Menari di Padang Prairi

Cerpen Abidah El Khalieqy
Dimuat di Jawa Pos (05/16/2010)

Oke! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

“Salam. Aku datang lagi…!”

“Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

“Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

“Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

“Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

“But love is country with map.”

“Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

“Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

“Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

“Jadi?”

“Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

“Datang lagi aku, hallow…!”

“Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

“Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

“Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

“Jurang mawar atau jurang berduri?”

“Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

“Tak berarti kau mengancamku kan?”

“Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

“Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

“Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

“Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

“Tapi ke mana kita akan menuju?”

“Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

“Dasar kurang kerjaan!”

“Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

“Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

“Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

“Kayak kamu dong!”

“Terima kasih sudah dinilai.”

“Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

“Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

“Ge-er!”

“Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

“Hek! Miring, Lu!”

“Hingga miring pun! Bahagia aku.”

“Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

“Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

“Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

“Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

“Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

“Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. “Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

“…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

“Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

“Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

“Kau mengancamku. Mau makar?”

“Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

“Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

“Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

“Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

“Huaha…. Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

“Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

“Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

“Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

“Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

“Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

“Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

“Haha… curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

“Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

“Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

“Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

“Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

“Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

“Haha… sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

“Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

“Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

“Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

“Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

“Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

“Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

“Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan….” Topan terus saja menghadang.

“Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

“Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

“Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

“Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!” Topan meradang.

“Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

“Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

“Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. ***

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Menari di Padang Prairi

Malam, Sebuah Kota

Cerpen Raudal Tanjung Banua
Dimuat di Suara Merdeka (04/16/2010)

Larut malam. Ia terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus pikiran. Kota begitu lengang. Sesekali, ada raan lewat dengan mesin menggema, lalu kendaraan lewat dengan mesin menggema, lalu lenyap dengan cahaya melesat. Pohon asam yang berjejer sepanjang jalan tampak bagai raksasa mengenakan mantel kebesarannya.

Sebatang beringin tua menyerupai seorang pertapa, penuh sesaji dan bunga-bunga. Angin malam berkesiur, tak urung merenggut juga daun-daunnya yang rimbun, sehelai-dua jatuh melayang, gugur ke bumi jalang, diseret-seret angin di atas aspal dan trotoar jalan yang keras.

Kadang akar-akar surai beringin itu menjuntai bagai rambut dan jenggot Batara Kala --seperti dalam pawai ogoh-ogoh pada malam pangrepukan, sehari menjelang Nyepi-kini berayunan hingga ke pokok pohon. Sekali waktu, datang angin kencang, menumpahkan canangsari berisi sesaji, dan ia merasa sari hidupnya terserak jatuh ke tanah.

Tanah rantau! Ah, surat dari ibu masih melekat di pikirannya, menyeretnya ke jalanan, mengepakkan debu rindu, tapi tak memberinya sayap untuk pulang!

Memang, tadi selepas petang ia pulang, tapi ke kamar kontrakannya yang berdinding gedhek di pinggiran kota. Langkahnya terantuk kaleng-kaleng rombeng yang tergeletak di lorong sempit di antara kamar-kamar. Preng! Preng! Sialan, bunyinya cukup gaduh, dan lebih dari itu matanya sudah tak awas ternyata.

Mestinya ia tahu, sepanjang hari anak-anak para pengontrak yang jumlahnya membeludak, menghabiskan waktu bermain apa saja di lorong itu --satu-satunya ruang yang bersisa dan mereka perebutkan dengan orang tua yang bergunjing, mondar-mandir, dan marah. Selalu, berhari-hari ia pergi dan kembali untuk tinggal tak berapa lama. Malam itu, ia kembali setelah pergi cukup lama, bahkan paling lama, sehingga membuatnya lupa pada kaleng-kaleng rombeng di lorong remang itu.

Ia merogoh saku celana, mengeluarkan kunci dan menjangkau daun pintu dengan malas. Pintu triplek itu menguapkan debu. Seekor laba-laba seperti kaget dan buru-buru menyingkir dari situ. Belum sempurna ia buka pintu, ketika berkerenyit engsel lain di sebelah. Kepala seorang perempuan muda dengan rambut basah sebahu terjulur dari sana, boleh jadi karena suara kaleng yang gaduh, dan lalu tahu kalau lakilaki aneh di sebelah kamarnya sudah datang. Perempuan itu bergegas memintasnya.

“Ada surat, Mas, ini! Sudah lama. Sengaja saya simpan, takut lama. Sengaja saya simpan, takut diambil anak-anak,“ perempuan itu memberikan amplop dengan sorot mata cemburu, mungkin iri mengapa surat itu tak jatuh padanya. Pada masa ketika surat masih ditulis, dan tukang pos masih yang tersibuk di dunia, sebuah amplop berterakan nama dan alamat bakal membuat orang yang dituju tersipu-sipu.

Dan pada malam ketika surat masih dituliskan ini, laki-laki itu mendapatkan bagiannya.

Ia ucapkan terima kasih kepada perempuan yang baik hati dan segar sehabis mandi itu. Bau sampho lidah buaya masih tertinggal di muka pintu, ketika ia masuk dan menyalakan lampu.

Tanpa sempat membersihkan debu, langsung ia rebahkan badannya di kasur kapuk yang kurus, sekurus kujur tubuhnya. Lama, didekapnya surat itu, bersabar untuk tak segera membuka.

Ia nikmati denyut dan debar dalam dada, nikmat-ngilu campur-aduk jadi satu. Lain sekali rasanya. Dan kian berpacu, membuatnya tak tahan. Ia sobek amplop lusuh itu.

Ini surat pertama yang menjenguknya selang empat tahun perantauannya. Surat dari ibu! Surat bagi perantau pemula! Ada sejumlah perkara di kampung, baik menyangkut dirinya langsung, maupun yang hanya berhubungan dengan segala sentimental yang tak perlu: rindu bertemu. Ah, betapa jauh jarak, betapa luas ruang dan betapa tak sederhananya waktu, sebab rantau, kau tahu, bukan sekadar kepergian yang selesai dengan sebuah kepulangan.

Pulang? Alangkah tak mudah, tak sesederhana yang dibayangkan. Begitu seseorang memutuskan pergi, ia masuk ke wilayah tak bertepi dan sungguh tak mudah untuk kembali.

Ah! Ha-hh! Ia meronta dari kekangan waktu, dari belitan kalimat rindu. Ia tak mau terpuruk dan terbujuk kata pulang. Ia bangkit, berontak. Ia simpan surat itu di bawah bantal, dan segera ia matikan lampu. Bergegas ia keluar, menghempas dan mengunci pintu, lalu mengayun tinju di keremangan lorong itu. Ketika melewati kaleng-kaleng rombeng tadi, ia sengaja menyepaknya. Preng, preng, prenggg!! Ia tak peduli. Dan ia terus berjalan, sampai kini terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus kusut pikiran.

Sebuah dokar lewat, sarat muatan sayurmayur; pak-kudipak kaki kuda memecah malam raya. Kusir dan seorang perempuan terangguk-angguk di atasnya. Bukan karena kantuk! Sebab kusir dan perempuan itu adalah mereka yang berjaga. Perempuan itu, membuatnya tergeragap oleh rindu. Rambutnya yang tertutup tengkuluk mengingatkannya pada rambut nenek atau ibu. Tapi tidak. Ini perempuan pedagang di Pasar Kumbasari, berjualan larut malam sampai dini hari. Dan langkahnya terseret ke pasar itu, mengikuti arah dokar yang sayup menghilang dalam kabut. Melewati jembatan tukad Badung, ia serasa menyeberangi masa lalu dan masa kini. Mampukah jembatan ini menyeberangkan diriku dari masa lalu yang kelu, ke masa depan yang belum tentu? Ia berbisik, seperti mendapatkan sebaris puisi. Ah, persetan puisi! Ia mengumpati diri sendiri.

Alir tukad Badung berkilau diterpa cahaya lampu merkuri, mengingatkannya pada sungai besar di kampungnya yang berkilau bila terang bulan. Perahu-perahu laju, dan bagan, kapal kayu penangkap ikan, bersauh di muara yang lebar. Melihat sampah-sampah yang terapung tak tahu arah di arus tukad Badung, ia teringat perahu-perahu dari sabut kelapa yang ia hanyutkan dari tepian, entah terdampar di mana.

Lalu riuh pasar membuatnya tersintak dari lamunan. Pasar Kumbasari memang membuatnya terjaga dari kantuk dan pikiran. Pasar induk ini memulai aktivitasnya tengah malam menjelang dinihari, di batas antara malam yang matang dan pagi yang akan menjelang. Di situlah para pedagang --sebagian besar perempuan-tegak berjaga. Menjaga dagangan di hadapan; keranjang penuh buah, bunga-bunga, sayur-mayur, daging babi dan ikan-ikan.

Selintas keranjang bambu itu bagai canang raksasa saja layaknya, dipersembahkan perempuan-perempuan pasar yang penuh bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Biasanya, jika ke Kumbasari, ia akan bertemu kawan-kawan lain yang sama-sama berahi mabuk puisi. Lalu mereka akan nongkrong di sebuah kedai soto babat --soto “terenak di dunia“ begitu mereka bilang --yang terletak di pojok pasar, di tepi tukad Badung. Pada hari tertentu, akan ada seorang “lelaki kuda“ hadir di tengah-tengah mereka. Lelaki kuda itu, begitu ia disebut, dan sebagian lain menyebut “si batu dungu“, ikut bergabung sehabis dead line rubrik “Apresiasi“ di sebuah surat kabar lokal yang ia asuh. Kehadirannya selalu hangat dan membakar hasrat siapa pun untuk tak mainmain dengan pilihan hidup.

Beberapa minggu lalu, ia masih bertemu si laki-laki kuda, dan berkumpul bersama kawankawannya yang selalu terceguk pada kata-kata dan puisi itu.

“Masih membantu sablon di Alit Esha?“ laki-laki kuda hangat menyapa.

“Sudah tidak, Bung. Order sepi. Alit sekarang beralih ke ayam potong.“

“O, ayam potong? Cepat juga orang itu beralih usaha ya.“

“Iya, Bung, ada celah di Benoa untuk memasok daging ayam bagi kapal yang akan berlayar. Tapi ini baru mulai.“

“O, bagus itu. Jadi, tugasmu sekarang tinggal antar ya?“ “Saya yang memotong ayam-ayam itu, Bung, tiap kali ada permintaan. Sebab ABK kebanyakan muslim, maka pilihan jatuh kepada saya. Halal katanya, hahaha...“

Semua yang hadir tertawa. Penyair Jengki berkata,“Daging soto ini tetap enak, meski yang motong sapinya kita ndak tahu, hahaha...“

“Iya, enak,“ jawabnya pula, lalu sedikit mengeluh, “Berat sekali jadi tukang jagal.“

“Justru!“ laki-laki kuda berseru, “Kau akan dapat kata-kata liar, akan...“

`'...dapat sajak-sajak ayam potong!“ potong Wirah.

Kembali tawa bergema. Kali ini ia diam. Ia agak kesal kepada Wirah yang sok tahu. Ia sendiri merasa tidak mudah beralih usaha dari sablon ke ayam potong. Bukan perkara ruang sablon jadi tempat penampungan ayam, tapi kejadian dinihari yang membuatnya merinding.

Setiap dinihari, ia akan bangun dengan kilatan pisau di tangan. Bagaimana mungkin ia memotong ayam berpuluh ekor, sedang memotong seekor saja alangkah sulit? Pernah, suatu ketika, perempuan tetangga kamarnya itu memintanya memotong ayam. Ia berusaha matimatian, meski jadi tertawaan perempuan itu.

Namun itu pula membuatnya nekat menggorokkan pisau, membuang rasa tega. Alhasil, hari itu, ia dan perempuan tetangganya yang baik hati itu pesta daging si Burik, dan sedikit ciuman yang mereka lakukan dengan tersipusipu. Berkat pengalaman itu, ia berani menerima tawaran Alit untuk mengubah usaha sablon jadi tempat pemotongan ayam. Sejak itulah, ia bersentuhan dengan darah, cacah pisau di leher yang pasrah dan keok sekelok yang memecah pagi buta!

Dan malam ini tak ada siapa pun. Sepi. Tak ada teman berbagi. Bahkan Wirah yang selalu serbatahu juga tak nongol. Padahal lumayan untuk merintang hati yang gundah, o, gaduh! Tapi ia tak ingin pula. Ia ingin sendiri, berjalan tanpa rencana, tanpa siapa-siapa. Ia berbalik.

Jika mau, ia bisa mampir di kedai pojok jembatan, memesan segelas kopi kental, atau menikmati nasi jinggo di pelataran toko Jalan Gajah Mada. Tapi tidak. Ia ingin berjalan saja, memperturutkan sejauh mana arus pikiran menyeret dirinya. Ia berjalan ke timur, menyeret terompah lusuhnya. Ia berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik yang baru pulang melantai dari diskotek di atas Pasar Kumbasari.

Dua dunia, batinnya. Di bawah, para perempuan berjaga dengan keranjang sayur-mayur, sementara di lantai atas perempuan-perempuan ini pun berjaga dalam irama musik yang menghentak. Di atas Jembatan Tukad Badung, ia ingin berteriak, entah meneriakkan apa, dan kerongkongannya tercekat. Akhirnya ia menemukan sebuah baut berkarat tergeletak di atas kerikil. Ia pungut baut berkarat itu, ia tokoktokokkan ke tiang besi jembatan yang juga berkarat. Teng! Teng! Suaranya melengking, tapi tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar. Lagi pula, siapa peduli?

O, terbuat dari apakah sebuah kota? Dari besi, aspal dan baja. Di manakah halaman sebuah kota? Di taman-taman dan alun-alun yang terbuka. Dan perlahan ia melangkah ke sana, ke arah lapangan Puputan Badung. Ia melewati toko-toko yang merapat ke sisi jalan, melewati perempatan, melintasi bank besar milik pemerintah yang berdiri berhadap muka dengan bank swasta. Lalu kantor wali kota, ah, apa saja kerja mereka? Ia bergumam, hingga terhantar di air mancur, di bawah kaki patung pahlawan. Ia ciduk air yang berlumut dengan telapak tangan, berkumur, lalu menghamburkan kuat-kuat seperti tersadar itu air lumutan.

Bersamaan dengan itu teriakkannya pecah! “Ppuuaaah!“ Bergema, menghalau burungburung malam yang bersarang di dinding kantor wali kota.

Akhirnya, ia tiba di lapangan. Rumputrumput berkilat mandi cahaya. Embun sudah turun. Daun-daun di pohonan memantulkan sinar lampu-lampu kota. Walau sudah tiba di bangku taman, dia tetap saja berjalan memutari bangku-bangku itu. Terompahnya basah, tapi ia tak hendak duduk. Ia berjalan memutari dua setengah kali lapangan itu, tanpa tahu mengapa, sampai ia kemudian merasa lelah. Ia teringat sebuah sanggar seni di Jalan Wahidin, jalan terpendek di kota itu. Ia ingin ke sana, sebagaimana biasa ia menghabiskan malamnya di ruangan yang penuh debu, melekat di koran dan buku-buku. Banyak nyamuk, sehingga kalau ia memasang krem anti nyamuk di kulitnya, ia merasa dirinya seolah Ibrahim di tengah api, dan nyamuk-nyamuk itulah api yang berdenging! Ia memutuskan ke sana.

Tiba di Jalan Sulawesi, tempat berderet toko emas dan toko kain milik pedagang keturunan Arab, ia tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingat kamarnya. Sebuah kamar, sungguh berarti saat kita terlantar di jalan. Ia ingin kembali.

Mengempaskan diri di kamar sendiri. Ya, ia putuskan lurus ke Jalan Kartini, batal ke Wahidin. Ia pilih masuk gang, mencari jalan pintas. Sebagai orang yang berjalan kaki ke mana-mana, ia tahu seluk-beluk berpuluh gang.

Grrr! Guk, guk, guk!

Baru saja masuk berapa depa ke Gang India, seekor anjing ke luar dari pekarangan, menyerbunya. Laki-laki itu terhuyung, tergeragap mundur. Tapi anjing hitam itu terus menyosornya dengan galak. Nyaris ia terjerembab ke selokan, jika saja anjing itu tak berhenti mendadak. Ia pungut sebutir batu dan ia lemparkan. Kraang! Batu itu nyasar ke dinding pagar. Ia menahan napas. Kecut. Ngeri jika pemilik rumah bangun lalu meneriakinya maling. Tidak! Tiba-tiba ia merasa sangat kasih pada dirinya. Betapa ia ingin setiap organ tubuhnya terlindungi dengan baik. Ia lihat tangannya yang kurus dalam remang cahaya malam. Tak akan dibiarkannya teraniaya. Juga kakinya. Tubuhnya. Bahkan kuku-kukunya.

Tapi, siapakah yang akan melindungi itu semua? Bahkan sesama organ tubuhnya pun terasa tak cukup mampu. Semuanya begitu ringkih, kurus dan menderita. Tapi tidak. Ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman dadanya, begitu kuat dan perkasa: semangat yang membuatnya bertahan hidup, bertahan di tanah rantau, dan menolak kata pulang. Semua itu kini menggumpal dalam dadanya, seakan dada tipis itu bakal pecah.

Ia bangkit, berontak dari kelumpuhannya.

Sepasukan anjing liar kini dalam waktu singkat telah mengepungnya --entah berdatangan dari mana. Ia lihat anjing-anjing itu bagai sepasukan nasib buruk yang harus dilawan dan dimusnahkan. Tangannya bergerak meraih batu lebih banyak. Kau tahu, batu, benda Tuhan yang keras itu, adalah peluru sejati bagi manusia yang ingin mempertahankan hidupnya di bumi! Ya, ya, sebuah batu melayang, tak lagi salah sasaran. Buk! Seekor anjing kena timpuk, barangkali patah tulang, terkaing-kaing tak keruan. Tapi yang lain merangsek maju. Sebuah batu lagi melayang. Lagi dan lagi. Dan entah pada batu ke berapa, seseorot cahaya senter meneror wajahnya!

“Diam di tempat!“ sesuara melerai ketegangan, tapi mengundang ketegangan baru. Derap langkah mendekat. Aneh, anjing-anjing mundur teratur, melesat kembali masuk gang. Sepi sebentar. Sepi yang meneror. Ia yang baru saja memperoleh separo kekuatan dirinya, kini kembali tergetar oleh kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar.

Seseorang menyambar lengannya, mencengkram seperti hendak mematahkan, “Ke sini kamu!“ Beberapa yang lain mendekat.

“Bawa ke tempat terang, Ndan!“ Tubuhnya digeser ke bawah tiang lampu jalan. Ia menekur, menghindari cahaya yang terasa setajam mata komandan --lebih tajam daripada sorot mata si anjing hitam.

“Mau ke mana malam-malam begini?“ “Saya mau pulang, Pak. Tadi dari Kumbasari.“

“Jualan apa? Di mana tinggal?“ “Nyari nasi jinggo, Pak. Saya tinggal di Jalan Bedahulu.“

“Tak ada nasi jinggo di situ?“ “Sudah habis. Tapi sebenarnya saya sekalian dari sanggar.“

“Sanggar senam?“ “Bukan. Sanggar seni, di Jalan Wahidin.“

“Mana KTP-nya?“ Ia gelagapan, merogoh dompet. Ia sodorkan kartu sanggar berlambang mata terbuka.

“Saya sudah lama di sini, Pak.“

“Hmmm, sudah lama?“ Seseorang menyahut, “Itu goblok namanya.

Sudah lama, kok tak punya KTP! Kartu lain tak berlaku, tahu? Dari mana kamu? Nak Jawa?“ “Sumatera.“

“Sumatera mana? Dekat Aceh?“ orang itu masih nyelutuk dengan kedangkalan pengetahuannya.

Ia tak lagi menjawab, sebab orang yang tadi menyenter wajahnya dan menarik lengannya sudah terlanjur berbisik, “Punya berapa di dompetmu?“ Kembali ia keluarkan dompet, menghitung uang kertas ditambah recehan. Masih saja ia dengar celutukan meniru iklan mobil irit, “Ke Bali, tak sampai empat puluh empat ribu!“ Ia memberontak. Ia masukkan kembali dompetnya, dan ia serakkan lagi uang receh ke dalam kantong celananya. Lalu ia tatap wajah orang yang menginterogasinya. “Saya tak punya uang, terserah Bapak sekarang...“

“Ndaskleng!!“ beberapa orang menggerutu serentak. Untunglah sang komandan cukup tenang, dan aneh, ia melunak.

“Ya, sudahlah, pulang saja ke kostmu! Besok urus KTP. Itu tidak sulit. Saya pernah di Jawa, dan dulu ikut orang tua transmigrasi di Lampung,“ begitu saja komandan itu membalikkan badan. Anak buahnya tampak enggan.

Tak lama, mobil pick-up di ujung gang menyala, membawa petugas Tramtib itu menjauh. Ia tiba-tiba merasa sepi. Tak ada lagi yang dilawan buat membangkitkan pemberontakan dalam diri. Atau, haruskah ia merobek-robek surat ibu di balik bantal? Entah. Ia ke luar gang.

Menyusuri kembali malam. Dirinya perlahan jinak bagai seekor rusa dikandangkan di kebun binatang sebuah kota. Entah kenapa.***
READ MORE - Malam, Sebuah Kota

Tamu di Malam Tahun Baru

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Suara Karya, 04/17/2010

Malam Tahun Baru Muram. Sejak pagi gerimis bergantian dengan hujan deras. Semalam jam 20.22 WITA atau 19.22 WIB hpku menyala dan berita yang dikirim oleh Saut Situmorang berbunyi: "Gus Dur meninggal dunia."

Tanpa basa-basi, tanpa bentuk hormat, hanya isi. Kuperlihatkan sms kepada Sonia dan pak Seken yang duduk di sebelah-belahku. Kami sedang menyaksikan pementasan drama berbahasa Inggris berjudul "The Princess" gubahan WS Gilbert dan Sullivan, yang aslinya berupa sebuah opera terkenal. Tentu saja aku tak boleh berharap mereka benar-benar mempertunjukan sebuah opera yang perlu disiapkan mungkin setahun, padahal pementasan ini merupakan tugas akhir mata kuliah drama yang hanya satu semester, sebesar dua kredit.

Cukuplah empat orang mahasiswa yang dirias cantik berperan sebagai paduan suara, terkadang mengumandangkan larik-larik puitis dan kadang menyayikan lagu merdu. Katanya, lagu-lagu itu diunduh dari internet, demikian pula sewaktu menyiapkan pementasan itu, mereka juga mengunduh drama itu lengkap, sehingga mereka punya gambaran jelas mengenai akting, setting, kostum, dan sebagainya. Walau pun demikian, mereka tentu harus bekerja ektra keras untuk mewujudkan drama yang dapat mereka pentaskan seperti adanya malam itu.

Seusia diskusi, Pak Prof Seken ingin segera pulang dan menonton TV sambil makan malam. Katanya, dia belum makan malam sebab makan siangnya juga berlangsung sore hari. Prof Seken adalah lulusan pertama Jurusan Bahasa Inggris tempatku bekerja, pada tahun 1971. Akulah pembimbing skripsi sarjana mudanya, dan kemudian dia menempuh pendidikan pada English Language Teacher Traning Program (ELTTP) di IKIP Malang selama 5 semester, program yang juga diambil oleh mahasiswa dari Iran.

Program yang didanai Ford Foundation itu memang dimaksud untuk mendidik mahasiswa tangguh untuk menjadi dosen di perguruan tinggi.

Aku sendiri sudah beberapa tahun pensiun, dan ingin segera pulang, salat, dan tidur. Kuperlukan menyalakan TV sebentar untuk melihat berita kematian Gus Dur, Presiden RI ke IV yang rasa humornya tinggi. Aku pernah baca di dalam bacaan psikologiku, bahwa seseorang yang sense of humor tinggi itu orang dengan IQ tinggi. Aku percaya itu, sebab menurut pengalamanku, seseorang yang bodoh cepat tersinggung menghadapi humor yang tidak dipahaminya.

Kadang terdengar aku tertawa terbahak sendiri ketika seseorang melontarkan humor, sementara orang lain diam saja. Ini tidak berarti aku punya IQ tinggi. Menurut kakak klasku di Fakultas Psikologi UI, Murtono Aladin, IQ kami (aku dan dua teman lain yang mungkin Anda kenal) lebih dari 143.

Aku tak begitu percaya pada IQ, atau hasil test TOEFL yang di atas 600, sebab aku selalu merasa bodoh. Aku merasakan, keberhasilan sebuah studi tidak semata-mata tergantung dari hasil tes TOEFL atau IQ yang tinggi, namun sangat tergantung pada kematangan emosional dan sosial. Hal ini kurasakan saat aku menempuh studi program Master di Inggris. Masalahku justru aku merasa asing di negeri asing itu, dan ingin segera pulang ke Singaraja. Kupikir saat itu, aku lebih mementingkan diriku sendiri dibanding dengan memikirkan anak-anakku. Untuk apa aku mencapai gelar lebih tinggi sementara anak-anakku telantar di Singaraja?

Kamis muram walau diTV aku lihat cuaca cerah saat Taufiq Kiemas ketua MPR melepas jenazah Gus Gur untuk diterbangkan ke Surabaya. Aku ingat sosok Gus Dur yang tenang itu. Kudengar, dulu di Jakarta sambil menunggu istrinya pulang bekerja di majalah Zaman di Senen, dia sering meminjam mesin tulis, mengetik di sana kolom-kolom yang cemerlang yang membuatnya menjadi kolomnis terkemuka. Waktu itu aku tak tahu bahwa kelak dia akan muncul sebagai KH Abdurrahman Wahid, sosok agama yang sangat terbuka. Waktu aku menemaninya makan pagi di Singaraja tahun 1997, kukorek dari mulutnya mengenai prediksi negeri ini di bawah Pak Lurah, dan dia nampaknya punya banyak informasi, terutama tentang apa yang akan terjadi. Katanya, nanti akan ada pergantian pemerintahan yang sudah disiapkan dari sekarang. Pertama, dia menyebut sebuah nama terkemuka yang akan menjadi Panglima TNI, dan kemudian dengan mulus akan menggantikannya. Ternyata kelak prediksinya meleset sebab bukan nama itu yan muncul, tetapi nama jenderal lain, dan akhirnya justru BJ Habibie yang menggantikannya.

Ketika aku menyebut nama koran Republika dan nama Sinansari ecip yang bukan Muhamadiyah, ternyata dia tahu bahwa Sinansari berasal dari NU. Dia berasal dari Singosari, teman sebangkuku di SMPN III Malang, dan ketika pindah ke Jakarta, dia aktif menulis di koran Duta Masyarakat milik NU. Saat Duta Masyarakat digoyang, dia menjadi redaktur Duta Revolusi yang merupakan penjelmaan Duta Masyarakat.

Aku ingat cerpenku dimuat di koran itu walau aku sudah balik ke Malang. Di Jakarta aku ingat Sinansari menumpang di rumah tokoh penting asal Singosari yang tinggal di Kawasan Menteng. Kalau tidak salah seorang menteri atau anggauta dewan. Aku tak mengira dia menjadi Presiden RI ke IV. Di dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh wartawan koran besar di Jakarta, aku bergurau: "Andaikata aku bukan penulis dusun, pasti aku sudah diangkat jadi menteri. Ini lantaran beberapa pembantu Gus Dur justru para kolomnis atau penulis.Demikian pula saat aku menulis kolom bahasa Bulog Gate dan Brunei Gate aku juga menyinggung soal kepiawaian Gus Dur berkelakar, dan aku yakin pasti dia tak pernah membacanya, ataupun kalau pembacanya tertarik tulisanku, mungkin tulisanku dibacakannya dan Gus Dur barangkali tertawa terbahak-bahak."

Waktu aku bekerja sebagai LO untuk menteri-menteri pendidikan Asean yang mengadakan pertemuan di Nusa Dua, Gus Dur datang memberikan sambutan di dalam pertemuan itu. Sebelumnya aku sudah memasuki ruangan itu, mengantar Menteri Pendidikan Thailand yang kudampingi, namun aku tidak tinggal lama disitu. Setelah menunjukkan tempat duduknya dan menyerahkan tasnya pada asisten beliau yang duduk di baris kedua, aku keluar dan kembali ke kantor panitia. Dari sana kudengar suara sirene mengaum, menandakan kedatangan Presiden RI.

Teman-teman berlari memenuhi pintu belakang gedung bertemuan itu dan melihat Gus Dur dari sana, Aula itu seperti sebuah gedung teater, panggungnya terletak di lantai bawah, dan pintu belakangnya justru terbuka ke lantai dua, tempat kantor panitia. "Gak mau lihat Gus Dur, Pak?"

Aku hanya tersenyum dan berkata: "Sudah kenal, kok." Sopir Blue Bird yang membawa menteri kemana-mana mengatakan bahwa mobil khusus untuk Gus Dur diterbangkan langsung dari Jakarta dengan helicopter yang mendarat di lapangan tempat tinggal Pangdam Udayana. Katanya, itulah mobil standar untuk presiden.

Sebuah Limousine yang kulihat diparkir di depan hotel. Eh, standar presiden! Padahal saat aku turun dari bandara di Seatle, aku dijemput sebuah limo. Pantaskan aku jadi presiden?

Malam ini cuaca sangat tidak bersahabat.

Gerimis terus menerus menetes. Padahal biasanya cuaca cerah, dan Bupati selalu menyalakan kembang api untuk rakyatnya; Saat ultah kota Singaraja, saat pergantian tahun, saat pembukaan Pameran Pembangunan di bulan Agustus. Aku terkesan akan kotaku yang merupakan kota kembang api dan kota patung.

Dimana-mana di sudut kota didirikan patung dari Patung Patih Jelantik, pahlawan Puputan Jagaraga, sampai patung Sapi Gerumbungan, seni karapan sapi khas Buleleng.

Akankah malam ini kembang api dinyalakan sementara Presiden sudah menghimbau untuk meniadakan Perayaan Tahun Baru yang berlebihan untuk menghormati kepergian Gus Dur?

Selepas Isya saat aku berada di depan komputerku, kudengar ketukan di pintu.

Apakah ada tamu? Mahasiswa yang mengantar foto pementasan semalam? Ketika kubuka pintu depan, aku terperanjat dan hanya mendengar bisikan:

"Bas!" "Selamat jalan, Gus."

Bisikku balik. Lampu di halaman depan terang benderang, demikian pula lampu jalanan sudah dinyalakan istriku semenjak maghrib. Hanya sekilas kulihat sosoknya. Mungkin dia berkeliling berpamitan pada semua kenalannya, padahal kenalannya berada di seluruh dunia.

Mungkinkah?

Wallahualam bisawab. Saat itu tiba-tiba langit cerah. Ternyata kembang api sudah meledak di langit kota. Malam Tahun Baru sudah tiba, tiga presiden RI sudah tiada, semua menderita penyakit serupa: Kecapekan memikirkan bangsa ini. Tamu malam ini sangat berarti bagiku. ***
* Singaraja 31 Desember 2009.
READ MORE - Tamu di Malam Tahun Baru

Pengakuan

Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Koran Tempo (04/18/2010)

Di Semarang, pada tanggal 31 Januari 1728, setelah mundur satu hari dari hari yang direncanakan (karena, menurut perhitungan, itu adalah hari yang buruk), dengan ditemani istri keduanya Ragasmara, Pangeran Arya Mangkunegara bersaksi di hadapan Willem Ter Smitten, Adipati Semarang, dan seorang penerjemah.


TUAN Ter Smitten yang terhormat, terima kasih atas kesempatan ini, di mana saya bisa menceritakan kejadian yang saya alami. Saya tahu cerita ini tidak akan mengubah nasib saya, tidak akan memperingan hukuman apalagi bisa membebaskan diri saya. Dengan kata lain, cerita ini tidak berguna sama sekali bagi saya. Tapi bagi Tuan, setidaknya Tuan punya dua cerita tentang kejadian buruk yang menimpa saya.

Ini kali kedua saya menceritakannya. Mungkin yang terakhir sebelum saya dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan di Pulo Kap. Di Kartasura saya telah beberkan dengan panjang lebar apa yang sesungguhnya saya alami kepada Tumenggung Nitinagara dan Tuan Residen. Interogasi yang sia-sia, Tuan. Sebagaimana Tuan tahu, Nitinagara adalah antek Patih Danureja, orang yang paling menginginkan saya tersingkir dari Kartasura. Ia sama sekali tak mempercayai cerita saya sekuat dan selengkap apa pun saya menceritakannya. Seluruh saksi yang meringankan saya telah disingkirkan. Wirasmara mati dicekik di kediaman Danureja. Mbok Wiraga diberhentikan dari pekerjaannya dan disingkirkan jauh-jauh dari kraton. Sedangkan Nitipraya diutus pergi ke Banyumas dan tak pernah kembali lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat, Tuan. Tiba-tiba saya sudah berada di dalam tandu dan dibawa ke mari.

Tuan Ter Smitten yang terhormat, cerita ini tak akan mengubah pendirian Tuan maupun Kompeni. Saya tahu kejadian ini menguntungkan seluruh kepentingan Tuan di Mataram. Tuan sama sekali tidak terlibat dalam usaha menyingkirkan saya. Tapi dengan tersingkirnya saya dari bumi Mataram, mata Tuan hanya akan tertuju pada Danureja. Saya mengerti politik, Tuan. Saya tidak bodoh. Tidak semua orang Jawa bodoh sebagaimana Tuan kira. Saya hanya tak mau lagi bermain di dalamnya. Saya hanya ingin hidup tenang bersama keluarga. Saya juga tak ada niatan sekecil apa pun untuk merebut tahta. Siapa pun tahu, sepeninggal ayah saya, sayalah yang paling mungkin menggantikannya. Saya putra tertua dan seluruh adik saya belum cukup umur untuk menjadi Sunan.

Tapi saya menerima seluruh keputusan ayahanda. Saya tak menyesal kenapa nama saya sama sekali tidak disebutkan dalam wasiat tersebut. Tahta diturunkan kepada Pangeran Adipati Anom. Jika sesuatu terjadi padanya maka tahta akan jatuh pada Buminata. Jika sesuatu kembali terjadi, tahta akan jatuh ke tangan Loringpasar. Di tengah sakitnya, nama saya telah terlupakan. Saya tahu saya cuma anak babu. Dan di mata ayah saya tetap seorang pemberontak yang gagal. Kejadian itu juga sangat menguntungkan Tuan, bukan? Seorang bocah 16 tahun menjadi sunan duduk di atas singgasana emas bermutu rendah. Tuan sendiri yang menakar nilai emas di singgasana kami. Tuan pula yang mengatakan bahwa yang sekarang duduk di atasnya bernilai lebih rendah lagi. Suksesi berjalan lancar sebagaimana yang Tuan harapkan. Usaha dagang Tuan berjalan normal. Tapi di mata Tuan saya adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan merusak seluruh usaha Tuan di tanah kami.

Tuan Willem Ter Smitten yang terhormat, sebuah bom hanya bisa meledak satu kali. Dan saya telah berjanji di hadapan Residen Kartasura di hari Minggu 2 Juni 1726 sehabis penobatan Sunan Pakubuwana bahwa saya akan tunduk pada seluruh keputusan. Maaf jika saya berpanjang-panjang. Saya hanya ingin Tuan tahu di mana saya berdiri sesungguhnya. Dan saya harus berterima kasih Tuan telah membawa saya ke Semarang dengan terhormat. Dengan sebuah tandu tertutup bersama kerabat saya. Terima kasih karena Tuan telah menolak permintaan kraton yang menginginkan saya dibawa ke Semarang dalam kerangkeng agar menjadi tontonan sepanjang jalan. Nilai saya tak serendah itu, Tuan. Nanti Tuan bisa menilainya sendiri di akhir cerita saya.

TUAN Ter Smitten yang terhormat, Pedagang Utama dan Gezaghebber Pesisir Timur Laut Jawa, saya hanya seorang duda yang sedang jatuh cinta. Tak kurang tak lebih. Dan cerita ini hanya sebuah drama cinta biasa yang telah dipelintir sedemikian jauh menjadi kisah politik yang begitu menyita perhatian hingga Batavia.

Pada tanggal 23 September 1727 isteri saya, Raden Ayu Wulan, meninggal karena cacar. Lalu sebulan kemudian Tuan berkunjung ke Kartasura. Saya yakin Tuan masih mengingatnya. Itu kunjungan pertama Tuan. Kita bertemu waktu itu. Dan Tuan tampak lega karena saya dan Danureja rukun-rukun saja, tidak seperti yang Tuan khawatirkan.

Kemudian tari Bedhaya pun digelar di pagelaran menyambut Maulud Nabi. Menyambut kedatangan rombongan Tuan. Sudah puluhan kali saya nonton Bedhaya, Tuan. Tapi entah kenapa tari Bedhaya malam itu begitu mengusik hati saya. Membuat saya nelangsa. Dan seluruh masa lalu saya datang kembali--menari di hadapan saya tanpa bisa saya kendalikan lagi. Ayu Wulan kembali duduk di pangkuan saya. Menghadirkan kembali pesona kota Blitar. Hati saya berdenyar, Tuan. Malam itu saya kembali hidup, Tuan. Sebulanan saya bagai mayat berjalan. Mati sajroning urip. Kehilangan sangkan paraning dumadi. Tapi malam itu tiba-tiba saya mendapati bahwa saya bisa hidup dalam kematian. Salah satu penari itu. Ia mirip benar dengan Ayu Wulan. Saya tak bisa tidur. Sepanjang malam penari itu menari-nari di ranjang saya. Seperti Ayu Wulan. Ia menyalakan malam-malam saya. Gusti Allah, saya mengambil air wudlu malam itu. Membasuh kulit saya yang mengelupas kekeringan. Cinta benar-benar datang malam itu. Menyapa saya serupa kawan lama.

Maaf, Tuan, kalau saya terdengar sentimentil. Di suatu masa saya adalah pemberontak yang garang--melawan ayah dan penjajah. Tapi di masa yang lain saya hanya laki-laki yang kesepian. Saya menyesal kenapa Wirasmara harus menari malam itu. Perempuan peranakan itu tak seharusnya berada di sana. Pertama karena ia seorang ratu. Kedua karena ia jadi begitu mengganggu. Jadi hantu mendiang isteri saya. Satu setengah bulan lamanya, sejak malam itu, saya jadi bulan-bulanan kenangan. Hingga akhirnya suatu malam saya kebagian tugas jaga. Saya berjaga bersama Pangeran Loringpasar, Pangeran Martasana dan Raden Purwakasuma. Mereka tak tahu apa yang tengah terjadi pada diri saya.

Tapi mereka tahu sesuatu tengah berlangsung dengan hebat dalam tubuh saya. Purwakusuma menggamit tangan saya, mengajak menepi. Apa Kangmas sakit? Ia bertanya-tanya. Lalu dengan hati-hati saya ceritakan perasaan saya. Ia bisa mengerti. Sebuah informasi yang penting segera disampaikannya. Wirasmara ternyata sudah tidak dikehendaki lagi oleh Sunan. Perempuan hadiah dari Adipati Semarang itu sebenarnya diberikan kepada ayah saya selagi beliau sakit. Ayah sama sekali tak pernah menjamahnya sampai beliau mangkat. Ia masih perawan ketika diwariskan kepada Sunan Pakubuwana. Sunanlah yang kemudian memerawani dan menghamili perempuan itu. Dan sekarang Sunan sudah bosan. Jadi mungkin saya bisa memintanya agar bisa menjadi isteri saya.

Malam itu juga saya memanggil Nitipraya, pembantu kesayangan Sunan. Di hadapan Purwakusuma saya bertanya kepadanya, apakah mungkin saya bisa meminta isteri kepada raja. Jika tidak, tolong lupakan saja pertemuan kita malam ini. Nitipraya menganggukkan kepala. Mungkin saja. Saya katakan kepada Nitipraya bahwa saya akan menerima siapa saja yang akan diberikan Sunan kepada saya. Saya katakan kepada Nitipraya agar membawa masalah ini kepada Mbok Wiraga, kepala pembantu keputren.

Empat hari kemudian, Tuan, ketika saya bertugas jaga kembali, saya memanggil Mbok Wiraga. Saya mengulangi lagi permintaan saya. Mbok Wiraga meyakinkan saya bahwa permintaan semacam itu sangat mungkin. Lalu ia mendesak saya, apakah Pangeran sudah punya pilihan. Saya tak berani menyebut nama. Itu tidak sopan bagi Sunan. Saya hanya bilang bahwa saya menginginkan seorang isteri yang wajah dan tingkah lakunya mengingatkan saya pada mendiang isteri saya. Mbok Wiraga langsung menyebut nama Wirasmara. Ia pilihan yang pas buat saya. Lagi pula Sunan sudah tidak menghendakinya. Saya hampir meledak gembira kalau saja saya tak bisa menahan diri dan menyadari bahwa semua itu belumlah terjadi. Ini baru sejumlah asumsi. Seluruh kepastian ada di tangan Sunan.

Keesokan paginya Nitipraya menemui saya. Ia bilang bahwa Mbok Wiraga sudah mengajukan permintaan saya kepada Sunan. Menurut Mbok Wiraga Sunan tak tampak keberatan. Saya boleh meminta siapa saja asal bukan Ratu Mas. Saya susah menggambarkannya, Tuan, tapi Tuan pasti bisa menebak sendiri bagaimana perasaan saya begitu mendengar kabar itu. Saya segera cabut keris pusaka dan saya berikan kepada Nitipraya. Sampaikan kepada Sunan sebagai tanda bahwa saya menerima apa pun keputusannya. Tapi Nitipraya menolaknya. Nanti saja Pangeran, kalau Pangeran sudah mendapatkan isteri baru, barulah keris ini Pangeran persembahkan bagi Sunan. Saya menurut saja. Mungkin lebih baik seperti itu. Saya tak tahu lagi mana yang terbaik yang mesti saya lakukan pagi itu. Selain menunggu.

TAPI saya bukan penunggu yang baik, Tuan Ter Smitten. Saya harus segera mendapat kepastian. Sesedikit apa pun. Siang itu juga saya memanggil Mbok Patrasari pembantu kesayangan Ibu Suri Amangkurat. Kepadanya saya katakan terus terang kehendak saya. Saya minta ia menyampaikannya kepada Ibu Suri. Sorenya Mbok Patrasari datang membawa jawaban dari Ibu Suri. Jawaban datang begitu cepat. Tapi isinya sama sekali di luar harapan saya. Ibu Suri terang-terang menolak. Ia tak setuju saya meminta Wirasmara sebagai isteri. Ia meminta saya memilih salah satu: Sutari, putri dari Raden Tohpati, atau Raden Ayu Kusuma, putri dari Pangeran Dipanagara.

Benar, Tuan Ter Smitten, dari sanalah kesalahan saya. Saya menolak keduanya. Tentunya ini membuat Ibu Suri tersinggung. Dan selanjutnya Tuan sudah mengerti sendiri bagaimana jalan ceritanya. Saya dituduh berselingkuh dengan Wirasmara. Danureja mengakhiri cerita saya dengan begitu memikat. Ia manfaatkan kekecewaan Ibu Suri. Ia manfaatkan kemarahan Sunan Pakubuwana. Bekas tukang rumput itu tahu benar bagaimana caranya menyingkirkan ilalang macam saya.

Tuan Ter Smitten, saya belum pernah sekali pun bertemu dengan Wirasmara. Saya cuma melihatnya sekali, malam itu bersama dengan Tuan, saat ia menari. Lalu bagaimana bisa saya dikatakan telah menidurinya, memalukan raja karena meniduri isterinya. Bukti yang Danureja ungkapkan memang tak bisa saya tampik. Benar bahwa perhiasan-perhiasan itu memang milik saya, perhiasan yang ditemukan di dalam kamar Wirasmara. Benar bahwa di rumah saya juga tersimpan barang-barang pemberian Wirasmara. Tapi, Tuan, barang-barang itu datang dari masa lalu. Mendiang isteri saya adalah sahabat dekatnya. Ini fakta yang terlambat saya angkat. Tentu saja mereka kerap bertukar kain dan perhiasan sebagaimana istri-istri pangeran yang lain.

Puisi cinta di dalam kotak sirih hanya membuktikan bahwa saya memang benar jatuh cinta kepadanya dan bukan saya telah merayunya untuk kemudian menidurinya. Patih Danureja benar-benar ingin menyingkirkan saya. Dengan dibuangnya saya, jalan akan semakin lempang terbuka baginya untuk menguasai Mataram. Benar itu memang puisi saya, Tuan. Saya menyalinnya sendiri dari buku yang saya pinjam dari Pangeran Loringpasar. Apa salahnya menyalin sebuah puisi cinta? Jika saja Wirasmara tidak buru-buru dibunuh ia tentu akan mengatakan hal yang sama dengan yang saya katakan: bahwa kami tak sekalipun pernah bertemu. Seharusnya Tuan menangkap Danureja karena membunuh seorang perempuan yang tak berdosa.

Tuan Willem Ter Smitten, demikian cerita saya. Sekarang saya sudah siap untuk Tuan bawa ke Batavia.

Willem Ter Smitten berusaha keras menahan air matanya. Satu bahaya telah dipadamkan. Sekarang ia bersiap menghadapi Danureja.

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Pengakuan

Orang Bunian

Cerpen Gus tf Sakai
Dimuat di Kompas (04/25/2010)

”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”

Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.

Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.

Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia.

Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang bunian.

***

Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang berbeda dikatakan samo manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak asing dengan hutan, dunia jihin dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil di sekitar.

Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga berada, salah satu dari tiga dunia?

Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya.

Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik.

Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu.

Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama, menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan.

Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa. Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan, anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari arah lain.

”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!”

”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!”

”Pintas dari Bukit Buraaaii!”

Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil melukai si babi dan si babi lari ke lakuak. Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak, memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka harus menghadang lebih dulu.

Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia, tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa teman mengikutinya. Apakah karena gelap?

Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya.

Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang bunian?

Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat- lamat ia dengar suara: orang merintih?

Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih. Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu menganga jurang.

Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi!

Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik.

Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba, sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak, hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu, mengejar seekor babi yang tampak telah terluka.

Segera ia sadar. Ada yang salah.

Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang.

Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi.

***

”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”

Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah, dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini.

Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan, teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih, mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya.

”Ayah?”

Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur, vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka, ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah. Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih, mulutnya berkata, ”Masih.” ***

Payakumbuh, 15 Maret 2010
READ MORE - Orang Bunian

Sipleg

Cerpen Oka Rusmini
Dimuat di Jawa Pos (04/25/2010)

Luh Sipleg nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serbaingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.

Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?

Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata. Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.

Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!

''Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.''

''Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.''

''Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!''

''Kau sedang hamil!''

''Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!''

Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?

''Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?'' Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.

''Kau marah padaku?'' tanya perempuan tua itu.

Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.

Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.

Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?

Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.

Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.

Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.

''Meme, Meme kenapa?'' Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.

Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.

Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.

Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat...

''Sipleg...'' Sebuah suara mematahkan langkahnya.

''Sedang apa kau di sini!'' Perempuan itu berkata dingin.

''Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?''

Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.

''Sipleg...,'' jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.

***

SEORANG dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, ''Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.''

''Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?''

''Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.''

''Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.''

''Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.''

''Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.''

''Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.''

''Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.''

''Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?''

''Ni Ketut Grubug.''

''Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.''

''Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.''

''Nama yang mengancam hidup orang lain.''

''Bukankah artinya bencana?''

''Ya, bencana yang mengerikan.''

''Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?''

Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!

***

BOCAH kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.

Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau.... Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya....

Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau daum-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.

Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. ***

Denpasar-Bali

*) Nukilan dari novel Tempurung (Garsindo Jakarta, 2010)
READ MORE - Sipleg

GENERASI “TAMU” CERPENIS INDONESIA 1980-AN

Oleh: Maman S Mahayana

maman s mahayanaPerkembangan cerpen Indonesia mutakhir, terutama memasuki satu dasawarsa 1980-an, tidak pelak lagi, banyak ditentukan oleh perkembangan media massa. Majalah Horison yang sudah sejak lama dipandang sebagai majalah sastra—satu-satunya—yang sering juga dijadikan sebagai ‘barometer’ bagi para cerpenis pemula, kini tidak lagi dianggap demikian. Setidak-tidaknya, majalah Horison tidak diperlakukan lagi sebagai satu-satunya yang dapat digunakan untuk ‘tumpuan’ para penulis pemula ‘memantapkan’ namanya sebagai cerpenis. Dengan demikian, majalah Horison juga kini bukanlah media satu-satunya yang dapat dianggap berperan memajukan perkembangan cerpen Indonesia. Dengan perkataan lain, media massa di luar Horison, teristimewa surat-surat kabar mingguan yang justru berperan dalam memunculkan nama-nama baru dalam deretan cerpenis Indonesia.

Di ibu kota saja kita dapat mencatat nama-nama surat kabar yang menyediakan rubrik tetap untuk cerpen. Beberapa di antaranya, Kompas, Media Indonesia, Suara Karya Minggu, Pelita, Suara Pembaruan, Republika, dan Bisnis Indonesia. Daftar itu belum termasuk majalah dan mingguan, seperti Ulumul Qalam, Amanah, Panji Masyarakat, Matra, Kartini, Pertiwi, Femina, Mutiara, Nova, Wanita Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainnya yang tentu akan menjadi daftar panjang jika kita catat semua.

Surat-surat kabar daerah ternyata juga melakukan hal yang sama; menyediakan rubrik untuk cerpen. Sekedar menyebut beberapa di antaranya, Bali Post (Bali), Jawa Post, Surabaya Post (Surabaya), Berita Nasional, Minggu Pagi (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung); di luar Jawa, antara lain, Atjeh Post (Aceh), Waspada (Medan), Sriwijaya Post (Palembang), Riau Post (Riau), dan tentu masih banyak lagi. Yang menarik, beberapa media profesi atau buletin yang khusus untuk kalangan tertentu, juga menyediakan rubrik untuk cerpen. Ini sebuah fenomena menarik; apakah cerpen memang banyak diminati atau terlalu banyak orang yang ingin menulis cerpen; atau secara naif dapat dikatakan: apakah sekedar mengisi halaman kosong?[1]

Terlepas dari persoalan itu kenyataannya, bahwa keadaan tersebut merupakan hal yang sangat menggembirakan dan sekaligus juga berpengaruh besar bagi perkembangan cerpen Indonesia. Dengan begitu, banyaknya media yang menyediakan rubrik tetap untuk cerpen, telah memungkinkan nama-nama baru bermunculan yang lalu diikuti dengan terbitnya antologi-antologi cerpen.

Fenomena tersebut menjadi makin jelas, betapa media massa itu besar pengaruhnya bagi perkembangan cerpen Indonesia mutakhir tampak jika kita mengamati penerbitan-penerbitan antologi cerpen yang muncul belakangan ini. Hampir seluruh cerpen yang terdapat dalam antologi itu, pernah dimuat di berbagai majalah maupun surat kabar mingguan. Dan hanya sebagian kecil yang pernah dimuat Horison.

Keadaan tersebut didukung pula oleh munculnya semacam tradisi menyelenggarakan lomba penulis cerpen. Radio Nederland, misalnya, sejak 1965 telah dua kali menyelenggarakan Sayembara Cerpen Kincir Emas. Sekali dilakukan tahun 1975 yang kemudian menghasilkan buku antologi Dari Jodoh sampai Supiyah (Djambatan, 1976)[2] dan yang kedua dilakukan tahun 1988 yang menghasilkan antologi Paradoks Kilas Balik (Pustaka Sinar Harapan, 1989). Majalah Kartini, Femina, serta harian Suara Pembaruan (1991) dan Kompas (1990)[3] juga melakukan hal yang sama. Bahkan yang disebut belakangan (Kompas) secara khusus menerbitkan antologi yang berisi cerpen-cerpen pilihan yang pernah dimuat harian itu dalam satu tahun. Hasilnya adalah Kado Istimewa (Gramedia, 1992).

Ada beberapa hal menarik yang dapat kita simpulkan dari gejala tersebut.

Pertama, gejala itu sekaligus mempertegas bahwa sinyaleman sastra Indonesia terpencil dari masyarakatnya, sesungguhnya tidaklah benar.

Kedua, tersedianya rubrik tetap untuk cerpen yang dapat kita jumpai dalam berbagai surat kabar dan majalah, memperlihatkan bahwa minat membaca—dan sekaligus juga menulis—cerpen jauh lebih besar dibandingkan dengan membaca—dan menulis—novel, puisi, atau drama.

Ketiga, sangat boleh jadi gejala itu ditentukan juga oleh honorarium yang cukup lumayan yang diberikan media massa yang menyediakan rubrik itu.

Keempat, media massa yang bersangkutan juga berkepentingan dan tentu merasakan keuntungannya atas keberadaan rubrik khusus untuk cerpen. Adanya lomba penulisan cerpen merupakan salah satu bukti bahwa media massa itu sangat berkepentingan dengan rubrik tersebut.[4]

II

Membandingkan jumlah cerpen yang muncul setiap minggu dengan jumlah antologi cerpen yang terbit dalam lima tahun terakhir ini, agaknya masalah penerbitan merupakan salah satu kendala yang tidak dapat dihindarkan. Di antara para penulis cerpen yang karyanya biasa menghiasi berbagai media massa, sedikit sekali yang sudah menerbitkan antologinya sendiri. Jadi, di antara para penulis cerpen itu, sebagian besar karyanya justru masih berupa cerpen-cerpen lepas; belum diterbitkan sebagai buku antologi cerpen sendiri.

Dari pemantauan sepintas, jumlah buku antologi cerpen yang terbit antara tahun 1987—1992, tidak lebih dari 20 buah. Dari jumlah itu, sebagian besar masih didominasi oleh sastrawan yang namanya sudah tidak asing lagi bagi pengamat sastra Indonesia, di antaranya adalah Danarto (Berhala, 1987), Aryanti[5] (Kaca Rias Antik, 1987), Eka Budianta[6] (Api Rindu,1987), Satyagraha Hoerip (Sesudah Bersih Desa, 1989), Ahmad Tohari (Senyum Karyamin, 1989), A. A. Navis (Bianglala, 1990), Korrie Layun Rampan (Ratapan, 1991), Ray Rizal[7] (Dalang, 1991), dan Kuntowijoyo (Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, 1992). Jika kita menengok ke belakang, deretan nama itu tentu akan lebih panjang lagi. Sekedar menyebut beberapa, di antaranya adalah Putu Wijaya, Hamid Jabar, Fudoli Zaini, Faisal Baras, Sori Siregar, dan sastrawan angkatan sebelumnya.[8]

Dalam masa lima tahun itu, muncul nama Leila S. Chudori (Malam Terakhir, 1989), dan Yanusa Nugroho (Bulan Bugil Bulat, 1990). Antologi mereka ternyata sangat menjanjikan; bahasanya lancar dan memperlihatkan kematangan dan intelektualitas yang dimiliki ketiga cerpenis itu dalam menggarap, mengolah, dan menyajikan tema cerpen-cerpen mereka.

Sementara itu, terbitnya Paradoks Kilas Balik (1989), Kado Istimewa (1992), dan adanya Lomba Penulisan Cerpen Kompas 1990, kiranya perlu mendapat sorotan tersendiri mengingat di antara nama para cerpenis yang sudah kita kenal, muncul pula nama-nama baru. Nama-nama baru dalam pengertian yang sesungguhnya, datang pula dari Riau lewat antologi cerpen berjudul Teh Hangat Sumirah (Pucuk Rebung, 1992). Kecuali dari yang disebut terakhir, sedikitnya ada empat nama yang perlu mendapat perhatian, yaitu Kurnia Jaya Raya, Hudri Hamdi, Linda Christanty, dan Ray S. Anityo Dyanoe. Cerpen-cerpen mereka—harus diakui—belumlah berlimpah, namun kehadiran cerpen-cerpen mereka laksana masih dalam rangka sebagai “tamu” itu, agaknya memberi banyak harapan. Oleh karena itu, patutlah kiranya menjadi bahan perhatian kita.[9]

III

Kurnia Jaya Raya dan Linda Christanty tiba-tiba namanya menyeruak di antara para cerpenis mapan ketika keduanya dinyatakan sebagai pemenang Lomba Penulisan Cerpen Kompas 1990. Cerpen Kurnia yang berjudul “Kristina” adalah pemenang II, sedangkan cerpen Linda yang berjudul “Daun-Daun Kering” adalah pemenang harapan. Beberapa cerpen Kurnia dan Linda kemudian muncul di beberapa harian ibukota.

Ada perbedaan mencolok dalam cara penyajian kedua cerpenis muda ini. Cara penyaijian Kurnia yang dalam cerpennya yang kemudian, seperti yang pernah dimuat di Harian Pelita “Aku dan Tuhan” dan di Horison (Maret, 1992, “Pada Suatu Pagi”), tampak—sedikit banyak—dipengaruhi gaya penulisan Iwan Simatupang. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dibiarkan mengembara dengan pikiran dan perenungannya sendiri. Dengan demikian, jalinan ceritanya juga mengalir mengikuti pikiran dan perenungan tokohnya. Akibatnya, identitas dan nama tokoh menjadi tidak penting lagi. Dan memang, tidak banyak keterangan mengenai latar sosial tokoh-tokoh yang bersangkutan, betapapun sedikit sekali tokoh yang ditampilkan di situ. Dalam cerpen “Aku dan Tuhan”, tokoh “Aku” seolah-olah sengit berdialog (: berdebat) dengan Tuhan. Ia menuntut haknya sebagai manusia. Tetapi yang dituntut entah berada di mana, karena sesungguhnya ia berdialog dengan dirinya sendiri.

Cara penyajian sepertin ini, sebenarnya sudah tampak dalam cerpen “Kristina”. Tokoh aku sedang dalam perjalanan kereta, seakan-akan menciptakan dan menghadirkan tokoh Kristina berada di hadapannya. Padahal, kenyataannya adalah seperti ini:

Dengan perasaan setengah putus asa kutaruh kotak kue yang hangat itu, lalu duduk di sisinya sambil menghela napas. Aku berangan-angan: menyisir rambutnya, kemudian mencium dahinya, serta menyeka air matanya yang menggenang hangat.

(Beberapa alinea berikutnya diceritakan awal pertemuan tokoh Aku dengan Kristina. Baru kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut.)

Perlahan-lahan kemudian lanskap tampak meredup, menjadi remang-reamang, lalu sirna. Kini yang terbentang adalah lanskap gelap di luar jendela kereta. Mungkin aku tertidur tadi.

Belum nampak juag tanda-tanda fajar. Kereta terus melaju.

Aku sendirian. Tiada Kristina.

Hampir senada dengan kedua cerpen di atas, dalam cerpen “Pada Suatu Pagi”, Kurnia menampilkan tokoh seorang lelaki yang ingin bebas dari segala kerutinan hidup. Sementara itu, cara penyajiannya masih serupa dengan cerpen-cerpen sebelumnya; jalinan ceritanya mengalir mengikuti lakuan, pikiran, dan perasaan tokoh yang bersangkutan.

Matahari pagi ini tak lagi menumpukkan kewajiban yang menindih tiap-tiap jiwa yang harus bangun dan pergi mandi. Cuma diri sendiri yang berhak atas kehidupan pribadi, bukan matahari…Karena dia tak lagi merasa wajib untuk sarapan. Kerja makan hanyalah penambah beban bagi tubuh. Karena makan itulah tubuh mesti berkotoran pula. Lantas, mana kebebasan diri untuk menciptakan kesucian diri? Sementara kerutinan yang dikendalikan matahari dan jarum jam tak pernah peduli. Dan kita rela diperbudak terus-menerus. Demikian renungannya.

Begitulah, lelaki itu merasa telah terbebas dari rutinitas. Ia merasa telah memperoleh kemenangan, dan merasa kasihan kepada mereka yang diperbudak oleh berbagai kebutuhan. Maka, ketika seorang bandit yang bermaksud merampoknya dapat ia taklukkan, ia merasa perlu menasihati bandit itu.

Dia melepaskan cekalannya. Dia merasa telah mendermakan sesuatu, dan secuil keyakinan bahwa bandit itu bakal merenungi kata-katanya. Dilihatnya bandit itu tak bertenaga lagi, bersandar ke dinding, tersengal.

“Pergilah sesukamu. Carilah kebebasanmu.”

Apa yang terjadi kemudian, si Bandit terbebas, ia segera memungut kembali pistolnya dan kemudian menembak lelaki itu. Lelaki itu pun ambruk.

Cerpen ini mengingatkan saya pada novel Koong (Pustaka Jaya, 1975) karya Iwan Simatupang. Tetapi terlepas dari soal pengaruh, jalinan cerita cerpen ini lebih banyak dibangun oleh pikiran-pikiran si tokoh yang dibiarkan begitu saja seolah-olah tanpa kendali.

Cara penyajian yang seperti ini juga terasa kuat pada diri Ray S. Anityo Dyanoe dalam cerpennya, “Paradoks Kilas Balik”. Cerpen pemenang Pertama Sayembara Kincir Emas Tahun 1988 itu, menampilkan tokoh “Saudara Kita” mantan pejuang yang menggelandang menjadi tukang becak. Cerpennya sendiri dibagi ke dalam empat bagian, yaitu “Prolog” yang mencoba mendeskripsikan sosok tokoh utama, Saudara Kita; “Monolog” yang menggambarkan keadaan tokoh Saudara Kita selaku tukang becak yang berbeda dengan tukang becak lainnya; “Dialog” yang mempertemukan tokoh Saudara Kita dengan bekas musuhnya sewaktu ia menjadi pejuang. Bekas musuhnya yang orang Belanda, menyadarkan Saudara Kita bahwa permusuhan sudah berakhir dan kini bangsa Indonesia perlu membangun dirinya sendiri; dan “Epilog” yang merupakan akhir cerita yang bahagia, karena bekas musuhnya kini pulang ke negerinya dengan membawa seorang pemuda, anak angkat Saudara Kita untuk menuntut ilmu di sana agar kelak pemuda itu dapat berguna bagi bangsanya.

Ringkasan tersebut di atas menggambarkan sebuah pola alur yang jelas. Memang demikian. Persoalannya menjadi jelas jika kita mengingat bahwa cerpen ini sengaja ditulis untuk sebuah lomba yang diselenggarakan Radio Nederland. Jadi, dalam hal ini pengarang telah menyesuaikan sedemikian rupa karya kreatifnya untuk kepentingan sayembara.

Walaupun demikian, cara penyajiannya begitu lancar, mengalir dan hanya tampak “direkayasa” hanya pada bagian “Epilog”-nya. Lebih daripada itu, cara penyajiannya yang demikian itu, agaknya menyerupai cara penyajian yang dilakukan Iwan Simatupang. Kalimat-kalimat pendek yang deras mengalir. Perhatikan kutipan di bawah ini:

Dia adalah manusia. Manusia biasa seperti kita…. Dia manusia pekerja. … baginya hidup adalah kerja, dan kerja adalah hidup. Singkatnya: kerja, kerja, dan kerja.

Cara penyajian dengan bahasa yang mengalir lancar ini juga diperlihatkan Linda Christanty. Cerpennya, “Daun-Daun Kering” yang memenangkan hadiah harapan Sayembara HUT ke-25 Kompas mengandung kekuatan terebut. Secara tematik, cerpen itu sama sekali tidak istimewa; seorang wanita muda batal melangsungkan perkawinan, lantaran kekasihnya terpikat oleh janda-cantik-kaya. Tetapi tema yang sederhana ini menjadi begitu menarik karena si pengarang ‘membiarkan” tokohnya bercerita sendiri; tentang apa saja yang ada di dalam pikiran si tokoh yang bersangkutan.

Kubuang segenap angan serta bentu-bentuk khayal yang setia menanggapi keresahan emosi wanitaku….

Aku pikir sungguh aneh, setelah aku berpisah dengan Karl mendadak rasa tertekan bercampur lelah bertubi-tubi hilang sama sekali. Walau kekecewaan belum seluruhnya pupus. Ya, bagaimanapun perempuan masih saja tak berdaya. Sekalipun niali-nilai kewanitaan banyak mengalami kemajuan. Salah siapa?

Aku tidak mau seperti daun-daun kering terusir dari pohon. Tersia-sia, Karl lebih beruntung, seperti daun-daun mangga kering melayang ke kamarku. Lebih terhormat dari semestinya.

Sekitar dua puluhan cerpen yang telah dihasilkan Linda dan dimuat di berbgai media massa, juga mengandung kekuatan seperti ini. Tema-temanya juga lebih banyak menyangkut masalah keseharian yang sebenarnya tidak terlalu istimewa dalam pengertian sebagai tema yang mengandung gagasan besar; universal. Cerpen “Cium” (Bisnis Indonesia, 10 Januari 1993), misalnya mengangkat persoalan dua kekasih yang sama-sama ingin berciuman, tetapi juga sama-sama merasa jijik untuk saling mencium. Tetapi dengan begitu keduanya sama-sama merasa telah melakukan kesalahan. Beberapa cerpennya yang lain (“Lakon”, Mutiara, Minggu III, Juni 1991 dan “Dalam Kereta Pukul Tiga”, Suara Karya Minggu, Minggu IV Oktober 1991), masih mengangkat persoalan perpisahan dua kekasih. Jadi, masih sejenis dengan tema “Daun-Daun Kering”.

Dari jajaran generasi “tamu” cerpenis Indonesia mutakhir, agaknya cara penyajian dan tutur cerita yang dilakukan Hudri Hamdi, berbeda dengan cerpenis yang sudah disebutkan terdahulu. Nuansa peristiwa yang terasa kuat dalam cerpen-cerpen Kurnia, Ray, dan Linda, kurang—bahkan tidak—begitu menonjol. Yang tampak kuat justru gaya realisnya yang berusaha mengangkat suasana latar dan konflik batin tokohnya secara gamblang. Gambaran tersebut tampak—terutama—dalam dua cerpennya, “Selongsong Kehidupan” dan “Petaka Kampar”. Sangat kebetulan kedua cerpen itu mengangkat persoalan yang dihadapi buruh kecil, sehingga—seperti dikatakan Subagio Sastrowardojo—sentuhan realismenya terasa lebih pas.

“Selongsong Kehidupan” menggambarkan nasib buruh pabrik yang setiap saat dihantui PHK—Pemutusan Hubungan Kerja—(pemecatan). Betapapun cerpen ini ditutup dengan akhir yang bahagia, tokoh Pak Dugul yang tetap bekerja dan Factory Manager-nya yang orang Belanda menikah dengan salah seorang karyawati pabrik itu, gambaran kegelisahan para buruh pabrik, cukup berhasil ditampilkan secara meyakinkan sebagai pembungkus keseluruhan peristiwa dalam cerpen itu. Sayang akhir cerita yang bahagia terasa agak dipaksakan. Walaupun begitu, kita tentu memahami bahwa cerpen ini sengaja ditulis untuk kepentingan lomba yang diselenggarakan oleh radio Belanda. Dengan begitu, kreativitas penulis cepen ini sesungguhnya sudah diatur sedemikian rupa, seperti juga yang tampak dalam cerpen Ray, “Paradoks Kilas Balik”.

Persoalannya menjadi lebih jelas jika kita menyimak cerpen “Petaka Kampar”. Tokoh Mu’id mengalami musibah, tertimpa dahan pohon ketika para buruh kayu bekerja menebangi hutan di kawasan Kampar di Sumatra. Tiga belas bulan perawatan dan usaha operasi untuk menyambung tulang pahanya yang patah, tidak membawa hasil apa-apa. Mu’id terpaksa dibawa ke Jakarta untuk operasi lebih lanjut. Tetapi hasilnya hanya ada dua kemungkinan: operasi berhasil atau salah satu kaki Mu’id diamputasi! Sebuah akhir yang terbuka. Dan kita dipersilakan untuk menebak sendiri, bagaimana nasib Mu’id, nasib keluarganya selanjutnya.

Kira-kira itu inti ceritanya. Yang menarik justru terletak pada gambaran realistik tentang keadaan keluarga Mu’id. Soalnya, Mu’id ternyata tulang punggung ibu dan adik-adiknya yang tergolong keluarga wong cilik. Musibah yang menimpanya berarti juga malapetaka bagi keluarganya. Bahwa sentuhan realisme itu terasa mengharukan, karena cerita itu dituturkan justru oleh adiknya sendiri yang merasakan, betapa Mu’id tampil sebagai sosok pahalwan keluarga.

Sekitar lebih dari dua puluhan cerpen yang dihasilkan Hudri Hamdi mempunyai kekuatan dalam bentuk realisme seperti itu. Sebagian besar tokoh cerita yang ditampilkannya, juga tokoh-tokoh masyarakat bawah atau orang-orang yang tersisih, kecuali dua buah cerpennya yang berjudul “Tabir” dan “Sang Imam” (Media Indonesia, 21 Januari 1990). Kedua cerpen itu memang tidak menampilkan tokoh wong cilik, tetapi bentuk realismenya terasa begitu kuat sehingga cenderung menjurus ke surealisme.

Barangkali keadaannya didukung oleh tema cerita yang menghadirkan dunia gaib. Cerpen “Tabir”, yang mengambil latar di kota Stavanger, Norwegia, misalnya, menceritakan pertemuan saudara si tokoh “aku”—tokoh “aku”-nya sendiri sebenarnya tidak hadir dalam peristiwa itu—dengan tokoh Merias Jelszu ketika saudara si tokoh “aku” sedang mencari alamat temannya, Wilando. Ternyata, Merias Jelszu masih seketurunan dengan kakek-nenek pemilik kamar kos yang ia tempati. Belakangan ketika ia hendak pindah kos, ia mendapati dirinya berada di tengah deretan batu nisan. Dan salah satu batu nisan itu, bertuliskan Merias Jelszu.

Cerpen “Sang Imam” juga bercerita tentang dunia gaib. Tokoh aku yang dengan beberapa temannya sednag melakukan penelitian di sebuah hutan belantara tanpa sengaja memasuki kehidupan para jin. Ketika ia hendak melakukan sembahyang magrib, ia merasa berada di sebuah masjid yang dipenuhi para jamaah bersorban dan berjubah putih. Yang menarik perhatian tokoh aku adalah Sang Imam masjid itu yang ternyata berulang kali datang menjumpainya. Perhatikan kutipan berikut ini.

Dalam masa-masa penantian, rasanya hanya fajar menyingsinglah sebagai kelegaanku bagi hilangnya rasa takut. Yang seolah mata rantai yang tak putus-putus sepanjang saat, sepanjang malam. Bayangan lingkungan sekitar pun, terutama batu besar itu, terasa begitu kuatnya melekat di benak.

Dalam kehidupan malam, kelelapanku pula, aku mersakan lelap di batu besar itu. Tapi banyak kursi di sana. Pula ada meja bulat-panjang dan sebuah singgasana tempat Sang Imam itu berada. Sebuah altar, yang mirip altar istana dalam dongeng-dongeng kerajaan, tergelar di ujung timurnya….

Dan selama kelelapanku Sang Pengkhotbah itu kerap mendatangiku. Ia datang dan pergi. Begitu yang kerap terjadi pada hampir sepanjang malam, sepanjang penantian hari H. Ia mengelus-elus, mengelus-elus sambil tersenyum. Tapi matanya itu…. Entah apa maunya, apa maksudnya. Aku tak kuasa bertanya….

Lalu bagaimana akhir ceritanya? Tidak begitu jelas, apakah tokoh aku pada akhirnya memasuki dunia makhluk-makhluk bersorban dan berjubah putih atau dapat kembali pulang bersama teman-temannya.

Demikianlah cerpen-cerpen Hudri Hamdi yang lain pun sebenarnya cenderung mengandung kekuatan realismenya. Sayang sekali, sejauh ini, ia belum menelurkan kumpulan cerpennya sendiri, sama halnya dengan Linda Christanty yang jika dilihat dari jumlah karya yang dihasilkan sudah cukup untuk sebuah antologi.

IV

Pengamatan lebih lanjut pada cerpen-cerpen penulis lainnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, tentulah memerlukan konsentrasi tersendiri. Bukan mustahil pula, di antaranya tampil cerpenis generasi “tamu” yang penuh harapan dan amat menjanjikan. Sudah saatnya pula para penerbit bersedia menerbitkan karya-karya mereka sebagai wujud pengakuan kita pada kreativitas dan produktivitas mereka. Dengan begitu, “Sang Tamu” akan merasa tidak lagi menjadi “tamu”, betah tinggal dalam dunia yang dimasukinya dan kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan “pemilik rumah”. Dan pemilik rumah itu adalah warga sastra Indonesia.

Satu langkah berani dilakukan penerbit Pucuk Rebung di Riau. Antologi Teh Hangat Sumirah (1992) berisi enam buah cerpen yang berasal dari empat penulis muda; muda dalam usia dan muda dalam berkarya. Secara kualitatif, karya mereka—harus diakui—masih mengandung sejumlah kelemahan. Sungguhpun begitu, usaha penerbit itu untuk menerbitkan karya mereka patutlah kita hargai.

Semoga!

CATATAN

[1] Sapardi Djoko Damono dalam Kata Pengantar kumpulan cerpen Bulan Bugil Bulat (Pustaka Utama Grafiti, 1990) karya Yanusa Nugroho, menyinggung masalah ini sebagai “ketegangan selera” antara selera pribadi (redaksi) dan khalayak pembaca

Afrizal Malna dalam artikelnya, “Generasi Cerpen di Hari Minggu, Selamat Pagi” (Kompas, 21 Maret 1993), juga mengupas cerpen yang muncul setiap Minggu dengan titik perhatian pada cerpen yang dimuat Kompas, Republika, dan Media Indonesia.

[2] Ahmad Tohari dan Mangunwijaya, konon mengawali kiprahnya dalam kegiatan menulis fiksi, lewat sayembara ini.

[3] Sayang sekali, hingga kini hasil Lomba Cerpen yang diselenggarakan Kompas dan Suara Pembaruan belum juga diterbitkan.

[4] Menurut keterangan lisan F.X. Mulyadi dari Kompas dan Ahmad Tohari dari majalah Amanah yang menangani rubrik sastra dan budaya, bahwa cerpen yang masuk ke meja redaksi dalam seminggu lebih dari sepuluh buah yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Jumlah itu tentu akan membengkak sedemikian banyak jika kita juga mencatat cerpen yang masuk redaksi semua media massa yang ada di tanah air.

[5] Pseudonim Prof. Dr. Haryati Subadio, Mantan Mensos.

[6] Eka Budianta sebenarnya lebih dikenal sebagai penyair; semacam dengan Ahmad Tohari dan Kuntowijoyo yang lebih dikenal sebagai novelis. Sejauh pengamatan saya, antologi cerpen Eka Budianta, Ahmad Tohari, dan Kuntowijoyo yang disebutkan itu merupakan kumpulan cerpen mereka yang pertama.

[7] Ray Rizal sebelumnya lebih dikenal juga dengan nama Ray Fernandes.

[8] Buku antologi cerpen Indonesia yang dapat dianggap muwakil (representatif), terutama dilihat dari mutu karyanya—dari beberapa segi—pernah disusun Satyagraha Hoerip (Cerita Pendek Indonesia I—IV, Gramedia, 1986). Buku antologi cerpen yang terdiri dari empat jilid itu, masing-masing memuat 30 karya cerpenis Indonesia. Jadi, seluruhnya memuat 120 karya cerpenis Indonesia, mulai Matu Mona (lahir 15 Juli 1910) sampai Rainy MP Hutabarat (lahir 28 Oktober 1962). Dalam keempat jilid itu, tidak dimuat cerpen dua perintis penulisan cerpen Indonesia, Mohammad Kasim dan Suman Hs. dan belum termuat karya Ahmad Tohari, Leila S. Chudori, dan Yanusa Nugroho.

[9] Pembicaraan dalam makalah ini sengaja lebih memfokuskan pada beberapa cerpen para penulis “tamu” mengingat topik yang diberikan panitia, “Perkembangan Cerpen Mutakhir Indonesia” (1980—1990) terlalu luas dan memerlukan penelitian yang lama.

Sumber: mahayana-mahadewa.com
READ MORE - GENERASI “TAMU” CERPENIS INDONESIA 1980-AN