Review Cerpen "Sang Pembunuh"

Oleh: Denologis

Sepuluh tahun yang lalu, kampung kami kedatangan serombongan tamu dari kota. Mereka adalah rekanan Juragan Karta, orang terkaya sekampung. Ternyata, tujuan kedatangan mereka adalah untuk membangun pabrik di kampung. Buktinya, keesokan harinya Juragan Karta mengumumkan rencana itu dengan dalih untuk meningkatkan SDM dan SDA di kampung. Bahkan, disertai ancaman bagi yang menolak untuk mendukung rencana tersebut. Pak Lurah pun mengiyakan dan menyatakan dukungannya. Karena menolak menyerahkan tanah sawah dengan ganti rugi yang sangat sedikit, aku dan Mas Karjo dimusuhi habis-habisan oleh Juragan Karta dan anak buahnya. Mereka juga menghasut hampir seluruh warga desa untuk membenci kami. Hingga pada puncaknya, Mas Karjo dibunuh dengan sadis, dan aku difitnah sebagai pembunuhnya. Akupun divonis penjara selama 10 tahun, dan sampailah aku di penjara yang pengap ini. Namun, semangatku kembali menyala karena sepekan lagi aku akan bebas….


Menurut saya, cerpen berjudul Sang Pembunuh ini cukup menarik, karena ide ceritanya yang cukup membumi. Relevan dengan kondisi riil sosial Indonesia, di mana pembangunan proyek kerap mengorbankan dan memaksa sejumlah warga seperti Aku untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak setimpal. Selain itu, alur dalam cerpen ini juga cukup bagus karena menggunakan timing method khas penulisnya, present -> past -> future. Alur khas yang unik dan seharusnya tidak mudah ditebak. Namun, lebih dari itu, saya kira cerpen ini kurang memiliki taste. Diawali dengan blunder inkonsistensi kata ganti tokoh utama -yang sebenarnya tidak perlu terjadi-. Perhatikan perubahan kata “aku” dan “saya”. Terhitung ada 3 kata “aku” dan 51 kata “saya”. Cerpen ini menjadi terkesan terasa sepo (dingin) karena menggunakan kata “saya” sebagai kata ganti orang pertama. Bandingkan jika menggunakan “aku”. Selain itu, ritme cerita juga terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan. Coba bandingkan dengan irama emosional dalam cerpen Marto Klawung atau Kang Panut. Sangat berbeda bukan? Seperti pada paragraf ke-3 dan ke-4. Terasa cemplang (drastis) ketika memasuki paragraf ke-4. Padahal, saya mengira penulis akan melanjutkan harapan-harapan “wah” di paragraf ke-3 pada paragraf ke-4. Juga ketika tokoh Aku sudah bebas dari penjara, keram
READ MORE - Review Cerpen "Sang Pembunuh"

Jagal Abilawa: Sawali Telah Kerasukan Ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, dan Kuntowijoyo

Oleh: NAQIB NAJAH

Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:
Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi. Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewajaran. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu. Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu. Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalam imajinasi, maka (saya kira) Anda pun pantas menyandang hal itu. ***

Catatan:
Tulisan ini menjadi Pemenang II kontes "Review Cerpen" dari buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya yang digelar di www.sawali.info.
READ MORE - Jagal Abilawa: Sawali Telah Kerasukan Ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, dan Kuntowijoyo

DHAWANGAN DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”: SEBUAH CATATAN PENDEK

Oleh: Aris Sutanto

Saya terperanjat, ketika niatan awal saya membaca cerpen Sawali Tuhusetya berjudul Dhawangan ini adalah untuk, menikmati aura magis yang disajikan dalam bentuk kesenian lokal bernama barongan, harus terkikis ketika saya dapati, bahwa di dalamnya terselip kritik sosial yang cukup menohok, terutama kepada kita-kita yang dalam hidup bertetangga, masih gemar menghina dan mencaci, serta memarginalkan individu yang kebetulan terlahir sebagai kaum difabel, baik dalam bentuk cacat fisik, maupun cacat mental.

Cerpen yang dihidangkan dengan pola sorot balik dengan menampilkan tokoh bernama Jayus yang diceritakan tersisih dari pergaulan masyarakat di desanya dan bahkan, sampai tidak diakui eksistensi dan garis kekerabatannya oleh saudara-saudara kandungnya sendiri hanya karena ia mengidap Halitosis (penyakit bau mulut [di sini dikisahkan mulut Jayus menyemburkan bau bacin]) ini, menampilkan dengan begitu apik bagaimana seseorang yang dianggap abnormal seperti Jayus, mendapat masalah sosial (dan psiko-sosial) di lingkungannya.

Dus, jika cerpen ini kita perlakukan dengan “skimming through” (membaca sepintas), gambaran yang kita dapatkan bisa dipastikan tak akan jauh dari kisah yang hanya menyodorkan atraksi pertunjukan barongan yang ditaburi bumbu-bumbu mistis layaknya cergam Petruk-Gareng-Semar karya almarhum Tatang. S. Alih-alih, pesan sosial yang begitu mendesak yang ingin disampaikan pengarang pun, tidak akan tertangkap. Bisa kita rasakan, bagaimana pilunya seorang Jayus yang sampai terpaksa merelakan harga diri dan sisi kemanusiaannya ditukar dengan sifat dhawangan ketika ia dengan memohon, meminta kepada Kang Marto Barong, pimpinan group “Singa Tata Jalma” yang memamerkan atraksi barongan, agar dirinya diperkenankan menjadi pemain dhawangan. Asumsi Jayus begitu sederhana, dengan membiarkan dirinya kesurupan kala mementaskan aksi dhawangan, ia akan bisa melupakan kesedihan batin bahwa dirinya hidup penuh dalam hinaan dan cacian orang-orang. Sebuah pemikiran dan bentuk eskapisme yang tentu wajar dipikirkan oleh sosok seperti Jayus (mungkin kalau contoh-contoh di sekitar kita, bentuk pelarian yang umum dipikirkan orang yang terkena tekanan batin, biasanya tak akan jauh-jauh, kalau bukan menjadikan diri sebagai kriminal dengan merampok atau menjadi psikopat, paling banter ya bunuh diri).

Membaca secara “dua lapis” cerpen Dhawangan ini, mengingatkan saya pada sebuah teori sosiologi yang membahas teori-teori umum perihal penyimpangan, yang salah satunya bernama “teori labeling”. Teori Labeling ini mengatakan, bahwa seseorang bisa menjadi menyimpang, ketika ia mendapatkan label-label (khususnya stigma) tertentu yang ia dapat dari hasil interaksi sosialnya. Seperti seorang yang baru keluar dari penjara, namun masyarakat sekitar tetap menganggap dan menyebutinya seorang maling, misalnya. Pemberian label “maling” secara terus-menerus ini, akan mengakibatkan individu yang bersangkutan, merasa bahwa dirinya tidak akan pernah bisa diterima lagi di masyarakat, ia merasa dirinya tidak diperkenankan berbaur dengan masyarakat sebagaimana individu lainnya, dan jelas ia akan merasa teralienasi.

Eksesnya, karena ia tidak diterima lagi secara baik-baik, ia akan berpikir lebih baik menjadi maling kembali, sebab toh, meski dirinya sudah berusaha menjadi baik pun, cap “maling” masih saja dilekatkan pada dirinya. Begitu pula terhadap mereka-mereka yang disisihkan dari pergaulan sembari diberi label “gila”, “sudrun”, “bau bacin”, “pincang”, dan lain-lain. Orang yang diberi cap cacat mungkin tidak bisa berbuat lain selain peranan yang telah diberikan kepadanya. Pemberian label dan stigma yang demikian, akan menyebabkan orang tersebut menjadi penyimpang sekunder. Ia akan lari pada tempat dan pemikiran yang ia anggap nyaman, meski sebetulnya salah, contoh konkretnya menjadi seorang psikopat.

Ending terbuka dalam cerpen ini pun, membuat cerita serasa semakin bertambah mencekam; apakah kematian lima warga kampung yang mengenaskan dengan leher hampir terputus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas adalah ulah dari dhawangan sebagai sosok halus khas mitos dalam kisah-kisah zaman dulu, ataukah merupakan manifestasi dendam kesumat seorang Jayus terhadap mereka-mereka yang pernah mencaci dan menghinanya; entah, tak ada yang tahu (kecuali pengarangnya sendiri). Namun toh, seperti yang pernah dikatakan Radhar Panca Dhahana, bahwa ”sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis”. Dan senada pula dengan semangat postmodern, terwakili ucapan Barthes, bahwa “pengarang telah mati”, dan pembacanyalah yang memiliki kebebasan memainkan tafsir atas karyanya.

Meski pesan sosial yang dibawa dalam cerpen ini makin tersirat menjelang akhir cerita, sehingga semakin membuka mata kita apa yang mau disampaikan pengarangnya (yang membuat cerpen ini memiliki kekuatan–karena selain menekankan estetika kisah, juga menampilkan esensi cerita secara gamblang) tetap saja ada beberapa kekurangan dalam penyajiannya. Tapi, entah mungkin karena saya lebih cenderung mengamati sebuah cerita pendek dari segi substansi atau apa, membuat saya tidak terlalu memperhatikan detail-detail kelemahan cerpen ini, kecuali repetisi kalimat “…di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak…” yang saya rasakan cukup mengganggu (sampai ada dua-tiga kali diulang pada tiga paragraf). Padahal dengan melihat siapa sosok Sawali sesungguhnya (sebagai seorang yang memiliki kompetensi yang tidak perlu diragukan dalam dunia sastra kontemporer), semestinya beliau bisa memilih kalimat lain, meskipun saya akui, pengulangan kalimat yang digunakan bukanlah sesuatu yang sifatnya tautologis.

Lainnya, yang menjadi kekurangan (atau saya sebut saja keanehan yang lebih bersifat tanda tanya dibanding akhir kisah yang masih misterius), adalah peran Mak Timah selaku ibu Jayus. Penyebutan namanya yang hanya sekali, terkesan sebagai tokoh yang hanya dihadirkan sambil lalu, padahal ia sebagai Simbok yang diceritakan menjadi tempat satu-satunya Jayus mengadu dan satu-satunya orang yang masih sayang kepada Jayus, tentulah memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan untuk menjadikan Jayus anaknya tetap tegar menapaki hidup. Tidak diceritakan pula, bagaimana kondisi batin sang ibu ketika mengetahui anaknya hilang bersamaan dengan hilangnya dhawangan yang, pada saat yang sama, menjadi awal terjadinya pembunuhan berantai yang terjadi di kampung yang menjadi setting cerita.

Tapi terlepas dari itu–sekali lagi seperti apa yang diucapkan Radhar dan Barthes–saya sebagai pembaca, memiliki akses penuh untuk melakukan dekonstruksi ulang, dengan melanjutkan kisah ini sekehendak hati jika ingin mengenyahkan segumpal rasa penasaran yang masih tertinggal di benak. Tapi saya tidak melakukannya, atau katakanlah, belum, sebab, dengan menikmati secara literer saja cerpen Dhawangan ini, selain saya jadi mengenal salah satu atraksi kesenian lokal (yang entah bersetting di Cirebon, Kudus, atau Jepara) ini, saya sudah mendapatkan pelajaran berharga, bahwa kita semestinya hidup ditaburi sikap saling menyayangi, menjaga lidah, tepa selira, mau menerima kekurangan orang lain, tanpa ada diskriminasi apalagi men-subordinasi mereka-mereka yang terlahir tidak normal.

Tentu, saya yang tidak bersih dari dosa pernah menghina dan mengejek orang di sekitar, merasa “tertampar” dengan cerpen buah tangan Pak Sawali ini, sebagaimana “tertampar”-nya seorang pelacur yang konon kemudian sadar dan tobat setelah membaca “Kota Kelamin”-nya Mariana Amiruddin. Bukan dengan dakwah atau khotbah yang berbusa dan berjam-jam saja yang mampu menyadarkan manusia, tapi lewat sebuah cerpen pun, tingkah polah seorang manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Untuk hal ini, dan untuk yang ke sekian kalinya, saya angkat topi kepada Pak Sawali… (dan tentu, saya ucapkan terima kasih, cerpen panjenengan menyadarkan saya dari kekeliruan yang sebetulnya sudah lama melekat dalam diri saya ini, yakni kecenderungan mencaci kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri orang lain). ***

Catatan:
Tulisan ini menjadi Pemenang I kontes "Review Cerpen" dari buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya yang digelar di www.sawali.info.
READ MORE - DHAWANGAN DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”: SEBUAH CATATAN PENDEK

Ranah Sosial dalam Teks Sastra

teks sastraSudah terlalu sering memang dimensi sosial dalam sastra ini diangkat ke permukaan sekaligus menjadi sebuah pembicaraan yang hangat. Namun, seperti dapat ditebak bahwa persoalannya justru kian kabur lantaran telah merembet ke berbagai ranah kreativitas para sastrawan sesuai dengan persepsi yang dikukuhinya. Para sastrawan makin getol mempertahankan visi personalnya masing-masing.

Munculnya dua kubu sastrawan Indonesia merupakan bukti bahwa di antara mereka tak kan pernah bertemu dalam satu titik kebersamaan. Dua kubu sastrawan ini di antaranya, pertama, sastrawan yang menjadikan aspek estetika sebagai bagian paling esensial dalam sastra—sonder diimbangi dengan munculnya ketimpangan-ketimpangan sosial dalam karya-karya mereka. Kedua, sastrawan yang merasa terpanggil untuk mengangkat ketimpangan-ketimpangan sosial sebagai bagian paling esensial dalam sastra sebagai produk budaya –tanpa meninggalkan aspek estetiknya.

Tanpa bermaksud melecehkan kubu yang pertama, maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan masyarakat sebagai sumber ilham bagi para sastrawan dalam berulah-kreasi. Mengapa? Karena masyarakat kita masih banyak dihuni oleh eknum-oknum tak jujur yang senantiasa menggerogoti keutuhan citra masyarakat adil-makmu yang lambat namun pasti kalau tak segera diberangus akan menjadi kendala terwujudnya kondisi masyarakat yang ideal. Nah, beranjak dari sisi inilah akhirnya sastra yang bicara, selain bidang-bidang sosial yang lain. Lebih-lebih jika diingat sistem dan struktur masyarakat kita yang cenderung mendukung penguasa –mengkritik penguasa sama saja menggorok leher diri sendiri—praktis kritik-kritik langsung secara lisan bisa menimbulkan konflik relasi sosial yang riskan antara atasan dan bawahan, majikan dan kuli, dan sebagainya, dan sebagainya.
Melihat celah-celah kebobroka semacam ini lewat sastralah salah sebuah medium yang dapat dicuatkan. Penulis akur dengan pemikiran Satyagraha Hoerip dengan Sastra Terlibat-nya dengan berlandas tumpu pada konsep bahwa sastra kita sepantasnya ikut menyelamatkan moral bangsa. Buat apa? Agar korupsi, manipulasi, menipu, memeas, dan sebagainya tak usah ikut-ikut mewaris ke generasi muda.

Rakyat sebagai Subjek
Berangkat dari pemikiran Paulo Freire, maka masyarakat sebagai sumber ilham kreativitas susastra menjadi sangat relevam dalam upayanya memberikan pencerahan kondisi zaman. Freire bilang bahwa rakyat mestinya tidak hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, melainkan justru sebagai subjek. Dengan bahasa lain bisa dikaakan bahwa susatra tidak hanya berbicara tentang dan untuk rakyat, tetapi juga berbicara dengan mereka.

Himpitan zaman yang mencekik rakyat, kemiskinan yang nyaris mengeringkan sumsum tulang, kebodohan yang merupakan sumber merajalelanya penipuan dan manipulasi, otoritas penguasa yang cendewrung “memuaskan kebuasan hati” (pinjam istilah Satyagraha Hoerip) serta kebobrokan fatalis lainnya merupakan kondisi yang seharusnya diakrabi oleh para sastrawan. Lebih-lebih berdasarkan pengamatan Soekanto bahwa kemiskinan menduduki urutan pertama selain kebodohan yang mengakibtakan timbulnya ketimpangan-ketimpangan sosial, maka sudah selayaknyalah kalau sastra berurun-rembug untuk menepiskannya ke tepi jurang.

Nah, apakah kalau sastra sudah gamblang-gamblangnya melabrak kemiskinan dan kebodohan masyarakat jadi terentas dari kebobrokan? Secara langsung tidak memang. Namun, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat (pembaca) mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia, secara langsung dan sekaligus setelah membaca karya sastra yang mempermasalahkan problema sosial tersebut kemungkinan tidak dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastrawan pengarang novel Warisan yang berwarna lokal Minangkabau sekaligus pencetus konsep Sastra sebagai human control ini juga mengatakan bahwa sastra menjadi mustahil tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya.

Oleh sebab itu, betapapun sebuah karya sastra bergelimang dengan tebaran estetika yang mengharubiru sanubari, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak kan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayal yang muluk-muluk tanpa ada koherensi makna kemanusiaan yang diluncurkannya. Padahal, menurut A. Teeuw, karya sastra merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi sirinya sendiri sebagai aspek terpenting.

Ronggowarsito Yunior
Kembali pada konsep Sastra Terlibat-nya Satyagraha Hoerip – atau Comitted Literature untuk menamai konsep yang dianut penulis Barat—sebenarnya telah dirintis sejak zaman pujangga besar Ronggowarsito dengan serat Kalatidha-nya yang melukiskan bobroknya moral para pejabat Jawa di masyarakat Surakarta Hadiningrat. Dus, masalah sosial dalam sastra sebenarnya telah mengusik kegelisahan pujangga zaman kerajaan yang dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan terhadap kondisi zaman yang penuh dengan ulah dan tingkah kemunafikan.

Berangkat dari titian historis inilah sudah selayaknya mulai terpikir untuk menghidupkan kembali suasana sastra yang hanya adem-ayem itu. Apalagi, kini kondisi politis telah memungkinkan untuk menghembuskan kembali adanya bias-bias sosial dalam sastra. Hal ini terbukti dengan dipakainya adagium: “Di zaman gila dan tak bermoral, seuntung-untungnya orang yang lupa masih untung orang yang ingat dan waspada” dalam sebuah forum resmi oleh penguasa negeri ini. Oleh sebab itu, seperti harapan Satyagraha Hoerip, tiba saatnya kini tampil Ronggowarsito-Ronggowarsito yunior untuk mengobarkan kembali ketimpangan-ketimpangan sosial, kebobrokan-kebobrokan moral, dan kenyataan korup lainnya dalam sastra. Tujuannya? Agar segala thethek-bengek praktik keculasan dan ketakjujuran –yang memanfaatkan kemiskinan dan kebodohan wong cilik—menjadi impas dari segala rangsang tingkah amoral.

Bagi para sastrawan yang menghamba pada “Dewa Estetika”, boleh jadi berang dengan luncuran-luncuran konsep semacam itu. Akan tetapi, mengingat bahwa susastra sebagai sebuah unicum yang hadir dengan kemandirian persepsi masing-masing sastrawannya, maka konsep-konsep di atas justru menjadi sah adanya. Bahkan, dengan adanya beragam persepsi yang majemuk sanggup menjadikan rimba sastra kita semakin kaya dan semarak.

Sastra dengan kondisi yang pluralis justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah masing-masing kubu sastrawan berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya. Akan menjadi tidak sah jika tiap kubu berupaya menyerang dan meluncurkan bom guna mematikan pihak kawan yang dianggap lawan tanpa adanya teriakan komando.

Paling Esensial
Boleh dibilang bahwa dimensi sosial dalam sastra merupakan aspek paling esensial tanpa ditunggangi oleh isme-isme tertentu. Seperti kita tahu bahwa sastra menjadi mokal tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya. Manusia sebagai persoanal yang sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari paguyuban masyarakat secara komunal merupakan persoalan adikodrati dan sudah laik menjadi komitmen sastrawan dalam menggarap masalah-masalah yang diahadapinya tatkala berproses kreatif. Oleh sebab itu, karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan ulah dan pokal gawe manusia, maka pencerahan terhadap kondisi zaman yang buram harus dikembalikan kepada manusianya. Dalam hal ini lantaran sastrawan yang notabene memiliki kepekaan intuitif dan mata batin yang tajam, maka merekalah yang perlu mencairkan kondisi zaman dari kebekuan.

Hanya saja kita juga butuh sastra yang tidak melulu mengobarkan yel-yel dan protes yang gegap-gempita, tetapi harus dibarengi dengan poetika estetik yang sanggup menumbuhkan kesadaran ke dalam lubuk hati pembaca tanpa bermaksud menggurui. Sebab apa? Pembaca yang hanya disodori dengan pepatah-peitih sosial yang nggegirisi tak ubahnya pembaca bak membaca sebuah repertoir kejadian demonstrasi dan unjuk rasa yang vulgar sonder diimbangi dengan persepsi dan visi penulisnya.

Persoalan estetika memang tak bisa ditinggalkan oleh sastrawan. Pada awal mulanya, sastra tercipta untuk dinikmati keindahan estetiknya, bukan untuk dipahami. Namun, mengingat bahwa sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka akhirnya berkembang sesuai dengan proses zaman yang memolanya. Sastra diharapkan mampu memberikan sesuatu yang berguna di benak pembacanya, selain untuk dinikmati keindahan yang tercipta di dalamnya. Dus, dapat ditarik sebuah sentesis bahwa selain mengandung nilai-nilai yang kuyup keindahan, sastra harus pula diimbangi dengan persoalan-persoalan yang tengah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Ya, dapat juga dibalik menjadi sebuh idiom: “Dimensi sosial dalam sastra harus diimbangi dengan poetika estetik. ***
READ MORE - Ranah Sosial dalam Teks Sastra

"Pemberontakan" dalam Teks Sastra

Sekitar tahun 1983, Budi Darma pernah menyatakan, jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan, cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya para sastrawan kita belum berbobot. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Paling tidak, ada dua kandungan tafsir yang tersirat di balik pernyataan pengarang novel Olenka itu.

Pertama, sebagai ”pasemon” terhadap ”tradisi” pengarang yang suka bikin sensasi lewat eksperimentasi penciptaan yang mentah dan konyol, tanpa dibarengi akuntabilitas moral dan etik. Artinya, pemberontakan hanya dilakukan untuk memburu ketenaran nama an sich, tidak berbasisikan kultur penciptaan yang dengan sangat sadar dilakukan untuk melahirkan teks-teks kreatif yang bernilai.


Kedua, pemberontakan bisa dimaknai sebagai upaya pengarang dalam melakukan perburuan kreativitas penciptaan yang lebih berbobot sehingga mampu menghembuskan napas dan arus kesadaran baru lewat teks-teks sastra masterpiece dan menyejarah. Atau, lewat pemberontakan yang dilakukan, sang sastrawan sanggup menancapkan tonggak sejarah baru di tengah-tengah dinamika sastra.


Hampir setiap angkatan, sejarah sastra kita mencatat munculnya para pemberontak yang berupaya melakukan pembebasan ”mitos” penciptaan teks-teks sastra. Pemberontakan yang mereka lakukan bukanlah sikap latah yang berambisi melambungkan nama di tengah jagad kesastraan, tetapi lebih berupaya untuk mencari dan menemukan bentuk pengucapan yang sesuai dengan tuntutan hati nurani dan kepekaan estetiknya.


Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Chairil Anwar lewat sajak ”Aku” pada Angkatan ’45, Sutardji Calzoum Bachri lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat kumpulan cerpen Godlob pada era 1970-an adalah beberapa nama yang bisa dibilang sukses melakukan pemberontakan kreatif sehingga bobot kesastraan mereka amat diperhitungkan dalam diskursus sastra. Tentu masih banyak pengarang lain yang dengan amat sadar meniupkan roh dan semangat pemberontakan dalam karya-karya mereka.


Lantas, bagaimana dengan ”pemberontakan” para sastrawan kontemporer kita? Agaknya, atmosfer peradaban yang tidak lagi sarat dengan pemasungan dan ketertindasan terhadap penciptaan teks-teks kreatif, justru seringkali memandulkan sikap pemberontakan itu. Tak ada lagi tantangan untuk menciptakan teks-teks yang lebih ”liar” dan mencengangkan. Miskinnya pemberontakan para sastrawan kontemporer itu bisa jadi makin memperkuat dugaan bahwa negeri kita memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Apalagi tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan masih berada pada aras yang amat rendah.


Kondisi semacam itu diperparah dengan langkanya penerbit yang memiliki idealisme untuk menghidupkan dan menggairahkan terbitnya buku-buku sastra. Untung rugi secara finansial agaknya menjadi pertimbangan utama para penerbit dalam meluncurkan buku-buku sastra. Mereka tak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra kalau pada akhirnya ”jeblog” di pasaran.


Mandulnya peran Dewan Kesenian (Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra di daerah pun memiliki andil yang cukup besar dalam ”membunuh” pemberontakan para pengarang lokal. Keberadaan Dewan Kesenian tak lebih dari sebuah perpanjangan tangan birokrasi yang lebih sibuk mengurus persoalan-persoalan administratif dan pendanaan ketimbang substansi dan esensi kesastraan. Akibatnya, potensi lokal-genius kesastraan tak bisa berkembang. Aktivitas sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik (nyaris) tak pernah tersentuh.


Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil nasib sastra kita makin merana dan tak terurus. Dalam konteks demikian, dibutuhkan sinergi dan kesadaran kolektif semua pihak untuk memosisikan sastra pada aras yang lebih terhormat. Sebagai kreator, sang sastrawan dituntut memiliki ”nyali” pemberontakan kreatif dalam melakukan perburuan, inovasi, serta eksplorasi aspek muatan nilai dan penyajian sehingga mampu menancapkan tonggak yang melegenda dalam khazanah sastra kita. Jika proses ini berhasil, penerbit yang masih memiliki idealisme terhadap persoalan-persoalan kebudayaan dan kemanusiaan pasti akan memburunya. Dimensi hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat kita perlu terus digali dan diangkat ke dalam teks-teks sastra sehingga mampu memancarkan ”aura” kemanusiaan bagi penikmatnya. Melalui kepekaan intuitifnya, sastrawan kita diharapkan mampu menafsirkan dan menerjemahkan berbagai persoalan mikro dan detil kehidupan menjadi lebih bermakna.


Masih banyak persoalan sastra yang belum tergarap secara serius, termasuk meningkatkan apresiasi publik terhadap sastra. Dunia pendidikan sebagai wadah pemberdayaan anak bangsa perlu dijadikan sebagai ajang apresiasi dan pembumian nilai-nilai kesastraan. Jika, memungkinkan, program ”Sastrawan Masuk Sekolah” yang dulu pernah gencar dilakukan perlu dihidupkan kembali untuk membantu guru-guru bahasa dan sastra yang selama ini dinilai telah gagal dalam menanamkan apresiasi sastra kepada siswa didik. Nah, bagaimana? ***




READ MORE - "Pemberontakan" dalam Teks Sastra

Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?

Sastrawan Masuk Sekolah (SMS) yang dulu pernah gencar digelar oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas, agaknya kini tak terdengar lagi gaungnya. Agenda yang pernah menghadirkan sastrawan papan atas semacam Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, atau Taufik Ikram Jamil di balik tembok sekolah itu kini seolah-olah sudah "tamat" riwayatnya. Apakah lantaran The Ford Foundation tak lagi turun tangan menjadi sponsornya? Entahlah!


Memang, agenda SMS pernah dikritik oleh Mursal Esten. Ia khawatir, agenda semacam itu bisa membuat para guru dan siswa lebih tertarik pada akting sang sastrawan ketimbang secara suntuk melakukan penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra yang merupakan arus utama dalam kegiatan apresiasi. Dengan kata lain, kehadiran sastrawan ke sekolah justru hanya akan melahirkan apresiasi semu yang berujung pada pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastrawi. Para guru dan siswa cenderung menjadi snobis gaya baru yang mengagumi sastrawan tertentu secara berlebihan, naif, dan "membabi buta", tanpa diimbangi dengan intensitas apresiasi yang sesungguhnya.


Kalau itu yang terjadi, bukankah SMS hanya akan menjadi ajang pameran bagi sastrawan tertentu guna mendapatkan pengukuhan, popularitas, dan legitimasi baru lewat institusi pendidikan?


Harus diakui, apresiasi sastra bukanlah pelajaran yang bisa dengan mudah "menghipnotis" siswa untuk menggemari teks-teks sastra. Pertama, pelajaran apresiasi sastra dianggap tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, amat "miskin" nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan. Hal itu berbeda dengan pelajaran Fisika, Matematika, atau bahasa Inggris yang dianggap memiliki pertautan langsung dengan nilai-nilai praksis kehidupan dan masa depan. Tidak mengherankan jika hanya beberapa gelintir siswa yang memiliki "dunia panggilan" untuk bersikap serius, total, dan intens dalam mengapresiasi sastra.


Kedua, tidak semua guru sastra memiliki minat dan "talenta" sastra yang memadai. Alih-alih menyajikan teks-teks sastra secara menarik dan memikat bagi peserta didik, sekadar menafsirkan teks sastra untuk dirinya sendiri pun masih sering kedodoran. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra berlangsung monoton, miskin kreativitas, sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori model hafalan. Yang lebih memprihatinkan, pelajaran apresiasi sastra tak jarang dilewati begitu saja lantaran jarang diujikan dalam soal ulangan umum maupun ujian. Guru tidak mau bersikap konyol dengan menyajikan apresiasi sastra secara total dan serius kepada siswa didik kalau pada akhirnya nilai ujian nasional yang selama ini "didewa-dewakan" jadi merosot.


Ketiga, langkanya buku-buku teks sastra di sekolah. Sudah bukan rahasia lagi, "kemauan politik" pemerintah untuk membumikan sastra lewat dunia pendidikan masih amat minim. Diakui atau tidak, para birokrat masih punya basis asumsi klise bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Bahkan, tidak jarang yang memahami bahwa parodi dan kritik dalam teks sastra sebagai penghambat laju pembangunan, sehingga perlu dilakukan sensor ketat terhadap teks-teks sastra yang hendak diluncurkan ke sekolah. Tidak berlebihan jika pusat perbukuan amat jarang --lebih tepat dibilang langka-- memasok buku-buku sastra mutakhir yang berbobot ke sekolah. Yang tersedia di perpustakaan sekolah hanyalah teks-teks sastra pendukung kebijakan penguasa yang tergolong "basi" dan ketinggalan zaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya, wawasan dan "kecanggihan" sastra para guru dan siswa didik (nyaris) tak pernah bergeser dari kondisi stagnan.


***


Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi yang ditandai dengan makin terbukanya persaingan di era pasar bebas, sastra justru menjadi penting dan urgen untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global secara arif, matang, dan dewasa. Dalam konteks demikian, sastra menjadi semakin penting, bukan saja lantaran sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas persoalan yang dihadapinya.


Untuk membedah kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi hidup yang terkandung dalam teks sastra jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemahaman dan penghayatan secara serius dan total lewat pembimbingan apresiasi secara intensif; bukan sekadar digelembungkan lewat slogan dan retorika.


Nah, ketika guru sastra mulai gencar dipertanyakan kapabilitasnya dan dianggap tak berdaya dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi sastra kepada siswa didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke sekolah untuk memberikan "sugesti" dan "injeksi" agar muncul gairah apresiasi baru dalam proses pembelajaran sastra. Ini artinya, agenda SMS perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk ikut menjawab kegelisahan dan kegagapan guru sastra di sekolah yang dinilai "miskin" kreativitas dan kurang "canggih" dalam menyajikan apresiasi sastra, sehingga tingkat apresiasi sastra peserta didik berada pada titik yang rendah.


***


Kekhawatiran bahwa SMS hanya akan menyesatkan apresiasi sastra siswa lantaran hanya memunculkan kekaguman pada "keaktoran" sastrawan ketimbang pada teks sastranya, memang sah-sah saja apabila tidak diimbangi dengan kreativitas sang sastrawan dalam meluncurkan teks-teks sastra berbobot yang mengalir dari tangannya. Kehadiran mereka tak lebih dari seorang selebritis yang menaburkan mimpi keglamoran bagi penggemar dan pengagumnya. Namun, sepanjang kepiawaian sang sastrawan dalam berakting disempurnakan lewat kiprah dan gairah bersastra yang tak henti-hentinya mengalir, kehadiran mereka justru akan mampu menjadi "oase" bersejarah di tengah kegersangan apresiasi sastra yang sudah lama dirasakan oleh dunia pendidikan.


Jelas, yang dibutuhkan bukan sastrwan yang semata-mata pandai berakting mengartikulasikan teks-teks sastra di depan guru dan siswa didik, melainkan mereka yang mampu mengomunikasikan nilai estetika dan ide-ide cemerlang yang terpancar dari teks-teks sastra secara cerdas sehingga mampu memberikan imaji positif sekaligus mampu membebaskan mitos sastra sebagai dunia kaum pengkhayal yang miskin kontribusinya terhadap gerak dan dinamika peradaban.


Lewat kehadiran sastrawan ke sekolah, teks-teks sastra yang selama ini berada di puncak keterasingan bisa membumi dan tersosialisasikan secara intensif di bangku sekolah. Harapannya, teks sastra tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah produk budaya, tetapi juga sebagai sebuah kenikmatan rohaniah yang mencerahkan.


Persoalannya sekarang, kenapa para sastrawan lokal --yang tak kalah hebatnya dengan sastrawan ibukota-- dan sekolah-sekolah yang ada di daerah belum juga tergugah untuk membangun jaringan mutualistis yang identik dengan SMS? Sudah bukan saatnya lagi sekolah menjadi "tempurung" ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki sumber-sumber belajar dari luar. Justru sebaliknya, sekolah harus benar-benar memosisikan diri sebagai basis pendidikan nilai, menggambarkan diorama masyarakat mini yang lentur dan terbuka terhadap segala tantangan dan perubahan konstruktif dalam mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Demikian juga sang sastrawan. Mereka diharapkan tidak hanya sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada publik, termasuk lewat agenda SMS.


Sampeyan punya cara lain? ***


READ MORE - Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?

Lomba Cipta Teks Sastra dan Bangkitnya Perempuan Pengarang

lomba cipta cerpen5lomba cipta cerpen4lomba cipta cerpen3
lomba cipta cerpen1Beberapa waktu yang lalu, Dinas Pendidikan Prov. Jawa Tengah menggelar lomba cipta puisi dan cerpen siswa SMP sebagai rangkaian dari ajang kegiatan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tahun 2009 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali. Lomba tersebut dimaksudkan untuk memilih peserta terbaik yang akan dikirimkan pada ajang yang sama di tingkat nasional.

Saya yang kebetulan didaulat menjadi salah satu juri lomba cipta cerpen menangkap munculnya fenomena unik dari ajang ini, yakni para peserta yang masuk final, baik lomba cipta puisi maupun cerpen, didominasi oleh perempuan. Saya tidak sedang membahas soal pengarusutamaan gender. Saya juga sedang tidak resah menangkap fenomena semacam itu. Bagi saya, kreativitas kepenulisan tidak ditentukan berdasarkan bias seksis, tetapi lebih ditentukan oleh ketekunan seseorang dalam menggeluti dunianya. Meskipun demikian, otak awam saya tetap saja terusik untuk mencoba menafsirkan fenomena itu.

Tiba-tiba saja saya teringat pernyataan seorang sejarawan kondang, Will Durant, bahwa manusia di seluruh dunia akan menyaksikan revolusi besar mulai abad ke-20. Revolusi tersebut bukanlah revolusi ekonomi, politik, atau militer, melainkan kebangkitan peran kaum perempuan di segala bidang kehidupan. Hal senada juga pernah dilontarkan oleh pasangan futurolog tenar, Naisbitt dan Patricia Aburdene bahwa salah satu trend besar tahun 2000-an adalah kebangkitan peran kaum perempuan.

Agaknya, prediksi sejawaran dan futurolog tersebut bukan isapan jempol. Realitas memang menunjukkan, peran kaum perempuan saat ini makin menonjol di berbagai bidang kehidupan. Profesi sebagai ilmuwan, peneliti, wartawan, pengusaha, politikus, dan semacamnya sudah menjadi demikian akrab melekat pada sosok perempuan.

Demikian juga dalam dunia sastra. Bangkitnya perempuan pengarang sudah lama eksis dalam jagad sastra Indonesia mutakhir. Pemenang Sayembara Menulis Novel 2003 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, misalnya, juga didominasi oleh kaum perempuan, sampai-sampai Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang aktif sejak tahun 1970-an, dengan berani menyebut bahwa masa depan novel Indonesia berada di tangan perempuan. Tak heran jika nama-nama perempuan pengarang semacam Ayu Utami, Dewi "Dee" Lestari, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Nova Riyanti Yusuf, Dinar Rahayu, Linda Christanty, Nukila Amal, Ana Maryam, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, atau Femmy Syahrani, cukup akrab dan sangat dikenal oleh publik sastra. Bahkan, konon karya-karya mereka menjadi rebutan para penerbit.

Nah, apakah fenonema bangkitnya perempuan pengarang membenarkan tesis kritikus sastra, Faruk HT, bahwa revolusi industri yang melanda dunia telah membuat banyak pria cerdas dan berbakat terserap ke sektor industri hingga mereka tidak tertarik lagi menekuni bidang-bidang yang dinilai tidak produktif seperti sastra?

Tak jelas juga. Yang pasti, fenomena “sastra wangi” sudah menjadi sebuah fakta yang tak terbantahkan dalam dunia sastra kita. Bibit-bibit pengarang yang terjaring melalui berbagai ajang lomba pun sudah menunjukkan trend semacam itu. Semoga ini menjadi sebuah dinamika yang positif, bukan semata-mata lantaran “kegeraman” kaum perempuan yang ingin menumbangkan ideologi patriarki semata. ***
READ MORE - Lomba Cipta Teks Sastra dan Bangkitnya Perempuan Pengarang

Mitos dan Tabir Penulisan Cerpen

kumcerCerpen saya dimuat pertama kali di koran pada tahun 1987. Judulnya "Santhet". Dimuat di harian sore Wawasan, Semarang, Jawa Tengah. Dari sinilah saya mulai mengembangkan layar memori dan imajinasi saya untuk selanjutnya diekspresikan ke dalam sebuah genre cerpen. Atmosfer lingkungan saat itu sangat kondusif dan memicu "adrenalin" saya untuk menulis cerpen. S. Prasetyo Utomo, Herlino Soleman, Triyanto Triwikromo, Budi Maryono, Gunawan Budi Susanto, atau Mahmud Hidayat adalah beberapa nama yang turut memengaruhi kreativitas saya dalam menulis cerpen. Beberapa di antara mereka sudah melejit ke "papan atas" sastra Indonesia mutakhir, bahkan telah "ditahbiskan" masuk sebagai sastrawan Angkatan 2000 yang diproklamirkan oleh Korrie Layun Rampan. (Yups, sementara teman-teman sudah melaju kencang di atas jalan tol kesusastraan Indonesia mutakhir, saya masih berkutat di balik semak belukar, hehehe :lol: )

Nah, sejak cerpen saya dimuat di koran, "virus" menulis cerpen mulai merasuk ke dalam sumsum tulang. Saya jadi makin rajin ke kampus untuk meminjam buku kumpulan cerpen (kumcer). Yang sangat saya sukai adalah cerpen-cerpen Danarto. Saat itu kumpulan cerpen yang saya baca adalah Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Yang saya sukai adalah suasana surealis dan absurditas seperti memasuki sebuah dunia sonya ruri (antara ada dan tiada) yang demikian "menghipnotis" imajinasi saya. Saya juga tidak tahu, setiap kali usai membaca cerpen-cerpen Danarto, timbul niat saya untuk segera corat-coret, selanjutnya saya ketik dengan mesin ketik butut milik teman satu kos. *Jahh, mesin ketik butut aja pinjam, hiks :mrgreen: *


Demikian sukanya saya terhadap cerpen-cerpen Danarto, sampai-sampai saya pernah terlibat polemik dengan Bung Rosa Widyawan RP di Wawasan (1988). (Silakan baca tulisan di sini dan di sini). Meski demikian, saya tidak sampai bersikap snobis. Kalau kebetulan suka cerpen-cerpen Danarto, semata-mata karena saya suka dengan ide-ide ceritanya yang "liar" dan (nyaris) selalu mengangkat mitos dan selubung masa silam yang bisa membuat saya seperti memasuki sebuah dunia imajinasi yang fantastik dan teatrikal. Indah dan eksotis!


***


Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya sangat menyukai mitos dan selubung masa silam yang menjadi tabir masyarakat dalam membuka dan menemukan hakikat hidup dan kehidupan. Masa lalu saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kampung yang sunyi; kaya akan mitos, bahkan juga hal-hal yang mistis, merangsang saya untuk mengabadikannya ke dalam sebuah cerpen. Yups, genre sastra itulah yang menurut saya bisa mewakili dan mengekspresikan suasana batin saya. *Alasan klasik karena tidak bisa bikin puisi, hehehehe :mrgreen: *


Mitos-mitos tentang upacara tanam dan petik padi (Dewi Sri), nyadran, makam keramat, dongeng tentang gerhana bulan dan matahari, wedhon (hantu berkafan) seperti pocongan, hantu kesot, gendruwo, atau banas pati, sungguh-sungguh saya nikmati. Mitos-mitos semacam itu diperkaya dengan produk budaya masyarakat agraris semacam tayub, ketoprak, wayang orang, rodatan, barongan, atau wayang kulit. Mitos dan selubung masa silam itulah yang selalu menarik untuk saya intip dan saya singkap sehingga terbuka tabir "rahasia" kehidupan dalam konteks kekinian, hingga sekarang. Saya sungguh beruntung lahir di tengah masyakarat kampung yang kaya mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal. Dan, saya yakin, mitos, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal semacam itu juga ada dan dimiliki oleh masyarakat daerah lain yang akan terus dikenang dari generasi ke generasi.


Selanjutnya bagaimana? Yups, saya menulis cerpen tidak menggunakan teori, hehehe ... Teori bagi saya hanya akan memasung kreativitas dan daya jelajah saya dalam memasuki belantara imajinasi yang mengurung tempurung kepala. Apa yang terlintas dalam layar imajinasi itulah yang saya tulis. Setelah dapat bahan yang saya comot dari memori, biasanya langsung membuat judul. Aneh, ya? Judul pasti saya buat terlebih dahulu. Tujuannya? Semata-mata agar saya tetap fokus pada bahan yang telah saya pilih. Mulailah saya berselancar di dunia fantasi dan imajinasi dengan mereka-reka siapa tokoh yang layak saya pilih, bagaimana jalinan peristiwa (alur), kapan dan di mana latar peristiwanya, konflik mestinya bagaimana, sudut pandang yang harus saya gunakan mesti bagaimana, *halah*, gaya ucap yang bagaimana, sampai pada membuat ending-nya.


Kesulitan yang saya hadapi adalah ketika harus menyusun paragraf awal. Bagi saya, paragraf awal ini akan menjadi pintu pembuka untuk memikat daya tarik pembaca. Oleh karena itu, saya jarang membuat paragraf awal yang bertele-tele dengan narasi dan deskripsi yang njlimet. Kasihan pembaca, hehehehe :lol: Mau masuk saja mesti bertele-tele! Misalnya, dalam cerpen "Dhawangan" saya membukanya dengan paragraf seperti ini.



Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

Atau, pada cerpen Topeng berikut ini.



Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Ibarat lebah tidak harus muter-muter dan terbang terlalu lama, tetapi langsung menyengat, hehehe :lol: Jika sudah jadi paragraf awal, 35% cerpen saya sudah selesai. Selanjutnya, tinggal menarasikan gambaran yang terbentang dalam layar imajinasi, baik unsur tokoh dan karakternya, latar, alur, atau sudut pandang, lewat gaya ucap dan bahasa yang saya anggap mampu mewakili perasaan dan intuisi saya. Imajinasi terus mengalir hingga akhirnya saya harus mengakhiri cerpen. Menggantung? Yups, saya termasuk orang yang suka menulis cerpen dengan gaya never ending story, sehingga memberikan banyak kemungkinan dan ruang tafsir yang luas bagi pembaca; tanpa saya harus mendikte dan menggurui.


Pernah kehabisan cara untuk melanjutkan cerita? Sering! Dalam kondisi semacam itu, biasanya saya berhenti menulis, lalu mempertajam imajinasi di belakang sambil buang hajat, hiks. Oleh karena itu, saya termasuk orang yang paling lama kalau sedang buang hajat di belakang. Di ruang sempit itulah justru imajinasi saya makin "liar" dan menggila. Cerita yang sudah buntu pun bisa jadi berlanjut. Meski demikian, sebuah cerpen bisa memakan waktu hingga lima hari seperti cerpen Kepala di Bilik Sarkawi. Namun, ada juga cerpen yang bisa selesai antara 4-5 jam. Cerpen Kang Sakri dan Perempuan Mimpi, misalnya, bisa selesai dalam perjalanan Yogyakarta-Kendal sekitar 4-5 jam. Cerita mengalir begitu saja. Jari-jari pun terus *halah* "bertango-ria" --meminjam istilah Bung Yari-- di atas keyboard laptop. Tiba di rumah hanya tinggal menyunting bagian-bagian yang saya anggap kurang tepat. Yang tidak saya lupakan adalah mengubah judul kalau memang diperlukan. Judul yang saya pilih biasanya yang "provokatif" sehingga begitu membaca judulnya, pembaca merasa penasaran untuk mengetahui jalan ceritanya. *Halah, ge-er*


Dengan proses yang tidak terlalu rumit semacam itu --saya yakin setiap orang bisa melakukannya-- ada juga cerpen-cerpen saya yang dimuat di koran (sekitar 40-an judul), seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Wawasan, atau Solopos. Sayang, di Kompas cerpen-cerpen saya hanya sempat mampir ke redaksi, untuk selanjutnya terbang lagi ke rumah, hehehehe :lol: Kata Pak Maman S. Mahayana, cerpen saya terlalu banyak "darah"-nya yang konon memang kurang disukai sang redaktur, hehehehe :mrgreen: Benarkah begitu? Wallahu'alam. Sayang sekali juga, setelah intensif mengelola blog, "adrenalin" saya untuk mengirim teks cerpen ke koran langsung tiarap. Suatu ketika, mudah-mudahan saya bisa kembali instensif menulis cerpen koran.


Tidak ditawarkan kepada penerbit? Itu pula yang ditanyakan oleh Mbak Chika dan Mas Ozan. Aha..., keinginan itu pasti dimiliki oleh setiap orang, termasuk saya. Yang jadi persoalan, bukan hal yang gampang mencari penerbit yang memiliki komitmen untuk menerbitkan buku kumpulan cerpen (kumcer). Untung-rugi tetap menjadi pertimbangan utama. Dan, rata-rata buku kumcer jeblog di pasaran, kecuali cerpenis kondang. "Tukang" cerpen yang katrok dan ndesa seperti saya, hehehehe :lol: mana ada yang mau melirik, hiks, kasihan. Kalau ada penerbit yang mau menerbitkan cerpen-cerpen saya, bisa jadi termasuk penerbit yang sedang "tersesat", hehehehe :lol: Bisa juga diterbitkan dengan cara self-publishing. Kalau tidak bisa diterbitkan oleh penerbit ternama, dipajang di blog ini juga sudah lebih dari cukup bagi saya untuk menjalin hubungan pertemanan dan silaturahmi. Asyik juga! Terima kasih kepada teman-teman bloger atau pengunjung yang telah berkenan untuk membaca dan mengapresiasi cerpen-cerpen saya yang berbau anyir "darah" dan mengeksploitasi ketragisan hidup "wong cilik" itu.


Salam budaya!



oOo
Gambar Danarto "dicuri" dari sini.


READ MORE - Mitos dan Tabir Penulisan Cerpen

Tak Ada Lagi Alasan untuk Mengebiri Sastra

Secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya "kemauan baik" untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini "menyesatkan" bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.

Sastra pada hakikatnya merupakan "prasasti" kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah diciptakan lepas konteks dari masyarakat, tempat sang pengarang hidup dan dibesarkan. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang mampu mengharubiru emosi pembaca.


Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan "gizi batin" yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan "kemiskinan" nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah bilang bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak memiliki kepekaan dan kearifan dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang "sakit"? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap "rabun sastra"?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan "sihir" yang sekali "abrakadabra" langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan "kristal-kristal" kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi "agen perubahan" untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun kini sudah amat akomodatif dan bersahabat dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Lihat saja Standar Kompetensi (SK) dan KD mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP di sini! Keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis, tak hanya dioptimalkan dalam pembelajaran aspek kebahasaan, tetapi juga dalam pembelajaran aspek kesastraan. Jadi, dalam pembelajaran sastra di SMP, kini sudah ada keterampilan mendengarkan sastra, berbicara sastra, membaca sastra, dan menulis sastra. Jelas ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan yang memberikan ruang gerak secara leluasa kepada para guru bahasa dalam mengelola proses pembelajaran, jelas akan memberikan prospek yang cerah dalam gerak dan dinamika apresiasi sastra di kalangan siswa.

Nah, kalau kurikulum sudah memberikan atmosfer yang cukup kondusif, ternyata siswa masih "rabun sastra", bagaimana? Bisa jadi ada kesalahan pada aras implementasinya. Guru, jelas, menjadi faktor utama. Menyajikan materi kesastraan jelas sangat berbeda dengan menyajikan materi kebahasaan. Untuk memberikan sugesti kepada siswa, guru sastra diharapkan memiliki wawasan sastra yang "canggih" sekaligus mampu memberikan keteladanan tentang kecintaannya terhadap sastra. Sarana pendukung, seperti perpustakaan dan fasilitas pembelajaran lainnya, juga menjadi penentu. Bagaimana siswa bisa belajar apresiasi sastra dengan baik kalau rak perpustakaan sekolah hanya dihuni buku-buku usang?

Yang tidak kalah penting adalah memperbanyak agenda kegiatan sastra, semacam pentas baca puisi atau cerpen, lomba dan festival, atau menyediakan media publikasi (cetak) untuk menerbitkan karya-karya siswa. Dengan cara demikian, sastra tak akan terjebak menjadi pengetahuan kognitif dalam ranah memori siswa, tetapi menyatu dalam sikap dan emosi, yang akan terus melekat dan mengakar dalam khazanah batin siswa hingga kelak mereka menjadi insan yang memiliki sikap responsif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Tak Ada Lagi Alasan untuk Mengebiri Sastra

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Oleh: Sawali Tuhusetya



belantikSalah satu novel karya Ahmad Tohari yang cukup penting ialah Belantik (2001) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Persoalan menarik yang terdapat dalam novel Belantik adalah penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam dialog antartokoh. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam ikwal karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Masalah yang dikaji adalah: (a) apa sajakah karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik; (b) apa sajakah fungsinya; dan (c) hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi penggunaan tuturan tersebut. Tujuan penelitian adalah: (a) mengidentifikasi karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan; (b) mengidentifikasi fungsi tuturan tersebut; dan (c) memaparkan latar belakang penggunaan tuturan tersebut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya stilistika dari sudut pandang pragmatik dan menambah khazanah pustaka karya ilmiah di bidang pragmatik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh.

Ada dua teori yang digunakan, yaitu teori novel dan teori pragmatik. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan stilistika (monisme) dan pragmatik. Pendekatan monisme digunakan untuk mengkaji fungsi dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk mengkaji karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah metode telaah isi. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dilakukan validasi data, yaitu memilih data yang benar-benar sesuai dengan kriteria. Data yang telah dipilah-pilah dianalisis dengan menggunakan metode normatif, yaitu metode yang penggunaannya didasarkan pada fakta yang ada.

Data penelitian berupa penggalan teks yang berisi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan sesuai dengan kriteria. Data penelitian ditafsirkan dengan menggunakan analisis monisme dan analisis pragmatik. Berdasarkan hasil penafsiran, hasil penelitian disimpulkan dengan metode generalisasi untuk mengidentifikasi karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, serta memaparkan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik.

Karakteristik Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok berdasarkan: (1) situasi tutur; (2) jenis tuturan; (3) pelanggaran prinsip kerja sama; dan (4) pelanggaran prinsip kesantunan.

1. Berdasarkan Situasi Tutur
Berdasarkan situasi tutur, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, dan vulger.

1.1 Tuturan Bernada Sinis
Tuturan bernada sinis adalah tuturan yang bersifat mengejek atau memandang rendah pihak lain tanpa melihat sisi kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang dimiliki pihak lain.














(1)HANDARBENI:Sudah, Mbakyu. Aku memang sudah mengatakan Lasi istriku. Sah. Tetapi Bambung tetap ngotot. ...
BU LANTING:... Dan bukan rahasia lagi, Anda pun biasa ngiler bila melihat perempuan cantik, tak peduli dia istri orang. Iya, kan? Nah, dari soal menggampangkan perempuan, kini Anda digampangkan orang dalam urusan yang sama. Tak aneh, ya?

(Belantik: 9)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sinis pada penggalan teks (1) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk memengaruhi Handarbeni agar mau "meminjamkan" Lasi kepada Bambung.
1.2 Tuturan Bernada Memuji
Tuturan bernada memuji adalah tuturan yang isinya berupa pernyataan rasa pengakuan atau penghargaan terhadap kelebihan pihak lain.















(2)


LASI:

Sama saja, Bu. Jadi kalau Pak Bambung mau datang kemari, ya datanglah.




BU LANTING:

Aduh, kamu memang anak manis, Las. Ya, apa salahnya menjadi pendamping orang gedean seperti Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (2) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memuji. Dalam percakapan tersebut, Lasi memilih sikap mengalah dengan berpura-pura mau menerima kehadiran Bambung. Namun, sikap Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting yang terus berusaha memengaruhi Lasi agar mau menuruti keinginan Bambung. sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada memuji.
1.3 Tuturan Bernada Membujuk
Tuturan bernada membujuk merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk meyakinkan pihak lain dengan kata-kata yang manis bahwa apa yang dikatakan itu benar.














(3)LASI:

Pokoknya nekat. Ibu sudah tahu bila orang sudah nekat.




BU LANTING:

Las, dokter bisa menggugurkan kandunganmu tanpa kamu harus merasakannya. Paling-paling kamu disuruh mengisap sesuatu dengan hidung, lalu tidur. Begitu kamu bangun dokter sudah selesai. Atau malah lebih mudah dari itu. Karena kandunganmu masih sangat muda, siapa tahu penggugurannya cukup dengan menelan obat. Nah, gampang sekali, kan?



(Belantik: 117)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan pada penggalan teks (3) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk membujuk Lasi agar mau menggugurkan kandungannya sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada membujuk.
1.4 Tuturan Bernada Mengancam
Tuturan bernada mengancam adalah tuturan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.














(4)LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya....



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (4) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada mengancam. Dalam percakapan tersebut, Lasi bersikukuh untuk tidak mau melayani permintaan Bambung. Namun, pernyataan Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang tuturan bernada mengancam.
1.5 Tuturan Bernada Memaksa
Tuturan bernada memaksa adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.




















(5)BU LANTING:

Ya. bila benar kamu hamil, dia memang menghendaki kandunganmu digugurkan.




LASI:

Tidak bisa, Bu. Saya tidak mau.




BU LANTING:

Ah, apa iya? Bagaimana kalau kamu dipaksa?



(Belantik: 116-117)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (5) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memaksa. Dengan berbagai cara, Bu Lanting memaksa Lasi agar mau menggugurkan kandungannya.
1.6 Tuturan Bernada Sombong
Tuturan bernada sombong merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menghargai diri sendiri secara berlebihan (congkak).














(6)PAK MIN:Jadi, Bapak juga percaya keutamaan pitutur kejawen?


HANDARBENI:Lho, Pak Min bagaimana? Sudah dibilang saya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut tetap priyayi Jawa. Jadi saya percaya semua pitutur kejawen. Percaya betul. Tetapi, Pak Min, seorang priyayi yang percaya terhadap pitutur itu tidak harus menjalankannya, bukan?

(Belantik: 18)



Tuturan Handarbeni mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sombong. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta Handarbeni untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak Min justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada sombong.
1.7 Tuturan Bernada Menyindir
Tuturan bernada menyindir adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk mencela atau mengejek pihak lain secara tidak langsung atau tidak terus terang.














(7)PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada menyindir pada penggalan teks (7) terdapat dalam tuturan Handarbeni. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada menyindir.
1.8 Tuturan Bernada Merendahkan Harga Diri Pihak Lain
Tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang bermartabat dan terhormat, sedangkan pihak lain dianggap kurang bermartabat dan terhormat.















(8)


PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Contohnya, ya Pak Min sendiri. Dulu ayah Pak Min jadi pembantu di rumah orangtua saya. Sekarang Pak Min hanya jadi sopir saya. Nanti anak Pak Min jadi sopir atau pembantu anak saya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain pada penggalan teks (8) terdapat pada tuturan Handarbeni. Kekeliruan inferensi tersebut dinyatakan dalam tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain, yaitu merendahkan harga diri keluarga Pak Min yang dicontohkan sebagai orang yang tidak mempunyai ambisi dan keinginan.
1.9 Tuturan Bernada Umpatan
Tuturan bernada umpatan merupakan tuturan yang mengandung perkataan keji atau kotor, cercaan, atau makian, yang terekspresi karena perasaan marah, jengkel, atau kecewa.















(9)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! ....



(Belantik: 115)



Tuturan Bambung pada penggalan teks (9) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada umpatan. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting terkejut setelah diberitahu kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting dipahami secara keliru oleh Bambung melalui pernyataan yang bernada umpatan.
1.10 Tuturan Bernada Rendah Hati
Tuturan bernada rendah hati merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menyatakan sikap rendah hati, tidak sombong, atau tidak angkuh.














(10)HANDARBENI:Nguawur! Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler nguler kambang bisa tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?


PAK MIN:Oh, itu, Pak, yang begitu kok Bapak tanyakan kepada saya; mana bisa saya menjawabnya?

(Belantik: 15-16)



Tuturan Pak Min pada penggalan teks (10) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada rendah hati. Kekeliruan inferensi itu terjadi ketika Pak Min merespons pernyataan mitra tuturnya, Handarbeni, yang memintanya untuk menjawab pertanyaan Handarbeni. Pertanyaan itu dijawab secara keliru oleh Pak Min melalui tuturan yang bernada rendah hati.
1.11 Tuturan Bernada Kurang Percaya Diri
Tuturan bernada kurang percaya diri merupakan tuturan yang menyatakan sikap kurang yakin terhadap kebenaran, kemampuan, atau kelebihan diri sendiri.




















(11)KANJAT:

Mungkin, dirjen; direktur jenderal.




LASI:

Pokoknya begitulah. Kata Bu Lanting lagi, orang yang ingin menang di pengadilan juga bisa minta rek...rek...rek... apa?




KANJAT:

Rekomendasi.



(Belantik: 125-126)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada kurang percaya diri pada penggalan teks (11) terdapat pada tuturan Lasi. Tuturan yang diujarkan Lasi bermodus introgatif sebagai ekspresi sikap kurang percaya diri akibat tingkat pendidikannya yang rendah.
1.12 Tuturan Bernada Vulger
Tuturan bernada vulger adalah tuturan yang mengandung kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada pihak lain.















(12)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! Tahu? Ingin mengerti sebabnya?



(Belantik: 115)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada vulger pada penggalan teks (12) terdapat pada tuturan Bambung. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting menunjukkan sikap keterkejutannya dengan menggunakan tuturan bermodus introgatif karena dia memang belum mengetahui kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting justru direspons secara negatif oleh Bambung dengan mengucapkan kata-kata bernada vulger.
2. Berdasarkan Jenis Tuturan
Berdasarkan jenisnya, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati, taklangsung, dan takharfiah.
2.1 Tuturan Ilokusi
Tuturan ilokusi adalah tuturan yang mengandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu.














(13)LASI:

Baik, Bu.


BU LANTING:

Anu, Las. Lebih baik kamu bawa pakaian. Soalnya kalau lelah, mungkin kita harus menginap.



(Belantik: 26)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ilokusi pada penggalan teks (13) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Permintaan Bu Lanting agar Lasi membawa pakaian karena kalau lelah kemungkinan harus menginap terkandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu, yaitu Lasi hendak dipertemukan dengan Bambung.
2.2 Tuturan Perlokusi
Tuturan perlokusi merupakan jenis tuturan yang mengacu kepada efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu.














(14)HANDARBENI:Sebentar, Mbakyu. Rasanya tak enak menyerah begitu saja kepada momok itu. Lagi pula, betapapun lobinya sangat kuat, dia toh sebenarnya bukan atasanku. Bagaimana menurut Mbakyu?
BU LANTING:Pak Han, Anda ini bagaimana? Kok Anda jadi bodoh begitu? Apa Anda nggak ngerti, sebenarnya Bambung bahkan sudah tak punya jabatan resmi lagi? Tetapi Anda harus ingat, baik punya jabatan resmi atau tidak, yang pasti dia tetap Bambung. Jaringan lobinya tetap kukuh dan canggih. Dia memang hebat. Bahkan dahsyat. Dan ikwal hal ini saya tahu betul. Dengan kekuatan seperti itu lobi Bang Bajul ini pasti akan mampu menembus birokrasi di atas Anda dengan mudah. ...

(Belantik: 9-10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi pada penggalan teks (14) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bisa memberikan efek ketakutan kepada Handarbeni sehingga bisa dikatakan mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi.
2.3 Tuturan Representatif
Tuturan representatif (asertif) adalah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.















(15)


LASI:

Pak sopir, saya tak jadi ke Cikini.




SOPIR TAKSI:

Daripada pergi tanpa tujuan, Bu, apa tidak baik kita nonton saja? Sekarang filmnya bagus. Bagaimana?



(Belantik: 64-65)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan representatif pada penggalan teks (15) terdapat pada tuturan sopir taksi karena mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan keinginannya kepada mitra tutur.


2.4 Tuturan Direktif
Tuturan direktif atau impositif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran agar mitra tutur melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan.















(16)


LASI:Jadi Ibu di situ sekarang?


BU LANTING:

... Tolong deh urus dia. Kalau perlu turuti apa maunya, toh kamu tidak akan rugi. Betul deh!



(Belantik: 44)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (16) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena mengacu pada maksud ujaran agar mitra tuturnya, Lasi, melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan, yaitu menyuruh Lasi agar mengurus Bambung.
2.5 Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan penilaian.















(17)


BU LANTING:

Lain, Las, lain, karena kamu muda dan sangat, sangat pantas, hadir di tengah perempuan cantik lainnya. Duta Besar dan istrinya pasti akan tahu kamu memang bukan istri Pak Bambung. Tetapi mereka mau apa, sebab kamu adalah yang tercantik di antara semua perempuan yang pernah digandeng Pak Bambung. ...




LASI:

Anu Bu... tetapi, Bu... saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya ....



(Belantik: 35-36)



Pujian Bu Lanting pada penggalan teks (17) merupakan kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ekspresif karena mengacu pada maksud ujaran untuk memuji mitra tuturnya agar mau memenuhi permintaan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.
2.6 Tuturan Komisif
Tuturan komisif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk mengikat penuturnya melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.





















(18)


LASI:

Jangan, Pak. Jangan! Saya tidak siap. Saya tidak mau.




BAMBUNG:

... Las, kalau kamu menurut nanti kamu saya lelo-lelo, saya emban, saya pondhong. Bila menurut nanti kamu bisa minta apa saja atau ingin jadi apa saja. Apa kamu ingin jadi... komisaris bank? Atau anggota





parlemen? Ya, mengapa tidak? Kalau mau, nanti saya yang akan ngatur, maka semuanya pasti beres ....



(Belantik: 53)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan komisif pada penggalan teks (18) terdapat pada tuturan Bambung karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang memberikan janji kepada mitra tuturnya, Lasi, yaitu mau menuruti semua permintaan Lasi dengan syarat Lasi juga bersedia menuruti semua keinginannya.
2.7 Tuturan Isbati
Tuturan isbati adalah tuturan yang diacu oleh maksud tuturan yang di dalam pemakaiannya untuk menyatakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.














(19)BU LANTING:Lho, Pak Han, daripada Anda kehilangan jabatan dan karier politik? Sudah saya bilang, soal bekisar, Anda bisa mencari yang baru. Jangan khawatir, nanti saya bantu. Mau yang rambon Cina, Arab,

Spanyol, atau Yahudi? Atau malah rambon Cina-Irian? Yang terakhir ini lagi mode lho.
HANDARBENI:.... Urus saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. ...

(Belantik: 12)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan isbati pada penggalan teks (19) terdapat dalam tuturan Handarbeni karena ujaran tersebut mengacu pada maksud tuturan untuk memutuskan sesuatu. Keputusan tersebut dinyatakan kepada mitra tuturnya, Bu Lanting, yaitu Handarbeni memutuskan untuk menyerahkan Lasi kepada Bambung dan meminta Bu Lanting untuk mengurusnya.
2.8 Tuturan Taklangsung
Tuturan taklangsung merupakan tuturan isbati yang digunakan untuk bertanya, memerintah, atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional.














(20)HANDARBENI:Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING:.... Namun di rumah? He-he-he ... dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. Lalu mengapa Anda heboh? Belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti kebajulannya? ...

(Belantik: 8)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan taklangsung pada penggalan teks (20)terdapat pada tuturan Bu Lanting karena penutur melakukan kekeliruan dalam menafsirkan maksud tuturan mitra tuturnya dengan menggunakan tuturan bermodus ekspresif dan direktif secara tidak konvensional.
2.9 Tuturan Takharfiah
Tuturan takharfiah adalah tuturan yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.














(21)HANDARBENI:Lho, Mbakyu, kalau begini aku harus bagaimana? Masakan aku harus melepas bekisarku meski katanya, dia hanya mau pinjam sebentar? Bagaimana Mbakyu?
BU LANTING:Nanti dulu, Pak Han. Anda bercerita gugup seperti kondektur ketinggalan bus....

(Belantik: 7-8)



Tuturan Bu mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan takharfiah karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang tidak sama dengan kata-kata yang membentuknya.



3. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja dijabarkan ke dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Jika keempat bidal ini dilanggar akan tercipta percakapan yang tidak kooperatif.















(22)


LASI:

Yang penting duit ya, Bu?




BU LANTING:

Ah, kamu sudah mengatakannya. Meski tahu kamu berseloroh, namun aku menganggap kata-katamu betul. Itulah sikapku; dalam hidup yang penting duit. Maka bila jadi kamu, aku akan menuruti kata-kata ini: daripada sakit karena melawan pemerkosaan, lebih baik nikmati perkosaan itu. Ya, ini gila. Tetapi pikirlah. Kamu sudah membuktikan, ke mana pun lari kamu tak akan luput dari tangan Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (22) mengandung kekeliruan inferensi yang melanggar prinsip kerja sama, khususnya bidal kuantitas, karena Bu Lanting memberikan informasi yang berlewah yang sebenarnya tidak diperlukan oleh Lasi.
4. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan dijabarkan ke dalam enam bidal, yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Jika keenam bidal prinsip kesantunan ini dilanggar akan tercipta tuturan yang tidak santun.














(23)HANDARBENI:Jadi aku harus menyerah? Jadi biarlah Lasi dipinjam si pelobi itu?
BU LANTING:Lho, saya tak bilang begitu. Saya hanya bilang, rasanya aneh. Di satu pihak Anda pernah memberi Lasi kebebasan meskipun saya tahu dia belum bisa menggunakannya. Di pihak lain, Anda kelabakan ketika Bung Bambung kepingin bekisar itu. Bagaimana? Kok sepi? ....

(Belantik: 10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik melanggar prinsip kesantunan bidal ketimbangrasaan pada penggalan teks (23) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena memaksimalkan biaya kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.



C. Fungsi Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai (1) pemicu konflik eksternal; dan (2) pemicu konflik internal.
1. Pemicu Konflik Eksternal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu percekcokan, pelecehan status sosial, penindasan, dan pemaksaan.


1.1 Percekcokan
Konflik eksternal yang berupa percekcokan ditandai dengan adanya percakapan yang mengandung pertengkaran atau perselisihan pendapat antara penutur dan mitra tutur.














(24)HANDARBENI:Mbakyu, jangan bicara begitu. Sebab, soal Lasi kuanggap lain. Dia tetap bekisar yang istimewa.
BU LANTING:Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi orang normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh berada dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alaaah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 9-10)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (24) memicu terjadinya percekcokan dengan Handarbeni. Handarbeni tidak akan menyerahkan Lasi begitu saja kepada Bambung, apalagi Bambung bukan atasan Handarbeni. Pernyataan ini menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Bu Lanting dengan mengeluarkan kata-kata ancaman.
1.2 Pelecehan Status Sosial
Konflik eksternal berupa pelecehan status sosial dalam novel Belantik terekspresi dalam wujud dialog antartokoh yang mengandung unsur pelecehan status sosial, yaitu memandang rendah, menghinakan, atau mengabaikan pihak lain.















(25)


PAK MIN:Jadi wewarah itu buat siapa?


HANDARBENI:He-he-he, ya buat para petani dan wong cilik lainnya seperti Pak Min itu.

(Belantik: 20)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (25) terdapat pada tuturan Handarbeni yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pelecehan status sosial, yaitu melecehkan status sosial Pak Min yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir pribadi.
1.3 Penindasan
Konflik eksternal berupa penindasan terwujud dalam percakapan yang mengandung unsur penindasan, yaitu memperlakukan pihak lain dengan sewenang-wenang dan lalim.















(26)


LASI:

.... Bapak sudah mendengar semuanya. Kini saya sedang mengandung anak suami saya, Kanjat. Jadi, apakah Bapak tetap menghendaki saya tinggal di sini? Saya menunggu tanggapan Bapak.




PAK BAMBUNG:

Sampai saya memutuskan lain, kamu harus tetap di sini. Soal kehamilanmu akan menjadi urusan dokter.



(Belantik: 113)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (26) terdapat pada tuturan Bambung yang memutuskan agar Lasi tetap tinggal di Jakarta sebelum ada keputusan lain. Selain itu, Bambung juga melakukan penindasan terhadap Lasi agar mengugurkan kandungannya.
1.4 Pemaksaan
Konflik eksternal yang berupa pemaksaan terekspresi dalam percakapan yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.















(27)


LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya. Maka kubilang jangan main-main sama dia. Kamu sudah tahu, suamimu pun tak berdaya.



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (27) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pemaksaan terhadap mitra tutur, yaitu memaksa Lasi agar mau menuruti semua keinginan Bambung. (bersambung)
READ MORE - Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)