Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga
Dimuat di Harian Global (11/20/2010)

Dua manusia duduk berhadap-hadapan di sebuah gerbong kereta yang sedang berjalan menembus derasnya hujan, menembus kelengangan, menembus basahnya bukit dan pepohonan. Keduanya berbincang-bincang sambil mengamati hujan yang turun di luar jendela. Konon, kereta itu juga bernama Kereta Hujan, berangkat dari stasiun Lempuyangan.

"Waah." Kata yang satu tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Lihat itu. Langitnya sampai hitam."

"Oo... Seperti bintik matamu."

"Bukan. Seperti lubang hidungmu."

"Hahahaha."

"Hehehehe."

Hujan turun begitu deras dan semakin deras seperti goncangan yang paling goncang, membuat awan terpaksa memuncratkan warna pekat, lebih sendu dari kelabu. Tetapi dua manusia itu justru santai melihat hujan sambil mengunyah es krim chocolate sundae, sesekali mereka kembali bercakap-cakap, membuang kata-kata, menunggu waktu menggeser cuaca.

"Waah."

"Apa lagi?"

"Pasti langit sedang demam."

"Bisa jadi. Atau malah bersin?"

"Barangkali langit juga kehujanan."

"Mana mungkin?"

"Mungkin saja. Bukankah langit adalah awal segala hujan?"

"Awal hujan adalah awan."

"Awan tergantung di langit."

"Masak sih?"

"Betul itu."

"Jadi, langit seperti lemari, tempat menggantung baju?"

"Benar."

"Tempat menggantung celana."

"Seratus."

"Langit gelap seperti celana dalam?"

"Yak!"

"Apa hujan juga ada di dalam celana dalam?"

"Mm... Kadang-kadang ada."

"Hahahaha."

"Hihihi."

Kedua orang itu tak perlu khawatir, hujan tak bisa menyerang mereka. Hujan terbentur kaca gerbong, memercik seperti tetesan yang sia-sia. Jendela tertutup rapat, hanya rembesan hujan yang seperti embun berada di permukaan kaca bagian dalam. Rapuh. Hujan itu pun seperti tanpa harapan, benarkah? Padahal setiap tetes yang turun ke bumi ini pasti punya tujuan, entah baik atau buruk, yang pasti, mereka sesungguhnya tidak sia-sia. Tetapi langit memang tampak begitu hitam, ditambah lagi sore yang mulai melepas baju, seakan-akan malam sudah mengendap perlahan-lahan. Atau mungkin hujan telah membuat malamnya sendiri."Waah."

"Iya?"

"Langitnya bocor."

"Kok bisa?"

"Tidak pakai pampers."

"Hahahaha."

"Hehehe, lucu ya?"

"Tidak."

"Hahahaha."

Kereta menembus hujan, menembus malam, menebas rel, mendepak tujuan perjalanan, rem tak makan, perjalanan tanpa perhentian, sinyal-sinyal menggigil dalam hujan, warna-warna redup seakan garis-garis cahaya yang pasrah. Masinis mengantuk, ingin tidur berbantalkan telepon genggam. Lokomotif menderu-deru, memecah hujan, gerbong-gerbong bergesekan, remang-remang. Kedua penumpang bercakap-cakap sambil memakan es krim yang meleleh.

"Waah."

"Aduh, apa lagi?"

"Hujan kok tidak berhenti?"

"Hmm.... Iya ya."

"Aneh. Padahal hujan juga berjalan."

"Mungkin kereta kita ini lebih cepat dari jalannya hujan."

"Bagaimana jalannya hujan itu?"

"Tik-tik-tik."

"Aih, itu gerimis."

"Byar-byar-byar."

"Aih, itu petir."

"Brus-brus-brus."

"Nah, itu baru betul. Kalau kereta kita, bagaimana bunyinya kalau berjalan?"

"Wus-wus-wus."

"Aih, itu kereta eksekutif."

"Jeglek... Ngiik... Jeglek... Ngiik."

"Nah, itu baru namanya kereta ekonomi."

"Itu sih seperti suara nenekku yang asma."

"Waah, Nenekmu seorang kereta?"

Petir terdengar, gemuruh, cahaya kilat, langit seperti sandiwara dengan ornamen kematian yang panjang. Seolah menjadi musik pengiring turunnya malaikat maut. Apakah malaikat maut sudah mengenakan jubah kegelapannya? Seperti sebuah drama di atas panggung, kereta berjalan sementara hujan adalah lampu-lampu mungilnya, kemudian turunlah malaikat maut. Mencabut nyawa demi nyawa. Malaikat itu benar ada, tetapi tak ada yang tahu apakah malaikat pernah kehujanan, itu masih misteri, misteri dari sekian banyak misteri hidup. Misterilah yang membuat hidup ini jadi hidup. Dan malaikat maut pun memiliki kehidupan, hidup di alam ghaib, mungkinkah di alam ghaib juga ada hujan? Kalaupun ada, hujan yang ghaib tak akan pernah bisa menggeser hujan yang nyata. Dan tak ada yang namanya kereta ghaib, meski banyak kereta nyata yang mengirim penumpangnya ke alam ghaib. Barangkali alam ghaib memiliki pintu, dan hujan adalah pintu dari sekian banyak pintu, dan kereta adalah tongkat malaikat maut yang terjulur. Di ujungnya ada air mata.

Tidak. Kereta Hujan tak pernah meneteskan air mata. Kereta Hujan sore itu hanya berjalan di bawah hujan, dan hujan berbeda dengan air mata. Dua orang itu masih menatap hujan yang bukan air mata. Es krim chocolate sundae sudah habis, tinggal tisu berserakan. Derak gerbong terdengar bersama udara dingin, ternyata malam telah datang, sekeliling gerbong berangsur-angsur redup. Betapa tipis perbedaan antara nyata dan ghaib. Tiba-tiba salah satu dari mereka pun sadar.

"Waaah."

"Apa sih?"

"Aku baru ingat."

"Ingat apa?"

"Kamu ini kan..."

"Kenapa aku?"

"Kamu penyair yang selalu membuat puisi tentang hujan!"

"Memangnya kenapa?"

"Untuk apa kamu naik kereta ini?"

"Aku... Aku cuma ingin ke puncak tertinggi puisi hujan."

"Ooo..."

"Aku juga tahu, kamu ini penulis yang suka menulis cerita tentang kereta, stasiun, dan kenangan!"

"Terus? Ada masalah?"

"Kenapa ada di kereta ini?"

"Hohoho. Aku hanya ingin tahu stasiun terakhir yang menyimpan kenangan."

"Hmm... Jadi? Kapan kita turun?"

"Ya kalau sudah sampai."

"Berapa lama lagi kita sampai?"

"Ya tidak tahu, kita kan sudah ratusan tahun di kereta ini, lihat saja, tidak ada orang lagi selain kita berdua."

"Waaaaah!"

Hujan menggeram, menggetarkan jendela pada gerbong yang juga selalu bergetar karena gesekan roda pada rel yang gemetar.Konon, di dalam Kereta Hujan yang berjalan di bawah hujan menjelang malam itu memang hanya tersisa dua penumpang. Kereta itu sudah berangkat sejak lima ratus tahun silam dari stasiun Lempuyangan, dan hingga kini belum pernah sampai di akhir tujuan. ***
READ MORE - Kereta Hujan

Ketapang Kencana

Cerpen Bre Redana
Dimuat di Kompas (11/21/2010)


Aku menanam pohon ketapang kencana (Terminalia mantaly) di halaman. Pohon ini kurasa sangat cocok di halaman rumah Mami yang telah dibangun sangat bagus oleh Teh Rani. Wujud bangunan benar-benar seperti Teh Rani. Sederhana, ringkas, mencerminkan wawasan, pengalaman, dan cara hidupnya yang sangat modern di berbagai negara. Bangunan ini paling modis di situ.

Tak ada pernak-pernik di fasat bagian luar. Ia seperti kotak-kotak beton, mengikuti kontur tanah yang agak berundak. Bagian yang menghadap gunung dan bukit terekspos melalui kaca besar. Alam menjadi lukisan terbaik ciptaan Tuhan. Aluminium hitam yang menjadi bingkai kaca itulah piguranya. Penyiasatan ruang yang cerdas.

Dinding bagian dalam seluruhnya berwarna abu-abu, sama dengan warna keramik lantai. Hanya ada dua kamar. Kamar Mami dan kamar yang disiapkan untuk tamu, masing-masing dengan kamar mandi menggunakan shower. Di dekat dapur ada kamar pembantu, dan satu kamar mandi lagi untuk dipakai beramai-ramai.

Ketapang kencana yang aku datangkan secara khusus dari pembibit yang sangat berpengalaman ini tak akan mengganggu estetika bangunan. Kalau besar nanti, dahan-dahannya yang teduh tak akan menutupi fasat bangunan karena bentuknya renggang. Pohon ini kuanggap paling tepat untuk bangunan yang dirancang Teh Rani itu.

Mami sendiri suka. Ia langsung mengomentari dahannya. Berundak-undak, seperti tangga ke surga, katanya. Itulah yang menyenangkan pada Mami. Ia selalu memiliki komentar otentik.

***

Aku memanggilnya Mami, ikut-ikutan anak-anaknya. Dia kakak ibu. Seharusnya aku memanggilnya Uwak. Ketika G30S meletus, keluargaku berantakan. Dari Jawa Tengah, aku dikirim ke kota kecil di Jawa Barat ini, ikut Uwak yang selanjutnya kupanggil Mami.

Kini praktis Mami tinggal sendiri. Anak-anaknya—kecuali Teh Rani—tersebar di beberapa kota di Jawa Barat dan Jakarta. Teh Rani, anak nomor dua yang paling sukses dan makmur, tinggal di luar negeri. Paris, Roma, New York. Sesekali di rumahnya di Bali. Teh Rani pula yang mengatur kehidupan Mami. Di rumah, Mami ditemani dua pembantu setia, Asep dan Kokom.

Semenjak Mami sering terganggu kesehatan belakangan, aku sangat sering mengunjungi Mami. Keadaannya turun naik. Kadang tampak sangat sehat. Pada kondisi seperti itu Mami seperti kami kenal dulu: ceplas-ceplos suka melucu. Pada kali lain bisa tampak sangat drop.

Teh Rani—entah di mana pun—sering meneleponku, menanyakan keadaan Mami. Sebenarnya aku juga tidak melihat keadaan Mami sehari-hari. Kami tinggal di kota berjauhan. Aku sendiri bahkan tergolong sering bepergian, tidak di Indonesia. Hanya saja semua tahu, dibanding dengan saudara-saudaranya sendiri termasuk yang sekota dengan Mami, Teh Rani paling percaya padaku. Keluarga juga tahu, selain Teh Rani, aku punya tempat khusus di hati Mami. Mami sering bilang: rumah lengkap kalau ada Rani dan aku.

***

Bisa kupahami keresahan Teh Rani. Mami makin tua. Dulu mungkin tak terpikir akan muncul keresahan akan Mami. Di rumah banyak orang. Rumah selalu ramai. Apa-apa akan beres dengan sendirinya. Tak pernah kami sadari arti ”banyak orang dan tidak ada orang bagi orang tua”.

Pada perkembangannya, jumlah orang di rumah menyusut dan menyusut. Terakhir-terakhir seingatku masih ada Anti, Risma, dan Deden. Kemudian Anti menikah. Suaminya pegawai Pertamina, bertugas di Cirebon. Ia diboyong ke Cirebon. Menyusul Deden. Deden mendapatkan pekerjaan, setelah beberapa tahun menganggur seusai kuliah di akademi perbankan. Deden diterima bekerja di sebuah bank yang punya kantor cabang di kota-kota kecil. Ia ditempatkan di Tasikmalaya.

Tinggal sendiri dengan Risma, mulai kami sadari bagaimana kalau Risma nanti juga harus meninggalkan rumah. Siapa akan menemani Mami? Lalu, tahu-tahu Risma hamil. Mau tidak mau, menikahlah dia. Aku kurang tahu suaminya kerja apa. Mereka pindah ke Malangbong.

