Ragam Bahasa Media dalam Perspektif Pembelajaran Bahasa (Bagian I)

koranSeiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus kesejagatan, kehadiran media publik, baik cetak maupun elektronik, telah menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Ia telah dianggap sebagai ikon peradaban masyarakat modern dalam memburu informasi. Untuk mendapatkan berita-berita penting dan berharga, masyarakat tidak harus berduyun-duyun ke tempat kejadian perkara. Hanya dengan membaca atau menyaksikan tayangan berita, masyarakat bisa dengan mudah mengikuti berbagai informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Fungsi media, dalam pandangan Harold D. Laswell dan Charles Wright (dalam Simaremare, 1998), adalah untuk mengenali dan menyajikan informasi tentang kenyataan, memilih, dan menafsirkan kenyataan, menyajikan, dan meneruskan nilai-nilai sosial-budaya kepada generasi penerus, serta memberikan hiburan kepada masyarakat. Dalam konteks demikian, maka fungsi media massa adalah mengumpulkan informasi tentang kenyataan sebagai bahan berita, mengolah, dan menyunting bahan berita tersebut, untuk selanjutnya menyajikannya sebagai berita, serta menulis tajuk rencana sebagai wujud dari tugasnya dalam menafsirkan kenyataan untuk menuntun pikiran dan pemahaman khalayak, serta melakukan kontrol sosial.

Ragam Bahasa Media
Dalam menyajikan informasi kepada publik, bahasa jelas menjadi media pendukung utama untuk menyajikan fakta-fakta dan pesan-pesan. Dalam surat kabar, misalnya, bahasa digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan dan mengartikulasikan berbagai peristiwa menjadi sebuah berita secara tertulis.

Pada hakikatnya bahasa media tak jauh berbeda dengan ragam bahasa tulis lainnya. Dalam ragam bahasa tulis, orang yang berbahasa tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang diajak berbahasa. Implikasinya, bahasa yang digunakan harus lebih terang dan jelas karena tujuannya tidak dapat disertai gerak isyarat, pandangan, anggukan, dan semacamnya sebagai tanda penegasan atau pemahaman terhadap informasi tertentu. Oleh karena itu, kalimat dalam ragam bahasa tulis harus lebih cermat sifatnya.

Sebagai sebuah ragam bahasa tulis, bahasa media idealnya harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, bahasanya mesti terpelihara. Penggunaan bahasa yang terpelihara dengan baik, menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah media sesuai dengan fungsinya sebagai media publik. Ia akan dibaca dan dinikmati oleh berbagai kalangan yang beragam, baik dari sisi tingkat usia dan pendidikan, status sosial-ekonomi, budaya, suku, maupun agama. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, objek, keterangan, atau hubungan di antara fungsi-fungsi itu harus jelas dan nyata. Penggunaan bahasa media yang terpelihara, jujur, jernih, dan santun akan ikut menentukan kredibilitas media yang bersangkutan dalam meraih simpati publik. Ini artinya, aturan-aturan yang berlaku dalam penulisan harus dipatuhi. Kaidah-kaidah kebahasaan, seperti penggunaan ejaan, istilah, tanda baca, dan semacamnya sepenuhnya harus diperhatikan dan ditaati. Bahasa media yang terpelihara dengan baik akan diteladani publik dalam berbahasa secara baik dan benar.

Kedua, bahasa media juga harus lebih mudah dipahami. Karena tugasnya membawa berita; pesan, dan nilai-nilai moral kepada publik, bahasa dalam media harus mudah dipahami. Apa yang disampaikan dalam sebuah media jangan sampai menimbulkan penafsiran ganda yang dapat menggiring dan membangun opini publik secara keliru. Aspek-aspek konstruksi bahasa, seperti kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, hendaknya dipilih secara cermat, netral makna, dan tunggal makna. Penggunaan konstruksi bahasa yang singkat dan padu jelas akan lebih tepat dan bermakna jika dibandingkan dengan penggunaan konstruksi bahasa yang berpanjang-panjang, berbelit-belit, dan bertele-tele.

Meskipun demikian, memasukkan dua syarat utama tersebut ke dalam kemasan bahasa media yang ideal bukanlah persoalan yang mudah. Penggunaan bahasa media seringkali menimbulkan persoalan dilematis. Pada satu sisi dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi, atau mengungkapkan unsur-unsur emosi, sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca. Namun, pada sisi lain, penggunaan bahasa media acapkali tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih, dan jujur jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.

Gejala Deviasi dalam Ragam Bahasa Media
Karena keterbatasan rubrikasi, koran sebagai salah satu media publik, seringkali terjebak dalam situasi dilematis semacam itu. Gejala deviasi atau penyimpangan bahasa seringkali muncul dalam pemberitaan yang disajikan.
Berikut ini disajikan beberapa contoh ragam bahasa koran yang mengalami gejala deviasi bahasa.

  1. “Dua pelajar Mencuri Beo Dimassa.” Tepatkah penggunaan bentuk “Dimassa” dalam kalimat tersebut? Salah satu arti “massa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sekumpulan orang yang banyak sekali” yang termasuk kelas nomina (kata benda). Dalam kaidah bahasa, bentuk “di” yang diikuti nomina (membentuk keterangan tempat) harus ditulis terpisah. Namun, seandainya ditulis terpisah, bentuk “Di Massa” tetap bukan bentukan yang benar, karena secara semantik tidak masuk akal. Antara morfem “di” dan “Massa” seharusnya disisipkan verba “hajar” atau “keroyok”, sehingga kalimatnya menjadi “Dua pelajar Mencuri Beo Dihajar (Dikeroyok) Massa.”

  2. “Tetapi dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar.” Konjungsi “tetapi” dalam kalimat tersebut seharusnya diganti dengan “Namun” atau “Akan tetapi” dan diikuti tanda koma (,). “Tetapi” merupakan konjungsi yang digunakan untuk menggabungkan antarklausa yang tidak bisa digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Namun, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar” atau “Akan tetapi, dengan alasan sakit gigi dan hendak berobat, dia izin keluar”.

  3. “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”. Dalam kalimat ini terjadi penghilangan kata “juga” yang seharusnya dicantumkan secara eksplisit untuk melengkapi kata “selain” yang digunakan pada awal kalimat. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi: “Selain dompet tersangka yang berisi uang, polisi juga menyita sebilah celurit yang masih berlumuran darah dari lokasi kejadian”.

  4. “Gubernur Irup di Simpang Lima”. Judul ini bisa menyesatkan pembaca. Kata “Irup” yang merupakan akronim dari “Inspektur Upacara” dalam kalimat tersebut bisa diartikan bahwa Irup adalah nama seorang gubernur. Jadi, kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi “Gubernur Menjadi Irup di Simpang Lima”.

  5. “Di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, seusai tirakatan, baru warga mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak. Antara lain, lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. Dua kalimat ini mengalami gejala hiperkorek, kesalahan struktur kalimat, dan ketidakpaduan antarklausa. Penggunaan frasa “seusai tirakatan”yang diikuti kata “baru” merupakan kerancuan struktur kalimat yang cukup mengganggu. Kalimat tersebut akan lebih tepat jika frasa “seusai tirakatan” diletakkan pada awal kalimat dan kata “baru” dihilangkan. Kedua kalimat tersebut akan lebih tepat jika diubah menjadi “Seusai tirakatan, warga di Jl. Ngablak, Kelurahan Muktiharjo Lor, mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak, antara lain: lomba membawa kelereng dengan sendok, lomba joget, menggiring balon, dan mewarnai gambar”. ***



(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar