Pengakuan

Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Koran Tempo (04/18/2010)

Di Semarang, pada tanggal 31 Januari 1728, setelah mundur satu hari dari hari yang direncanakan (karena, menurut perhitungan, itu adalah hari yang buruk), dengan ditemani istri keduanya Ragasmara, Pangeran Arya Mangkunegara bersaksi di hadapan Willem Ter Smitten, Adipati Semarang, dan seorang penerjemah.


TUAN Ter Smitten yang terhormat, terima kasih atas kesempatan ini, di mana saya bisa menceritakan kejadian yang saya alami. Saya tahu cerita ini tidak akan mengubah nasib saya, tidak akan memperingan hukuman apalagi bisa membebaskan diri saya. Dengan kata lain, cerita ini tidak berguna sama sekali bagi saya. Tapi bagi Tuan, setidaknya Tuan punya dua cerita tentang kejadian buruk yang menimpa saya.

Ini kali kedua saya menceritakannya. Mungkin yang terakhir sebelum saya dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan di Pulo Kap. Di Kartasura saya telah beberkan dengan panjang lebar apa yang sesungguhnya saya alami kepada Tumenggung Nitinagara dan Tuan Residen. Interogasi yang sia-sia, Tuan. Sebagaimana Tuan tahu, Nitinagara adalah antek Patih Danureja, orang yang paling menginginkan saya tersingkir dari Kartasura. Ia sama sekali tak mempercayai cerita saya sekuat dan selengkap apa pun saya menceritakannya. Seluruh saksi yang meringankan saya telah disingkirkan. Wirasmara mati dicekik di kediaman Danureja. Mbok Wiraga diberhentikan dari pekerjaannya dan disingkirkan jauh-jauh dari kraton. Sedangkan Nitipraya diutus pergi ke Banyumas dan tak pernah kembali lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat, Tuan. Tiba-tiba saya sudah berada di dalam tandu dan dibawa ke mari.

Tuan Ter Smitten yang terhormat, cerita ini tak akan mengubah pendirian Tuan maupun Kompeni. Saya tahu kejadian ini menguntungkan seluruh kepentingan Tuan di Mataram. Tuan sama sekali tidak terlibat dalam usaha menyingkirkan saya. Tapi dengan tersingkirnya saya dari bumi Mataram, mata Tuan hanya akan tertuju pada Danureja. Saya mengerti politik, Tuan. Saya tidak bodoh. Tidak semua orang Jawa bodoh sebagaimana Tuan kira. Saya hanya tak mau lagi bermain di dalamnya. Saya hanya ingin hidup tenang bersama keluarga. Saya juga tak ada niatan sekecil apa pun untuk merebut tahta. Siapa pun tahu, sepeninggal ayah saya, sayalah yang paling mungkin menggantikannya. Saya putra tertua dan seluruh adik saya belum cukup umur untuk menjadi Sunan.

Tapi saya menerima seluruh keputusan ayahanda. Saya tak menyesal kenapa nama saya sama sekali tidak disebutkan dalam wasiat tersebut. Tahta diturunkan kepada Pangeran Adipati Anom. Jika sesuatu terjadi padanya maka tahta akan jatuh pada Buminata. Jika sesuatu kembali terjadi, tahta akan jatuh ke tangan Loringpasar. Di tengah sakitnya, nama saya telah terlupakan. Saya tahu saya cuma anak babu. Dan di mata ayah saya tetap seorang pemberontak yang gagal. Kejadian itu juga sangat menguntungkan Tuan, bukan? Seorang bocah 16 tahun menjadi sunan duduk di atas singgasana emas bermutu rendah. Tuan sendiri yang menakar nilai emas di singgasana kami. Tuan pula yang mengatakan bahwa yang sekarang duduk di atasnya bernilai lebih rendah lagi. Suksesi berjalan lancar sebagaimana yang Tuan harapkan. Usaha dagang Tuan berjalan normal. Tapi di mata Tuan saya adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan merusak seluruh usaha Tuan di tanah kami.

Tuan Willem Ter Smitten yang terhormat, sebuah bom hanya bisa meledak satu kali. Dan saya telah berjanji di hadapan Residen Kartasura di hari Minggu 2 Juni 1726 sehabis penobatan Sunan Pakubuwana bahwa saya akan tunduk pada seluruh keputusan. Maaf jika saya berpanjang-panjang. Saya hanya ingin Tuan tahu di mana saya berdiri sesungguhnya. Dan saya harus berterima kasih Tuan telah membawa saya ke Semarang dengan terhormat. Dengan sebuah tandu tertutup bersama kerabat saya. Terima kasih karena Tuan telah menolak permintaan kraton yang menginginkan saya dibawa ke Semarang dalam kerangkeng agar menjadi tontonan sepanjang jalan. Nilai saya tak serendah itu, Tuan. Nanti Tuan bisa menilainya sendiri di akhir cerita saya.

TUAN Ter Smitten yang terhormat, Pedagang Utama dan Gezaghebber Pesisir Timur Laut Jawa, saya hanya seorang duda yang sedang jatuh cinta. Tak kurang tak lebih. Dan cerita ini hanya sebuah drama cinta biasa yang telah dipelintir sedemikian jauh menjadi kisah politik yang begitu menyita perhatian hingga Batavia.

Pada tanggal 23 September 1727 isteri saya, Raden Ayu Wulan, meninggal karena cacar. Lalu sebulan kemudian Tuan berkunjung ke Kartasura. Saya yakin Tuan masih mengingatnya. Itu kunjungan pertama Tuan. Kita bertemu waktu itu. Dan Tuan tampak lega karena saya dan Danureja rukun-rukun saja, tidak seperti yang Tuan khawatirkan.

Kemudian tari Bedhaya pun digelar di pagelaran menyambut Maulud Nabi. Menyambut kedatangan rombongan Tuan. Sudah puluhan kali saya nonton Bedhaya, Tuan. Tapi entah kenapa tari Bedhaya malam itu begitu mengusik hati saya. Membuat saya nelangsa. Dan seluruh masa lalu saya datang kembali--menari di hadapan saya tanpa bisa saya kendalikan lagi. Ayu Wulan kembali duduk di pangkuan saya. Menghadirkan kembali pesona kota Blitar. Hati saya berdenyar, Tuan. Malam itu saya kembali hidup, Tuan. Sebulanan saya bagai mayat berjalan. Mati sajroning urip. Kehilangan sangkan paraning dumadi. Tapi malam itu tiba-tiba saya mendapati bahwa saya bisa hidup dalam kematian. Salah satu penari itu. Ia mirip benar dengan Ayu Wulan. Saya tak bisa tidur. Sepanjang malam penari itu menari-nari di ranjang saya. Seperti Ayu Wulan. Ia menyalakan malam-malam saya. Gusti Allah, saya mengambil air wudlu malam itu. Membasuh kulit saya yang mengelupas kekeringan. Cinta benar-benar datang malam itu. Menyapa saya serupa kawan lama.

Maaf, Tuan, kalau saya terdengar sentimentil. Di suatu masa saya adalah pemberontak yang garang--melawan ayah dan penjajah. Tapi di masa yang lain saya hanya laki-laki yang kesepian. Saya menyesal kenapa Wirasmara harus menari malam itu. Perempuan peranakan itu tak seharusnya berada di sana. Pertama karena ia seorang ratu. Kedua karena ia jadi begitu mengganggu. Jadi hantu mendiang isteri saya. Satu setengah bulan lamanya, sejak malam itu, saya jadi bulan-bulanan kenangan. Hingga akhirnya suatu malam saya kebagian tugas jaga. Saya berjaga bersama Pangeran Loringpasar, Pangeran Martasana dan Raden Purwakasuma. Mereka tak tahu apa yang tengah terjadi pada diri saya.

Tapi mereka tahu sesuatu tengah berlangsung dengan hebat dalam tubuh saya. Purwakusuma menggamit tangan saya, mengajak menepi. Apa Kangmas sakit? Ia bertanya-tanya. Lalu dengan hati-hati saya ceritakan perasaan saya. Ia bisa mengerti. Sebuah informasi yang penting segera disampaikannya. Wirasmara ternyata sudah tidak dikehendaki lagi oleh Sunan. Perempuan hadiah dari Adipati Semarang itu sebenarnya diberikan kepada ayah saya selagi beliau sakit. Ayah sama sekali tak pernah menjamahnya sampai beliau mangkat. Ia masih perawan ketika diwariskan kepada Sunan Pakubuwana. Sunanlah yang kemudian memerawani dan menghamili perempuan itu. Dan sekarang Sunan sudah bosan. Jadi mungkin saya bisa memintanya agar bisa menjadi isteri saya.

Malam itu juga saya memanggil Nitipraya, pembantu kesayangan Sunan. Di hadapan Purwakusuma saya bertanya kepadanya, apakah mungkin saya bisa meminta isteri kepada raja. Jika tidak, tolong lupakan saja pertemuan kita malam ini. Nitipraya menganggukkan kepala. Mungkin saja. Saya katakan kepada Nitipraya bahwa saya akan menerima siapa saja yang akan diberikan Sunan kepada saya. Saya katakan kepada Nitipraya agar membawa masalah ini kepada Mbok Wiraga, kepala pembantu keputren.

Empat hari kemudian, Tuan, ketika saya bertugas jaga kembali, saya memanggil Mbok Wiraga. Saya mengulangi lagi permintaan saya. Mbok Wiraga meyakinkan saya bahwa permintaan semacam itu sangat mungkin. Lalu ia mendesak saya, apakah Pangeran sudah punya pilihan. Saya tak berani menyebut nama. Itu tidak sopan bagi Sunan. Saya hanya bilang bahwa saya menginginkan seorang isteri yang wajah dan tingkah lakunya mengingatkan saya pada mendiang isteri saya. Mbok Wiraga langsung menyebut nama Wirasmara. Ia pilihan yang pas buat saya. Lagi pula Sunan sudah tidak menghendakinya. Saya hampir meledak gembira kalau saja saya tak bisa menahan diri dan menyadari bahwa semua itu belumlah terjadi. Ini baru sejumlah asumsi. Seluruh kepastian ada di tangan Sunan.

Keesokan paginya Nitipraya menemui saya. Ia bilang bahwa Mbok Wiraga sudah mengajukan permintaan saya kepada Sunan. Menurut Mbok Wiraga Sunan tak tampak keberatan. Saya boleh meminta siapa saja asal bukan Ratu Mas. Saya susah menggambarkannya, Tuan, tapi Tuan pasti bisa menebak sendiri bagaimana perasaan saya begitu mendengar kabar itu. Saya segera cabut keris pusaka dan saya berikan kepada Nitipraya. Sampaikan kepada Sunan sebagai tanda bahwa saya menerima apa pun keputusannya. Tapi Nitipraya menolaknya. Nanti saja Pangeran, kalau Pangeran sudah mendapatkan isteri baru, barulah keris ini Pangeran persembahkan bagi Sunan. Saya menurut saja. Mungkin lebih baik seperti itu. Saya tak tahu lagi mana yang terbaik yang mesti saya lakukan pagi itu. Selain menunggu.

TAPI saya bukan penunggu yang baik, Tuan Ter Smitten. Saya harus segera mendapat kepastian. Sesedikit apa pun. Siang itu juga saya memanggil Mbok Patrasari pembantu kesayangan Ibu Suri Amangkurat. Kepadanya saya katakan terus terang kehendak saya. Saya minta ia menyampaikannya kepada Ibu Suri. Sorenya Mbok Patrasari datang membawa jawaban dari Ibu Suri. Jawaban datang begitu cepat. Tapi isinya sama sekali di luar harapan saya. Ibu Suri terang-terang menolak. Ia tak setuju saya meminta Wirasmara sebagai isteri. Ia meminta saya memilih salah satu: Sutari, putri dari Raden Tohpati, atau Raden Ayu Kusuma, putri dari Pangeran Dipanagara.

Benar, Tuan Ter Smitten, dari sanalah kesalahan saya. Saya menolak keduanya. Tentunya ini membuat Ibu Suri tersinggung. Dan selanjutnya Tuan sudah mengerti sendiri bagaimana jalan ceritanya. Saya dituduh berselingkuh dengan Wirasmara. Danureja mengakhiri cerita saya dengan begitu memikat. Ia manfaatkan kekecewaan Ibu Suri. Ia manfaatkan kemarahan Sunan Pakubuwana. Bekas tukang rumput itu tahu benar bagaimana caranya menyingkirkan ilalang macam saya.

Tuan Ter Smitten, saya belum pernah sekali pun bertemu dengan Wirasmara. Saya cuma melihatnya sekali, malam itu bersama dengan Tuan, saat ia menari. Lalu bagaimana bisa saya dikatakan telah menidurinya, memalukan raja karena meniduri isterinya. Bukti yang Danureja ungkapkan memang tak bisa saya tampik. Benar bahwa perhiasan-perhiasan itu memang milik saya, perhiasan yang ditemukan di dalam kamar Wirasmara. Benar bahwa di rumah saya juga tersimpan barang-barang pemberian Wirasmara. Tapi, Tuan, barang-barang itu datang dari masa lalu. Mendiang isteri saya adalah sahabat dekatnya. Ini fakta yang terlambat saya angkat. Tentu saja mereka kerap bertukar kain dan perhiasan sebagaimana istri-istri pangeran yang lain.

Puisi cinta di dalam kotak sirih hanya membuktikan bahwa saya memang benar jatuh cinta kepadanya dan bukan saya telah merayunya untuk kemudian menidurinya. Patih Danureja benar-benar ingin menyingkirkan saya. Dengan dibuangnya saya, jalan akan semakin lempang terbuka baginya untuk menguasai Mataram. Benar itu memang puisi saya, Tuan. Saya menyalinnya sendiri dari buku yang saya pinjam dari Pangeran Loringpasar. Apa salahnya menyalin sebuah puisi cinta? Jika saja Wirasmara tidak buru-buru dibunuh ia tentu akan mengatakan hal yang sama dengan yang saya katakan: bahwa kami tak sekalipun pernah bertemu. Seharusnya Tuan menangkap Danureja karena membunuh seorang perempuan yang tak berdosa.

Tuan Willem Ter Smitten, demikian cerita saya. Sekarang saya sudah siap untuk Tuan bawa ke Batavia.

Willem Ter Smitten berusaha keras menahan air matanya. Satu bahaya telah dipadamkan. Sekarang ia bersiap menghadapi Danureja.

Jogjakarta, 2010

0 komentar:

Posting Komentar