***

Apa yang bisa kami berikan kepada Mami? Teh Rani kutahu berbuat sebisa-bisanya. Rumah dia rombak untuk membuat kenyamanan pada Mami yang tinggal sendiri. Diharapkan itu menghibur Mami. Apa pun kebutuhan Mami diharapkan Mami segera memberi kabar. Cuma sepengetahuanku, Mami jarang sekali menelepon anak untuk menyatakan meminta sesuatu. Hal yang bahkan tak mungkin dilakukannya.

Kegembiraan Mami sejatinya cuma kalau anak-anak dan cucu di rumah. Rumah ramai. Apalagi dengan kehadiran Teh Rani.

Teh Rani—meski tak terucap—bukannya tak paham hal itu. Hanya saja—semua dalam posisi seperti kami—juga tahu, apa yang bisa kami lakukan? Kami punya kehidupan sendiri-sendiri. Menelepon setiap saat pasti. Meski, kami sadari itu juga kurang cukup. Bahkan kadang meresahkan diri sendiri, kalau menangkap Mami tampaknya kurang sehat. Setiap resah akan keadaan Mami, Teh Rani akan terus-terusan meneleponku. Bertanya ini-itu, kapan terakhir menengok Mami, dan seterusnya.

Sekarang ini baru saja Teh Rani meninggalkan Mami setelah berlibur di situ sekitar satu minggu. Seusai itu Teh Rani ke Jakarta, sempat ketemu aku sebentar, sebelum pulang ke Bali dan kemudian balik ke Paris.

Teh Rani meneleponku agar menengok Mami. Ia sempat pula bilang rencananya akhir tahun. Ia akan bertahun baru di New York, bersama Marita, anak perempuan semata wayangnya.

Aku tak jadi ke Bangkok. Aku akan segera menengok Mami, janjiku pada Teh Rani.

***

Rumah sepi. Mami di kamar, tiduran ditemani Kokom yang ikut tidur di kasur sembari memijat-mijat Mami. Asep berbisik, Mami begitu sejak Teh Rani pergi.

Bisa kurasakan perasaan sepi Mami. Kuperhatikan sekeliling kamar. Dinding dan lantai abu-abu yang dalam keadaan biasa bercita-rasa berkelas, pada saat seperti ini rasanya malah menambah rasa dingin. Apalagi, belakangan hujan terus-terusan turun. Daerah ini tambah sering berkabut.

Di dinding kamar terpajang foto Teh Rani dan Marita. Marita sudah besar. Sudah hendak masuk sekolah fotografi di Paris. Kuamati cantiknya ibu anak ini. Dalam foto itu mereka berpelukan mesra, tersenyum, mengenakan pakaian dingin. Tak tahu aku, foto itu diambil di Paris, Roma, atau New York.

Aku merasakan dua dunia terpisah jauh. Kuingat beberapa kali saat aku mengunjungi Teh Rani di Paris. Terbayang St Germain-des-Pres. Di sekitar kawasan gemerlap itu letak apartemen Teh Rani.

Kuingat kebiasaannya ketika berniat jalan-jalan. Selalu saja baru berjalan beberapa saat dia mengajak berhenti dulu di kafe. Ini mah duduk-duduk, bukan jalan-jalan, komentarku. Dia cuma tertawa. Rasanya, semua bangku kafe terkemuka di kawasan Quartier Latin pernah kami duduki. Kami mencari-cari alasan, untuk makan apa saja atau minum apa saja. Di setiap tempat, kami membenarkan diri untuk minum wine. Atau espresso.

Aku perhatikan meja kecil di samping ranjang. Ada gelas teh. Makanan terbungkus daun yang sudah dimakan sebagian. Dulu, semasa kami semua masih tinggal di rumah, makanan berlimpah. Mau makan apa saja dan kapan saja, selalu tersedia. Selintas teringat, di Paris Teh Rani sering mengajakku ke restoran favoritnya, restoran Afrika dengan daging-daging terbaik yang disajikan dengan serba bakar. Kami tak bisa mengekang hedonisme dalam soal makan.

”Kami tidak masak, soalnya tanggung masak hanya untuk Mami,” Kokom menerangkan mengenai makanan yang tersisa di meja.

***

Duduk di pinggir ranjang, aku ikut-ikutan memijit-mijit kaki Mami yang dibalut selimut tebal. Aku tahu Mami tidak tidur, dan pasti juga tahu kehadiranku.

”Mami sakit…,” aku bertanya. ”Mami yang sehat. Nanti kita bikin pesta, bikin bakar-bakaran di halaman,” aku melanjutkan begitu saja.

Dia diam saja. Mata tetap terpejam. Bersama Kokom aku terus memijit-mijit atau mengusap-usapnya. Di matanya yang terpejam, beberapa kali keluar air mata. Kokom dan aku bergantian mengelap dengan tisu.

”Sejak Teh Rani pergi…,” Kokom berbisik padaku. ”Sering nangis sendiri….”

Aku mengangguk.

Lama-lama Mami bergerak.

”Punggung Mami sakit…,” katanya pelan. Tetap dengan mata terpejam.

Aku mengusap-usap punggungnya. Asep dan Kokom senyum-senyum. Kami semua tahu, Mami cuma mencari-cari.

”Sakit sekali ya Mi…,” tanyaku. ”Sampai menangis….”

”Tadi Mami bermimpi…,” ucapnya.

”Mimpi apa, Mi,” tanyaku.

Mami diam saja. Baru beberapa saat kemudian dia bicara.

”Ketapang kencana berubah jadi pohon emas…,” katanya pelan.

”Mami bermimpi ketapang kencana berubah jadi emas?”

Dalam posisi tiduran miring ia menganggukkan kepala.

”Kencana artinya memang emas, Mi…,” ucapku. ”Kencanawungu, emas ungu….”

”Pohon itu tumbuh tinggi sekali, sampai di balik awan…,” ia meneruskan ucapan seperti pada diri sendiri. ”Mami naik memanjatnya. Dahan demi dahan. Tiba-tiba Mami sudah di balik awan dan tak bisa lagi kembali,” lanjutnya, dengan air mata kembali keluar.

”Kembang tidur, Mami…,” kataku.

Mami diam saja.

”Kapan Rani pulang lagi…,” tanyanya pelan.

”Tahun depan. Katanya mau tahun baru di New York.”

Ia kembali diam.

”Tahun depan…,” Mami seperti bicara pada diri sendiri.

”Tahun depan artinya hanya bulan depan, Mi. Ini sudah Desember.”

Dia tak menjawab. Malah berucap sendiri, ”Ketapang kencana….”

Kutatap lagi foto di dinding kamar. Teh Rani dan Marita dengan senyumnya yang manis. Tak ada yang mengalahkan manisnya perempuan Sunda, tetapi foto ini tak mungkin bisa menemani Mami.

***

Kuputuskan menelepon Teh Rani. Dengan antusias dia bertanya, bagaimana keadaan Mami. Rumah bagaimana? Baik-baik saja? Dia bilang, katanya bermimpi tentang rumah. Apa yang diimpikan Teteh, aku bertanya. Ketapang kencanamu bertumbuh bagus sekali. Tinggi menjulang, dahan-dahannya menjadi emas.

Aku terkesiap.

”Halo…,” suara Teh Rani, mendapati suaraku menghilang.

”Oh, halo…,” kataku.

”Kamu mendengar?”

”Ya, ya, aku mendengar,” ucapku.

”Kenapa kamu diam saja?”

Sejenak aku berpikir. ”Tahun baru sebaiknya kita semua di rumah Mami saja…,” ucapku.

Dia yang kemudian balik terdiam.

”Halo,” kataku.

”Ya, aku mendengar…,” kata Teh Rani pelan. ”Aku pikir juga begitu,” tambahnya tetap dengan nada pelan.

”Jadi Teteh akan pulang? Tak jadi ke New York?” aku bicara antusias.

”Tidak jadi. Aku akan pulang. Tahun baru di rumah Mami. Kamu juga. Awas, jangan ada acara lain.”

Aduh, serentak kubayangkan betapa bakal membahagiakannya tahun baru kali ini. Teh Rani adalah pusat keluarga. Rumah akan langsung ramai begitu dia pulang. Kureka-reka sendiri kami akan mengadakan barbeque atau pesta bakar-bakaran di halaman. Cari daging terbaik. Minum wine bersama Teh Rani—sembari mengajari yang lain-lainnya. Mami akan kembali melucu. Mungkin malah merokok. Biar saja.

Kami akan berpesta di bawah ketapang kencana. Cucu-cucu akan lari kesana kemari. Tak kumengerti, bagaimana pohon ini bisa mempertautkan ibu dan anak perempuan kecintaannya dalam mimpi.

Aku berdoa, pohon ini akan tumbuh subur, selalu hijau di segala musim seperti sifat-sifatnya yang kupelajari dari buku. Tak perlu menjadi pohon emas, dan Mami selalu sehat….

Banjarsari, November 2010
READ MORE - Ketapang Kencana

Kado Cerpen Istimewa dari Mantan Murid

Namanya Mochammad Farhan. Dulu, dia murid saya waktu SMP (2001-2004). Sekarang sudah menjadi teman dan sahabat saya, hahahaha :lol: meski masih tampak benar sikap hormatnya pada mantan gurunya yang katrok ini. Terbukti ketika suatu malam dia bertandang ke rumah, meminta saya untuk membenahi blognya di sini. Maklum, dia baru saja kenal blog. "Wew... kalau mau belajar ngeblog, ya langsung dioprek-oprek sendiri, dong, biar saya yang mbantu!" begitu jawab saya. Dengan cara yang amat santun, dia pun setuju dan hanya kutunjukkan cara-caranya saja.

Sebagai mantan gurunya, tentu saja saya merasa senang dan bangga. Waktu SMP, Farhan memang saya kenal sebagai murid yang cerdas dan rendah hati. Senyum dan keramahannya hampir tak pernah saya lupakan. Lebih membanggakan lagi, ternyata dia juga suka menulis teks sastra, baik berupa puisi maupun cerpen. Cerpennya berjudul "Rain On Desember" pernah dimuat di majalah sastra Horison (edisi Desember 2006). Tentu saja layak diberi apresiasi. Lha wong cerpen saya saja belum pernah dimuat di majalah sastra yang cukup bergengsi itu, kok, hehehehehe :lol:

Jelas bahwa keberhasilan Farhan menembus majalah Sastra Horison bukan lantaran *halah* "gemblengan" mantan gurunya, melainkan lebih disebabkan oleh ketekunan, minat, dan keseriusan cowok kelahiran 18 Februari 1988 yang pernah menjadi Aktor Terbaik Nasional Drama Pelajar se-Indonesia 2006 dan Nominasi Aktor Terbaik Drama Pelajar se-Jateng 2007 itu dalam menekuni dunianya. Ketekunan, minat, dan keseriusan itu mampu membuahkan pemikiran dan karya kreatif juga berkat atmosfer lingkungan yang sangat mendukungnya. (Profil Farhan selengkapnya bisa dibaca di sini!)

Nah, melalui "Buku Tamu" di blog ini, dia minta agar cerpennya yang pernah dimuat di Horison itu bisa dimuat di blog ecek-ecek ini. Ok, Farhan, permintaanmu saya penuhi. Berikut ini cerpen Farhan selengkapnya! Selamat menikmati!

Rain On Desember *)

Cerpen: Mochammad Farhan

Gadis berponi dan berwajah Barbie itu kembali mengenakan jaket kebesarannya yang berwarna merah cerah. Sudah dua hari ini ia mengenakan kostum itu. Tubuhnya yang kurus tinggi semakin apik dan anggun dengan tampilan warna yang menyala dan sportif. Agaknya ia pandai sekali membungkus tubuhnya yang kurus dengan jaket yang mampu menutupi kekurangan tubuhnya itu. Kerampingan tubuhnya tetap terlihat dengan model jaket modis yang ia kenakan. Rambutnya yang panjang sengaja diikat dengan karet gelang yang biasa saja. Namun, itu tidak mengurangi kelebihan maha karya Tuhan ini. Bahkan, dengan kesederhanaan yang entah disengaja atau tidak, ia terlihat istimewa, terkesan aristokrat, dan menawarkan tatapan mata yang polos. Tatapan mata yang mengundang decak kagum bagi orang yang melihatnya. Jika ia sedang berjalan, semua mata anak-anak IPS akan melirik dan mengaguminya.

