manusia Indonesia sebagai "manusia ideologis", yaitu manusia yang sarat dengan ide dan slogan-slogan ideologis. Berbagai slogan rakyat sebagai "pejuang", sebagai "berdiri di atas kaki sendiri", sebagai "nasionalis" menjadi bagian realitas manusia Orde Lama (Orla). Meski demikian, Orla gagal meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri, disebabkan kegagalannya dalam memenuhi satu dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi ekonomi. Kekerasan berlangsung karena ideologi dan kemiskinan.

Era Orde Baru, telah menghasilkan "manusia-manusia mekanis", yakni manusia-manusia pembangunan yang pikirannya justru dikosongkan dari ideologi-ideologi, untuk kemudian diisi dengan satu-satunya "ideologi", yaitu ideologi pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi sekumpulan komponen dari "mesin pembangunan", yang di dalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaman, standardisasi dan pembatasan-pembatasan terhadap manusia. Di dalamnya, berlangsung berbagai bentuk kekerasan dan in-humanitas, seperti penculikan, penyekapan, penangkapan paksa, ketimpangan, marjinalisasi, peminggiran, pemaksaan, represi, subordinasi, jual paksa, penyerobotan hak milik, perampasan hak pribadi menjadi bagian dari mesin pembangunan yang tidak manusiawi.

demoSementara itu, pada era Reformasi –disadari atau tidak—telah terjadi fragmentasi besar-besaran manusia sebagai akibat terbukanya pintu demokratisasi dan kebebasan. Akan tetapi, ironisnya, iklim reformasi justru telah menciptakan manusia- manusia yang kini lebih mementingkan diri sendiri, yakni manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja terhadap manusia lain dan melahirkan juga manusia-manusia buas yang dapat menerkam dan memangsa negara hingga sekarat, demi memenuhi hasrat dan kepentingannya; mereka suka mengeksploitasi manusia-manusia lain sebagai "manusia komoditas" yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilannya, demi kepentingan ekonomi, politik, dan keselamatan pribadi. Tanpa disadari, bangsa kita telah menjadi “pemuja” ritual arak-arakan, karnavalisme, retorika, pidato, pawai, dan bahkan demonstrasi, yang makin berdampak luas terhadap tatanan nilai dan norma-norma peradaban masyarakat.

Kini, sudah seabad lebih bangsa kita mengalami momentum kebangkitan nasional. Sudah selayaknya segenap komponen bangsa melakukan refleksi terhadap peradaban “horor” yang nyata-nyata telah kita rasakan amat mengusik nurani kemanusiaan kita. Semua pihak yang memiliki kekuatan untuk membangun peristiwa horor dengan segenap implikasi yang ditimbulkannya perlu melakukan “rehumanisasi” untuk menegakkan dan membangun kembali pilar-pilar kemanusiaan dan peradaban sipil yang (nyaris) runtuh.

Yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan efek-efek kerusakan dan mengontrol kompleksitasnya sehingga tidak jauh membentuk lubang-lubang kekerasan yang makin membuka dan meluas. Selain itu, aksi-aksi kemanusiaan yang sanggup membuka ruang untuk menumbuhsuburkan sikap toleransi, setiakawan, berdialog, dan berkomunikasi lintasbudaya perlu diagendakan agar mampu menciptakan generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, dan ramah, yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai kelompok promordial yang eksklusif, superior, dan dominan.

Tak lama lagi, bangsa kita juga akan menggelar sebuah hajat besar yang akan ikut menjadi penentu masa depan negeri ini pada kurun waktu lima tahun mendatang, yakni Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sungguh, tak ada alasan bagi siapa pun untuk membangun sebuah kekuatan “predator” yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekadar untuk memburu hasrat kepentingan dan kekuasaan semata. Segenap komponen bangsa juga perlu mengawal pesta dan hajat besar itu agar jangan sampai berubah menjadi “ladang kekerasan” yang bisa membuat peradaban horor di negeri ini kian memfosil dan menyejarah.

