Jagal Abilawa: Sawali Telah Kerasukan Ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, dan Kuntowijoyo

Oleh: NAQIB NAJAH

Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:
Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi. Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewajaran. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu. Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu. Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalam imajinasi, maka (saya kira) Anda pun pantas menyandang hal itu. ***

Catatan:
Tulisan ini menjadi Pemenang II kontes "Review Cerpen" dari buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya yang digelar di www.sawali.info.

1 komentar:

  1. sugiarno mengatakan...

    Pendapat yang bagus untuk seorang penulis yang memang bagus ...
    .-= Baca juga tulisan terbaru sugiarno berjudul "99. Kanal 5" =-.

Posting Komentar