Mitos dan Tabir Penulisan Cerpen

kumcerCerpen saya dimuat pertama kali di koran pada tahun 1987. Judulnya "Santhet". Dimuat di harian sore Wawasan, Semarang, Jawa Tengah. Dari sinilah saya mulai mengembangkan layar memori dan imajinasi saya untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam sebuah genre cerpen. Atmosfer lingkungan saat itu sangat kondusif dan memicu "adrenalin" saya untuk menulis cerpen. S. Prasetyo Utomo, Herlino Soleman, Triyanto Triwikromo, Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto, atau Mahmud Hidayat adalah beberapa nama yang turut memengaruhi kreativitas saya dalam menulis cerpen. Beberapa di antara mereka sudah melejit ke "papan atas" sastra Indonesia mutakhir, bahkan telah "ditahbiskan" masuk sebagai sastrawan Angkatan 2000 yang diproklamirkan oleh Korrie Layun Rampan. (Yups, sementara teman-teman sudah melaju kencang di atas jalan tol kesusastraan Indonesia mutakhir, saya masih berkutat di balik semak belukar, hehehe :lol: )

Nah, sejak cerpen saya dimuat di koran, "virus" menulis cerpen mulai merasuk ke dalam sumsum tulang. Saya jadi makin rajin ke kampus untuk meminjam buku kumpulan cerpen (kumcer). Yang sangat saya sukai adalah cerpen-cerpen Danarto. Saat itu kumpulan cerpen yang saya baca adalah Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Yang saya sukai adalah suasana surealis dan absurditas seperti memasuki sebuah dunia sonya ruri (antara ada dan tiada) yang demikian "menghipnotis" imajinasi saya. Saya juga tidak tahu, setiap kali usai membaca cerpen-cerpen Danarto, timbul niat saya untuk segera corat-coret, selanjutnya saya ketik dengan mesin ketik butut milik teman satu kos. *Jahh, mesin ketik butut aja pinjam, hiks :mrgreen: *


Demikian sukanya saya terhadap cerpen-cerpen Danarto, sampai-sampai saya pernah terlibat polemik dengan Bung Rosa Widyawan RP di Wawasan (1988). (Silakan baca tulisan di sini dan di sini). Meski demikian, saya tidak sampai bersikap snobis. Kalau kebetulan suka cerpen-cerpen Danarto, semata-mata karena saya suka dengan ide-ide ceritanya yang "liar" dan (nyaris) selalu mengangkat mitos dan selubung masa silam yang bisa membuat saya seperti memasuki sebuah dunia imajinasi yang fantastik dan teatrikal. Indah dan eksotis!


***


Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya sangat menyukai mitos dan selubung masa silam yang menjadi tabir masyarakat dalam membuka dan menemukan hakikat hidup dan kehidupan. Masa lalu saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kampung yang sunyi; kaya akan mitos, bahkan juga hal-hal yang mistis, merangsang saya untuk mengabadikannya ke dalam sebuah cerpen. Yups, genre sastra itulah yang menurut saya bisa mewakili dan mengekspresikan suasana batin saya. *Alasan klasik karena tidak bisa bikin puisi, hehehehe :mrgreen: *


Mitos-mitos tentang upacara tanam dan petik padi (Dewi Sri), nyadran, makam keramat, dongeng tentang gerhana bulan dan matahari, wedhon (hantu berkafan) seperti pocongan, hantu kesot, gendruwo, atau banas pati, sungguh-sungguh saya nikmati. Mitos-mitos semacam itu diperkaya dengan produk budaya masyarakat agraris semacam tayub, ketoprak, wayang orang, rodatan, barongan, atau wayang kulit. Mitos dan selubung masa silam itulah yang selalu menarik untuk saya intip dan saya singkap sehingga terbuka tabir "rahasia" kehidupan dalam konteks kekinian, hingga sekarang. Saya sungguh beruntung lahir di tengah masyakarat kampung yang kaya mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal. Dan, saya yakin, mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal semacam itu juga ada dan dimiliki oleh masyarakat daerah lain yang akan terus dikenang dari generasi ke generasi.


Selanjutnya bagaimana? Yups, saya menulis cerpen tidak menggunakan teori, hehehe ... Teori bagi saya hanya akan memasung kreativitas dan daya jelajah saya dalam memasuki belantara imajinasi yang mengurung tempurung kepala. Apa yang terlintas dalam layar imajinasi itulah yang saya tulis. Setelah dapat bahan yang saya comot dari memori, biasanya langsung membuat judul. Aneh, ya? Judul pasti saya buat terlebih dahulu. Tujuannya? Semata-mata agar saya tetap fokus pada bahan yang telah saya pilih. Mulailah saya berselancar di dunia fantasi dan imajinasi dengan mereka-reka siapa tokoh yang layak saya pilih, bagaimana jalinan peristiwa (alur), kapan dan di mana latar peristiwanya, konflik mestinya bagaimana, sudut pandang yang harus saya gunakan mesti bagaimana, *halah*, gaya ucap yang bagaimana, sampai pada membuat ending-nya.


Kesulitan yang saya hadapi adalah ketika harus menyusun paragraf awal. Bagi saya, paragraf awal ini akan menjadi pintu pembuka untuk memikat daya tarik pembaca. Oleh karena itu, saya jarang membuat paragraf awal yang bertele-tele dengan narasi dan deskripsi yang njlimet. Kasihan pembaca, hehehehe :lol: Mau masuk saja mesti bertele-tele! Misalnya, dalam cerpen "Dhawangan" saya membukanya dengan paragraf seperti ini.



Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

Atau, pada cerpen Topeng berikut ini.



Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Ibarat lebah tidak harus muter-muter dan terbang terlalu lama, tetapi langsung menyengat, hehehe :lol: Jika sudah jadi paragraf awal, 35% cerpen saya sudah selesai. Selanjutnya, tinggal menarasikan gambaran yang terbentang dalam layar imajinasi, baik unsur tokoh dan karakternya, latar, alur, atau sudut pandang, lewat gaya ucap dan bahasa yang saya anggap mampu mewakili perasaan dan intuisi saya. Imajinasi terus mengalir hingga akhirnya saya harus mengakhiri cerpen. Menggantung? Yups, saya termasuk orang yang suka menulis cerpen dengan gaya never ending story, sehingga memberikan banyak kemungkinan dan ruang tafsir yang luas bagi pembaca; tanpa saya harus mendikte dan menggurui.


Pernah kehabisan cara untuk melanjutkan cerita? Sering! Dalam kondisi semacam itu, biasanya saya berhenti menulis, lalu mempertajam imajinasi di belakang sambil buang hajat, hiks. Oleh karena itu, saya termasuk orang yang paling lama kalau sedang buang hajat di belakang. Di ruang sempit itulah justru imajinasi saya makin "liar" dan menggila. Cerita yang sudah buntu pun bisa jadi berlanjut. Meski demikian, sebuah cerpen bisa memakan waktu hingga lima hari seperti cerpen Kepala di Bilik Sarkawi. Namun, ada juga cerpen yang bisa selesai antara 4-5 jam. Cerpen Kang Sakri dan Perempuan Mimpi, misalnya, bisa selesai dalam perjalanan Yogyakarta-Kendal sekitar 4-5 jam. Cerita mengalir begitu saja. Jari-jari pun terus *halah* "bertango-ria" --meminjam istilah Bung Yari-- di atas keyboard laptop. Tiba di rumah hanya tinggal menyunting bagian-bagian yang saya anggap kurang tepat. Yang tidak saya lupakan adalah mengubah judul kalau memang diperlukan. Judul yang saya pilih biasanya yang "provokatif" sehingga begitu membaca judulnya, pembaca merasa penasaran untuk mengetahui jalan ceritanya. *Halah, ge-er*


Dengan proses yang tidak terlalu rumit semacam itu --saya yakin setiap orang bisa melakukannya-- ada juga cerpen-cerpen saya yang dimuat di koran (sekitar 40-an judul), seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan, atau Solopos. Sayang, di Kompas cerpen-cerpen saya hanya sempat mampir ke redaksi, untuk selanjutnya terbang lagi ke rumah, hehehehe :lol: Kata Pak Maman S. Mahayana, cerpen saya terlalu banyak "darah"-nya yang konon memang kurang disukai sang redaktur, hehehehe :mrgreen: Benarkah begitu? Wallahu'alam. Sayang sekali juga, setelah intensif mengelola blog, "adrenalin" saya untuk mengirim teks cerpen ke koran langsung tiarap. Suatu ketika, mudah-mudahan saya bisa kembali instensif menulis cerpen koran.


Tidak ditawarkan kepada penerbit? Itu pula yang ditanyakan oleh Mbak Chika dan Mas Ozan. Aha..., keinginan itu pasti dimiliki oleh setiap orang, termasuk saya. Yang jadi persoalan, bukan hal yang gampang mencari penerbit yang memiliki komitmen untuk menerbitkan buku kumpulan cerpen (kumcer). Untung-rugi tetap menjadi pertimbangan utama. Dan, rata-rata buku kumcer jeblog di pasaran, kecuali cerpenis kondang. "Tukang" cerpen yang katrok dan ndesa seperti saya, hehehehe :lol: mana ada yang mau melirik, hiks, kasihan. Kalau ada penerbit yang mau menerbitkan cerpen-cerpen saya, bisa jadi termasuk penerbit yang sedang "tersesat", hehehehe :lol: Bisa juga diterbitkan dengan cara self-publishing. Kalau tidak bisa diterbitkan oleh penerbit ternama, dipajang di blog ini juga sudah lebih dari cukup bagi saya untuk menjalin hubungan pertemanan dan silaturahmi. Asyik juga! Terima kasih kepada teman-teman bloger atau pengunjung yang telah berkenan untuk membaca dan mengapresiasi cerpen-cerpen saya yang berbau anyir "darah" dan mengeksploitasi ketragisan hidup "wong cilik" itu.


Salam budaya!



oOo
Gambar Danarto "dicuri" dari sini.

6 komentar:

  1. Deni mengatakan...

    Agupena jateng siap menerbtkan karya saudara yang hebat itu. tapi, ndak sekarang, nanti 2-3 tahun lagi.
    .-= Deni´s last blog ..Pilih Mega, SBY, Yusuf Kalla atau Golput =-.

  2. Sawali Tuhusetya mengatakan...

    ah, terima kasih banget pak deni., semoga hal itu bisa terujud.

  3. Rental Komputer Terbaik mengatakan...

    semoga negara kita tidak mengimpor beras lagi

  4. Sewa Projector Murah mengatakan...

    dulu kita negara penghasil beras 5 terbesar didunia sekarang impor,soalnya lahan pertanian tambah lama menjadi kecil

  5. Sawali Tuhusetya mengatakan...

    amiiin.

  6. Sawali Tuhusetya mengatakan...

    doh, itulah yang jadi persoalan, mas. ini sebuah ironi bagi negeri agraris seperti negeri kita ini.

Posting Komentar