Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

petaindonesiaKita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: "baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan." Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
("Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

Mengapa Pembusukan Bahasa selalu Terjadi?

Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia (BI) telah melewati rajutan sejarah yang panjang sejak difungsikan sebagai lingua franca dan bahasa resmi hingga menjadi bahasa komunikasi di tingkat global. Sudah delapan dasawarsa BI hidup, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban bangsa. Namun, tidak seperti perjalanan dan dinamika manusia yang makin lama makin menemukan kematangan dan “kesempurnaan” hidup, BI justru mengalami pembusukan. Pertama, pembusukan yang dilakukan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Tak dapat disangkal lagi, media memiliki daya sugesti dan persuasi yang begitu kuat terhadap publik. Bahkan, saat ini tidak sedikit orang yang memiliki ketergantungan informasi terhadap media. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa bahasa media memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penggunaan bahasa publik.

Penggunaan satuan bahasa tertentu yang terus berulang dalam sebuah media tak jarang diyakini sebagai bentuk yang tepat sehingga publik bersikap latah untuk tak segan-segan menirunya. Contoh yang paling gampang, misalnya kata “dimassa” (=dipukuli), seperti dalam kalimat: “Pencopet yang tertangkap itu dimassa beramai-ramai oleh penduduk kampung”. Dalam struktur BI, awalan (bukan kata depan) “di-“ yang melekat pada nomina (kata benda) yang berfungsi untuk membentuk verba (kata kerja) hampir tidak pernah ditemukan. Kita tak pernah mengenal bentuk verba dirumah, dibatu, dibola, dan semacamnya. Demikian juga penggunaan kata penunjuk jamak “para” yang seharusnya tak perlu lagi digunakan di depan nomina jamak, seperti “para politisi” atau “para kritisi” yang seharusnya “para politikus” atau “para kritikus”.

Tak hanya dalam bentukan kata, kesalahan logika pun masih sering terjadi dalam penggunaan bahasa di media. Seorang pemandu acara TV, misalnya, tak jarang menggunakan tuturan: “Kepada Bapak …. waktu dan tempat kami persilakan …” yang seharusnya akan lebih efektif dan masuk akal jika diganti menjadi “Bapak …. kami persilakan untuk menyampaikan sambutan”. Bukankah yang dipersilakan untuk berbicara itu orangnya, bukan waktu dan tempatnya?

Kedua, pembusukan yang dilakukan oleh kaum elite di berbagai lapis dan lini yang seharusnya menjadi anutan sosial dalam berbahasa. Di tengah kultur masyarakat kita yang cenderung paternalistis, kaum elite, diakui atau tidak, telah menjadi “kiblat” publik dalam berbahasa. Kita masih ingat ketika Soeharto dengan gaya pelafalannya yang khas; mengubah lafal /a/ menjadi /?/; bawahannya beramai-ramai menirunya sebagai penghormatan dan sekaligus “keterkekangan” dalam bentuk tuturan. Yang lebih memprihatinkan gejala pelafalan yang salah kaprah semacam itu terus berlanjut hingga ke tingkat RW/RT sehingga warga masyarakat menganggapnya sebagai lafal yang benar.

Ketiga, pembusukan akibat merebaknya gejala tuturan Indon-English yang dilakukan, entah dengan sengaja atau tidak, oleh para pejabat “kontemporer” kita yang saat ini tengah berada dalam lingkaran kekuasaan dan kaum menengah ke atas. Di tengah era kesejagatan, ketika dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global, proses campur-kode antara bahasa Indonesia dan bahasa asing memang musthail bisa kita tolak kehadirannya. Bahkan, proses campur-kode semacam itu akan mampu memperkaya bentuk-bentuk kebahasaan dan kosakata bahasa kita. Namun, alangkah naifnya jika proses campur-kode semacam itu tidak lagi mengindahkan konteks tuturan. Kita makin tak peduli kepada siapa dan dalam situasi bagaimana kita bertutur sehingga tak jarang menimbulkan kesalahpahaman.

Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dalam pemahaman awam saya, perlu mempertimbangkan konteks tuturan. Artinya, ketika berbicara dalam suasana santai dan akrab, misalnya, tidak salah kalau kita menggunakan bahasa “gado-gado”, asalkan komunikatif dan efektif. Namun, ketika berbicara dalam suasana resmi, akan lebih baik dan benar jika kita menggunakan bahasa baku sesuai dengan fungsi bahasa kita sebagai bahasa resmi.

Saya tak tahu pasti, kapan pembusukan itu berawal dan kapan akan berakhir. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam kubangan pembusukan yang lebih dalam, agaknya BI akan makin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan sejak dini kepada generasi masa depan negeri ini agar mereka tak ikut-ikutan mewarisi pembusukan itu. ***
READ MORE - Mengapa Pembusukan Bahasa selalu Terjadi?

Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian II-Habis)

mediaSesungguhnya masih banyak ragam bahasa media (cetak) yang mengalami gejala deviasi. Beberapa contoh sebelumnya hanya sekadar bukti betapa ragam bahasa media selama ini sangat dipengaruhi oleh keterbatasan rubrikasi dan persoalan industri yang berorientasi untung-rugi. Lalu, bagaimana posisi ragam bahasa media dalam perspektif pembelajaran bahasa? Bisakah ragam bahasa media (cetak) yang seringkali bertabrakan dengan kaidah kebahasaan dijadikan sebagai bahan ajar?

Pada era sekarang, guru di sekolah bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa didik. Seiring dengan membanjirnya arus informasi yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu, kapan dan di mana pun seorang siswa bisa mendapatkan informasi dari berbagai media. Melalui surat kabar, misalnya, seorang siswa mampu memperoleh setumpuk informasi hangat dan aktual tanpa harus menguras energi, waktu, dan biaya untuk melacak sumber berita pertama.

Dalam konteks demikian, kehadiran media (cetak) sangat membantu guru bahasa dalam meningkatkan mutu proses pembelajaran di sekolah. Pertama, dapat meningkatkan minat baca siswa. Ragam bahasa media (cetak) sangat berbeda dengan ragam bahsa dalam buku teks yang cenderung kaku dan monoton. Dengan ragam bahasa jurnalistik yang lebih lincah, ringan, dan menghibur, media (cetak) bisa dijadikan sebagai media alternatif bagi siswa dalam mendapatkan informasi-informasi yang hangat dan aktual sekaligus menghibur. Ini artinya, media (cetak) bisa memberikan sumbangsih yang cukup berarti dalam mencerdaskan anak-anak bangsa yang tengah gencar memburu ilmu di bangku sekolah. Dengan kata lain, media (cetak) bisa ikut meringankan beban gur dalam merangsang daya pikat siswa terhadap bahan bacaan.

Kedua, medai (cetak) pada umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan siswa. Salah satu daya tarik media (cetak) bagi publik adalah keterlibatan media yang bersangkutan dalam menayajikan berita-berita yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia pembaca. Pembaca (sisa) jelas akan lebih tertarik untuk menyimak berita-berita lokal yang berkaitan dengan wilayah “teritorial”-nya daripada “menikmati” sajian berita tentang daerah lain yang secara kultural tidak dikenalnya. Oleh karena itu, sangat beralasan jika ada anggapan yang menyatakan bahwa seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), media-media (cetak) lokal akan makin eksis di tengah-tengah dinamika dunia pendidikan karena munculnya pendekatan kontekstual yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran di kelas yang memberikan keleluasaan kepada para guru untuk mendekatkan dunia siswa pada budaya lokal.

Ketiga, informasi-informasi yang disajikan media (cetak) bisa dipilih oleh guru untuk dikemas sebagai media dan materi ajar di kelas yang menarik dan menyenangkan. Sudah lama dunia pendidikan di negeri ini terpasung di atas tungku kekuasaan rezim penguasa lewat kebijakan-kebijakannya yang serba sentralistis dan otoriter dalam bentuk penyeragaman buku teks yang wajib dipelajari sisa, tanpa memperhatikan perbedaan latar belakang sosial-budaya siswa didik. Akibatnya, kepekaan peserta didik dalam menangkap fenomena-fenomena sosial-budaya yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya menjadi mandul. Guru sebagai profesi yang otonom dan mandiri pun telah kehilangan kemerdekaan untuk mengoptimalkan kreativitasnya dalam mengelola pembelajaran di kelas. Guru harus selalu patuh dan tunduk pad apetunjuk atasan yang acapkali kurang relevan dengan kondisi riil. Dengan menggunakan teks-teks bacaan dari media (cetak) lokal yang secara kontekstual memiliki kedekatan kultural dengan dunia siswa, guru bisa mengasah kepekaan peserta didik dalam memahami denyut kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya sebagai bekal mereka dalam memasuki kehidupan yang sesungguhnya.

Keempat, ragam media (cetak) bisa dijadikan sebagai sarana bagi guru dalam memperkaya kosakata. Setiap hari, media (cetak) hadir mengunjungi pembacanya. Beragam kosakata yang selama ini luput dari perhatian guru pun bermunculan. Dalam kondisi demikian, mau atau tidak, guru bahasa “dipaksa” memahami makna kosakata yang baru dikenalnya melalui kamus atau sumber yang lain. Ini artinya, kehadiran media (cetak) ikut memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi guru dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.

Meskipun demikian, bukan berarti ragam bahasa media (cetak) dalam perspektif pembelajaran bahasa hadir tanpa cacat. Banyaknya gejala deviasi yang muncul dalam judul berita, penggunaan tanda baca, diksi, struktur kalimat, penataan paragraf, pemenggalan suku kata, atau penggunaan konjungsi bisa menimbulkan masalah tersendiri bagi guru bahasa dalam proses pembelajaran di kelas. Guru bahasa jelas tidak bisa menyalahkan siswa ketika mendapatkan contoh-contoh konstruksi bahasa yang secara substansial dianggap bertentangan dengan apa yang telah disajikan guru di kelas.

Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan mustahil seruan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan kearifan dan kepekaan insan pers untuk mengemas informasi melalui penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, tanpa harus meninggalkan kadiah-kaidah bahasa. Selain itu, media (cetak) diharapkan juga mampu menjadi media yang mencerahkan dan mencerdaskan publik; lincah memburu berita dan santun mengemas bahasa. Hanya dengan cara demikian, media (cetak) tertentu akan tetap disegani dan dicintai publik di tengah-tengah menjamurnya media yang suka mengumbar sensasi melalui penggunaan ragam bahasa yang seronok, vulgar, dan provokatif. *** (habis)
READ MORE - Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian II-Habis)

Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

koranSeiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus kesejagatan, kehadiran media publik, baik cetak maupun elektronik, telah menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Ia telah dianggap sebagai ikon peradaban masyarakat modern dalam memburu informasi. Untuk mendapatkan berita-berita penting dan berharga, masyarakat tidak harus berduyun-duyun ke tempat kejadian perkara. Hanya dengan membaca atau menyaksikan tayangan berita, masyarakat bisa dengan mudah mengikuti berbagai informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Fungsi media, dalam pandangan Harold D. Laswell dan Charles Wright (dalam Simaremare, 1998), adalah untuk mengenali dan menyajikan informasi tentang kenyataan, memilih, dan menafsirkan kenyataan, menyajikan, dan meneruskan nilai-nilai sosial-budaya kepada generasi penerus, serta memberikan hiburan kepada masyarakat. Dalam konteks demikian, maka fungsi media massa adalah mengumpulkan informasi tentang kenyataan sebagai bahan berita, mengolah, dan menyunting bahan berita tersebut, untuk selanjutnya menyajikannya sebagai berita, serta menulis tajuk rencana sebagai wujud dari tugasnya dalam menafsirkan kenyataan untuk menuntun pikiran dan pemahaman khalayak, serta melakukan kontrol sosial.

Ragam Bahasa Media
Dalam menyajikan informasi kepada publik, bahasa jelas menjadi media pendukung utama untuk menyajikan fakta-fakta dan pesan-pesan. Dalam surat kabar, misalnya, bahasa digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan dan mengartikulasikan berbagai peristiwa menjadi sebuah berita secara tertulis.

Pada hakikatnya bahasa media tak jauh berbeda dengan ragam bahasa tulis lainnya. Dalam ragam bahasa tulis, orang yang berbahasa tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang diajak berbahasa. Implikasinya, bahasa yang digunakan harus lebih terang dan jelas karena tujuannya tidak dapat disertai gerak isyarat, pandangan, anggukan, dan semacamnya sebagai tanda penegasan atau pemahaman terhadap informasi tertentu. Oleh karena itu, kalimat dalam ragam bahasa tulis harus lebih cermat sifatnya.

Sebagai sebuah ragam bahasa tulis, bahasa media idealnya harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, bahasanya mesti terpelihara. Penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah media sesuai dengan fungsinya sebagai media publik. Ia akan dibaca dan dinikmati oleh berbagai kalangan yang beragam, baik dari sisi tingkat usia dan pendidikan, status sosial-ekonomi, budaya, suku, maupun agama. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, keterangan, atau hubungan di antara fungsi-fungsi itu harus jelas dan nyata. Penggunaan bahasa media yang terpelihara, jujur, jernih, dan santun akan ikut menentukan kredibilitas media yang bersangkutan dalam meraih simpati publik. Ini artinya, aturan-aturan yang berlaku dalam penulisan harus dipatuhi. Kaidah-kaidah kebahasaan, seperti penggunaan ejaan, istilah, tanda baca, dan semacamnya sepenuhnya harus diperhatikan dan ditaati. Bahasa media yang terpelihara dengan baik akan diteladani publik dalam berbahasa secara baik dan benar.

Kedua, bahasa media juga harus lebih mudah dipahami. Karena tugasnya membawa berita; pesan, dan nilai-nilai moral kepada publik, bahasa dalam media harus mudah dipahami. Apa yang disampaikan dalam sebuah media jangan sampai menimbulkan penafsiran ganda yang dapat menggiring dan membangun opini publik secara keliru. Aspek-aspek konstruksi bahasa, seperti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, hendaknya dipilih secara cermat, netral makna, dan tunggal makna. Penggunaan konstruksi bahasa yang singkat dan padu jelas akan lebih tepat dan bermakna jika dibandingkan dengan penggunaan konstruksi bahasa yang berpanjang-panjang, berbelit-belit, dan bertele-tele.

Meskipun demikian, memasukkan dua syarat utama tersebut ke dalam kemasan bahasa media yang ideal bukanlah persoalan yang mudah. Penggunaan bahasa media seringkali menimbulkan persoalan dilematis. Pada satu sisi dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi, atau mengungkapkan unsur-unsur emosi, sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca. Namun, pada sisi lain, penggunaan bahasa media acapkali tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih, dan jujur jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.

Gejala Deviasi dalam Ragam Bahasa Media
Karena keterbatasan rubrikasi, koran sebagai salah satu media publik, seringkali terjebak dalam situasi dilematis semacam itu. Gejala deviasi atau penyimpangan bahasa seringkali muncul dalam pemberitaan yang disajikan.
Berikut ini disajikan beberapa contoh ragam bahasa koran yang mengalami gejala deviasi bahasa.

  1. “Dua pelajar Mencuri Beo Dimassa.” Tepatkah penggunaan bentuk “Dimassa” dalam kalimat tersebut? Salah satu arti “massa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sekumpulan orang yang banyak sekali” yang termasuk kelas nomina (kata benda). Dalam kaidah bahasa, bentuk “di” yang diikuti nomina (membentuk keterangan tempat) harus ditulis terpisah. Namun, seandainya ditulis terpisah, bentuk “Di Massa” tetap bukan bentukan yang benar, karena secara semantik tidak masuk akal. Antara morfem “di” dan “Massa” seharusnya disisipkan verba “hajar” atau “keroyok”, sehingga kalimatnya menjadi “Dua pelajar Mencuri Beo Dihajar (Dikeroyok) Massa.”

  2. “Tetapi dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar.” Konjungsi “tetapi” dalam kalimat tersebut seharusnya diganti dengan “Namun” atau “Akan tetapi” dan diikuti tanda koma (,). “Tetapi” merupakan konjungsi yang digunakan untuk menggabungkan antarklausa yang tidak bisa digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Namun, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar” atau “Akan tetapi, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar”.

  3. “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”. Dalam kalimat ini terjadi penghilangan kata “juga” yang seharusnya dicantumkan secara eksplisit untuk melengkapi kata “selain” yang digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi juga menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”.

  4. “Gubernur Irup di Simpang Lima”. Judul ini bisa menyesatkan pembaca. Kata “Irup” yang merupakan akronim dari “Inspektur Upacara” dalam kalimat tersebut bisa diartikan bahwa Irup adalah nama seorang gubernur. Jadi, kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi “Gubernur Menjadi Irup di Simpang Lima”.

  5. “Di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, seusai tirakatan, baru warga mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak. Antara lain, lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. Dua kalimat ini mengalami gejala hiperkorek, kesalahan struktur kalimat, dan ketidakpaduan antarklausa. Penggunaan frasa “seusai tirakatan”yang diikuti kata “baru” merupakan kerancuan struktur kalimat yang cukup mengganggu. Kalimat tersebut akan lebih tepat jika frasa “seusai tirakatan” diletakkan pada awal kalimat dan kata “baru” dihilangkan. Kedua kalimat tersebut akan lebih tepat jika diubah menjadi “Seusai tirakatan, warga di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak, antara lain: lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. ***



(Bersambung)
READ MORE - Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)

Diakui atau tidak, kesan bahwa sekolah baru sebatas menjalankan fungsinya sebagai tempat mentrasfer ilmu secara kognitif masih kuat melekat dalam imaji publik. Fungsinya sebagai pusat pembentukan nilai yang mengacu pada perubahan mendasar dalam sikap, perilaku, dan keterampilan siswa, belum dapat dilaksanakan secara optimal. Apalagi, di tengah pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang belum sepenuhnya menemukan ”bentuk” ideal, masih banyak hambatan yang dirasakan oleh sekolah dalam menjalankan fungsinya sebagai ”agen” perubahan.

Gedung yang kokoh dan mentereng belum bisa menjadi jaminan bahwa di dalamnya berlangsung suasana dan atmosfer pendidikan yang menggambarkan perilaku ilmiah para penghuninya. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Sekolah baru sebatas ”menggugurkan” kewajiban pendidikan sebagai sebuah institusi; menampung anak-anak, menyuapi mereka dengan setumpuk teori dan hafalan, dan jika tiba saatnya diluluskan. Perkara mereka memiliki bekal yang cukup untuk masa depannya atau tidak, itu soal lain, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah.

Tradisi Pengajaran
Pengajaran bahasa Indonesia pun tak luput dari situasi semacam itu. Banyak pengamat dan pemerhati pendidikan menilai, pengajaran bahasa Indonesia belum sepenuhnya mampu merangsang siswa untuk berlatih berbahasa, berpikir, dan melakukan curah pikir secara kritis, logis, dan kreatif. Bahkan, situasi pembelajaran berlangsung kaku dan menegangkan. Peserta didik tidak diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk bertanya-jawab dan berdialog dalam suasana yang terbuka dan menyenangkan.

Berdasarkan amatan saya, setidaknya ada empat tradisi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah yang hingga kini masih berlangsung sehingga membuat siswa merasa jenuh dan tidak tertarik terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia. Pertama, tradisi hafalan dan penguasaan teori. Aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, yang seharusnya dipadukan dalam bentuk praktik dan latihan berbahasa, lebih sering ditekankan pada aspek kognitif semata. Bahkan, untuk mengejar target nilai ujian nasional (UN), guru tak jarang mengambil jalan pintas dengan mencekoki setumpuk soal pilihan ganda (PG) yang diperkirakan akan muncul dalam UN. Nilai UN siswa mungkin bagus, tetapi siapa dapat menjamin kalau para siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai?

Kedua, tradisi memperlakukan siswa sebagai ”anak mami”. Sistem pendidikan di negeri kita yang bertahun-tahun lamanya terbelenggu dalam atmosfer kebijakan yang serba sentralistis, disadari atau tidak, telah melahirkan sebuah tradisi pemasungan kemerdekaan berpikir siswa di kelas secara berlebihan. Siswa yang baik dicitrakan sebagai ”anak mami” yang selalu tunduk, penurut, tidak banyak bertanya –apalagi mendebat—dan mengamini semua pernyataan gurunya. Siswa yang kritis justru tak jarang diberi stigma sebagai pembangkang, tidak hormat, dan berani kepada sang guru. Suasana kelas yang tenang, sepi, siswa duduk manis, telah dicitrakan sebagai situasi kelas yang baik dan ideal. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin siswa memiliki bekal keterampilan berbahasa yang memadai kalau mereka tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk mengungkapkan isi hati, pikiran, dan perasaannya melalui proses interaksi dan curah pikir?

Ketiga, tradisi guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam upaya menegakkan kewibawaan, guru seringkali bersikap berlebihan di depan siswanya. Tak jarang para guru memerankan dirinya sebagai sosok yang serba tahu; alergi terhadap kritik dan pantang didebat. Di tengah perubahan dan dinamika zaman yang ditandai dengan menjamurnya informasi dari berbagai sumber (media cetak dan elektronik), bukan hal yang sulit bagi siswa untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan. Dalam kondisi demikian, agaknya dibutuhkan figur seorang guru yang tidak ”menyakralkan” dirinya sebagai sosok yang pantang didebat sepanjang perilaku siswa masih berada dalam batas-batas yang bisa ditoleransi.

Keempat, tradisi UN yang menggunakan bentuk soal PG untuk menguji kompetensi siswa. Terlepas dari kemudahan dalam menentukan standar nilai secara nasional, soal berbentuk PG jelas makin menjauhkan siswa dari praktik berbahasa. Bagaimana mungkin bisa menguji keterampilan mendengarkan, berbicara, dan menulis siswa melalui soal semacam itu?

Agenda Revitalisasi Pengajaran
Hakikat tujuan pengajaran siswa adalah untuk membantu anak dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Siswa bukan sekadar belajar bahasa, melainkan juga belajar berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang mendasar adalah kemampuan menangkap pesan dan makna, termasuk menafsirkan dan menilai, serta kemampuan untuk mengekspresikan diri dengan media bahasa. Berbekal kemampuan semacam itu, siswa diharapkan dapat mempertajam kepekaan perasaan dan meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar.

Dalam konteks semacam itu, siswa harus lebih sering diberikan kesempatan untuk berlatih berbahasa secara serius, total, dan berkesinambungan, kemudian dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, siswa akan selalu merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa kebahasaan yang pada gilirannya kelak mereka akan terbiasa untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Untuk menarik minat dan mendekatkan siswa terhadap pelajaran bahasa Indonesia, diperlukan upaya revitalisasi pengajaran secara serius dan sistematis. Pertama, guru dituntut kreativitasnya dalam menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang aktif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Siswa perlu diberikan ruang dan kesempatan yang cukup untuk berdiskusi dan bercurah pikir secara dialogis. Selain dapat dijadikan sebagai ajang untuk mengasah penalaran siswa, juga untuk melatih keterampilan berbahasa. Guru perlu membangun imaji bahwa bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang menarik dan menyenangkan.

Kedua, mengembalikan kemerdekaan berpikir siswa di kelas yang selama ini terampas akibat paradigma pendidikan masa lalu yang memperlakukan siswa sebagai ”tong sampah ilmu pengetahuan”. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan isi hati dan perasaan mereka secara terbuka sehingga terjadi interaksi dua arah; antara guru dan siswa. Sudah bukan saatnya guru memosisikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar.

Ketiga, membongkar tradisi UN yang menggunakan bentuk soal pilihan ganda (PG) yang dinilai telah gagal dalam menguji keterampilan berbahasa siswa secara utuh dan menyeluruh.

Keempat, menghidupkan kembali pelajaran mengarang di sekolah. Hal ini penting dan relevan dikemukakan sebab mengarang termasuk bagian pengembangan logika (akal). Dalam kegiatan mengarang terdapat aktivitas merangkaikan gagasan, berlatih mengeluarkan pendapat secara sistematis dan logis, menimbang-nimbang, memadukan aksi-aksi, berfantasi, dan semacamnya.

Melalui agenda revitalisasi pengajaran, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar dicintai dan dibanggakan oleh anak-anak bangsa sepanjang masa di tengah kencangnya gerusan budaya global. Bahasa Indonesia tidak semata-mata melekat sebagai sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, tetapi manunggal secara emosional dan afektif. Kemampuan dan penguasaan berbahasa Indonesia tidak hanya sebagai pengetahuan semata, tetapi juga sebagai kenikmatan. Semoga! (habis) ***
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pengembangan Bahasa Indonesia (2-Habis)