LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA

LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA*

Maman S Mahayana

horisonLokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu, diandaikan pula seperti berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.

Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik—pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.1

Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.

Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan melalui garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah sejalan dengan lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan sebagai budaya daerah.

Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan lahirnya usaha membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal yang dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk kebudayaan nasional. Dalam hal ini, ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan lokal yang secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi pusat—daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana. Relasinya hegemonik, sebab yang ada adalah kecenderungan budaya yang satu melakukan hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal. Pandangan dikotomis semacam itu cenderung diskriminatif karena menempatkan yang satu (pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lainnya (daerah).2

***

Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.

Lokalitas dalam sastra bukanlah sekadar ruang (space), locus, tempat (place) atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, tetapi mesti dimaknai dalam ranah budaya. Secara struktural, lokalitas dalam sastra kerap dimaknai sebagai wilayah, tempat, kondisi, atau situasi dalam teks yang menggambarkan para pelaku memainkan perannya. Lokalitas seperti mengalami pereduksian menjadi sekadar latar (setting) dalam teks yang mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran tentang masyarakat budaya.


Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.3

Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang dinamis dan tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik, dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.

Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Akibatnya, sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.

Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.4 Demikian juga hubungan sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling mempengaruhi.

***

Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya,6 menyebut Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//

Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah darahku”7 menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi: wilayah, bangsa, dan bahasa.8

Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya menuntut pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga menuntut pembaca memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.

***

Lokalitas dalam sejumlah besar novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka memperlihatkan terjadinya perang ideologi. Di satu pihak, Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial mengemban tugas suci kolonialisme dengan menerapkan sejumlah syarat dan aturan main, dan di pihak lain, berdiri para pengarang Indonesia yang bagaimanapun juga menyadari tugas suci nasionalisme. Sebagai contoh kasus, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, misalnya, seperti merepresentasikan perang ideologi itu.

Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.

Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.

Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.

Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi yang semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi dua kutub ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal tertentu bermakna negatif. Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban dan sekaligus juga pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang dalam beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur leluhur dan hidup di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai pecundang.9

Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan karikaturis.10 Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.11

Perdebatan Timur—Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang kemudian diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya lebih merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional Barat. Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan marjinalisasi dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas dunia Barat. Tentu saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati karya-karya yang berada di luar jalur Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja dibiarkan tanpa suara, dituding sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman picisan. Di dalam novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan banyak menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang pemabuk, keluar—masuk rumah bordil, bahkan juga potret dunia pernyaian yang terjadi ketika itu.

Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme (Barat). Lokalitas digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan sebaliknya. Citra bangsa Barat –kecuali Jerman dan Italia yang menjadi sekutu Jepang—kerap digambarkan sebagai bangsa yang serakah yang pada akhirnya menjadi pecundang.

***

Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan pembaca, seketika itu pula simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir dan mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan. Dengan demikian, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang titik berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.

Perhatikan teks berikut ini:
    Aston kelihatan kaget. Ia melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang mengikutinya…. Sebuah komidi puter dengan ributnya memanggil anak-anak kampung dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es, ribut mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak mau minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk mobil penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan … itu agak kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami—istri muda dengan tenang mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat. Di pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa anak mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan. Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan. (Putu Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10—11).
Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain, karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.

Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:

LUKA

ha ha

Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri, melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode bahasa, kode sastra, kode budaya.

Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula kegagalan membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang mendekam di belakang teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang berada di belakang teks, problem lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi mantra, pantun, gurindam, dan tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan diizinkan menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra menjadi begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat pemberhentian terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan sebagai tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai dirumuskan.

Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin, lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas—globalitas adalah konsepsi yang secara spasial bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit, bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam medan tafsir.

***

Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan perjalanannya sampai entah ke mana.

Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada ketersesatan. ***

Sumber: mahayana-mahadewa.com
READ MORE - LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA

Cerita Rekaan dan Daya Jelajah Karakter Manusia

Cerita rekaan yang saya maksud adalah cerita rekaan yang ditulis berdasarkan khayalan, tetapi mengandung nilai-nilai sastra. Sedangkan, cerita rekaan yang digarap secara vulgar (kasar) tanpa mempertimbangkan bobot sastranya tidak termasuk dalam lingkup pembicaraan ini. Sebuah cerita rekaan dikatakan mengandung nilai-nilai sastra jika memenuhi tiga ciri utama, di antaranya adanya unsur rekaan, imajinasi (daya angan) sebagai basis penciptaan, dan adanya penemuan-penemuan kreatif. Dengan demikian, jika ada salah satu unsur ciri yang tidak digarap, cerita tersebut kurang memiliki bobot ditilik dari kandungan nilai-nilai sastranya.

Persoalannya sekarang, benarkah dengan banyak membaca cerita rekaan, khazanah batin seorang pembaca akan semakin kaya? Nah, untuk menjawabnya, mari kita mencoba melacaknya dari sudut pandang eksistensi penulis, cerita rekaan, dan publik (pembaca). Mengapa mesti menggunakan ketiga sudut pandang itu? Yup, menurut pemahaman awam saya, ketiga elemen tersebut membentuk keterkaitan yang padu sehingga sulit dipisahkan kehadirannya. Dari sudut pandang penulis, seorang penulis mustahil berproses kreatif tanpa ada tendensi tertentu yang ingin dicapai lewat karyanya. Penulis memiliki semacam komitmen dan tanggung jawab moral untuk bisa ikut berkiprah dalam melakukan sebuah perubahan. Nah, komitmen mereka kemudian disalurkan lewat media tulisan. Dari tulisan itulah akhirnya pembaca dapat menangkap visi pengarang dalam memandang dunia, latar belakang sosiokultural, landasan filosofis, dan sejumlah pengalaman lain yang digunakan untuk membangun cerita.

Dari sudut pandang pembaca, seorang pembaca melalui daya serapnya akan memberikan nilai lebih kepada pengarang yang benar-benar memiliki komitmen dan tanggung jawab moral dalam upaya melakukan sebuah perubahan dan berupaya memperbaiki kondisi masyarakat yang "sakit" melalui persoalan-persoalan yang digarap melalui ceritanya. Dengan cara demikian, khazanah batin pembaca akan terasupi gagasan, pendapat, sikap, dan keyakinan sang penulis yang secara sugestif mampu memberikan bahan renungan dan katharsis batin mengenai berbagai persoalan dan fenomena kehidupan.

Dari sudut pandang cerita rekaan, melalui cerita rekaan yang telah berhasil disuguhkan sang pengarang, pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya secara bebas terhadap tokoh-tokoh cerita sehingga pembaca memperoleh sentuhan manusiawi dalam upaya menyiasati berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran apabila sebuah cerita rekaan seringkali mampu memukau pembaca melalui lukisan-lukisan tokoh cerita yang begitu hidup dan memikat sehingga secara sugestif pembaca berupaya meneladani sikap dan karakter sang tokoh cerita.

Selain itu, pembaca juga dapat menikmati berbagai pengalaman hidup yang dapat membawa alam imajinasinya terbang jauh ke berbagai persoalan hidup yang tak mungkin dijangkau oleh pancainderanya. Dengan membaca buku Catatan Harian karangan Anne Frank, misalnya, batin pembaca diajak untuk menyiasati suka-duka sebuah keluarga Yahudi yang terpaksa menyembunyikan diri di atas loteng sebuah rumah waktu pendudukan Jerman. Atau, pada saat membaca cerpen “Kisah Sebuah Celana Pendek”-nya Idrus, batin pembaca diajak untuk menyusupi lorong kehidupan wong cilik yang harus bergulat dengan kesengsaraan yang mencekiknya pada saat Jepang berkuasa setelah pecahnya Perang Pasifik tahun 1941. Orang-orang gedhean mencurahkan perhatiannya pada persoalan politik, tetapi wong cilik harus meratapi nasibnya karena kelaparan. Saya kira masih banyak cerita rekaan lain yang sanggup menyuburkan sikap humani pembaca di tengah atmosfer global yang dinilai mulai abai terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Melalui style (bahasa) dan muatan isi dalam cerita rekaan, pembaca akan terbuka mata batinnya dalam menerima pengalaman-pengalaman baru yang begitu kompleks. Bahasa dalam cerita rekaan adalah bahasa bebas, bahkan dengan bebasnya pengarang berupaya untuk tidak terbelenggu oleh benturan dimensi ruang dan waktu sehingga sanggup mengekspresikan perasaannya dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca. Bahan yang diolah pengarang pada umumnya adalah persoalan yang aktual, menarik, dan mampu merangsang pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia yang sesungguhnya sehingga bisa menumbuhkan wawasan dan pandangan baru bagi pembaca dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, batin pembaca akan diwarnai oleh berbagai ragam pengalaman yang majemuk yang melingkupi sosok kehidupan manusia.

Ada semacam kepuasan batin ketika publik berhadapan dengan sebuah cerita rekaan yang sarat dengan nilai-nilai sastra. Tanpa disadari, batin pembaca akan terasupi oleh hal-hal filosofis dan kesejatian hidup yang mengungkap tentang berbagai persoalan kehidupan, beragam karakter manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beragam persoalan sosial-budaya yang melingkupi paguyuban masyarakat secara komunal. Unsur style dan muatan isi cerita rekaan semacam itulah yang bisa membuka mata batin pembaca terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan sehingga khazanah batinnya semakin kaya.

Melalui kekuatan intuitifnya, pembaca dapat mengenal beragam karakter manusia yang terus berkutat dengan segala macam persoalan yang dihadapi manusia pada masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang. Yang jelas, dengan banyak membaca cerita rekaan yang tinggi kandungan nilai sastranya, khazanah batin pembaca akan semakin kaya lantaran terisi oleh pengalaman-pengalaman baru yang unik yang belum tentu dapat diperoleh secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. ***


READ MORE - Cerita Rekaan dan Daya Jelajah Karakter Manusia

Sastra Koran dan Imaji tentang Kekerasan

Tradisi penulisan teks sastra lewat koran (sastra koran) sudah lama muncul. (Hampir) semua sastrawan kondang memanfaatkannya. Gerson Poyk, Abdul Hadi WM, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Gus Mus, Hamsad Rangkuti, atau Afrizal Malna –sekadar menyebut beberapa nama—adalah sederet tokoh yang dengan amat sadar ”menggauli” koran sebagai ”corong” kreativitasnya dalam berkesenian. Hampir mustahil seorang sastrawan bisa terangkat namanya secara otomatis tanpa harus bersentuhan dengan koran. Bahkan, bagi penerbit, sastra koran barangkali dijadikan sebagai ”barometer” untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbirkan sebagai buku. Itu artinya, koran, disadari atau tidak, memiliki andil besar dalam melambungkan nama seorang sastrawan.

Sayangnya, tidak semua penerbitan (koran) sanggup dan mampu bertindak sebagai ”juru bicara” sang sastrawan, apalagi ketika harga kertas melambung. Tidak sedikit koran yang terpaksa menggusur rubrik sastra. Koran pun jadi lebih banyak menyajikan berita-berita politik dan ekonomi yang ”memanas”, demo menolak kenaikan BBM, aksi-aksi kekerasan yang mengerikan, pernyataan para elite yang kontroversial, atau penanganan kasus hukum yang stagnan. Hanya penerbitan tertentu yang dengan setia menghadirkan tulisan yang humanis, menyentuh nurani, dan menyejukkan. Selebihnya, adalah penerbitan yang sering disebut orang sebagai ”pers provokator”. Tidak bikin sejuk, tetapi secara emosional malah bikin suasana makin panas dan mudah terkompori.

Sebagai salah satu entitas kebudayaan, sastra akan makin bermakna jika didukung media publikasi dan sosialisasi yang memadai. Salah satunya ya lewat koran itu tadi. ”Pulchrum dicitur id apprensio” (keindahan jika ditangkap menyenangkan), demikian ujar sang filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Ini artinya, keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media sosialisasi dan publikasi. Bagaimana mungkin publik mampu menangkap keindahan cerpen surealis Danarto yang fantastik dan teatrikal, cerpen Seno Gumira Ajidarma yang ”liar”, romantik, dan menghanyutkan, atau puisi-puisi Abdul Hadi WM yang religius, kalau tak ada media yang memuatnya? Bagaimana mungkin nama-nama mereka bisa dikenal publik sastra?

Dari sisi ini jelas bahwa keberadaan koran menjadi hal yang niscaya bagi kiprah dan kreativitas seorang sastrawan, khususnya bagi mereka yang sedang memburu popularitas. Untuk langsung mengirimkan setumpuk karyanya kepada penerbit buku? Alih-alih diterima, disentuh pun bisa jadi tidak, apalagi buku-buku sastra termasuk jenis buku yang ”mati” di pasaran.

Ada juga asumsi yang menyatakan bahwa sastra koran diragukan bobot dan kualitasnya. Asumsi ini beranjak dari kenyataan bahwa kreativitas sastrawan mesti ”tunduk” dan ”patuh” pada selera redaksi sehingga menutup kebebasan sastrawan dalam menciptakan teks-teks sastra yang ”liar” dan menentang arus. Selain itu, redaksi koran juga dinilai ”kurang adil” dalam memperlakukan para penyumbang tulisan. Mereka yang sedang berjuang mengukir sejarah kesastrawanannya untuk mendapatkan legitimasi publik harus menelan kekecewaan lantaran tulisan-tulisan kreatifnya tak muncul-muncul di koran. Ironisnya, tulisan sastrawan kondang yang secara tematik dan penggarapannya dianggap kurang intens dan serius, justru bertebaran di berbagai koran.

Asumsi semacam itu memang sah-sah saja. Namun, sepanjang pengamatan awam saya, teks-teks sastra koran yang muncul –tak peduli siapa penulisnya—secara sastrawi dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dari sisi bobot dan kualitasnya layak digolongkan sebagai karya sastra yang sarat nilai kultural, relogi, dan kemanusiaan. Selain itu, pimpinan redaksi tentu tak akan gegabah menaruh sembarang orang untuk menjaga ”gawang” rubrik sastra. Paling tidak, mereka yang pernah eksis berkiprah di dunia sastra dan berwawasan estetika yang mumpuni --tidak semata-mata memiliki keterampilan jurnalistik-- yang layak mengurusnya.

Di tengah atmosfer kehidupan bangsa yang makin rentan terhadap imaji kekerasan, disintegrasi sosial, atau ulah anomali sosial lainnya, sudah tiba saatnya koran menjadi media alternatif, semacam katharsis dan pencerahan batin, untuk ikut peduli meredam emosi pembaca lewat teks-teks sastra, baik kreatif maupun literer, yang mampu membikin hati sejuk, penuh sentuhan nilai kemanusiaan dan religi. Melalui teks sastra inilah denyut kehidupan manusia yang sebenarnya dapat dirasakan dan diraba. Dengan banyak membaca teks sastra, pembaca makin arif dan jernih dalam menyiasati berbagai fenomena hidup dan kehidupan.

Akankah ”sinergi” antara sastra dan koran makin menguat atau justru amburadul direnggut ”mulut-mulut” industrialisasi dan kapitalisasi global yang sulit terelakkan? Nah, sang waktulah yang akan menjadi saksi. ***

Keterangan: Gambar sepenuhnya merupakan karya Mas Dwijo D. Laksono


READ MORE - Sastra Koran dan Imaji tentang Kekerasan

Jika Tak Ingin Dihujat, Jangan Korupsi!

Panggung sosial di negeri ini agaknya sedang menampilkan lakon keterasingan hidup. Sebuah situasi yang sangat paradoksal. Di tengah dinamika peradaban yang demikian gegap-gempita menyajikan repertoar-repertoar global yang genuine dan beradab, Indonesia justru menampilkan ikon dan citra korup yang membuat wajah bangsa kian tercoreng. Terkuaknya megaskandal maklar kasus, mafia perpajakan, mafia hukum, mafia peradilan, atau mafioso-mafioso yang lain, yang melibatkan banyak tokoh penting di negeri ini, makin menguatkan bukti betapa keterasingan hidup sedang melilit para aktor sosial “mainstraim” kita.

Betapa tidak? Tingginya jabatan dan kekuasaan ternyata tidak bisa menjadi jaminan seseorang mampu menemukan kebahagiaan. Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kebahagiaan sesungguhnya bukan untuk dicari, melainkan diciptakan. Dus, para aktor sosial yang sedang tersandung masalah hukum bisa jadi telah gagal menciptakan kebahagiaan dalam hidupnya. Yang terjadi justru sebuah keterasingan hidup; dinistakan, dicemooh, dikutuk, dan telah tercitrakan sebagai pengumpul uang haram. Dalam situasi seperti itu, bukan hal yang mudah untuk bisa hidup nyaman dan “manjing ajur ajer” di tengah-tengah komunitas sosialnya.

inilah.com
Sindiran ala Inilah.com.
Bisa jadi kosakata “keterasingan hidup” tak tercantum dalam kamus sosiologi dan antropologi Indonesia. Ia bisa hadir dan bisa menerpa siapa saja yang kebetulan sedang berada di tengah-tengah gelimang kemewahan dan puncak kekuasaan. Jika gagal membendung godaan, siapa pun orangnya bisa dipastikan akan tersungkur ke dalam kubangan keterasingan hidup itu. Bukankah serapat-rapatnya orang membungkus bangkai, suatu ketika pasti bau busuknya akan tercium juga? Bukankah John Emerich Edward Dahlberg Acton (Lord Acton) juga pernah bilang, “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu cenderung korup; semakin besar kekuasaan berada dalam genggaman tangan, semakin besar pula peluang dan kesempatan untuk melakukan korupsi?

Salahkah kalau Adi Massardi dengan gaya ucap yang sedikit vulgar dan kenes, menyerukan “revolusi” lewat lirik “Negeri Para Bedebah” berikut ini?

Negeri Para Bedebah

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan! ***


Adi Massardi memang tidak sedang mengigau. Melalui suara batinnya, dia dengan sengaja menguliti wajah negerinya sendiri di tengah kegelisahan menyaksikan perilaku korupsi yang nyata-nyata telah membuat bangsa ini bangkrut lewat lirik yang pedih, ekspresif, dan demonstratif.

novel korupsiSalah jugakah Pramudya Ananta Toer yang dengan gaya satir dan getir mengungkapkan “kesaksian” imajiatifnya terhadap praktik korupsi yang mewabah secara luas menjadi penyakit sosial ke dalam sebuah novel? Meski sekitar tahun 1953, ketika novel tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya, korupsi belum sedemikian marak seperti sekarang, namun dengan kepekaan intuitifnya, Pram telah sanggup mengangkat persoalan korupsi ke dalam sebuah teks sastra yang pada akhirnya memiliki relevansi dengan konteks kekinian. Novel yang terdiri atas 14 bab tersebut mengisahkan seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama-kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.

Kalau korupsi itu sebuah fakta, teks sastra memfiksikannya. Kalau koruptor itu seorang pesakitan, sang sastrawan meratapinya dengan menggunakan kepekaan batin dan intuisinya. Maka, membaca teks sastra sejatinya juga membaca denyut dan napas kehidupan yang bisa dijadikan sebagai medium penyadaran untuk menjadi manusia yang lebih jujur dan berhati nurani.

Adi Massardi atau (alm.) Pram hanyalah beberapa gelintir pengarang yang dengan amat sadar menjadikan korupsi sebagai tema besar dalam teks literernya. Masih banyak pengarang lain yang menggarap tema serupa sebagai bentuk “kesaksian” imajinatif terhadap berbagai fenomena hidup yang makin korup dan serakah. Teks sastra yang lahir pada setiap zaman tak ubahnya merupakan hasil refleksi dari setiap geliat peradaban yang melingkupinya, bahkan bisa menjadi bukti dan rujukan otentik terhadap perjalanan sejarah dari generasi ke generasi. Teks sastra akan terus memfosil dalam setiap memori bangsa sekaligus bisa dijadikan sebagai medium pembelajaran hidup di tengah-tengah atmosfer zaman yang makin abai terhadap persoalan-persoalan moral.

Dalam konteks demikian, tiba-tiba saja napas saya menjadi sesak menyaksikan perilaku para koruptor yang harus terkena post-power syndrom; harus merelakan diri dan keluarganya dicaci-maki dan dihinakan di depan publik, hingga akhirnya mengalami keterasingan hidup yang entah sampai kapan masyarakat bisa dengan mudah menerimanya sebagai bagian dari komunitas sosial secara utuh dan wajar.

Hmm … mungkin ada benarnya juga kalau Kang Sandimin, tetangga yang biasa nongkrong di gardu Poskamling bilang, “Maka, jika tak ingin hidup terasing dari komunitas sosialnya, janganlah melakukan korupsi! Jika tak mau dikutuk, janganlah korupsi! ***
READ MORE - Jika Tak Ingin Dihujat, Jangan Korupsi!

GENERASI “TAMU” CERPENIS INDONESIA 1980-AN

Oleh: Maman S Mahayana

maman s mahayanaPerkembangan cerpen Indonesia mutakhir, terutama memasuki satu dasawarsa 1980-an, tidak pelak lagi, banyak ditentukan oleh perkembangan media massa. Majalah Horison yang sudah sejak lama dipandang sebagai majalah sastra—satu-satunya—yang sering juga dijadikan sebagai ‘barometer’ bagi para cerpenis pemula, kini tidak lagi dianggap demikian. Setidak-tidaknya, majalah Horison tidak diperlakukan lagi sebagai satu-satunya yang dapat digunakan untuk ‘tumpuan’ para penulis pemula ‘memantapkan’ namanya sebagai cerpenis. Dengan demikian, majalah Horison juga kini bukanlah media satu-satunya yang dapat dianggap berperan memajukan perkembangan cerpen Indonesia. Dengan perkataan lain, media massa di luar Horison, teristimewa surat-surat kabar mingguan yang justru berperan dalam memunculkan nama-nama baru dalam deretan cerpenis Indonesia.

Di ibu kota saja kita dapat mencatat nama-nama surat kabar yang menyediakan rubrik tetap untuk cerpen. Beberapa di antaranya, Kompas, Media Indonesia, Suara Karya Minggu, Pelita, Suara Pembaruan, Republika, dan Bisnis Indonesia. Daftar itu belum termasuk majalah dan mingguan, seperti Ulumul Qalam, Amanah, Panji Masyarakat, Matra, Kartini, Pertiwi, Femina, Mutiara, Nova, Wanita Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainnya yang tentu akan menjadi daftar panjang jika kita catat semua.

Surat-surat kabar daerah ternyata juga melakukan hal yang sama; menyediakan rubrik untuk cerpen. Sekedar menyebut beberapa di antaranya, Bali Post (Bali), Jawa Post, Surabaya Post (Surabaya), Berita Nasional, Minggu Pagi (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung); di luar Jawa, antara lain, Atjeh Post (Aceh), Waspada (Medan), Sriwijaya Post (Palembang), Riau Post (Riau), dan tentu masih banyak lagi. Yang menarik, beberapa media profesi atau buletin yang khusus untuk kalangan tertentu, juga menyediakan rubrik untuk cerpen. Ini sebuah fenomena menarik; apakah cerpen memang banyak diminati atau terlalu banyak orang yang ingin menulis cerpen; atau secara naif dapat dikatakan: apakah sekedar mengisi halaman kosong?[1]

Terlepas dari persoalan itu kenyataannya, bahwa keadaan tersebut merupakan hal yang sangat menggembirakan dan sekaligus juga berpengaruh besar bagi perkembangan cerpen Indonesia. Dengan begitu, banyaknya media yang menyediakan rubrik tetap untuk cerpen, telah memungkinkan nama-nama baru bermunculan yang lalu diikuti dengan terbitnya antologi-antologi cerpen.

Fenomena tersebut menjadi makin jelas, betapa media massa itu besar pengaruhnya bagi perkembangan cerpen Indonesia mutakhir tampak jika kita mengamati penerbitan-penerbitan antologi cerpen yang muncul belakangan ini. Hampir seluruh cerpen yang terdapat dalam antologi itu, pernah dimuat di berbagai majalah maupun surat kabar mingguan. Dan hanya sebagian kecil yang pernah dimuat Horison.

Keadaan tersebut didukung pula oleh munculnya semacam tradisi menyelenggarakan lomba penulis cerpen. Radio Nederland, misalnya, sejak 1965 telah dua kali menyelenggarakan Sayembara Cerpen Kincir Emas. Sekali dilakukan tahun 1975 yang kemudian menghasilkan buku antologi Dari Jodoh sampai Supiyah (Djambatan, 1976)[2] dan yang kedua dilakukan tahun 1988 yang menghasilkan antologi Paradoks Kilas Balik (Pustaka Sinar Harapan, 1989). Majalah Kartini, Femina, serta harian Suara Pembaruan (1991) dan Kompas (1990)[3] juga melakukan hal yang sama. Bahkan yang disebut belakangan (Kompas) secara khusus menerbitkan antologi yang berisi cerpen-cerpen pilihan yang pernah dimuat harian itu dalam satu tahun. Hasilnya adalah Kado Istimewa (Gramedia, 1992).

Ada beberapa hal menarik yang dapat kita simpulkan dari gejala tersebut.

Pertama, gejala itu sekaligus mempertegas bahwa sinyaleman sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, sesungguhnya tidaklah benar.

Kedua, tersedianya rubrik tetap untuk cerpen yang dapat kita jumpai dalam berbagai surat kabar dan majalah, memperlihatkan bahwa minat membaca—dan sekaligus juga menulis—cerpen jauh lebih besar dibandingkan dengan membaca—dan menulis—novel, puisi, atau drama.

Ketiga, sangat boleh jadi gejala itu ditentukan juga oleh honorarium yang cukup lumayan yang diberikan media massa yang menyediakan rubrik itu.

Keempat, media massa yang bersangkutan juga berkepentingan dan tentu merasakan keuntungannya atas keberadaan rubrik khusus untuk cerpen. Adanya lomba penulisan cerpen merupakan salah satu bukti bahwa media massa itu sangat berkepentingan dengan rubrik tersebut.[4]

II

Membandingkan jumlah cerpen yang muncul setiap minggu dengan jumlah antologi cerpen yang terbit dalam lima tahun terakhir ini, agaknya masalah penerbitan merupakan salah satu kendala yang tidak dapat dihindarkan. Di antara para penulis cerpen yang karyanya biasa menghiasi berbagai media massa, sedikit sekali yang sudah menerbitkan antologinya sendiri. Jadi, di antara para penulis cerpen itu, sebagian besar karyanya justru masih berupa cerpen-cerpen lepas; belum diterbitkan sebagai buku antologi cerpen sendiri.

Dari pemantauan sepintas, jumlah buku antologi cerpen yang terbit antara tahun 1987—1992, tidak lebih dari 20 buah. Dari jumlah itu, sebagian besar masih didominasi oleh sastrawan yang namanya sudah tidak asing lagi bagi pengamat sastra Indonesia, di antaranya adalah Danarto (Berhala, 1987), Aryanti[5] (Kaca Rias Antik, 1987), Eka Budianta[6] (Api Rindu,1987), Satyagraha Hoerip (Sesudah Bersih Desa, 1989), Ahmad Tohari (Senyum Karyamin, 1989), A. A. Navis (Bianglala, 1990), Korrie Layun Rampan (Ratapan, 1991), Ray Rizal[7] (Dalang, 1991), dan Kuntowijoyo (Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, 1992). Jika kita menengok ke belakang, deretan nama itu tentu akan lebih panjang lagi. Sekedar menyebut beberapa, di antaranya adalah Putu Wijaya, Hamid Jabar, Fudoli Zaini, Faisal Baras, Sori Siregar, dan sastrawan angkatan sebelumnya.[8]

Dalam masa lima tahun itu, muncul nama Leila S. Chudori (Malam Terakhir, 1989), dan Yanusa Nugroho (Bulan Bugil Bulat, 1990). Antologi mereka ternyata sangat menjanjikan; bahasanya lancar dan memperlihatkan kematangan dan intelektualitas yang dimiliki ketiga cerpenis itu dalam menggarap, mengolah, dan menyajikan tema cerpen-cerpen mereka.

Sementara itu, terbitnya Paradoks Kilas Balik (1989), Kado Istimewa (1992), dan adanya Lomba Penulisan Cerpen Kompas 1990, kiranya perlu mendapat sorotan tersendiri mengingat di antara nama para cerpenis yang sudah kita kenal, muncul pula nama-nama baru. Nama-nama baru dalam pengertian yang sesungguhnya, datang pula dari Riau lewat antologi cerpen berjudul Teh Hangat Sumirah (Pucuk Rebung, 1992). Kecuali dari yang disebut terakhir, sedikitnya ada empat nama yang perlu mendapat perhatian, yaitu Kurnia Jaya Raya, Hudri Hamdi, Linda Christanty, dan Ray S. Anityo Dyanoe. Cerpen-cerpen mereka—harus diakui—belumlah berlimpah, namun kehadiran cerpen-cerpen mereka laksana masih dalam rangka sebagai “tamu” itu, agaknya memberi banyak harapan. Oleh karena itu, patutlah kiranya menjadi bahan perhatian kita.[9]

III

Kurnia Jaya Raya dan Linda Christanty tiba-tiba namanya menyeruak di antara para cerpenis mapan ketika keduanya dinyatakan sebagai pemenang Lomba Penulisan Cerpen Kompas 1990. Cerpen Kurnia yang berjudul “Kristina” adalah pemenang II, sedangkan cerpen Linda yang berjudul “Daun-Daun Kering” adalah pemenang harapan. Beberapa cerpen Kurnia dan Linda kemudian muncul di beberapa harian ibukota.

Ada perbedaan mencolok dalam cara penyajian kedua cerpenis muda ini. Cara penyaijian Kurnia yang dalam cerpennya yang kemudian, seperti yang pernah dimuat di Harian Pelita “Aku dan Tuhan” dan di Horison (Maret, 1992, “Pada Suatu Pagi”), tampak—sedikit banyak—dipengaruhi gaya penulisan Iwan Simatupang. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dibiarkan mengembara dengan pikiran dan perenungannya sendiri. Dengan demikian, jalinan ceritanya juga mengalir mengikuti pikiran dan perenungan tokohnya. Akibatnya, identitas dan nama tokoh menjadi tidak penting lagi. Dan memang, tidak banyak keterangan mengenai latar sosial tokoh-tokoh yang bersangkutan, betapapun sedikit sekali tokoh yang ditampilkan di situ. Dalam cerpen “Aku dan Tuhan”, tokoh “Aku” seolah-olah sengit berdialog (: berdebat) dengan Tuhan. Ia menuntut haknya sebagai manusia. Tetapi yang dituntut entah berada di mana, karena sesungguhnya ia berdialog dengan dirinya sendiri.

Cara penyajian sepertin ini, sebenarnya sudah tampak dalam cerpen “Kristina”. Tokoh aku sedang dalam perjalanan kereta, seakan-akan menciptakan dan menghadirkan tokoh Kristina berada di hadapannya. Padahal, kenyataannya adalah seperti ini:

Dengan perasaan setengah putus asa kutaruh kotak kue yang hangat itu, lalu duduk di sisinya sambil menghela napas. Aku berangan-angan: menyisir rambutnya, kemudian mencium dahinya, serta menyeka air matanya yang menggenang hangat.

(Beberapa alinea berikutnya diceritakan awal pertemuan tokoh Aku dengan Kristina. Baru kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut.)

Perlahan-lahan kemudian lanskap tampak meredup, menjadi remang-reamang, lalu sirna. Kini yang terbentang adalah lanskap gelap di luar jendela kereta. Mungkin aku tertidur tadi.

Belum nampak juag tanda-tanda fajar. Kereta terus melaju.

Aku sendirian. Tiada Kristina.

Hampir senada dengan kedua cerpen di atas, dalam cerpen “Pada Suatu Pagi”, Kurnia menampilkan tokoh seorang lelaki yang ingin bebas dari segala kerutinan hidup. Sementara itu, cara penyajiannya masih serupa dengan cerpen-cerpen sebelumnya; jalinan ceritanya mengalir mengikuti lakuan, pikiran, dan perasaan tokoh yang bersangkutan.

Matahari pagi ini tak lagi menumpukkan kewajiban yang menindih tiap-tiap jiwa yang harus bangun dan pergi mandi. Cuma diri sendiri yang berhak atas kehidupan pribadi, bukan matahari…Karena dia tak lagi merasa wajib untuk sarapan. Kerja makan hanyalah penambah beban bagi tubuh. Karena makan itulah tubuh mesti berkotoran pula. Lantas, mana kebebasan diri untuk menciptakan kesucian diri? Sementara kerutinan yang dikendalikan matahari dan jarum jam tak pernah peduli. Dan kita rela diperbudak terus-menerus. Demikian renungannya.

Begitulah, lelaki itu merasa telah terbebas dari rutinitas. Ia merasa telah memperoleh kemenangan, dan merasa kasihan kepada mereka yang diperbudak oleh berbagai kebutuhan. Maka, ketika seorang bandit yang bermaksud merampoknya dapat ia taklukkan, ia merasa perlu menasihati bandit itu.

Dia melepaskan cekalannya. Dia merasa telah mendermakan sesuatu, dan secuil keyakinan bahwa bandit itu bakal merenungi kata-katanya. Dilihatnya bandit itu tak bertenaga lagi, bersandar ke dinding, tersengal.

“Pergilah sesukamu. Carilah kebebasanmu.”

Apa yang terjadi kemudian, si Bandit terbebas, ia segera memungut kembali pistolnya dan kemudian menembak lelaki itu. Lelaki itu pun ambruk.

Cerpen ini mengingatkan saya pada novel Koong (Pustaka Jaya, 1975) karya Iwan Simatupang. Tetapi terlepas dari soal pengaruh, jalinan cerita cerpen ini lebih banyak dibangun oleh pikiran-pikiran si tokoh yang dibiarkan begitu saja seolah-olah tanpa kendali.

Cara penyajian yang seperti ini juga terasa kuat pada diri Ray S. Anityo Dyanoe dalam cerpennya, “Paradoks Kilas Balik”. Cerpen pemenang Pertama Sayembara Kincir Emas Tahun 1988 itu, menampilkan tokoh “Saudara Kita” mantan pejuang yang menggelandang menjadi tukang becak. Cerpennya sendiri dibagi ke dalam empat bagian, yaitu “Prolog” yang mencoba mendeskripsikan sosok tokoh utama, Saudara Kita; “Monolog” yang menggambarkan keadaan tokoh Saudara Kita selaku tukang becak yang berbeda dengan tukang becak lainnya; “Dialog” yang mempertemukan tokoh Saudara Kita dengan bekas musuhnya sewaktu ia menjadi pejuang. Bekas musuhnya yang orang Belanda, menyadarkan Saudara Kita bahwa permusuhan sudah berakhir dan kini bangsa Indonesia perlu membangun dirinya sendiri; dan “Epilog” yang merupakan akhir cerita yang bahagia, karena bekas musuhnya kini pulang ke negerinya dengan membawa seorang pemuda, anak angkat Saudara Kita untuk menuntut ilmu di sana agar kelak pemuda itu dapat berguna bagi bangsanya.

Ringkasan tersebut di atas menggambarkan sebuah pola alur yang jelas. Memang demikian. Persoalannya menjadi jelas jika kita mengingat bahwa cerpen ini sengaja ditulis untuk sebuah lomba yang diselenggarakan Radio Nederland. Jadi, dalam hal ini pengarang telah menyesuaikan sedemikian rupa karya kreatifnya untuk kepentingan sayembara.

Walaupun demikian, cara penyajiannya begitu lancar, mengalir dan hanya tampak “direkayasa” hanya pada bagian “Epilog”-nya. Lebih daripada itu, cara penyajiannya yang demikian itu, agaknya menyerupai cara penyajian yang dilakukan Iwan Simatupang. Kalimat-kalimat pendek yang deras mengalir. Perhatikan kutipan di bawah ini:

Dia adalah manusia. Manusia biasa seperti kita…. Dia manusia pekerja. … baginya hidup adalah kerja, dan kerja adalah hidup. Singkatnya: kerja, kerja, dan kerja.

Cara penyajian dengan bahasa yang mengalir lancar ini juga diperlihatkan Linda Christanty. Cerpennya, “Daun-Daun Kering” yang memenangkan hadiah harapan Sayembara HUT ke-25 Kompas mengandung kekuatan terebut. Secara tematik, cerpen itu sama sekali tidak istimewa; seorang wanita muda batal melangsungkan perkawinan, lantaran kekasihnya terpikat oleh janda-cantik-kaya. Tetapi tema yang sederhana ini menjadi begitu menarik karena si pengarang ‘membiarkan” tokohnya bercerita sendiri; tentang apa saja yang ada di dalam pikiran si tokoh yang bersangkutan.

Kubuang segenap angan serta bentu-bentuk khayal yang setia menanggapi keresahan emosi wanitaku….

Aku pikir sungguh aneh, setelah aku berpisah dengan Karl mendadak rasa tertekan bercampur lelah bertubi-tubi hilang sama sekali. Walau kekecewaan belum seluruhnya pupus. Ya, bagaimanapun perempuan masih saja tak berdaya. Sekalipun niali-nilai kewanitaan banyak mengalami kemajuan. Salah siapa?

Aku tidak mau seperti daun-daun kering terusir dari pohon. Tersia-sia, Karl lebih beruntung, seperti daun-daun mangga kering melayang ke kamarku. Lebih terhormat dari semestinya.

Sekitar dua puluhan cerpen yang telah dihasilkan Linda dan dimuat di berbgai media massa, juga mengandung kekuatan seperti ini. Tema-temanya juga lebih banyak menyangkut masalah keseharian yang sebenarnya tidak terlalu istimewa dalam pengertian sebagai tema yang mengandung gagasan besar; universal. Cerpen “Cium” (Bisnis Indonesia, 10 Januari 1993), misalnya mengangkat persoalan dua kekasih yang sama-sama ingin berciuman, tetapi juga sama-sama merasa jijik untuk saling mencium. Tetapi dengan begitu keduanya sama-sama merasa telah melakukan kesalahan. Beberapa cerpennya yang lain (“Lakon”, Mutiara, Minggu III, Juni 1991 dan “Dalam Kereta Pukul Tiga”, Suara Karya Minggu, Minggu IV Oktober 1991), masih mengangkat persoalan perpisahan dua kekasih. Jadi, masih sejenis dengan tema “Daun-Daun Kering”.

Dari jajaran generasi “tamu” cerpenis Indonesia mutakhir, agaknya cara penyajian dan tutur cerita yang dilakukan Hudri Hamdi, berbeda dengan cerpenis yang sudah disebutkan terdahulu. Nuansa peristiwa yang terasa kuat dalam cerpen-cerpen Kurnia, Ray, dan Linda, kurang—bahkan tidak—begitu menonjol. Yang tampak kuat justru gaya realisnya yang berusaha mengangkat suasana latar dan konflik batin tokohnya secara gamblang. Gambaran tersebut tampak—terutama—dalam dua cerpennya, “Selongsong Kehidupan” dan “Petaka Kampar”. Sangat kebetulan kedua cerpen itu mengangkat persoalan yang dihadapi buruh kecil, sehingga—seperti dikatakan Subagio Sastrowardojo—sentuhan realismenya terasa lebih pas.

“Selongsong Kehidupan” menggambarkan nasib buruh pabrik yang setiap saat dihantui PHK—Pemutusan Hubungan Kerja—(pemecatan). Betapapun cerpen ini ditutup dengan akhir yang bahagia, tokoh Pak Dugul yang tetap bekerja dan Factory Manager-nya yang orang Belanda menikah dengan salah seorang karyawati pabrik itu, gambaran kegelisahan para buruh pabrik, cukup berhasil ditampilkan secara meyakinkan sebagai pembungkus keseluruhan peristiwa dalam cerpen itu. Sayang akhir cerita yang bahagia terasa agak dipaksakan. Walaupun begitu, kita tentu memahami bahwa cerpen ini sengaja ditulis untuk kepentingan lomba yang diselenggarakan oleh radio Belanda. Dengan begitu, kreativitas penulis cepen ini sesungguhnya sudah diatur sedemikian rupa, seperti juga yang tampak dalam cerpen Ray, “Paradoks Kilas Balik”.

Persoalannya menjadi lebih jelas jika kita menyimak cerpen “Petaka Kampar”. Tokoh Mu’id mengalami musibah, tertimpa dahan pohon ketika para buruh kayu bekerja menebangi hutan di kawasan Kampar di Sumatra. Tiga belas bulan perawatan dan usaha operasi untuk menyambung tulang pahanya yang patah, tidak membawa hasil apa-apa. Mu’id terpaksa dibawa ke Jakarta untuk operasi lebih lanjut. Tetapi hasilnya hanya ada dua kemungkinan: operasi berhasil atau salah satu kaki Mu’id diamputasi! Sebuah akhir yang terbuka. Dan kita dipersilakan untuk menebak sendiri, bagaimana nasib Mu’id, nasib keluarganya selanjutnya.

Kira-kira itu inti ceritanya. Yang menarik justru terletak pada gambaran realistik tentang keadaan keluarga Mu’id. Soalnya, Mu’id ternyata tulang punggung ibu dan adik-adiknya yang tergolong keluarga wong cilik. Musibah yang menimpanya berarti juga malapetaka bagi keluarganya. Bahwa sentuhan realisme itu terasa mengharukan, karena cerita itu dituturkan justru oleh adiknya sendiri yang merasakan, betapa Mu’id tampil sebagai sosok pahalwan keluarga.

Sekitar lebih dari dua puluhan cerpen yang dihasilkan Hudri Hamdi mempunyai kekuatan dalam bentuk realisme seperti itu. Sebagian besar tokoh cerita yang ditampilkannya, juga tokoh-tokoh masyarakat bawah atau orang-orang yang tersisih, kecuali dua buah cerpennya yang berjudul “Tabir” dan “Sang Imam” (Media Indonesia, 21 Januari 1990). Kedua cerpen itu memang tidak menampilkan tokoh wong cilik, tetapi bentuk realismenya terasa begitu kuat sehingga cenderung menjurus ke surealisme.

Barangkali keadaannya didukung oleh tema cerita yang menghadirkan dunia gaib. Cerpen “Tabir”, yang mengambil latar di kota Stavanger, Norwegia, misalnya, menceritakan pertemuan saudara si tokoh “aku”—tokoh “aku”-nya sendiri sebenarnya tidak hadir dalam peristiwa itu—dengan tokoh Merias Jelszu ketika saudara si tokoh “aku” sedang mencari alamat temannya, Wilando. Ternyata, Merias Jelszu masih seketurunan dengan kakek-nenek pemilik kamar kos yang ia tempati. Belakangan ketika ia hendak pindah kos, ia mendapati dirinya berada di tengah deretan batu nisan. Dan salah satu batu nisan itu, bertuliskan Merias Jelszu.

Cerpen “Sang Imam” juga bercerita tentang dunia gaib. Tokoh aku yang dengan beberapa temannya sednag melakukan penelitian di sebuah hutan belantara tanpa sengaja memasuki kehidupan para jin. Ketika ia hendak melakukan sembahyang magrib, ia merasa berada di sebuah masjid yang dipenuhi para jamaah bersorban dan berjubah putih. Yang menarik perhatian tokoh aku adalah Sang Imam masjid itu yang ternyata berulang kali datang menjumpainya. Perhatikan kutipan berikut ini.

Dalam masa-masa penantian, rasanya hanya fajar menyingsinglah sebagai kelegaanku bagi hilangnya rasa takut. Yang seolah mata rantai yang tak putus-putus sepanjang saat, sepanjang malam. Bayangan lingkungan sekitar pun, terutama batu besar itu, terasa begitu kuatnya melekat di benak.

Dalam kehidupan malam, kelelapanku pula, aku mersakan lelap di batu besar itu. Tapi banyak kursi di sana. Pula ada meja bulat-panjang dan sebuah singgasana tempat Sang Imam itu berada. Sebuah altar, yang mirip altar istana dalam dongeng-dongeng kerajaan, tergelar di ujung timurnya….

Dan selama kelelapanku Sang Pengkhotbah itu kerap mendatangiku. Ia datang dan pergi. Begitu yang kerap terjadi pada hampir sepanjang malam, sepanjang penantian hari H. Ia mengelus-elus, mengelus-elus sambil tersenyum. Tapi matanya itu…. Entah apa maunya, apa maksudnya. Aku tak kuasa bertanya….

Lalu bagaimana akhir ceritanya? Tidak begitu jelas, apakah tokoh aku pada akhirnya memasuki dunia makhluk-makhluk bersorban dan berjubah putih atau dapat kembali pulang bersama teman-temannya.

Demikianlah cerpen-cerpen Hudri Hamdi yang lain pun sebenarnya cenderung mengandung kekuatan realismenya. Sayang sekali, sejauh ini, ia belum menelurkan kumpulan cerpennya sendiri, sama halnya dengan Linda Christanty yang jika dilihat dari jumlah karya yang dihasilkan sudah cukup untuk sebuah antologi.

IV

Pengamatan lebih lanjut pada cerpen-cerpen penulis lainnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, tentulah memerlukan konsentrasi tersendiri. Bukan mustahil pula, di antaranya tampil cerpenis generasi “tamu” yang penuh harapan dan amat menjanjikan. Sudah saatnya pula para penerbit bersedia menerbitkan karya-karya mereka sebagai wujud pengakuan kita pada kreativitas dan produktivitas mereka. Dengan begitu, “Sang Tamu” akan merasa tidak lagi menjadi “tamu”, betah tinggal dalam dunia yang dimasukinya dan kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan “pemilik rumah”. Dan pemilik rumah itu adalah warga sastra Indonesia.

Satu langkah berani dilakukan penerbit Pucuk Rebung di Riau. Antologi Teh Hangat Sumirah (1992) berisi enam buah cerpen yang berasal dari empat penulis muda; muda dalam usia dan muda dalam berkarya. Secara kualitatif, karya mereka—harus diakui—masih mengandung sejumlah kelemahan. Sungguhpun begitu, usaha penerbit itu untuk menerbitkan karya mereka patutlah kita hargai.

Semoga!

CATATAN

[1] Sapardi Djoko Damono dalam Kata Pengantar kumpulan cerpen Bulan Bugil Bulat (Pustaka Utama Grafiti, 1990) karya Yanusa Nugroho, menyinggung masalah ini sebagai “ketegangan selera” antara selera pribadi (redaksi) dan khalayak pembaca

Afrizal Malna dalam artikelnya, “Generasi Cerpen di Hari Minggu, Selamat Pagi” (Kompas, 21 Maret 1993), juga mengupas cerpen yang muncul setiap Minggu dengan titik perhatian pada cerpen yang dimuat Kompas, Republika, dan Media Indonesia.

[2] Ahmad Tohari dan Mangunwijaya, konon mengawali kiprahnya dalam kegiatan menulis fiksi, lewat sayembara ini.

[3] Sayang sekali, hingga kini hasil Lomba Cerpen yang diselenggarakan Kompas dan Suara Pembaruan belum juga diterbitkan.

