Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Alhamdulillah, rangkaian kegiatan Olimpade Sastra Indonesia (OSI) Siswa SD Tahun 2010 akhirnya usai sudah. Hotel Garden Palace, Surabaya, pada tanggal 9-13 November 2010, menjadi saksi bisu sebuah perhelatan final yang baru pertama kali digelar itu. Sebanyak 40 finalis tampil dalam laga pamungkas untuk diuji tingkat orisinalitas karyanya di depan dewan juri, antara lain:


1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti Ketua
2. Drs. Sawali, M.Pd. Anggota
3. Dra. Kemalawati Anggota
4. Asma Nadia Anggota
5. Drs. Sih Abadi Anggota
6. Drs. Palogo Balianto, M.Pd. Anggota
7. Drs. Mistur HS. Anggota
8. Dra. Purnamaningsih Anggota

40 finalis dengan didampingi guru pembimbing masing-masing yang berlaga akan memperebutkan 20 medali yang disediakan oleh Direktorat Pembinaan TK/SD, Ditjen Mandikdasmen, Kemdiknas. Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang alot di antara sesama juri, akhirnya berhasil juga ditetapkan para peraih medali dalam event akbar yang digelar di kota Pahlawan itu. Nama-nama peraih medali OSI Siswa SD Tahun 2010 dapat diunduh di sini.

Prof. Suminto A. Sayuti ketika Temu Teknik menjelang pelaksanaan final menyatakan bahwa event final ini sesungguhnya ingin memberikan ruang “bertegur sapa” bagi para peserta agar lebih dekat dan akrab dengan susastra. Itu artinya, persoalan “kalah-menang” bukanlah hal yang terlalu penting untuk dipersoalkan.

Ya, ya, pernyataan guru besar sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang tidak pernah mengagungkan diri sebagai profesor dan masih betah menyatu dengan masyarakat desa Pakem di lereng Merapi itu memang sangat tepat. Berkali-kali, Pak Minto, demikian saya biasa menyapanya, yang juga penyair “Malam Taman Sari” –beberapa waktu yang lalu ketika bertemu di Jakarta sempat memberikan buku antologi puisinya kepada saya – menyatakan bahwa sejak dini anak-anak perlu didekatkan dengan sastra dalam kondisi “playfull”, mengalir, dan tanpa beban, sehingga mereka bisa berekspresi dan berkreasi secara bebas sesuai dengan dunia anak-anak.
Para finalis yang tampil berlaga sudah sama-sama menyalakan “obor” olimpiade. Mereka sudah menunjukkan kiprahnya sebagai generasi masa depan yang dengan amat sadar menjadikan susastra sebagai bagian dari hidupnya. Oleh karena itu, yang belum berhasil meraih medali tidak perlu berkecil hati, sedangkan yang telah ditetapkan sebagai peraih medali tidak perlu menepuk dada. Semoga “obor” OSI yang telah dinyalakan tidak akan pernah padam walaupun tantangan dan godaan yang dihadapi makin rumit dan kompleks di tengah dinamika peradaban yang kian abai terhadap persoalan-persoalan sastra dan budaya.
Usai mengikuti rangkaian kegiatan final, para peserta dan guru pembimbing diajak mengikuti “Workshop Sastra Anak” di ruang yang berbeda. Workshop yang berlangsung Kamis, 11 November 2010 pukul 19.00-21.00 WIB itu dimaksudkan untuk lebih memantabkan langkah para peserta dalam menjejakkan kakinya di ranah sastra sekaligus memperkokoh wawasan bersastra bagi para guru pembimbing dan bagaimana mengajarkannya di sekolah. Tampil sebagai narasumber bagi guru pembimbing adalah Prof. Suminto, sedangkan saya, Asma Nadia dan putranya, Adam Putra Firdaus (9 tahun), didaulat untuk berbincang-bincang dengan para peserta berkaitan dengan dunia kepenulisan. Makalah yang saya sajikan dalam workshop dapat dibaca di sini.

Menjelang workshop, Mbak Asma Nadia sempat memberikan hadiah sebuah buku “Album Cerita Pilihan” karyanya berjudul “Emak Ingin Naik Haji” yang cukup best-seller dan ketika buku ini diterbitkan untuk yang pertama kali --kini sudah memasuki cetakan ketiga-- sedang dalam proses syuting layar lebar yang digarap oleh sutradara Aditya Gumay. Adam PF, putra Mbak Asmanadia yang cerdas dan menggemaskan itu, pun juga menghadiahi saya sebuah buku karyanya sendiri berjudul “Mostly Ghostly: Memburu Gosip Hantu-Hantu”. Terima kasih Mbak Asma Nadia dan Adam, semoga obor kreativitas kepenulisannya tak pernah padam oleh rajaman sang waktu.

Berikut adalah beberapa gambar ketika rangkaian kegiatan final OSI 2010 berlangsung.

osiosiosiosiosiosiosiosiosiosi


Semoga para finalis OSI 2010 bisa menjadi generasi masa depan yang berkarakter dan berkperibadian kuat sehingga bisa memancarkan "aura" bersusastra di tengah-tengah lingkungan komunitas sosialnya. Salam budaya dan salam ngeblog! ***
READ MORE - Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan

alniJika tak ada aral melintang, pada tanggal 30 November 2010, MGMP Bahasa Indonesia SMP Kab. Kendal bekerja sama dengan Mitra Edukatifa Semarang akan menggelar seminar film bertema pendidikan karya Deddy Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini” (ALNI). Film yang digarap bareng dengan Musfar Yasin ini membidik secara satire tentang Indonesia “kontemporer” yang sarat beban: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, bahkan juga agama. Film berdurasi 105 menit ini agaknya ingin menunjukkan betapa karut-marut Indonesia sejatinya berawal dari mis-match antara dunia pendidikan dan kenyataan sosial-budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Desain dunia pendidikan seringkali tidak sinkron dengan dinamika dan perkembangan masyarakatnya, sehingga gagal memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada anak bangsa.

Film ini bertutur tentang kegamangan seorang pemuda (Muluk) bergelar Sarjana Manajemen dalam menghadapi masa depannya. Lantaran gagal memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, dia terpaksa bergabung dengan komplotan pencopet. Diajarinya para pencopet dengan manajemen modern dengan harapan kelak mereka bisa mandiri dan keluar dari belenggu kemiskinan dan kriminalitas. Untuk menjalankan misinya, Muluk mengajak Syamsul (sarjana pendidikan) dan Pipit (pengangguran yang hobi berat mengikuti undian), untuk memberikan pencerahan di tengah markas para pencopet. Setiap hari, mereka datang untuk mendidik para pencopet. Namun, ketika misinya sudah mulai menunjukkan hasil, tantangan berat justru datang dari ayah Muluk dan Pipit. Mereka geram karena merasa tertipu setelah mengetahui bahwa uang yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari uang hasil copetan. Kejadian itu membuat Muluk merasa sedih dan bersalah. Ia memutuskan untuk menghentikan misinya. Semua uang hasil copetan yang selama ini dia tangani diserahkan kepada bos pencopet. Ia memutuskan untuk menjadi seorang sopir.
Ya, ya, sebuah film “satire” tentang Indonesia “kontemporer” yang layak ditonton dan didiskusikan oleh insan-insan pendidik dan segenap komponen masyarakat untuk ikut-serta berkiprah dalam mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah, terhormat, dan bermartabat.

Berikut kami informasikan tentang pendaftaran keikutsertaan seminar film nasional tersebut!

Pelaksanaan:
Hari, Tanggal : Selasa, 30 November 2010
Pukul : 13.00 – 17.30 WIB
Tempat : GOR SBR Purin Kendal

Narasumber:
H. Deddy Mizwar (Aktor dan Sutradara Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”)

Kontribusi: Rp50.000,00

Fasilitas:
Seminar Kit, Stiker, Makalah, Snack, Sertifikat, dan Doorprize

Pendaftaran:
Waktu Pendaftaran : paling lambat tanggal 27 November 2010
Tempat pendaftaran :
1. Edi Santosa, S.Pd. (SMP 2 Singorojo, HP 08122564137)
2. Ali Muthohar, S.Pd. (SMP 2 Limbangan, HP 085225778338)
3. Harini, S.Pd. (SMP 1 Brangsong, HP 081325362055)
4. Sucipto, S.Pd. (SMP 2 Kendal, HP 081390311963)
5. Drs. M. Rosyidin (SMP 4 Pegandon, HP 087832114019)
6. Dwi Putri Mulat, S.Pd. (SMP 3 Weleri, HP 081228672120)
7. Komari, S.Pd. (SMP 1 Sukorejo, HP 085225283632)
8. Dwi Isnaini, S.Pd. (SMP 3 Patebon, HP 081326656480)
9. Mujiyono, S.Pd. (SMP 2 Brangsong, HP 0818454227)

