Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Ketika Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum sepenuhnya terbebas dari dampak erupsi Merapi, bahkan belum kering benar air mata para pengungsi menyaksikan tanah kelahirannya rata dengan tanah akibat dampak letusan, Presiden SBY mendadak sontak melontarkan wacana yang kurang populer: monarkhi vs demokrasi. Meski berkali-kali dibantah oleh para pembantunya, publik dengan jelas bisa menilai, ke mana bandul wacana yang dilontarkan itu diarahkan. Lontaran wacana SBY bisa ditafsirkan, tidak seharusnya ada sebuah daerah yang menganut sistem monarkhi di tengah sistem ketatanegaraan yang menganut sistem demokrasi. Dengan kata lain, sistem pemerintahan DIY selama ini dianggap kurang demokratis, sehingga perlu dirombak. Nilai-nilai primordialisme kawula Yogya pun terusik. SBY dinilai tidak memiliki nilai fatsoen dan kearifan sebagai sosok seorang pemimpin yang merakyat.

Arah bandul wacana yang dilontarkan SBY makin jelas terlihat ketika draft RUU versi pemerintah menghendaki agar gubernur dan wakil gubernur DIY dipilih melalui Pemilu. Sedangkan, Sri Sultan HB dan Paku Alam diposisikan sebagai parardya yang menjadi simbol kultural an-sich; memiliki kedudukan di atas gubernur, tetapi sekadar simbol dan tak memiliki kekuasaan apa-apa. Ibarat lakon dalam pakeliran wayang, posisi Kanjeng Sultan “disakralkan”, tetapi telah dimasukkan ke dalam kotak karantina yang tidak memiliki peran apa-apa dalam konteks pemerintahan DIY.

Pernyataan SBY, dalam perspektif pragmatik, bisa dibilang kurang menyentuh prinsip kerja sama yang amat penting peranannya dalam konteks bahasa kekuasaan. Dalam pragmatik, tuturan yang dilontarkan ke tengah-tengah publik perlu memperhatikan bidal kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, sebagaimana yang pernah dilontarkan Grice (1975).

DIYBidal kuantitas menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi percakapan. Bidal ini mengarahkan kontribusi yang cukup memadai dari seorang penutur dan petutur di dalam suatu percakapan. Bidal kuantitas dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Buatlah sumbangan atau kontribusi Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan (untuk maksud percakapan).”

Dari sisi ini, agaknya SBY tidak memberikan penjelasan seinformatif mungkin terkait dengan pernyataannya tentang monarkhi dan demokrasi yang dilontarkan. Bahkan, SBY, disadari atau tidak, telah melupakan konteks historis DIY yang memiliki sejarah panjang dalam entitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika Sri Sultan HB IX dengan jiwa besar dan rendah hati mendukung terbentuknya NKRI dan secara eksplisit menyatakan bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari NKRI, sungguh, sebuah “pertaruhan” yang tidak mudah. Sri Sultan HB IX menanggalkan derajat aristokrat yang melekat di dalam tubuhnya, lantas menyatukan diri ke ruang publik sebagai elemen yang tak terpisah dari NKRI. Sejarah inilah yang menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa.

Dari perspektif bidal kualitas yang menasihatkan penutur agar memberikan kontribusi yang benar dengan bukti-bukti tertentu, SBY agaknya juga tidak memberikan bukti-bukti tertentu. Apa ruginya jika Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai gubernur dan wagub secara otomatis? Benarkah penetapan jabatan gubernur/wagub melanggar nilai-nilai demokrasi kalau suara rakyat Yogyakarta justru secara golong-gilig menghendakinya? Bidal ini selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam subbidal “Jangan mengatakan apa yang Anda yakini salah!” dan “Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak mempunyai buktinya!” Kedua subbidal ini mengharuskan penutur mengatakan hal yang benar. Penutur hendaknya mendasarkan tuturannya pada bukti-bukti yang memadai. Menyimak lontaran wacana SBY tentang monarkhi vs demokrasi yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan agaknya diragukan kualitas pembuktiannya. SBY tak jelas benar memberikan argumen dan bukti-bukti yang berkualitas tentang “kesalahan” penerapan nilai demokrasi yang selama ini berlangsung di Ngayogyakarta Hadiningrat.

Yang agak sulit dipahami, SBY melontarkan wacana itu di tengah situasi DIY yang belum pulih benar dari dampak erupsi Merapi. Dari ranah pragmatik, SBY melupakan bidal relevansi yang menyarankan penutur untuk mengatakan sesuatu yang relevan. Dengan kata lain, lontaran wacana itu disampaikan dalam moment yang tidak tepat. Sikap empati yang seharusnya ditumbuhkan untuk membesarkan hati rakyat Yogyakarta yang baru saja tertimpa musibah, justru dilipat dengan menggunakan bahasa politik kekuasaan yang kehilangan relevansinya dengan konteks kehidupan masyarakat Yogyakarta. SBY kurang menampakkan sikap sensitif dan kooperatif-nya terhadap suasana batin rakyat Yogya yang butuh sokongan moral dan spirit berkehidupan untuk membangun kembali pranata sosial pasca-erupsi Merapi.

DIYTidak berlebihan apabila lontaran wacana SBY telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Lebih-lebih ketika pemerintah tetap bersikukuh agar jabatan gubernur/wakil gubernur dipilih melalui Pemilu, meski mayoritas elemen masyarakat Yogyakarta “mengancam” akan memboikotnya. Sikap seperti ini, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi jadi makin kabur, taksa, dan berlebihan, yang dalam perspektif pragmatik bertentangan dengan bidal cara. Bidal ini dijabarkan lagi ke dalam empat subbidal, yaitu: (1) hindarkan ketidakjelasan; (2) hindarkan ketaksaan; (3) singkat (hindarkan uraian panjang lebar yang berlewah); dan (4) tertib-teratur.

Prinsip kerja sama yang kurang terakomodasi dalam lontaran wacana SBY juga kurang disentuh melalui kaidah kesantunan berbahasa. Menurut Gunarwan (1992), setidaknya ada tiga kaidah yang bisa digunakan untuk mengukur ikwal kesantunan berbahasa. Kaidah pertama, yaitu formalitas, artinya selama terjadi interaksi antara penutur dan mitra tutur hendaknya diciptakan adanya unsur yang menyiratkan ketidakterpaksaan dan menghindarkan rasa angkuh. Ketaktegasan merupakan kaidah kedua, artinya antara penutur dan mitra tutur hendaknya menciptakan suasana yang benar-benar kooperatif dan berlangsung secara demokratis sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihannya sendiri. Kaidah ketiga adalah persamaan/kesekawanan , artinya antara penutur dan mitra tutur dapat menciptakan bahwa keduanya memiliki persamaan sehingga mampu menimbulkan rasa senang pada keduanya.

Situasi kurang nyaman yang dirasakan oleh rakyat Yogyakarta bisa jadi memang dipicu oleh lontaran wacana yang dinilai kurang memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan itu. Padahal, Kung Fu-tse, seorang filsuf China abad ke-5 SM, sebagaimana dikemukakan oleh Toto Suparto (Suara Merdeka, 4 Desember 2010), menyatakan bahwa bahasa yang tidak beres menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Bahasa yang beres adalah bahasa yang berpayung etika dengan memperhatikan pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang, dan penuh pertimbangan.

Perdebatan yang berkepanjangan seputar RUU “panas” tentang status DIY makin membuktikan bahwa bahasa kekuasaan menjadi amat penting peranannya dalam membangun komunikasi publik. Ia bisa menjadi “blunder” politik jika disajikan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik. ***
READ MORE - Prinsip Pragmatik dan Bahasa Kekuasaan

Tentang Bahasa Blog dan Kebebasan Berekspresi

Selalu saja ada yang menarik ketika saya berkunjung ke rumah seorang teman di kompleks dunia maya. Tak hanya isinya yang beragam dan memiliki daya pikat, tetapi juga gaya pengucapannya yang khas dan unik. Saya banyak mendapatkan info dan pengetahuan baru, serta ragam bahasa yang sesuai dengan kepentingan ekspresi mereka. Setahun melakukan aktivitas mengeblog memang terlalu singkat untuk bisa mendeskripsikan, apalagi menyimpulkan, kaitan antara gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresi secara rinci dan sahih. Namun, dari ratusan blog yang saya kunjungi, setidaknya saya menemukan lima jenis kepentingan ekspresi yang tersembunyi di balik tulisan dalam sebuah blog.

Pertama, tulisan untuk menyampaikan informasi. Tulisan semacam ini biasanya menggunakan ragam bahasa resmi dan lugas. Hal ini masuk akal karena untuk menghindari kekeliruan dalam menafsirkan maksud yang terkandung di dalamnya. Untuk memberikan informasi kepada pengunjung, tulisan semacam ini sering memanfaatkan sumber dari blog atau web lain, baik dengan cara memberikan tinjauan, terjemahan, maupun kopi-paste --tanpa mengebiri etika dalam dunia kepenulisan-- sehingga pengunjung memperoleh informasi yang sejelas-jelasnya. Tulisan berita dan ilmu pengetahuan bisa dikategorikan pada jenis kepentingan ekspresi ini.



Kedua, tulisan untuk kepentingan mencurahkan isi hati (curhat) dan menghibur pengunjung. Bahasa yang digunakan untuk kepentingan ekspresi semacam ini seringkali menggunakan bahasa gado-gado. Tujuan utamanya memang semata-mata untuk curhat dan menghibur pengunjung. Ragam bahasa yang digunakan cenderung variatif dan tidak terlalu "tunduk" pada kaidah-kaidah baku dalam struktur kebahasaan. Bahkan, tak jarang menggunakan tiga bahasa sekaligus; bahasa Indonesia, daerah, dan asing. Tulisan jenis ini biasanya sangat mudah memancing kesan-kesan emosi pengunjungnya, entah itu rasa iba, humor, atau sedih.

Ketiga, tulisan untuk kepentingan refleksi. Tulisan jenis ini bisa berasal dari peristiwa nyata (non-fiktif) atau berdasarkan imajinasi penulisnya (fiktif). Refleksi non-fiktif biasanya membahas persoalan-persoalan aktual dan menyangkut kepentingan publik yang dianalisis secara kritis berdasarkan renungan dan logika sang penulis. Bahasa yang digunakan dalam postingan jenis ini biasanya lugas, cenderung "liar" dan berani. Hal ini berbeda dengan postingan jenis refleksi-fiktif. Persoalan yang diangkat biasanya berasal dari pengalaman hidup, baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain, yang disajikan dalam genre narasi, puisi, atau cerpen. Bahasa yang digunakan cenderung personal dan bersifat multitafsir. Sebagai tulisan reflektif, tulisan jenis ini berusaha memotret berbagai fenomena kehidupan untuk selanjutnya didedahkan lewat media bahasa pilihan yang benar-benar tertata, sehingga mampu memberikan sesuatu yang bermakna dalam ranah batin pembacanya.

Keempat, tulisan untuk kepentingan persuasi. Tulisan ini berusaha mengajak dan memengaruhi pembaca untuk melakukan sebuah tindakan sesuai dengan keinginan sang penulis. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas agar mudah dipahami pembaca dengan menggunakan alasan yang logis dan masuk akal. Lewat tulisannya, sang penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa apa yang dipaparkan itu benar adanya. Tulisan yang mengajak pembaca untuk "golput" dalam sebuah pilkada atau mengajak pembaca untuk memberikan subsidi sukarela kepada sesama, misalnya, bisa dikategorikan ke dalam jenis kepentingan ekspresi ini.

Kelima, tulisan untuk kepentingan pembelajaran. Tulisan ini berusaha memberikan petunjuk dan bimbingan teknis tentang cara melakukan tindakan tertentu. Bau "how to"-nya sangat terasa sehingga cenderung menggurui. Ragam bahasa yang digunakan cenderung lugas dan apa adanya agar mudah dipahami pembaca dan terhindar dari salah tafsir.

Blog pribadi seringkali digunakan oleh sang penulis (admin) untuk berbagai macam kepentingan ekspresi. Ada warna "pelangi" di sana. Saya jarang menemukan blog yang mono-ekspresi. Ragam bahasa yang digunakan bervariasi sesuai dengan kepentingannya. Blog curhat pun sesekali diselingi dengan tulisan serius dengan ragam bahasa baku. Ini artinya, seorang bloger bisa berkomunikasi kepada pengunjung dengan mengusung beragam tema. Hal itu agaknya sangat dipengaruhi oleh kepentingan sang bloger dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Bisa jadi, suasana "gado-gado" semacam itu juga dimaksudkan untuk menghindari kejenuhan, baik bagi sang bloger yang bersangkutan maupun pengunjung.

Sebagai hunian di dunia maya, kalau boleh disebut demikian, ketenaran sebuah blog akan sangat ditentukan oleh "kelincahan" sang bloger dalam mengemas gaya (ragam) pengucapan dan kepentingan ekspresinya. Dengan kata lain, efektivitas komunikasi yang dikemas melalui gaya pengucapan yang tepat akan sangat menentukan kualitas sebuah blog. Sebagus apa pun kepentingan ekspresinya, kalau kurang tepat memilih gaya pengucapan, bisa menimbulkan kesan "jorok" bagi pengunjung. Blog curhat, yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati, misalnya, jelas akan lebih mengena jika diekspresikan dengan gaya (ragam) pengucapan yang santai melalui kemasan bahasa "gaul". Sebaliknya, blog yang dimaksudkan untuk mengekspresikan kepentingan pembelajaran, informasi, atau persuasi, akan lebih tepat jika dikemas dengan menggunakan bahasa yang lugas sehingga terhindar dari kesan multitafsir.

Pembagian jenis kepentingan ekspresi dan gaya pengucapan tersebut semata-semata berdasarkan pengamatan saya selama setahun melakukan aktivitas mengeblog. Saya tidak menggunakan pendekatan dan teori linguistik apa pun. Mungkin Sampeyan menemukan jenis yang lain atau memiliki pendapat yang berbeda? ***
READ MORE - Tentang Bahasa Blog dan Kebebasan Berekspresi

SIHIR BAHASA INDONESIA

Oleh: Maman S. Mahayana

Maman S. MahayanaBahasa Melayu –yang kemudian menjadi bahasa Indonesia— sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sesosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal selok-beloknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia berfungsi sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.

Bagi siapa pun yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti terjadi begitu saja, alamiah. Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes—fleksibel, egaliter, demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah, ia memancarkan sihirnya.

Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan, selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten, misionaris yang bergelandang ke pelosok Nusantara, membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Prancis bagi orang Belanda. “Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan.” Dikatakan A. Teeuw (1994), “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”

Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.

Pesona bahasa Melayu terlanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga keberbudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga-berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu, memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosa kata bahasa Melayu.

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya, tak terelakkan menjadi ekspresi kultural. Begitu juga, penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres itu sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan. Maka, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah-olah tetap disimpan rapi dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
***

Usia bahasa Indonesia kini melewati 10 windu. Rentang usia yang bagi manusia tinggal menunggu malam, lantaran makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosa kata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif. Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosa kata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi bahasa secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.

Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek bahkan juga idiolek, muncul di mana-mana. Kosa katanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosa kata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warganegara sendiri. Kini, kosa kata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosa kata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia diekspresikan sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.

Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon Jawa dan perhitungan feng shui, kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), Cina (feng shui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separoh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia yang seenaknya menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
***

“Bahasa menunjukkan bangsa!” begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa Indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.

Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana, tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan dan peralatan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers? Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial. ***
READ MORE - SIHIR BAHASA INDONESIA

UU 24/2009, Penerjemah, dan Juru Bahasa

Pada hari Sabtu, 16 Jan 2010, Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) mengadakan diskusi dengan topik “UU 24/2009: Peluang Kerja untuk Penerjemah dan Juru Bahasa” di Pusat Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur. Diskusi tersebut dipandu oleh Kukuh Sanyoto (Wakil Ketua II HPI) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara: Sugiyono Shinutama (Kabid Pengembangan Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa) dan Junaiyah H. Matanggui (Konsultan dan Praktisi Bahasa Indonesia).Dalam acara yang dihadiri oleh lebih kurang 40 orang dan berlangsung antara pukul 10.00–12.30 tersebut, Sugiyono, sebagai orang yang terlibat langsung dalam proses penyusunan UU 24/2009, menjabarkan isi Undang-Undang 24/2009 yang berkaitan dengan bahasa. Sedangkan Junaiyah, sebagai ahli bahasa yang sering dilibatkan dalam pembahasan RUU,membahas beberapa kesalahan umum yang banyak ditemukan dalam naskah RUU.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan atau disingkat BBLNLK disahkan pada tanggal 9 Juli 2009. Sesuai dengan namanya, salah satu topik yang diatur pada undang-undang (UU) ini adalah tentang bahasa negara.

Isi Undang-Undang Bahasa Negara
Masalah bahasa negara secara spesifik dijelaskan dalam 21 pasal (pasal 25 sampai 45) dari total 74 pasal yang ada dalam UU ini. Sedangkan tiga pasal (1, 72, dan 73), meskipun tidak spesifik, juga membahas bahasa negara.

Pasal 1 menjelaskan tentang definisi bahasa Indonesia (bahasa resmi nasional), bahasa daerah (bahasa yang digunakan secara turun-temurun di daerah di Indonesia), dan bahasa asing (bahasa selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah).

Pasal 25 menjelaskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara dan bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Fungsinya adalah sebagai (1) jati diri bangsa, (2) kebanggaan nasional, (3) sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta (4) sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

Pasal 26 sampai 39 menjelaskan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam hal-hal berikut.
1. Peraturan perundang-undangan.
2. Dokumen resmi negara, misalnya surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan.
3. Pidato resmi, yaitu pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu. Pejabat negara yang dimaksud adalah semua pejabat dari tingkat tertinggi sampai dan termasuk tingkat kepala daerah tingkat II (kabupaten/kota).
4. Bahasa pengantar pendidikan. Bahasa asing dapat digunakan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing.
5. Layanan administrasi publik.
6. Nota kesepahaman/perjanjian. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris dan semua naskah itu sama aslinya. Khusus untuk perjanjian dengan organisasi internasional, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipilih organisasi tersebut.
7. Forum resmi nasional/internasional. Bahasa asing dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.
8. Komunikasi resmi lingkungan kerja. Berlaku baik untuk lingkungan kerja pemerintah maupun swasta (perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia). Pegawai yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia
9. Laporan kepada instansi pemerintahan.
10. Karya ilmiah. Untuk tujuan atau bidang kajian khusus, dapat digunakan bahasa daerah atau bahasa asing.
11. Nama resmi geografi dan nama diri. Termasuk di dalamnya adalah nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, serta organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
12. Informasi produk atau jasa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan.
13. Rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat disertakan jika dikeperluan.
14. Media massa. Bahasa daerah atau bahasa asing dapat digunakan pada media massa yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.

Pasal 40 menyebutkan bahwa keterangan lebih lanjut tentang penggunaan seperti butir-butir di atas akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Pasal 41 sampai 45 menjabarkan tentang pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa Indonesia, serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
1. Pemerintah melalui lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar sesuai dengan perkembangan zaman
2. Pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
3. Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.
4. Pemerintah dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
5. Lembaga kebahasaan dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 72 tentang ketentuan peralihan menjelaskan UU ini tidak berlaku surut terhadap peraturan yang sudah ada dan belum diganti. Pasal 73 tentang ketentuan penutup menetapkan waktu dua tahun untuk membuat peraturan pelaksanaan UU ini (misalnya PerPres).

Kesalahan Umum Naskah RUU
Dalam proses pembuatan rancangan undang-undang (RUU), ternyata cukup banyak kesalahan-kesalahan yang dibuat. Konsultan atau ahli bahasa berperan penting dalam memberikan masukan untuk perbaikan kesalahan-kesalahan tersebut. Beberapa kesalahan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut.
1. Huruf kapital yang diberikan bukan berdasarkan kaidah melainkan karena kebiasaan atau rasa hormat. Huruf kapital seharusnya hanya diberikan untuk nama diri sedangkan nama jenis tidak diberi huruf kapital. Singkatan ditulis seluruhnya dalam huruf kapital sedangkan akronim hanya diberikan huruf kapital pada huruf pertama. Misalnya POLRI, padahal seharusnya Polri.
2. Tanda koma yang seharusnya diberikan sebelum kata “dan” pada butir terakhir. Misalnya “…a, b dan c peraturan itu” padahal seharusnya “…a, b, dan c peraturan itu”.
3. Tanda titik dua. Daftar yang diawali dengan titik dua selalu dibuat seolah sebagai serangkaian kalimat: setiap butir bernomor diawali dengan huruf kecil (kecuali jika diawali dengan nama diri) dan diakhiri dengan tanda koma. Tiap baris yang merupakan kalimat yang berdiri sendiri harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
4. Definisi yang tidak berimbang, misalnya kata benda harus didefinisikan dengan kata benda yang setara.
5. Kesalahan penggunaan kata karena tidak mengerti urutan pembentukan kata, kaitan bentuk dan makna, perbedaan pemakaian kata yang mirip, serta penulisan kata yang baku.

Diskusi dan Tanya Jawab

Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, ada beberapa isu yang dibahas. Berikut penjabaran beberapa masalah yang sempat dibicarakan.

Sanksi

Mengapa tidak ada sanksi bagi pelanggar UU bahasa negara?

Tim Pusba sudah berusaha keras untuk memasukkan ini. Tapi perdebatan mengenai hal ini memang sangat alot karena baik di KUHP maupun KUHAP sulit ditemukan pasal yang cocok untuk pelanggaran bahasa ini.
Sebagai penghibur, mungkin bisa dilihat UUD 1945. UUD sama sekali tidak memuat sanksi tapi tetap dianggap mengikat dan dijadikan dasar bagi hampir semua peraturan lain. Sanksi juga nanti bisa dimasukkan dalam peraturan pelaksanaan.

Masalah di Lapangan

Dalam komunikasi yang melibatkan pihak asing, penggunaan bahasa Indonesia dapat membuat tidak lancarnya komunikasi.

Hal ini sebenarnya adalah karena orang Indonesia< sendiri yang tidak membiasakan menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya beberapa masalah yang diajukan dapat ditanggulangi seperti pada butir-butir berikut.
1. Perjanjian dengan pihak asing yang mengikuti hukum Indonesia. Suatu perjanjian baru berkekuatan hukum jika dibuat dalam bahasa Indonesia. Jika ini dipahami dan ditekankan, pihak asing pasti bisa mengerti dan bukan juga suatu masalah besar untuk kemudian menerjemahkan dokumen tersebut ke dalam bahasa yang lebih dipahami oleh pihak-pihak terkait.
2. Forum resmi yang dilaksanakan di Indonesia. Tidak sulit untuk menambahkan judul dalam bahasa lain di samping judul resmi bahasa Indonesia atau membuat terjemahan terhadap dokumen-dokumen asli yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Lebih baik juga untuk menyediakan juru bahasa (interpreter) bagi peserta yang tidak mengerti bahasa Indonesia–yang biasanya jumlahnya lebih sedikit–dibandingkan harus memaksa peserta berbahasa ibu bahasa Indonesia–yang biasanya jumlahnya lebih banyak–untuk mengikuti atau menyampaikan penuturan dalam bahasa asing.
3. Layanan administrasi publik dan komunikasi resmi lingkungan kerja. Orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia pasti berupaya untuk mendapat bantuan jika merasa membutuhkan.
4. Laporan resmi, karya ilmiah, dan media massa. Sama seperti forum resmi, jika sasaran utamanya adalah penutur jati (native speaker) bahasa Indonesia maka lebih baik menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing atau bahasa daerah dapat digunakan untuk keperluan-keperluan khusus.
5. Nama geografi, nama diri, informasi produk, rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum. Alasan kenapa harus menggunakan bahasa Indonesia juga sama: Karena sasaran utamanya adalah untuk orang Indonesia. Bahasa asing atau bahasa daerah dapat digunakan sebagai tambahan.

Hubungan dengan Aturan Internasional

Dalam suatu perjanjian internasional, biasanya pihak-pihak yang terlibat dapat bersepakat untuk memilih bahasa mana yang digunakan sebagai naskah asli atau perjanjian yang mengikat. Jadi tidak harus bahasa Indonesia.

UU 24/2009 sudah memfasilitasi itu dengan menyatakan dalam penjelasan pasal 31:

Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.

Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.

Adanya UU ini, yang mengharuskan adanya bahasa Indonesia, malah dapat berdampak bagus karena selama ini cukup banyak perjanjian yang hanya ditulis dalam bahasa asing (terutama Inggris) dan tidak dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Daerah

Dengan adanya UU ini, negara tampaknya tidak mendorong kemajuan bahasa daerah.

Bahasa Indonesia adalah lingua franca bagi rakyat Indonesia yang memungkinkan semua orang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan tak memandang bahasa ibunya. Semakin mudahnya transportasi memudahkan orang untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Tidak bisa lagi diasumsikan bahwa semua orang di suatu daerah pasti mengerti bahasa lokal di daerah tersebut.

Bayangkan kalau layanan informasi publik atau komunikasi di lingkungan kerja di daerah Yogya misalnya harus dilakukan dalam bahasa Jawa, misalnya. Orang Indonesia yang berasal dari daerah lain dan tidak paham bahasa Jawa pasti kerepotan untuk berkomunikasi, padahal ia pun berhak mendapatkan layanan yang sama sebagai rakyat Indonesia.

Negara mendorong kemajuan bahasa daerah di sektor-sektor lain di luar batasan-batasan yang melibatkan kepentingan publik. Karya ilmiah, media massa, nama geografi, nama diri, informasi produk, serta rambu, penunjuk, dan informasi layanan umum bisa menggunakan atau disertai dengan bahasa daerah.

Glosarium Pusat Bahasa

Apakah glosarium selalu diperbarui? Apakah bersumber dari bahasa yang hidup di masyarakat dan memang lazim dipakai di dunia akademis? Apakah para ahli mengetahui perkembangan peristilahan yang berkembang di masyarakat dan akademis saat itu?

Menurut Sugiyono, glosarium daring belum diperbarui lagi. Para ahli yang menyusun berasal dari bidang yang terkait dan seharusnya mengerti paling tidak perkembangan istilah yang digunakan oleh kalangan akademisi.

Kesan penulis: Tidak ada penjelasan yang pasti tentang apakah istilah tersebut memang bersumber dari masyarakat serta juga tidak ada pemastian dari Pusba bahwa pemutakhiran glosarium memiliki jadwal yang rutin.

Peluang dan Tantangan
Jika diterapkan, UU 24/2009 ini jelas sangat membuka peluang besar bagi penerjemah dan juru bahasa. Banyak kebutuhan baru terhadap jasa dua profesi ini yang muncul yang tadinya tidak diharuskan.

Tantangan yang harus dihadapi adalah, siapkah penerjemah dan juru bahasa menerima luapan permintaan dari segi kualitas dan kuantitas ini?

(Sumber Ivan Lanin, peserta diskusi) dalam http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/?q=detail_berita/1320

Unduh:
UU Bahasa Negara
Pedoman Umum EYD
Pedoman Umum Pembentukan Istilah
READ MORE - UU 24/2009, Penerjemah, dan Juru Bahasa

Pemakaian dan Arti Kata “Saja”

Kata “saja” termasuk jenis kata keterangan (adverbia) yang dapat berfungsi menerangkan kata kerja (verba), kata benda (nomina), kata sifat (adjektiva), kata bilangan (numeralia), dan kata ganti (pronominal).

Contoh:
1. Tidur saja kerjanya sepanjang hari. (menerangkan verba)
2. Uang saja yang dipentingkannya. (menerangkan nomina)
3. Senang saja hatinya meskipun tidak berduit. (menerangkan adjektiva)
4. Anak dua saja sudah cukup repot mengurusnya. (menerangkan numeralia)
5. Kenapa aku saja yang kauomeli setiap hari? (menerangkan kata ganti persona)

6. Itu saja yang kauinginkan dari diriku, bukan? (menerangkan kata ganti penunjuk)

Contoh pemakaian kata “saja” dalam kalimat-kalimat di atas menunjukkan arti kata “saja” yang memberikan pengertian “membatasi”.

a. tidur saja artinya “tidak lain daripada tidur” atau “hanya tidur dan tidak melakukan kegiatan lain”. Demikian pula dengan uang saja, aku saja, itu saja. Semuanya memberikan pengertian yang sama ialah “membatasi”.

b. senang saja artinya “tetap senang” atau “tidak merasa susah”.

c. dua saja artinya “cukup dua” atau “tidak lebih dari dua”.

Namun, ada pula arti kata “saja” yang lain.

1) “mencakup semua” seperti terlihat pada contoh berikut:
??a) Apa saja yang diinginkannya, selalu diberi orang tuanya.
???(Semua yang dinginkannya, selalu diberi orang tuanya.)
??b) Ke mana saja gadis itu pergi, pasti ditemani pacarnya.
???(Ke semua tempat yang mana pun gadis itu pergi, pasti ditemani pacarnya.)

2) berarti “melulu” atau “tidak lain hanya”. Contoh:
??c) Tiap baru gajian, baju baru saja yang dibelinya.
???(Tiap baru gajian, baju baru melulu yang dibelinya)
??d) Berpacaran saja kerja berdua dari tadi, ya!
???(Berpacaran melulu kerja berdua dari tadi, ya!)

3) berarti “memperkuat” atau “menegaskan”. Contoh:
??e) Makan sajalah semuanya, jangan disisakan.
??f) Masuk sajalah, pertunjukan tari sudah dimulai.

4) berarti “sebaiknya” atau “lebih baik”. Contoh:
??g) Sudahlah, pulang saja duluan karena kawanmu menunggu di rumah.
???(sebaiknya pulang duluan)
??h) Kita ajak saja mereka datang ke pesta hari ulang tahunmu.
???(sebaiknya mereka kita ajak)

5) berarti “terus-menerus”. Contoh:
??i) Bayi itu menangis saja semalaman. Mungkin sakit.
???(terus-menerus menangis)
??j) Dia belajar saja tanpa menghiraukan pekerjaan yang lain.
???(terus-menerus belajar)

6) berarti “seenaknya” atau “sesuka hati”. Contoh:
??k) Jangan menuduh saja tanpa bukti.
???(menuduh seenaknya)
??l) Tanpa mengetuk pintu dia masuk saja ke kamar tidur saya.
???(masuk seenaknya)

Samakah arti kata “hanya” dan kata “saja”?
Karena kandungan makna kata “hanya” dan “saja” tidak sama, kedua kata itu tidak dapat saling menggantikan posisi dan makna yang sama dalam sebuah kalimat.
Fungsi kata itu masing-masing berbeda dalam kalimat. Ada kalimat yang hanya menggunakan kata “hanya” dan ada pula kalimat yang hanya memakai kata “saja”.

Apabila kata “hanya” dan “saja” memiliki makna yang sama dalam satu kalimat, menurut kaidah bahasa Indonesia yang tepat, pilih salah satu.
(Buku Praktis Bahasa Indonesia (2)- Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional)

Sering kata “saja” digunakan secara berlebih-lebihan karena dipakai sekaligus dengan kata “hanya” yang mempunyai makna yang sama, sehingga dianggap mubazir. Contoh:

h) Hanya petugas saja yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.
??Dalam hal ini, sebaiknya bentuk baku yang dianjurkan pemakaiannya, ialah:
??Hanya petugas yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.
??Petugas saja yang diperbolehkan memasuki ruang sidang itu.

Namun pada contoh-contoh kalimat berikut ini kata “hanya” dan kata “saja” tidak dapat saling menggantikan, karena pengertiannya berbeda. Contoh:

(1) a. Tidak usah makan malam di luar, makan di rumah saja. (?)
?? b. Tidak usah makan malam di luar, hanya makan di rumah. (×)

(2) c. Kamu boleh merokok, hanya jangan di ruang ini. ???
????(Kamu boleh merokok, tetapi jangan di ruang ini.)
? ?d. Kamu boleh merokok, jangan di ruang ini saja. (×)
????(Kamu boleh merokok, di ruang mana saja)

Catatan: Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga, kata “hanya” biasanya digunakan bersama “saja” untuk mengeraskan makna. Contoh kalimat yang diberikan ialah: Hanya itu saja yang dapat kusumbangkan.
READ MORE - Pemakaian dan Arti Kata “Saja”