[4] Menurut keterangan lisan F.X. Mulyadi dari Kompas dan Ahmad Tohari dari majalah Amanah yang menangani rubrik sastra dan budaya, bahwa cerpen yang masuk ke meja redaksi dalam seminggu lebih dari sepuluh buah yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Jumlah itu tentu akan membengkak sedemikian banyak jika kita juga mencatat cerpen yang masuk redaksi semua media massa yang ada di tanah air.

[5] Pseudonim Prof. Dr. Haryati Subadio, Mantan Mensos.

[6] Eka Budianta sebenarnya lebih dikenal sebagai penyair; semacam dengan Ahmad Tohari dan Kuntowijoyo yang lebih dikenal sebagai novelis. Sejauh pengamatan saya, antologi cerpen Eka Budianta, Ahmad Tohari, dan Kuntowijoyo yang disebutkan itu merupakan kumpulan cerpen mereka yang pertama.

[7] Ray Rizal sebelumnya lebih dikenal juga dengan nama Ray Fernandes.

[8] Buku antologi cerpen Indonesia yang dapat dianggap muwakil (representatif), terutama dilihat dari mutu karyanya—dari beberapa segi—pernah disusun Satyagraha Hoerip (Cerita Pendek Indonesia I—IV, Gramedia, 1986). Buku antologi cerpen yang terdiri dari empat jilid itu, masing-masing memuat 30 karya cerpenis Indonesia. Jadi, seluruhnya memuat 120 karya cerpenis Indonesia, mulai Matu Mona (lahir 15 Juli 1910) sampai Rainy MP Hutabarat (lahir 28 Oktober 1962). Dalam keempat jilid itu, tidak dimuat cerpen dua perintis penulisan cerpen Indonesia, Mohammad Kasim dan Suman Hs. dan belum termuat karya Ahmad Tohari, Leila S. Chudori, dan Yanusa Nugroho.

[9] Pembicaraan dalam makalah ini sengaja lebih memfokuskan pada beberapa cerpen para penulis “tamu” mengingat topik yang diberikan panitia, “Perkembangan Cerpen Mutakhir Indonesia” (1980—1990) terlalu luas dan memerlukan penelitian yang lama.

Sumber: mahayana-mahadewa.com
READ MORE - GENERASI “TAMU” CERPENIS INDONESIA 1980-AN

Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Entah, produk budaya Indonesia apa lagi yang hendak dicaplok negeri Jiran. Yang pasti, hingga saat ini, sudah ada puluhan produk budaya kita yang nyata-nyata telah diklaim dan dipatenkan oleh sebuah negara kecil yang konon tak pernah merasakan etos perjuangan dan buta kebudayaan itu. Bagaimana tidak? Malaysia tak se-heroik Indonesia dalam berjuang merebut dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Untuk mempertahankan dan merebut eksistensi negara yang merdeka dan berdaulat penuh, Indonesia mesti berdarah-darah dan mengorbankan segalanya. Lain halnya dengan Malaysia. Mereka bisa hidup makmur karena proteksi dan belas kasihan negara lain yang dulu menjajahnya. Semua kemanjaan mereka dapatkan secara instan. Tak heran apabila Malaysia ktak pernah bisa menghargai karya cipta dan kreativitas bangsa serumpun. Mereka juga tak pernah mengenal dan mengasah kepekaan kultural. Karena tak pernah mengenal dinamika berkesenian dan berkebudayaan, merka hanya bisa menjiplak, main klaim, mencuri, dan main caplok.

Ironisnya, pemerintah kita seperti tutup mata dan tutup telinga terhadap ulah negeri jiran itu. Apa tidak pernah terusik untuk berpikir, bagaimana nasib para perajin dan pekerja seni di negeri ini jika mereka harus menyerahkan sejumlah royalty ke negeri jiran karena secara hukum, kita sudah tak memiliki hak atas produk-produk budaya yang telah dipatenkan Malaysia itu.

Ulah Malaysia juga perlu dijadikan sebagai “warning” buat bangsa kita agar tak terlalu silau dengan budaya global yang selama ini (nyaris) telah menggerus jati diri bangsa. Kita yang selama ini abai terhadap budaya kita sendiri, baru teriak kencang-kencang setelah diklaim negeri lain. Dalam kondisi demikian, kita perlu membangun kembali kesadaran kultural secara kolektif setelah kita terninabobokan dan terhipnotis oleh kultur global yang secara langsung maupun tidak langsung telah membuat kita terlena dan abai terhadap budaya negeri sendiri.

Dari search engine, ada beberapa produk budaya Indonesia yang diduga telah dicaplok oleh Malasyia. Berikut ini daftarnya.
1.Batik
2.Tari Pendet
3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi
9.Keris
10.Rendang Padang

batikpendetwayang kulitangklungreog-ponorogokuda_lumpingvisitmalingsiarafflesiakerisrendang-padang

Sementara itu, menurut versi budaya-indonesia.org, sudah lebih banyak lagi daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain. Berikut ini daftarnya:
  1. Batik dari Jawa oleh Adidas
  2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
  5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
  7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
  8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
  11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
  15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
  16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
  21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
  22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
  23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
  24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
  25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
  26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
  27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
  28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
  29. Kain Ulos oleh Malaysia
  30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
  31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
  32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia


Sudah saatnya kita kembali meneguhkan sikap untuk peduli dan membangun kesadaran kultural secara kolektif untuk merebut kembali produk budaya yang telah dicaplok orang itu. Sebagai bangsa yang besar, kita jangan gampang menyerah dan bersikap permisif. Ayo, rebut kembali produk-produk budaya bangsa kita yang hilang itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? ***
READ MORE - Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.

Rakor
Direktur Pembinaan TK/SD
Rakor
Jajaran Direktorat Pembinaan TK/SD
Rakor
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri
Rakor
Dr. Zaim Uchrowi (Direktur Balai Pustaka)


Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.

Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.

Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.

Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?

Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis-- perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).

Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.

Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga! ***
READ MORE - Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sanga terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.

karya sastraPergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.

Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam del-del yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.

Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa- siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.

Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya- karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas
untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahw seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra
dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita.

Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.

Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya- karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan. ***

Richard Oh Direktur Toko Buku QB
Sumber: Kompas Cyber Media
READ MORE - Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR

Ade HM Irawan dan Meti Istimurti

(Disampaikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski di Batu, 12 14 Agustus 2008)

Abstrak
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa.

Diberlakukannya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang digunakan oleh guru di sekolah, memberikan kebebasan kepada guru untuk mengajarkan materi Bahasa Indonesia dengan menyesuaikan pada potensi, sarana, dan prasarana yang dimiliki siswa, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. KTSP memberikan peluang lebih besar kepada guru untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa. Berbagai upaya dapat dilakukan, di antaranya adalah dengan pemilihan karya sastra (cerpen anak) bernuansa kesetaraan gender sebagai bahan ajar merupakan jalan untuk memperkenalkan wacana gender pada siswa. Dengan demikian, siswa sudah mengenal wacana gender sejak dini, sehingga di masa yang akan datang, siswa diharapkan dapat memahami dan menerapkan kesetaraan gender dalam kehidupannya.

Kata Kunci: KTSP, Wacana Gender, Kreativitas Guru.

Pengantar
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks.

Pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra dan contoh-contoh kalimat yang bias gender

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa. Dengan demikian, karya sastra atau kutipan karya sastra serta kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan semangat kesetaraan gender kepada generasi penerus bangsa melalui jalur formal.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Perubahan yang terjadi pada kurikulum pendidikan di Indonesia selalu didasari pada alasan perbaikan, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Namun sayangnya, perubahan tersebut justru mengarah pada opini publik yang menganggap ganti menteri ganti kurikulum. Opini tersebut dapat diterima ketika perubahan tersebut memang seakan-akan terjadi setiap kali pergantian menteri. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai reaksi masyarakat ketika muncul kabar diberlakukannya suatu kurikulum baru. Penerbit buku pendidikan jelas mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi pada buku teks yang diterbitkannya, guru-guru sibuk mengikuti berbagai seminar yang berkaitan dengan kurikulum baru tersebut, dan orang tua siswa harus bersiap-siap menyisihkan dana untuk membeli buku baru yang sesuai dengan kurikulum baru karena tentu saja siswa tidak dapat menggunakan buku lama, bekas kakak kelasnya, yang menggunakan kurikulum lama. Dengan kata lain, perubahan kurikulum tersebut memunculkan dua kubu, yaitu kubu yang diuntungkan dan kubu yang dirugikan.

Perubahan kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi sistem pendidikan di Indonesia. Persoalan tersebut hingga kini masih menjadi pembicaraan para pemerhati pendidikan. Kurikulum terbaru yang kini marak dibicarakan adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Beragam reaksi masyarakat bermunculan. Bahkan, masyarakat yang pesimis membuat plesetan KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai atau Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran. Jika terus-menerus pesimis, kapan pendidikan di Indonesia akan maju? Oleh karena itu, perlulah kiranya kita mengkaji lebih dalam mengenai KTSP agar kita benar-benar memahami esensi kurikulum tersebut.

KTSP menurut Mulyasa (2006: 19-22) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Mulyasa juga menyebutkan bahwa KTSP bertujuan (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetisi yang sehat antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan di capai.

KTSP memberikan kelonggaran dan kebebasan pada satuan pendidikan untuk menyususn kurikulumnya sendiri sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki sekolah. Selain itu, KTSP juga memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam penyususnan dan pengembangan kurikulum. Meskipun hal itu sebenarnya tidak betul-betul baru, mengingat pada kurikulum sebelumnya memungkinkan keterlibatan masyarakat, seperti adanya keterlibatan Komite Sekolah dalam pelaksanaan pendidikan, tetapi paling tidak KTSP memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, yang belum pernah ada sebelumnya pada CBSA maupun KBK.

Kelonggaran dan kebebasan yang terdapat dalam KTSP hendaklah dimaknai sebagai sebuah peluang yang harus dimanfaatkan oleh para pengelola pendidikan. Peranan guru dan kepala sekolah menjadi salah satu kunci sukses penerapan KTSP di setiap sekolah. Inisiatif, gagasan-gagasan baru, semangat membangun, semangat bangkit untuk maju dan berkembang, semangat persaingan sehat benar-benar dituntut dari guru dan kepala sekolah. Pelaksanaan KTSP di sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta atmosfer di setiap sekolah. Hal itulah yang kemudian memunculkan berbagai masalah. Selain karena KTSP menuntut perubahan cara berpikir, KTSP juga menuntut perubahan sistem pendidikan menjadi otonomi.

Dalam kaitan dengan materi pelajaran Bahasa Indonesia, Sarumpaet (2007: 29) mengungkapkan bahwa KBK yang bersifat alamiah dan karenanya sangat mengutamakan siswa sebagai subjek, dapat menolong siswa dalam mengembangkan dan menghidupkan potensinya. Dengan demikian, jika KBK mengisyaratkan kompetensi berdasarkan pengalaman langsung yang dapat diukur secara objektif, maka materi yang harus disampiakan juga sebaiknya mempertimbangkan faktor siswa (sebagai individu yang akan memelajari), lingkungan belajar yang kondusif, dan waktu. Hadirnya KTSP ditengarai sebagai upaya untuk mempercepat keberhasilan dan peningkatan pendidikan di Indonesia sehingga wajar apabila semua faktor, ciri, dan kekuatan yang ada dalam KBK dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dari materi itu pulalah semua syarat yang ada dalam KBK dan KTSP menuntut kompetensi tinggi dari setiap guru sebagai pengajar. Dengan demikian, kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada dua faktor, yaitu guru dan siswa.

Kompetensi Guru
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Setiap guru mata pelajaran wajib menyusun kurikulumnya mata pelajarannya. KTSP hanya memberikan kompetensi dasar, sedangkan indikator yang harus dicapai siswa berkaitan dengan kompetensi dasar tersebut dibuat oleh guru yang bersangkutan. Dengan demikian, dibutuhkan kompetensi guru untuk menilai potensi siswa dan lingkungannya.

Pelaksanaan KTSP di sekolah harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas guru yang selama ini menjadi masalah serius yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 diperoleh data yang menyebutkan bahwa dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234. 927 orang, jumlah guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya adalah 558.675 orang atau sebesar 45,2% dan pada SD swasta sebanyak 50. 542 orang atau setara dengan 4,1%.

Kondisi tersebut jelas memprihatinkan. KTSP memang sejalan dengan dinamika sosial-politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Namun, apakah KTSP dapat dilaksanakan dengan baik di setiap sekolah mengingat kualitas guru yang belum memadai? KTSP memberikan kebebasan untuk menyusun silabus, mencari dan memilih bahan ajar, tetapi wawasan dan pengetahuan guru yang bersangkutan sangat terbatas.

Dalam KTSP mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru memiliki wewenang untuk membuat silabus yang berisi sejumlah indikator yang harus dicapai oleh siswa. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sastra menjadi bagian materi yang harus disampaikan kepada siswa. Penyatuan antara materi bahasa dengan materi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia menuntut guru yang tidak hanya mengerti mengenai bahasa, tetapi juga mengenai sastra. Namun, apakah guru Bahasa Indonesia memiliki wawasan yang cukup mengenai sastra?

Dari pengalaman mengajar materi pembelajaran Bahasa Indonesia PGSD di Universitas Terbuka pada tahun 2008, dari 35 peserta, 20 orang salah dalam menentukan bahan ajar sastra kepada siswa Sekolah Dasar, 10 orang mengambil bahan ajar langsung dari buku teks, dan 5 orang mengambil bahan ajar secara tepat dari berbagai sumber, seperti majalah anak-anak.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mencari dan menentukan bahan ajar sastra kepada siswa sekolah dasar membutuhkan kreativitas guru agar tujuan kegiatan belajar mengajar dapat tepat sasaran. Buku ajar sebaiknya tidak dijadikan kitab suci oleh guru karena akan membatasi kreativitas guru dalam menerapkan KTSP di sekolah, tetapi buku ajar hanya dijadikan sebagai pelengkap (suplemen) bagi guru untuk mengajar.

Di luar permasalahan tersebut, sesungguhnya KTSP dalam pelajaran Bahasa Indonesia merupakan peluang untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini. Kebebasan guru dalam mencari dan menentukan bahan ajar yang tepat berdasarkan potensi, sarana, dan prasarana di sekolah dan daerahnya, mempermudah wacana gender memasuki ruang pendidikan formal. Melalui berbagai cara, wacana gender dapat ditanamkan kepada siswa dengan bantuan guru dan media pendukung proses belajar mengajar. Dengan demikian, diskriminasi gender yang selama ini terjadi di masyarakat dapat terhapus secara perlahan-lahan.

Wacana Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm, 2002: 177 178), gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 4 6) mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu.

Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse (2003:69 70), mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya.

Heddy Shri Ahimsa Putra (dalam Mufidah: 3-6) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini.
1. Gender sebagai Istilah Asing dengan Makna Tertentu : Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru.
2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya : Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender bagi masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan oleh konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.
3. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial : Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial.
4. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya : Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya.
5. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis : Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.
6. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan: Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik.

Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang disampaikan Tinneke Hellwig (2003:17) merupakan salah satu komponen dalam bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, peng(k)ajian perempuan dan sastra terlebih dahulu harus mengklarifikasi posisinya.

Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik sastra feminis disampaikan Jane Moore (dalam Hellwig: 29) sebagai sebuah kerja berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar teks.

Mengenai hal itu, Murniati (2004: 27) dalam Getar Gender menyebutkan bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.

Sekaitan dengan itu, pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Meskipun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Pada penelitian ini, kajian gender digunakan untuk mengetahui bagaimana posisi perempuan dan laki-laki ditanamkan pada siswa dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD, khususnya dalam pemilihan karya sastra (cerpen anak) sebagai bahan ajar.

Cerpen anak
Cerpen anak adalah salah satu bahan ajar yang harus dicari dan ditentukan oleh guru dalam mengajarkan sastra. Cerpen anak sesungguhnya adalah cerpen yang memiliki segmentasi pembaca sangat jelas, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Sesuatu yang khas dari cerpen anak adalah cerita yang disampaikan sangat dekat dengan dunia anak-anak. Pada umumnya cerpen anak di Indonesia mengangkat tema tentang persahabatan, permainan, dan hal-hal yang mengandung nilai pendidikan moral, seperti: suka menolong adalah hal yang baik, menyontek adalah hal yang buruk, dan mematuhi perintah orangtua adalah sesuatu yang wajib bagi anak. Baik dan buruk dalam cerpen anak tersebut dipaparkan secara hitam putih dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak secara jelas.

Cerpen anak sebagian besar ditulis oleh orang dewasa. Oleh karena itulah, banyak cerpen anak yang disadari atau tidak oleh penulisnya, menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Selain itu, banyak cerpen yang mengandung upaya penanaman budi pekerti yang disampaikan dengan cara menggurui, bahkan tidak sesuai dengan kondisi psikologis anak. Hal- hal seperti itulah yang menyebabkan perlunya memilih bahan ajar yang tepat dalam mengajarkan sastra, terutama cerpen, pada anak-anak.

Tokoh dan peristiwa dalam cerpen dapat menjadi karakter yang menginspirasi anak. Melalui tokoh-tokoh tersebutlah, nilai-nilai budi pekerti disampaikan kepada anak sebagai pembaca karya sastra. Oleh karena itu, proses pemilihan cerpen sebagai bahan ajar di sekolah membutuhkan kepekaan guru. Guru diharapkan mampu menentukan cerpen yang tepat bagi anak untuk digunakan sebagai bahan ajar di kelas, yaitu bahan ajar sastra yang bicara tentang dunia anak-anak dengan bahasa anak-anak dan dengan tokoh yang bisa memunculkan kesan pada anak bahwa tokoh tersebut adalah dirinya atau kawannnya, bukan orang tua atau gurunya yang terkesan menggurui. Dengan kata lain, cerpen yang memberikan pesan-pesan moral secara alami pada anak, mengalir begitu saja tanpa terkesan menggurui.

Selain itu, guru diharapkan tidak hanya mengandalkan buku ajar sebagai sumber bacaan, tetapi juga mencari bahan ajar lain yang lebih tepat dengan kondisi siswanya. Bahan ajar, khususnya cerpen, yang terdapat dalam buku ajar (buku teks), sebaiknya tidak dijadikan sebagai kitab suci yang selalu diikuti karena biar bagaimanapun, gurulah yang mengetahui kondisi siswa di kelasnya. Dengan demikian, pelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, diharapkan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa dan bermanfaat dalam membentuk karakter mereka.

Cerpen sebagai salah satu bahan ajar yang diterapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai media pengenalan wacana gender pada siswa. Guru dapat memilih cerpen-cerpen yang berwawasan gender untuk diperkenalkan kepada siswa melalui pencapaian empat aspek, yaitu: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Pada tahap menyimak, siswa diberikan sebuah cerpen anak sebagai bahan pembelajaran cerpen. Pada kesempatan inilah, guru dapat memilih cerpen anak yang mengandung wacana gender.

