Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Entah, tiba-tiba saja ingatan saya jatuh ke masa silam. Ingin mengenang tanah kelahiran, tempat sang guru menempa para cantrik menjadi insan peradaban yang diharapkan dapat mengenal dinamika zaman beserta pernak-perniknya.

Ya, ya, ya! Saya masih ingat, sekitar tahun ’70-an, tanah kelahiran saya bukanlah tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk hidup. Secara geografis, lokasinya hanya bisa dijangkau kendaraan ketika musim kemarau tiba. Saat musim hujan jatuh, tanah kelahiran saya tak lebih seperti sebuah perdikan yang dikelilingi tanah berlumpur. Nyaris tak ada jalan alternatif yang memungkinkan kaum pendatang untuk bisa sampai dalam keadaan bersih. Sebaliknya, jika kemarau tiba, sejauh mata memandang hanya tampak kegersangan di sana-sini. Kerusakan hutan akibat pembakaran hutan makin menyempurnakan derita di musim kemarau. Air jadi sulit didapat.

dsdsdsdsDalam kondisi seperti itu, saya masih beruntung bisa ikut mengenyam pendidikan di SD bersama teman-teman sebaya. Dari situlah saya mulai menyimpan banyak kenangan terhadap figur guru-guru saya. Merekalah yang telah memperkenalkan saya terhadap angka dan aksara, hingga akhirnya saya bisa mengenal calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Sungguh, tak bisa saya bayangkan kalau tanah kelahiran saya yang gersang dan tandus seperti itu tak ada guru; tak ada gedung sekolah. Meski nyaris ambruk, gedung SD yang atapnya bocor di sana-sini dengan dinding-dindingnya yang mulai keropos itu, telah menjadi tempat yang “nyaman” untuk belajar.

Saya juga beruntung sempat belajar kepada para guru yang total mengabdikan diri dalam dunia pawiyatan dengan penghasilan pas-pasan saat itu. Dari sinilah saya mendapatkan pendidikan formal untuk yang pertama kalinya. Masih jelas terbentang dalam layar memori saya, betapa sang guru harus berjalan kaki sekitar 15-an km untuk bisa tiba di sekolah. Jika musim hujan, mereka harus menenteng sandal jepit sambil mengepit tas butut. Namun, mereka tak pernah mengeluh. Bahkan, mereka masih bisa dengan fasih mengajak saya dan teman-teman sekelas untuk menyanyi lagu wajib bersama-sama, meski batin mereka sedih memikirkan asap dapur yang belum tentu bisa mengepul setiap saat.

Di mata saya, seorang guru SD adalah seorang “ilmuwan” general. Mereka mampu menyajikan semua mata pelajaran dengan fasih. Jelas, bukan tugas yang ringan, apalagi yang mereka hadapi adalah anak-anak antara usia 6-13 tahun. Usia yang masih terlalu dini untuk mengenal hidup dan kehidupan.

Saya sangat menghormati dan mengapresiasi sang guru di tanah kelahiran saya yang telah membukakan mata anak-anak untuk mencintai ilmu pengetahuan. Merekalah status pengabdi yang sesungguhnya; menganggap siswa didiknya sebagai anak-anak ideologisnya. Terlalu murah kalau status mereka mesti diganti dengan predikat profesional yang seringkali mengukur kerja dan keringatnya dengan uang, penghasilan, dan kesejahteraan.

Agaknya, kini telah terjadi pergeseran status guru; dari shi fu menjadi tenaga profesional. Di ladang dunia pendidikan saat ini, setiap tetesan keringat sang guru harus ada imbalannya. Sungguh kontras dengan kinerja sang guru di tanah kelahiran saya. Merekalah yang layak disebut pahlawan dalam arti yang sesungguhnya.

Terima kasih sang guru; semoga sang ibu pertiwi senantiasa memancarkan cahaya kasih sayang dan belaian lembutnya atas pengabdianmu yang tulus; tanpa pamrih!. ***
READ MORE - Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

otakAllah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, telah memberikan anugerah akal-budi yang tak ternilai harganya kepada umat manusia. Melalui akal-budi, manusia dapat menyimpan peristiwa masa silam ke dalam kantong memorinya, memikirkan peristiwa pada masa kini, sekaligus mampu membayangkan peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Yang luar biasa adalah kemampuan manusia untuk me-retrieve alias memanggil ulang peristiwa-peristiwa masa silam ke dalam layar kehidupan masa kini.

Bisa jadi, itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam hal berbahasa, misalnya, manusia adalah makhluk yang paling dinamis. Melalui akal budinya, manusia mampu mempelajari berbagai bahasa di dunia, apalagi jika bersentuhan langsung dengan kultur masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Lain dengan binatang. Ayam dan kucing, misalnya, tak akan pernah sanggup belajar berbahasa. Meski dikerangkeng dalam sebuah kurungan seumur hidup, ayam tak akan pernah sanggup mengeong seperti kucing. Kucing pun tak akan sanggup berkokok seperti ayam. Konon, binatang hanya sanggup mempertahankan hidup berdasarkan nalurinya secara statis dan stagnan.

Pernah dengar stigma bangsa yang “rabun” membaca? Yaps, stigma ini muncul akibat lumpuhnya bangsa kita dalam soal budaya membaca. Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita mengalami lompatan budaya membaca yang tidak wajar; dari budaya praliterasi langsung melompat ke budaya posliterasi. Sedangkan, budaya literasinya (nyaris) tak lagi tersentuh. Budaya praliterasi muncul ketika bangsa kita belum sanggup baca-tulis. Mereka hanya mampu menggunakan media bahasa lisan dalam berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Dengan berkembangnya peradaban manusia, bangsa kita masuk pada budaya literasi yang ditandai dengan sentuhan-seuntuhan nilai pendidikan yang mampu membuka kesadaran baru tentang pentingnya keaksaraan dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kreatif.

Belum matang benar budaya literasi mengilusumsum dan bernaung turba dalam kehidupan masyarakat, muncul peradaban baru yang memiliki daya pukau dahsyat yang ditandai dengan temuan-temuan baru di bidang teknologi dan informasi. Anak buah teknologi, semacam TV-kabel, multimedia, atau sarana telekomunikasi bergerak lainnya mulai merambah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Masyarakat pun mulai berubah pola dan gaya hidupnya. Mereka mulai dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan bermacam-macam piranti teknologi canggih sehingga melupakan budaya literasi yang seharusnya mereka lalui. Masyarakat demikian terpukau oleh kehadiran sarana dan fasilitas teknologi itu sehingga jadi malas dan lupa membaca. Ketika antena dan parabola menjamur di atap-atap rumah, masyarakat pun rela menghabiskan waktunya di depan “kotak ajaib” itu. Tumpukan buku dibiarkan melapuk dan tak tersentuh.

Sejatinya, membaca sangat erat kaitannya dengan aktivitas akal-budi. Membaca merupakan aksi intelektual yang mencerahkan dan mencerdaskan yang akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sehingga menimbulkan rangsangan manusiawi untuk bertindak penuh kearifan dan kebajikan. Dalam diskursus yang lebih luas, membaca bisa dimaknai sebagai kemampuan menafsirkan “ayat-ayat” Tuhan yang tergelar di ruang semesta. Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.

Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan. Jika benar demikian, mereka hanya menggunakan naluri sekadar untuk memuaskan kebuasan hati, bukan menggunakan nurani untuk menjaga keseimbangan semesta. Lantas, apa bedanya dengan kucing dan ayam yang selalu statis dan stagnan sehingga tak pernah punya kesanggupan untuk membaca tanda-tanda zaman? Atau, bisa jadi, lantaran kesalahan kolektif bangsa kita yang mengalami lompatan tak wajar dalam budaya membaca? ***
READ MORE - Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

Sokaratu

Cerpen Beni Setia
Dimuat di Jurnal Nasional (05/10/2009)

Bunyi tekanan dan gesekan menghancurkan bumbu dari mutu pada cowet itu menimbulkan gema unik. Suara teredam yang lembut, tapi mengisi awal pagi dengan kehangatan, seperti meneguhkan janji yang dikesiutkan air mau mendidih atas tungku yang apinya berkobar sedang menjerang, mengatasi gemuruh berpuluh kodok yang terus bernyanyi. Menyuarakan birahi dalam udara dingin yang pasti berpakaian kabut — dari hujan sejak sore itu, di luar sana. Di balik dinding gedek yang tidak berdaya menyaring hembusan angin yang bolak-balik kepleset pada daun basah di luar, dalam kesunyian yang diisi denging serangga tanpa jengkrik — kemarau tiga bulan lagi.

Khas meski si pembuat cowet batu itu tak dengan sengaja membuat cekungan dan ketipisan alas yang mampu bergetar dalam amplitudo tertentu. Aku menyibakkan selimut kain panjang batik, dalam motif bertumpuk-tumpuk bagai seribu sisik. Hadiah luar biasa, diberikan si ibu rumah yang ramah semalam. Cukup hangat meski tak bisa menanggalkan dingin yang selain ada seluruh ruang tengah los ini, juga bagai tumbuh dari dalam tulang mencuil-cuil sisa hangat dari darah di daging. Aku menggosok betis dengan telapak tangan sebelum bergeletuk menyelinap ke dapur. Siap tersenyum pada ibu yang sedang suntuk menghaluskan bumbu dalam cowet.

Palupuh, lantai bambu yang diremukkan dan dihamparkan itu, berderak dan goyangan itu membuat perempuan tua yang menunduk asyik itu melirik. Tersenyum. ”Dingin ya?” katanya. Aku mengangguk. Langsung jongkok depan tungku.”Maaf,” katanya, “begini keadaan kampung.” Aku melirik dan tersenyum. Bilang kalau akupun berasal dari kampung sehingga terbiasa hidup seadanya. Tersenyum. Menelan ludah, dan mendorong kayu masuk perut tungku lewat mulut setengah lingkarannya. Bilang bahwa, meski sekarang kerja di kota tapi tiap dua atau tiga bulan selalu pulang dan bertualang di tengah alam pedesaan. ”Ya,” kataku, setengah tersihir ketika hidung disapu wangi kencur, “bila tak jalan-jalan, ya …mancing.”

”Begitu?”

”Kencur ya?”

”Iya! Akan membuat sangu sangray. Di kampung mah kreasinya cuma sampai

sangray kejo. Jangan tersinggung ya? Nasinya padi huma yang bagi orang kota mah terlalu keras. Jangan tersinggung ya? Cabenya berapa?”

”Terserah, bu. Pokoknya saya ikut apa yang disuguhkan. Saya kan sudah amat merepotkan keluarga sini. Kalau Anabrang ke mana?”

”Ke lembah, mau ambil bubu. Biasanya ada lele atau badar.”
***

Aku menarik telapak tangan yang dijulurkan terbuka di hadapan nyala, berbalik memberikan punggung pada nyala setelah minta maaf kepada si ibu. Aku merasakan hangat dari api dan udara yang pengap berasap di dapur sempit, yang penuh dengan baju-baju yang disampirkan, digantungkan, dan dikaitkan, julur-julur bambu tempat mengaitkan genting, dan rongga terbuka untuk mengeluarkan asap dan penuh jelaga tungku. Tapi dengan lantai palapuh yang mengkilap pertanda selalu ada yang duduk bersimpuh, bersila dan beringsut, pertanda di tempat ini selalu ada yang berkunjung dan diterima sebagai keluarga dan bukannya sekadar tamu — yang diterima dengan kehormatan formal berlebihan di ruang tamu.

Seperti biasa. Seperti adatnya. Dan kalau bisa memilih aku selalu ingin diterima di dapur, diajak bicara tentang yang intim dan bukan yang formal dan maha penting — tapi segera selesai. Momen yang akan membawa kita datang lagi ke dapur, dan bicara tentang yang intim, seperti bila sanak keluarga bertemu, berbincang sambil menikmati makanan sepele karena ingin lebur dalam suasana makan bersama dan bukan apa jenis makanannya. Dan aku berpikir: Apa itu yang hilang dari rumah, setelah Bapak kawin lagi, dan aku tak bisa larut dalam suasana dapur dengan ibu tiriku? Dilarang ke dapur, disiapkan makan di tengah rumah, dan di dalam kaku formalnya terpaksa mengobrol serius dengan bapak. Sesuatu hilang dari rumah saat libur kerja, karenanya terpaksa bertualang, mengeluyuran di ladang di lembah dan bukit tiap pulang kampung.

Sampai Kalakay bilang agar [aku] mencoba mancing beunteur di Sokaratu, di hulu Cikambuy, di leuwi tepat setelah celah sempit lembah pertama Gunung Puntang. ”Tapi agak sanget,” katanya, ”jadi harus uluksalam dulu, baca doa, menyulut rokok dan melemparnya ke lubuk. Merepotkan tapi ya …jaga-jagalah.” Aku mengangguk. Beunteur, ikan liar yang paling besar sekitar dua jari orang dewasa, sudah agak sulit di kampung. Dulu banyak, mungkin sama banyaknya dengan udang air tawar, yang di masa kanak ditangkap dengan cara membanting batu di atas batu yang terendam air. Satu dua ada tertangkap, lalu dibakar dengan daun bambu di pinggir sungai. Menu setengah matang yang terasa manis meski tanpa bumbu.Dan omongan Kalakay itu membuatku tergerak memancing. Bangun pagi dan berjalan ke hulu supaya sebelum jam sepuluh, tepat saat matahari menerangi Lembah Sokaratu yang selalu meremang karena diapit dinding jurang dan rimbun pepohonan liar.

Orang bilang, heubeul isuk — selalu pagi —, tapi ada yang bilang itu gancang sore — kesusu petang. Aku tak begitu peduli. Lembah itu sempit, menjulur ke selatan, sampai terantuk tebing di mana ketinggian menjatuhkan air ke lubuk, lalu Cikambuy menghilir lirih dan membuat lubuk berikut di mulut lembah. Jurang tinggi, pepohonan liar dan perdu membuat nyamuk perkasa — mungkin juga ular. Karenanya tak banyak yang datang memancing. Tempat yang selalu pagi dan petang — jadi mengigiriskan bila dihiasi matahari sore yang cepat teduh teraling dengan bunyi denging uir-uir yang melengking menyuarakan kesenyapan di tengah keluasan sepi. Cuma para pemberani macam Kalakay yang ambil risiko. Itupun dengan pesan, kalau saat Ashar tiba harus pulang — agar tidak kemalaman di jalan. Dan kalau mendengar petir dan langit mulai mendung harus segera ke luar. Bila hujan selalu ada banjir bandang yang bisa bikin kita terkurung, karena setapak rahasia di bawah permukaan air di tebing kiri pada celah selebar tiga meter itu dipenuhi air deras setinggi dagu.

Aku berbalik lagi. Perempuan itu mengangkat seeng tembaga, meletakkannya pada bantalan dari tanah liat yang membulat dan pas menyangga alas yang hitam itu. Ia meletakkan wajan yang sipat putih logamnya sudah hilang berganti warna hangus terlalu terjerang dan tak pernah digosok sehingga kerak hangusnya terkelupas. Tapi di sana hakekat seni masak kampung, di mana bumbu terkini akan dipolusi oleh bumbu yang kemarin dan kemarin lusa, sehingga muncul aroma dan rasa khas wajan itu. Dan setelah wajan panas perempuan itu memasukkan campuran terulek kencur, kunyit, bawang putih, bawah merah dan cabe ke cekungan wajan — dengan sedikit air. Lantas menggongsonya. Mengambil bakul, membalikkannya sehingga nasi dingin terbiarkan semalam itu memenuhi adonan yang membumbungkan wangi kencur — bumbu yang jarang ditemukan di luar menu Sunda —, yang dalam lotek atah Ma Acih aroma getah mentahnya bikin klenger.

Papan undakan pintu dapur berdenyit menyusul bunyi barang yang diletakkan menyandar di dinding. Pintu terbuka. Anabrang muncul. Tersenyum.”Udah bangun?” katanya. Aku mengangguk, bilang dibangunkan bunyi mengulek bumbu dan kesiut air mau mendidih dalam seeng. Anabrang memperlihatkan tangkapannya, seekor deleg yang telah dibersihkan isi perutnya, lalu yang dibakar di bara tungku sambil minta maaf karena tidak bisa mempersembahkan yang lebih baik dari sekadar ikan bakar. ”Maaf,” katanya, “Kami tak boleh makan garam. Jadi kejo sangray dan ikan bakarnya tidak bergaram.” Aku tertawa. Menyodorkan rokok, dan bilang, yang minta disuguhi garam itu siapa, karena aku sudah mendapatkan yang lebih gurih dari sekadar garam dalam masakan: penerimaan hangat penuh kekeluargaan. “Persaudaraan …,” kataku. Anabrang menyulut rokok, tersenyum.”Tarima kasih, kang,” katanya — seperti orang menemukan emas, seperti menyadari kalau itu sudah langka di dunia ini.
***

Itu yang menyelamatkanku kemarin. Yang keasyikan memancing, terutama karena di setiap lemparan selalu menghasilkan ikan sebesar satu ari, dan ada empat yang lumayan sebesar dua jari, lalu — tanpa ada isyarat alam di langit —: air tiba-tiba naik didahului sampah dan kotoran yang tergelontor. Aku tersentak, meloncat, dan bergegas menyusuri pinggir lubuk di sisi tebing yang meneteskan air. Tapi terlambat, karena air sudah naik sepinggang, dan dalam panik sebatang kayu menabrak pinggul. Aku kehilangan keseimbangan, terhoyong kecebur ke inti arus. Gelagapan. Hanyut. Dan seseorang menjemba tangan, menarik ke pinggiran, dan menyeret ke atas tebing. Arus makin besar. Menggemuruh. Dan di sebelah Anabrang tersenyum. ”Tak apa-apa kan, kang?” katanya. Aku tersipu — berkali-kali mengucapkan tarima kasih. Sambil mengawasi langit Anabrang menarik tanganku. “Akan hujan besar, kang,” katanya. Aku mengikutinya naik ke punggung bukit, berbelok dan tiba di lembah yang rasanya tak pernah ada. Aku celingukan. Di jauhnya terdengar derap hujan. Kami berlari. Dan saat sampai di undakan dapur hujan sempurna membasahi lembah.

Setelah salin dengan pakaian hitam-hitamnya Anabrang aku berkenalan dengan ibunya — menurut ceritanya tempat itu Lembah Sokaratu asli. Aku mengangguk. Aku menikmati air panas tanpa gula, teh dan kopi. Mengobrol sambil menikmati ubi bakar yang disajikan dengan irisan gula kelapa. “Seadanya,” katanya. Aku tertawa. Bilang, kalau yang ada itu yang enak, karena yang tak ada itu tak bisa dinikmati meski bisa dibayangkan enak. Perempuan itu tertawa. Karenanya — hujan deras, sesekali tepias terdorong angin ke dinding —: Aku bercerita tentang kota, tentang Bandung, tentang Jakarta, tentang mobil dan motor. Tentang kereta api, yang kumisalkan ular besar, yang perutnya bisa diisi berpuluh-puluh orang tanpa membunuhnya, dan berjalan di atas alur tertentu. “Ada yang begitu?” tanya Anabrang. Aku tersenyum, mengangguk, dan bercerita tentang pesawat terbang, yang anehnya tak menarik minat kedua orang itu. Sehingga aku kembali bercerita panjang lebar tentang kereta api, si ular besi yang sesungguhnya kendaraan yang digerakkan mesin diesel di kepala lokomotifnya. Aku

bercerita tentang stasiun, peron, karcis, langsir dan nyanyi lagu ”Naik Kereta Api”.