Roh para pendiri negeri ini tentu akan meratap dan menangis apabila negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah-payah itu terpaksa harus bersimbah darah akibat pertarungan antarsesama anak bangsa hanya lantaran perbedaan paham dan kepentingan. ***

----------------------
Gambar diambil dari inilah.com
READ MORE - Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Tukang Dongeng dan Tukang Mimpi

Cerpen Lan Fang
Dimuat di Jawa Pos (07/12/2009)

Karena aku suka bermimpi maka dia memanggilku Tukang Mimpi. Lalu kuceritakan mimpi-mimpiku kepadanya. Dan kemudian dia membuat dongeng dari mimpi-mimpiku. Sebaliknya, bila tiba saatnya dia mendongeng, aku pun setia menyimak dongengannya untuk kumimpikan kembali. Karena itu, aku memanggilnya Tukang Dongeng.

Tukang Dongeng adalah seorang perempuan yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada dirinya kecuali kemampuannya mendongeng. Ia sangat pandai mendongeng sehingga apa saja bisa dijadikan bahan cerita. Bahkan saking pintarnya, orang tidak bisa membedakan apakah ceritanya itu sungguh terjadi atau hanya khayalan belaka.

Di antara sekian banyak cerita Tukang Dongeng, ada sebuah cerita yang paling berkesan bagiku. Yaitu, cerita tentang bendera-bendera yang berkepak di sebuah halaman puri milik pangeran bermata sihir. Sepasang mata pangeran itu sangat meneduhkan sehingga aku tak pernah kuat memandangnya. Setiap kali pandangan kami bertubrukan, sinar matanya melemparkan jerat yang membuatku terperangkap di sana. Maka, kelopak mataku pun langsung terasa berat. Aku hanya bisa mengatupkan mata. Entah untuk tidur atau hanya sekadar melarikan diri dari sihirnya.

Untuk membawa sihirmu ke dalam tidurku, sehingga setiap saat aku berharap akan melihat wajahmu ketika mataku terbuka.

Tetapi, sebenarnya, Tukang Dongeng tidak tampak sebiasa penampakannya. Aku tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Sssstttt... ia menyembunyikan sebelah sepatunya. ''Aku mencari seorang pangeran yang membawa sebelah sepatuku,'' begitu jawabnya setiap kali kutanya kenapa dia selalu berjalan dengan telanjang kaki. Dan dia terus berjalan tanpa memedulikan kakinya terluka karena kerikil. ''Cinta sejati hanya bisa ditemukan dari luka sebuah perjalanan,'' ia menuntaskan pertanyaanku.

Beuh! Benar-benar jawaban bedebah dari seorang tukang dongeng.

Sedangkan diriku adalah perempuan yang sungguh-sungguh biasa saja. Tidak ada satu pun yang kusembunyikan dari diriku. Orang-orang bisa melihat rambutku yang memutih seluruhnya walaupun kerut belum memenuhi wajahku. Jika ada yang bertanya, ''Berapakah usiamu? Kenapa rambutmu sudah memutih semua?'' Maka jawabanku adalah, ''Usiaku sudah berulang kali kehidupan. Dan aku menunggu cinta sejati di dalam setiap kali kehidupanku. Karena itulah rambutku memutih semua.''

Orang-orang akan manggut-manggut ketika mendengar jawabanku. Tetapi Tukang Dongeng mencemooh jawabanku. ''Cinta sejati harus dicari. Tidak ada cinta sejati yang akan datang sendiri walaupun ditunggu sampai rambut memutih. Karena itulah kau dipanggil Tukang Mimpi. Kau hanya memimpikan cinta sejati itu.''

Kurang ajar! Dia benar-benar tukang dongeng yang tengik, bukan?

Begitulah yang terjadi di antara kami. Kami cukup sering berbeda pendapat. Tukang Dongeng lebih suka bila aku tidur saja. Menurutnya, aku lebih memberikan inspirasi ketika sedang tidur. Dia tidak suka bila aku terbangun. Karena aku suka mengoceh sehingga merusak imajinasi tentang Sang Pangeran yang akan didongengkannya.

Sedangkan menurutku Tukang Dongenglah yang tidak bisa menciptakan dongeng tentang Sang Pangeran. Seharusnya sebagai tukang dongeng ia bisa menuturkan kembali Sang Pangeran yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku. Bukannya ia bertutur tentang Sang Pangeran di dalam imajinasinya sendiri.

Tukang Dongeng suka dengan pangeran berkaki angin. Dia sering menceritakan pangeran dengan kaki angin ini akan membawanya terbang. Dan terbang adalah perasaan bahagia. Pada saat bahagia maka tidak ada kata-kata lain yang bisa menghentikannya dari perasaan melayang. Maka untuk pangeran inilah ia menciptakan begitu banyak cerita dan puisi yang mengalir tanpa henti. Cerita tentang rindu, cinta, dan...mimpi.

Sedangkan aku tidak suka dengan pangeran berkaki angin. Aku lebih suka pada pangeran bermata bintang. Pangeran ini selalu memesrai diriku dengan sepasang matanya yang bintang. Pandangannya menyedotku sampai mataku hanya bisa berkedip-kedip seperti tertimpa hujan.

Ketika itulah pangeran ini menciumku. Dan aku tetap tidak ingin bangun. Karena kudengar, ia berkata, ''Tukang Mimpi, jangan biarkan ada mimpi lain dalam tidurmu. Mimpikanlah aku saja. Karena aku akan selalu mencium gerimis di matamu.'' Maka kubiarkan ia terus menciumi rambutku, keningku, mataku, hidungku, bibirku.... hatiku...

Apakah kau juga mencium harum hujan ada di sana?

Dasar! Kau memang tukang mimpi!

Begitulah, hubunganku dengan Tukang Dongeng. Tetapi kami tetap saling mengunjungi. Karena kami tinggal di dua negeri yang bertetangga. Aku tinggal di Negeri Mimpi dan dia tinggal di Negeri Dongeng. Letak kedua negeri kami tidak berjauhan. Jaraknya hanya dalam kejapan mata. Bila aku membuka kelopak mata maka sampailah aku di Negeri Dongeng-nya. Sedangkan bila ia mengatupkan kelopak mata maka sampailah ia di Negeri Mimpi-ku. Sehingga kami pun sepakat akan memperkenalkan pangeran kami masing-masing. Jadi, bila dia sudah menemukan pangeran berkaki angin yang selalu dicarinya itu maka dia akan memperkenalkannya padaku. Sebaliknya, bila pangeran bermata bintang yang kutunggu sudah menemuiku, maka aku pun akan memperkenalkannya kepada Tukang Dongeng.

Tetapi sekarang telah terjadi masalah yang mahaserius. Para pangeran kami menghilang tanpa sebab yang jelas!

''Pangeran berkaki angin lenyap tanpa suara. Ia bagaikan embun yang disergap matahari. Aku sudah mencarinya ke mana-mana tetapi sia-sia. Aku tidak mendengar suaranya lagi. Aku patah hati...,'' kisah Tukang Dongeng dengan raut merana. Air matanya pun bercucuran sehingga sekarang dia hanya bercerita tentang kisah hati yang patah.

Ah, picisan sekali, ya?

Tidak. Lihatlah sekarang bukan kakinya saja yang berdarah. Tetapi hatinya juga mengucurkan merah.

Sedang pangeranku yang bermata bintang juga tidak pernah mengunjungi mimpiku lagi. Aku tidak tahu apakah ia sudah berpindah ke tukang mimpi yang lain. Rasanya sakit sekali bila aku memikirkan kemungkinan itu. Karena aku tidak bisa memilih mimpi seperti apa yang kuinginkan. Mimpi-mimpi selalu datang dan pergi tanpa kuundang. Aku hanya bisa berharap, ia tahu bila sekarang aku selalu bermimpi tentang gerimis yang menitik lalu tersangkut di helai-helai bulu mataku.

Kuharap kau tidak lupa bila pernah berjanji akan menciumi gerimis di mataku?

Pangeran Negeri Dongeng

Namaku Hou Yi. Artinya pemanah ulung. Selama ini tidak pernah ada yang luput dari bidikanku. Tidak juga matahari.

Di Negeri Dongeng ada sepuluh matahari yang bersinar sehingga panas sekali. Tanahnya retak-retak dan sangat gersang karena tidak ada tumbuhan yang bisa hidup. Di sini juga tidak ada air yang mengalir karena terisap terik. Yang ada hanyalah lidah-lidah sepuluh matahari yang menjulur untuk membakar segalanya.

''Padamkanlah sembilan matahari karena seharusnya hanya ada satu matahari saja. Dan kau akan menjadi Pemanah Ulung yang abadi,'' Dewa Langit bertitah dan memberiku sebuah gendewa dengan sepuluh anak panah.

Aku berusaha memadamkannya walaupun rasanya semakin terbakar. Apakah kau merasakannya?

Bila dilihat sekilas, bentuk gendewaku tidak ada bedanya dengan gendewa-gendewa yang lainnya. Tetapi bila diteliti, ukurannya lebih besar dan lebih berat karena kokoh sekali. Rentangannya juga kuat sehingga bisa melentingkan anak panah dengan kecepatan tinggi.

Baiklah, karena aku menginginkan keabadian maka segera akan kupadamkan sembilan matahari. Kemudian kurentang gendewa dan kubidik matahari demi matahari. Kulepaskan anak panah yang langsung terbang meluncur menuju jantung matahari. Tab!

Sebuah matahari padam dan meninggalkan lepuh di dadaku. Kupadamkan lagi matahari yang kedua. Ada yang meletup dalam darahku. Anak panah ketiga memecahkan sebuah matahari lagi sampai tali hatiku terasa putus. Aku masih terus membidik matahari keempat tanpa memedulikan sudah ada memar yang kian lebam. Selanjutnya kuselesaikan matahari kelima sambil merapatkan geligi menahan nyeri. Matahari keenam berdarah tetapi tidak ada merah yang mengalir. Nasib matahari ketujuh pun berakhir seperti tidak perlu ada air mata yang dididihkan dalam tangis. Matahari kedelapan pecah berkeping-keping tetapi aku masih berdiri dengan kukuh. Akhirnya kuselesaikan matahari kesembilan dan keabadian menjadi milikku.

Sekarang Negeri Dongeng sesejuk keabadian yang kumiliki. Semesta alam bersuka cita karena air bisa ricik dan bunga-bunga bisa mekar lagi. Sehingga Dewa Langit memberiku hadiah sebuah Pil Keabadian. Bentuknya bundar dan bening. Sinarnya seteduh bulan karena kesembilan matahari sudah padam.

Aku membagi kebahagiaanku kepada Chang E', perempuan yang paling kucintai. Setiap hari aku menulis puisi untuknya lalu kubidikkan ke hatinya. Puisi-puisiku tertancap abadi di sana. Lalu mengalir dalam setiap desir darahnya.

''Hou Yi, bisakah kau abadikan cinta kita seperti puisi yang kau tulis untukku setiap hari? Pil ini akan membuat cinta kita abadi, bukan?'' tanya Chang E' sambil mengambil Pil Keabadian.

Aku hanya memiliki sebuah cinta yang abadi. Untukmu.

''Chang E'!'' seruku terkejut tidak kepalang. Tetapi terlambat untuk mencegahnya. Chang E' sudah menelan Pil Keabadian tanpa bertanya lebih dahulu berapa banyak pil yang kumiliki. Lalu Chang E' mulai melayang. Dengan ringannya ia terbang. Ia seperti selembar kertas yang ditiup angin.

''Hou Yiiiiii, tolong aku...,'' Chang E' menjerit dengan segala kepanikan. Ia berlinangan air mata dan jutaan kata-kata yang berhamburan. Angin membawanya semakin tinggi, tinggi, dan tinggi...

Aku segera meraih anak panahku yang hanya tinggal sebuah. Kurentangkan sekuat tenaga. Kulepaskan dengan harapan bisa mengejar Chang E'. ''Cepat! Kejarlah kekasihku! Bawa kembali kekasihku!''

Anak panahku melesat dengan suara yang mendesing, menembus awan demi awan, menguak langit selapis demi selapis. Sampai kulihat Chang E' terperangkap di bulan. Dan anak panah tertancap kembali ke mataku.

Apakah ada anak panah yang tertancap di hatimu?

Pangeran Negeri Mimpi

Namaku Bisma. Aku putra Gangga dan pewaris Hastinapura yang sejati. Tetapi ibuku, Dewi Gangga, moksa setelah melarung keenam bayinya dalam keadaan hidup-hidup. Lalu ayahku, Prabu Sentanu, tergila-gila pada Setyawati, putri hutan secantik peri dengan tubuh wangi kembang setaman.

Sehingga kurelakan tahta demi cinta ayahku. Kuberikan singgasana Hastinapura sebagai mahar perkawinan Sang Prabu. Tetapi, tampaknya, itu masih belum cukup bagi calon permaisuri Hastinapura. Lalu aku pun bersumpah tidak akan menikah agar tidak akan ada anak keturunanku yang berebut mahkota.

''Bisma, baktimu luar biasa. Kau telah putuskan karma untuk meniadakan anak keturunanmu sendiri. Maka, sebagai gantinya kau tidak bisa mati. Kecuali kau sendiri yang menginginkan kematianmu,'' para dewa agung memberiku pengganti tahta, mahkota, dan singgasana.

Lalu kumenangkan sayembara berhadiah tiga orang putri untuk adik tiriku Wicitrawirya. Tiga putri: Ambalika, Ambika dan Amba, akan melahirkan para putra cakap nan gagah untuk Hastinapura.

Tetapi...oh...Amba...

''Bisma, aku mencintaimu. Aku akan melahirkan putra mahkota Hastinapura untukmu," begitu jujur Amba mengatakan cintanya padaku.

Aku juga sejujur Amba ketika mengatakan cintamu padamu, bukan?

Cinta menjadi lucu bila terlalu lugu.

Kurasa hanya laki-laki bebal dan dungu yang tidak jatuh cinta pada Amba. Matanya adalah bintang. Di sana kulihat cinta dengan sinarnya yang utuh. Dan langkahnya membuat helai-helai bunga menjatuhkan diri. Ia pun mengikutiku dengan setiap tetes rindu yang kemudian leleh seperti gerimis dari matanya. Aku tidak mungkin menemukan perempuan lain yang bisa kucintai lagi.

Ternyata aku adalah laki-laki bebal dan dungu itu. Aku merasa seperti di dalam neraka ketika harus memadamkan gairah cintaku padanya. Aku ingin memeluknya, menciumnya, dan menghirupnya. Aku mau bersetubuh, bersenapas, bersejiwa, berseroh dengannya. Hanya aku dan dia.

Tetapi kenapa kau diam saja?

Karena cinta semakin terdengar di dalam kediamannya.

Rupanya cintaku kepada Hastinapura lebih besar daripada cintaku kepada Amba. Aku satria yang pantang melanggar supata. Lalu dengan segala kebebalan dan kedunguanku, kutarik busur dan anak panahku. Tetapi Amba tidak pergi juga. Ia menghadangku dengan tatapan sepasang bintang yang tercabik. Aku tidak mungkin bisa melupakan tatapannya. Dan itulah yang kuingat ketika kelak Srikandi menghujaniku dengan ribuan panah yang tetap saja tidak bisa mematikanku. Sampai aku menunggu Amba datang kembali menjemputku. Ketika itu kuserahkan cintaku seperti saat ini diserahkannya dada untuk anak panahku yang tertancap di sana.

Apakah ada anak panah yang tertancap di hatimu?

Ini bukan dongeng dan bukan mimpi.

''Jadi ini semua gara-gara panah, ya?'' gumamku.

''Panah yang salah arah bisa patah,'' sahut Tukang Dongeng.

''Ngeri...''

''Nyeri...''

''Lalu, bagaimana sebaiknya?'' tanyaku sambil memandangnya. Kulihat ia masih bertelanjang kaki. Rupanya ia belum menemukan pangeran berkaki angin itu. Seperti pangeran bermata bintang yang belum menemuiku. Sehingga rambutku pun masih tetap putih.

''Matamu jangan bermimpi lagi,'' Tukang Dongeng menarik sebuah anak panah yang tertancap di mataku. Kemudian aku pun mencabut sebuah anak panah yang menancap di dadanya.

Lalu, dari sana ada yang pecah satu demi satu, ada yang pecah satu demi satu, ada yang pecah satu demi satu...

Jangan menangis. Bila terlalu banyak menangis maka darah juga akan keluar dari matamu.

Ini adalah kata-kata yang pernah kau katakan padaku. Ingatkah? ***
READ MORE - Tukang Dongeng dan Tukang Mimpi

Mitos dan Tabir Penulisan Cerpen

kumcerCerpen saya dimuat pertama kali di koran pada tahun 1987. Judulnya "Santhet". Dimuat di harian sore Wawasan, Semarang, Jawa Tengah. Dari sinilah saya mulai mengembangkan layar memori dan imajinasi saya untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam sebuah genre cerpen. Atmosfer lingkungan saat itu sangat kondusif dan memicu "adrenalin" saya untuk menulis cerpen. S. Prasetyo Utomo, Herlino Soleman, Triyanto Triwikromo, Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto, atau Mahmud Hidayat adalah beberapa nama yang turut memengaruhi kreativitas saya dalam menulis cerpen. Beberapa di antara mereka sudah melejit ke "papan atas" sastra Indonesia mutakhir, bahkan telah "ditahbiskan" masuk sebagai sastrawan Angkatan 2000 yang diproklamirkan oleh Korrie Layun Rampan. (Yups, sementara teman-teman sudah melaju kencang di atas jalan tol kesusastraan Indonesia mutakhir, saya masih berkutat di balik semak belukar, hehehe :lol: )

Nah, sejak cerpen saya dimuat di koran, "virus" menulis cerpen mulai merasuk ke dalam sumsum tulang. Saya jadi makin rajin ke kampus untuk meminjam buku kumpulan cerpen (kumcer). Yang sangat saya sukai adalah cerpen-cerpen Danarto. Saat itu kumpulan cerpen yang saya baca adalah Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Yang saya sukai adalah suasana surealis dan absurditas seperti memasuki sebuah dunia sonya ruri (antara ada dan tiada) yang demikian "menghipnotis" imajinasi saya. Saya juga tidak tahu, setiap kali usai membaca cerpen-cerpen Danarto, timbul niat saya untuk segera corat-coret, selanjutnya saya ketik dengan mesin ketik butut milik teman satu kos. *Jahh, mesin ketik butut aja pinjam, hiks :mrgreen: *


Demikian sukanya saya terhadap cerpen-cerpen Danarto, sampai-sampai saya pernah terlibat polemik dengan Bung Rosa Widyawan RP di Wawasan (1988). (Silakan baca tulisan di sini dan di sini). Meski demikian, saya tidak sampai bersikap snobis. Kalau kebetulan suka cerpen-cerpen Danarto, semata-mata karena saya suka dengan ide-ide ceritanya yang "liar" dan (nyaris) selalu mengangkat mitos dan selubung masa silam yang bisa membuat saya seperti memasuki sebuah dunia imajinasi yang fantastik dan teatrikal. Indah dan eksotis!


***


Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya sangat menyukai mitos dan selubung masa silam yang menjadi tabir masyarakat dalam membuka dan menemukan hakikat hidup dan kehidupan. Masa lalu saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kampung yang sunyi; kaya akan mitos, bahkan juga hal-hal yang mistis, merangsang saya untuk mengabadikannya ke dalam sebuah cerpen. Yups, genre sastra itulah yang menurut saya bisa mewakili dan mengekspresikan suasana batin saya. *Alasan klasik karena tidak bisa bikin puisi, hehehehe :mrgreen: *


Mitos-mitos tentang upacara tanam dan petik padi (Dewi Sri), nyadran, makam keramat, dongeng tentang gerhana bulan dan matahari, wedhon (hantu berkafan) seperti pocongan, hantu kesot, gendruwo, atau banas pati, sungguh-sungguh saya nikmati. Mitos-mitos semacam itu diperkaya dengan produk budaya masyarakat agraris semacam tayub, ketoprak, wayang orang, rodatan, barongan, atau wayang kulit. Mitos dan selubung masa silam itulah yang selalu menarik untuk saya intip dan saya singkap sehingga terbuka tabir "rahasia" kehidupan dalam konteks kekinian, hingga sekarang. Saya sungguh beruntung lahir di tengah masyakarat kampung yang kaya mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal. Dan, saya yakin, mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal semacam itu juga ada dan dimiliki oleh masyarakat daerah lain yang akan terus dikenang dari generasi ke generasi.


Selanjutnya bagaimana? Yups, saya menulis cerpen tidak menggunakan teori, hehehe ... Teori bagi saya hanya akan memasung kreativitas dan daya jelajah saya dalam memasuki belantara imajinasi yang mengurung tempurung kepala. Apa yang terlintas dalam layar imajinasi itulah yang saya tulis. Setelah dapat bahan yang saya comot dari memori, biasanya langsung membuat judul. Aneh, ya? Judul pasti saya buat terlebih dahulu. Tujuannya? Semata-mata agar saya tetap fokus pada bahan yang telah saya pilih. Mulailah saya berselancar di dunia fantasi dan imajinasi dengan mereka-reka siapa tokoh yang layak saya pilih, bagaimana jalinan peristiwa (alur), kapan dan di mana latar peristiwanya, konflik mestinya bagaimana, sudut pandang yang harus saya gunakan mesti bagaimana, *halah*, gaya ucap yang bagaimana, sampai pada membuat ending-nya.


Kesulitan yang saya hadapi adalah ketika harus menyusun paragraf awal. Bagi saya, paragraf awal ini akan menjadi pintu pembuka untuk memikat daya tarik pembaca. Oleh karena itu, saya jarang membuat paragraf awal yang bertele-tele dengan narasi dan deskripsi yang njlimet. Kasihan pembaca, hehehehe :lol: Mau masuk saja mesti bertele-tele! Misalnya, dalam cerpen "Dhawangan" saya membukanya dengan paragraf seperti ini.



Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

Atau, pada cerpen Topeng berikut ini.



Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Ibarat lebah tidak harus muter-muter dan terbang terlalu lama, tetapi langsung menyengat, hehehe :lol: Jika sudah jadi paragraf awal, 35% cerpen saya sudah selesai. Selanjutnya, tinggal menarasikan gambaran yang terbentang dalam layar imajinasi, baik unsur tokoh dan karakternya, latar, alur, atau sudut pandang, lewat gaya ucap dan bahasa yang saya anggap mampu mewakili perasaan dan intuisi saya. Imajinasi terus mengalir hingga akhirnya saya harus mengakhiri cerpen. Menggantung? Yups, saya termasuk orang yang suka menulis cerpen dengan gaya never ending story, sehingga memberikan banyak kemungkinan dan ruang tafsir yang luas bagi pembaca; tanpa saya harus mendikte dan menggurui.


Pernah kehabisan cara untuk melanjutkan cerita? Sering! Dalam kondisi semacam itu, biasanya saya berhenti menulis, lalu mempertajam imajinasi di belakang sambil buang hajat, hiks. Oleh karena itu, saya termasuk orang yang paling lama kalau sedang buang hajat di belakang. Di ruang sempit itulah justru imajinasi saya makin "liar" dan menggila. Cerita yang sudah buntu pun bisa jadi berlanjut. Meski demikian, sebuah cerpen bisa memakan waktu hingga lima hari seperti cerpen Kepala di Bilik Sarkawi. Namun, ada juga cerpen yang bisa selesai antara 4-5 jam. Cerpen Kang Sakri dan Perempuan Mimpi, misalnya, bisa selesai dalam perjalanan Yogyakarta-Kendal sekitar 4-5 jam. Cerita mengalir begitu saja. Jari-jari pun terus *halah* "bertango-ria" --meminjam istilah Bung Yari-- di atas keyboard laptop. Tiba di rumah hanya tinggal menyunting bagian-bagian yang saya anggap kurang tepat. Yang tidak saya lupakan adalah mengubah judul kalau memang diperlukan. Judul yang saya pilih biasanya yang "provokatif" sehingga begitu membaca judulnya, pembaca merasa penasaran untuk mengetahui jalan ceritanya. *Halah, ge-er*


Dengan proses yang tidak terlalu rumit semacam itu --saya yakin setiap orang bisa melakukannya-- ada juga cerpen-cerpen saya yang dimuat di koran (sekitar 40-an judul), seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan, atau Solopos. Sayang, di Kompas cerpen-cerpen saya hanya sempat mampir ke redaksi, untuk selanjutnya terbang lagi ke rumah, hehehehe :lol: Kata Pak Maman S. Mahayana, cerpen saya terlalu banyak "darah"-nya yang konon memang kurang disukai sang redaktur, hehehehe :mrgreen: Benarkah begitu? Wallahu'alam. Sayang sekali juga, setelah intensif mengelola blog, "adrenalin" saya untuk mengirim teks cerpen ke koran langsung tiarap. Suatu ketika, mudah-mudahan saya bisa kembali instensif menulis cerpen koran.


Tidak ditawarkan kepada penerbit? Itu pula yang ditanyakan oleh Mbak Chika dan Mas Ozan. Aha..., keinginan itu pasti dimiliki oleh setiap orang, termasuk saya. Yang jadi persoalan, bukan hal yang gampang mencari penerbit yang memiliki komitmen untuk menerbitkan buku kumpulan cerpen (kumcer). Untung-rugi tetap menjadi pertimbangan utama. Dan, rata-rata buku kumcer jeblog di pasaran, kecuali cerpenis kondang. "Tukang" cerpen yang katrok dan ndesa seperti saya, hehehehe :lol: mana ada yang mau melirik, hiks, kasihan. Kalau ada penerbit yang mau menerbitkan cerpen-cerpen saya, bisa jadi termasuk penerbit yang sedang "tersesat", hehehehe :lol: Bisa juga diterbitkan dengan cara self-publishing. Kalau tidak bisa diterbitkan oleh penerbit ternama, dipajang di blog ini juga sudah lebih dari cukup bagi saya untuk menjalin hubungan pertemanan dan silaturahmi. Asyik juga! Terima kasih kepada teman-teman bloger atau pengunjung yang telah berkenan untuk membaca dan mengapresiasi cerpen-cerpen saya yang berbau anyir "darah" dan mengeksploitasi ketragisan hidup "wong cilik" itu.


Salam budaya!



oOo
Gambar Danarto "dicuri" dari sini.


READ MORE - Mitos dan Tabir Penulisan Cerpen