Cerpen anak yang berwacana gender, di antaranya dapat dilihat dari sisi tokoh, karakter tokoh dan peristiwa yang dialamai tokoh. Jika selama ini yang tertanam di benak anak adalah pembedaan lakai-laki dan perempuan melalui simbol-simbol, seperti; anak perempuan memiliki karakater cengeng, menyukai boneka, memakai warna pink, dan rajin membuat catatan pelajaran, sedangkan laki-laki memiliki karakter jagoan, nakal, memakai warna biru, dan malas mencatat pelajaran, maka pada pemilihan cerpen untuk bahan ajar, guru dapat menghindari cerpen-cerpen yang berisi simbol-simbol yang bias gender tersebut.

Siswa harus ditanamkan pemikiran bahwa laki-laki bisa menangis (cengeng) dan perempuan juga bisa menjadi jagoan. Oposisi biner yang selama ini melekat di benak siswa merupakan dasar pembedaan gender tersebut. Dengan penanaman wacana gender pada siswa melalui pilihan cerpen, diharapkan ketika mereka dewasa, mereka akan lebih menghargai seseorang berdasarkan kemampuannya, tidak berdasarkan jenis kelaminnya.

Pemilihan Contoh Kalimat dari Kutipan Cerpen Anak
Pada pelajaran menulis, siswa diberikan pengenalan mengenai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Setelah itu, mereka diminta untuk membuat kalimat seperti contoh kalimat yang diberikan oleh guru. Pada kesempatan itulah, guru dapat mengenalkan wacana gender pada anak.

Guru harus menghindari contoh kalimat yang bias gender, seperti: Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar, dan aku pergi ke sekolah. Contoh kalimat tersebut jelas mengandung diskriminasi gender. Kondisi yang terdapat pada kalimat tersebut, sangat tidak tepat dengan kondisi saat ini di mana perempuan bisa bekerja di luar rumah, tidak hanya mengurus rumah tangga. Kalimat tersebut membentuk kesan bahwa ayah adalah kepala rumah tangga yang bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarga dan ibu hanya sebagai pengurus rumah tangga, yang berperan sebagai sekunder di rumah tangga karena kepala rumah tangga adalah ayah.

Contoh kalimat tersebut dapat diubah menjadi kalimat yang bewawasan gender menjadi kalimat:
Bapak dan Ibu pergi ke kantor, sedangkan aku pergi ke sekolah.

Kalimat tersebut jelas menunjukkan sebuah kondisi yang bernuansa kesetaraan gender. Pada kalimat tersebut, perempuan melalui tokoh ibu, digambarkan sebagai perempuan yang bekerja di luar rumah, tidak hanya berurusan dengan masalah rumah tangga. Hal itu dapat membentuk sebuah wacana pada siswa bahwa sosok perempuan dapat maju dalam hal pekerjaan atau karier seperti halnya sosok laki-laki.

Contoh kalimat seperti itu dapat dijumpai dari cerpen anak yang digunakan sebagai bahan ajar. Dalam hal ini, diperlukan kepekaan guru untuk memilih dan menentukan kalimat-kalimat yang tepat untuk mengajarkan konsep pembentukan kalimat sekaligus menanamkan konsep kesetaraan gender kepada siswa.

Pemilihan Buku Teks
Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia membantu siswa dalam mencapai kompetensi yang harus mereka capai pada mata pelajaran tersebut. Pada proses pemilihan buku teks untuk siswa, guru memiliki kebebasan penuh untuk menentukan buku dari penerbit mana yang paling tepat digunakan untuk siswanya. Pada kesempatan itu, guru memiliki peluang untuk memilih buku yang tidak bias gender.

Pusat Perbukuan pada 2005 telah menyeleksi sejumlah buku dari berbagai penerbit yang akan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pada proses penyeleksian tersebut, salah satu butir yang disampaikan panitia adalah pengenalan wacana gender pada siswa. Panitia mengharapkan tidak ada lagi kalimat-kalimat yang bias gender, seperti pada pembahasan contoh kalimat di atas. Panitia mengharapkan sebuah buku teks yang mendukung kesetaraan gender.

Pada salah satu buku teks karya Muh. Darisman berjudul Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD, misalnya, wacana gender tersebut sudah mulai diterapkan dengan memunculkan tokoh perempuan bernama Rima. Rima adalah tokoh yang menjadi narator pada buku teks tersebut. Tokoh Rima digambarkan sebagai siswa perempuan yang aktif, kreatif, dan pandai bergaul. Wacana gender tersebut beberapa di antaranya disampaikan melalui penggalan cerita pendek, seperti berikut ini.

Membantu Korban Kebakaran
Rima mendengar berita bahwa beberapa siswa SD Indrasari yang tinggal di Desa Pasir Muncang menjadi korban kebakaran yang terjadi kemarin. Peristiwa kebakaran itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Para korban kehilangan harta benda bahkan ada yang kehilangan keluarganya karena terbakar api. Sampai sekarang para korban belum mendapatkan tempat penampungan yang layak. Mereka masih tinggal di tenda-tenda penampungan yang sempit.

Sebagai anggota palang merah remaja (PMR), Rima mengusulkan agar seluruh siswa SD Indrasari ikut meringankan beban para korban dengan memberikan sumbangan berupa uang atau pakaian layak pakai. Ide Rima tersebut mendapat dukungan dari Pak Mamat, pembina PMR SD Indrasari.

Ide yang bagus, Rima! Besok semua anggota PMR mulai mengumumkan rencana ini ke setiap kelas, kata Pak Mamat.

Lalu, kapan kita memberikan sumbangan pada para korban kebakaran itu, Pak? tanya Rudi.

Setelah sumbangan terkumpul, kita langsung menyerahkannya ke tempat penampungan mereka, jawab Pak Mamat.

Lima hari kemudian, sumbangan dari seluruh siswa Indrasari diberikan secara langsung kepada para korban kebakaran. Bu Yanti, salah satu perwakilan dari para korban mengucapkan terima kasih. Sumbangan ini sangat berarti bagi kami, ucap Bu Yanti. Matanya berkaca-kaca menahan rasa haru.
(Muh. Darisman, 2006: 97)

Pada penggalan cerita pendek di atas, Rima tampak sebagai anak perempuan yang memiliki ide cemerlang, berjiwa sosial, dan berani mengungkapkan gagasannya. Keberadaan tokoh Rima tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat siswa perempuan untuk berani menunjukkan potensi diri, tidak hanya berdiam diri. Tokoh Rima pada buku teks tersebut merupakan tokoh yang membawa nuansa gender pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ia tidak hanya mandiri, tetapi juga dapat bersaing dengan teman-temannya, terutama siswa laki-laki. Ia menjadi sosok perempuan yang patut diperhitungkan di dalam lingkungannya.

Namun sayangnya, dalam buku teks tersebut, masih terdapat pilihan bahan ajar yang bias gender. Misalnya, pada pemilihan cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih . Pada cerita tersebut, mucul penanaman karakter ibu tiri yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Hal itu tentu saja dapat memunculkan kesan pada siswa bahwa ibu tiri adalah sosok perempuan yang jahat. Pilihan cerita tersebut tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender seperti pada pemunculan tokoh Rima sebagai narator pada buku teks tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa wacana gender yang hendak diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar belum dilakukan secara maksimal. Oleh karena itu, peran guru sangat diperlukan dalam memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Proses pemilihan buku teks diharapkan akan dimanfaatkan guru untuk mendampinginya dalam mengenalkan wacana gender pada siswa. Pada proses tersebut, selain kreativitas guru, kepekaan guru terhadap wacana gender pun sangat menentukan keberhasilan pemilihan buku teks yang tepat bagi guru dalam upaya memperkenalkan wacana gender pada siswa.

Simpulan
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan kepada guru untuk menentukan materi yang akan diajarkannya kepada siswa. Pada bidang studi Bahasa Indonesia, KTSP memberikan keleluasan kepada guru untuk menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa secara kreatif. Guru harus menyesuaikan pengajaran Bahasa Indonesia dengan potensi, sarana, dan prasarana yang ada di lingkungan sekitar siswa. KTSP sangat tepat dengan atmosfer demokrasi dan otonomi yang sekarang sedang diterapkan di Indonesia.

Kebebasan yang diperoleh guru dalam KTSP tersebut membutuhkan semangat dan kreativitas guru. Oleh karena itu, kompetensi guru pun harus terus ditingkatkan agar sejalan dengan tujuan KTSP, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit.

Di luar itu, KTSP memberikan peluang yang besar kepada guru untuk memperkenalkan, bahkan menanamkan wacana gender kepada siswa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui jalur formal ini, di antaranya adalah:
1. Melalui pemilihan contoh karya sastra dalam hal ini pemilihan cerpen anak sebagai bahan ajar.
2. Melalui penyampaian contoh-contoh kalimat yang terdapat dalam kutipan karya sastra (cerpen anak)
3. Melalui pemilihan buku teks yang memuat kutipan karya sastra yang berwawasan gender.

Cara-cara sederhana tersebut diharapkan mampu memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini, sehingga kelak siswa memiliki semangat kesetaraan gender. Dengan demikian, bias gender yang selama ini masih melekat di masyarakat secara perlahan-lahan dapat terkikis hingga habis.

DAFTAR PUSTAKA

Darisman, Muh. 2006. Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD. Bogor: PT Yudhistira.

Hellwig, Tinneke. 2003. In The Shadow of Change; Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (diterjemahkan oleh Rika Iffati Farikha). Jakarta: Desantara.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Mufidah Ch. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.
Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan. Diterjemahkan oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2007. Dengan Sastra Menjadi Manusia Susastra 5. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
READ MORE - PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR