Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Ketika Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum sepenuhnya terbebas dari dampak erupsi Merapi, bahkan belum kering benar air mata para pengungsi menyaksikan tanah kelahirannya rata dengan tanah akibat dampak letusan, Presiden SBY mendadak sontak melontarkan wacana yang kurang populer: monarkhi vs demokrasi. Meski berkali-kali dibantah oleh para pembantunya, publik dengan jelas bisa menilai, ke mana bandul wacana yang dilontarkan itu diarahkan. Lontaran wacana SBY bisa ditafsirkan, tidak seharusnya ada sebuah daerah yang menganut sistem monarkhi di tengah sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi. Dengan kata lain, sistem pemerintahan DIY selama ini dianggap kurang demokratis, sehingga perlu dirombak. Nilai-nilai primordialisme kawula Yogya pun terusik. SBY dinilai tidak memiliki nilai fatsoen dan kearifan sebagai sosok seorang pemimpin yang merakyat.

Arah bandul wacana yang dilontarkan SBY makin jelas terlihat ketika draft RUU versi pemerintah menghendaki agar gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih melalui Pemilu. Sedangkan, Sri Sultan HB dan Paku Alam diposisikan sebagai parardya yang menjadi simbol kultural an-sich; memiliki kedudukan di atas gubernur, tetapi sekadar simbol dan tak memiliki kekuasaan apa-apa. Ibarat lakon dalam pakeliran wayang, posisi Kanjeng Sultan “disakralkan”, tetapi telah dimasukkan ke dalam kotak karantina yang tidak memiliki peran apa-apa dalam konteks pemerintahan DIY.

Pernyataan SBY, dalam perspektif pragmatik, bisa dibilang kurang menyentuh prinsip kerja sama yang amat penting peranannya dalam konteks bahasa kekuasaan. Dalam pragmatik, tuturan yang dilontarkan ke tengah-tengah publik perlu memperhatikan bidal kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, sebagaimana yang pernah dilontarkan Grice (1975).

DIYBidal kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. Bidal ini mengarahkan kontribusi yang cukup memadai dari seorang penutur dan petutur di dalam suatu percakapan. Bidal kuantitas dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Buatlah sumbangan atau kontribusi Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan (untuk maksud percakapan).”

Dari sisi ini, agaknya SBY tidak memberikan penjelasan seinformatif mungkin terkait dengan pernyataannya tentang monarkhi dan demokrasi yang dilontarkan. Bahkan, SBY, disadari atau tidak, telah melupakan konteks historis DIY yang memiliki sejarah panjang dalam entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika Sri Sultan HB IX dengan jiwa besar dan rendah hati mendukung terbentuknya NKRI dan secara eksplisit menyatakan bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari NKRI, sungguh, sebuah “pertaruhan” yang tidak mudah. Sri Sultan HB IX menanggalkan derajat aristokrat yang melekat di dalam tubuhnya, lantas menyatukan diri ke ruang publik sebagai elemen yang tak terpisah dari NKRI. Sejarah inilah yang menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa.

Dari perspektif bidal kualitas yang menasihatkan penutur agar memberikan kontribusi yang benar dengan bukti-bukti tertentu, SBY agaknya juga tidak memberikan bukti-bukti tertentu. Apa ruginya jika Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai gubernur dan wagub secara otomatis? Benarkah penetapan jabatan gubernur/wagub melanggar nilai-nilai demokrasi kalau suara rakyat Yogyakarta justru secara golong-gilig menghendakinya? Bidal ini selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah!” dan “Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya!” Kedua subbidal ini mengharuskan penutur mengatakan hal yang benar. Penutur hendaknya mendasarkan tuturannya pada bukti-bukti yang memadai. Menyimak lontaran wacana SBY tentang monarkhi vs demokrasi yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan agaknya diragukan kualitas pembuktiannya. SBY tak jelas benar memberikan argumen dan bukti-bukti yang berkualitas tentang “kesalahan” penerapan nilai demokrasi yang selama ini berlangsung di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Yang agak sulit dipahami, SBY melontarkan wacana itu di tengah situasi DIY yang belum pulih benar dari dampak erupsi Merapi. Dari ranah pragmatik, SBY melupakan bidal relevansi yang menyarankan penutur untuk mengatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, lontaran wacana itu disampaikan dalam moment yang tidak tepat. Sikap empati yang seharusnya ditumbuhkan untuk membesarkan hati rakyat Yogyakarta yang baru saja tertimpa musibah, justru dilipat dengan menggunakan bahasa politik kekuasaan yang kehilangan relevansinya dengan konteks kehidupan masyarakat Yogyakarta. SBY kurang menampakkan sikap sensitif dan kooperatif-nya terhadap suasana batin rakyat Yogya yang butuh sokongan moral dan spirit berkehidupan untuk membangun kembali pranata sosial pasca-erupsi Merapi.

DIYTidak berlebihan apabila lontaran wacana SBY telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Lebih-lebih ketika pemerintah tetap bersikukuh agar jabatan gubernur/wakil gubernur dipilih melalui Pemilu, meski mayoritas elemen masyarakat Yogyakarta “mengancam” akan memboikotnya. Sikap seperti ini, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi jadi makin kabur, taksa, dan berlebihan, yang dalam perspektif pragmatik bertentangan dengan bidal cara. Bidal ini dijabarkan lagi ke dalam empat subbidal, yaitu: (1) hindarkan ketidakjelasan; (2) hindarkan ketaksaan; (3) singkat (hindarkan uraian panjang lebar yang berlewah); dan (4) tertib-teratur.

Prinsip kerja sama yang kurang terakomodasi dalam lontaran wacana SBY juga kurang disentuh melalui kaidah kesantunan berbahasa. Menurut Gunarwan (1992), setidaknya ada tiga kaidah yang bisa digunakan untuk mengukur ikwal kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, yaitu formalitas, artinya selama terjadi interaksi antara penutur dan mitra tutur hendaknya diciptakan adanya unsur yang menyiratkan ketidakterpaksaan dan menghindarkan rasa angkuh. Ketaktegasan merupakan kaidah kedua, artinya antara penutur dan mitra tutur hendaknya menciptakan suasana yang benar-benar kooperatif dan berlangsung secara demokratis sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihannya sendiri. Kaidah ketiga adalah persamaan/kesekawanan , artinya antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan bahwa keduanya memiliki persamaan sehingga mampu menimbulkan rasa senang pada keduanya.

Situasi kurang nyaman yang dirasakan oleh rakyat Yogyakarta bisa jadi memang dipicu oleh lontaran wacana yang dinilai kurang memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan itu. Padahal, Kung Fu-tse, seorang filsuf China abad ke-5 SM, sebagaimana dikemukakan oleh Toto Suparto (Suara Merdeka, 4 Desember 2010), menyatakan bahwa bahasa yang tidak beres menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Bahasa yang beres adalah bahasa yang berpayung etika dengan memperhatikan pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang, dan penuh pertimbangan.

Perdebatan yang berkepanjangan seputar RUU “panas” tentang status DIY makin membuktikan bahwa bahasa kekuasaan menjadi amat penting peranannya dalam membangun komunikasi publik. Ia bisa menjadi “blunder” politik jika disajikan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik. ***
READ MORE - Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Tentang Bahasa Blog dan Kebebasan Berekspresi

Selalu saja ada yang menarik ketika saya berkunjung ke rumah seorang teman di kompleks dunia maya. Tak hanya isinya yang beragam dan memiliki daya pikat, tetapi juga gaya pengucapannya yang khas dan unik. Saya banyak mendapatkan info dan pengetahuan baru, serta ragam bahasa yang sesuai dengan kepentingan ekspresi mereka. Setahun melakukan aktivitas mengeblog memang terlalu singkat untuk bisa mendeskripsikan, apalagi menyimpulkan, kaitan antara gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresi secara rinci dan sahih. Namun, dari ratusan blog yang saya kunjungi, setidaknya saya menemukan lima jenis kepentingan ekspresi yang tersembunyi di balik tulisan dalam sebuah blog.

Pertama, tulisan untuk menyampaikan informasi. Tulisan semacam ini biasanya menggunakan ragam bahasa resmi dan lugas. Hal ini masuk akal karena untuk menghindari kekeliruan dalam menafsirkan maksud yang terkandung di dalamnya. Untuk memberikan informasi kepada pengunjung, tulisan semacam ini sering memanfaatkan sumber dari blog atau web lain, baik dengan cara memberikan tinjauan, terjemahan, maupun kopi-paste --tanpa mengebiri etika dalam dunia kepenulisan-- sehingga pengunjung memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya. Tulisan berita dan ilmu pengetahuan bisa dikategorikan pada jenis kepentingan ekspresi ini.



Kedua, tulisan untuk kepentingan mencurahkan isi hati (curhat) dan menghibur pengunjung. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan ekspresi semacam ini seringkali menggunakan bahasa gado-gado. Tujuan utamanya memang semata-mata untuk curhat dan menghibur pengunjung. Ragam bahasa yang digunakan cenderung variatif dan tidak terlalu "tunduk" pada kaidah-kaidah baku dalam struktur kebahasaan. Bahkan, tak jarang menggunakan tiga bahasa sekaligus; bahasa Indonesia, daerah, dan asing. Tulisan jenis ini biasanya sangat mudah memancing kesan-kesan emosi pengunjungnya, entah itu rasa iba, humor, atau sedih.