Mereka ternganga. Anabrang minta diajari lagu “Naik Kereta Api”, dan ia terus bersenandung semalaman. Aku tersenyum. Menjelang tengah malam, dalam dingin mencekam, si perempuan itu menyerahkan selembar kain panjang untuk selimut. Aku setengah tertidur meski tak lelap — dan tahu kalau Anabrang terus menyanyikan lagu ”Naik Kereta Api”. Lalu aku pulas, dan terjaga di dingin pagi, sendirian, dipanggili bunyi mutu tergesekkan pada cowet dan bunyi denging sebelum air mendidih — yang mengingatkan pada dapur dan ibuku. Ya! Dan ketika sang sangray sudah ditata di piring, kami duduk melingkar dan makan dengan ikan bakar. Terasa hámbar tanpa garam, tapi hangat dapur dan kesederhanaan mereka yang tak tahu kereta api dan tak pernah mendengar lagu ”Naik Kereta Api” itu membuatku maklum, sehingga apapun yang ada tandas dimakan. Kerakusan yang membuat mereka senang, karena merasa aku mau diterima dalam keapaadaannya. Tapi haruskah mempersoalkan yang tak ada?
***

Sekitar jam sebelas aku pamit. Perempuan tua itu tersenyum, mengucapkan terima kasih atas cerita kereta api yang mengagumkan itu. “Ceritamu itu membuat Anabrang tak perlu pergi ke kota untuk nonton kereta api,” katanya. Aku tersenyum. Berjanji akan berkunjung lagi. Perempuan itu hanya tersenyum. Pamitan. Aku diantar Anabrang, yang kembali bertanya tentang kereta api, dan karenanya aku berjanji akan membawakan kereta api mainan agar bisa membayangkannya. Anabrang tersenyum. ”Bener, kang?” katanya. Aku mengangguk. Dan di punggung gunung, sebelum turun ke lembah dekat celah Sokaratu di mana Cikambuy muncul bagai ular menggeliat di pesawahan, Anbabrang menyerahkan kain batik — selimut semalam. ”Kalau mau ke sini kerodongkan, tapi jangan membawa yang lain. Janji,” katanya. Aku mengangguk. Pamit. Meloncat. Menuruni setapak. Di bawah aku menengok dan di punuk pundak bukit terlihat seekor ular sanca, sebesar pohon kelapa, menggelusur — menjauh.

Aku tersentak. Gemetar — dan kembali tenang. Bukankah kami telah dipertalikan pesaudaraan? Dan karenanya, tiga bulan kemudian, diam-diam berangkat ke Lembah Sokaratu, dengan kereta api mainan yang digerakkan bateri. Menginap seminggu, dan pulang tanpa peduli cerita orang: aku hilang setengah tahun — setelah hilang sebulan. Apa peduli orang-orang itu? Bukankah aku hanya datang bertamu, bertemu saudara yang sederhana dan menyenangkan dalam kesederhanaannya? Bolak-balik. Sampai Anabrang menikah dan punya anak — dan aku memutuskan tidak menikah dan punya anak, agar mereka tak shock ketemu saudara dari alam lain. Memang.***
READ MORE - Sokaratu

Malam Saweran

Cerpen AS Laksana
Dimuat di Suara Merdeka (05/10/2009)

AKU sepakat bahwa laporan bersambung itu terasa mengada-ada. Setidak-tidaknya, ia terasa sebagai upaya berlebihan dari penulisnya untuk membuatmu putus asa mengikuti sepak terkam orang-orang yang gemar menyelinap di tengah malam. Wartawan itu memang menulis dalam gaya yang samar; ia menceritakan tabiat sejumlah orang tanpa menyodorkan petunjuk yang memungkinkanmu menerka siapa saja sesungguhnya yang sedang ia ceritakan dan di mana kejadiannya berlangsung.

Dan apa yang samar, apalagi jika diturunkan sebagai serial dengan label ”Dunia Malam Orang-Orang Terhormat”, tentu akan mudah membuatmu penasaran, bukan? Dan, ketika rasa penasaranmu tak terpuaskan, kau bisa saja memutuskan bahwa seluruh tulisan itu tidak lebih adalah karangan belaka. Silakan. Di sini aku hanya ingin menyampaikan yang kutahu dan meyakinkanmu bahwa tidak semua laporan itu hasil karangan si wartawan; setidak-tidaknya ada satu yang aku yakin ditulis berdasarkan kejadian, yakni tulisan ke-11 yang berjudul Nonton Penari Bugil, Nyawer Lima Juta. Kautahu, akulah si penyawer yang dirahasiakan nama dan jabatannya oleh wartawan itu.

Kutuklah aku; kau punya kebebasan untuk mengutuk siapa saja yang membuatmu senep. Atau geramlah sembari membuat tinjauan melodramatik yang bisa menguatkan rasa gerammu; kau boleh mengatakan, misalnya, betapa tak tahu dirinya aku, menghamburkan lima juta rupiah untuk si bugil di tengah begitu banyaknya anak yang telantar dan kelaparan. Kau boleh membenciku dengan segala alasan yang terpikirkan olehmu, tetapi aku bisa menjelaskan apa yang kulakukan. Aku menjadi penyawer karena gagal menjadi suami yang bahagia dan karena itu gagal juga membuat istriku bahagia. Perempuan yang kucintai selalu menyakitiku dan ia membuatku kesepian dengan menyalak tak putus-putus.

”Apa lagi yang mau kaukatakan?” itu satu contoh bagaimana ia menyalak. ”Bukti-bukti sudah bicara. Kau tak perlu mengelak. Tak perlu berdalih. Tak perlu berpanjang lidah.” Ia sering bicara tentang bukti-bukti. Kupikir ia terlalu gelap menjalani hidup. Yang ia sebut sebagai bukti-bukti, kautahu, sesungguhnya hanyalah khayalan yang bangkit oleh kekalutannya sendiri. Ia mengungkung diri dalam prasangka runyam tentangku dan kemudian menyebut apa saja yang terlintas di keruwetan pikirannya sebagai bukti-bukti.

Terus terang, aku ingin menjahit mulutnya.

Tentu tak bisa kusampaikan keinginanku ini kepadanya. Tak bisa kusampaikan apa pun. Karena itu aku lebih suka pulang larut malam atau dinihari ketika ia sudah tidur. Itu caraku mengalah dan selama ini aku lebih suka diam menerima lolongannya, tetapi justru ia menganggapku orang yang ribut. Aku tidak habis pikir bagaimana ia bisa menyuruhkan tidak usah berpanjang lidah; kupikir aku tidak pernah mengulurkan lidahku di hadapannya. Dan kapan aku mengajukan dalih-dalih?

Kurasa kau harus berhati-hati menghadapi perempuan seperti ini; ia terlalu cerewet dan seringkali tidak bisa membedakan suara siapa yang ia dengar: apakah suaranya sendiri ataukah suaramu. Ia sungguh menyedihkan dan ia senang mengatakan bahwa aku suka menggasak uang yang bukan hakku. Ini tuduhan keji dan istriku sendiri yang melakukannya. Padahal, aku berbuat apa pun demi menyenangkan hatinya.

Kautahu, aku memang telah mengambilnya, dengan cara yang tak mungkin ia tolak, dari cengkeraman orang yang kupikir tak layak menjadi pacarnya dan kami menikah secepatnya setelah aku berhasil memisahkannya dari lelaki tak layak itu. Mengenai riwayat perjodohan kami, aku tak akan malu mengakui bahwa semula ia memang tidak mencintaiku —ia menyimpan pasfoto orang lain di selipan dompetnya. Kami pernah makan di warung yang sama dan aku melihat foto lelaki itu ketika ia membuka dompet hendak membayar. Aku menyimpan pasfoto ibu negara yang kugunting dari sebuah majalah. Itu hanya sebuah cara untuk berbeda.

Pengetahuan tentang ”menjadi berbeda” itu kudapat dari riwayat hidup delapan orang; salah satu dari mereka mengatakan, ”Kau tidak akan bisa memikat orang lain jika tidak ada apa pun dari penampilanmu yang bisa diingat orang. Orang-orang hanya akan memandangmu ketika kau berbeda dari orang-orang lain yang sebagian besar biasa-biasa saja.” (Timothy G Sapir, Delapan Tokoh Eksentrik, Surabaya 1987, Cetakan 2, halaman 93; garis bawah dari saya). Aku setuju pada pernyataannya. Karena itulah ketika sebagian temanku menyimpan pasfoto pacarnya di dompet, dan sebagian yang lain tidak tahu harus menyimpan pasfoto siapa, aku menyisipkan pasfoto ibu negara di lipatan dompetku. Ketika anak-anak lain mengenakan kacamata dengan bingkai tipis, aku memilih kacamata penyu yang pernah digemari orang seratus tahun lalu.

Begitulah, mengikuti nasihat orang itu, aku menjadikan diriku tidak lumrah. Namun aku tak pernah merasa bahwa gadis itu tertarik kepadaku sekalipun aku menyimpan foto ibu negara di dompetku dan mengenakan kacamata penyu. Tak ada masalah dengan itu dan sebetulnya aku bisa sangat ikhlas menerima kenyataan bahwa ia tidak menggubrisku. Aku tahu cara menghibur diri dan bisa mengatakan dengan enteng kepadamu, ”Yah, aku bukan tipenya.”

Masalahnya, kau tak bisa benar-benar bersikap enteng jika kau tertarik pada seorang gadis dan berusaha membuat gadis itu tertarik kepadamu, dan nyatanya gadis itu memilih berpacaran dengan orang lain yang nilainya bisa dibilang tak lebih dari enam. Itu sebuah siksaan. Atau semacam penganiayaan yang rasa sakitnya akan tetap tinggal hingga bertahun-tahun kemudian.

Kupikir kau bisa memahami perasaanku, sebab kau pun tak suka dianiaya dengan cara seperti itu. Mestinya ia memilih pacar yang tampan; itu akan membuatku lebih rileks kalaupun ia tak meladeni upayaku. Seorang gadis cantik berpacaran dengan pemuda tampan, apa yang perlu dipermasalahkan? Pada pasangan seperti itu, kau tidak akan menaruh dengki berkepanjangan atau berniat kriminal, misalnya, dengan menghamburkan kasak-kusuk agar si lelaki kelihatan tengik di mata teman-teman. Tetapi karena gadis itu salah menjatuhkan pilihan dan ia menyimpan foto lelaki tidak tampan di dompetnya, maka aku merasakan kesia-siaan yang memukul harga diriku. Perempuan itu, yang kelak menjadi istriku, sama sekali tidak melirik penampilan eksentrikku.

Aku menjadi lungkrah dan malas kuliah dan melarikan diri ke mana saja mengikuti truk-truk yang bisa kutumpangi. Dan, dalam sebuah perjalanan ke timur, aku mendapatkan inspirasi dari truk yang terseok-seok ke barat. Aku masih murung ketika membaca tulisan pada bak truk itu —cinta ditolak, dukun bertindak— tetapi pelan-pelan kemurunganku mereda dan aku merasakan sebuah pencerahan. Kautahu, pencerahan memang tak terjadi seketika; ia merambat pelan-pelan ke batok kepala seperti serangga sampai akhirnya kau menyadari bahwa kau tidak perlu menjadi eksentrik untuk merebut seorang perempuan dari lelaki yang dipacarinya. Kau hanya perlu melakukan tindakan wajar, sewajar tidur ketika mengantuk atau memaki ketika sakit hati.

Maka, aku pun bertingkah wajar: kudatangi seorang dukun, lalu dukun itu bertindak untukku, lalu perempuan itu tertarik kepadaku. Seluruh dunia kurasa memanjatkan puji syukur karena gadis cantik itu akhirnya mencampakkan lelaki yang cuma pas-pasan. Namun aku tak tahu apakah dunia juga bersyukur ketika melihat perempuan itu, setelah lepas dari mulut buaya, akhirnya jatuh ke pangkuan penyu. Dalam urusan ini, aku tak peduli pendapat orang. Mungkin mereka iri kepadaku dan akan bergunjing bahwa aku memakai guna-guna untuk merebut perempuan yang sudah punya pacar. Silakan mereka bergunjing seperti itu. Kautahu, hanya para pendengki yang suka bergunjing dan aku tidak akan mengalami cedera parah karena digunjingkan oleh para pendengki. Sebaliknya, semakin dengki mereka, semakin nikmat kurasakan kemenanganku.

Perempuan itu datang pertama kali kepadaku dengan gerak orang yang melamun. Aku menerimanya dengan penuh kesadaran dan sedikit rasa waswas bahwa besok pagi ia akan tersadar dari lamunannya dan kembali ke pacarnya.

”Kita harus secepatnya menikah,” kataku.

”Ya,” katanya, seperti orang kurang waras.

”Apakah kau benar-benar mencintaiku?”

”Ya.”

”Tak ada lelaki lain di hatimu?”

”Ya.”

”Kau berjanji menjadi istriku selamanya?”

”Ya.”

Itu percakapan indah dan aku ingin mendengarnya berulang-ulang dan, pada kenyataannya, dua hari penuh percakapan itu menggaung di kepalaku. Demi mengekalkannya, aku menyalin percakapan itu pada secarik kertas dan menyimpannya di dompetku, menutupi pasfoto ibu negara. Setiap ada kesempatan, aku mengambil kertas itu dari dompet, membuka lipatannya, membacanya, melipatnya lagi, memasukkannya lagi ke dompet.

Kini aku agak menyesal kenapa tak kurekam percakapan itu. Tetapi, pada waktu itu, siapa akan terpikir tentang rekaman percakapan? Belum ada ilham ke arah sana. Tanya jawab kami berlangsung sebelum orang memutar rekaman percakapan antara jaksa agung dan presiden, jauh sebelum percakapan lucu antara seorang jaksa dan penyogoknya diperdengarkan di ruang sidang. Sekiranya percakapan kami terjadi sekarang, tentu kurekam baik-baik tanya jawab kami dan aku bisa mempergunakan rekaman itu jika sewaktu-waktu kubutuhkan. Siapa tahu suatu hari ia mulai menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya dan mulai menunjukkan gelagat hendak meninggalkanku, aku akan bisa memutar rekaman itu dan mengatakan, ”Dengarlah, kau sendiri yang mencintaiku; ini ucapanmu sendiri, bukan?”

Tetapi, syukurlah, sampai sekarang perempuan itu tetap menjadi istriku dan tidak pernah menunjukkan gelagat hendak kembali kepada bekas pacarnya. Tentang lelaki itu, aku tidak berminat mengikuti kabarnya. Mungkin ia tidak pernah bisa mendapatkan pacar lagi dan itu bukan urusanku. Biarlah ia menyadari dirinya sendiri. Kurasa yang ia perlukan adalah cermin besar agar ia bisa berkaca dan menyadari bahwa sudah sepantasnya ia ditinggalkan oleh perempuan cantik yang sekali waktu pernah khilaf menjadikannya pacar. Aku hanya menaruh perhatian pada keberhasilanku mendapatkan gadis itu dan pada rasa bahagia yang menjalari sekujur tubuhku. Dan gadis itu, dalam gerak yang seperti melamun, selalu kubawa ke mana pun aku pergi dan aku menggandeng tangannya ketika kami melintas di antara teman-teman.

Kami menikah dua bulan sebelum aku selesai kuliah; aku terharu pada hari pernikahan dan ia tetap kelihatan melamun. Enam bulan setelah itu aku merasa sangat lega: itu hari pertamaku bekerja di kantor pajak dan istriku hamil tiga bulan. Dengan janin di dalam rahimnya, kupikir ia tak mungkin meninggalkanku. Dan, lihatlah, istriku tampak agak malas mengurus diri dan ia masih melamun. Anak di rahimnya pasti laki-laki. Tak perlu kauragukan isyarat ini: seorang perempuan tampak malas dan acak-acakan pada saat mengandung jika anak di dalam rahimnya adalah laki-laki.

Anak kami lahir pada waktunya. Perempuan. Agak menyalahi isyarat yang dipercaya orang, tetapi tidak sepenuhnya begitu: sejak berumur dua tahun, kautahu, ia tampak kelaki-lakian. Aku tidak terganggu oleh hal ini, namun istriku risau pada tabiat anak kami. Ketika anak itu delapan tahun, istriku seperti orang bangun tidur dan ia tidak melamun lagi; ia berubah menjadi seorang penuduh dan mulai bicara bukti-bukti. Ia tekun menyerangku dan semakin sengit ketika anak kami berumur dua puluh satu dan tetap kelaki-lakian.

Telah kukatakan bahwa sejak awal ia tidak pernah menaruh perhatian padaku, tetapi kesediaannya menikah denganku sungguh membuatku terharu. Karena itu aku bertekad membuatnya bahagia dan di situ aku gagal. Ia tidak bahagia dan kelihatannya tak pernah mencintaiku; ia menggunakan apa saja untuk menyudutkanku, termasuk dengan terus uring-uringan mengenai anak kami. ”Kau menjejalkan dosa ke perutnya,” katanya. ”Karena itulah ia tumbuh menjadi anak perempuan yang tidak sewajarnya.”

”Kau berlebihan,” kataku. ”Ia hanya sedikit hiperaktif.”

”Ia begitu karena menanggung dosamu,” katanya.

Kupikir ia mestinya belajar mensyukuri rezeki berlimpah yang mengalir ke kantung suaminya. Dan kusampaikan kepadanya apa yang kupikir. Tapi ia malah mengatakan ”cuih!” dan meraung-raung, ”Apa yang harus kusyukuri? Semua orang jijik melihatku. Mereka membicarakan anak kita, mereka membicarakan aku. Ketika lelaki menjadi binatang pengerat, setiap orang menyalahkan istrinya. Aku merasakan itu.”

”Aku hanya ingin membahagiakanmu.”

”Kau menyedihkan aku.”

Benar, kau menyedihkan aku. Karena itulah aku mengendap-endap hampir tiap malam, membahagiakan orang yang senang kubahagiakan. Ketika laporan soal nyawer muncul di koran, aku menyodorimu tulisan itu. Suaraku riang, ”Bacalah!” Suaramu sengit, ”Tak sudi.” Aku tahu kau tak suka membaca koran, tetapi, khusus laporan itu, aku ingin kau membacanya, lalu penasaran, lalu menyerangku: ”Kau yang nyawer perempuan bugil ini?” Demi kebaikan, aku akan meyakinkanmu, dan bersumpah, bahwa itu bukan aku dan bahwa laporan itu hanya karangan si wartawan. ***
READ MORE - Malam Saweran

Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)

Diakui atau tidak, kesan bahwa sekolah baru sebatas menjalankan fungsinya sebagai tempat mentrasfer ilmu secara kognitif masih kuat melekat dalam imaji publik. Fungsinya sebagai pusat pembentukan nilai yang mengacu pada perubahan mendasar dalam sikap, perilaku, dan keterampilan siswa, belum dapat dilaksanakan secara optimal. Apalagi, di tengah pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang belum sepenuhnya menemukan ”bentuk” ideal, masih banyak hambatan yang dirasakan oleh sekolah dalam menjalankan fungsinya sebagai ”agen” perubahan.

Gedung yang kokoh dan mentereng belum bisa menjadi jaminan bahwa di dalamnya berlangsung suasana dan atmosfer pendidikan yang menggambarkan perilaku ilmiah para penghuninya. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Sekolah baru sebatas ”menggugurkan” kewajiban pendidikan sebagai sebuah institusi; menampung anak-anak, menyuapi mereka dengan setumpuk teori dan hafalan, dan jika tiba saatnya diluluskan. Perkara mereka memiliki bekal yang cukup untuk masa depannya atau tidak, itu soal lain, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah.

Tradisi Pengajaran
Pengajaran bahasa Indonesia pun tak luput dari situasi semacam itu. Banyak pengamat dan pemerhati pendidikan menilai, pengajaran bahasa Indonesia belum sepenuhnya mampu merangsang siswa untuk berlatih berbahasa, berpikir, dan melakukan curah pikir secara kritis, logis, dan kreatif. Bahkan, situasi pembelajaran berlangsung kaku dan menegangkan. Peserta didik tidak diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk bertanya-jawab dan berdialog dalam suasana yang terbuka dan menyenangkan.

Berdasarkan amatan saya, setidaknya ada empat tradisi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah yang hingga kini masih berlangsung sehingga membuat siswa merasa jenuh dan tidak tertarik terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Pertama, tradisi hafalan dan penguasaan teori. Aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, yang seharusnya dipadukan dalam bentuk praktik dan latihan berbahasa, lebih sering ditekankan pada aspek kognitif semata. Bahkan, untuk mengejar target nilai ujian nasional (UN), guru tak jarang mengambil jalan pintas dengan mencekoki setumpuk soal pilihan ganda (PG) yang diperkirakan akan muncul dalam UN. Nilai UN siswa mungkin bagus, tetapi siapa dapat menjamin kalau para siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai?

Kedua, tradisi memperlakukan siswa sebagai ”anak mami”. Sistem pendidikan di negeri kita yang bertahun-tahun lamanya terbelenggu dalam atmosfer kebijakan yang serba sentralistis, disadari atau tidak, telah melahirkan sebuah tradisi pemasungan kemerdekaan berpikir siswa di kelas secara berlebihan. Siswa yang baik dicitrakan sebagai ”anak mami” yang selalu tunduk, penurut, tidak banyak bertanya –apalagi mendebat—dan mengamini semua pernyataan gurunya. Siswa yang kritis justru tak jarang diberi stigma sebagai pembangkang, tidak hormat, dan berani kepada sang guru. Suasana kelas yang tenang, sepi, siswa duduk manis, telah dicitrakan sebagai situasi kelas yang baik dan ideal. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai kalau mereka tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk mengungkapkan isi hati, pikiran, dan perasaannya melalui proses interaksi dan curah pikir?

Ketiga, tradisi guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam upaya menegakkan kewibawaan, guru seringkali bersikap berlebihan di depan siswanya. Tak jarang para guru memerankan dirinya sebagai sosok yang serba tahu; alergi terhadap kritik dan pantang didebat. Di tengah perubahan dan dinamika zaman yang ditandai dengan menjamurnya informasi dari berbagai sumber (media cetak dan elektronik), bukan hal yang sulit bagi siswa untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan. Dalam kondisi demikian, agaknya dibutuhkan figur seorang guru yang tidak ”menyakralkan” dirinya sebagai sosok yang pantang didebat sepanjang perilaku siswa masih berada dalam batas-batas yang bisa ditoleransi.

Keempat, tradisi UN yang menggunakan bentuk soal PG untuk menguji kompetensi siswa. Terlepas dari kemudahan dalam menentukan standar nilai secara nasional, soal berbentuk PG jelas makin menjauhkan siswa dari praktik berbahasa. Bagaimana mungkin bisa menguji keterampilan mendengarkan, berbicara, dan menulis siswa melalui soal semacam itu?

Agenda Revitalisasi Pengajaran
Hakikat tujuan pengajaran siswa adalah untuk membantu anak dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Siswa bukan sekadar belajar bahasa, melainkan juga belajar berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang mendasar adalah kemampuan menangkap pesan dan makna, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan media bahasa. Berbekal kemampuan semacam itu, siswa diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar.

Dalam konteks semacam itu, siswa harus lebih sering diberikan kesempatan untuk berlatih berbahasa secara serius, total, dan berkesinambungan, kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, siswa akan selalu merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa kebahasaan yang pada gilirannya kelak mereka akan terbiasa untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Untuk menarik minat dan mendekatkan siswa terhadap pelajaran bahasa Indonesia, diperlukan upaya revitalisasi pengajaran secara serius dan sistematis. Pertama, guru dituntut kreativitasnya dalam menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang aktif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Siswa perlu diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk berdiskusi dan bercurah pikir secara dialogis. Selain dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengasah penalaran siswa, juga untuk melatih keterampilan berbahasa. Guru perlu membangun imaji bahwa bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang menarik dan menyenangkan.

Kedua, mengembalikan kemerdekaan berpikir siswa di kelas yang selama ini terampas akibat paradigma pendidikan masa lalu yang memperlakukan siswa sebagai ”tong sampah ilmu pengetahuan”. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan isi hati dan perasaan mereka secara terbuka sehingga terjadi interaksi dua arah; antara guru dan siswa. Sudah bukan saatnya guru memosisikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar.

Ketiga, membongkar tradisi UN yang menggunakan bentuk soal pilihan ganda (PG) yang dinilai telah gagal dalam menguji keterampilan berbahasa siswa secara utuh dan menyeluruh.

Keempat, menghidupkan kembali pelajaran mengarang di sekolah. Hal ini penting dan relevan dikemukakan sebab mengarang termasuk bagian pengembangan logika (akal). Dalam kegiatan mengarang terdapat aktivitas merangkaikan gagasan, berlatih mengeluarkan pendapat secara sistematis dan logis, menimbang-nimbang, memadukan aksi-aksi, berfantasi, dan semacamnya.

Melalui agenda revitalisasi pengajaran, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar dicintai dan dibanggakan oleh anak-anak bangsa sepanjang masa di tengah kencangnya gerusan budaya global. Bahasa Indonesia tidak semata-mata melekat sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, tetapi manunggal secara emosional dan afektif. Kemampuan dan penguasaan berbahasa Indonesia tidak hanya sebagai pengetahuan semata, tetapi juga sebagai kenikmatan. Semoga! (habis) ***
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)

Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

Seperti sudah banyak diungkap oleh para pemerhati dan pengamat bahasa Indonesia bahwa rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia tak hanya berlangsung di kalangan siswa, tetapi juga telah jauh meluas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, para pejabat yang secara sosial seharusnya menjadi anutan pun tak jarang masih ”belepotan” dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Mewabahnya penggunaan bahasa Indonesia bermutu rendah, kalau boleh disebut demikian, menurut hemat saya, lantaran belum jelasnya strategi dan basis pembinaan. Pemerintah cenderung cuek dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat Bahasa –sebagai tangan panjangnya—untuk menyusun strategi dan kebijakan. Namun, harus jujur diakui, strategi dan kebijakan Pusat Bahasa masih cenderung elitis. Artinya, kebijakan yang dilakukan Pusat Bahasa hanya menyentuh lini dan kalangan tertentu, seperti Jurusan Pendidikan Bahasa atau Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi. Sementara, Pendidikan Dasar dan Menengah yang seharusnya menjadi basis pembinaan justru luput dari perhatian. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada para guru bahasa. Layak dipertanyakan, sudahkah para guru bahasa Indonesia di sekolah memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi satu-satunya sumber dalam membumikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar?

Upaya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tampaknya akan terus terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan kejelasan strategi dan basis pembinaan. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku.

Melahirkan generasi yang memiliki idealisme dan apresiasi tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar memang bukan hal yang mudah. Meskipun demikian, jika kemauan dan kepedulian dapat ditumbuhkan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang perlu segera digarap. Pertama, menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan keteladanan dalam hal penggunaan bahasa, bukannya malah melakukan ”perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang selama ini kita saksikan. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menciptakan iklim berbahasa yang kondusif; mampu menjadi media alternatif dan ”patron” berbahasa setelah orang tua dinilai gagal dalam memberikan keteladanan.

Kedua, menyediakan buku yang ”bergizi”, sehat, mendidik, dan mencerahkan bagi dunia anak. Buku-buku yang disediakan tidak cukup hanya terjaga bobot isinya, tetapi juga harus betul-betul teruji penggunaan bahasanya sehingga mampu memberikan ”vitamin” yang baik ke dalam ruang batin anak. Perpustakaan sekolah perlu dihidupkan dan dilengkapi dengan buku-buku bermutu, bukan buku ”kelas dua” yang sudah tergolong basi dan ketinggalan zaman. Pusat Perbukuan Nasional (Pusbuk) yang selama ini menjadi ”pemasok” utama buku anak-anak diharapkan benar-benar cermat dan teliti dalam menyunting dan menganalisis buku dari aspek kebahasaan.

Ketiga, menjadikan sekolah sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Di sanalah jutaan anak bangsa memburu ilmu. Bahasa Indonesia jelas akan menjadi sebuah kebanggaan dan kecintaan apabila anak-anak di sekolah gencar dibina, dilatih, dan dibimbing secara serius dan intensif sejak dini. Bukan menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini membutuhkan kesiapan fasilitas kebahasaan yang memadai di bawah bimbingan guru yang profesional dan mumpuni.

Dengan menjadikan sekolah sebagai basis dan sasaran utama pembinaan bahasa, kelak diharapkan generasi bangsa yang lahir dari ”rahim” sekolah benar-benar akan memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa negerinya sendiri, tidak mudah larut dan tenggelam ke dalam kubangan budaya global yang kurang sesuai dengan jatidiri dan kepribadian bangsa. Bahkan, bukan mustahil kelak mereka mampu menjadi ”pionir” yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Iptek yang berwibawa dan komunikatif di tengah kancah percanturan global, tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sebagai bangsa yang tinggi tingkat peradaban dan budayanya.

Dalam lingkup yang lebih kecil, melalui penguasaan bahasa Indonesia secara baik, mereka akan mampu menjadi ”penasfir” dan ”penerjemah” pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga mampu menjadi sosok yang cerdas, bermoral, beradab, dan berbudaya. Persoalannya sekarang, sudah siapkah sekolah dijadikan sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia? Sudahkah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah berlangsung seperti yang diharapkan? Sudah terciptakah atmosfer pengajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga mampu menarik dan memikat minat siswa untuk belajar bahasa Indonesia secara total dan intens? *** (bersambung)
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

AGUPENA Jawa Tengah dan Budaya Menulis di Kalangan Guru

agupenaAsosiasi Guru Penulis (AGUPENA) Jawa Tengah akhirnya terbentuk juga. LPMP Semarang Jawa Tengah, pada Rabu, 4 April 2009 (pukul 09.00-15 WIB) menjadi saksi terbentuknya kepengurusan periode I masa bakti 2009-2011. Menurut Ketua AGUPENA Pusat, Achjar Jalil, yang ikut hadir dalam acara itu, masa bakti pengurus AGUPENA seharusnya 4 tahun. Namun, karena alotnya diskusi tim formator, khususnya dalam menentukan posisi Ketua Umum, akhirnya diambil kesepakatan, untuk periode I kepengurusan AGUPENA Jawa Tengah berlangsung selama dua tahun. Alotnya kerja Tim Formatur yang dipilih berdasarkan voting dari 29 peserta yang hadir itu terjadi karena Deny Kurniawan Asy’ari (Banyumas) yang disepakati secara aklamasi oleh Tim Formatur menolak untuk menduduki posisi Ketua Umum. Untuk menuntaskan deadlock, akhirnya terjadi tawar-menawar. Deny Kurniawan Asy’ari bersedia menjadi Ketua Umum dengan catatan lamanya kepengurusan selama dua tahun. Karena sudah tak ada jalan lain, akhirnya usulan Pak Deny diterima. (Susunan pengurus AGUPENA Jawa Tengah Masa Bakti 2009-2011 bisa dibaca di sini dan di sini!)

Terlepas dari alotnya kerja Tim Formatur, yang pasti sejumlah persoalan sudah menghadang di depan mata. Salah satunya, dan ini yang cukup krusial dan urgen, adalah menjadikan aktivitas menulis sebagai sebuah budaya di kalangan guru. Tentu saja, ini perlu dijadikan sebagai sasaran bidik AGUPENA Jateng dalam melakukan aksi dan kiprah kerjanya.

Secara jujur memang harus diakui, budaya menulis di kalangan guru masih amat rendah. Menurut Sukartono (LPMP Jawa Tengah), persentase guru yang berhasil naik pangkat ke golongan IV-B masih sangat sedikit, yakni SD (0,20%), SMP (2,04%), SMA (1,65%), dan SMK (1,46%). Hambatannya adalah masih lemahnya guru dalam menyusun karya ilmiah sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat ke golongan IV-B.

Dalam konteks demikian, AGUPENA Jawa Tengah di bawah kepengurusan Dey Kurniawan Asy’ari, dkk. perlu berkiprah lebih intens dalam membudayakan aktivitas menulis di kalangan guru. Tentu saja, kerja pengurus perlu mendapatkan dukungan segenap pihak yang terkait agar sasaran itu benar-benar bisa terwujud.

Ada banyak agenda untuk mendukung terwujudnya sasaran itu. Selain membentuk kepengurusan AGUPENA di 35 kabupaten/kota se-Jawa Tengah, perlu ada agenda rutin untuk memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat), workshop, atau bentuk kegiatan yang lain secara simultan dan berkelanjutan. Dengan cara demikian, guru akan semakin terangsang dan termotivasi untuk membudayakan aktivitas menulis dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga AGUPENA Jawa Tengah yang sudah terbentuk itu benar-benar dapat menjalankan amanah dan mampu membangun sinergi yang kokoh di kalangan rekan-rekan sejawat guru sehingga dapat bersama-sama secara kolegial dan kolektif memberdayakan dan meningkatkan profesionalisme guru. ***
READ MORE - AGUPENA Jawa Tengah dan Budaya Menulis di Kalangan Guru

Sastra Koran versus Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.


Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.



READ MORE - Sastra Koran versus Sastra Cyber

Catatan dari Balik Kabut

 



Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda


Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa


Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***

Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.


korupsi.jpgKebangkrutan bangsa kita agaknya sedang dijadikan “amunisi” negeri jiran itu untuk mengumbar arogansi dan kejumawaannya. Mereka punya nyali karena mereka yakin kita tak akan sanggup melawannya. Tak heran jika kasus pemukulan wasit karate Indonesia oleh polisi Malaysia pun hanya dianggap sebagai perkara kecil yang tak perlu diladeni. Kekerasan terbuka yang dilakukan oleh pasukan Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA) terhadap imigran Indonesia telah menjadi bagian “hiburan” dari preman-preman yang didesain secara resmi oleh negeri itu.



READ MORE - Catatan dari Balik Kabut