Tamu di Malam Tahun Baru

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Suara Karya, 04/17/2010

Malam Tahun Baru Muram. Sejak pagi gerimis bergantian dengan hujan deras. Semalam jam 20.22 WITA atau 19.22 WIB hpku menyala dan berita yang dikirim oleh Saut Situmorang berbunyi: "Gus Dur meninggal dunia."

Tanpa basa-basi, tanpa bentuk hormat, hanya isi. Kuperlihatkan sms kepada Sonia dan pak Seken yang duduk di sebelah-belahku. Kami sedang menyaksikan pementasan drama berbahasa Inggris berjudul "The Princess" gubahan WS Gilbert dan Sullivan, yang aslinya berupa sebuah opera terkenal. Tentu saja aku tak boleh berharap mereka benar-benar mempertunjukan sebuah opera yang perlu disiapkan mungkin setahun, padahal pementasan ini merupakan tugas akhir mata kuliah drama yang hanya satu semester, sebesar dua kredit.

Cukuplah empat orang mahasiswa yang dirias cantik berperan sebagai paduan suara, terkadang mengumandangkan larik-larik puitis dan kadang menyayikan lagu merdu. Katanya, lagu-lagu itu diunduh dari internet, demikian pula sewaktu menyiapkan pementasan itu, mereka juga mengunduh drama itu lengkap, sehingga mereka punya gambaran jelas mengenai akting, setting, kostum, dan sebagainya. Walau pun demikian, mereka tentu harus bekerja ektra keras untuk mewujudkan drama yang dapat mereka pentaskan seperti adanya malam itu.

Seusia diskusi, Pak Prof Seken ingin segera pulang dan menonton TV sambil makan malam. Katanya, dia belum makan malam sebab makan siangnya juga berlangsung sore hari. Prof Seken adalah lulusan pertama Jurusan Bahasa Inggris tempatku bekerja, pada tahun 1971. Akulah pembimbing skripsi sarjana mudanya, dan kemudian dia menempuh pendidikan pada English Language Teacher Traning Program (ELTTP) di IKIP Malang selama 5 semester, program yang juga diambil oleh mahasiswa dari Iran.

Program yang didanai Ford Foundation itu memang dimaksud untuk mendidik mahasiswa tangguh untuk menjadi dosen di perguruan tinggi.

Aku sendiri sudah beberapa tahun pensiun, dan ingin segera pulang, salat, dan tidur. Kuperlukan menyalakan TV sebentar untuk melihat berita kematian Gus Dur, Presiden RI ke IV yang rasa humornya tinggi. Aku pernah baca di dalam bacaan psikologiku, bahwa seseorang yang sense of humor tinggi itu orang dengan IQ tinggi. Aku percaya itu, sebab menurut pengalamanku, seseorang yang bodoh cepat tersinggung menghadapi humor yang tidak dipahaminya.

Kadang terdengar aku tertawa terbahak sendiri ketika seseorang melontarkan humor, sementara orang lain diam saja. Ini tidak berarti aku punya IQ tinggi. Menurut kakak klasku di Fakultas Psikologi UI, Murtono Aladin, IQ kami (aku dan dua teman lain yang mungkin Anda kenal) lebih dari 143.

Aku tak begitu percaya pada IQ, atau hasil test TOEFL yang di atas 600, sebab aku selalu merasa bodoh. Aku merasakan, keberhasilan sebuah studi tidak semata-mata tergantung dari hasil tes TOEFL atau IQ yang tinggi, namun sangat tergantung pada kematangan emosional dan sosial. Hal ini kurasakan saat aku menempuh studi program Master di Inggris. Masalahku justru aku merasa asing di negeri asing itu, dan ingin segera pulang ke Singaraja. Kupikir saat itu, aku lebih mementingkan diriku sendiri dibanding dengan memikirkan anak-anakku. Untuk apa aku mencapai gelar lebih tinggi sementara anak-anakku telantar di Singaraja?

Kamis muram walau diTV aku lihat cuaca cerah saat Taufiq Kiemas ketua MPR melepas jenazah Gus Gur untuk diterbangkan ke Surabaya. Aku ingat sosok Gus Dur yang tenang itu. Kudengar, dulu di Jakarta sambil menunggu istrinya pulang bekerja di majalah Zaman di Senen, dia sering meminjam mesin tulis, mengetik di sana kolom-kolom yang cemerlang yang membuatnya menjadi kolomnis terkemuka. Waktu itu aku tak tahu bahwa kelak dia akan muncul sebagai KH Abdurrahman Wahid, sosok agama yang sangat terbuka. Waktu aku menemaninya makan pagi di Singaraja tahun 1997, kukorek dari mulutnya mengenai prediksi negeri ini di bawah Pak Lurah, dan dia nampaknya punya banyak informasi, terutama tentang apa yang akan terjadi. Katanya, nanti akan ada pergantian pemerintahan yang sudah disiapkan dari sekarang. Pertama, dia menyebut sebuah nama terkemuka yang akan menjadi Panglima TNI, dan kemudian dengan mulus akan menggantikannya. Ternyata kelak prediksinya meleset sebab bukan nama itu yan muncul, tetapi nama jenderal lain, dan akhirnya justru BJ Habibie yang menggantikannya.

Ketika aku menyebut nama koran Republika dan nama Sinansari ecip yang bukan Muhamadiyah, ternyata dia tahu bahwa Sinansari berasal dari NU. Dia berasal dari Singosari, teman sebangkuku di SMPN III Malang, dan ketika pindah ke Jakarta, dia aktif menulis di koran Duta Masyarakat milik NU. Saat Duta Masyarakat digoyang, dia menjadi redaktur Duta Revolusi yang merupakan penjelmaan Duta Masyarakat.

Aku ingat cerpenku dimuat di koran itu walau aku sudah balik ke Malang. Di Jakarta aku ingat Sinansari menumpang di rumah tokoh penting asal Singosari yang tinggal di Kawasan Menteng. Kalau tidak salah seorang menteri atau anggauta dewan. Aku tak mengira dia menjadi Presiden RI ke IV. Di dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh wartawan koran besar di Jakarta, aku bergurau: "Andaikata aku bukan penulis dusun, pasti aku sudah diangkat jadi menteri. Ini lantaran beberapa pembantu Gus Dur justru para kolomnis atau penulis.Demikian pula saat aku menulis kolom bahasa Bulog Gate dan Brunei Gate aku juga menyinggung soal kepiawaian Gus Dur berkelakar, dan aku yakin pasti dia tak pernah membacanya, ataupun kalau pembacanya tertarik tulisanku, mungkin tulisanku dibacakannya dan Gus Dur barangkali tertawa terbahak-bahak."

Waktu aku bekerja sebagai LO untuk menteri-menteri pendidikan Asean yang mengadakan pertemuan di Nusa Dua, Gus Dur datang memberikan sambutan di dalam pertemuan itu. Sebelumnya aku sudah memasuki ruangan itu, mengantar Menteri Pendidikan Thailand yang kudampingi, namun aku tidak tinggal lama disitu. Setelah menunjukkan tempat duduknya dan menyerahkan tasnya pada asisten beliau yang duduk di baris kedua, aku keluar dan kembali ke kantor panitia. Dari sana kudengar suara sirene mengaum, menandakan kedatangan Presiden RI.

Teman-teman berlari memenuhi pintu belakang gedung bertemuan itu dan melihat Gus Dur dari sana, Aula itu seperti sebuah gedung teater, panggungnya terletak di lantai bawah, dan pintu belakangnya justru terbuka ke lantai dua, tempat kantor panitia. "Gak mau lihat Gus Dur, Pak?"

Aku hanya tersenyum dan berkata: "Sudah kenal, kok." Sopir Blue Bird yang membawa menteri kemana-mana mengatakan bahwa mobil khusus untuk Gus Dur diterbangkan langsung dari Jakarta dengan helicopter yang mendarat di lapangan tempat tinggal Pangdam Udayana. Katanya, itulah mobil standar untuk presiden.

Sebuah Limousine yang kulihat diparkir di depan hotel. Eh, standar presiden! Padahal saat aku turun dari bandara di Seatle, aku dijemput sebuah limo. Pantaskan aku jadi presiden?

Malam ini cuaca sangat tidak bersahabat.

Gerimis terus menerus menetes. Padahal biasanya cuaca cerah, dan Bupati selalu menyalakan kembang api untuk rakyatnya; Saat ultah kota Singaraja, saat pergantian tahun, saat pembukaan Pameran Pembangunan di bulan Agustus. Aku terkesan akan kotaku yang merupakan kota kembang api dan kota patung.

Dimana-mana di sudut kota didirikan patung dari Patung Patih Jelantik, pahlawan Puputan Jagaraga, sampai patung Sapi Gerumbungan, seni karapan sapi khas Buleleng.

Akankah malam ini kembang api dinyalakan sementara Presiden sudah menghimbau untuk meniadakan Perayaan Tahun Baru yang berlebihan untuk menghormati kepergian Gus Dur?

Selepas Isya saat aku berada di depan komputerku, kudengar ketukan di pintu.

Apakah ada tamu? Mahasiswa yang mengantar foto pementasan semalam? Ketika kubuka pintu depan, aku terperanjat dan hanya mendengar bisikan:

"Bas!" "Selamat jalan, Gus."

Bisikku balik. Lampu di halaman depan terang benderang, demikian pula lampu jalanan sudah dinyalakan istriku semenjak maghrib. Hanya sekilas kulihat sosoknya. Mungkin dia berkeliling berpamitan pada semua kenalannya, padahal kenalannya berada di seluruh dunia.

Mungkinkah?

Wallahualam bisawab. Saat itu tiba-tiba langit cerah. Ternyata kembang api sudah meledak di langit kota. Malam Tahun Baru sudah tiba, tiga presiden RI sudah tiada, semua menderita penyakit serupa: Kecapekan memikirkan bangsa ini. Tamu malam ini sangat berarti bagiku. ***
* Singaraja 31 Desember 2009.

0 komentar:

Posting Komentar