Ketiga, tulisan untuk kepentingan refleksi. Tulisan jenis ini bisa berasal dari peristiwa nyata (non-fiktif) atau berdasarkan imajinasi penulisnya (fiktif). Refleksi non-fiktif biasanya membahas persoalan-persoalan aktual dan menyangkut kepentingan publik yang dianalisis secara kritis berdasarkan renungan dan logika sang penulis. Bahasa yang digunakan dalam postingan jenis ini biasanya lugas, cenderung "liar" dan berani. Hal ini berbeda dengan postingan jenis refleksi-fiktif. Persoalan yang diangkat biasanya berasal dari pengalaman hidup, baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain, yang disajikan dalam genre narasi, puisi, atau cerpen. Bahasa yang digunakan cenderung personal dan bersifat multitafsir. Sebagai tulisan reflektif, tulisan jenis ini berusaha memotret berbagai fenomena kehidupan untuk selanjutnya didedahkan lewat media bahasa pilihan yang benar-benar tertata, sehingga mampu memberikan sesuatu yang bermakna dalam ranah batin pembacanya.

Keempat, tulisan untuk kepentingan persuasi. Tulisan ini berusaha mengajak dan memengaruhi pembaca untuk melakukan sebuah tindakan sesuai dengan keinginan sang penulis. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas agar mudah dipahami pembaca dengan menggunakan alasan yang logis dan masuk akal. Lewat tulisannya, sang penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa apa yang dipaparkan itu benar adanya. Tulisan yang mengajak pembaca untuk "golput" dalam sebuah pilkada atau mengajak pembaca untuk memberikan subsidi sukarela kepada sesama, misalnya, bisa dikategorikan ke dalam jenis kepentingan ekspresi ini.

Kelima, tulisan untuk kepentingan pembelajaran. Tulisan ini berusaha memberikan petunjuk dan bimbingan teknis tentang cara melakukan tindakan tertentu. Bau "how to"-nya sangat terasa sehingga cenderung menggurui. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas dan apa adanya agar mudah dipahami pembaca dan terhindar dari salah tafsir.

Blog pribadi seringkali digunakan oleh sang penulis (admin) untuk berbagai macam kepentingan ekspresi. Ada warna "pelangi" di sana. Saya jarang menemukan blog yang mono-ekspresi. Ragam bahasa yang digunakan bervariasi sesuai dengan kepentingannya. Blog curhat pun sesekali diselingi dengan tulisan serius dengan ragam bahasa baku. Ini artinya, seorang bloger bisa berkomunikasi kepada pengunjung dengan mengusung beragam tema. Hal itu agaknya sangat dipengaruhi oleh kepentingan sang bloger dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Bisa jadi, suasana "gado-gado" semacam itu juga dimaksudkan untuk menghindari kejenuhan, baik bagi sang bloger yang bersangkutan maupun pengunjung.

Sebagai hunian di dunia maya, kalau boleh disebut demikian, ketenaran sebuah blog akan sangat ditentukan oleh "kelincahan" sang bloger dalam mengemas gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresinya. Dengan kata lain, efektivitas komunikasi yang dikemas melalui gaya pengucapan yang tepat akan sangat menentukan kualitas sebuah blog. Sebagus apa pun kepentingan ekspresinya, kalau kurang tepat memilih gaya pengucapan, bisa menimbulkan kesan "jorok" bagi pengunjung. Blog curhat, yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati, misalnya, jelas akan lebih mengena jika diekspresikan dengan gaya (ragam) pengucapan yang santai melalui kemasan bahasa "gaul". Sebaliknya, blog yang dimaksudkan untuk mengekspresikan kepentingan pembelajaran, informasi, atau persuasi, akan lebih tepat jika dikemas dengan menggunakan bahasa yang lugas sehingga terhindar dari kesan multitafsir.

Pembagian jenis kepentingan ekspresi dan gaya pengucapan tersebut semata-semata berdasarkan pengamatan saya selama setahun melakukan aktivitas mengeblog. Saya tidak menggunakan pendekatan dan teori linguistik apa pun. Mungkin Sampeyan menemukan jenis yang lain atau memiliki pendapat yang berbeda? ***
READ MORE - Tentang Bahasa Blog dan Kebebasan Berekspresi

SIHIR BAHASA INDONESIA

Oleh: Maman S. Mahayana

Maman S. MahayanaBahasa Melayu –yang kemudian menjadi bahasa Indonesia— sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sesosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal selok-beloknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia berfungsi sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.

Bagi siapa pun yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti terjadi begitu saja, alamiah. Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes—fleksibel, egaliter, demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah, ia memancarkan sihirnya.

Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan, selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten, misionaris yang bergelandang ke pelosok Nusantara, membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Prancis bagi orang Belanda. “Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan.” Dikatakan A. Teeuw (1994), “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”

Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.

Pesona bahasa Melayu terlanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga keberbudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga-berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu, memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosa kata bahasa Melayu.

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya, tak terelakkan menjadi ekspresi kultural. Begitu juga, penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres itu sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan. Maka, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah-olah tetap disimpan rapi dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
***

Usia bahasa Indonesia kini melewati 10 windu. Rentang usia yang bagi manusia tinggal menunggu malam, lantaran makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosa kata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif. Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosa kata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi bahasa secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.

Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek bahkan juga idiolek, muncul di mana-mana. Kosa katanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosa kata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warganegara sendiri. Kini, kosa kata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosa kata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia diekspresikan sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.

Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon Jawa dan perhitungan feng shui, kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), Cina (feng shui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separoh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia yang seenaknya menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
***

“Bahasa menunjukkan bangsa!” begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa Indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.

Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana, tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan dan peralatan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers? Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial. ***
READ MORE - SIHIR BAHASA INDONESIA

UU 24/2009, Penerjemah, dan Juru Bahasa

Pada hari Sabtu, 16 Jan 2010, Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) mengadakan diskusi dengan topik “UU 24/2009: Peluang Kerja untuk Penerjemah dan Juru Bahasa” di Pusat Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur. Diskusi tersebut dipandu oleh Kukuh Sanyoto (Wakil Ketua II HPI) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara: Sugiyono Shinutama (Kabid Pengembangan Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa) dan Junaiyah H. Matanggui (Konsultan dan Praktisi Bahasa Indonesia).Dalam acara yang dihadiri oleh lebih kurang 40 orang dan berlangsung antara pukul 10.00–12.30 tersebut, Sugiyono, sebagai orang yang terlibat langsung dalam proses penyusunan UU 24/2009, menjabarkan isi Undang-Undang 24/2009 yang berkaitan dengan bahasa. Sedangkan Junaiyah, sebagai ahli bahasa yang sering dilibatkan dalam pembahasan RUU,membahas beberapa kesalahan umum yang banyak ditemukan dalam naskah RUU.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan atau disingkat BBLNLK disahkan pada tanggal 9 Juli 2009. Sesuai dengan namanya, salah satu topik yang diatur pada undang-undang (UU) ini adalah tentang bahasa negara.

Isi Undang-Undang Bahasa Negara
Masalah bahasa negara secara spesifik dijelaskan dalam 21 pasal (pasal 25 sampai 45) dari total 74 pasal yang ada dalam UU ini. Sedangkan tiga pasal (1, 72, dan 73), meskipun tidak spesifik, juga membahas bahasa negara.

Pasal 1 menjelaskan tentang definisi bahasa Indonesia (bahasa resmi nasional), bahasa daerah (bahasa yang digunakan secara turun-temurun di daerah di Indonesia), dan bahasa asing (bahasa selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah).

Pasal 25 menjelaskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara dan bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Fungsinya adalah sebagai (1) jati diri bangsa, (2) kebanggaan nasional, (3) sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta (4) sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Pasal 26 sampai 39 menjelaskan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam hal-hal berikut.
1. Peraturan perundang-undangan.
2. Dokumen resmi negara, misalnya surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan.
3. Pidato resmi, yaitu pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu. Pejabat negara yang dimaksud adalah semua pejabat dari tingkat tertinggi sampai dan termasuk tingkat kepala daerah tingkat II (kabupaten/kota).
4. Bahasa pengantar pendidikan. Bahasa asing dapat digunakan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing.
5. Layanan administrasi publik.
6. Nota kesepahaman/perjanjian. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris dan semua naskah itu sama aslinya. Khusus untuk perjanjian dengan organisasi internasional, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipilih organisasi tersebut.
7. Forum resmi nasional/internasional. Bahasa asing dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.
8. Komunikasi resmi lingkungan kerja. Berlaku baik untuk lingkungan kerja pemerintah maupun swasta (perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia). Pegawai yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia
9. Laporan kepada instansi pemerintahan.
10. Karya ilmiah. Untuk tujuan atau bidang kajian khusus, dapat digunakan bahasa daerah atau bahasa asing.
11. Nama resmi geografi dan nama diri. Termasuk di dalamnya adalah nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, serta organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
12. Informasi produk atau jasa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan.
13. Rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan.
14. Media massa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat digunakan pada media massa yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.

Pasal 40 menyebutkan bahwa keterangan lebih lanjut tentang penggunaan seperti butir-butir di atas akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Pasal 41 sampai 45 menjabarkan tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa Indonesia, serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
1. Pemerintah melalui lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar sesuai dengan perkembangan zaman
2. Pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
3. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.
4. Pemerintah dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
5. Lembaga kebahasaan dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 72 tentang ketentuan peralihan menjelaskan UU ini tidak berlaku surut terhadap peraturan yang sudah ada dan belum diganti. Pasal 73 tentang ketentuan penutup menetapkan waktu dua tahun untuk membuat peraturan pelaksanaan UU ini (misalnya PerPres).

Kesalahan Umum Naskah RUU
Dalam proses pembuatan rancangan undang-undang (RUU), ternyata cukup banyak kesalahan-kesalahan yang dibuat. Konsultan atau ahli bahasa berperan penting dalam memberikan masukan untuk perbaikan kesalahan-kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut.
1. Huruf kapital yang diberikan bukan berdasarkan kaidah melainkan karena kebiasaan atau rasa hormat. Huruf kapital seharusnya hanya diberikan untuk nama diri sedangkan nama jenis tidak diberi huruf kapital. Singkatan ditulis seluruhnya dalam huruf kapital sedangkan akronim hanya diberikan huruf kapital pada huruf pertama. Misalnya POLRI, padahal seharusnya Polri.
2. Tanda koma yang seharusnya diberikan sebelum kata “dan” pada butir terakhir. Misalnya “…a, b dan c peraturan itu” padahal seharusnya “…a, b, dan c peraturan itu”.
3. Tanda titik dua. Daftar yang diawali dengan titik dua selalu dibuat seolah sebagai serangkaian kalimat: setiap butir bernomor diawali dengan huruf kecil (kecuali jika diawali dengan nama diri) dan diakhiri dengan tanda koma. Tiap baris yang merupakan kalimat yang berdiri sendiri harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
4. Definisi yang tidak berimbang, misalnya kata benda harus didefinisikan dengan kata benda yang setara.
5. Kesalahan penggunaan kata karena tidak mengerti urutan pembentukan kata, kaitan bentuk dan makna, perbedaan pemakaian kata yang mirip, serta penulisan kata yang baku.

Diskusi dan Tanya Jawab

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, ada beberapa isu yang dibahas. Berikut penjabaran beberapa masalah yang sempat dibicarakan.

Sanksi

Mengapa tidak ada sanksi bagi pelanggar UU bahasa negara?

Tim Pusba sudah berusaha keras untuk memasukkan ini. Tapi perdebatan mengenai hal ini memang sangat alot karena baik di KUHP maupun KUHAP sulit ditemukan pasal yang cocok untuk pelanggaran bahasa ini.
Sebagai penghibur, mungkin bisa dilihat UUD 1945. UUD sama sekali tidak memuat sanksi tapi tetap dianggap mengikat dan dijadikan dasar bagi hampir semua peraturan lain. Sanksi juga nanti bisa dimasukkan dalam peraturan pelaksanaan.

Masalah di Lapangan

Dalam komunikasi yang melibatkan pihak asing, penggunaan bahasa Indonesia dapat membuat tidak lancarnya komunikasi.

Hal ini sebenarnya adalah karena orang Indonesia< sendiri yang tidak membiasakan menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya beberapa masalah yang diajukan dapat ditanggulangi seperti pada butir-butir berikut.
1. Perjanjian dengan pihak asing yang mengikuti hukum Indonesia. Suatu perjanjian baru berkekuatan hukum jika dibuat dalam bahasa Indonesia. Jika ini dipahami dan ditekankan, pihak asing pasti bisa mengerti dan bukan juga suatu masalah besar untuk kemudian menerjemahkan dokumen tersebut ke dalam bahasa yang lebih dipahami oleh pihak-pihak terkait.
2. Forum resmi yang dilaksanakan di Indonesia. Tidak sulit untuk menambahkan judul dalam bahasa lain di samping judul resmi bahasa Indonesia atau membuat terjemahan terhadap dokumen-dokumen asli yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Lebih baik juga untuk menyediakan juru bahasa (interpreter) bagi peserta yang tidak mengerti bahasa Indonesia–yang biasanya jumlahnya lebih sedikit–dibandingkan harus memaksa peserta berbahasa ibu bahasa Indonesia–yang biasanya jumlahnya lebih banyak–untuk mengikuti atau menyampaikan penuturan dalam bahasa asing.
3. Layanan administrasi publik dan komunikasi resmi lingkungan kerja. Orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia pasti berupaya untuk mendapat bantuan jika merasa membutuhkan.
4. Laporan resmi, karya ilmiah, dan media massa. Sama seperti forum resmi, jika sasaran utamanya adalah penutur jati (native speaker) bahasa Indonesia maka lebih baik menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing atau bahasa daerah dapat digunakan untuk keperluan-keperluan khusus.
5. Nama geografi, nama diri, informasi produk, rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum. Alasan kenapa harus menggunakan bahasa Indonesia juga sama: Karena sasaran utamanya adalah untuk orang Indonesia. Bahasa asing atau bahasa daerah dapat digunakan sebagai tambahan.

Hubungan dengan Aturan Internasional

Dalam suatu perjanjian internasional, biasanya pihak-pihak yang terlibat dapat bersepakat untuk memilih bahasa mana yang digunakan sebagai naskah asli atau perjanjian yang mengikat. Jadi tidak harus bahasa Indonesia.

UU 24/2009 sudah memfasilitasi itu dengan menyatakan dalam penjelasan pasal 31:

Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.

Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.

Adanya UU ini, yang mengharuskan adanya bahasa Indonesia, malah dapat berdampak bagus karena selama ini cukup banyak perjanjian yang hanya ditulis dalam bahasa asing (terutama Inggris) dan tidak dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Daerah

Dengan adanya UU ini, negara tampaknya tidak mendorong kemajuan bahasa daerah.

Bahasa Indonesia adalah lingua franca bagi rakyat Indonesia yang memungkinkan semua orang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan tak memandang bahasa ibunya. Semakin mudahnya transportasi memudahkan orang untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Tidak bisa lagi diasumsikan bahwa semua orang di suatu daerah pasti mengerti bahasa lokal di daerah tersebut.

Bayangkan kalau layanan informasi publik atau komunikasi di lingkungan kerja di daerah Yogya misalnya harus dilakukan dalam bahasa Jawa, misalnya. Orang Indonesia yang berasal dari daerah lain dan tidak paham bahasa Jawa pasti kerepotan untuk berkomunikasi, padahal ia pun berhak mendapatkan layanan yang sama sebagai rakyat Indonesia.

Negara mendorong kemajuan bahasa daerah di sektor-sektor lain di luar batasan-batasan yang melibatkan kepentingan publik. Karya ilmiah, media massa, nama geografi, nama diri, informasi produk, serta rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum bisa menggunakan atau disertai dengan bahasa daerah.

Glosarium Pusat Bahasa

Apakah glosarium selalu diperbarui? Apakah bersumber dari bahasa yang hidup di masyarakat dan memang lazim dipakai di dunia akademis? Apakah para ahli mengetahui perkembangan peristilahan yang berkembang di masyarakat dan akademis saat itu?

Menurut Sugiyono, glosarium daring belum diperbarui lagi. Para ahli yang menyusun berasal dari bidang yang terkait dan seharusnya mengerti paling tidak perkembangan istilah yang digunakan oleh kalangan akademisi.

Kesan penulis: Tidak ada penjelasan yang pasti tentang apakah istilah tersebut memang bersumber dari masyarakat serta juga tidak ada pemastian dari Pusba bahwa pemutakhiran glosarium memiliki jadwal yang rutin.

Peluang dan Tantangan
Jika diterapkan, UU 24/2009 ini jelas sangat membuka peluang besar bagi penerjemah dan juru bahasa. Banyak kebutuhan baru terhadap jasa dua profesi ini yang muncul yang tadinya tidak diharuskan.

Tantangan yang harus dihadapi adalah, siapkah penerjemah dan juru bahasa menerima luapan permintaan dari segi kualitas dan kuantitas ini?

(Sumber Ivan Lanin, peserta diskusi) dalam http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/?q=detail_berita/1320

Unduh:
UU Bahasa Negara
Pedoman Umum EYD
Pedoman Umum Pembentukan Istilah
READ MORE - UU 24/2009, Penerjemah, dan Juru Bahasa

Pemakaian dan Arti Kata “Saja”

Kata “saja” termasuk jenis kata keterangan (adverbia) yang dapat berfungsi menerangkan kata kerja (verba), kata benda (nomina), kata sifat (adjektiva), kata bilangan (numeralia), dan kata ganti (pronominal).

Contoh:
1. Tidur saja kerjanya sepanjang hari. (menerangkan verba)
2. Uang saja yang dipentingkannya. (menerangkan nomina)
3. Senang saja hatinya meskipun tidak berduit. (menerangkan adjektiva)
4. Anak dua saja sudah cukup repot mengurusnya. (menerangkan numeralia)
5. Kenapa aku saja yang kauomeli setiap hari? (menerangkan kata ganti persona)

6. Itu saja yang kauinginkan dari diriku, bukan? (menerangkan kata ganti penunjuk)

Contoh pemakaian kata “saja” dalam kalimat-kalimat di atas menunjukkan arti kata “saja” yang memberikan pengertian “membatasi”.

a. tidur saja artinya “tidak lain daripada tidur” atau “hanya tidur dan tidak melakukan kegiatan lain”. Demikian pula dengan uang saja, aku saja, itu saja. Semuanya memberikan pengertian yang sama ialah “membatasi”.

b. senang saja artinya “tetap senang” atau “tidak merasa susah”.

c. dua saja artinya “cukup dua” atau “tidak lebih dari dua”.

Namun, ada pula arti kata “saja” yang lain.

1) “mencakup semua” seperti terlihat pada contoh berikut:
??a) Apa saja yang diinginkannya, selalu diberi orang tuanya.
???(Semua yang dinginkannya, selalu diberi orang tuanya.)
??b) Ke mana saja gadis itu pergi, pasti ditemani pacarnya.
???(Ke semua tempat yang mana pun gadis itu pergi, pasti ditemani pacarnya.)

2) berarti “melulu” atau “tidak lain hanya”. Contoh:
??c) Tiap baru gajian, baju baru saja yang dibelinya.
???(Tiap baru gajian, baju baru melulu yang dibelinya)
??d) Berpacaran saja kerja berdua dari tadi, ya!
???(Berpacaran melulu kerja berdua dari tadi, ya!)

3) berarti “memperkuat” atau “menegaskan”. Contoh:
??e) Makan sajalah semuanya, jangan disisakan.
??f) Masuk sajalah, pertunjukan tari sudah dimulai.

4) berarti “sebaiknya” atau “lebih baik”. Contoh:
??g) Sudahlah, pulang saja duluan karena kawanmu menunggu di rumah.
???(sebaiknya pulang duluan)
??h) Kita ajak saja mereka datang ke pesta hari ulang tahunmu.
???(sebaiknya mereka kita ajak)

5) berarti “terus-menerus”. Contoh:
??i) Bayi itu menangis saja semalaman. Mungkin sakit.
???(terus-menerus menangis)
??j) Dia belajar saja tanpa menghiraukan pekerjaan yang lain.
???(terus-menerus belajar)

6) berarti “seenaknya” atau “sesuka hati”. Contoh:
??k) Jangan menuduh saja tanpa bukti.
???(menuduh seenaknya)
??l) Tanpa mengetuk pintu dia masuk saja ke kamar tidur saya.
???(masuk seenaknya)

Samakah arti kata “hanya” dan kata “saja”?
Karena kandungan makna kata “hanya” dan “saja” tidak sama, kedua kata itu tidak dapat saling menggantikan posisi dan makna yang sama dalam sebuah kalimat.
Fungsi kata itu masing-masing berbeda dalam kalimat. Ada kalimat yang hanya menggunakan kata “hanya” dan ada pula kalimat yang hanya memakai kata “saja”.

Apabila kata “hanya” dan “saja” memiliki makna yang sama dalam satu kalimat, menurut kaidah bahasa Indonesia yang tepat, pilih salah satu.
(Buku Praktis Bahasa Indonesia (2)- Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional)

Sering kata “saja” digunakan secara berlebih-lebihan karena dipakai sekaligus dengan kata “hanya” yang mempunyai makna yang sama, sehingga dianggap mubazir. Contoh:

h) Hanya petugas saja yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.
??Dalam hal ini, sebaiknya bentuk baku yang dianjurkan pemakaiannya, ialah:
??Hanya petugas yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.
??Petugas saja yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.

Namun pada contoh-contoh kalimat berikut ini kata “hanya” dan kata “saja” tidak dapat saling menggantikan, karena pengertiannya berbeda. Contoh:

(1) a. Tidak usah makan malam di luar, makan di rumah saja. (?)
?? b. Tidak usah makan malam di luar, hanya makan di rumah. (×)

(2) c. Kamu boleh merokok, hanya jangan di ruang ini. ???
????(Kamu boleh merokok, tetapi jangan di ruang ini.)
? ?d. Kamu boleh merokok, jangan di ruang ini saja. (×)
????(Kamu boleh merokok, di ruang mana saja)

Catatan: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga, kata “hanya” biasanya digunakan bersama “saja” untuk mengeraskan makna. Contoh kalimat yang diberikan ialah: Hanya itu saja yang dapat kusumbangkan.
READ MORE - Pemakaian dan Arti Kata “Saja”

Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

petaindonesiaKita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: "baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan." Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
("Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

Mengapa Pembusukan Bahasa selalu Terjadi?

Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia (BI) telah melewati rajutan sejarah yang panjang sejak difungsikan sebagai lingua franca dan bahasa resmi hingga menjadi bahasa komunikasi di tingkat global. Sudah delapan dasawarsa BI hidup, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban bangsa. Namun, tidak seperti perjalanan dan dinamika manusia yang makin lama makin menemukan kematangan dan “kesempurnaan” hidup, BI justru mengalami pembusukan. Pertama, pembusukan yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Tak dapat disangkal lagi, media memiliki daya sugesti dan persuasi yang begitu kuat terhadap publik. Bahkan, saat ini tidak sedikit orang yang memiliki ketergantungan informasi terhadap media. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa bahasa media memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penggunaan bahasa publik.

Penggunaan satuan bahasa tertentu yang terus berulang dalam sebuah media tak jarang diyakini sebagai bentuk yang tepat sehingga publik bersikap latah untuk tak segan-segan menirunya. Contoh yang paling gampang, misalnya kata “dimassa” (=dipukuli), seperti dalam kalimat: “Pencopet yang tertangkap itu dimassa beramai-ramai oleh penduduk kampung”. Dalam struktur BI, awalan (bukan kata depan) “di-“ yang melekat pada nomina (kata benda) yang berfungsi untuk membentuk verba (kata kerja) hampir tidak pernah ditemukan. Kita tak pernah mengenal bentuk verba dirumah, dibatu, dibola, dan semacamnya. Demikian juga penggunaan kata penunjuk jamak “para” yang seharusnya tak perlu lagi digunakan di depan nomina jamak, seperti “para politisi” atau “para kritisi” yang seharusnya “para politikus” atau “para kritikus”.

Tak hanya dalam bentukan kata, kesalahan logika pun masih sering terjadi dalam penggunaan bahasa di media. Seorang pemandu acara TV, misalnya, tak jarang menggunakan tuturan: “Kepada Bapak …. waktu dan tempat kami persilakan …” yang seharusnya akan lebih efektif dan masuk akal jika diganti menjadi “Bapak …. kami persilakan untuk menyampaikan sambutan”. Bukankah yang dipersilakan untuk berbicara itu orangnya, bukan waktu dan tempatnya?

Kedua, pembusukan yang dilakukan oleh kaum elite di berbagai lapis dan lini yang seharusnya menjadi anutan sosial dalam berbahasa. Di tengah kultur masyarakat kita yang cenderung paternalistis, kaum elite, diakui atau tidak, telah menjadi “kiblat” publik dalam berbahasa. Kita masih ingat ketika Soeharto dengan gaya pelafalannya yang khas; mengubah lafal /a/ menjadi /?/; bawahannya beramai-ramai menirunya sebagai penghormatan dan sekaligus “keterkekangan” dalam bentuk tuturan. Yang lebih memprihatinkan gejala pelafalan yang salah kaprah semacam itu terus berlanjut hingga ke tingkat RW/RT sehingga warga masyarakat menganggapnya sebagai lafal yang benar.

Ketiga, pembusukan akibat merebaknya gejala tuturan Indon-English yang dilakukan, entah dengan sengaja atau tidak, oleh para pejabat “kontemporer” kita yang saat ini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan dan kaum menengah ke atas. Di tengah era kesejagatan, ketika dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global, proses campur-kode antara bahasa Indonesia dan bahasa asing memang musthail bisa kita tolak kehadirannya. Bahkan, proses campur-kode semacam itu akan mampu memperkaya bentuk-bentuk kebahasaan dan kosakata bahasa kita. Namun, alangkah naifnya jika proses campur-kode semacam itu tidak lagi mengindahkan konteks tuturan. Kita makin tak peduli kepada siapa dan dalam situasi bagaimana kita bertutur sehingga tak jarang menimbulkan kesalahpahaman.

Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dalam pemahaman awam saya, perlu mempertimbangkan konteks tuturan. Artinya, ketika berbicara dalam suasana santai dan akrab, misalnya, tidak salah kalau kita menggunakan bahasa “gado-gado”, asalkan komunikatif dan efektif. Namun, ketika berbicara dalam suasana resmi, akan lebih baik dan benar jika kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsi bahasa kita sebagai bahasa resmi.

Saya tak tahu pasti, kapan pembusukan itu berawal dan kapan akan berakhir. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam kubangan pembusukan yang lebih dalam, agaknya BI akan makin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan sejak dini kepada generasi masa depan negeri ini agar mereka tak ikut-ikutan mewarisi pembusukan itu. ***
READ MORE - Mengapa Pembusukan Bahasa selalu Terjadi?

Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian II-Habis)

mediaSesungguhnya masih banyak ragam bahasa media (cetak) yang mengalami gejala deviasi. Beberapa contoh sebelumnya hanya sekadar bukti betapa ragam bahasa media selama ini sangat dipengaruhi oleh keterbatasan rubrikasi dan persoalan industri yang berorientasi untung-rugi. Lalu, bagaimana posisi ragam bahasa media dalam perspektif pembelajaran bahasa? Bisakah ragam bahasa media (cetak) yang seringkali bertabrakan dengan kaidah kebahasaan dijadikan sebagai bahan ajar?

Pada era sekarang, guru di sekolah bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa didik. Seiring dengan membanjirnya arus informasi yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu, kapan dan di mana pun seorang siswa bisa mendapatkan informasi dari berbagai media. Melalui surat kabar, misalnya, seorang siswa mampu memperoleh setumpuk informasi hangat dan aktual tanpa harus menguras energi, waktu, dan biaya untuk melacak sumber berita pertama.

Dalam konteks demikian, kehadiran media (cetak) sangat membantu guru bahasa dalam meningkatkan mutu proses pembelajaran di sekolah. Pertama, dapat meningkatkan minat baca siswa. Ragam bahasa media (cetak) sangat berbeda dengan ragam bahsa dalam buku teks yang cenderung kaku dan monoton. Dengan ragam bahasa jurnalistik yang lebih lincah, ringan, dan menghibur, media (cetak) bisa dijadikan sebagai media alternatif bagi siswa dalam mendapatkan informasi-informasi yang hangat dan aktual sekaligus menghibur. Ini artinya, media (cetak) bisa memberikan sumbangsih yang cukup berarti dalam mencerdaskan anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku sekolah. Dengan kata lain, media (cetak) bisa ikut meringankan beban gur dalam merangsang daya pikat siswa terhadap bahan bacaan.

Kedua, medai (cetak) pada umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan siswa. Salah satu daya tarik media (cetak) bagi publik adalah keterlibatan media yang bersangkutan dalam menayajikan berita-berita yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia pembaca. Pembaca (sisa) jelas akan lebih tertarik untuk menyimak berita-berita lokal yang berkaitan dengan wilayah “teritorial”-nya daripada “menikmati” sajian berita tentang daerah lain yang secara kultural tidak dikenalnya. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), media-media (cetak) lokal akan makin eksis di tengah-tengah dinamika dunia pendidikan karena munculnya pendekatan kontekstual yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran di kelas yang memberikan keleluasaan kepada para guru untuk mendekatkan dunia siswa pada budaya lokal.

Ketiga, informasi-informasi yang disajikan media (cetak) bisa dipilih oleh guru untuk dikemas sebagai media dan materi ajar di kelas yang menarik dan menyenangkan. Sudah lama dunia pendidikan di negeri ini terpasung di atas tungku kekuasaan rezim penguasa lewat kebijakan-kebijakannya yang serba sentralistis dan otoriter dalam bentuk penyeragaman buku teks yang wajib dipelajari sisa, tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang sosial-budaya siswa didik. Akibatnya, kepekaan peserta didik dalam menangkap fenomena-fenomena sosial-budaya yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya menjadi mandul. Guru sebagai profesi yang otonom dan mandiri pun telah kehilangan kemerdekaan untuk mengoptimalkan kreativitasnya dalam mengelola pembelajaran di kelas. Guru harus selalu patuh dan tunduk pad apetunjuk atasan yang acapkali kurang relevan dengan kondisi riil. Dengan menggunakan teks-teks bacaan dari media (cetak) lokal yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia siswa, guru bisa mengasah kepekaan peserta didik dalam memahami denyut kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya sebagai bekal mereka dalam memasuki kehidupan yang sesungguhnya.

Keempat, ragam media (cetak) bisa dijadikan sebagai sarana bagi guru dalam memperkaya kosakata. Setiap hari, media (cetak) hadir mengunjungi pembacanya. Beragam kosakata yang selama ini luput dari perhatian guru pun bermunculan. Dalam kondisi demikian, mau atau tidak, guru bahasa “dipaksa” memahami makna kosakata yang baru dikenalnya melalui kamus atau sumber yang lain. Ini artinya, kehadiran media (cetak) ikut memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi guru dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.

Meskipun demikian, bukan berarti ragam bahasa media (cetak) dalam perspektif pembelajaran bahasa hadir tanpa cacat. Banyaknya gejala deviasi yang muncul dalam judul berita, penggunaan tanda baca, diksi, struktur kalimat, penataan paragraf, pemenggalan suku kata, atau penggunaan konjungsi bisa menimbulkan masalah tersendiri bagi guru bahasa dalam proses pembelajaran di kelas. Guru bahasa jelas tidak bisa menyalahkan siswa ketika mendapatkan contoh-contoh konstruksi bahasa yang secara substansial dianggap bertentangan dengan apa yang telah disajikan guru di kelas.

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil seruan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan kearifan dan kepekaan insan pers untuk mengemas informasi melalui penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, tanpa harus meninggalkan kadiah-kaidah bahasa. Selain itu, media (cetak) diharapkan juga mampu menjadi media yang mencerahkan dan mencerdaskan publik; lincah memburu berita dan santun mengemas bahasa. Hanya dengan cara demikian, media (cetak) tertentu akan tetap disegani dan dicintai publik di tengah-tengah menjamurnya media yang suka mengumbar sensasi melalui penggunaan ragam bahasa yang seronok, vulgar, dan provokatif. *** (habis)
READ MORE - Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian II-Habis)

Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

koranSeiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus kesejagatan, kehadiran media publik, baik cetak maupun elektronik, telah menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Ia telah dianggap sebagai ikon peradaban masyarakat modern dalam memburu informasi. Untuk mendapatkan berita-berita penting dan berharga, masyarakat tidak harus berduyun-duyun ke tempat kejadian perkara. Hanya dengan membaca atau menyaksikan tayangan berita, masyarakat bisa dengan mudah mengikuti berbagai informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Fungsi media, dalam pandangan Harold D. Laswell dan Charles Wright (dalam Simaremare, 1998), adalah untuk mengenali dan menyajikan informasi tentang kenyataan, memilih, dan menafsirkan kenyataan, menyajikan, dan meneruskan nilai-nilai sosial-budaya kepada generasi penerus, serta memberikan hiburan kepada masyarakat. Dalam konteks demikian, maka fungsi media massa adalah mengumpulkan informasi tentang kenyataan sebagai bahan berita, mengolah, dan menyunting bahan berita tersebut, untuk selanjutnya menyajikannya sebagai berita, serta menulis tajuk rencana sebagai wujud dari tugasnya dalam menafsirkan kenyataan untuk menuntun pikiran dan pemahaman khalayak, serta melakukan kontrol sosial.

Ragam Bahasa Media
Dalam menyajikan informasi kepada publik, bahasa jelas menjadi media pendukung utama untuk menyajikan fakta-fakta dan pesan-pesan. Dalam surat kabar, misalnya, bahasa digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan dan mengartikulasikan berbagai peristiwa menjadi sebuah berita secara tertulis.

Pada hakikatnya bahasa media tak jauh berbeda dengan ragam bahasa tulis lainnya. Dalam ragam bahasa tulis, orang yang berbahasa tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang diajak berbahasa. Implikasinya, bahasa yang digunakan harus lebih terang dan jelas karena tujuannya tidak dapat disertai gerak isyarat, pandangan, anggukan, dan semacamnya sebagai tanda penegasan atau pemahaman terhadap informasi tertentu. Oleh karena itu, kalimat dalam ragam bahasa tulis harus lebih cermat sifatnya.

Sebagai sebuah ragam bahasa tulis, bahasa media idealnya harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, bahasanya mesti terpelihara. Penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah media sesuai dengan fungsinya sebagai media publik. Ia akan dibaca dan dinikmati oleh berbagai kalangan yang beragam, baik dari sisi tingkat usia dan pendidikan, status sosial-ekonomi, budaya, suku, maupun agama. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, keterangan, atau hubungan di antara fungsi-fungsi itu harus jelas dan nyata. Penggunaan bahasa media yang terpelihara, jujur, jernih, dan santun akan ikut menentukan kredibilitas media yang bersangkutan dalam meraih simpati publik. Ini artinya, aturan-aturan yang berlaku dalam penulisan harus dipatuhi. Kaidah-kaidah kebahasaan, seperti penggunaan ejaan, istilah, tanda baca, dan semacamnya sepenuhnya harus diperhatikan dan ditaati. Bahasa media yang terpelihara dengan baik akan diteladani publik dalam berbahasa secara baik dan benar.

Kedua, bahasa media juga harus lebih mudah dipahami. Karena tugasnya membawa berita; pesan, dan nilai-nilai moral kepada publik, bahasa dalam media harus mudah dipahami. Apa yang disampaikan dalam sebuah media jangan sampai menimbulkan penafsiran ganda yang dapat menggiring dan membangun opini publik secara keliru. Aspek-aspek konstruksi bahasa, seperti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, hendaknya dipilih secara cermat, netral makna, dan tunggal makna. Penggunaan konstruksi bahasa yang singkat dan padu jelas akan lebih tepat dan bermakna jika dibandingkan dengan penggunaan konstruksi bahasa yang berpanjang-panjang, berbelit-belit, dan bertele-tele.

Meskipun demikian, memasukkan dua syarat utama tersebut ke dalam kemasan bahasa media yang ideal bukanlah persoalan yang mudah. Penggunaan bahasa media seringkali menimbulkan persoalan dilematis. Pada satu sisi dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi, atau mengungkapkan unsur-unsur emosi, sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca. Namun, pada sisi lain, penggunaan bahasa media acapkali tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih, dan jujur jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.

Gejala Deviasi dalam Ragam Bahasa Media
Karena keterbatasan rubrikasi, koran sebagai salah satu media publik, seringkali terjebak dalam situasi dilematis semacam itu. Gejala deviasi atau penyimpangan bahasa seringkali muncul dalam pemberitaan yang disajikan.
Berikut ini disajikan beberapa contoh ragam bahasa koran yang mengalami gejala deviasi bahasa.

  1. “Dua pelajar Mencuri Beo Dimassa.” Tepatkah penggunaan bentuk “Dimassa” dalam kalimat tersebut? Salah satu arti “massa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sekumpulan orang yang banyak sekali” yang termasuk kelas nomina (kata benda). Dalam kaidah bahasa, bentuk “di” yang diikuti nomina (membentuk keterangan tempat) harus ditulis terpisah. Namun, seandainya ditulis terpisah, bentuk “Di Massa” tetap bukan bentukan yang benar, karena secara semantik tidak masuk akal. Antara morfem “di” dan “Massa” seharusnya disisipkan verba “hajar” atau “keroyok”, sehingga kalimatnya menjadi “Dua pelajar Mencuri Beo Dihajar (Dikeroyok) Massa.”

  2. “Tetapi dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar.” Konjungsi “tetapi” dalam kalimat tersebut seharusnya diganti dengan “Namun” atau “Akan tetapi” dan diikuti tanda koma (,). “Tetapi” merupakan konjungsi yang digunakan untuk menggabungkan antarklausa yang tidak bisa digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Namun, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar” atau “Akan tetapi, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar”.

  3. “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”. Dalam kalimat ini terjadi penghilangan kata “juga” yang seharusnya dicantumkan secara eksplisit untuk melengkapi kata “selain” yang digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi juga menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”.

  4. “Gubernur Irup di Simpang Lima”. Judul ini bisa menyesatkan pembaca. Kata “Irup” yang merupakan akronim dari “Inspektur Upacara” dalam kalimat tersebut bisa diartikan bahwa Irup adalah nama seorang gubernur. Jadi, kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi “Gubernur Menjadi Irup di Simpang Lima”.

  5. “Di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, seusai tirakatan, baru warga mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak. Antara lain, lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. Dua kalimat ini mengalami gejala hiperkorek, kesalahan struktur kalimat, dan ketidakpaduan antarklausa. Penggunaan frasa “seusai tirakatan”yang diikuti kata “baru” merupakan kerancuan struktur kalimat yang cukup mengganggu. Kalimat tersebut akan lebih tepat jika frasa “seusai tirakatan” diletakkan pada awal kalimat dan kata “baru” dihilangkan. Kedua kalimat tersebut akan lebih tepat jika diubah menjadi “Seusai tirakatan, warga di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak, antara lain: lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. ***



(Bersambung)
READ MORE - Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)

Diakui atau tidak, kesan bahwa sekolah baru sebatas menjalankan fungsinya sebagai tempat mentrasfer ilmu secara kognitif masih kuat melekat dalam imaji publik. Fungsinya sebagai pusat pembentukan nilai yang mengacu pada perubahan mendasar dalam sikap, perilaku, dan keterampilan siswa, belum dapat dilaksanakan secara optimal. Apalagi, di tengah pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang belum sepenuhnya menemukan ”bentuk” ideal, masih banyak hambatan yang dirasakan oleh sekolah dalam menjalankan fungsinya sebagai ”agen” perubahan.

Gedung yang kokoh dan mentereng belum bisa menjadi jaminan bahwa di dalamnya berlangsung suasana dan atmosfer pendidikan yang menggambarkan perilaku ilmiah para penghuninya. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Sekolah baru sebatas ”menggugurkan” kewajiban pendidikan sebagai sebuah institusi; menampung anak-anak, menyuapi mereka dengan setumpuk teori dan hafalan, dan jika tiba saatnya diluluskan. Perkara mereka memiliki bekal yang cukup untuk masa depannya atau tidak, itu soal lain, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah.

Tradisi Pengajaran
Pengajaran bahasa Indonesia pun tak luput dari situasi semacam itu. Banyak pengamat dan pemerhati pendidikan menilai, pengajaran bahasa Indonesia belum sepenuhnya mampu merangsang siswa untuk berlatih berbahasa, berpikir, dan melakukan curah pikir secara kritis, logis, dan kreatif. Bahkan, situasi pembelajaran berlangsung kaku dan menegangkan. Peserta didik tidak diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk bertanya-jawab dan berdialog dalam suasana yang terbuka dan menyenangkan.

Berdasarkan amatan saya, setidaknya ada empat tradisi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah yang hingga kini masih berlangsung sehingga membuat siswa merasa jenuh dan tidak tertarik terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Pertama, tradisi hafalan dan penguasaan teori. Aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, yang seharusnya dipadukan dalam bentuk praktik dan latihan berbahasa, lebih sering ditekankan pada aspek kognitif semata. Bahkan, untuk mengejar target nilai ujian nasional (UN), guru tak jarang mengambil jalan pintas dengan mencekoki setumpuk soal pilihan ganda (PG) yang diperkirakan akan muncul dalam UN. Nilai UN siswa mungkin bagus, tetapi siapa dapat menjamin kalau para siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai?

Kedua, tradisi memperlakukan siswa sebagai ”anak mami”. Sistem pendidikan di negeri kita yang bertahun-tahun lamanya terbelenggu dalam atmosfer kebijakan yang serba sentralistis, disadari atau tidak, telah melahirkan sebuah tradisi pemasungan kemerdekaan berpikir siswa di kelas secara berlebihan. Siswa yang baik dicitrakan sebagai ”anak mami” yang selalu tunduk, penurut, tidak banyak bertanya –apalagi mendebat—dan mengamini semua pernyataan gurunya. Siswa yang kritis justru tak jarang diberi stigma sebagai pembangkang, tidak hormat, dan berani kepada sang guru. Suasana kelas yang tenang, sepi, siswa duduk manis, telah dicitrakan sebagai situasi kelas yang baik dan ideal. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai kalau mereka tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk mengungkapkan isi hati, pikiran, dan perasaannya melalui proses interaksi dan curah pikir?

Ketiga, tradisi guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam upaya menegakkan kewibawaan, guru seringkali bersikap berlebihan di depan siswanya. Tak jarang para guru memerankan dirinya sebagai sosok yang serba tahu; alergi terhadap kritik dan pantang didebat. Di tengah perubahan dan dinamika zaman yang ditandai dengan menjamurnya informasi dari berbagai sumber (media cetak dan elektronik), bukan hal yang sulit bagi siswa untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan. Dalam kondisi demikian, agaknya dibutuhkan figur seorang guru yang tidak ”menyakralkan” dirinya sebagai sosok yang pantang didebat sepanjang perilaku siswa masih berada dalam batas-batas yang bisa ditoleransi.

Keempat, tradisi UN yang menggunakan bentuk soal PG untuk menguji kompetensi siswa. Terlepas dari kemudahan dalam menentukan standar nilai secara nasional, soal berbentuk PG jelas makin menjauhkan siswa dari praktik berbahasa. Bagaimana mungkin bisa menguji keterampilan mendengarkan, berbicara, dan menulis siswa melalui soal semacam itu?

Agenda Revitalisasi Pengajaran
Hakikat tujuan pengajaran siswa adalah untuk membantu anak dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Siswa bukan sekadar belajar bahasa, melainkan juga belajar berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang mendasar adalah kemampuan menangkap pesan dan makna, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan media bahasa. Berbekal kemampuan semacam itu, siswa diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar.

Dalam konteks semacam itu, siswa harus lebih sering diberikan kesempatan untuk berlatih berbahasa secara serius, total, dan berkesinambungan, kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, siswa akan selalu merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa kebahasaan yang pada gilirannya kelak mereka akan terbiasa untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Untuk menarik minat dan mendekatkan siswa terhadap pelajaran bahasa Indonesia, diperlukan upaya revitalisasi pengajaran secara serius dan sistematis. Pertama, guru dituntut kreativitasnya dalam menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang aktif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Siswa perlu diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk berdiskusi dan bercurah pikir secara dialogis. Selain dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengasah penalaran siswa, juga untuk melatih keterampilan berbahasa. Guru perlu membangun imaji bahwa bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang menarik dan menyenangkan.

Kedua, mengembalikan kemerdekaan berpikir siswa di kelas yang selama ini terampas akibat paradigma pendidikan masa lalu yang memperlakukan siswa sebagai ”tong sampah ilmu pengetahuan”. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan isi hati dan perasaan mereka secara terbuka sehingga terjadi interaksi dua arah; antara guru dan siswa. Sudah bukan saatnya guru memosisikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar.

Ketiga, membongkar tradisi UN yang menggunakan bentuk soal pilihan ganda (PG) yang dinilai telah gagal dalam menguji keterampilan berbahasa siswa secara utuh dan menyeluruh.

Keempat, menghidupkan kembali pelajaran mengarang di sekolah. Hal ini penting dan relevan dikemukakan sebab mengarang termasuk bagian pengembangan logika (akal). Dalam kegiatan mengarang terdapat aktivitas merangkaikan gagasan, berlatih mengeluarkan pendapat secara sistematis dan logis, menimbang-nimbang, memadukan aksi-aksi, berfantasi, dan semacamnya.

Melalui agenda revitalisasi pengajaran, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar dicintai dan dibanggakan oleh anak-anak bangsa sepanjang masa di tengah kencangnya gerusan budaya global. Bahasa Indonesia tidak semata-mata melekat sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, tetapi manunggal secara emosional dan afektif. Kemampuan dan penguasaan berbahasa Indonesia tidak hanya sebagai pengetahuan semata, tetapi juga sebagai kenikmatan. Semoga! (habis) ***
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)

Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

Seperti sudah banyak diungkap oleh para pemerhati dan pengamat bahasa Indonesia bahwa rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia tak hanya berlangsung di kalangan siswa, tetapi juga telah jauh meluas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, para pejabat yang secara sosial seharusnya menjadi anutan pun tak jarang masih ”belepotan” dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Mewabahnya penggunaan bahasa Indonesia bermutu rendah, kalau boleh disebut demikian, menurut hemat saya, lantaran belum jelasnya strategi dan basis pembinaan. Pemerintah cenderung cuek dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat Bahasa –sebagai tangan panjangnya—untuk menyusun strategi dan kebijakan. Namun, harus jujur diakui, strategi dan kebijakan Pusat Bahasa masih cenderung elitis. Artinya, kebijakan yang dilakukan Pusat Bahasa hanya menyentuh lini dan kalangan tertentu, seperti Jurusan Pendidikan Bahasa atau Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi. Sementara, Pendidikan Dasar dan Menengah yang seharusnya menjadi basis pembinaan justru luput dari perhatian. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada para guru bahasa. Layak dipertanyakan, sudahkah para guru bahasa Indonesia di sekolah memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi satu-satunya sumber dalam membumikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar?

Upaya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tampaknya akan terus terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan kejelasan strategi dan basis pembinaan. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku.

Melahirkan generasi yang memiliki idealisme dan apresiasi tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar memang bukan hal yang mudah. Meskipun demikian, jika kemauan dan kepedulian dapat ditumbuhkan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang perlu segera digarap. Pertama, menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan keteladanan dalam hal penggunaan bahasa, bukannya malah melakukan ”perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang selama ini kita saksikan. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menciptakan iklim berbahasa yang kondusif; mampu menjadi media alternatif dan ”patron” berbahasa setelah orang tua dinilai gagal dalam memberikan keteladanan.

Kedua, menyediakan buku yang ”bergizi”, sehat, mendidik, dan mencerahkan bagi dunia anak. Buku-buku yang disediakan tidak cukup hanya terjaga bobot isinya, tetapi juga harus betul-betul teruji penggunaan bahasanya sehingga mampu memberikan ”vitamin” yang baik ke dalam ruang batin anak. Perpustakaan sekolah perlu dihidupkan dan dilengkapi dengan buku-buku bermutu, bukan buku ”kelas dua” yang sudah tergolong basi dan ketinggalan zaman. Pusat Perbukuan Nasional (Pusbuk) yang selama ini menjadi ”pemasok” utama buku anak-anak diharapkan benar-benar cermat dan teliti dalam menyunting dan menganalisis buku dari aspek kebahasaan.

Ketiga, menjadikan sekolah sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Di sanalah jutaan anak bangsa memburu ilmu. Bahasa Indonesia jelas akan menjadi sebuah kebanggaan dan kecintaan apabila anak-anak di sekolah gencar dibina, dilatih, dan dibimbing secara serius dan intensif sejak dini. Bukan menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini membutuhkan kesiapan fasilitas kebahasaan yang memadai di bawah bimbingan guru yang profesional dan mumpuni.

Dengan menjadikan sekolah sebagai basis dan sasaran utama pembinaan bahasa, kelak diharapkan generasi bangsa yang lahir dari ”rahim” sekolah benar-benar akan memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa negerinya sendiri, tidak mudah larut dan tenggelam ke dalam kubangan budaya global yang kurang sesuai dengan jatidiri dan kepribadian bangsa. Bahkan, bukan mustahil kelak mereka mampu menjadi ”pionir” yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Iptek yang berwibawa dan komunikatif di tengah kancah percanturan global, tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sebagai bangsa yang tinggi tingkat peradaban dan budayanya.

Dalam lingkup yang lebih kecil, melalui penguasaan bahasa Indonesia secara baik, mereka akan mampu menjadi ”penasfir” dan ”penerjemah” pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga mampu menjadi sosok yang cerdas, bermoral, beradab, dan berbudaya. Persoalannya sekarang, sudah siapkah sekolah dijadikan sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia? Sudahkah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah berlangsung seperti yang diharapkan? Sudah terciptakah atmosfer pengajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga mampu menarik dan memikat minat siswa untuk belajar bahasa Indonesia secara total dan intens? *** (bersambung)
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

Contreng, Centang, Conteng

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan kata contreng. Kata ini populer ketika suatu lembaga (KPU) dan Parpol mensosialisasikan cara pemilihan dengan contreng. Agar tidak terjadi kesalahtafsiran, istilah contreng tergolong kata yang tidak baku. Bagi kalangan tertentu (partai politik) kata contreng mungkin tidak banyak dipersoalkan, tetapi bagi kalangan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dan benar kata contreng belum dibenarkan. “Ada yang berpendapat bahwa yang penting rakyat mengerti. Jadi, penggunaan kata atau istilah apa pun boleh-boleh saja.” Menurut hemat penulis penggunaan contreng termasuk arbiter (semena-mena atau sesukanya) dan hanya berlaku untuk kalangan terbatas (meskipun kata itu belum dibakukan dalam Bahasa Indonesia).

Centang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), centang memiliki makna sebagai berikut:

* cen·tang /céntang/ (nomina), yang berarti ‘tanda koreksi, bentuknya seperti huruf V atau tanda cawang.’ Jika diberi awalan /me-/ menjadi men·cen·tang (verba) yang berarti ‘membubuhi coretan tanda koreksi (V);
* Jika cen·tang /céntang/ dijadikan bentuk perulangan, menjadi cen·tang-pe·re·nang (ajektiva), yang berarti ‘tidak beraturan letaknya (malang melintang dsb.); porak-parik; berantakan.’ Contoh: Segalanya centang-perenang di ruangan itu .
* ke·cen·tang-pe·re·nang·an (nomina), yang berarti ‘keadaan yang centang-perentang.’ Contoh: Kecentang-perenangan dalam mengatur jadwal sering terjadi jika dilakukan terburu-buru .

Kata ‘centang ’ dipakai di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2), 3), dan 4) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 yang isinya, yaitu:

tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan:

1. menggunakan alat yang telah disediakan;
2. dalam bentuk tanda V (centang ) atau sebutan lainnya ;
3. pemberian tanda V (centang ) atau sebutan lain , dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota;
4. pemberian tanda V (centang) atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD;

Conteng
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), conteng memiliki makna sebagai berikut:

* con·teng /conténg/ (nomina), yang berarti coret (palit) dengan jelaga, arang, dsb.; coreng;
* ber·con·teng-con·teng (verba), yang berarti ‘ada conteng-contengnya; bercoreng-coreng (dengan arang, jelaga, dsb.).’ Contoh: Mukanya berconteng-conteng; Papan tulis itu berconteng-conteng dengan kapur.
* men·con·teng (verba), yang berarti ‘mencoreng dengan arang (tinta, cat, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng alisnya dengan arang; Menconteng arang di muka. (peribahasa), yang artinya ‘memberi malu.’
* men·con·teng-con·teng (verba), artinya ‘mencoreng-coreng (memalit-malit, mencoret-coret) dengan arang (tinta, kapur, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng-conteng dinding rumah kami .
* men·con·teng·kan (verba), artinya ‘mencorengkan; memalitkan.’ Contoh: Ibarat mencontengkan arang di dahi sendiri (Peribahasa).
* ter·con·teng (verba), memliki dua arti: 1. ’sudah diconteng(kan); 2. kena noda (aib, malu). Contoh: Terconteng arang di muka. (Peribahasa), yang artinya ‘mendapat malu.’

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa “contreng“ termasuk istilah belum baku. Menurut hemat penulis kata “contreng“ ini baru muncul pada saat seseorang memberikan sosialisasi menjelang Pemilu 2009. Hal ini terjadi karena di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2) dan 3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 memungkinkan seseorang menggunakan sebutan lainnya . Oleh karena itu, muncullah istilah contreng. Oleh sebagian orang, hal itu turut dibenarkan dan turut pula disosialisasikan kepada masyarakat, padahal dalam Bahasa Indonesia maknanya belum ditemukan. (Red: tantangan bagi Penyusun Kamus Bahasa Indonesia).

Kata “centang“ merupakan istilah yang baku. Tanda “centang“ berarti pula memberikan tanda check atau tanda koreksi (V). Jika di dalam pemilihan umum nanti yang dimaksdukan memberi tanda check atau tanda koreksi (V) pada nomor atau angka seorang calon maka pemakaian kata “centang“ lebih tepat digunakan.

Kata “conteng“ memang tergolong kata baku, namun kata “conteng“ kurang tepat jika dipakai dalam konteks Pemilihan Umum 2009, sebab akan banyak bentuk coretan yang dilakukan masyarakat. Secara etimologi ‘conteng’ berarti coret. Yang dimaksud dengan coret dapat berarti memberi tanda check (V), silang (X), = (sama dengan), atau coreng dengan tinta, arang, atau apa saja. ***

Sumber: http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/20/contreng-centang-conteng/
READ MORE - Contreng, Centang, Conteng

BEBAS PARKIR = BOLEH PARKIR ATAU DILARANG PARKIR?

Di berbagai tempat di dalam kota Jakarta, terpampang tulisan KAWASAN BEBAS ROKOK, (No Smoking Area) artinya kalau Anda berada di kawasan itu, Anda dilarang merokok. Begitu pula dengan semua pesawat lin domestik adalah penerbangan BEBAS ASAP ROKOK (No Smoking Flight).

Sebelum naik ke pesawat penerbangan internasional, biasanya turis asing melihat-lihat di toko-toko yang menjual barang-barang BEBAS CUKAI (duty free) dalam bandara, artinya barang-barang yang dijual di situ tidak dikenakan cukai. Kalau Anda rajin membaca koran, Anda akan menemukan pula kata-kata seperti BEBAS BANJIR, BEBAS BECAK, BEBAS MALARIA dll.

Pengertian BEBAS dalam kata-kata, BEBAS ROKOK, artinya dilarang merokok. BEBAS CUKAI, artinya tidak dikenakan cukai, BEBAS BANJIR, artinya tidak ada bahaya dilanda banjir, BEBAS BECAK, artinya jalan-jalan yang tidak boleh dilalui becak. BEBAS MALARIA, artinya tidak terdapat wabah malaria.

Nah, bagaimana dengan tulisan BEBAS PARKIR yang masih terpampang di depan sejumlah apotek, pasar swalayan atau tempat-tempat tertentu? Samakah artinya dengan BEBAS ROKOK atau BEBAS CUKAI?

Justru BEBAS PARKIR mengandung pengertian sebaliknya, bahwa di tempat itu tidak dilarang parkir. Jadi Anda boleh parkir seenaknya. Seharusnya kalau ingin supaya tempat itu tidak boleh digunakan untuk parkir harus ditulis DILARANG PARKIR (no parking) dan bukan BEBAS PARKIR (free parking). Rupanya kesalahan ini tidak disadari…!!!

Di mana letak kesalahannya? Kalau kita melihat kata BEBAS ROKOK, misalnya, kata rokok adalah kata benda. Begitu pula dengan kata cukai, becak, banjir, dan malaria. Sedangkan kata parkir bukan kata benda melainkan kata kerja. Kalau kata BEBAS diikuti kata kerja, justru akan mengandung arti sebaliknya. Misalnya BEBAS ROKOK, artinya dilarang merokok, tetapi dalam hal BEBAS MEROKOK, artinya Anda boleh merokok sepuas-puasnya. Jadi sebaiknya tulisan BEBAS PARKIR diganti dengan DILARANG PARKIR kalau tujuannya supaya kendaraan tidak boleh parkir di situ.

Yah, suatu kekeliruan kecil yang bisa menimbulkan kesalahfahaman besar karena tidak menguasai pemakaian bahasa Indonesia dengan teliti dan cermat. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa36.html
READ MORE - BEBAS PARKIR = BOLEH PARKIR ATAU DILARANG PARKIR?

Kesalahan Umum: Mempengaruhi-Memperhatikan-Memperkosa

Kalau membaca berita atau artikel dalam media massa, kita masih menjumpai kata-kata, seperti : mempengaruhi, memperhatikan, memperkosa dan sebagainya. Namun dilihat, dari segi tata bahasa baku, khususnya pemakaian awalan "me-"pada kata-kata tersebut tidak tepat.

Anda pernah belajar bahwa, huruf awal kata dasar "p"bila diberi awalan "me-", huruf "p" mengalami pelunturan menjadi "m".

Contoh:


















kata dasarawalan "me-"
periksamemeriksa (bukan memperiksa)
perintahmemerintah (bukan memperintah)
peliharamemelihara (bukan mempelihara)

Dengan demikian, secara konsekuen,kata-kata berikut ini pun harus mengikuti kaidah tersebut di atas.

Contoh:






































kata dasarawalan "me-"
pengaruhmemengaruhi (bukan mempengaruhi)
perhatimemerhatikan (bukan memperhatikan)
perkosamemerkosa (bukan memperkosa)
perincimemerinci (bukan memperinci)
positifmemositifkan (bukan mempositifkan)
pesonamemesona (bukan mempesona)
percayamemercayai (bukan mempercayai)
populermemopulerkan (bukan mempopulerkan)

Namun, ada juga beberapa kata yang mungkin merupakan perkecualian(?)

Contoh:














kata dasarawalan "me-"
perkaramemperkarakan (bukan memerkarakan)
punyamempunyai (bukan memunyai)

________________________________________________________________________

Mudah-mudahan penjelasan singkat tersebut di atas dapat bermanfaat bagi Anda untuk mengetahui perbedaan pemakaian kata-kata yang sering dipakai dalam media massa maupun percakapan dan dianggap lumrah. Namun dari segi tata bahasa baku merupakan kesalahan umum. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa33.html
READ MORE - Kesalahan Umum: Mempengaruhi-Memperhatikan-Memperkosa

AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA KEPADAMU, ATAU AKU CINTA KAMU?

Pada Hari Kasih Sayang (Hari Valentine) atau hari ulang tahun (ultah), mungkin Anda menerima sekotak coklat Godiva, Morozoff, atau hadiah lain dari istri, suami, pacar atau teman tapi mesra (TTM) dengan tulisan apik: AKU CINTA PADAMU … Ungkapan rasa kasih sayang dan cinta sangat bervariasi baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.

Benarkah pemakaian: “Aku cinta padamu” atau “Aku cinta kepadamu” menurut kaidah bahasa Indonesia yang baku?
Marilah kita simak pemakaian kata depan (preposisi) “pada” dan “kepada”.

1. Kata depan (preposisi) Pada
(1) Kalau kata depan “di” digunakan untuk menyatakan “tempat yang sebenarnya”, (di Tokyo, di kamar dll.) maka kata depan “pada” diletakkan di muka kata benda (nomina) atau frase benda yang “bukan nama tempat sebenarnya” (pada perusahaan, pada departemen dll.) sebagai varian dari kata depan “di”.
Contoh:
a. Dia bekerja sebagai supir pada sebuah perusahaan dagang di Tokyo..
b. Perasaan sedih dan sepi masih terbayang pada wajahnya.
c. Aku ingin tahu,masih adakah perasaan cinta pada dirimu?

(2) Kata depan “pada” digunakan untuk menyatakan “tempat keberadaan.”. Letaknya di muka kata ganti orang (pronomina), nama perkerabatan, nama pangkat dan gelar.
Contoh:
a. Kunci kamarmu ada pada ibu.
b. Pada saya ada beberapa foto kenangan bersama kamu.
c. Oleh-oleh untuk kamu saya titipkan pada Maria.

Catatan:
Kata depan “pada” sebaiknya tidak digunakan di depan obyek dalam kalimat yang predikatnya mengandung makna “tertuju terhadap sesuatu”. Dalam hal ini kata depan “pada” sebaiknya diganti dengan kata depan “kepada”.
Contoh:
a. Dia minta tolong pada ayahnya. (x)
? Dia minta tolong kepada ayahnya.(?)
b. Kecaman itu ditujukan pada pemerintah.(x)
? Kecaman itu ditujukan kepada pemerintah.(?)
c. Hadiah ini kuberikan sebagai tanda cinta pada kamu.(x)
? Hadiah ini kuberikan sebagai tanda cinta kepada kamu. (?)

2. Kata depan (preposisi) Kepada
(1) Kata depan “kepada” digunakan untuk menyatakan “tempat yang dituju”. Letaknya di depan obyek dalam kalimat yang predikatnya mengandung makna “tertuju terhadap sesuatu”. Kalau kata depan “ke” menyatakan “arah tempat yang sebenarnya”, maka kata depan “kepada” menyatakan “arah tempat yang tidak sebenarnya”.

Contoh:
a. Kami ke pos polisi untuk melaporkan hal itu kepada polisi.
b. Mereka akan minta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
c. Setiap tamu yang datang ke desa itu harus melapor kepada kepala desa.

(2) Sebagai varian kata depan “akan” dapat digunakan kata depan “kepada” untuk menyatakan “arah yang dituju”.
Contoh:
a. Pada malam hari anak itu takut sekali kepada hantu.
b. Dia selalu ingat kepada pacarnya yang tinggal di Bandung.
c. Karyawan itu ditegur karena lupa kepada kewajibannya

Setelah meneliti uraian singkat tentang pemakaian kata depan “pada” dan “kepada” di atas, lalu timbul pertanyaan, manakah ungkapan yang tepat ? “Aku cinta padamu” atau “Aku cinta kepadamu”? Nah, bagaimana pendapat Anda? Nah, ungkapan yang benar seharusnya: “AKU CINTA KAMU” tanpa kata depan “pada” atau “kepada”. Mengapa? Tidak sulit. Bukankah dalam bahasa Inggris digunakan ungkapan “ I LOVE YOU”, atau bahasa SMS-nya ILU, dan bukan “I love to you”(IL2U)? Namun, dalam soal ungkapan rasa cinta tidak perlu kaidah tata bahasa yang rumit. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa31.html
READ MORE - AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA KEPADAMU, ATAU AKU CINTA KAMU?

PEMBENTUKAN KATA DENGAN UNSUR LAIN (II)

11. eks
Pembentukan kata baru dengan kata eks memberi makna “bekas” atau “mantan”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
ekspacar = mantan pacar ekspegawai = bekas/mantan pegawai
ekspetinju = mantan petinju eksnarapidana = bekas narapidana

12. ekstra
Pembentukan kata baru dengan kata ekstra memberi makna “di luar”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
ekstrakurikuler = (kegiatan yang) berada di luar program yang tertulis dalam kurikulum
ekstramarital = (hubungan seks) di luar nikah
ekstraparlementer = di luar parlemen

13. intra
Pembentukan kata baru dengan kata intra bermakna “di dalam”, “bagian dalam” Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
intrakalimat = ada di dalam kalimat
intraorganisasai = dalam organisasi
intrauniversiter = (kegiatan) dalam perguruan tinggi

14. super
Pembentukan kata baru dengan kata super bermakna “sangat”, “lebih tinggi” atau “di atas”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
supersibuk = sangat sibuk ?superstar = mahabintang
supernatural = adikodrati;alam gaib ? supercepat = luar biasa cepat

15. semi
Pembentukan kata baru dengan kata semi bermakna “setengah” atau “sebagian”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
semifinal = menjelang final
semiresmi = sebagian resmi
semipermanen = dibuat untuk jangka panjang, tetapi tidak permanen

16. adi
Pembentukan kata baru dengan kata adi bermakna “unggul”, “besar”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
adikarya = karya agung ??aditokoh = tokoh utama
adimarga = bulevar ? ?adidaya = adikuasa

17. nara
Pembentukan kata baru dengan kata nara bermakna “orang”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
narapidana = terhukum narasumber = informan

18. swa
Pembentukan kata baru dengan kata swa bermakna “sendiri”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
swakelola = pengelolaan sendiri
swalayan = pelayanan sendiri
swasembada = usaha mencukupi kebutuhan sendiri
swakarya = hasil karya sendiri

19. pasca
Pembentukan kata baru dengan kata pasca bermakna “sesudah”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
pascapanen = masa sesudah panen
pascaoperasi = sesudah menjalani operasi
pascasarjana = tingkat pendidikan sesudah sarjana
pascareformasi = keadaan sesudah reformasi

20. purna
Pembentukan kata baru dengan kata purna bermakna “selesai”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
purnabakti = pensiun
purnawirawan = pensiunan tentara atau polisi
purnajual = pelayanan penjualan lebih lanjut setelah transaksi (pascajual)
purnatugas = keadaan setelah berakhir masa tugas

Kata-kata bilangan bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sankrit merupakan unsur terikat, yaitu penulisannya diserangkaikan dengan kata berikutnya.

eka = satu; tunggal
ekakarsa = satu kehendak; satu niat
ekamatra = satu dimensi

dwi = dua
dwibahasa = bilingual
dwifungsi = fungsi ganda
dwiganda = rangkap; dobel

tri = tiga
triwulan = tiga bulan; satu kuartal
tripartit = tiga pihak
tripod = kaki tiga (kamera)

catur = empat
caturwulan = empat bulan
caturwarga = empat warga
caturtunggal = empat unsur yang menjadi satu

panca = lima
pancaindra = lima jenis alat perasa
pancasila = lima asas negara Republik Indonesia
pancawarsa = peringatan lima tahun

sapta = tujuh
saptadarma = tujuh kewajiban
saptapesona = tujuh jenis usaha pemerintah yang meliputi tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan untuk menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia

dasa = sepuluh
dasawarsa = peringatan sepuluh tahun
dasasila = sepuluh ketentuan dasar
dasalomba = perlombaan pada cabang olahraga atletik yang terdiri atas sepuluh nomor

***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa30.html
READ MORE - PEMBENTUKAN KATA DENGAN UNSUR LAIN (II)