Silakan segera mendaftar, tiket terbatas!
***
READ MORE - Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan

Fenomena Korupsi, Stagnasi Pendidikan, dan Degradasi Kebudayaan

Sungguh memprihatinkan kondisi hukum, sosial, politik, dan ekonomi bangsa kita belakangan ini. Berbagai fenomena anomali sosial, politik, dan hukum seolah-olah telah menjadi bagian dari karakter para pemeran berjubah yang menampilkan wajah-wajah palsu. Orkestra pengiringnya pun bernada getir dan perih. Tentu saja, situasi panggung semacam itu menimbulkan beragam respon dari penonton yang memiliki karakter beragam pula. Ada yang puas dan tepuk tangan, ada juga yang mengernyitkan dahi, mengelus dada, bahkan tak sedikit yang garang berteriak.

erentetan adegan dan peristiwa yang sarat anomali itu menemukan klimaksnya ketika terjadi ontran-ontran hukum yang mengabaikan rasa keadilan. Rakyat yang geram dan marah terhadap praktik hukum yang amburadul menumpahkan kegelisahannya melalui “parlemen online” dan “parlemen jalanan” sebagai protes terhadap aparat penegak hukum yang dinilai mulai kehilangan kearifan dan ketidakberdayaan para wakil rakyat dalam menyuarakan rasa keadilan. Upaya kriminalisasi dua petinggi KPK – Bibit-Candra-- yang konon dikenal “galak” dalam memburu para koruptor hingga melahirkan idiom “Cicak vs Buaya”, marginalisasi Bu Prita Mulyasari, atau proses dehumanisasi rakyat kecil yang tak berdaya dalam melawan orang-orang berkantong tebal di depan hukum, hanyalah beberapa contoh kasus yang benar-benar mengusik rasa keadilan. Belum lagi kasus “Bank Century” yang kini masih menjadi tanda tanya besar. Kasus terakhir, mengapa aparat penegak hukum kita bisa dengan mudah "dikencingi" seorang Gayus yang notabene telah menjadi seorang "pesakitan"?

inilah.comYang tak kalah tragis tentu praktik politik dan demokrasi yang menampilkan wajah homo homini lupus. Mereka menjadi serigala yang tega memangsa sesamanya. Kecerdasan dan tingginya pengetahuan bukan dimanfaatkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, melainkan justru untuk melestarikan dan mengembangkan suasana fasis yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Etika dan fatsun politik telah berubah menjadi retorika dan slogan belaka. Yang menang selalu menepuk dada dan tampil sebagai Goliath, sedangkan yang kalah diposisikan sebagai David dan pecundang. Mungkin ada benarnya kalau Michel Focault bilang bahwa pengetahuan yang jatuh di tangan penguasa lalim dan tak berperasaan, akan menjadi mesin pembunuh yang mematikan.

Pertanyaannya sekarang, siapa sesungguhnya yang menjadi penulis skenario dan sutradara di balik pementasan yang getir dan perih itu?

Dalam pandangan awam saya, situasi yang sarat anomali semacam itu tak lepas dari warisan dan gaya kepemimpinan rezim Orde Baru yang cuek dan abai terhadap persoalan-persoalan kebudayaan dalam dinamika pembangunan berbangsa dan bernegara. Dengan dalih demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, pendidikan kemanusiaan –sebagai bagian penting dalam sebuah kebudayaan--perlahan-lahan digusur, untuk selanjutnya dikubur tanpa nisan dalam ranah pendidikan kita.
Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiaan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistis, ekonomis, dan teknokratis; kering dari sentuhan nilai moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati nurani, emosi, dan spiritual. Imbasnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran dan kemuliaan budi jadi nihil. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, cenderung bar-bar anarkhis, besar kepala, dan mau menang sendiri.
Iklim pendidikan kita yang kering dari sentuhan nilai kemanusiaan semacam itu, disadari atau tidak, telah melahirkan manusia-manusia berkarakter hedonis, penjilat, hipokrit, arogan, dan miskin kearifan. Tak berlebihan kalau (alm.) Rama Mangunwijaya dengan nada sinis pernah menyatakan bahwa angkatan sekarang mengalami kemunduran yang sangat parah dalam pendidikan berpikir nalar eksploratif dan kreatif, sehingga menumbuhkan kultur pikir dan cita rasa yang sempit dan dangkal yang memperlambat pendewasaan diri. Padahal, idealnya, rasionalitas harus dikemudikan ke tingkat yang lebih komprehensif, yakni kearifan. Kearifan pun harus memiliki dimensi rasionalitas yang tinggi. Emosi, perasaan, atau pandangan subjektif dalam diri manusia, tegas Rama Mangun, dapat diibaratkan seperti energi yang memberi daya gerak kepada karya manusia. Sedangkan rasio atau nalar ibarat kemudia atau setir, sedangkan kearifan adalah nahkodanya.

Puncak degradasi kebudayaan pun terjadi ketika menjelang “lengser keprabon”, Soeharto sebagai penguasa Orba membuat manuver dengan “menceraikan” kebudayaan dari dunia pendidikan. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pun terbentuk. Praktis, dunia pendidikan yang sejatinya tak bisa dipisahkan dari ranah pendidikan pun resmi bercerai dengan kebudayaan. Oleh penguasa, budaya tidak lagi dipahami sebagai sebuah entitas pencarian nilai-nilai kedalaman dan kesejatian hidup, tetapi lebih diorientasikan bagaimana agar kita bisa hidup dari sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, bangsa kita tidak berupaya untuk “menghidupi” kebudayaan, tetapi justru bagaimana caranya agar kita bisa “hidup” dari kebudayaan itu. Maka, lahirlah produk-produk budaya kemasan baru yang semata-mata dimanfaatkan untuk mendongkrak devisa negara; bukan untuk meninggikan harkat dan kemuliaan sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya.
Ketika reformasi bergulir, banyak kalangan berharap agar kebudayaan kembali rujuk dengan pendidikan. Setidak-tidaknya, ada upaya serius untuk mengembalikan kebudayaan sebagai pilar peradaban yang akan mengawal setiap dinamika dan gerak pembangunan, tanpa mengabaikan dunia pariwisata yang memang diperlukan untuk menaikkan posisi tawar bangsa kita di kancah global. Namun, agaknya pemerintah pasca-reformasi pun cenderung memandang kebudayaan dari sisi ekonomi alias kebudayaan material an-sich yang ingin menjadikan budaya sebagai salah satu “ikon” pariwisata yang bisa mengalirkan devisa. Akibatnya, dunia pendidikan pun berkembang tanpa sentuhan nilai-nilai budaya yang amat diperlukan dalam membangun peradaban yang lebih terhormat dan beradab.

Nah, kini sudah saatnya kita mengembalikan desain dunia pendidikan yang sarat dengan sentuhan budaya. Dalam konteks demikian, dibutuhkan upaya serius untuk membenahi dunia pendidikan yang dinilai sudah sarat dengan proses pembusukan akibat kebijakan dan sistem yang salah urus dengan menggunakan pendekatan kultural yang utuh dan komprehensif. Itulah yang selalu kita tunggu! ***
READ MORE - Fenomena Korupsi, Stagnasi Pendidikan, dan Degradasi Kebudayaan

Nilai Filosofis di Balik Produk Batik Indonesia

Akhirnya, dunia mengakui batik sebagai produk budaya Indonesia. Unesco mengukuhkan batik ke dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia atau Representative List of Intangible Cultural Heritage. Pengukuhan ini jelas menjadi kebanggaan tersendiri buat bangsa kita setelah melalui berbagai macam cara, negeri jiran, Malaysia, berupaya mengklaim sebagai produk budaya mereka.

batikbatikbatikbatikMeski demikian, kita tidak cukup hanya berpuas diri pasca-pengukuhan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 2 Oktober 2009 itu. Batik tak cukup hanya dilestarikan, tetapi juga perlu terus ditumbuhkembangkan sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Dengan kata lain, batik tak hanya berhenti sebatas produk warisan budaya belaka, tetapi juga perlu terus mampu beradaptasi sesuai dengan gerak dan dinamika masyarakat pemakainya.

Dalam perspektif budaya, batik mengandung nilai filosofis yang cukup tinggi, baik dari sisi motif, cara pembuatan, hingga lamanya proses membuat selembar kain batik. Batik menyimbolkan doa dan harapan bagi pemakainya. Bukan hanya itu. Batik juga menunjukkan hasil jerih payah dan kesabaran pembuatnya.

Kurator Museum Batik Jogjakarta, Prayoga, menyatakan, tidak semua penggemar batik paham akan konsep dan filosofi di balik pembuatan kain batik. Pembuat kain batik, lanjutnya, harus dalam kondisi tenang saat membatik. Tak heran, beberapa pembatik harus berpuasa sebelum membatik. "Membatik itu butuh ketenangan. Kita tidak boleh membatik jika sedang gelisah karena akan berpengaruh langsung kepada kain yang kita batik," tuturnya.

Membatik juga membutuhkan kesabaran dan disiplin ekstra. Dalam satu lembar kain batik, butuh beberapa kali tahap pewarnaan sebelum batik siap dipakai. "Bisa 17 kali kalau memang rumit. Dan, itu memakan waktu. Karena itu, kadang satu batik bisa dibuat hingga satu tahun," ujarnya.

Kedisiplinan, lanjutnya, ditunjukkan dengan jumlah takaran malam yang pas. "Saat akan membatik, kita harus menakar penggunaan malam dengan pas. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Jika pekerjaan kita tidak selesai, entah itu malamnya kurang atau berlebih, berarti ada yang salah dengan kita," kata pria berusia 55 tahun ini.

Dalam budaya masyarakat Jawa, kain batik tidak hanya digunakan untuk sandang atau pakaian. Batik menunjukkan prestise dan berfungsi mengungkapkan sesuatu. "Zaman dahulu, kalau anak laki-laki mau melamar, dia harus membawa kain batik dengan motif tertentu kepada orang tua si gadis. Dia tinggal menyerahkan dan orang tua langsung tahu apa maksudnya," terangnya.

Dalam perspektif budaya Jawa, setiap motif batik memiliki kandungan makna yang berbeda-beda.
1.Batik Parang atau lereng menurut pakemnya hanya boleh digunakan oleh sentono dalem (anak dari ratu). Lereng berasal dari kata mereng (lereng bukit). Sejarah motif ini diawali ketika terjadi pelarian keluarga kerajaan dari Kraton Kartasura. Para keluarga raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar terhindar dari bahaya.

2. Jenis batik truntum dipakai saat seseorang menggelar pesta hajatan. Motif truntum sendiri ditemukan oleh Istri dari Pakubuwana V. Saat itu beliau sedang menjalani hukuman karena melanggar peraturan kerajaan. Pada suatu malam beliau merenung dan memandangi langit berbintang yang ada di angkasa kemudian beliau menuangkan apa yang dia lihat dengan chanthing sehingga menjadi motif batik truntum.

3. Batik sidamukti dipakai oleh pasangan pengantin. Sidamukti sendiri melambangakan sebuah harapan, jadi seketika sepasang pengantin menggunakan kain sidamukti, maka muncul keinginan untuk mencapai kehidupan baru yang berhasil atau dalam bahasa jawa disebut mukti.

4. Batik sido drajad dipakai oleh besan ketika upacara pernikahan. Cara pemakaian batik juga memiliki nilai pendidikan tersendiri, berikut adalah beberapa uraian dari cara pemakaian kain batik. Bagi anak-anak batik dipaki dengan cara sabuk wolo. Pemakaian jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas. Secara filosofis pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai dengan jiwa anak-anak yang masih bebas dan belum dewasa dan belum memiliki tanggungjawab moral di dalam masyarakat. Ketika beranjak remaja maka seseorang tidak lagi mengenakan batik dengan cara sabuk wolo melainkan dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai memiliki arti tersendiri. Seamakin pajang jarit maka semakin tinggi derajad seseorang dalam masyarakat semakin pendek jarit maka semakin rendah pula strata sosial orang tersebut dalam masyarakat.

Bagi dewasa pemakaian batik memiliki pakem tersendiri antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki wiru diletakkan di sebelah kiri. Sedangkan pada wanita wiru diletakkan di sebelah kanan, yang berarti nengeni. Artinya seorang putri tidak boleh melanggar khendak suami.

Semoga pengukuhan batik oleh Unesco terus mengilhami para perajin batik untuk terus melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya dalam menciptakan motif-motif batik yang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman, hingga akhirnya tak ada negeri lain yang bisa mengklain batik sebagai produk budaya mereka. ***
READ MORE - Nilai Filosofis di Balik Produk Batik Indonesia

Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Entah, produk budaya Indonesia apa lagi yang hendak dicaplok negeri Jiran. Yang pasti, hingga saat ini, sudah ada puluhan produk budaya kita yang nyata-nyata telah diklaim dan dipatenkan oleh sebuah negara kecil yang konon tak pernah merasakan etos perjuangan dan buta kebudayaan itu. Bagaimana tidak? Malaysia tak se-heroik Indonesia dalam berjuang merebut dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Untuk mempertahankan dan merebut eksistensi negara yang merdeka dan berdaulat penuh, Indonesia mesti berdarah-darah dan mengorbankan segalanya. Lain halnya dengan Malaysia. Mereka bisa hidup makmur karena proteksi dan belas kasihan negara lain yang dulu menjajahnya. Semua kemanjaan mereka dapatkan secara instan. Tak heran apabila Malaysia ktak pernah bisa menghargai karya cipta dan kreativitas bangsa serumpun. Mereka juga tak pernah mengenal dan mengasah kepekaan kultural. Karena tak pernah mengenal dinamika berkesenian dan berkebudayaan, merka hanya bisa menjiplak, main klaim, mencuri, dan main caplok.

Ironisnya, pemerintah kita seperti tutup mata dan tutup telinga terhadap ulah negeri jiran itu. Apa tidak pernah terusik untuk berpikir, bagaimana nasib para perajin dan pekerja seni di negeri ini jika mereka harus menyerahkan sejumlah royalty ke negeri jiran karena secara hukum, kita sudah tak memiliki hak atas produk-produk budaya yang telah dipatenkan Malaysia itu.

Ulah Malaysia juga perlu dijadikan sebagai “warning” buat bangsa kita agar tak terlalu silau dengan budaya global yang selama ini (nyaris) telah menggerus jati diri bangsa. Kita yang selama ini abai terhadap budaya kita sendiri, baru teriak kencang-kencang setelah diklaim negeri lain. Dalam kondisi demikian, kita perlu membangun kembali kesadaran kultural secara kolektif setelah kita terninabobokan dan terhipnotis oleh kultur global yang secara langsung maupun tidak langsung telah membuat kita terlena dan abai terhadap budaya negeri sendiri.

Dari search engine, ada beberapa produk budaya Indonesia yang diduga telah dicaplok oleh Malasyia. Berikut ini daftarnya.
1.Batik
2.Tari Pendet
3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi
9.Keris
10.Rendang Padang

batikpendetwayang kulitangklungreog-ponorogokuda_lumpingvisitmalingsiarafflesiakerisrendang-padang

Sementara itu, menurut versi budaya-indonesia.org, sudah lebih banyak lagi daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain. Berikut ini daftarnya:
  1. Batik dari Jawa oleh Adidas
  2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
  5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
  7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
  8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
  11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
  15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
  16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
  21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
  22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
  23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
  24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
  25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
  26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
  27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
  28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
  29. Kain Ulos oleh Malaysia
  30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
  31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
  32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia


Sudah saatnya kita kembali meneguhkan sikap untuk peduli dan membangun kesadaran kultural secara kolektif untuk merebut kembali produk budaya yang telah dicaplok orang itu. Sebagai bangsa yang besar, kita jangan gampang menyerah dan bersikap permisif. Ayo, rebut kembali produk-produk budaya bangsa kita yang hilang itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? ***
READ MORE - Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak