LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA

LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA*

Maman S Mahayana

horisonLokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu, diandaikan pula seperti berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.

Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik—pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.1

Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.

Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan melalui garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah sejalan dengan lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan sebagai budaya daerah.

Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan lahirnya usaha membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan nasional. Kebudayaan lokal yang dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk kebudayaan nasional. Dalam hal ini, ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan lokal yang secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi pusat—daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana. Relasinya hegemonik, sebab yang ada adalah kecenderungan budaya yang satu melakukan hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal. Pandangan dikotomis semacam itu cenderung diskriminatif karena menempatkan yang satu (pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lainnya (daerah).2

***

Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.

Lokalitas dalam sastra bukanlah sekadar ruang (space), locus, tempat (place) atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal dapat diukur, tetapi mesti dimaknai dalam ranah budaya. Secara struktural, lokalitas dalam sastra kerap dimaknai sebagai wilayah, tempat, kondisi, atau situasi dalam teks yang menggambarkan para pelaku memainkan perannya. Lokalitas seperti mengalami pereduksian menjadi sekadar latar (setting) dalam teks yang mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran tentang masyarakat budaya.


Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.3

Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang dinamis dan tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik, dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.

Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Akibatnya, sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang melatardepaninya. Oleh karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.

Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.4 Demikian juga hubungan sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling mempengaruhi.

***

Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya,6 menyebut Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//

Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah darahku”7 menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi: wilayah, bangsa, dan bahasa.8

Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya pada teks, hanya pada makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna lain yang tidak hanya menuntut pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan teks, melainkan juga menuntut pembaca memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra.

***

Lokalitas dalam sejumlah besar novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka memperlihatkan terjadinya perang ideologi. Di satu pihak, Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial mengemban tugas suci kolonialisme dengan menerapkan sejumlah syarat dan aturan main, dan di pihak lain, berdiri para pengarang Indonesia yang bagaimanapun juga menyadari tugas suci nasionalisme. Sebagai contoh kasus, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, misalnya, seperti merepresentasikan perang ideologi itu.

Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.

Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.

Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.

Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang ideologi yang semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi—Corrie adalah simbolisasi dua kutub ideologi. Minangkabau—Rafiah adalah dunia adat yang dalam hal-hal tertentu bermakna negatif. Ia hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban dan sekaligus juga pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang dalam beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat) menjadi ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia membuang kultur leluhur dan hidup di kota yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai pecundang.9

Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan karikaturis.10 Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.11

Perdebatan Timur—Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang kemudian diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya lebih merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional Barat. Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan marjinalisasi dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas dunia Barat. Tentu saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati karya-karya yang berada di luar jalur Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja dibiarkan tanpa suara, dituding sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman picisan. Di dalam novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan banyak menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang pemabuk, keluar—masuk rumah bordil, bahkan juga potret dunia pernyaian yang terjadi ketika itu.

Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur, misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa di Asia—Afrika (: Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme (Barat). Lokalitas digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang, tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan sebaliknya. Citra bangsa Barat –kecuali Jerman dan Italia yang menjadi sekutu Jepang—kerap digambarkan sebagai bangsa yang serakah yang pada akhirnya menjadi pecundang.

***

Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks sekadar bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna yang mendekam dan bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan pembaca, seketika itu pula simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir dan mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk, mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan. Dengan demikian, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang titik berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.

Perhatikan teks berikut ini:
    Aston kelihatan kaget. Ia melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang mengikutinya…. Sebuah komidi puter dengan ributnya memanggil anak-anak kampung dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es, ribut mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak mau minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk mobil penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan … itu agak kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami—istri muda dengan tenang mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat. Di pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa anak mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan. Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan. (Putu Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10—11).
Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika kita mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain, karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.

Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:

LUKA

ha ha

Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul maknanya tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri, melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan teks dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode bahasa, kode sastra, kode budaya.

Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula kegagalan membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang mendekam di belakang teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang berada di belakang teks, problem lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi mantra, pantun, gurindam, dan tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan diizinkan menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra menjadi begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat pemberhentian terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan sebagai tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai dirumuskan.

Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin, lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas—globalitas adalah konsepsi yang secara spasial bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit, bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam medan tafsir.

***

Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia –sebagaimana yang tampak dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan perjalanannya sampai entah ke mana.

Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada ketersesatan. ***

Sumber: mahayana-mahadewa.com
READ MORE - LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA

Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Ketika Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum sepenuhnya terbebas dari dampak erupsi Merapi, bahkan belum kering benar air mata para pengungsi menyaksikan tanah kelahirannya rata dengan tanah akibat dampak letusan, Presiden SBY mendadak sontak melontarkan wacana yang kurang populer: monarkhi vs demokrasi. Meski berkali-kali dibantah oleh para pembantunya, publik dengan jelas bisa menilai, ke mana bandul wacana yang dilontarkan itu diarahkan. Lontaran wacana SBY bisa ditafsirkan, tidak seharusnya ada sebuah daerah yang menganut sistem monarkhi di tengah sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi. Dengan kata lain, sistem pemerintahan DIY selama ini dianggap kurang demokratis, sehingga perlu dirombak. Nilai-nilai primordialisme kawula Yogya pun terusik. SBY dinilai tidak memiliki nilai fatsoen dan kearifan sebagai sosok seorang pemimpin yang merakyat.

Arah bandul wacana yang dilontarkan SBY makin jelas terlihat ketika draft RUU versi pemerintah menghendaki agar gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih melalui Pemilu. Sedangkan, Sri Sultan HB dan Paku Alam diposisikan sebagai parardya yang menjadi simbol kultural an-sich; memiliki kedudukan di atas gubernur, tetapi sekadar simbol dan tak memiliki kekuasaan apa-apa. Ibarat lakon dalam pakeliran wayang, posisi Kanjeng Sultan “disakralkan”, tetapi telah dimasukkan ke dalam kotak karantina yang tidak memiliki peran apa-apa dalam konteks pemerintahan DIY.

Pernyataan SBY, dalam perspektif pragmatik, bisa dibilang kurang menyentuh prinsip kerja sama yang amat penting peranannya dalam konteks bahasa kekuasaan. Dalam pragmatik, tuturan yang dilontarkan ke tengah-tengah publik perlu memperhatikan bidal kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, sebagaimana yang pernah dilontarkan Grice (1975).

DIYBidal kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. Bidal ini mengarahkan kontribusi yang cukup memadai dari seorang penutur dan petutur di dalam suatu percakapan. Bidal kuantitas dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Buatlah sumbangan atau kontribusi Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan (untuk maksud percakapan).”

Dari sisi ini, agaknya SBY tidak memberikan penjelasan seinformatif mungkin terkait dengan pernyataannya tentang monarkhi dan demokrasi yang dilontarkan. Bahkan, SBY, disadari atau tidak, telah melupakan konteks historis DIY yang memiliki sejarah panjang dalam entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika Sri Sultan HB IX dengan jiwa besar dan rendah hati mendukung terbentuknya NKRI dan secara eksplisit menyatakan bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari NKRI, sungguh, sebuah “pertaruhan” yang tidak mudah. Sri Sultan HB IX menanggalkan derajat aristokrat yang melekat di dalam tubuhnya, lantas menyatukan diri ke ruang publik sebagai elemen yang tak terpisah dari NKRI. Sejarah inilah yang menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa.

Dari perspektif bidal kualitas yang menasihatkan penutur agar memberikan kontribusi yang benar dengan bukti-bukti tertentu, SBY agaknya juga tidak memberikan bukti-bukti tertentu. Apa ruginya jika Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai gubernur dan wagub secara otomatis? Benarkah penetapan jabatan gubernur/wagub melanggar nilai-nilai demokrasi kalau suara rakyat Yogyakarta justru secara golong-gilig menghendakinya? Bidal ini selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah!” dan “Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya!” Kedua subbidal ini mengharuskan penutur mengatakan hal yang benar. Penutur hendaknya mendasarkan tuturannya pada bukti-bukti yang memadai. Menyimak lontaran wacana SBY tentang monarkhi vs demokrasi yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan agaknya diragukan kualitas pembuktiannya. SBY tak jelas benar memberikan argumen dan bukti-bukti yang berkualitas tentang “kesalahan” penerapan nilai demokrasi yang selama ini berlangsung di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Yang agak sulit dipahami, SBY melontarkan wacana itu di tengah situasi DIY yang belum pulih benar dari dampak erupsi Merapi. Dari ranah pragmatik, SBY melupakan bidal relevansi yang menyarankan penutur untuk mengatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, lontaran wacana itu disampaikan dalam moment yang tidak tepat. Sikap empati yang seharusnya ditumbuhkan untuk membesarkan hati rakyat Yogyakarta yang baru saja tertimpa musibah, justru dilipat dengan menggunakan bahasa politik kekuasaan yang kehilangan relevansinya dengan konteks kehidupan masyarakat Yogyakarta. SBY kurang menampakkan sikap sensitif dan kooperatif-nya terhadap suasana batin rakyat Yogya yang butuh sokongan moral dan spirit berkehidupan untuk membangun kembali pranata sosial pasca-erupsi Merapi.

DIYTidak berlebihan apabila lontaran wacana SBY telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Lebih-lebih ketika pemerintah tetap bersikukuh agar jabatan gubernur/wakil gubernur dipilih melalui Pemilu, meski mayoritas elemen masyarakat Yogyakarta “mengancam” akan memboikotnya. Sikap seperti ini, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi jadi makin kabur, taksa, dan berlebihan, yang dalam perspektif pragmatik bertentangan dengan bidal cara. Bidal ini dijabarkan lagi ke dalam empat subbidal, yaitu: (1) hindarkan ketidakjelasan; (2) hindarkan ketaksaan; (3) singkat (hindarkan uraian panjang lebar yang berlewah); dan (4) tertib-teratur.

Prinsip kerja sama yang kurang terakomodasi dalam lontaran wacana SBY juga kurang disentuh melalui kaidah kesantunan berbahasa. Menurut Gunarwan (1992), setidaknya ada tiga kaidah yang bisa digunakan untuk mengukur ikwal kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, yaitu formalitas, artinya selama terjadi interaksi antara penutur dan mitra tutur hendaknya diciptakan adanya unsur yang menyiratkan ketidakterpaksaan dan menghindarkan rasa angkuh. Ketaktegasan merupakan kaidah kedua, artinya antara penutur dan mitra tutur hendaknya menciptakan suasana yang benar-benar kooperatif dan berlangsung secara demokratis sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihannya sendiri. Kaidah ketiga adalah persamaan/kesekawanan , artinya antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan bahwa keduanya memiliki persamaan sehingga mampu menimbulkan rasa senang pada keduanya.

Situasi kurang nyaman yang dirasakan oleh rakyat Yogyakarta bisa jadi memang dipicu oleh lontaran wacana yang dinilai kurang memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan itu. Padahal, Kung Fu-tse, seorang filsuf China abad ke-5 SM, sebagaimana dikemukakan oleh Toto Suparto (Suara Merdeka, 4 Desember 2010), menyatakan bahwa bahasa yang tidak beres menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Bahasa yang beres adalah bahasa yang berpayung etika dengan memperhatikan pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang, dan penuh pertimbangan.

Perdebatan yang berkepanjangan seputar RUU “panas” tentang status DIY makin membuktikan bahwa bahasa kekuasaan menjadi amat penting peranannya dalam membangun komunikasi publik. Ia bisa menjadi “blunder” politik jika disajikan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik. ***
READ MORE - Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Kereta Hujan

Cerpen Sungging Raga
Dimuat di Harian Global (11/20/2010)

Dua manusia duduk berhadap-hadapan di sebuah gerbong kereta yang sedang berjalan menembus derasnya hujan, menembus kelengangan, menembus basahnya bukit dan pepohonan. Keduanya berbincang-bincang sambil mengamati hujan yang turun di luar jendela. Konon, kereta itu juga bernama Kereta Hujan, berangkat dari stasiun Lempuyangan.

"Waah." Kata yang satu tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Lihat itu. Langitnya sampai hitam."

"Oo... Seperti bintik matamu."

"Bukan. Seperti lubang hidungmu."

"Hahahaha."

"Hehehehe."

Hujan turun begitu deras dan semakin deras seperti goncangan yang paling goncang, membuat awan terpaksa memuncratkan warna pekat, lebih sendu dari kelabu. Tetapi dua manusia itu justru santai melihat hujan sambil mengunyah es krim chocolate sundae, sesekali mereka kembali bercakap-cakap, membuang kata-kata, menunggu waktu menggeser cuaca.

"Waah."

"Apa lagi?"

"Pasti langit sedang demam."

"Bisa jadi. Atau malah bersin?"

"Barangkali langit juga kehujanan."

"Mana mungkin?"

"Mungkin saja. Bukankah langit adalah awal segala hujan?"

"Awal hujan adalah awan."

"Awan tergantung di langit."

"Masak sih?"

"Betul itu."

"Jadi, langit seperti lemari, tempat menggantung baju?"

"Benar."

"Tempat menggantung celana."

"Seratus."

"Langit gelap seperti celana dalam?"

"Yak!"

"Apa hujan juga ada di dalam celana dalam?"

"Mm... Kadang-kadang ada."

"Hahahaha."

"Hihihi."

Kedua orang itu tak perlu khawatir, hujan tak bisa menyerang mereka. Hujan terbentur kaca gerbong, memercik seperti tetesan yang sia-sia. Jendela tertutup rapat, hanya rembesan hujan yang seperti embun berada di permukaan kaca bagian dalam. Rapuh. Hujan itu pun seperti tanpa harapan, benarkah? Padahal setiap tetes yang turun ke bumi ini pasti punya tujuan, entah baik atau buruk, yang pasti, mereka sesungguhnya tidak sia-sia. Tetapi langit memang tampak begitu hitam, ditambah lagi sore yang mulai melepas baju, seakan-akan malam sudah mengendap perlahan-lahan. Atau mungkin hujan telah membuat malamnya sendiri."Waah."

"Iya?"

"Langitnya bocor."

"Kok bisa?"

"Tidak pakai pampers."

"Hahahaha."

"Hehehe, lucu ya?"

"Tidak."

"Hahahaha."

Kereta menembus hujan, menembus malam, menebas rel, mendepak tujuan perjalanan, rem tak makan, perjalanan tanpa perhentian, sinyal-sinyal menggigil dalam hujan, warna-warna redup seakan garis-garis cahaya yang pasrah. Masinis mengantuk, ingin tidur berbantalkan telepon genggam. Lokomotif menderu-deru, memecah hujan, gerbong-gerbong bergesekan, remang-remang. Kedua penumpang bercakap-cakap sambil memakan es krim yang meleleh.

"Waah."

"Aduh, apa lagi?"

"Hujan kok tidak berhenti?"

"Hmm.... Iya ya."

"Aneh. Padahal hujan juga berjalan."

"Mungkin kereta kita ini lebih cepat dari jalannya hujan."

"Bagaimana jalannya hujan itu?"

"Tik-tik-tik."

"Aih, itu gerimis."

"Byar-byar-byar."

"Aih, itu petir."

"Brus-brus-brus."

"Nah, itu baru betul. Kalau kereta kita, bagaimana bunyinya kalau berjalan?"

"Wus-wus-wus."

"Aih, itu kereta eksekutif."

"Jeglek... Ngiik... Jeglek... Ngiik."

"Nah, itu baru namanya kereta ekonomi."

"Itu sih seperti suara nenekku yang asma."

"Waah, Nenekmu seorang kereta?"

Petir terdengar, gemuruh, cahaya kilat, langit seperti sandiwara dengan ornamen kematian yang panjang. Seolah menjadi musik pengiring turunnya malaikat maut. Apakah malaikat maut sudah mengenakan jubah kegelapannya? Seperti sebuah drama di atas panggung, kereta berjalan sementara hujan adalah lampu-lampu mungilnya, kemudian turunlah malaikat maut. Mencabut nyawa demi nyawa. Malaikat itu benar ada, tetapi tak ada yang tahu apakah malaikat pernah kehujanan, itu masih misteri, misteri dari sekian banyak misteri hidup. Misterilah yang membuat hidup ini jadi hidup. Dan malaikat maut pun memiliki kehidupan, hidup di alam ghaib, mungkinkah di alam ghaib juga ada hujan? Kalaupun ada, hujan yang ghaib tak akan pernah bisa menggeser hujan yang nyata. Dan tak ada yang namanya kereta ghaib, meski banyak kereta nyata yang mengirim penumpangnya ke alam ghaib. Barangkali alam ghaib memiliki pintu, dan hujan adalah pintu dari sekian banyak pintu, dan kereta adalah tongkat malaikat maut yang terjulur. Di ujungnya ada air mata.

Tidak. Kereta Hujan tak pernah meneteskan air mata. Kereta Hujan sore itu hanya berjalan di bawah hujan, dan hujan berbeda dengan air mata. Dua orang itu masih menatap hujan yang bukan air mata. Es krim chocolate sundae sudah habis, tinggal tisu berserakan. Derak gerbong terdengar bersama udara dingin, ternyata malam telah datang, sekeliling gerbong berangsur-angsur redup. Betapa tipis perbedaan antara nyata dan ghaib. Tiba-tiba salah satu dari mereka pun sadar.

"Waaah."

"Apa sih?"

"Aku baru ingat."

"Ingat apa?"

"Kamu ini kan..."

"Kenapa aku?"

"Kamu penyair yang selalu membuat puisi tentang hujan!"

"Memangnya kenapa?"

"Untuk apa kamu naik kereta ini?"

"Aku... Aku cuma ingin ke puncak tertinggi puisi hujan."

"Ooo..."

"Aku juga tahu, kamu ini penulis yang suka menulis cerita tentang kereta, stasiun, dan kenangan!"

"Terus? Ada masalah?"

"Kenapa ada di kereta ini?"

"Hohoho. Aku hanya ingin tahu stasiun terakhir yang menyimpan kenangan."

"Hmm... Jadi? Kapan kita turun?"

"Ya kalau sudah sampai."

"Berapa lama lagi kita sampai?"

"Ya tidak tahu, kita kan sudah ratusan tahun di kereta ini, lihat saja, tidak ada orang lagi selain kita berdua."

"Waaaaah!"

Hujan menggeram, menggetarkan jendela pada gerbong yang juga selalu bergetar karena gesekan roda pada rel yang gemetar.Konon, di dalam Kereta Hujan yang berjalan di bawah hujan menjelang malam itu memang hanya tersisa dua penumpang. Kereta itu sudah berangkat sejak lima ratus tahun silam dari stasiun Lempuyangan, dan hingga kini belum pernah sampai di akhir tujuan. ***
READ MORE - Kereta Hujan

Ketapang Kencana

Cerpen Bre Redana
Dimuat di Kompas (11/21/2010)


Aku menanam pohon ketapang kencana (Terminalia mantaly) di halaman. Pohon ini kurasa sangat cocok di halaman rumah Mami yang telah dibangun sangat bagus oleh Teh Rani. Wujud bangunan benar-benar seperti Teh Rani. Sederhana, ringkas, mencerminkan wawasan, pengalaman, dan cara hidupnya yang sangat modern di berbagai negara. Bangunan ini paling modis di situ.

Tak ada pernak-pernik di fasat bagian luar. Ia seperti kotak-kotak beton, mengikuti kontur tanah yang agak berundak. Bagian yang menghadap gunung dan bukit terekspos melalui kaca besar. Alam menjadi lukisan terbaik ciptaan Tuhan. Aluminium hitam yang menjadi bingkai kaca itulah piguranya. Penyiasatan ruang yang cerdas.

Dinding bagian dalam seluruhnya berwarna abu-abu, sama dengan warna keramik lantai. Hanya ada dua kamar. Kamar Mami dan kamar yang disiapkan untuk tamu, masing-masing dengan kamar mandi menggunakan shower. Di dekat dapur ada kamar pembantu, dan satu kamar mandi lagi untuk dipakai beramai-ramai.

Ketapang kencana yang aku datangkan secara khusus dari pembibit yang sangat berpengalaman ini tak akan mengganggu estetika bangunan. Kalau besar nanti, dahan-dahannya yang teduh tak akan menutupi fasat bangunan karena bentuknya renggang. Pohon ini kuanggap paling tepat untuk bangunan yang dirancang Teh Rani itu.

Mami sendiri suka. Ia langsung mengomentari dahannya. Berundak-undak, seperti tangga ke surga, katanya. Itulah yang menyenangkan pada Mami. Ia selalu memiliki komentar otentik.

***

Aku memanggilnya Mami, ikut-ikutan anak-anaknya. Dia kakak ibu. Seharusnya aku memanggilnya Uwak. Ketika G30S meletus, keluargaku berantakan. Dari Jawa Tengah, aku dikirim ke kota kecil di Jawa Barat ini, ikut Uwak yang selanjutnya kupanggil Mami.

Kini praktis Mami tinggal sendiri. Anak-anaknya—kecuali Teh Rani—tersebar di beberapa kota di Jawa Barat dan Jakarta. Teh Rani, anak nomor dua yang paling sukses dan makmur, tinggal di luar negeri. Paris, Roma, New York. Sesekali di rumahnya di Bali. Teh Rani pula yang mengatur kehidupan Mami. Di rumah, Mami ditemani dua pembantu setia, Asep dan Kokom.

Semenjak Mami sering terganggu kesehatan belakangan, aku sangat sering mengunjungi Mami. Keadaannya turun naik. Kadang tampak sangat sehat. Pada kondisi seperti itu Mami seperti kami kenal dulu: ceplas-ceplos suka melucu. Pada kali lain bisa tampak sangat drop.

Teh Rani—entah di mana pun—sering meneleponku, menanyakan keadaan Mami. Sebenarnya aku juga tidak melihat keadaan Mami sehari-hari. Kami tinggal di kota berjauhan. Aku sendiri bahkan tergolong sering bepergian, tidak di Indonesia. Hanya saja semua tahu, dibanding dengan saudara-saudaranya sendiri termasuk yang sekota dengan Mami, Teh Rani paling percaya padaku. Keluarga juga tahu, selain Teh Rani, aku punya tempat khusus di hati Mami. Mami sering bilang: rumah lengkap kalau ada Rani dan aku.

***

Bisa kupahami keresahan Teh Rani. Mami makin tua. Dulu mungkin tak terpikir akan muncul keresahan akan Mami. Di rumah banyak orang. Rumah selalu ramai. Apa-apa akan beres dengan sendirinya. Tak pernah kami sadari arti ”banyak orang dan tidak ada orang bagi orang tua”.

Pada perkembangannya, jumlah orang di rumah menyusut dan menyusut. Terakhir-terakhir seingatku masih ada Anti, Risma, dan Deden. Kemudian Anti menikah. Suaminya pegawai Pertamina, bertugas di Cirebon. Ia diboyong ke Cirebon. Menyusul Deden. Deden mendapatkan pekerjaan, setelah beberapa tahun menganggur seusai kuliah di akademi perbankan. Deden diterima bekerja di sebuah bank yang punya kantor cabang di kota-kota kecil. Ia ditempatkan di Tasikmalaya.

Tinggal sendiri dengan Risma, mulai kami sadari bagaimana kalau Risma nanti juga harus meninggalkan rumah. Siapa akan menemani Mami? Lalu, tahu-tahu Risma hamil. Mau tidak mau, menikahlah dia. Aku kurang tahu suaminya kerja apa. Mereka pindah ke Malangbong.

***

Apa yang bisa kami berikan kepada Mami? Teh Rani kutahu berbuat sebisa-bisanya. Rumah dia rombak untuk membuat kenyamanan pada Mami yang tinggal sendiri. Diharapkan itu menghibur Mami. Apa pun kebutuhan Mami diharapkan Mami segera memberi kabar. Cuma sepengetahuanku, Mami jarang sekali menelepon anak untuk menyatakan meminta sesuatu. Hal yang bahkan tak mungkin dilakukannya.

Kegembiraan Mami sejatinya cuma kalau anak-anak dan cucu di rumah. Rumah ramai. Apalagi dengan kehadiran Teh Rani.

Teh Rani—meski tak terucap—bukannya tak paham hal itu. Hanya saja—semua dalam posisi seperti kami—juga tahu, apa yang bisa kami lakukan? Kami punya kehidupan sendiri-sendiri. Menelepon setiap saat pasti. Meski, kami sadari itu juga kurang cukup. Bahkan kadang meresahkan diri sendiri, kalau menangkap Mami tampaknya kurang sehat. Setiap resah akan keadaan Mami, Teh Rani akan terus-terusan meneleponku. Bertanya ini-itu, kapan terakhir menengok Mami, dan seterusnya.

Sekarang ini baru saja Teh Rani meninggalkan Mami setelah berlibur di situ sekitar satu minggu. Seusai itu Teh Rani ke Jakarta, sempat ketemu aku sebentar, sebelum pulang ke Bali dan kemudian balik ke Paris.

Teh Rani meneleponku agar menengok Mami. Ia sempat pula bilang rencananya akhir tahun. Ia akan bertahun baru di New York, bersama Marita, anak perempuan semata wayangnya.

Aku tak jadi ke Bangkok. Aku akan segera menengok Mami, janjiku pada Teh Rani.

***

Rumah sepi. Mami di kamar, tiduran ditemani Kokom yang ikut tidur di kasur sembari memijat-mijat Mami. Asep berbisik, Mami begitu sejak Teh Rani pergi.

Bisa kurasakan perasaan sepi Mami. Kuperhatikan sekeliling kamar. Dinding dan lantai abu-abu yang dalam keadaan biasa bercita-rasa berkelas, pada saat seperti ini rasanya malah menambah rasa dingin. Apalagi, belakangan hujan terus-terusan turun. Daerah ini tambah sering berkabut.

Di dinding kamar terpajang foto Teh Rani dan Marita. Marita sudah besar. Sudah hendak masuk sekolah fotografi di Paris. Kuamati cantiknya ibu anak ini. Dalam foto itu mereka berpelukan mesra, tersenyum, mengenakan pakaian dingin. Tak tahu aku, foto itu diambil di Paris, Roma, atau New York.

Aku merasakan dua dunia terpisah jauh. Kuingat beberapa kali saat aku mengunjungi Teh Rani di Paris. Terbayang St Germain-des-Pres. Di sekitar kawasan gemerlap itu letak apartemen Teh Rani.

Kuingat kebiasaannya ketika berniat jalan-jalan. Selalu saja baru berjalan beberapa saat dia mengajak berhenti dulu di kafe. Ini mah duduk-duduk, bukan jalan-jalan, komentarku. Dia cuma tertawa. Rasanya, semua bangku kafe terkemuka di kawasan Quartier Latin pernah kami duduki. Kami mencari-cari alasan, untuk makan apa saja atau minum apa saja. Di setiap tempat, kami membenarkan diri untuk minum wine. Atau espresso.

Aku perhatikan meja kecil di samping ranjang. Ada gelas teh. Makanan terbungkus daun yang sudah dimakan sebagian. Dulu, semasa kami semua masih tinggal di rumah, makanan berlimpah. Mau makan apa saja dan kapan saja, selalu tersedia. Selintas teringat, di Paris Teh Rani sering mengajakku ke restoran favoritnya, restoran Afrika dengan daging-daging terbaik yang disajikan dengan serba bakar. Kami tak bisa mengekang hedonisme dalam soal makan.

”Kami tidak masak, soalnya tanggung masak hanya untuk Mami,” Kokom menerangkan mengenai makanan yang tersisa di meja.

***

Duduk di pinggir ranjang, aku ikut-ikutan memijit-mijit kaki Mami yang dibalut selimut tebal. Aku tahu Mami tidak tidur, dan pasti juga tahu kehadiranku.

”Mami sakit…,” aku bertanya. ”Mami yang sehat. Nanti kita bikin pesta, bikin bakar-bakaran di halaman,” aku melanjutkan begitu saja.

Dia diam saja. Mata tetap terpejam. Bersama Kokom aku terus memijit-mijit atau mengusap-usapnya. Di matanya yang terpejam, beberapa kali keluar air mata. Kokom dan aku bergantian mengelap dengan tisu.

”Sejak Teh Rani pergi…,” Kokom berbisik padaku. ”Sering nangis sendiri….”

Aku mengangguk.

Lama-lama Mami bergerak.

”Punggung Mami sakit…,” katanya pelan. Tetap dengan mata terpejam.

Aku mengusap-usap punggungnya. Asep dan Kokom senyum-senyum. Kami semua tahu, Mami cuma mencari-cari.

”Sakit sekali ya Mi…,” tanyaku. ”Sampai menangis….”

”Tadi Mami bermimpi…,” ucapnya.

”Mimpi apa, Mi,” tanyaku.

Mami diam saja. Baru beberapa saat kemudian dia bicara.

”Ketapang kencana berubah jadi pohon emas…,” katanya pelan.

”Mami bermimpi ketapang kencana berubah jadi emas?”

Dalam posisi tiduran miring ia menganggukkan kepala.

”Kencana artinya memang emas, Mi…,” ucapku. ”Kencanawungu, emas ungu….”

”Pohon itu tumbuh tinggi sekali, sampai di balik awan…,” ia meneruskan ucapan seperti pada diri sendiri. ”Mami naik memanjatnya. Dahan demi dahan. Tiba-tiba Mami sudah di balik awan dan tak bisa lagi kembali,” lanjutnya, dengan air mata kembali keluar.

”Kembang tidur, Mami…,” kataku.

Mami diam saja.

”Kapan Rani pulang lagi…,” tanyanya pelan.

”Tahun depan. Katanya mau tahun baru di New York.”

Ia kembali diam.

”Tahun depan…,” Mami seperti bicara pada diri sendiri.

”Tahun depan artinya hanya bulan depan, Mi. Ini sudah Desember.”

Dia tak menjawab. Malah berucap sendiri, ”Ketapang kencana….”

Kutatap lagi foto di dinding kamar. Teh Rani dan Marita dengan senyumnya yang manis. Tak ada yang mengalahkan manisnya perempuan Sunda, tetapi foto ini tak mungkin bisa menemani Mami.

***

Kuputuskan menelepon Teh Rani. Dengan antusias dia bertanya, bagaimana keadaan Mami. Rumah bagaimana? Baik-baik saja? Dia bilang, katanya bermimpi tentang rumah. Apa yang diimpikan Teteh, aku bertanya. Ketapang kencanamu bertumbuh bagus sekali. Tinggi menjulang, dahan-dahannya menjadi emas.

Aku terkesiap.

”Halo…,” suara Teh Rani, mendapati suaraku menghilang.

”Oh, halo…,” kataku.

”Kamu mendengar?”

”Ya, ya, aku mendengar,” ucapku.

”Kenapa kamu diam saja?”

Sejenak aku berpikir. ”Tahun baru sebaiknya kita semua di rumah Mami saja…,” ucapku.

Dia yang kemudian balik terdiam.

”Halo,” kataku.

”Ya, aku mendengar…,” kata Teh Rani pelan. ”Aku pikir juga begitu,” tambahnya tetap dengan nada pelan.

”Jadi Teteh akan pulang? Tak jadi ke New York?” aku bicara antusias.

”Tidak jadi. Aku akan pulang. Tahun baru di rumah Mami. Kamu juga. Awas, jangan ada acara lain.”

Aduh, serentak kubayangkan betapa bakal membahagiakannya tahun baru kali ini. Teh Rani adalah pusat keluarga. Rumah akan langsung ramai begitu dia pulang. Kureka-reka sendiri kami akan mengadakan barbeque atau pesta bakar-bakaran di halaman. Cari daging terbaik. Minum wine bersama Teh Rani—sembari mengajari yang lain-lainnya. Mami akan kembali melucu. Mungkin malah merokok. Biar saja.

Kami akan berpesta di bawah ketapang kencana. Cucu-cucu akan lari kesana kemari. Tak kumengerti, bagaimana pohon ini bisa mempertautkan ibu dan anak perempuan kecintaannya dalam mimpi.

Aku berdoa, pohon ini akan tumbuh subur, selalu hijau di segala musim seperti sifat-sifatnya yang kupelajari dari buku. Tak perlu menjadi pohon emas, dan Mami selalu sehat….

Banjarsari, November 2010
READ MORE - Ketapang Kencana

Cerita Rekaan dan Daya Jelajah Karakter Manusia

Cerita rekaan yang saya maksud adalah cerita rekaan yang ditulis berdasarkan khayalan, tetapi mengandung nilai-nilai sastra. Sedangkan, cerita rekaan yang digarap secara vulgar (kasar) tanpa mempertimbangkan bobot sastranya tidak termasuk dalam lingkup pembicaraan ini. Sebuah cerita rekaan dikatakan mengandung nilai-nilai sastra jika memenuhi tiga ciri utama, di antaranya adanya unsur rekaan, imajinasi (daya angan) sebagai basis penciptaan, dan adanya penemuan-penemuan kreatif. Dengan demikian, jika ada salah satu unsur ciri yang tidak digarap, cerita tersebut kurang memiliki bobot ditilik dari kandungan nilai-nilai sastranya.

Persoalannya sekarang, benarkah dengan banyak membaca cerita rekaan, khazanah batin seorang pembaca akan semakin kaya? Nah, untuk menjawabnya, mari kita mencoba melacaknya dari sudut pandang eksistensi penulis, cerita rekaan, dan publik (pembaca). Mengapa mesti menggunakan ketiga sudut pandang itu? Yup, menurut pemahaman awam saya, ketiga elemen tersebut membentuk keterkaitan yang padu sehingga sulit dipisahkan kehadirannya. Dari sudut pandang penulis, seorang penulis mustahil berproses kreatif tanpa ada tendensi tertentu yang ingin dicapai lewat karyanya. Penulis memiliki semacam komitmen dan tanggung jawab moral untuk bisa ikut berkiprah dalam melakukan sebuah perubahan. Nah, komitmen mereka kemudian disalurkan lewat media tulisan. Dari tulisan itulah akhirnya pembaca dapat menangkap visi pengarang dalam memandang dunia, latar belakang sosiokultural, landasan filosofis, dan sejumlah pengalaman lain yang digunakan untuk membangun cerita.

Dari sudut pandang pembaca, seorang pembaca melalui daya serapnya akan memberikan nilai lebih kepada pengarang yang benar-benar memiliki komitmen dan tanggung jawab moral dalam upaya melakukan sebuah perubahan dan berupaya memperbaiki kondisi masyarakat yang "sakit" melalui persoalan-persoalan yang digarap melalui ceritanya. Dengan cara demikian, khazanah batin pembaca akan terasupi gagasan, pendapat, sikap, dan keyakinan sang penulis yang secara sugestif mampu memberikan bahan renungan dan katharsis batin mengenai berbagai persoalan dan fenomena kehidupan.

Dari sudut pandang cerita rekaan, melalui cerita rekaan yang telah berhasil disuguhkan sang pengarang, pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya secara bebas terhadap tokoh-tokoh cerita sehingga pembaca memperoleh sentuhan manusiawi dalam upaya menyiasati berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran apabila sebuah cerita rekaan seringkali mampu memukau pembaca melalui lukisan-lukisan tokoh cerita yang begitu hidup dan memikat sehingga secara sugestif pembaca berupaya meneladani sikap dan karakter sang tokoh cerita.

Selain itu, pembaca juga dapat menikmati berbagai pengalaman hidup yang dapat membawa alam imajinasinya terbang jauh ke berbagai persoalan hidup yang tak mungkin dijangkau oleh pancainderanya. Dengan membaca buku Catatan Harian karangan Anne Frank, misalnya, batin pembaca diajak untuk menyiasati suka-duka sebuah keluarga Yahudi yang terpaksa menyembunyikan diri di atas loteng sebuah rumah waktu pendudukan Jerman. Atau, pada saat membaca cerpen “Kisah Sebuah Celana Pendek”-nya Idrus, batin pembaca diajak untuk menyusupi lorong kehidupan wong cilik yang harus bergulat dengan kesengsaraan yang mencekiknya pada saat Jepang berkuasa setelah pecahnya Perang Pasifik tahun 1941. Orang-orang gedhean mencurahkan perhatiannya pada persoalan politik, tetapi wong cilik harus meratapi nasibnya karena kelaparan. Saya kira masih banyak cerita rekaan lain yang sanggup menyuburkan sikap humani pembaca di tengah atmosfer global yang dinilai mulai abai terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Melalui style (bahasa) dan muatan isi dalam cerita rekaan, pembaca akan terbuka mata batinnya dalam menerima pengalaman-pengalaman baru yang begitu kompleks. Bahasa dalam cerita rekaan adalah bahasa bebas, bahkan dengan bebasnya pengarang berupaya untuk tidak terbelenggu oleh benturan dimensi ruang dan waktu sehingga sanggup mengekspresikan perasaannya dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca. Bahan yang diolah pengarang pada umumnya adalah persoalan yang aktual, menarik, dan mampu merangsang pembaca untuk merenungkan hakikat kehidupan manusia yang sesungguhnya sehingga bisa menumbuhkan wawasan dan pandangan baru bagi pembaca dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup yang muncul ke permukaan. Dengan demikian, batin pembaca akan diwarnai oleh berbagai ragam pengalaman yang majemuk yang melingkupi sosok kehidupan manusia.

Ada semacam kepuasan batin ketika publik berhadapan dengan sebuah cerita rekaan yang sarat dengan nilai-nilai sastra. Tanpa disadari, batin pembaca akan terasupi oleh hal-hal filosofis dan kesejatian hidup yang mengungkap tentang berbagai persoalan kehidupan, beragam karakter manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta beragam persoalan sosial-budaya yang melingkupi paguyuban masyarakat secara komunal. Unsur style dan muatan isi cerita rekaan semacam itulah yang bisa membuka mata batin pembaca terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan sehingga khazanah batinnya semakin kaya.

Melalui kekuatan intuitifnya, pembaca dapat mengenal beragam karakter manusia yang terus berkutat dengan segala macam persoalan yang dihadapi manusia pada masa lampau, masa kini, atau masa yang akan datang. Yang jelas, dengan banyak membaca cerita rekaan yang tinggi kandungan nilai sastranya, khazanah batin pembaca akan semakin kaya lantaran terisi oleh pengalaman-pengalaman baru yang unik yang belum tentu dapat diperoleh secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. ***


READ MORE - Cerita Rekaan dan Daya Jelajah Karakter Manusia

Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Alhamdulillah, rangkaian kegiatan Olimpade Sastra Indonesia (OSI) Siswa SD Tahun 2010 akhirnya usai sudah. Hotel Garden Palace, Surabaya, pada tanggal 9-13 November 2010, menjadi saksi bisu sebuah perhelatan final yang baru pertama kali digelar itu. Sebanyak 40 finalis tampil dalam laga pamungkas untuk diuji tingkat orisinalitas karyanya di depan dewan juri, antara lain:


1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti Ketua
2. Drs. Sawali, M.Pd. Anggota
3. Dra. Kemalawati Anggota
4. Asma Nadia Anggota
5. Drs. Sih Abadi Anggota
6. Drs. Palogo Balianto, M.Pd. Anggota
7. Drs. Mistur HS. Anggota
8. Dra. Purnamaningsih Anggota

40 finalis dengan didampingi guru pembimbing masing-masing yang berlaga akan memperebutkan 20 medali yang disediakan oleh Direktorat Pembinaan TK/SD, Ditjen Mandikdasmen, Kemdiknas. Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang alot di antara sesama juri, akhirnya berhasil juga ditetapkan para peraih medali dalam event akbar yang digelar di kota Pahlawan itu. Nama-nama peraih medali OSI Siswa SD Tahun 2010 dapat diunduh di sini.

Prof. Suminto A. Sayuti ketika Temu Teknik menjelang pelaksanaan final menyatakan bahwa event final ini sesungguhnya ingin memberikan ruang “bertegur sapa” bagi para peserta agar lebih dekat dan akrab dengan susastra. Itu artinya, persoalan “kalah-menang” bukanlah hal yang terlalu penting untuk dipersoalkan.

Ya, ya, pernyataan guru besar sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang tidak pernah mengagungkan diri sebagai profesor dan masih betah menyatu dengan masyarakat desa Pakem di lereng Merapi itu memang sangat tepat. Berkali-kali, Pak Minto, demikian saya biasa menyapanya, yang juga penyair “Malam Taman Sari” –beberapa waktu yang lalu ketika bertemu di Jakarta sempat memberikan buku antologi puisinya kepada saya – menyatakan bahwa sejak dini anak-anak perlu didekatkan dengan sastra dalam kondisi “playfull”, mengalir, dan tanpa beban, sehingga mereka bisa berekspresi dan berkreasi secara bebas sesuai dengan dunia anak-anak.
Para finalis yang tampil berlaga sudah sama-sama menyalakan “obor” olimpiade. Mereka sudah menunjukkan kiprahnya sebagai generasi masa depan yang dengan amat sadar menjadikan susastra sebagai bagian dari hidupnya. Oleh karena itu, yang belum berhasil meraih medali tidak perlu berkecil hati, sedangkan yang telah ditetapkan sebagai peraih medali tidak perlu menepuk dada. Semoga “obor” OSI yang telah dinyalakan tidak akan pernah padam walaupun tantangan dan godaan yang dihadapi makin rumit dan kompleks di tengah dinamika peradaban yang kian abai terhadap persoalan-persoalan sastra dan budaya.
Usai mengikuti rangkaian kegiatan final, para peserta dan guru pembimbing diajak mengikuti “Workshop Sastra Anak” di ruang yang berbeda. Workshop yang berlangsung Kamis, 11 November 2010 pukul 19.00-21.00 WIB itu dimaksudkan untuk lebih memantabkan langkah para peserta dalam menjejakkan kakinya di ranah sastra sekaligus memperkokoh wawasan bersastra bagi para guru pembimbing dan bagaimana mengajarkannya di sekolah. Tampil sebagai narasumber bagi guru pembimbing adalah Prof. Suminto, sedangkan saya, Asma Nadia dan putranya, Adam Putra Firdaus (9 tahun), didaulat untuk berbincang-bincang dengan para peserta berkaitan dengan dunia kepenulisan. Makalah yang saya sajikan dalam workshop dapat dibaca di sini.

Menjelang workshop, Mbak Asma Nadia sempat memberikan hadiah sebuah buku “Album Cerita Pilihan” karyanya berjudul “Emak Ingin Naik Haji” yang cukup best-seller dan ketika buku ini diterbitkan untuk yang pertama kali --kini sudah memasuki cetakan ketiga-- sedang dalam proses syuting layar lebar yang digarap oleh sutradara Aditya Gumay. Adam PF, putra Mbak Asmanadia yang cerdas dan menggemaskan itu, pun juga menghadiahi saya sebuah buku karyanya sendiri berjudul “Mostly Ghostly: Memburu Gosip Hantu-Hantu”. Terima kasih Mbak Asma Nadia dan Adam, semoga obor kreativitas kepenulisannya tak pernah padam oleh rajaman sang waktu.

Berikut adalah beberapa gambar ketika rangkaian kegiatan final OSI 2010 berlangsung.

osiosiosiosiosiosiosiosiosiosi


Semoga para finalis OSI 2010 bisa menjadi generasi masa depan yang berkarakter dan berkperibadian kuat sehingga bisa memancarkan "aura" bersusastra di tengah-tengah lingkungan komunitas sosialnya. Salam budaya dan salam ngeblog! ***
READ MORE - Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan

alniJika tak ada aral melintang, pada tanggal 30 November 2010, MGMP Bahasa Indonesia SMP Kab. Kendal bekerja sama dengan Mitra Edukatifa Semarang akan menggelar seminar film bertema pendidikan karya Deddy Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini” (ALNI). Film yang digarap bareng dengan Musfar Yasin ini membidik secara satire tentang Indonesia “kontemporer” yang sarat beban: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, bahkan juga agama. Film berdurasi 105 menit ini agaknya ingin menunjukkan betapa karut-marut Indonesia sejatinya berawal dari mis-match antara dunia pendidikan dan kenyataan sosial-budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Desain dunia pendidikan seringkali tidak sinkron dengan dinamika dan perkembangan masyarakatnya, sehingga gagal memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada anak bangsa.

Film ini bertutur tentang kegamangan seorang pemuda (Muluk) bergelar Sarjana Manajemen dalam menghadapi masa depannya. Lantaran gagal memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, dia terpaksa bergabung dengan komplotan pencopet. Diajarinya para pencopet dengan manajemen modern dengan harapan kelak mereka bisa mandiri dan keluar dari belenggu kemiskinan dan kriminalitas. Untuk menjalankan misinya, Muluk mengajak Syamsul (sarjana pendidikan) dan Pipit (pengangguran yang hobi berat mengikuti undian), untuk memberikan pencerahan di tengah markas para pencopet. Setiap hari, mereka datang untuk mendidik para pencopet. Namun, ketika misinya sudah mulai menunjukkan hasil, tantangan berat justru datang dari ayah Muluk dan Pipit. Mereka geram karena merasa tertipu setelah mengetahui bahwa uang yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari uang hasil copetan. Kejadian itu membuat Muluk merasa sedih dan bersalah. Ia memutuskan untuk menghentikan misinya. Semua uang hasil copetan yang selama ini dia tangani diserahkan kepada bos pencopet. Ia memutuskan untuk menjadi seorang sopir.
Ya, ya, sebuah film “satire” tentang Indonesia “kontemporer” yang layak ditonton dan didiskusikan oleh insan-insan pendidik dan segenap komponen masyarakat untuk ikut-serta berkiprah dalam mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah, terhormat, dan bermartabat.

Berikut kami informasikan tentang pendaftaran keikutsertaan seminar film nasional tersebut!

Pelaksanaan:
Hari, Tanggal : Selasa, 30 November 2010
Pukul : 13.00 – 17.30 WIB
Tempat : GOR SBR Purin Kendal

Narasumber:
H. Deddy Mizwar (Aktor dan Sutradara Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”)

Kontribusi: Rp50.000,00

Fasilitas:
Seminar Kit, Stiker, Makalah, Snack, Sertifikat, dan Doorprize

Pendaftaran:
Waktu Pendaftaran : paling lambat tanggal 27 November 2010
Tempat pendaftaran :
1. Edi Santosa, S.Pd. (SMP 2 Singorojo, HP 08122564137)
2. Ali Muthohar, S.Pd. (SMP 2 Limbangan, HP 085225778338)
3. Harini, S.Pd. (SMP 1 Brangsong, HP 081325362055)
4. Sucipto, S.Pd. (SMP 2 Kendal, HP 081390311963)
5. Drs. M. Rosyidin (SMP 4 Pegandon, HP 087832114019)
6. Dwi Putri Mulat, S.Pd. (SMP 3 Weleri, HP 081228672120)
7. Komari, S.Pd. (SMP 1 Sukorejo, HP 085225283632)
8. Dwi Isnaini, S.Pd. (SMP 3 Patebon, HP 081326656480)
9. Mujiyono, S.Pd. (SMP 2 Brangsong, HP 0818454227)

Silakan segera mendaftar, tiket terbatas!
***
READ MORE - Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan