Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Alhamdulillah, rangkaian kegiatan Olimpade Sastra Indonesia (OSI) Siswa SD Tahun 2010 akhirnya usai sudah. Hotel Garden Palace, Surabaya, pada tanggal 9-13 November 2010, menjadi saksi bisu sebuah perhelatan final yang baru pertama kali digelar itu. Sebanyak 40 finalis tampil dalam laga pamungkas untuk diuji tingkat orisinalitas karyanya di depan dewan juri, antara lain:


1. Prof. Dr. Suminto A. Sayuti Ketua
2. Drs. Sawali, M.Pd. Anggota
3. Dra. Kemalawati Anggota
4. Asma Nadia Anggota
5. Drs. Sih Abadi Anggota
6. Drs. Palogo Balianto, M.Pd. Anggota
7. Drs. Mistur HS. Anggota
8. Dra. Purnamaningsih Anggota

40 finalis dengan didampingi guru pembimbing masing-masing yang berlaga akan memperebutkan 20 medali yang disediakan oleh Direktorat Pembinaan TK/SD, Ditjen Mandikdasmen, Kemdiknas. Setelah melalui diskusi dan perdebatan yang alot di antara sesama juri, akhirnya berhasil juga ditetapkan para peraih medali dalam event akbar yang digelar di kota Pahlawan itu. Nama-nama peraih medali OSI Siswa SD Tahun 2010 dapat diunduh di sini.

Prof. Suminto A. Sayuti ketika Temu Teknik menjelang pelaksanaan final menyatakan bahwa event final ini sesungguhnya ingin memberikan ruang “bertegur sapa” bagi para peserta agar lebih dekat dan akrab dengan susastra. Itu artinya, persoalan “kalah-menang” bukanlah hal yang terlalu penting untuk dipersoalkan.

Ya, ya, pernyataan guru besar sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang tidak pernah mengagungkan diri sebagai profesor dan masih betah menyatu dengan masyarakat desa Pakem di lereng Merapi itu memang sangat tepat. Berkali-kali, Pak Minto, demikian saya biasa menyapanya, yang juga penyair “Malam Taman Sari” –beberapa waktu yang lalu ketika bertemu di Jakarta sempat memberikan buku antologi puisinya kepada saya – menyatakan bahwa sejak dini anak-anak perlu didekatkan dengan sastra dalam kondisi “playfull”, mengalir, dan tanpa beban, sehingga mereka bisa berekspresi dan berkreasi secara bebas sesuai dengan dunia anak-anak.
Para finalis yang tampil berlaga sudah sama-sama menyalakan “obor” olimpiade. Mereka sudah menunjukkan kiprahnya sebagai generasi masa depan yang dengan amat sadar menjadikan susastra sebagai bagian dari hidupnya. Oleh karena itu, yang belum berhasil meraih medali tidak perlu berkecil hati, sedangkan yang telah ditetapkan sebagai peraih medali tidak perlu menepuk dada. Semoga “obor” OSI yang telah dinyalakan tidak akan pernah padam walaupun tantangan dan godaan yang dihadapi makin rumit dan kompleks di tengah dinamika peradaban yang kian abai terhadap persoalan-persoalan sastra dan budaya.
Usai mengikuti rangkaian kegiatan final, para peserta dan guru pembimbing diajak mengikuti “Workshop Sastra Anak” di ruang yang berbeda. Workshop yang berlangsung Kamis, 11 November 2010 pukul 19.00-21.00 WIB itu dimaksudkan untuk lebih memantabkan langkah para peserta dalam menjejakkan kakinya di ranah sastra sekaligus memperkokoh wawasan bersastra bagi para guru pembimbing dan bagaimana mengajarkannya di sekolah. Tampil sebagai narasumber bagi guru pembimbing adalah Prof. Suminto, sedangkan saya, Asma Nadia dan putranya, Adam Putra Firdaus (9 tahun), didaulat untuk berbincang-bincang dengan para peserta berkaitan dengan dunia kepenulisan. Makalah yang saya sajikan dalam workshop dapat dibaca di sini.

Menjelang workshop, Mbak Asma Nadia sempat memberikan hadiah sebuah buku “Album Cerita Pilihan” karyanya berjudul “Emak Ingin Naik Haji” yang cukup best-seller dan ketika buku ini diterbitkan untuk yang pertama kali --kini sudah memasuki cetakan ketiga-- sedang dalam proses syuting layar lebar yang digarap oleh sutradara Aditya Gumay. Adam PF, putra Mbak Asmanadia yang cerdas dan menggemaskan itu, pun juga menghadiahi saya sebuah buku karyanya sendiri berjudul “Mostly Ghostly: Memburu Gosip Hantu-Hantu”. Terima kasih Mbak Asma Nadia dan Adam, semoga obor kreativitas kepenulisannya tak pernah padam oleh rajaman sang waktu.

Berikut adalah beberapa gambar ketika rangkaian kegiatan final OSI 2010 berlangsung.

osiosiosiosiosiosiosiosiosiosi


Semoga para finalis OSI 2010 bisa menjadi generasi masa depan yang berkarakter dan berkperibadian kuat sehingga bisa memancarkan "aura" bersusastra di tengah-tengah lingkungan komunitas sosialnya. Salam budaya dan salam ngeblog! ***
READ MORE - Final OSI Siswa SD 2010 dan "Aura" Bersusastra

Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan

alniJika tak ada aral melintang, pada tanggal 30 November 2010, MGMP Bahasa Indonesia SMP Kab. Kendal bekerja sama dengan Mitra Edukatifa Semarang akan menggelar seminar film bertema pendidikan karya Deddy Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini” (ALNI). Film yang digarap bareng dengan Musfar Yasin ini membidik secara satire tentang Indonesia “kontemporer” yang sarat beban: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, bahkan juga agama. Film berdurasi 105 menit ini agaknya ingin menunjukkan betapa karut-marut Indonesia sejatinya berawal dari mis-match antara dunia pendidikan dan kenyataan sosial-budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Desain dunia pendidikan seringkali tidak sinkron dengan dinamika dan perkembangan masyarakatnya, sehingga gagal memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada anak bangsa.

Film ini bertutur tentang kegamangan seorang pemuda (Muluk) bergelar Sarjana Manajemen dalam menghadapi masa depannya. Lantaran gagal memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, dia terpaksa bergabung dengan komplotan pencopet. Diajarinya para pencopet dengan manajemen modern dengan harapan kelak mereka bisa mandiri dan keluar dari belenggu kemiskinan dan kriminalitas. Untuk menjalankan misinya, Muluk mengajak Syamsul (sarjana pendidikan) dan Pipit (pengangguran yang hobi berat mengikuti undian), untuk memberikan pencerahan di tengah markas para pencopet. Setiap hari, mereka datang untuk mendidik para pencopet. Namun, ketika misinya sudah mulai menunjukkan hasil, tantangan berat justru datang dari ayah Muluk dan Pipit. Mereka geram karena merasa tertipu setelah mengetahui bahwa uang yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari uang hasil copetan. Kejadian itu membuat Muluk merasa sedih dan bersalah. Ia memutuskan untuk menghentikan misinya. Semua uang hasil copetan yang selama ini dia tangani diserahkan kepada bos pencopet. Ia memutuskan untuk menjadi seorang sopir.
Ya, ya, sebuah film “satire” tentang Indonesia “kontemporer” yang layak ditonton dan didiskusikan oleh insan-insan pendidik dan segenap komponen masyarakat untuk ikut-serta berkiprah dalam mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah, terhormat, dan bermartabat.

Berikut kami informasikan tentang pendaftaran keikutsertaan seminar film nasional tersebut!

Pelaksanaan:
Hari, Tanggal : Selasa, 30 November 2010
Pukul : 13.00 – 17.30 WIB
Tempat : GOR SBR Purin Kendal

Narasumber:
H. Deddy Mizwar (Aktor dan Sutradara Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”)

Kontribusi: Rp50.000,00

Fasilitas:
Seminar Kit, Stiker, Makalah, Snack, Sertifikat, dan Doorprize

Pendaftaran:
Waktu Pendaftaran : paling lambat tanggal 27 November 2010
Tempat pendaftaran :
1. Edi Santosa, S.Pd. (SMP 2 Singorojo, HP 08122564137)
2. Ali Muthohar, S.Pd. (SMP 2 Limbangan, HP 085225778338)
3. Harini, S.Pd. (SMP 1 Brangsong, HP 081325362055)
4. Sucipto, S.Pd. (SMP 2 Kendal, HP 081390311963)
5. Drs. M. Rosyidin (SMP 4 Pegandon, HP 087832114019)
6. Dwi Putri Mulat, S.Pd. (SMP 3 Weleri, HP 081228672120)
7. Komari, S.Pd. (SMP 1 Sukorejo, HP 085225283632)
8. Dwi Isnaini, S.Pd. (SMP 3 Patebon, HP 081326656480)
9. Mujiyono, S.Pd. (SMP 2 Brangsong, HP 0818454227)

Silakan segera mendaftar, tiket terbatas!
***
READ MORE - Informasi Pendaftaran Seminar Film Nasional Bertema Pendidikan

Fenomena Korupsi, Stagnasi Pendidikan, dan Degradasi Kebudayaan

Sungguh memprihatinkan kondisi hukum, sosial, politik, dan ekonomi bangsa kita belakangan ini. Berbagai fenomena anomali sosial, politik, dan hukum seolah-olah telah menjadi bagian dari karakter para pemeran berjubah yang menampilkan wajah-wajah palsu. Orkestra pengiringnya pun bernada getir dan perih. Tentu saja, situasi panggung semacam itu menimbulkan beragam respon dari penonton yang memiliki karakter beragam pula. Ada yang puas dan tepuk tangan, ada juga yang mengernyitkan dahi, mengelus dada, bahkan tak sedikit yang garang berteriak.

erentetan adegan dan peristiwa yang sarat anomali itu menemukan klimaksnya ketika terjadi ontran-ontran hukum yang mengabaikan rasa keadilan. Rakyat yang geram dan marah terhadap praktik hukum yang amburadul menumpahkan kegelisahannya melalui “parlemen online” dan “parlemen jalanan” sebagai protes terhadap aparat penegak hukum yang dinilai mulai kehilangan kearifan dan ketidakberdayaan para wakil rakyat dalam menyuarakan rasa keadilan. Upaya kriminalisasi dua petinggi KPK – Bibit-Candra-- yang konon dikenal “galak” dalam memburu para koruptor hingga melahirkan idiom “Cicak vs Buaya”, marginalisasi Bu Prita Mulyasari, atau proses dehumanisasi rakyat kecil yang tak berdaya dalam melawan orang-orang berkantong tebal di depan hukum, hanyalah beberapa contoh kasus yang benar-benar mengusik rasa keadilan. Belum lagi kasus “Bank Century” yang kini masih menjadi tanda tanya besar. Kasus terakhir, mengapa aparat penegak hukum kita bisa dengan mudah "dikencingi" seorang Gayus yang notabene telah menjadi seorang "pesakitan"?

inilah.comYang tak kalah tragis tentu praktik politik dan demokrasi yang menampilkan wajah homo homini lupus. Mereka menjadi serigala yang tega memangsa sesamanya. Kecerdasan dan tingginya pengetahuan bukan dimanfaatkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, melainkan justru untuk melestarikan dan mengembangkan suasana fasis yang menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Etika dan fatsun politik telah berubah menjadi retorika dan slogan belaka. Yang menang selalu menepuk dada dan tampil sebagai Goliath, sedangkan yang kalah diposisikan sebagai David dan pecundang. Mungkin ada benarnya kalau Michel Focault bilang bahwa pengetahuan yang jatuh di tangan penguasa lalim dan tak berperasaan, akan menjadi mesin pembunuh yang mematikan.

Pertanyaannya sekarang, siapa sesungguhnya yang menjadi penulis skenario dan sutradara di balik pementasan yang getir dan perih itu?

Dalam pandangan awam saya, situasi yang sarat anomali semacam itu tak lepas dari warisan dan gaya kepemimpinan rezim Orde Baru yang cuek dan abai terhadap persoalan-persoalan kebudayaan dalam dinamika pembangunan berbangsa dan bernegara. Dengan dalih demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, pendidikan kemanusiaan –sebagai bagian penting dalam sebuah kebudayaan--perlahan-lahan digusur, untuk selanjutnya dikubur tanpa nisan dalam ranah pendidikan kita.
Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiaan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bercorak materialistis, ekonomis, dan teknokratis; kering dari sentuhan nilai moral, kemanusiaan, dan kemuliaan budi. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati nurani, emosi, dan spiritual. Imbasnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran dan kemuliaan budi jadi nihil. Mereka jadi kehilangan kepekaan nurani, cenderung bar-bar anarkhis, besar kepala, dan mau menang sendiri.
Iklim pendidikan kita yang kering dari sentuhan nilai kemanusiaan semacam itu, disadari atau tidak, telah melahirkan manusia-manusia berkarakter hedonis, penjilat, hipokrit, arogan, dan miskin kearifan. Tak berlebihan kalau (alm.) Rama Mangunwijaya dengan nada sinis pernah menyatakan bahwa angkatan sekarang mengalami kemunduran yang sangat parah dalam pendidikan berpikir nalar eksploratif dan kreatif, sehingga menumbuhkan kultur pikir dan cita rasa yang sempit dan dangkal yang memperlambat pendewasaan diri. Padahal, idealnya, rasionalitas harus dikemudikan ke tingkat yang lebih komprehensif, yakni kearifan. Kearifan pun harus memiliki dimensi rasionalitas yang tinggi. Emosi, perasaan, atau pandangan subjektif dalam diri manusia, tegas Rama Mangun, dapat diibaratkan seperti energi yang memberi daya gerak kepada karya manusia. Sedangkan rasio atau nalar ibarat kemudia atau setir, sedangkan kearifan adalah nahkodanya.

Puncak degradasi kebudayaan pun terjadi ketika menjelang “lengser keprabon”, Soeharto sebagai penguasa Orba membuat manuver dengan “menceraikan” kebudayaan dari dunia pendidikan. Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya pun terbentuk. Praktis, dunia pendidikan yang sejatinya tak bisa dipisahkan dari ranah pendidikan pun resmi bercerai dengan kebudayaan. Oleh penguasa, budaya tidak lagi dipahami sebagai sebuah entitas pencarian nilai-nilai kedalaman dan kesejatian hidup, tetapi lebih diorientasikan bagaimana agar kita bisa hidup dari sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, bangsa kita tidak berupaya untuk “menghidupi” kebudayaan, tetapi justru bagaimana caranya agar kita bisa “hidup” dari kebudayaan itu. Maka, lahirlah produk-produk budaya kemasan baru yang semata-mata dimanfaatkan untuk mendongkrak devisa negara; bukan untuk meninggikan harkat dan kemuliaan sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya.
Ketika reformasi bergulir, banyak kalangan berharap agar kebudayaan kembali rujuk dengan pendidikan. Setidak-tidaknya, ada upaya serius untuk mengembalikan kebudayaan sebagai pilar peradaban yang akan mengawal setiap dinamika dan gerak pembangunan, tanpa mengabaikan dunia pariwisata yang memang diperlukan untuk menaikkan posisi tawar bangsa kita di kancah global. Namun, agaknya pemerintah pasca-reformasi pun cenderung memandang kebudayaan dari sisi ekonomi alias kebudayaan material an-sich yang ingin menjadikan budaya sebagai salah satu “ikon” pariwisata yang bisa mengalirkan devisa. Akibatnya, dunia pendidikan pun berkembang tanpa sentuhan nilai-nilai budaya yang amat diperlukan dalam membangun peradaban yang lebih terhormat dan beradab.

Nah, kini sudah saatnya kita mengembalikan desain dunia pendidikan yang sarat dengan sentuhan budaya. Dalam konteks demikian, dibutuhkan upaya serius untuk membenahi dunia pendidikan yang dinilai sudah sarat dengan proses pembusukan akibat kebijakan dan sistem yang salah urus dengan menggunakan pendekatan kultural yang utuh dan komprehensif. Itulah yang selalu kita tunggu! ***
READ MORE - Fenomena Korupsi, Stagnasi Pendidikan, dan Degradasi Kebudayaan

Nilai Filosofis di Balik Produk Batik Indonesia

Akhirnya, dunia mengakui batik sebagai produk budaya Indonesia. Unesco mengukuhkan batik ke dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia atau Representative List of Intangible Cultural Heritage. Pengukuhan ini jelas menjadi kebanggaan tersendiri buat bangsa kita setelah melalui berbagai macam cara, negeri jiran, Malaysia, berupaya mengklaim sebagai produk budaya mereka.

batikbatikbatikbatikMeski demikian, kita tidak cukup hanya berpuas diri pasca-pengukuhan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 2 Oktober 2009 itu. Batik tak cukup hanya dilestarikan, tetapi juga perlu terus ditumbuhkembangkan sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Dengan kata lain, batik tak hanya berhenti sebatas produk warisan budaya belaka, tetapi juga perlu terus mampu beradaptasi sesuai dengan gerak dan dinamika masyarakat pemakainya.

Dalam perspektif budaya, batik mengandung nilai filosofis yang cukup tinggi, baik dari sisi motif, cara pembuatan, hingga lamanya proses membuat selembar kain batik. Batik menyimbolkan doa dan harapan bagi pemakainya. Bukan hanya itu. Batik juga menunjukkan hasil jerih payah dan kesabaran pembuatnya.

Kurator Museum Batik Jogjakarta, Prayoga, menyatakan, tidak semua penggemar batik paham akan konsep dan filosofi di balik pembuatan kain batik. Pembuat kain batik, lanjutnya, harus dalam kondisi tenang saat membatik. Tak heran, beberapa pembatik harus berpuasa sebelum membatik. "Membatik itu butuh ketenangan. Kita tidak boleh membatik jika sedang gelisah karena akan berpengaruh langsung kepada kain yang kita batik," tuturnya.

Membatik juga membutuhkan kesabaran dan disiplin ekstra. Dalam satu lembar kain batik, butuh beberapa kali tahap pewarnaan sebelum batik siap dipakai. "Bisa 17 kali kalau memang rumit. Dan, itu memakan waktu. Karena itu, kadang satu batik bisa dibuat hingga satu tahun," ujarnya.

Kedisiplinan, lanjutnya, ditunjukkan dengan jumlah takaran malam yang pas. "Saat akan membatik, kita harus menakar penggunaan malam dengan pas. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Jika pekerjaan kita tidak selesai, entah itu malamnya kurang atau berlebih, berarti ada yang salah dengan kita," kata pria berusia 55 tahun ini.

Dalam budaya masyarakat Jawa, kain batik tidak hanya digunakan untuk sandang atau pakaian. Batik menunjukkan prestise dan berfungsi mengungkapkan sesuatu. "Zaman dahulu, kalau anak laki-laki mau melamar, dia harus membawa kain batik dengan motif tertentu kepada orang tua si gadis. Dia tinggal menyerahkan dan orang tua langsung tahu apa maksudnya," terangnya.

Dalam perspektif budaya Jawa, setiap motif batik memiliki kandungan makna yang berbeda-beda.
1.Batik Parang atau lereng menurut pakemnya hanya boleh digunakan oleh sentono dalem (anak dari ratu). Lereng berasal dari kata mereng (lereng bukit). Sejarah motif ini diawali ketika terjadi pelarian keluarga kerajaan dari Kraton Kartasura. Para keluarga raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar terhindar dari bahaya.

2. Jenis batik truntum dipakai saat seseorang menggelar pesta hajatan. Motif truntum sendiri ditemukan oleh Istri dari Pakubuwana V. Saat itu beliau sedang menjalani hukuman karena melanggar peraturan kerajaan. Pada suatu malam beliau merenung dan memandangi langit berbintang yang ada di angkasa kemudian beliau menuangkan apa yang dia lihat dengan chanthing sehingga menjadi motif batik truntum.

3. Batik sidamukti dipakai oleh pasangan pengantin. Sidamukti sendiri melambangakan sebuah harapan, jadi seketika sepasang pengantin menggunakan kain sidamukti, maka muncul keinginan untuk mencapai kehidupan baru yang berhasil atau dalam bahasa jawa disebut mukti.

4. Batik sido drajad dipakai oleh besan ketika upacara pernikahan. Cara pemakaian batik juga memiliki nilai pendidikan tersendiri, berikut adalah beberapa uraian dari cara pemakaian kain batik. Bagi anak-anak batik dipaki dengan cara sabuk wolo. Pemakaian jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas. Secara filosofis pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai dengan jiwa anak-anak yang masih bebas dan belum dewasa dan belum memiliki tanggungjawab moral di dalam masyarakat. Ketika beranjak remaja maka seseorang tidak lagi mengenakan batik dengan cara sabuk wolo melainkan dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai memiliki arti tersendiri. Seamakin pajang jarit maka semakin tinggi derajad seseorang dalam masyarakat semakin pendek jarit maka semakin rendah pula strata sosial orang tersebut dalam masyarakat.

Bagi dewasa pemakaian batik memiliki pakem tersendiri antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki wiru diletakkan di sebelah kiri. Sedangkan pada wanita wiru diletakkan di sebelah kanan, yang berarti nengeni. Artinya seorang putri tidak boleh melanggar khendak suami.

Semoga pengukuhan batik oleh Unesco terus mengilhami para perajin batik untuk terus melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya dalam menciptakan motif-motif batik yang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman, hingga akhirnya tak ada negeri lain yang bisa mengklain batik sebagai produk budaya mereka. ***
READ MORE - Nilai Filosofis di Balik Produk Batik Indonesia

Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Entah, produk budaya Indonesia apa lagi yang hendak dicaplok negeri Jiran. Yang pasti, hingga saat ini, sudah ada puluhan produk budaya kita yang nyata-nyata telah diklaim dan dipatenkan oleh sebuah negara kecil yang konon tak pernah merasakan etos perjuangan dan buta kebudayaan itu. Bagaimana tidak? Malaysia tak se-heroik Indonesia dalam berjuang merebut dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Untuk mempertahankan dan merebut eksistensi negara yang merdeka dan berdaulat penuh, Indonesia mesti berdarah-darah dan mengorbankan segalanya. Lain halnya dengan Malaysia. Mereka bisa hidup makmur karena proteksi dan belas kasihan negara lain yang dulu menjajahnya. Semua kemanjaan mereka dapatkan secara instan. Tak heran apabila Malaysia ktak pernah bisa menghargai karya cipta dan kreativitas bangsa serumpun. Mereka juga tak pernah mengenal dan mengasah kepekaan kultural. Karena tak pernah mengenal dinamika berkesenian dan berkebudayaan, merka hanya bisa menjiplak, main klaim, mencuri, dan main caplok.

Ironisnya, pemerintah kita seperti tutup mata dan tutup telinga terhadap ulah negeri jiran itu. Apa tidak pernah terusik untuk berpikir, bagaimana nasib para perajin dan pekerja seni di negeri ini jika mereka harus menyerahkan sejumlah royalty ke negeri jiran karena secara hukum, kita sudah tak memiliki hak atas produk-produk budaya yang telah dipatenkan Malaysia itu.

Ulah Malaysia juga perlu dijadikan sebagai “warning” buat bangsa kita agar tak terlalu silau dengan budaya global yang selama ini (nyaris) telah menggerus jati diri bangsa. Kita yang selama ini abai terhadap budaya kita sendiri, baru teriak kencang-kencang setelah diklaim negeri lain. Dalam kondisi demikian, kita perlu membangun kembali kesadaran kultural secara kolektif setelah kita terninabobokan dan terhipnotis oleh kultur global yang secara langsung maupun tidak langsung telah membuat kita terlena dan abai terhadap budaya negeri sendiri.

Dari search engine, ada beberapa produk budaya Indonesia yang diduga telah dicaplok oleh Malasyia. Berikut ini daftarnya.
1.Batik
2.Tari Pendet
3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi
9.Keris
10.Rendang Padang

batikpendetwayang kulitangklungreog-ponorogokuda_lumpingvisitmalingsiarafflesiakerisrendang-padang

Sementara itu, menurut versi budaya-indonesia.org, sudah lebih banyak lagi daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain. Berikut ini daftarnya:
  1. Batik dari Jawa oleh Adidas
  2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
  5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
  7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
  8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
  11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
  15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
  16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
  21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
  22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
  23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
  24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
  25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
  26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
  27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
  28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
  29. Kain Ulos oleh Malaysia
  30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
  31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
  32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia


Sudah saatnya kita kembali meneguhkan sikap untuk peduli dan membangun kesadaran kultural secara kolektif untuk merebut kembali produk budaya yang telah dicaplok orang itu. Sebagai bangsa yang besar, kita jangan gampang menyerah dan bersikap permisif. Ayo, rebut kembali produk-produk budaya bangsa kita yang hilang itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? ***
READ MORE - Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.

Rakor
Direktur Pembinaan TK/SD
Rakor
Jajaran Direktorat Pembinaan TK/SD
Rakor
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri
Rakor
Dr. Zaim Uchrowi (Direktur Balai Pustaka)


Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.

Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.

Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.

Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?

Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis-- perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).

Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.

Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga! ***
READ MORE - Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

selamat idul fitri



KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN:


SELAMAT IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN



SEMOGA KITA BENAR-BENAR KEMBALI KEPADA FITRAH-NYA, AMIIIN.


READ MORE - Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

Selamat Datang Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan


Ramadhan telah datang. Satu masa dalam setahun yang sangat tepat dijadikan sebagai media refleksi terhadap perilaku keseharian kita. Semoga kita bisa menunaikan kewajiban suci dan mulia ini dengan tenang, khusyu', dan penuh kegembiraan. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin.


READ MORE - Selamat Datang Ramadhan

Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

petaindonesiaKita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: "baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan." Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
("Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?

logo_diknasSejarah kita telah mencatat, guru senantiasa tampil di garda depan dalam membebaskan generasi bangsanya dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan keterasingan peradaban. Lewat entitas pengabdian yang tulus, tanpa pamrih, total, dan intens, guru telah banyak melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, sekaligus bermoral. Tak dapat disangkal lagi, jasa guru dalam mewarnai dinamika peradaban dari zaman ke zaman benar-benar teruji oleh sejarah.

Dulu, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk padepokan atau pertapaan, seorang guru alias resi menjadi figur sentral, otonom, dan bebas menuangkan kreativitasnya dalam menggembleng para cantrik. Resi pada zamannya dinilai menjadi sosok yang benar-benar mumpuni, pinunjul, dan kaya ilmu, sehingga menjadi figur yang dihormati dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi dianggap sebagai “sabda” tak terbantahkan. Perilaku dan kepribadiannya menjadi cermin dan referensi bagi para cantriknya. Tak berlebihan kalau padepokan menjadi sebuah institusi yang kredibel dan begitu tinggi citranya di mata masyarakat.

Resi alias guru, sejatinya adalah hamba kemanusiaan. Mereka menjadi pelayan, abdi pendidikan. Mereka menjadi agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran sehingga mampu membuka mata dan nurani terhadap kesejatian diri, harga diri, harkat, dan martabat bangsanya.

Sebagai hamba kemanusiaan, dengan sendirinya guru sangat akrab dengan kehidupan anak-anak bangsa yang masih butuh sentuhan kearifan, kejujuran, kesabaran, dan ketulusan nurani. Karena tugasnya bersentuhan langsung dengan kehidupan sebuah generasi, guru tak hanya dituntut menguasai materi ajar, tetapi juga diharapkan terampil menyajikannya kepada siswa didik secara menarik sekaligus menyenangkan. Selain itu, guru juga dituntut memiliki integritas kepribadian yang baik sehingga tak gampang tergoda melakukan tindakan tercela yang akan meruntuhkan citra dan kredibilitasnya. Hal ini sangat beralasan, sebab tugas guru tak hanya sebagai pentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur baku kepada siswa didiknya.

Pergeseran Nilai

Seiring derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan, beban yang mesti dipikul guru jelas semakin berat. Modernisasi yang membawa imbas terjadinya pergeseran tata nilai menjadi persoalan krusial bagi guru. Guru mesti dihadapkan pada persoalan serius ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dimarginalkan, nilai-nilai moral dan agama semakin terbonsai, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial) makin terabaikan.

Dalam pandangan Erich Fromm, era modernisasi yang mengibarkan bendera peradaban teknologi, bukan perjuangan manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan, melainkan merupakan masa di mana manusia telah terhenti menjadi manusia. Manusia telah berubah menjadi mesin yang tidak berpikir dan berperasaan sehingga gampang kehilangan kontrol terhadap sistem yang telah dibangun bersama. Meminjam bahasa Max Weber, masyarakat tak ubahnya seperti ”kandang besi” yang memasung dan membelenggu kehidupan manusia modern.

Iklim dan atmosfer kehidupan modern semacam itu, disadari atau tidak, juga memiliki andil yang cukup besar terhadap munculnya generasi ”robot” yang kehilangan kepekaan etika, estetika, dan religi. Mereka telah menjadi generasi instan yang kehilangan apresiasi terhadap nilai kejujuran, kesabaran, dan ketelatenan. Untuk mencapai harapan dan keinginan, mereka tak segan-segan mencari jalan pintas dan suka menerabas.

Yang lebih mencemaskan, para pelajar masa kini dinilai juga mulai kehilangan sikap hormat dan respek terhadap gurunya. Hubungan guru dan murid telah kehilangan kedalaman komunikasi yang intens dan harmonis. Akibatnya, guru seringkali tak berdaya dalam menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif; efektif, menarik, dan menyenangkan.

Dalam kondisi demikian, diperlukan sinergi antara guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan elemen pendidikan yang lain Di tengah situasi peradaban yang makin rumit dan kompleks, stakeholder pendidikan perlu memiliki kesamaan visi dalam upaya membebaskan generasi masa depan negeri ini dari belenggu peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Orang tua perlu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman nilai moral, budaya, dan agama. Kesibukan memburu gebyar materi jangan sampai menjadi penghalang untuk dekat dengan anak-anak. Demikian juga halnya dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka perlu mengembalikan fungsinya sebagai kekuatan kontrol terhadap berbagai perilaku menyimpang yang rentan dilakukan oleh anak-anak.

Sebagai hamba kemanusiaan, guru juga perlu mengembalikan ”khittah”-nya sebagai sosok yang benar-benar bisa ”digugu dan ditiru” sehingga tetap sanggup menjalankan perannya sebagai agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran terhadap nilai-nilai kesejatian diri. ***
READ MORE - Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?

Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Benarkah kita hidup di tengah peradaban horor? Bagaimana kita mesti memaknai meruyaknya berbagai bentuk kekerasan, korupsi, manipulasi, atau kejahatan yang tampil begitu telanjang dan vulgar di depan mata kita? Haruskah kita terus tenggelam dalam kubangan budaya “horor” yang nyata-nyata telah menanggalkan hakikat kemanusiaan kita yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok-sosok buas dan kanibal yang rela memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat kebuasan hati?

karnavalPascakemerdekaan, setidaknya kita telah melampaui tiga orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Namun, banyak kalangan menilai, dari tiga orde yang kita lalui, (nyaris) belum manghasilkan perubahan yang mampu mengangkat harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan terhormat. Situasi transisi dari satu orde ke orde berikutnya, selalu saja menampilkan drama horor yang berending tragis; yang telah meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Era Orde Lama, misalnya, – meminjam istilah Budiman (2008) -- telah menghasilkan manusia Indonesia sebagai "manusia ideologis", yaitu manusia yang sarat dengan ide dan slogan-slogan ideologis. Berbagai slogan rakyat sebagai "pejuang", sebagai "berdiri di atas kaki sendiri", sebagai "nasionalis" menjadi bagian realitas manusia Orde Lama (Orla). Meski demikian, Orla gagal meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri, disebabkan kegagalannya dalam memenuhi satu dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi ekonomi. Kekerasan berlangsung karena ideologi dan kemiskinan.

Era Orde Baru, telah menghasilkan "manusia-manusia mekanis", yakni manusia-manusia pembangunan yang pikirannya justru dikosongkan dari ideologi-ideologi, untuk kemudian diisi dengan satu-satunya "ideologi", yaitu ideologi pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi sekumpulan komponen dari "mesin pembangunan", yang di dalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaman, standardisasi dan pembatasan-pembatasan terhadap manusia. Di dalamnya, berlangsung berbagai bentuk kekerasan dan in-humanitas, seperti penculikan, penyekapan, penangkapan paksa, ketimpangan, marjinalisasi, peminggiran, pemaksaan, represi, subordinasi, jual paksa, penyerobotan hak milik, perampasan hak pribadi menjadi bagian dari mesin pembangunan yang tidak manusiawi.

demoSementara itu, pada era Reformasi –disadari atau tidak—telah terjadi fragmentasi besar-besaran manusia sebagai akibat terbukanya pintu demokratisasi dan kebebasan. Akan tetapi, ironisnya, iklim reformasi justru telah menciptakan manusia- manusia yang kini lebih mementingkan diri sendiri, yakni manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja terhadap manusia lain dan melahirkan juga manusia-manusia buas yang dapat menerkam dan memangsa negara hingga sekarat, demi memenuhi hasrat dan kepentingannya; mereka suka mengeksploitasi manusia-manusia lain sebagai "manusia komoditas" yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilannya, demi kepentingan ekonomi, politik, dan keselamatan pribadi. Tanpa disadari, bangsa kita telah menjadi “pemuja” ritual arak-arakan, karnavalisme, retorika, pidato, pawai, dan bahkan demonstrasi, yang makin berdampak luas terhadap tatanan nilai dan norma-norma peradaban masyarakat.

Kini, sudah seabad lebih bangsa kita mengalami momentum kebangkitan nasional. Sudah selayaknya segenap komponen bangsa melakukan refleksi terhadap peradaban “horor” yang nyata-nyata telah kita rasakan amat mengusik nurani kemanusiaan kita. Semua pihak yang memiliki kekuatan untuk membangun peristiwa horor dengan segenap implikasi yang ditimbulkannya perlu melakukan “rehumanisasi” untuk menegakkan dan membangun kembali pilar-pilar kemanusiaan dan peradaban sipil yang (nyaris) runtuh.

Yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan efek-efek kerusakan dan mengontrol kompleksitasnya sehingga tidak jauh membentuk lubang-lubang kekerasan yang makin membuka dan meluas. Selain itu, aksi-aksi kemanusiaan yang sanggup membuka ruang untuk menumbuhsuburkan sikap toleransi, setiakawan, berdialog, dan berkomunikasi lintasbudaya perlu diagendakan agar mampu menciptakan generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, dan ramah, yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai kelompok promordial yang eksklusif, superior, dan dominan.

Tak lama lagi, bangsa kita juga akan menggelar sebuah hajat besar yang akan ikut menjadi penentu masa depan negeri ini pada kurun waktu lima tahun mendatang, yakni Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sungguh, tak ada alasan bagi siapa pun untuk membangun sebuah kekuatan “predator” yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekadar untuk memburu hasrat kepentingan dan kekuasaan semata. Segenap komponen bangsa juga perlu mengawal pesta dan hajat besar itu agar jangan sampai berubah menjadi “ladang kekerasan” yang bisa membuat peradaban horor di negeri ini kian memfosil dan menyejarah.

Roh para pendiri negeri ini tentu akan meratap dan menangis apabila negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah-payah itu terpaksa harus bersimbah darah akibat pertarungan antarsesama anak bangsa hanya lantaran perbedaan paham dan kepentingan. ***

----------------------
Gambar diambil dari inilah.com
READ MORE - Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Oleh: Sawali Tuhusetya



belantikSalah satu novel karya Ahmad Tohari yang cukup penting ialah Belantik (2001) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Persoalan menarik yang terdapat dalam novel Belantik adalah penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam dialog antartokoh. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam ikwal karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Masalah yang dikaji adalah: (a) apa sajakah karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik; (b) apa sajakah fungsinya; dan (c) hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi penggunaan tuturan tersebut. Tujuan penelitian adalah: (a) mengidentifikasi karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan; (b) mengidentifikasi fungsi tuturan tersebut; dan (c) memaparkan latar belakang penggunaan tuturan tersebut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya stilistika dari sudut pandang pragmatik dan menambah khazanah pustaka karya ilmiah di bidang pragmatik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh.

Ada dua teori yang digunakan, yaitu teori novel dan teori pragmatik. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan stilistika (monisme) dan pragmatik. Pendekatan monisme digunakan untuk mengkaji fungsi dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk mengkaji karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah metode telaah isi. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dilakukan validasi data, yaitu memilih data yang benar-benar sesuai dengan kriteria. Data yang telah dipilah-pilah dianalisis dengan menggunakan metode normatif, yaitu metode yang penggunaannya didasarkan pada fakta yang ada.

Data penelitian berupa penggalan teks yang berisi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan sesuai dengan kriteria. Data penelitian ditafsirkan dengan menggunakan analisis monisme dan analisis pragmatik. Berdasarkan hasil penafsiran, hasil penelitian disimpulkan dengan metode generalisasi untuk mengidentifikasi karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, serta memaparkan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik.

Karakteristik Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok berdasarkan: (1) situasi tutur; (2) jenis tuturan; (3) pelanggaran prinsip kerja sama; dan (4) pelanggaran prinsip kesantunan.

1. Berdasarkan Situasi Tutur
Berdasarkan situasi tutur, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, dan vulger.

1.1 Tuturan Bernada Sinis
Tuturan bernada sinis adalah tuturan yang bersifat mengejek atau memandang rendah pihak lain tanpa melihat sisi kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang dimiliki pihak lain.














(1)HANDARBENI:Sudah, Mbakyu. Aku memang sudah mengatakan Lasi istriku. Sah. Tetapi Bambung tetap ngotot. ...
BU LANTING:... Dan bukan rahasia lagi, Anda pun biasa ngiler bila melihat perempuan cantik, tak peduli dia istri orang. Iya, kan? Nah, dari soal menggampangkan perempuan, kini Anda digampangkan orang dalam urusan yang sama. Tak aneh, ya?

(Belantik: 9)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sinis pada penggalan teks (1) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk memengaruhi Handarbeni agar mau "meminjamkan" Lasi kepada Bambung.
1.2 Tuturan Bernada Memuji
Tuturan bernada memuji adalah tuturan yang isinya berupa pernyataan rasa pengakuan atau penghargaan terhadap kelebihan pihak lain.















(2)


LASI:

Sama saja, Bu. Jadi kalau Pak Bambung mau datang kemari, ya datanglah.




BU LANTING:

Aduh, kamu memang anak manis, Las. Ya, apa salahnya menjadi pendamping orang gedean seperti Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (2) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memuji. Dalam percakapan tersebut, Lasi memilih sikap mengalah dengan berpura-pura mau menerima kehadiran Bambung. Namun, sikap Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting yang terus berusaha memengaruhi Lasi agar mau menuruti keinginan Bambung. sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada memuji.
1.3 Tuturan Bernada Membujuk
Tuturan bernada membujuk merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk meyakinkan pihak lain dengan kata-kata yang manis bahwa apa yang dikatakan itu benar.














(3)LASI:

Pokoknya nekat. Ibu sudah tahu bila orang sudah nekat.




BU LANTING:

Las, dokter bisa menggugurkan kandunganmu tanpa kamu harus merasakannya. Paling-paling kamu disuruh mengisap sesuatu dengan hidung, lalu tidur. Begitu kamu bangun dokter sudah selesai. Atau malah lebih mudah dari itu. Karena kandunganmu masih sangat muda, siapa tahu penggugurannya cukup dengan menelan obat. Nah, gampang sekali, kan?



(Belantik: 117)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan pada penggalan teks (3) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk membujuk Lasi agar mau menggugurkan kandungannya sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada membujuk.
1.4 Tuturan Bernada Mengancam
Tuturan bernada mengancam adalah tuturan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.














(4)LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya....



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (4) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada mengancam. Dalam percakapan tersebut, Lasi bersikukuh untuk tidak mau melayani permintaan Bambung. Namun, pernyataan Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang tuturan bernada mengancam.
1.5 Tuturan Bernada Memaksa
Tuturan bernada memaksa adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.




















(5)BU LANTING:

Ya. bila benar kamu hamil, dia memang menghendaki kandunganmu digugurkan.




LASI:

Tidak bisa, Bu. Saya tidak mau.




BU LANTING:

Ah, apa iya? Bagaimana kalau kamu dipaksa?



(Belantik: 116-117)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (5) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memaksa. Dengan berbagai cara, Bu Lanting memaksa Lasi agar mau menggugurkan kandungannya.
1.6 Tuturan Bernada Sombong
Tuturan bernada sombong merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menghargai diri sendiri secara berlebihan (congkak).














(6)PAK MIN:Jadi, Bapak juga percaya keutamaan pitutur kejawen?


HANDARBENI:Lho, Pak Min bagaimana? Sudah dibilang saya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut tetap priyayi Jawa. Jadi saya percaya semua pitutur kejawen. Percaya betul. Tetapi, Pak Min, seorang priyayi yang percaya terhadap pitutur itu tidak harus menjalankannya, bukan?

(Belantik: 18)



Tuturan Handarbeni mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sombong. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta Handarbeni untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak Min justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada sombong.
1.7 Tuturan Bernada Menyindir
Tuturan bernada menyindir adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk mencela atau mengejek pihak lain secara tidak langsung atau tidak terus terang.














(7)PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada menyindir pada penggalan teks (7) terdapat dalam tuturan Handarbeni. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada menyindir.
1.8 Tuturan Bernada Merendahkan Harga Diri Pihak Lain
Tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang bermartabat dan terhormat, sedangkan pihak lain dianggap kurang bermartabat dan terhormat.















(8)


PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Contohnya, ya Pak Min sendiri. Dulu ayah Pak Min jadi pembantu di rumah orangtua saya. Sekarang Pak Min hanya jadi sopir saya. Nanti anak Pak Min jadi sopir atau pembantu anak saya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain pada penggalan teks (8) terdapat pada tuturan Handarbeni. Kekeliruan inferensi tersebut dinyatakan dalam tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain, yaitu merendahkan harga diri keluarga Pak Min yang dicontohkan sebagai orang yang tidak mempunyai ambisi dan keinginan.
1.9 Tuturan Bernada Umpatan
Tuturan bernada umpatan merupakan tuturan yang mengandung perkataan keji atau kotor, cercaan, atau makian, yang terekspresi karena perasaan marah, jengkel, atau kecewa.















(9)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! ....



(Belantik: 115)



Tuturan Bambung pada penggalan teks (9) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada umpatan. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting terkejut setelah diberitahu kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting dipahami secara keliru oleh Bambung melalui pernyataan yang bernada umpatan.
1.10 Tuturan Bernada Rendah Hati
Tuturan bernada rendah hati merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menyatakan sikap rendah hati, tidak sombong, atau tidak angkuh.














(10)HANDARBENI:Nguawur! Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler nguler kambang bisa tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?


PAK MIN:Oh, itu, Pak, yang begitu kok Bapak tanyakan kepada saya; mana bisa saya menjawabnya?

(Belantik: 15-16)



Tuturan Pak Min pada penggalan teks (10) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada rendah hati. Kekeliruan inferensi itu terjadi ketika Pak Min merespons pernyataan mitra tuturnya, Handarbeni, yang memintanya untuk menjawab pertanyaan Handarbeni. Pertanyaan itu dijawab secara keliru oleh Pak Min melalui tuturan yang bernada rendah hati.
1.11 Tuturan Bernada Kurang Percaya Diri
Tuturan bernada kurang percaya diri merupakan tuturan yang menyatakan sikap kurang yakin terhadap kebenaran, kemampuan, atau kelebihan diri sendiri.




















(11)KANJAT:

Mungkin, dirjen; direktur jenderal.




LASI:

Pokoknya begitulah. Kata Bu Lanting lagi, orang yang ingin menang di pengadilan juga bisa minta rek...rek...rek... apa?




KANJAT:

Rekomendasi.



(Belantik: 125-126)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada kurang percaya diri pada penggalan teks (11) terdapat pada tuturan Lasi. Tuturan yang diujarkan Lasi bermodus introgatif sebagai ekspresi sikap kurang percaya diri akibat tingkat pendidikannya yang rendah.
1.12 Tuturan Bernada Vulger
Tuturan bernada vulger adalah tuturan yang mengandung kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada pihak lain.















(12)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! Tahu? Ingin mengerti sebabnya?



(Belantik: 115)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada vulger pada penggalan teks (12) terdapat pada tuturan Bambung. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting menunjukkan sikap keterkejutannya dengan menggunakan tuturan bermodus introgatif karena dia memang belum mengetahui kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting justru direspons secara negatif oleh Bambung dengan mengucapkan kata-kata bernada vulger.
2. Berdasarkan Jenis Tuturan
Berdasarkan jenisnya, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati, taklangsung, dan takharfiah.
2.1 Tuturan Ilokusi
Tuturan ilokusi adalah tuturan yang mengandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu.














(13)LASI:

Baik, Bu.


BU LANTING:

Anu, Las. Lebih baik kamu bawa pakaian. Soalnya kalau lelah, mungkin kita harus menginap.



(Belantik: 26)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ilokusi pada penggalan teks (13) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Permintaan Bu Lanting agar Lasi membawa pakaian karena kalau lelah kemungkinan harus menginap terkandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu, yaitu Lasi hendak dipertemukan dengan Bambung.
2.2 Tuturan Perlokusi
Tuturan perlokusi merupakan jenis tuturan yang mengacu kepada efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu.














(14)HANDARBENI:Sebentar, Mbakyu. Rasanya tak enak menyerah begitu saja kepada momok itu. Lagi pula, betapapun lobinya sangat kuat, dia toh sebenarnya bukan atasanku. Bagaimana menurut Mbakyu?
BU LANTING:Pak Han, Anda ini bagaimana? Kok Anda jadi bodoh begitu? Apa Anda nggak ngerti, sebenarnya Bambung bahkan sudah tak punya jabatan resmi lagi? Tetapi Anda harus ingat, baik punya jabatan resmi atau tidak, yang pasti dia tetap Bambung. Jaringan lobinya tetap kukuh dan canggih. Dia memang hebat. Bahkan dahsyat. Dan ikwal hal ini saya tahu betul. Dengan kekuatan seperti itu lobi Bang Bajul ini pasti akan mampu menembus birokrasi di atas Anda dengan mudah. ...

(Belantik: 9-10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi pada penggalan teks (14) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bisa memberikan efek ketakutan kepada Handarbeni sehingga bisa dikatakan mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi.
2.3 Tuturan Representatif
Tuturan representatif (asertif) adalah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.















(15)


LASI:

Pak sopir, saya tak jadi ke Cikini.




SOPIR TAKSI:

Daripada pergi tanpa tujuan, Bu, apa tidak baik kita nonton saja? Sekarang filmnya bagus. Bagaimana?



(Belantik: 64-65)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan representatif pada penggalan teks (15) terdapat pada tuturan sopir taksi karena mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan keinginannya kepada mitra tutur.


2.4 Tuturan Direktif
Tuturan direktif atau impositif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran agar mitra tutur melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan.















(16)


LASI:Jadi Ibu di situ sekarang?


BU LANTING:

... Tolong deh urus dia. Kalau perlu turuti apa maunya, toh kamu tidak akan rugi. Betul deh!



(Belantik: 44)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (16) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena mengacu pada maksud ujaran agar mitra tuturnya, Lasi, melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan, yaitu menyuruh Lasi agar mengurus Bambung.
2.5 Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan penilaian.















(17)


BU LANTING:

Lain, Las, lain, karena kamu muda dan sangat, sangat pantas, hadir di tengah perempuan cantik lainnya. Duta Besar dan istrinya pasti akan tahu kamu memang bukan istri Pak Bambung. Tetapi mereka mau apa, sebab kamu adalah yang tercantik di antara semua perempuan yang pernah digandeng Pak Bambung. ...




LASI:

Anu Bu... tetapi, Bu... saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya ....



(Belantik: 35-36)



Pujian Bu Lanting pada penggalan teks (17) merupakan kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ekspresif karena mengacu pada maksud ujaran untuk memuji mitra tuturnya agar mau memenuhi permintaan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.
2.6 Tuturan Komisif
Tuturan komisif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk mengikat penuturnya melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.





















(18)


LASI:

Jangan, Pak. Jangan! Saya tidak siap. Saya tidak mau.




BAMBUNG:

... Las, kalau kamu menurut nanti kamu saya lelo-lelo, saya emban, saya pondhong. Bila menurut nanti kamu bisa minta apa saja atau ingin jadi apa saja. Apa kamu ingin jadi... komisaris bank? Atau anggota





parlemen? Ya, mengapa tidak? Kalau mau, nanti saya yang akan ngatur, maka semuanya pasti beres ....



(Belantik: 53)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan komisif pada penggalan teks (18) terdapat pada tuturan Bambung karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang memberikan janji kepada mitra tuturnya, Lasi, yaitu mau menuruti semua permintaan Lasi dengan syarat Lasi juga bersedia menuruti semua keinginannya.
2.7 Tuturan Isbati
Tuturan isbati adalah tuturan yang diacu oleh maksud tuturan yang di dalam pemakaiannya untuk menyatakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.














(19)BU LANTING:Lho, Pak Han, daripada Anda kehilangan jabatan dan karier politik? Sudah saya bilang, soal bekisar, Anda bisa mencari yang baru. Jangan khawatir, nanti saya bantu. Mau yang rambon Cina, Arab,

Spanyol, atau Yahudi? Atau malah rambon Cina-Irian? Yang terakhir ini lagi mode lho.
HANDARBENI:.... Urus saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. ...

(Belantik: 12)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan isbati pada penggalan teks (19) terdapat dalam tuturan Handarbeni karena ujaran tersebut mengacu pada maksud tuturan untuk memutuskan sesuatu. Keputusan tersebut dinyatakan kepada mitra tuturnya, Bu Lanting, yaitu Handarbeni memutuskan untuk menyerahkan Lasi kepada Bambung dan meminta Bu Lanting untuk mengurusnya.
2.8 Tuturan Taklangsung
Tuturan taklangsung merupakan tuturan isbati yang digunakan untuk bertanya, memerintah, atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional.














(20)HANDARBENI:Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING:.... Namun di rumah? He-he-he ... dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. Lalu mengapa Anda heboh? Belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti kebajulannya? ...

(Belantik: 8)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan taklangsung pada penggalan teks (20)terdapat pada tuturan Bu Lanting karena penutur melakukan kekeliruan dalam menafsirkan maksud tuturan mitra tuturnya dengan menggunakan tuturan bermodus ekspresif dan direktif secara tidak konvensional.
2.9 Tuturan Takharfiah
Tuturan takharfiah adalah tuturan yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.














(21)HANDARBENI:Lho, Mbakyu, kalau begini aku harus bagaimana? Masakan aku harus melepas bekisarku meski katanya, dia hanya mau pinjam sebentar? Bagaimana Mbakyu?
BU LANTING:Nanti dulu, Pak Han. Anda bercerita gugup seperti kondektur ketinggalan bus....

(Belantik: 7-8)



Tuturan Bu mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan takharfiah karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang tidak sama dengan kata-kata yang membentuknya.



3. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja dijabarkan ke dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Jika keempat bidal ini dilanggar akan tercipta percakapan yang tidak kooperatif.















(22)


LASI:

Yang penting duit ya, Bu?




BU LANTING:

Ah, kamu sudah mengatakannya. Meski tahu kamu berseloroh, namun aku menganggap kata-katamu betul. Itulah sikapku; dalam hidup yang penting duit. Maka bila jadi kamu, aku akan menuruti kata-kata ini: daripada sakit karena melawan pemerkosaan, lebih baik nikmati perkosaan itu. Ya, ini gila. Tetapi pikirlah. Kamu sudah membuktikan, ke mana pun lari kamu tak akan luput dari tangan Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (22) mengandung kekeliruan inferensi yang melanggar prinsip kerja sama, khususnya bidal kuantitas, karena Bu Lanting memberikan informasi yang berlewah yang sebenarnya tidak diperlukan oleh Lasi.
4. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan dijabarkan ke dalam enam bidal, yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Jika keenam bidal prinsip kesantunan ini dilanggar akan tercipta tuturan yang tidak santun.














(23)HANDARBENI:Jadi aku harus menyerah? Jadi biarlah Lasi dipinjam si pelobi itu?
BU LANTING:Lho, saya tak bilang begitu. Saya hanya bilang, rasanya aneh. Di satu pihak Anda pernah memberi Lasi kebebasan meskipun saya tahu dia belum bisa menggunakannya. Di pihak lain, Anda kelabakan ketika Bung Bambung kepingin bekisar itu. Bagaimana? Kok sepi? ....

(Belantik: 10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik melanggar prinsip kesantunan bidal ketimbangrasaan pada penggalan teks (23) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena memaksimalkan biaya kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.



C. Fungsi Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai (1) pemicu konflik eksternal; dan (2) pemicu konflik internal.
1. Pemicu Konflik Eksternal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu percekcokan, pelecehan status sosial, penindasan, dan pemaksaan.


1.1 Percekcokan
Konflik eksternal yang berupa percekcokan ditandai dengan adanya percakapan yang mengandung pertengkaran atau perselisihan pendapat antara penutur dan mitra tutur.














(24)HANDARBENI:Mbakyu, jangan bicara begitu. Sebab, soal Lasi kuanggap lain. Dia tetap bekisar yang istimewa.
BU LANTING:Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi orang normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh berada dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alaaah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 9-10)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (24) memicu terjadinya percekcokan dengan Handarbeni. Handarbeni tidak akan menyerahkan Lasi begitu saja kepada Bambung, apalagi Bambung bukan atasan Handarbeni. Pernyataan ini menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Bu Lanting dengan mengeluarkan kata-kata ancaman.
1.2 Pelecehan Status Sosial
Konflik eksternal berupa pelecehan status sosial dalam novel Belantik terekspresi dalam wujud dialog antartokoh yang mengandung unsur pelecehan status sosial, yaitu memandang rendah, menghinakan, atau mengabaikan pihak lain.















(25)


PAK MIN:Jadi wewarah itu buat siapa?


HANDARBENI:He-he-he, ya buat para petani dan wong cilik lainnya seperti Pak Min itu.

(Belantik: 20)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (25) terdapat pada tuturan Handarbeni yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pelecehan status sosial, yaitu melecehkan status sosial Pak Min yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir pribadi.
1.3 Penindasan
Konflik eksternal berupa penindasan terwujud dalam percakapan yang mengandung unsur penindasan, yaitu memperlakukan pihak lain dengan sewenang-wenang dan lalim.















(26)


LASI:

.... Bapak sudah mendengar semuanya. Kini saya sedang mengandung anak suami saya, Kanjat. Jadi, apakah Bapak tetap menghendaki saya tinggal di sini? Saya menunggu tanggapan Bapak.




PAK BAMBUNG:

Sampai saya memutuskan lain, kamu harus tetap di sini. Soal kehamilanmu akan menjadi urusan dokter.



(Belantik: 113)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (26) terdapat pada tuturan Bambung yang memutuskan agar Lasi tetap tinggal di Jakarta sebelum ada keputusan lain. Selain itu, Bambung juga melakukan penindasan terhadap Lasi agar mengugurkan kandungannya.
1.4 Pemaksaan
Konflik eksternal yang berupa pemaksaan terekspresi dalam percakapan yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.















(27)


LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya. Maka kubilang jangan main-main sama dia. Kamu sudah tahu, suamimu pun tak berdaya.



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (27) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pemaksaan terhadap mitra tutur, yaitu memaksa Lasi agar mau menuruti semua keinginan Bambung. (bersambung)
READ MORE - Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)