Meski kesan tomboy yang didapat dari cara ia melangkahkan kakinya, gadis ini tetap saja cantik. Kontan saja anak-anak bereaksi bermacam-macam. Ada yang bersiul dan ada yang berusaha menyapanya dengan basa-basi mesra, seperti selamat pagi, hai, halo dan sebagainya. Anehnya, ia tetap santai saja tanpa pernah menimbulkan kesan sombong. Kadang ia menjawabnya dengan senyuman ramah. Kadang juga diam, menunduk, atau berjalan cepat-cepat. Oleh karenanya, wajar saja dan tidak ada protes jika kukatakan bahwa ia adalah salah satu penghuni SMA 2 ini yang tercantik dan bertampang innocent.

Jika tak salah dan memang benar, nama gadis tinggi semampai itu Shanty. Ia duduk di kelas III IPA 2 SMA kami. Terus terang, nama yang dimiliki itu cocok dengan wajah dan penampilannya. Disamping cantik dan cerdas, ia memiliki wajah yang eksotik, khas ketimuran dengan kulit bersih kecoklatan. Namun ciri khas yang melekat padanya justru jaketnya yang menutupi seragam OSIS di kala berangkat dan pulang sekolah.

Sekali lagi aku tak tahu apa karena baju jaketnya yang dikenakan memang bagus model dan warnanya atau karena orang yang memakainya. Yang pasti saat ini ia kembali berjalan melewatiku yang sedang mencuri sedikit pandang pada wajahnya yang cuek. Tapi…ah! Agaknya ia pura-pura tidak melihatku. Ia tak melirik sedikit pun pada diriku yang sangat berharap melihat barisan giginya yang rata bak biji mentimun. Ia tetap menatap kosong ke depan. Lurus! Seolah aku tak ada saja!

Untung aku termasuk orang yang sabar. Aku masih mampu mengendalikan situasi dan kondisi. Aku pun pura-pura tak melihatnya. Maklum jaga image. Kembali lagi aku melihat deretan huruf yang tertata rapi dalam buku kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono ini. Yah, buku ini menjadi penyelamat bagiku. Reputasiku terselamatkan oleh aksi membaca buku puisi Hujan Bulan Juni ini.

Tapi aku tergoda untuk menengadah dan melihat sosok gemulai yang berjalan menuju kelas terpojok dari sekolah kami. Yah, kelas paling ujung miliknya yang berada didekat pusat pembuangan sampah! Bahkan, kelas itu dekat pula dengan kuburan desa! Hanya dipisahkan tembok sekolah! Otomatis, selain banyak nyamuknya, suasana kelas itu menyeramkan dan bisa untuk uji nyali Dunia Lainnya Trans TV. Anehnya kelas itu justu banyak penghuninya yang cantik-cantik. Sudah siswa cowoknya paling sedikit, ceweknya saja ada tiga puluh enaman. Wah, apa nggak laris tuh cowok-cowok kelas IPA-nya. Lho-lho aku kok jadi sentimentil dan penuh kata-kata bernada emosional begini gara-gara tidak mendapatkan senyuman gratis di pagi kelabu ini.

Yah itu bentuk perjuanganku yang kurang sukses. Dulu pun aku mengenalnya juga secara kebetulan. Kami sama-sama aktif di PMR dan OSIS. Aku pernah bersamanya menangani sebuah kegiatan dalam rangka kegiatan ulang tahun SMA ini. Awalnya aku tidak tertarik dengan tipe cewek seperti ini. Bagiku, ia teramat sibuk dengan beragam aktivitas sekolahnya. Lesnya saja bermacam-macam. Semua mapel ia kejar jadwal tayangnya (memang sinetron!). Agaknya pula ia tipe cewek yang tidak suka pacaran. Waktu bagi dia adalah kesempatan untuk membenahii dan mengembangkan diri. Tak ada sisa waktu untuk hura-hura, pesta dan hiburan. Sudah banyak anak-anak IPS dan IPA yang menjadi korban cintanya. Semua bertepuk sebelah tangan. Ia tetap teguh dengan pilihannya. Ia rela menjomblo demi sebuah cita-cita yang diinginkannya. Tapi mungkin witing trisna jalaran saka kulina. Pepatah jawa itu agaknya mulai berlaku. Semakin aku berusaha menolak kehadiran cewek itu di dalam benakku, eh, semakin ia hadir dalam angan dan mimpi-mimpiku (cie!).

Yang jelas, ini sudah langkah kesekian kalinya aku gagal mengirim senyum pagiku padanya. Ia selalu terdiam untuk menengok wajahku yang kata ibuku ini sudah cakep dan rupawan. Ya, meski tidak ganteng-ganteng amat, aku dilahirkan dengan wajah yang lumayan kece…, cukup cerdas, dan memiliki postur tubuh yang semampai, maksudnya semester gak sampai alias pendek gitu. Aku berambut tipis berhidung mancung, namun sayingnya masuk kedalam, dan kloplah kalau teman-temanku yang iri pasti mengatakan aku bagai pungguk merindukan bulan bila mengharapkan cinta dari Shanty.

Ya begitulah kalau orang ngiri pasti ada saja fitnes eh fitnah yang ditujukan padaku. Ketika kenal saja belum dengan cewek itu, aku dituduh sudah main dukun segala.

Kata guru BK, kegagalan adalah awal menuju sukses. Biarpun kita selalu mendapatkan kegagalan, cobalah untuk memiliki keberanian mencoba lagi. Jangan peduli kata orang lain. Pokoknya anjing menggonggong kafilah pasti berlalu. Walaupun gagal berkali-kali aku harus tetap maju terus pantang mundur. Rawe-rawe rantas malang-malang putung, bersatu kita teguh, bercerai kia kawin lagi (lho seru!). Hari ini gagal lusa pasti gagal lagi (he…he…)!

Maka mulailah perjuangan paling bersejarah dalam hidupku. Aku mulai mengirim bunga pada Shanty. Sebagai orang yang masih memiliki darah orang Bali, pasti ia suka bunga. Semua bunga aku kirimkan. Kecuali bunga bank. Bukannya aku sok kaya, tapi sungguh aku selalu mengirim ia bunga-bunga yang baunya semerbak. Meskipun demikian, ia tetap saja tidak memberikan sinyal-sinyal positif. Pasalnya bukan bunga mawar atau criscant yang aku kirimkan, namun bunga melati, kamboja putih, kenanga, dan selasih yang berbau mistik. Terang aja ia tak bertambah simpati padaku eh malah ketakutan dan pucat. Wah…wah, rencana kedua gagal. A ku harus berpikir rencana yang ketiga bagaimana agar ia bisa tertarik padaku. Akhirnya, aku mulai rajin mengunjungi perpustakaan sekolah. Aku membaca buku-buku tentang kiat sukses menggaet cewek. Selama satu minggu aku mengutak-atik bacaan yang terkait dengan psikologi cinta. Dari buku itu aku dapat pengetahuan tentang cinta dan solusinya.

Mulailah aku menerapkan ilmu yang baru kudapatkan. Kata Kahlil Gibran dalam Sang Nabi, wanita akan jatuh pada pelukan laki-laki bila ada bait-bait puisi yang menggetarkan hati mereka. Lalu, rajinlah aku membuat puisi cinta. Berkali-kali aku melihat majalah Horison untuk sekedar mencocokkan diksi yang bagus-bagus. Kata guru bahasaku teknik membuat puisi yang sudah pernah dimuat di majalah Horison pasti bagus. Agaknya aku setuju dengan pendapat itu. Puisinya Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Wan Anwar, Herfanda, Suminto, Emha, Jamal, dan Sutardji aku pelajari semuanya. Eh, tidak ada yang cocok dengan kata hati. Semuanya puisi serius. Aku mulai bingung. Mana ada ya puisi di rak-rak perpustakaan. Hai, ternyata ada puisi-puisi penyair muda berbakat. Puisi ini cocok dengan getar jiwa yang saat ini melanda hatiku. Mulailah aku merangkai kata dengan sedikit menengok kata demi kata yang hadir dalam buku itu. Yak sip lah, akhirnya selesai sudah. Siang ini harus aku kirimkan. Mumpung cuaca cerah en matahari bersinar padat bergizi (memangnya es krim ).

Dengan langkah gagah dan penuh percaya diri hasil didikan pramuka sekolah, aku melewati kelas demi kelas. Hatiku semakin bergetar dan tidak karuan. Dag… dig...dug...der, wah kayak mercon saja. Semakin mendekati pintu IPA 2 kakiku bertambah berat bak memakai sepatu kuda yang beratnya berkilo-kilo. Langkah terseok bagai siput malas yang keberatan rumah dinasnya.

Belum sempat aku menghembuskan nafas yang terakhir, eh lega, tiba-tiba wajah Shanty sudah mengepul di depanku. Hampir saja ia menabrak diriku yang mendadak berdiri mematung. Ia langsung membuang muka dan berjalan tergesa-gesa dengan teman sekelasnya yang tentu saja lebih ganteng dariku. Waduh sialan betul! Terlambat sudah! Dasar perempuan cantik! (Lho umpatan kok begitu )! Secara refleks aku memutar balik. Aku panjangkan langkahku untuk mencapai kelasku. Ceritanya aku putus asa. Aku lesu dan pingin marah rasanya. Langit meruntuhkan gerimis tipis-tipis. Awan menggelantung, menahan panas yang tak tersampaikan pada tanah dan rerumputan sekolah. Seakan gelap menyapaku hari ini. Seakan pula gerimis jatuh itu adalah air mata hatiku yang hancur berkeping-keping. Hatiku teriris melihat kemesraan ntara Shanty dan Sutadewa, sosok cowok yang bersamanya.

Bel pulang sekolah berbunyi tiga kali dengan nada yang panjang. Semua temanku berlari keluar kelas dengan gemuruk dan teriak-teriak tanda kepuasan dan kemerdekaan setelah penat belajar selama satu hari ini. Aku lihat awan masih menggelantung di tengah-tengah areal persawahan depan sekolah kami. Langit gelap dan menyemburkan petir sesekali. Dari jendela kelas aku melihat Shanty berjalan dengan memakai jaketnya yang khas. Jaket itu lain sekali dengan biasanya. Model jaket kali ini berbentuk lebih dewasa dengan kaki yang agak kaku. Meski demikian tetap saja ia kelihatan cantik dan imut-imut. Di sebelahnya ada Bidari dan Btari yang sebetulnya tidak kalah cantiknya. Bidari berwajah tirus dengan kulit lebih putih dari Shanty, sedangkan Btari wajahnya agak bulat dengan rambut yang sengaja dibuat shaggy sedikit nge-punk. Bidari agaknya mulai pula memakai jaket yang coraknya hamper sama dengan milik Shanty. Mereka tetawa-tawa. Mereka tersenyum-senyum. Sedang aku di sini hanya menatap nanar keceriaan mereka. Tangan ku masih memegang puisi yang belum sempat kuberikan padanya.

Tiba-tiba, muncul keberanianku untuk bangkit dan mengejar Shanty yang sudah sampai di pintu gerbang sekolah. Hampir saja aku dapat mengejarnya. Eh, lagi-lagi Sutadewa sialan sudah nyamperin di balik pintu gerbang denga keramahan yang dibuat-buat. Lha, sebel! Lagi-lagi kalah! Aku hanya menatap sendu ketika Shanty dengan lincah duduk membonceng sepeda motor Mega Pronya. Tapi aku tetap berjalan cepat. Pura-pura aku tidak melihat teman-teman mereka yang tersenyum mengejek atas kegagalanku yang kesekian kalinya. Untung aku adalah laki-laki sejati. Aku kuat menahan derita dari tatapan-tatapan penuh tawa milik Btari maupun Bidari

Baru lima menit berjalan cepat, tiba-tiba ada kerumunan orang yang merapat ditengah jalan raya.

“Ada kecelakaan! Ada kecelakaan!” teriak orang-orang sambil berlari medekat pada kerumunan itu.

Astaga! Naluriku mengatakan ada sesuatu yang menyangkut Shanty. Tadi Sutadewa mengendarai motornya terlalu cepat dengan kondisi jalan dan cuaca yang tidak bersahabat seperti ini.

“Siapa Bang!” tanyaku pada orang yang sudah melihatnya.

“Kelihatannya anak SMA sini, seragamnya pramuka,” jawabnya.

Deg! Langsung aku menyerobot dan masuk untuk melihat secara langsung siapa yang mengalami kecelakaan. Masya Allah! Ternyata Shanty terkapar dengan darah pada wajah dan tubuhnya.

“Bang, tolong! Carikan becak atau mobil!” perintahku cepat. Orang-orang hanya bengong saja tanpa ada reaksi untuk menolong. Langsung saja aku bopong tubuh Shanty sambil nekat mencegat mobil umum yang paling dekat.

“Antar kami ke rumah sakit!”

“Semua diam dan takut. Penumpang Isuzu itu hanya diam pula. Namun sopirnya dengan sigap langsung mengendalikan mobil itu cepat-cepat!

Tidak ada sepuluh menit kami sudah sampai dirumah sakit dr. Suwondo. Suster dan perawat menyongsong kami dengan peralatan dan kereta dorongnya. Lalu semuanya menjadi urusan dokter dan perawat itu.

Mataku tiba-tiba pedih dan berkunang-kunang. Agaknya aku kepingin pingsan di kursi ruang tunggu rumah sakit ini. Antara lelah atau pingsan, aku sudah tidak ingat lagi.
***

“Ti, bagaimana sih keadaannya?” Tanya Btari pada Shanty yang sudah siuman.

“Aku juga tak tahu. Tiba-tiba motor Suta sudah ndak bisa dikendalikan. Sepeda motornya oleng, lalu semuanya gelap,” jawabnya mengingat kejadian sambil memegang kepalanya. Agaknya dirasakan masih pening.

“Terus bagaimana kabarnya Sutadewa, Ti?”

“Waktu itu aku juga ndak tahu, tuh?”

“Alah Ti, biarin saja. Kalau perlu lupakan saja. Wong dia nggak punya tanggung jawab. Sudah njatuhin kamu eh malah kabur.”

“Benar Ti, Lagian masih banyak cowok lain kan yang naksir kamu?”

“Ah, masak sih?”

“Benar, contohnya si punguk itu.”

Tiba-tiba ekspresi Shanty berubah. Ia langsung diam tanda tersinggung dengan ucapan Btari barusan. Ia sudah diceritani oleh perawat rumah sakit bahwa yang menolong dan membawa dirinya ke rumah sakit adalah Farid. Anaknya hitam dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Perawat itu juga mengatakan andai saja tak ada farid mungkin saja ia sudah kehilangan banyak darah. Tak hanya itu. Saat ia membutuhkan golongan darah A, kebetulan rumah sakit dan PMI sudah kehabisan stok darah, eh farid dengan ikhlasnya juga menyumbangkan darahnya. Ia tidak mengerti mengapa masih ada anak sebaik itu kata perawat kemarin.

Ah, Farid maafkan aku selama ini. Lalu ia menarik sebuah kertas kumal yang agaknya berisi sebuah puisi. Ia sudah membacanya berkali-kali. Matanya berkaca-kaca. Tetes air mata membasahi kata demi kata puisi itu.


RAIN ON DECEMBER

Nothing more resoluted
Than the rain on December
It’s kept drizzle yearning in secret
To that bleeming tree

Nothing more wisdom
Than the rain on December
It’s being eraed on the feet step
That hasitant through that street

Nothing more learned
Than the rain on December
It’s didn’t care of an untold story
Absorbed by the root of flower tree

By farid, 30 December 2005

*) Cerpen ini dimuat di majalah sastra Horison pada bulan Desember 2006. Penulis menulis cerpen ini berdasarkan pengalaman pribadi yang telah diubah alur dan tempatnya sesuai dengan cerita.


READ MORE - Kado Cerpen Istimewa dari Mantan Murid

Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

Cerpen Martin Aleida
Dimuat di Kompas (05/23/2010)

Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah itu. Walau usia sudah mengelupas kulit batangnya, namun dia tetaplah yang paling menjulang di antara pepohonan yang ada di sekeliling.

Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang lalu.

Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong. Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya. Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran.

Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya anak sendiri. Teman malah.

Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik. Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan belakang.

Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas.

Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan penuh minat.

Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka sendiri.

”Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan yang paling membahagiakan. Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya sudah di depan mata. Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya…!” begitu kata seseorang di buku harian itu.

”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik, bukannya seperti menyuapkan simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?!” tulis yang lain menumpahkan kedongkolan.

Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: ”Sumpah, swear! Kesemarakan hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih, gue kepingin mati di sini aja.” Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa sih, he-he.”

Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang terlalu berterus terang dan tajam di situ. ”Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar. Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang beriman? Kandang kuda tak sepesing ini.”

Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik ketenangan mereka.

”Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit!” Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan di buku harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan.

Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini… Aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini.”

Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti.

Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan terima kasih dan peluk cium.

”Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada lembar-lembar halamannya kepada siapa kita telah belajar tentang keberanian dan memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian ini,” katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata.

Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran.”

Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu diputuskan supaya ditanam. ”Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu membuat upacara di bawah pohon itu terdiam oleh haru.

Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian pertama, diikuti semua muridnya, satu-demi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan belakang sekolah itu.

Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah.

Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk itu adalah besi kempa berukir.

Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid- muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan.

Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal. ***
READ MORE - Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

Aiptu dan Pacarnya

Cerpen Nadjib Kartapati Z.
Dimuat di Jurnal Nasional (05/30/2010)

Polisi berpangkat aiptu itu, atau lelaki tegap atletis itu, atau si bujangan tampan itu, malam ini datang di tempat kost pacarnya karena sore tadi sang pacar mengundangnya melalui pesan singkat. Sang pacar, Sari namanya, langsung memukuli dadanya dengan kedua tinjunya, sekuat tenaga, sambil menangis dan meracau seperti sedang kesurupan.

Lelaki tegap atletis itu sudah terdorong ke dinding tapi pacarnya masih saja merasuk kesetanan. Ia tangkap kedua lengan pacarnya sampai tak berkutik. Tangisnya tinggal sengguk ketika bujangan tampan itu berhasil merengkuhnya dalam dekapan. Namun tak lama, tiba-tiba Sari kembali muntab dengan menarik-narik baju polisi berpangkat aiptu itu.

“Kamu jahat! Kamu tega! Kamu nggak mau dengerin permintaan gue! Gue benci kamu, benci sekali.”

Ia diam saja seperti sudah maklum. Yang muncul dari ingatannya adalah lelaki muda bertubuh kekar dan berahang segi empat. Rambutnya gondrong sebahu. Lengan kirinya bertato naga serta bergelang akar bahar, dan lengan kanannya bertato kalajengking. Ada dua cincin bermata batu akik besar di jari tengah dan jari manisnya, yang satu abu-abu dan satunya lagi berwarna jelaga. Beberapa hari lalu pacarnya sudah menjelaskan seluruh identitas itu. Lebih dari tiga kali, dengan harapan dia tak lupa. Juga sudah disebutkan tempat mangkal lelaki gondrong itu. Di sekitar pangkalan truk tidak jauh dari gudang-gudang China di kawasan Kota, masuk dalam wilayah sektor tugas Sang Aiptu.

“Tolong selamatin dia! Terserah kamu, Bang, gue nggak tau caranya!”

Ia bukannya tak ingat pesan pacarnya saat ia menjalankan operasi gabungan tiga hari lalu. Bahkan ketika itu ia sempat bergumam sendirian, “Oh, itu dia. Rambut sebahu. Rahang segi empat. Tato naga dan kalajengking. Gelang akar bahar dan cincin bermata akik.”

Astaga! Cintanya yang berkobar kepada pacarnya seperti hanya sebagian saja dari isi hidup yang ia punya. Riaknya menjadi tidak begitu kuat sehingga tergulung oleh bagian-bagian isi hidup yang lain, yang ia namai tanggung jawab, kehormatan, panggilan tugas, karier, harga diri, dan seterusnya. Demikian cepat kejadiannya sehingga ia tak sempat melibatkan hatinya untuk ikut merasakan dan menimbang-nimbang, atau mengajak pikirannya untuk menghitung untung rugi bagi diri dan masa depan percintaannya.

Lelaki bertato itu mengambil langkah seribu ke dalam gang, dan serta-merta membuat Sang Aiptu memperoleh totalitasnya sebagai polisi. Setelah mengejar dengan loncatan macan kumbang, dia menjelma bagaikan cheetah saat berlari di sela-sela lorong dan gang. Ia kenal persis kawasan itu lantaran pernah menangani kasus perampokan di sana. Bahkan kemudian hafal gang demi gang yang berkelok, baik yang tembus maupun yang buntu. Sia-sialah pelarian lelaki berahang segi empat itu karena pengejarnya tahu persis ke mana harus menembus jalan pintas untuk menghadang.

Ia telah menangkap preman itu sendirian, dengan penguasaan medan, dengan kecerdasan dan ketangkasannya yang profesional. Ia telah menggiring lelaki itu dalam operasi preman yang ke sekian kali ia jalani.

* * *

“Gue merasa nggak lebih dari angin lalu. Secuil juga kamu nggak peduli sama kata-kata gue! Nyakitin! Pacar macam apa kamu ini?”

Ia mencoba merangkul pacarnya untuk menenangkan, tetapi tangannya ditepis dengan kasar. Gadis itu mundur selangkah dengan tatap mata permusuhan.

“Gue benci kamu! Jangan sentuh gue!”

“Tapi kamu sendiri nggak pernah bilang siapa lelaki itu.”

“Dia abang gue. Dia yang selama ini bekerja buat biayai kuliah gue.”

Sekaranglah, ia, lelaki lajang yang tampan itu, baru menyadari betapa banyak yang tidak ia ketahui tentang jati diri pacarnya. Ia terlalu sibuk mengeja hati gadis itu untuk menemukan kalimat cinta buat dirinya, sehingga bising asmara telah sejenak membuat jeda dari nalurinya sebagai polisi. Mungkin hal itu karena usianya yang sudah 32 tahun, yang membuatnya cemas menjadi bujang lapuk dan ketergesaannya ingin segera menyunting kekasihnya. Apalagi kekasihnya masih relatif muda dibanding dirinya, suatu kenyataan yang sulit didapatinya lagi.

Selama ini ia hanya melihat apa-apa sekadar yang bisa ia tangkap dengan mata. Dalam pandangannya, pacarnya adalah gadis cerdas yang bisa kuliah di universitas negeri yang paling bergengsi di ibu kota, hanya dengan biaya dari hasil ayahnya buka warung kecil di beranda rumah. Betapa bodohnya ia karena berpikiran bahwa warung yang isinya hanya beberapa bungkus rokok, sabun detergen, bumbu masak, gula pasir dalam kemasan plastik, chiki-chikian, obat sakit kepala dan sekawanannya, itu, labanya dapat menutup kebutuhan uang kuliah dan sewa kamar kost di Depok. Ayah Sari yang sejatinya mantan tukang parkir atau bahkan pernah jadi preman itu pun selama ini ia kira sebagai pensiunan tentara.

Kini ia hanya tergolek di kursi kayu di sudut kamar sambil menatap kosong pacarnya yang tergugu karena rasa kecewa. Alangkah banyak pintu-pintu di belakang gadis itu yang sekarang mulai terkuak satu demi satu. Pintu-pintu yang sebelumnya bukan saja tertutup rapat, tetapi bahkan ia lihat pun tidak.

“Jadi kamu punya Abang? Kenapa nggak pernah ngenalin ke aku?”

“Itu pertanyaan tolol!”

Setiap Sabtu malam saat gadis itu balik ke rumah orang tuanya di Klender, ia selalu mengunjungi sang pacar. Ia tak bisa menghitung lagi, yang pasti lebih dari sepuluh kali. Namun kenapa ia tak pernah melihat pria gondrong bertato itu? Atas penjelasan pacarnya kini ia tahu bahwa lelaki gondrong bertato itu diusir ayahnya karena pekerjaannya.

“Dulu, sewaktu muda, ayahku juga preman jalanan. Peras sana peras sini. Tipu sana tipu sini. Palak sana palak sini. Ayah bukan orang sekolahan. Dia nggak punya keterampilan apa-apa. Tapi dia nggak mau anak sulungnya meniru dia. Ayah berubah saat usianya mulai menua. Dia lebih bahagia makan seadanya dari hasil membuka warung di rumah seperti yang kamu lihat itu.” Demikianlah Sari menjelaskan.

Abang Sari alias lelaki gondrong bertato kalajengking itu memprotes ayahnya karena sang ayah dipandang tidak adil. Sama-sama bukan orang sekolahan, sama-sama tidak memiliki keterampilan apa pun, juga sama di usia muda, kenapa sang ayah boleh menjadi preman sedangkan dia tidak? Bukankah penyebabnya dua hal yang sama: tak punya ijazah dan keterampilan?

“Tapi beda dengan Ayah. Abang lebih jeli membaca kemungkinan,” papar Sari kepada Sang Aiptu. “Abang pernah bilang ke gue kalau dia nggak perlu nunggu tua buat mengakhiri kehidupannya yang hitam. Abang melihat kemungkinan baik itu ada pada diri gue kalau saja antara dia dan gue sepakat untuk mengikat komitmen.”

Polisi tampan bertubuh atletis itu mengisi tatapan matanya yang kosong dengan keingintahuan. Ingin ia menghampiri pacarnya yang terduduk lesu di sisi ranjang. Ingin ia memegang lembut kedua lengan pacarnya seraya meminta agar mau bercerita banyak. Namun ia hanya mengucap satu kata menyerupai gumam yang nyaris tak terdengar oleh telinganya sendiri, “Komitmen?”

“Ya, komitmen! Semacam transaksi jual-beli buat menghapus noda hitam yang selama ini mengotori keluarga gue.”

Sudah sejak lama lelaki bertato itu melihat sinar cemerlang di kening adiknya. Sejak Sari selalu menjadi bintang kelas sepanjang sekolahnya di SD. Sejak Sari mengukuhkan prestasinya di SMP di mana ia selalu masuk ranking lima besar teratas. Sejak Sari membuktikan bahwa selama sekolah di SMU tak pernah memperoleh nilai di bawah angka delapan untuk mata pelajaran apa pun. Terakhir ketika Sari lulus UMPTN dengan nilai yang mencengangkan, ketika begitu banyak siswa menangis sedih karena gagal, ketika begitu banyak orang tua murid gamang mencari perguruan tinggi swasta. Dan ketika itulah lelaki bekas tukang parkir yang dipanggilnya ayah itu menyatakan tidak mampu lagi membiayai anak gadisnya melanjutkan sekolah.

Maka di sinilah arti si lengan bertato kalajengking itu bagi Sari. Banyak uang dari kantong para sopir truk yang bisa ia rampas tiap hari. Banyak duit dari saku para pedagang yang akan mengirim barangnya yang dapat direnggutnya kapan saja ia mau. Ia hanya menukar semua itu dengan gertak dan janji keamanan. Duit itu ia alirkan untuk uang kuliah adiknya, uang praktik, uang buku, sewa kamar kost, makan, transport, sampai pada keperluan beli pulsa dan alat kosmetika. Ia investasikan hasil kerjanya demi keberhasilan pendidikan si adik, yang pada gilirannya akan mengangkat martabat keluarga, menghapus noktah hitam premanisme yang tak pernah henti membayangi generasi keluarga besarnya.

Polisi berpangkat aiptu itu tercekat seperti menahan geram. “Apakah dengan cara itu kamu pasti berhasil?”

“Lebih baik kamu tanya apakah upaya gue ini masuk akal atau nggak?”

“Tapi kamu akan menjadi sarjana hukum, Sari! Sarjana hukum!”

“Memang kenapa? Hanya dengan cara itulah gue dapat memutus mata rantai premanisme di lingkungan keluarga gue. Ngerti kamu?”

Mata Sari menyala-nyala merah seolah jiwanya kembali terusik. Ia bangkit dan menghampiri lelaki tampan itu, berdiri persis di hadapan Sang Aiptu sambil berkacak pinggang. Lalu ia meracau seperti orang sakit panas, “Gue akan jadi sarjana hukum, tau kamu? Terus gue ngambil strata dua, kalo perlu sampai doktor. Terus gue akan jadi pengacara, tapi bukan buat orang-orang miskin. Gue cuma mau jadi pengacaranya orang-orang berduit, nggak peduli mereka itu koruptor. Itu jauh lebih terhormat daripada gue hanya tamat SMU dan cuma becus jadi waitress atau lady escort di karaoke, yang kalau perlu duit banyak mesti mau dibawa om-om. Dengan menjadi pengacara gue akan raup banyak uang, dan karena itu gue sanggup nyekolahin adik gue, anak-anak abang gue, juga anak-anak gue sendiri kelak, supaya dari mereka nggak ada yang kepaksa jadi preman jalanan. Tau kamu?”

Sari berhenti bicara, seperti tercekat dan tersadar dari mimpinya. Ia tahu harapannya sudah punah. Tangisnya kembali pecah. Ia tarik lagi kerah baju polisi berpangkat aiptu itu dengan kasar. “Gue nggak akan pernah maafin kamu, Sang Aiptu! Gue sakit hati lebih karena kamu nggak ngegubris permintaan gue. Kita putus!”
* * *

Polisi berpangkat aiptu itu, seperti lelaki lajang yang lain, di mana pun, hatinya bolong diputus cinta. Ia bawa hatinya yang kosong itu ke tempat-tempat rawan. Ke terminal. Ke stasiun. Ke pangkalan truk. Ke lampu merah. Ke pasar-pasar. Konsentrasinya hanya pada target buruannya. Ia tak mau tahu apakah setiap lelaki bertato yang dihadapi kemudian itu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Atau punya adik yang masih kuliah dengan sejibun impian. Atau sekadar pencari bekal membanting balak enam dan menenggak wishky. Ia tak mau peduli.

Namun, lelaki tampan atletis itu begitu cemas menghadapi malam-malamnya. Ada kesunyian yang nyaris tak tertanggungkan. Kesunyian yang hanya terobati oleh sapaan pacarnya, yang ia tahu kini sedang menanggung rasa kecewa. Seperti kekecewaan Drupadi terhadap Bisma yang hanya bisa ternganga tatkala Kurawa mencoba menelanjanginya. Kecewaan yang ia sadari tak akan pernah melahirkan kata “memaafkan”. Ia ingat ibunya pernah berkata, “Sengaja atau tidak, jangan pernah sakiti hati perempuan, karena raungannya sampai ke ujung zaman.”

Tiap malam ia selalu merasa sepi. Dulu, ia rajin mengekspresikan perasaannya melalui denting-denting gitar petikannya. Sekarang gitar itu hanya mengonggok di sudut ruang, menjadi simbol bagi kesepian itu sendiri.

Polisi berpangkat Aiptu itu sudah letih menunggu kabar dari pacarnya yang tak kunjung menyapa, termangu dirambahi usia. Tetapi tak dapat ia mungkiri, hatinya begitu sejuk, begitu punya arti setiap kali membaca pesan singkat yang belakangan kian sering masuk ponselnya. Pesan singkat dari sahabat-sahabatnya orang sipil. Dari para tetangganya. Juga dari teman-teman lamanya di sekolah dulu. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih. Mereka bilang, mereka kini merasa aman berada di tempat-tempat yang sebelumnya terkenal sangar.***
READ MORE - Aiptu dan Pacarnya

Sesandu

Cerpen Gerson Poyk
Dimuat di Jurnal Nasional (05/16/2010)

Namaku Immanuel. Sejak kecil aku dipanggil Nuel. Aku lahir dari rahim seorang perempuan Rote, pulau paling selatan di republik ini. Ibuku kawin dengan seorang lelaki pedagang pakaian bekas berasal dari Sulawesi Selatan. Baru berumur tiga bulan, ayahku hilang ditelan ombak dan arus di selat Timor dan Rote, selat Pukuafu. Setelah berumur lima atau enam tahun, barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu.

Aku bisa mengenang ibu membawaku berjalan kaki dari kampung ke kampung, berjualan pakaian bekas. Kalau tidak dengan uang, maka pakaian bekas itu ditukar dengan jagung dan gula. Dalam perjalanan, kalau ibu membuat gula, aku diberi gula. Kalau aku haus, ibu membeli nira lontar dan aku minum sepuas-puasnya. Makanan yang paling aku suka adalah kue cucur. Itu pun bisa kumakan kalau pakaian bekas ibu laku. Akan tetapi makanan yang paling sehat adalah jaung tepung dicampur gula dan kacang ijo goreng kering tanpa minyak. Sering aku dan ibu kelelahan di perjalanan dari kampung ke kampung dan kalau sudah tak tertahan lagi, kami berbaring nyenyak di atas rumput kering di tepi jalan setapak, tidak peduli matahari membakar kulit kami.

Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah adalah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku ibu berkata, semoga anakku menjadi orang terkenal‘¦

Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, ibu meninggal dunia karena kanker paru-paru. Soalnya kalau ibu selesai memamah sirih, mulutnya diisi dengan tembakau yang tergantung-gantung di bibirnya, itulah kukira penyebab meninggalnya ibuku.

Pamanku datang dari Kupang menjemput aku karena di Rote sanak saudara sudah berpindah ke pulau Timor, bertani di pedalaman yang telah ada kampung-kampung Rote semenjak abad yang lalu. Ibu punya dua orang saudara, kakak perempuannya tinggal di Bali dan yang sulung, lelaki, tinggal di Kupang. Tanah saudara lelakinya seluas dua hektar dan di atas tanah itu ada banyak pohon lontar.

Mula-mula paman hidup sebagai penyadap lontar, memasak nira sampai menjadi gula lalu dipikulnya ke pasar di Kota Kupang. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia melihat daun lontar di pohon yang ditiup angin kemarau sehingga daun lontar itu seakan bergetar dan bernyanyi, maka idenya tergetar pula untuk membuat sesandu. Orang Jawa yang nama belakangnya selalu ada huruf ‘O‘™ suka menyebut alat musik itu sasando. Padahal orang Rote menyebut sesandu, bahkan dalam buku-buku tentang Rote dalam bahasa Inggris pun menyebut sesandu.

Pamanku bernama Eduard tetapi selalu dipanggil Edu. Paman Edu memang berbakat musik. Ia memainkan sesandu di pesta-pesta atau kalau tak ada pesta ia bermain sesandu sendiri berjam-jam. Akan tetapi setelah ia menjadi pengrajin atau pembuat alat musik itu, maka berjam-jam, berhari-hari ia sibuk membuat alat musik itu. Ada sesandu gong yang hanya memakai sembilan senar, ada sesandu biola dengan beberapa oktaf sehingga Mozart pun bisa dinyanyikan oleh alat musik etnik itu.

Aku menjadi kacungnya. Aku menjadi pemanjat pohon lontar untuk memotong daunnya, aku menggergaji kayu dan bambu, aku sering keluar membawa sesandu yang diborong orang, aku menjadi kemenakan yang paling disayang. Paman menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi pengrajin sesandu maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Dari sekolah formal aku masuk sekolah informal, sekolah sesandu. Akhirnya aku menjadi pemain sesandu dan sekaligus menjadi pengrajin sesandu. Kecil-kecil sudah bisa punya banyak uang. Selain penghasilan dari pembuatan alat musik sesandu, aku dikontrak oleh sebuah hotel berbintang di Kupang dan dengan demikian, aku tidak perlu susah-susah seperti teman-teman sebayaku yang berkantong kosong.

Akan tetapi kebanggaanku sebagai anak yang bisa memegang uang dengan mencari sendiri, hilang pelan-pelan. Ketika aku sudah berumur lima belas, aku sadar saat melihat teman-temanku yang bersekolah. Aku jadi malu karena aku anak putus sekolah di SD. Apalagi beberapa kali, kalau aku habis bermain sesandu, ada yang bertanya sekolah di mana. Seringkali aku menipu dengan mengatakan kalau aku mahasiswa. Sering para penanya menyambung; kuliah apa? Dan aku menyambung tipuku ; kuliah musik.

Tiba-tiba kakak ibuku datang berlibur dari Bali. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada paman, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kau saya bawa ke Bali saja. Tinggal di Denpasar. Bekerja di hotel saya. Setiap malam kau bermain sesandu di restoran kita. Kau dapat gaji. Di siang hari kau harus bersekolah lagi, ya! Mula-mula ikut ujian Paket A, kemudian masuk SMP dan seterusnya sampai jadi sarjana!”

Bukan main girangku.

“Hei dengar. Zaman dulu tak ada sekolah sebanyak ini sehingga saya, ibumu, dan pamanmu tidak bisa bersekolah dengan baik. Tapi sekarang, sekolah di depan mata. Hanya beberapa langkah berjalan, sampailah ke sekolah,” kata kakak ibuku.

Maka setelah puas berlibur di Rote, ia kembali ke Kupang, lalu kami berdua terbang ke Bali dengan membawa beberapa sesandu dan beberapa alat musik lainnya. Alat musik etnik Rote seperti gong dan tambur. Kami juga membawa beberapa karung dendeng asap yang disebut daging se‘™i. Tidak ketinggalan asam Jawa yang disebut tambring timor yang tumbuh liar di padang sabana.

Di Denpasar, aku kagum luar biasa atas perkembangan kakak ibuku. Kakak perempuan ibuku, tanteku, bibiku, budeku! Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar, pabrik garmen dengan seratus tukang jahit. Laba yang diperoleh dari pabrik garmen itu ditanam ke sebuah hotel yang dilengkapi kolam renang. Hotel itu juga memiliki sebuah restoran. Di restoran itu ada sebuah arena untuk musik dan berdansa. Luar biasa.

Sebelum bermain musik, aku disuruh membuat SIM. Walaupun ia sudah mempunyai sopir pribadi, ia ingin agar aku bisa membawa mobil untuk urusan ke sana kemari termasuk pergi dan pulang sekolah.

Usaha tanteku dimulai kira-kira bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Kalau ibuku mulai dengan pakaian bekas berjalan ke sana ke mari, masuk kampung keluar kampung maka tante memulainya dari sebuah jarum. Bukannya jalan ke sana kesini tapi hanya duduk sambil menyulam sarung bantal. Mula-mula dua sarung bantal, dan dua sarung bantal itu dibeli oleh seorang nyonya, tetangganya. Nyonya tetangga itu memperlihatkan kepada seorang turis Belanda. Turis Belanda itu tertarik lalu memesan beberapa lembar. Kemudian, sepuluh, lalu dua puluh, lalu seratus, dua ratus, lalu seribu. Dengan demikian, tanteku, bibiku, budeku memesan mesin jahit, mesin untuk sebuah perusahaan garmen dan butik. Mula-mula kecil, kemudian besar dan makin besar saja! Tanteku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah, dengan memulai dari sebuah jarum, sampai mempunyai pabrik dan hotel.”

Aku berpikir, pamanku juga begitu. Dia mulai dengan sebuah golok dan sebuah pisau, sebuah gergaji kecil, sebuah bor kecil. Dengan beberapa biji alat yang kecil itu, ia bisa memiliki sebuah bengkel pembuatan sesandu.

Hampir seluruh keluarga dari pihak ayah dan ibu sudah bermigrasi ke luar pulau. Hal itu terjadi sedikit demi sedikit ketika terjadi musibah besar dalam keluarga kami. Salah seorang kemenakan kakek membuat seluruh keluarga malu karena ia memberontak terhadap adat. Ceritanya menyedihkan. Ketika sepupu ayah melamar seorang gadis Rote, orangtua si gadis menuntut belis (emas kawin) terlalu banyak; empat puluh ekor kerbau, empat puluh sapi, empat puluh kuda, empat puluh gram kalung emas, dan uang empat puluh juta! Pihak keluarga sepupu ayah, termasuk ayahku memohon supaya emas kawin dicicil selama empat puluh tahun, sesuai dengan adat Rote. Tetapi pihak si gadis menolak. Harus kontan. Hal itu tidak mungkin. Pihak pria hanya memiliki sepuluh mamar (kebun tanaman keras) dan sejumlah sawah ladang tetapi tidak punya kerbau dan sapi sebanyak itu.

Karena lamaran ditolak, tidak disangka-sangka, pada suatu malam sepupu ayah membawa parang, membunuh empat puluh keluarga dari pihak tunangannya, termasuk tunangannya. Terjadi kehebohan besar. Pulau Rote jadi terkenal sebagai pulau pembunuh. Amat memalukan.

Demikianlah, maka untuk menghindar dari pembalasan dendam, maka sanak keluargaku pindah ke pulau Timor. Kebetulan pulau Timor adalah pulau tanah kosong yang telantar. Orang asli Timor suka tinggal di tempat tinggi, di lereng dan puncak bukit berangin kencang, sehingga tidak ada nyamuk. Orang Rote tidak bisa terpisah dari mata air dan sungai. Dengan air kekayaan datang berlimpah. Mereka membuat sawah, menanam pohon-pohon keras seperti kelapa, nangka, sukun, pinang, dan sebagainya. Kebun tanaman keras itu disebut mamar.

Jadi mamar adalah kebun ekologi. Sering mas kawin atau belis dalam bentuk mamar. Satu atau dua mamar yang luas bisa “ditukar” dengan seorang gadis. Keluargaku yang pindah ke Timor jadi makmur sejahtera karena memiliki mamar, sawah, ladang, dan ternak kuda, sapi, serta domba. Jangan ditanya ayamnya, banyak. Namun ada juga orang Rote yang berpindah ke Timor sangat nakal. Sapi, kerbau, dan kuda milik orang Timor yang terlepas begitu saja di padang penggembalaan selalu turun ke mata air dan sungai untuk minum. Diam-diam para manusia Rote yang nakal itu membuat stempel besi berhuruf ‘R” lalu stempel itu dibakar, kemudian distempel ke pantat hewan milik orang Timor yang datang minum itu. Jadilah hewan-hewan itu milik orang Rote. Untunglah aku tidak tinggal di kampung Rote itu walaupun aku pernah diminta untuk menjadi gembala.

Tanteku, bibiku, budeku juga diajak tinggal di kampung Rote di tengah padang sabana. Belum lama tinggal di sana, ia keburu dilamar seorang tentara asal Bali. Aku berterimakasih pada suaminya. Bukan saja aku, tetapi seluruh keluargaku berterimakasih pada suaminya karena walaupun isetrinya hanya tamatan kelas satu SD, dengan tekun diajarinya berhitung sehingga aku menjadi kagum pada tanteku karena ia bisa berhitung, menambah, mengurangi, membagi, dan sebagainya. Memang, tanteku berbakat matematika. Kepalanya adalah komputer. Itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang pengusaha yang terhitung sukses. Walaupun ia cuma sampai di kelas satu sekolah formal tetapi karyawan yang tinggal dengannya, jika sudah menikah akan berkata bahwa mereka tamatan akademi pariwisata. Mengapa? Gadis-gadis yang tinggal dengannya akan menjadi isteri yang sangat mahir dan telaten mengurus rumahtangga.

Tanteku bercerita tentang masa remajanya. Seorang nyonya kontrolir Belanda (kini bupati), mengumpulkan gadis-gadis remaja, mereka diajari menjahit, menyulam, mencuci pakaian, kelantang pakaian putih yang disabuni lalu digelar di lapangan rumput agar putih bersih, menyeterika, melipat dan menyusunnya di lemari. Mereka diajari seni menangani dapur. Dapur harus bersih. Piring mangkuk dicuci bersih lalu diletakkan di rak secara teratur. Lemari makan harus bersih, tidak dikeroyok rayap dan lalat, tembok dapur harus putih bersih, meja makan harus disikat dengan sabun dan air. Cara mengatur meja, piring, sendok, garpu, serbet, semuanya harus tertata indah. Air minum harus dimasak, sayur mayur, ikan, daging harus dicuci bersih dan tidak lupa lantai rumah harus dipel, kasur harus dijemur setiap minggu dan seterusnya. Pendeknya sebuah rumahtangga harus diurus seperti mengurus hotel berbintang.

Gadis-gadis itu akhirnya dilamar oleh para guru, pegawai kantor, polisi, tentara dan pengusaha. Itulah gadis-gadis asuhan nyonya kontrolir. Di antaranya tanteku. Walaupun ia putus sekolah di kelas satu SD tetapi pengetahuannya mengenai pengurusan rumahtangga setingkat dengan Sekolah Kepandaian Putri. Bukan pendidikan formal, tetapi pendidikan non formal, pendidikan di luar sekolah formal, pendidikan permagangan.

Melihat orang Papua yang masih memakai koteka dan hidup di hutan, tanteku terbang ke sana dan membawa pulang sepuluh anak angkat untuk ikuti pendidikan permagangan di perusahaannya. Ia mendidik mereka mandi tiga kali sehari pakai sabun, bagaimana berpakaian, bagaimana cara makan di meja makan, dan sebagainya. Karena kayu terlalu banyak di Papua maka tanteku membuka sebuah bengkel. Mereka belajar membuat honai modern yang bersih dan sehat. Mereka dianjurkan untuk nantinya membuat sendiri rumah di atas lahan yang berada di bawah mata air yang bersih, membuat WC yang bersih memakai tempat buang air leher angsa dan sebagainya. Mereka diajari membuat kincir air yang memutar dinamo, juga kincir angin untuk memompa air sumur atau sungai. Pendeknya tanteku mendidik mereka untuk menjadi pemimpin desa, kalau perlu menjadi camat, bupati, dan sebagainya.

Tanteku selalu menarik nafas, berkata, kalau di tiap kabupaten ada nyonya bupati yang meniru nyonya kontrolir itu, maka orang Papua tidak sampai satu abad akan berpendidikan seperti orang dari negeri yang sudah maju. Itulah tanteku, perempuan desa yang mulai berusaha dari jarum, dari selingkar sulaman. Tanteku putus sekolah formal di kelas satu sampai menempuh pendidikan non formal luar sekolah sehingga bisa memiliki sebuah pabrik garmen dan sebuah hotel.

Setiap pagi aku bermain sesandu di restoran hotel milik tanteku. Siang harinya aku dibiarkan tidur sampai jam sepuluh. Bangun dari tidur yang menyehatkan, aku mandi lalu menolong beberapa pekerjaan ringan, kemudian makan siang dan bersiap-siap ke sekolah. Mula-mula aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMA-ku. Tanteku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Singkat cerita aku lulus sebagai musikolog.

Tugasku di hotel tanteku masih seperti biasa. Bermain sesandu sambil bernyanyi. Saat itulah, ketika aku sedang bermain sasandu, tiba-tiba seorang wartawati Amerika memintaku untuk diwawancara. Oh, aku gembira sekali. Dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar New York Times, koran dunia yang sangat terkenal itu. Ada wajahku di sana, ada sesandu kesayanganku. Ada kalimat berbunyi, “Aku bermain dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku menjadi musik dan musik menjadi aku.” Aku merasa bukan aku yang bermain musik melainkan malaikat surgawi, Dewi Musik. Setelah sadar kadang-kadang aku tidak bisa lagi bermain seperti itu.

“Barangkali Dewi Musik lagi gambek .” Sang wartawati tertawa.

Karena koran dunia itu, aku dikenal dunia pula. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Amerika untuk mengajar. Mengajar sesandu di departemen musik etnik. Oh Tuhan, syukur Tuhan. Tanteku memeluk aku, mencium aku sambil menangis karena gembiranya.

Aku menangis tersedu-sedu karena gembira pula. Karena jalan hidupku begitu mulus diciptakan Tuhan. Aku merasakan bahwa namaku memang benar. Immanuel berarti Tuhan beserta kita. Ya, Tuhan selalu beserta Nuel. Nuel! Tuhan selalu bersamamu Nuel, kataku.

Terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, aku tak dapat menahan airmataku. Aku mengenang ibuku penjual pakaian bekas keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki telanjang. Aku ingat akan kue cucur, sepotong kue cucur. Air mataku mengucur.

“Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis.

“Tidak. Semacam homesick,” kataku.

Ia menyorong tisu tapi airmataku mengalir terus, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat pondok kecil yang dibuat ayahku setelah kami lari dari dusun karena pembunuhan empat puluh orang itu. Ayahku membuat sebuah pondok berdaun kelapa. Di dalamnya ada sebuah bale-bale tempat kami tidur. Tidak ada kursi melainkan beberapa buah batu besar untuk duduk-duduk. Waktu ayah tenggelam di selat Pukuafu, ibu tidak punya uang. Untuk makan malam, sore-sore, aku dan ibu ke pantai ketika laut surut. Kami memunggut kerang, memetik rumput laut yang dalam bahasa Rote disebut latu. Ada kepiting, ada udang, ada ikan, dan gurita remaja.

Aku mengenang pasir putihku yang selalu dijilat-jilat ombak. Di ujung lidah-lidah ombak di bawah pasir yang halus, ada berpuluh kerang di bawahnya. Kalau terinjak maka mereka menyemprotkan air sehinga aku berhenti dan mengorek pasir, memungutnya satu demi satu seperti makan kacang goreng saja. Setelah kenyang ibu telah siap dengan makanan laut satu keranjang penuh. Pulang ke pondok daun kelapa kami, ibu memasak makanan itu dan karena tak ada uang untuk membeli beras, pengganti nasi kami minum air gula lontar. Lumayan. Setelah kenyang aku melompat ke bale-bale dan tidur tertelungkup tanpa bantal. Bangun pagi-pagi karena terlalu banyak asam urat di tubuh, leherku linu kalau menoleh ke kiri dan ke kanan. Mengenang itu, aku menggeleng-geleng kepala beberapa kali. Leherku tidak linu ketika menoleh ke jendela, memandang gumpalan awan di bawah sana. Sayup dalam kenangan ada pantai di mana aku dan ibu memungut kerang ketika laut surut.

“Anda ke New York?” tanya gadis di sampingku.

“Tidak. Hanya di Los Angeles,” jawabku.

“Urusan bisnis?”

“Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.”

“O, profesor tamu,” katanya.

Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari ketika ada hari raya Home Coming, aku diundang ke rumahnya yang terletak agak di luar kota, di sebuah kota kecil. Ampun, ampun, rumahnya bak istana. Ayahnya seorang profesor fisika. Malam itu aku menginap di rumahnya, akan tetapi ketika berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk daun kelapa, bale-bale, berkeliling dengan ibu, berjalan kaki tanpa sepatu, makan kue cucur, minum air gula nira‘¦oh, walaupun mengantuk berat, aku masih menyebut namaku. Immanuel, Tuhan beserta kita, Nuel, Tuhan besertamu sampai di Amerika ini‘¦lalu aku terlelap dalam irama sesandu.***

Depok, 12-12-2009
READ MORE - Sesandu

Menari di Padang Prairi

Cerpen Abidah El Khalieqy
Dimuat di Jawa Pos (05/16/2010)

Oke! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

“Salam. Aku datang lagi…!”

“Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

“Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

“Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

“Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

“But love is country with map.”

“Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

“Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

“Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

“Jadi?”

“Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

“Datang lagi aku, hallow…!”

“Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

“Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

“Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

“Jurang mawar atau jurang berduri?”

“Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

“Tak berarti kau mengancamku kan?”

“Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

“Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

“Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

“Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

“Tapi ke mana kita akan menuju?”

“Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

“Dasar kurang kerjaan!”

“Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

“Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

“Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

“Kayak kamu dong!”

“Terima kasih sudah dinilai.”

“Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

“Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

“Ge-er!”

“Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

“Hek! Miring, Lu!”

“Hingga miring pun! Bahagia aku.”

“Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

“Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

“Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

“Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

“Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

“Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. “Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

“…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

“Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

“Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

“Kau mengancamku. Mau makar?”

“Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

“Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

“Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

“Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

“Huaha…. Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

“Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

“Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

“Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

“Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

“Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

“Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

“Haha… curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

“Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

“Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

“Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

“Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

“Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

“Haha… sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

“Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

“Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

“Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

“Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

“Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

“Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

“Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan….” Topan terus saja menghadang.

“Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

“Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

“Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

“Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!” Topan meradang.

“Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

“Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

“Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. ***

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Menari di Padang Prairi

Malam, Sebuah Kota

Cerpen Raudal Tanjung Banua
Dimuat di Suara Merdeka (04/16/2010)

Larut malam. Ia terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus pikiran. Kota begitu lengang. Sesekali, ada raan lewat dengan mesin menggema, lalu kendaraan lewat dengan mesin menggema, lalu lenyap dengan cahaya melesat. Pohon asam yang berjejer sepanjang jalan tampak bagai raksasa mengenakan mantel kebesarannya.

Sebatang beringin tua menyerupai seorang pertapa, penuh sesaji dan bunga-bunga. Angin malam berkesiur, tak urung merenggut juga daun-daunnya yang rimbun, sehelai-dua jatuh melayang, gugur ke bumi jalang, diseret-seret angin di atas aspal dan trotoar jalan yang keras.

Kadang akar-akar surai beringin itu menjuntai bagai rambut dan jenggot Batara Kala --seperti dalam pawai ogoh-ogoh pada malam pangrepukan, sehari menjelang Nyepi-kini berayunan hingga ke pokok pohon. Sekali waktu, datang angin kencang, menumpahkan canangsari berisi sesaji, dan ia merasa sari hidupnya terserak jatuh ke tanah.

Tanah rantau! Ah, surat dari ibu masih melekat di pikirannya, menyeretnya ke jalanan, mengepakkan debu rindu, tapi tak memberinya sayap untuk pulang!

Memang, tadi selepas petang ia pulang, tapi ke kamar kontrakannya yang berdinding gedhek di pinggiran kota. Langkahnya terantuk kaleng-kaleng rombeng yang tergeletak di lorong sempit di antara kamar-kamar. Preng! Preng! Sialan, bunyinya cukup gaduh, dan lebih dari itu matanya sudah tak awas ternyata.

Mestinya ia tahu, sepanjang hari anak-anak para pengontrak yang jumlahnya membeludak, menghabiskan waktu bermain apa saja di lorong itu --satu-satunya ruang yang bersisa dan mereka perebutkan dengan orang tua yang bergunjing, mondar-mandir, dan marah. Selalu, berhari-hari ia pergi dan kembali untuk tinggal tak berapa lama. Malam itu, ia kembali setelah pergi cukup lama, bahkan paling lama, sehingga membuatnya lupa pada kaleng-kaleng rombeng di lorong remang itu.

Ia merogoh saku celana, mengeluarkan kunci dan menjangkau daun pintu dengan malas. Pintu triplek itu menguapkan debu. Seekor laba-laba seperti kaget dan buru-buru menyingkir dari situ. Belum sempurna ia buka pintu, ketika berkerenyit engsel lain di sebelah. Kepala seorang perempuan muda dengan rambut basah sebahu terjulur dari sana, boleh jadi karena suara kaleng yang gaduh, dan lalu tahu kalau lakilaki aneh di sebelah kamarnya sudah datang. Perempuan itu bergegas memintasnya.

“Ada surat, Mas, ini! Sudah lama. Sengaja saya simpan, takut lama. Sengaja saya simpan, takut diambil anak-anak,“ perempuan itu memberikan amplop dengan sorot mata cemburu, mungkin iri mengapa surat itu tak jatuh padanya. Pada masa ketika surat masih ditulis, dan tukang pos masih yang tersibuk di dunia, sebuah amplop berterakan nama dan alamat bakal membuat orang yang dituju tersipu-sipu.

Dan pada malam ketika surat masih dituliskan ini, laki-laki itu mendapatkan bagiannya.

Ia ucapkan terima kasih kepada perempuan yang baik hati dan segar sehabis mandi itu. Bau sampho lidah buaya masih tertinggal di muka pintu, ketika ia masuk dan menyalakan lampu.

Tanpa sempat membersihkan debu, langsung ia rebahkan badannya di kasur kapuk yang kurus, sekurus kujur tubuhnya. Lama, didekapnya surat itu, bersabar untuk tak segera membuka.

Ia nikmati denyut dan debar dalam dada, nikmat-ngilu campur-aduk jadi satu. Lain sekali rasanya. Dan kian berpacu, membuatnya tak tahan. Ia sobek amplop lusuh itu.

Ini surat pertama yang menjenguknya selang empat tahun perantauannya. Surat dari ibu! Surat bagi perantau pemula! Ada sejumlah perkara di kampung, baik menyangkut dirinya langsung, maupun yang hanya berhubungan dengan segala sentimental yang tak perlu: rindu bertemu. Ah, betapa jauh jarak, betapa luas ruang dan betapa tak sederhananya waktu, sebab rantau, kau tahu, bukan sekadar kepergian yang selesai dengan sebuah kepulangan.

Pulang? Alangkah tak mudah, tak sesederhana yang dibayangkan. Begitu seseorang memutuskan pergi, ia masuk ke wilayah tak bertepi dan sungguh tak mudah untuk kembali.

Ah! Ha-hh! Ia meronta dari kekangan waktu, dari belitan kalimat rindu. Ia tak mau terpuruk dan terbujuk kata pulang. Ia bangkit, berontak. Ia simpan surat itu di bawah bantal, dan segera ia matikan lampu. Bergegas ia keluar, menghempas dan mengunci pintu, lalu mengayun tinju di keremangan lorong itu. Ketika melewati kaleng-kaleng rombeng tadi, ia sengaja menyepaknya. Preng, preng, prenggg!! Ia tak peduli. Dan ia terus berjalan, sampai kini terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus kusut pikiran.

Sebuah dokar lewat, sarat muatan sayurmayur; pak-kudipak kaki kuda memecah malam raya. Kusir dan seorang perempuan terangguk-angguk di atasnya. Bukan karena kantuk! Sebab kusir dan perempuan itu adalah mereka yang berjaga. Perempuan itu, membuatnya tergeragap oleh rindu. Rambutnya yang tertutup tengkuluk mengingatkannya pada rambut nenek atau ibu. Tapi tidak. Ini perempuan pedagang di Pasar Kumbasari, berjualan larut malam sampai dini hari. Dan langkahnya terseret ke pasar itu, mengikuti arah dokar yang sayup menghilang dalam kabut. Melewati jembatan tukad Badung, ia serasa menyeberangi masa lalu dan masa kini. Mampukah jembatan ini menyeberangkan diriku dari masa lalu yang kelu, ke masa depan yang belum tentu? Ia berbisik, seperti mendapatkan sebaris puisi. Ah, persetan puisi! Ia mengumpati diri sendiri.

Alir tukad Badung berkilau diterpa cahaya lampu merkuri, mengingatkannya pada sungai besar di kampungnya yang berkilau bila terang bulan. Perahu-perahu laju, dan bagan, kapal kayu penangkap ikan, bersauh di muara yang lebar. Melihat sampah-sampah yang terapung tak tahu arah di arus tukad Badung, ia teringat perahu-perahu dari sabut kelapa yang ia hanyutkan dari tepian, entah terdampar di mana.

Lalu riuh pasar membuatnya tersintak dari lamunan. Pasar Kumbasari memang membuatnya terjaga dari kantuk dan pikiran. Pasar induk ini memulai aktivitasnya tengah malam menjelang dinihari, di batas antara malam yang matang dan pagi yang akan menjelang. Di situlah para pedagang --sebagian besar perempuan-tegak berjaga. Menjaga dagangan di hadapan; keranjang penuh buah, bunga-bunga, sayur-mayur, daging babi dan ikan-ikan.

Selintas keranjang bambu itu bagai canang raksasa saja layaknya, dipersembahkan perempuan-perempuan pasar yang penuh bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Biasanya, jika ke Kumbasari, ia akan bertemu kawan-kawan lain yang sama-sama berahi mabuk puisi. Lalu mereka akan nongkrong di sebuah kedai soto babat --soto “terenak di dunia“ begitu mereka bilang --yang terletak di pojok pasar, di tepi tukad Badung. Pada hari tertentu, akan ada seorang “lelaki kuda“ hadir di tengah-tengah mereka. Lelaki kuda itu, begitu ia disebut, dan sebagian lain menyebut “si batu dungu“, ikut bergabung sehabis dead line rubrik “Apresiasi“ di sebuah surat kabar lokal yang ia asuh. Kehadirannya selalu hangat dan membakar hasrat siapa pun untuk tak mainmain dengan pilihan hidup.

Beberapa minggu lalu, ia masih bertemu si laki-laki kuda, dan berkumpul bersama kawankawannya yang selalu terceguk pada kata-kata dan puisi itu.

“Masih membantu sablon di Alit Esha?“ laki-laki kuda hangat menyapa.

“Sudah tidak, Bung. Order sepi. Alit sekarang beralih ke ayam potong.“

“O, ayam potong? Cepat juga orang itu beralih usaha ya.“

“Iya, Bung, ada celah di Benoa untuk memasok daging ayam bagi kapal yang akan berlayar. Tapi ini baru mulai.“

“O, bagus itu. Jadi, tugasmu sekarang tinggal antar ya?“ “Saya yang memotong ayam-ayam itu, Bung, tiap kali ada permintaan. Sebab ABK kebanyakan muslim, maka pilihan jatuh kepada saya. Halal katanya, hahaha...“

Semua yang hadir tertawa. Penyair Jengki berkata,“Daging soto ini tetap enak, meski yang motong sapinya kita ndak tahu, hahaha...“

“Iya, enak,“ jawabnya pula, lalu sedikit mengeluh, “Berat sekali jadi tukang jagal.“

“Justru!“ laki-laki kuda berseru, “Kau akan dapat kata-kata liar, akan...“

`'...dapat sajak-sajak ayam potong!“ potong Wirah.

Kembali tawa bergema. Kali ini ia diam. Ia agak kesal kepada Wirah yang sok tahu. Ia sendiri merasa tidak mudah beralih usaha dari sablon ke ayam potong. Bukan perkara ruang sablon jadi tempat penampungan ayam, tapi kejadian dinihari yang membuatnya merinding.

Setiap dinihari, ia akan bangun dengan kilatan pisau di tangan. Bagaimana mungkin ia memotong ayam berpuluh ekor, sedang memotong seekor saja alangkah sulit? Pernah, suatu ketika, perempuan tetangga kamarnya itu memintanya memotong ayam. Ia berusaha matimatian, meski jadi tertawaan perempuan itu.

Namun itu pula membuatnya nekat menggorokkan pisau, membuang rasa tega. Alhasil, hari itu, ia dan perempuan tetangganya yang baik hati itu pesta daging si Burik, dan sedikit ciuman yang mereka lakukan dengan tersipusipu. Berkat pengalaman itu, ia berani menerima tawaran Alit untuk mengubah usaha sablon jadi tempat pemotongan ayam. Sejak itulah, ia bersentuhan dengan darah, cacah pisau di leher yang pasrah dan keok sekelok yang memecah pagi buta!

Dan malam ini tak ada siapa pun. Sepi. Tak ada teman berbagi. Bahkan Wirah yang selalu serbatahu juga tak nongol. Padahal lumayan untuk merintang hati yang gundah, o, gaduh! Tapi ia tak ingin pula. Ia ingin sendiri, berjalan tanpa rencana, tanpa siapa-siapa. Ia berbalik.

Jika mau, ia bisa mampir di kedai pojok jembatan, memesan segelas kopi kental, atau menikmati nasi jinggo di pelataran toko Jalan Gajah Mada. Tapi tidak. Ia ingin berjalan saja, memperturutkan sejauh mana arus pikiran menyeret dirinya. Ia berjalan ke timur, menyeret terompah lusuhnya. Ia berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik yang baru pulang melantai dari diskotek di atas Pasar Kumbasari.

Dua dunia, batinnya. Di bawah, para perempuan berjaga dengan keranjang sayur-mayur, sementara di lantai atas perempuan-perempuan ini pun berjaga dalam irama musik yang menghentak. Di atas Jembatan Tukad Badung, ia ingin berteriak, entah meneriakkan apa, dan kerongkongannya tercekat. Akhirnya ia menemukan sebuah baut berkarat tergeletak di atas kerikil. Ia pungut baut berkarat itu, ia tokoktokokkan ke tiang besi jembatan yang juga berkarat. Teng! Teng! Suaranya melengking, tapi tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar. Lagi pula, siapa peduli?

O, terbuat dari apakah sebuah kota? Dari besi, aspal dan baja. Di manakah halaman sebuah kota? Di taman-taman dan alun-alun yang terbuka. Dan perlahan ia melangkah ke sana, ke arah lapangan Puputan Badung. Ia melewati toko-toko yang merapat ke sisi jalan, melewati perempatan, melintasi bank besar milik pemerintah yang berdiri berhadap muka dengan bank swasta. Lalu kantor wali kota, ah, apa saja kerja mereka? Ia bergumam, hingga terhantar di air mancur, di bawah kaki patung pahlawan. Ia ciduk air yang berlumut dengan telapak tangan, berkumur, lalu menghamburkan kuat-kuat seperti tersadar itu air lumutan.

Bersamaan dengan itu teriakkannya pecah! “Ppuuaaah!“ Bergema, menghalau burungburung malam yang bersarang di dinding kantor wali kota.

Akhirnya, ia tiba di lapangan. Rumputrumput berkilat mandi cahaya. Embun sudah turun. Daun-daun di pohonan memantulkan sinar lampu-lampu kota. Walau sudah tiba di bangku taman, dia tetap saja berjalan memutari bangku-bangku itu. Terompahnya basah, tapi ia tak hendak duduk. Ia berjalan memutari dua setengah kali lapangan itu, tanpa tahu mengapa, sampai ia kemudian merasa lelah. Ia teringat sebuah sanggar seni di Jalan Wahidin, jalan terpendek di kota itu. Ia ingin ke sana, sebagaimana biasa ia menghabiskan malamnya di ruangan yang penuh debu, melekat di koran dan buku-buku. Banyak nyamuk, sehingga kalau ia memasang krem anti nyamuk di kulitnya, ia merasa dirinya seolah Ibrahim di tengah api, dan nyamuk-nyamuk itulah api yang berdenging! Ia memutuskan ke sana.

Tiba di Jalan Sulawesi, tempat berderet toko emas dan toko kain milik pedagang keturunan Arab, ia tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingat kamarnya. Sebuah kamar, sungguh berarti saat kita terlantar di jalan. Ia ingin kembali.

Mengempaskan diri di kamar sendiri. Ya, ia putuskan lurus ke Jalan Kartini, batal ke Wahidin. Ia pilih masuk gang, mencari jalan pintas. Sebagai orang yang berjalan kaki ke mana-mana, ia tahu seluk-beluk berpuluh gang.

Grrr! Guk, guk, guk!

Baru saja masuk berapa depa ke Gang India, seekor anjing ke luar dari pekarangan, menyerbunya. Laki-laki itu terhuyung, tergeragap mundur. Tapi anjing hitam itu terus menyosornya dengan galak. Nyaris ia terjerembab ke selokan, jika saja anjing itu tak berhenti mendadak. Ia pungut sebutir batu dan ia lemparkan. Kraang! Batu itu nyasar ke dinding pagar. Ia menahan napas. Kecut. Ngeri jika pemilik rumah bangun lalu meneriakinya maling. Tidak! Tiba-tiba ia merasa sangat kasih pada dirinya. Betapa ia ingin setiap organ tubuhnya terlindungi dengan baik. Ia lihat tangannya yang kurus dalam remang cahaya malam. Tak akan dibiarkannya teraniaya. Juga kakinya. Tubuhnya. Bahkan kuku-kukunya.

Tapi, siapakah yang akan melindungi itu semua? Bahkan sesama organ tubuhnya pun terasa tak cukup mampu. Semuanya begitu ringkih, kurus dan menderita. Tapi tidak. Ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman dadanya, begitu kuat dan perkasa: semangat yang membuatnya bertahan hidup, bertahan di tanah rantau, dan menolak kata pulang. Semua itu kini menggumpal dalam dadanya, seakan dada tipis itu bakal pecah.

Ia bangkit, berontak dari kelumpuhannya.

Sepasukan anjing liar kini dalam waktu singkat telah mengepungnya --entah berdatangan dari mana. Ia lihat anjing-anjing itu bagai sepasukan nasib buruk yang harus dilawan dan dimusnahkan. Tangannya bergerak meraih batu lebih banyak. Kau tahu, batu, benda Tuhan yang keras itu, adalah peluru sejati bagi manusia yang ingin mempertahankan hidupnya di bumi! Ya, ya, sebuah batu melayang, tak lagi salah sasaran. Buk! Seekor anjing kena timpuk, barangkali patah tulang, terkaing-kaing tak keruan. Tapi yang lain merangsek maju. Sebuah batu lagi melayang. Lagi dan lagi. Dan entah pada batu ke berapa, seseorot cahaya senter meneror wajahnya!

“Diam di tempat!“ sesuara melerai ketegangan, tapi mengundang ketegangan baru. Derap langkah mendekat. Aneh, anjing-anjing mundur teratur, melesat kembali masuk gang. Sepi sebentar. Sepi yang meneror. Ia yang baru saja memperoleh separo kekuatan dirinya, kini kembali tergetar oleh kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar.

Seseorang menyambar lengannya, mencengkram seperti hendak mematahkan, “Ke sini kamu!“ Beberapa yang lain mendekat.

“Bawa ke tempat terang, Ndan!“ Tubuhnya digeser ke bawah tiang lampu jalan. Ia menekur, menghindari cahaya yang terasa setajam mata komandan --lebih tajam daripada sorot mata si anjing hitam.

“Mau ke mana malam-malam begini?“ “Saya mau pulang, Pak. Tadi dari Kumbasari.“

“Jualan apa? Di mana tinggal?“ “Nyari nasi jinggo, Pak. Saya tinggal di Jalan Bedahulu.“

“Tak ada nasi jinggo di situ?“ “Sudah habis. Tapi sebenarnya saya sekalian dari sanggar.“

“Sanggar senam?“ “Bukan. Sanggar seni, di Jalan Wahidin.“

“Mana KTP-nya?“ Ia gelagapan, merogoh dompet. Ia sodorkan kartu sanggar berlambang mata terbuka.

“Saya sudah lama di sini, Pak.“

“Hmmm, sudah lama?“ Seseorang menyahut, “Itu goblok namanya.

Sudah lama, kok tak punya KTP! Kartu lain tak berlaku, tahu? Dari mana kamu? Nak Jawa?“ “Sumatera.“

“Sumatera mana? Dekat Aceh?“ orang itu masih nyelutuk dengan kedangkalan pengetahuannya.

Ia tak lagi menjawab, sebab orang yang tadi menyenter wajahnya dan menarik lengannya sudah terlanjur berbisik, “Punya berapa di dompetmu?“ Kembali ia keluarkan dompet, menghitung uang kertas ditambah recehan. Masih saja ia dengar celutukan meniru iklan mobil irit, “Ke Bali, tak sampai empat puluh empat ribu!“ Ia memberontak. Ia masukkan kembali dompetnya, dan ia serakkan lagi uang receh ke dalam kantong celananya. Lalu ia tatap wajah orang yang menginterogasinya. “Saya tak punya uang, terserah Bapak sekarang...“

“Ndaskleng!!“ beberapa orang menggerutu serentak. Untunglah sang komandan cukup tenang, dan aneh, ia melunak.

“Ya, sudahlah, pulang saja ke kostmu! Besok urus KTP. Itu tidak sulit. Saya pernah di Jawa, dan dulu ikut orang tua transmigrasi di Lampung,“ begitu saja komandan itu membalikkan badan. Anak buahnya tampak enggan.

Tak lama, mobil pick-up di ujung gang menyala, membawa petugas Tramtib itu menjauh. Ia tiba-tiba merasa sepi. Tak ada lagi yang dilawan buat membangkitkan pemberontakan dalam diri. Atau, haruskah ia merobek-robek surat ibu di balik bantal? Entah. Ia ke luar gang.

Menyusuri kembali malam. Dirinya perlahan jinak bagai seekor rusa dikandangkan di kebun binatang sebuah kota. Entah kenapa.***
READ MORE - Malam, Sebuah Kota