Sastra Koran dan Imaji tentang Kekerasan

Tradisi penulisan teks sastra lewat koran (sastra koran) sudah lama muncul. (Hampir) semua sastrawan kondang memanfaatkannya. Gerson Poyk, Abdul Hadi WM, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Gus Mus, Hamsad Rangkuti, atau Afrizal Malna –sekadar menyebut beberapa nama—adalah sederet tokoh yang dengan amat sadar ”menggauli” koran sebagai ”corong” kreativitasnya dalam berkesenian. Hampir mustahil seorang sastrawan bisa terangkat namanya secara otomatis tanpa harus bersentuhan dengan koran. Bahkan, bagi penerbit, sastra koran barangkali dijadikan sebagai ”barometer” untuk mengukur tingkat kapabilitas seorang sastrawan yang menginginkan karyanya diterbirkan sebagai buku. Itu artinya, koran, disadari atau tidak, memiliki andil besar dalam melambungkan nama seorang sastrawan.

Sayangnya, tidak semua penerbitan (koran) sanggup dan mampu bertindak sebagai ”juru bicara” sang sastrawan, apalagi ketika harga kertas melambung. Tidak sedikit koran yang terpaksa menggusur rubrik sastra. Koran pun jadi lebih banyak menyajikan berita-berita politik dan ekonomi yang ”memanas”, demo menolak kenaikan BBM, aksi-aksi kekerasan yang mengerikan, pernyataan para elite yang kontroversial, atau penanganan kasus hukum yang stagnan. Hanya penerbitan tertentu yang dengan setia menghadirkan tulisan yang humanis, menyentuh nurani, dan menyejukkan. Selebihnya, adalah penerbitan yang sering disebut orang sebagai ”pers provokator”. Tidak bikin sejuk, tetapi secara emosional malah bikin suasana makin panas dan mudah terkompori.

Sebagai salah satu entitas kebudayaan, sastra akan makin bermakna jika didukung media publikasi dan sosialisasi yang memadai. Salah satunya ya lewat koran itu tadi. ”Pulchrum dicitur id apprensio” (keindahan jika ditangkap menyenangkan), demikian ujar sang filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Ini artinya, keindahan akan menjadi sebuah kemustahilan tanpa media sosialisasi dan publikasi. Bagaimana mungkin publik mampu menangkap keindahan cerpen surealis Danarto yang fantastik dan teatrikal, cerpen Seno Gumira Ajidarma yang ”liar”, romantik, dan menghanyutkan, atau puisi-puisi Abdul Hadi WM yang religius, kalau tak ada media yang memuatnya? Bagaimana mungkin nama-nama mereka bisa dikenal publik sastra?

Dari sisi ini jelas bahwa keberadaan koran menjadi hal yang niscaya bagi kiprah dan kreativitas seorang sastrawan, khususnya bagi mereka yang sedang memburu popularitas. Untuk langsung mengirimkan setumpuk karyanya kepada penerbit buku? Alih-alih diterima, disentuh pun bisa jadi tidak, apalagi buku-buku sastra termasuk jenis buku yang ”mati” di pasaran.

Ada juga asumsi yang menyatakan bahwa sastra koran diragukan bobot dan kualitasnya. Asumsi ini beranjak dari kenyataan bahwa kreativitas sastrawan mesti ”tunduk” dan ”patuh” pada selera redaksi sehingga menutup kebebasan sastrawan dalam menciptakan teks-teks sastra yang ”liar” dan menentang arus. Selain itu, redaksi koran juga dinilai ”kurang adil” dalam memperlakukan para penyumbang tulisan. Mereka yang sedang berjuang mengukir sejarah kesastrawanannya untuk mendapatkan legitimasi publik harus menelan kekecewaan lantaran tulisan-tulisan kreatifnya tak muncul-muncul di koran. Ironisnya, tulisan sastrawan kondang yang secara tematik dan penggarapannya dianggap kurang intens dan serius, justru bertebaran di berbagai koran.

Asumsi semacam itu memang sah-sah saja. Namun, sepanjang pengamatan awam saya, teks-teks sastra koran yang muncul –tak peduli siapa penulisnya—secara sastrawi dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dari sisi bobot dan kualitasnya layak digolongkan sebagai karya sastra yang sarat nilai kultural, relogi, dan kemanusiaan. Selain itu, pimpinan redaksi tentu tak akan gegabah menaruh sembarang orang untuk menjaga ”gawang” rubrik sastra. Paling tidak, mereka yang pernah eksis berkiprah di dunia sastra dan berwawasan estetika yang mumpuni --tidak semata-mata memiliki keterampilan jurnalistik-- yang layak mengurusnya.

Di tengah atmosfer kehidupan bangsa yang makin rentan terhadap imaji kekerasan, disintegrasi sosial, atau ulah anomali sosial lainnya, sudah tiba saatnya koran menjadi media alternatif, semacam katharsis dan pencerahan batin, untuk ikut peduli meredam emosi pembaca lewat teks-teks sastra, baik kreatif maupun literer, yang mampu membikin hati sejuk, penuh sentuhan nilai kemanusiaan dan religi. Melalui teks sastra inilah denyut kehidupan manusia yang sebenarnya dapat dirasakan dan diraba. Dengan banyak membaca teks sastra, pembaca makin arif dan jernih dalam menyiasati berbagai fenomena hidup dan kehidupan.

Akankah ”sinergi” antara sastra dan koran makin menguat atau justru amburadul direnggut ”mulut-mulut” industrialisasi dan kapitalisasi global yang sulit terelakkan? Nah, sang waktulah yang akan menjadi saksi. ***

Keterangan: Gambar sepenuhnya merupakan karya Mas Dwijo D. Laksono


READ MORE - Sastra Koran dan Imaji tentang Kekerasan

Catatan atas Cerpen-cerpen Sawali Tuhusetya

Catatan terhadap Cerpen-cerpen Sawali Tuhusetya

Oleh: Kurnia Effendi

Membaca cerpen-cerpen Sawali, saya teringat syarat yang pernah saya terapkan untuk diri sendiri, agar saya “yang lain”, sebagai “pembaca” sebelum pembaca lain, lebih dulu menikmati cerpen itu. Lalu teringat juga pendapat seorang cerpenis jauh sebelum saya, bahwa cerita pendek adalah kisah yang habis dibaca dalam sekali duduk. Namun sebaliknya saya juga mendapatkan pengalaman luar biasa dengan membaca cerpen-cerpen panjang (yang seolah melawan kaidah istilahnya sendiri) karya Budi Darma.

Empat syarat (bisa kurang dan lebih) yang kemudian saya pegang itu adalah sebagai berikut:
  1. Kemampuan berbahasa: syarat utama penulis, agar cukup komunikatif, syukur-syukur mengandung estetika
  2. Logika fiksi: sekalipun fantastik ada “hukum” yang menjaga “kebenaran” kisah
  3. Gaya (meliputi teknik penceritaan, struktur, plot, majas, sudut pandang, karakter atau penokohan, dialog, deskripsi, konflik, dll)  bagaimana mengolah gagasan
  4. Orisinalitas: dewasa ini sangat sulit mencapainya, karena setiap pengarang terdahulu akan memberikan pengaruh kepada kita.

Dengan ketentuan itu saya terus berlatih. Sebagai orang yang hobi menulis, saya kadang-kadang juga gagal menulis cerpen. Jadi kepada siapa pun yang belum berhasil menulis cerpen, tak usah merasa cemas. Kesulitan itu menjadi hak para pengarang, sebaliknya, kemudahan adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi calon penulis besar. Dengan, tentu saja, tak pernah putus asa dan mencintai pekerjaan menulis sebagai kebutuhan ruhani kita.

Mudah-mudahan buku Sawali ini adalah hasil kelahirannya yang pertama untuk menjangkau publik secara lebih luas, setelah sebelumnya hanya melalui suratkabar. Untuk kesempatan yang pertama, tidak tabu bila banyak hal yang kelak harus diperbaiki. Pengalaman pertama dalam peristiwa apapun senantiasa mendebarkan. Saya sendiri tak pernah malu mengatakan bahwa buku pertama saya, kumpulan puisi, mengandung banyak kesalahan, bukan hanya dari human error pengetikan, tetapi secara substansial. Tetapi, itulah jejak kita. Tak harus disesali kecuali dengan belajar lagi dan berkarya lebih baik.

Dari sisi tema dan segmentasi, saya pun sering tak sadar merasa bangga pernah menjadi penulis cerita remaja (Anita Cemerlang, Gadis, Hai, dll). Padahal Ahmad Shubanuddin Alwi, penyair Cirebon getol menggoda saya soal itu. Melihat sejarah yang ditempuh Sawali, saya jadi iri. Karena pada pengalaman perdananya justru langsung bertemu dengan publik dewasa yang lebih universal.

Secara terus terang, untuk memasuki realitas kehidupan, rentang pandangannya harus luas sekaligus terlibat. Saya kira Sawali lahir dan hidup di tengah-tengah peristiwa yang ditulisnya. Ketika Sawali mengatakan cerpen-cerpennya menyoroti kehidupan “wong cilik”, ini merupakan nilai yang membumi, lekat dengan keseharian orang banyak, dan hal-hal yang seharusnya menjadi karakter populasi terbanyak di negeri kita.

Untuk sampai pada cerpen yang mengandung suara orang kecil, mengangkat tradisi lokal, kritik sosial, sekaligus unsur magis yang tampaknya digunakan sebagai metafora peristiwa, dibutuhkan wawasan yang cukup memadai. Saya kira Sawali cukup jeli dalam pengamatan, sementara orang lain mungkin perlu melakukan riset.

Pendapat Maman Mahayana, bahwa materi cerita yang berpijak pada kultur keindonesiaan (bahkan dalam wilayah regional) lebih berharga ketimbang kisahan yang mengedepankan busa puitika yang mungkin kosong dari hikmah manfaat, selain perayaan terhadap sesuatu yang antah-berantah; saya setuju. Namun akan lebih setuju apabila ada paduan harmoni antara isi yang sarat muatan kritik sosial dan tradisi lokal dengan kemasan bahasa yang turut memperkaya benak pembaca. Karena bagi penulis Asia dan Timur Tengah pada umumnya, sisi eksotika tidak hanya diciptakan dari materi melainkan juga dari ekspresi dan cara ungkapnya. Misalnya Kawabata, Rabindranath Tagore, Yukio Mishima, Kahlil Gibran (untuk menyebut beberapa nama).

Dengan tuntunan syarat menulis cerpen itulah, kemudian saya sering mengamati karya orang lain dari sudut pandang subyektif. Pertama kali saya akan mencari kenikmatan membaca sejak paragraf pertama. Berbekal nasihat Seno Gumira untuk memosisikan diri lebih rendah dari bahan yang kita baca, tak akan muncul sikap apriori. Setelah usai satu cerpen, merenung untuk menangkap maksud pengarangnya, siasat apa yang digunakannya sehingga, misalnya, perhatian saya terbetot atau sebaliknya selalu kalis dan luput.

Sebenarnya ihwal dari kemampuan berbahasa adalah nilai komunikasinya. Ada seorang penulis dengan intelektual tinggi, materi yang cukup bernas untuk disampaikan, kerap tersandung pada urusan komunikasi. Sehingga perlu diulang-ulang dengan mencoba berbagai intonasi dan pemenggalan diksi untuk memperoleh informasi yang benar. Sawali telah terbebas dari urusan kerumitan, tetapi saya belum mengalami kenikmatan dalam membaca.

Saya sering curiga, jangan-jangan saya yang terlalu kenes sehingga mengharapkan ada kosakata baru atau majas yang belum pernah digunakan pengarang lain dalam cerpen-cerpen Sawali. Justru yang tampak adalah pengulangan metafora. Tentu saja perhatian saya sudah beralih pada gaya: ketika plot dimainkan, ketika karakter tokoh meyakinkan, ketika dialog diciptakan, ketika teknik dikembangkan.

Mungkin saya belum menemukan hal-hal baru. Boleh jadi secara stereotip, perilaku dan emosi manusia yang marginal (dari sisi ekonomi) pada tokoh-tokoh cerpen Sawali itu serupa dan senada karena tindihan persoalan hidup yang sama. Namun akan lebih kokoh sebuah cerita bila masing-masing tokoh punya karakter yang tidak digeneralisasi.

Secara highlight saya membaca dialog (yang diharapkan menyusun ketegangan) pada beberapa cerpen, terasa tidak efektif karena boleh dilewatkan. Padahal seharusnya dialog dan deskripsi akan saling membangun struktur cerita, saling mengisi. Paling tidak, cerpen dengan halaman yang terbatas harus semaksimal mungkin dipenuhi informasi tanpa harus cerewet. Di sini kita akan belajar mengenai ruang imajiner yang segera diisi oleh fantasi pembaca dengan gambaran peristiwa, bayangan dramatikal, dan ungkapan-ungkapan gemas, padahal tak tertulis (atau belum). Dengan keterlibatan total sang pembaca pada sebuah keberlangsungan cerita pendek, pengarang menjadi lebih ringan tugasnya dalam menarik-narik pembaca untuk konsentrasi.

Sawali telah memiliki modal besar dari sisi kekuatan bahan cerita. Akar ini telah tertanam benar pada ranah budaya (lokal), sebelum menjadi buah sastra (cerpen) sebaiknya lewatilah pohon bahasa. Artinya, kita harus sadar, bahwa tulisan yang diubahkemasan menjadi buku akan berselancar lebih lebar ke wilayah non-Jawa. Kesederhanaan di satu sisi akan menjadi primadona, namun penjelajahan pada pengertian-pengertian yang lebih kompleks boleh diperhatikan.

Hal lain yang perlu diketengahkan dalam cerita pendek adalah konflik. Sejauh ini, konflik kerap ditunjukkan dalam bentuk pertengkaran dan perilaku fisikal. Padahal konflik batin, ambiguitas, paradoks antara norma dan praktiknya, juga menjadi bagian yang penting, terutama dalam khazanah sastra. Mengapa film House of The Spirit atau Legend of The Fall selalu berkesan mendalam dan ingin di waktu-waktu berikutnya ditonton kembali? Itu, menurut pendapat saya, karena berbeda dengan film action Hongkong. Barangkali dengan mempertimbangkan kenyataan itu, film action berjudul Hero dan Crouching Tiger Hidden Dragon dikemas lebih puitis.

Dalam karya-karya (yang bakal menjadi klasik) itu ada endapan konflik yang kadang-kadang jadi multitafsir. Jika cerpen-cerpen Sawali tampak terlalu lugas, mungkin itu cara yang ditempuhnya dengan niat tulus. Artinya, tak ada paksaan untuk membuatnya sedikit misterius. Namun demikian di beberapa cerpen, tampak kekuatan surealisme, dan unsur ini menurut saya menarik dikembangkan dalam kesempatan berikutnya.

Sebagai fragmen, cerpen-cerpen Sawali telah tampil sesuai fungsinya. Merupakan potret yang kita lihat dalam bingkai awal dan akhir. Selanjutnya tinggal memperkuat latar belakang dan penokohan, sehingga dengan memejamkan mata kita dapat membayangkan masing-masing pemeran untuk tidak tertukar atau kehilangan ciri khas.

Selamat untuk Sawali Tuhusetya yang mulai hari ini akan berhadapan dengan pembaca yang lebih banyak dan sewaktu-waktu mengusik dengan sejumlah pertanyaan. Termasuk dalam forum diskusi ini.

Jakarta, 16 Mei 2008
PDS HB Jassin

oOo

*) Disajikan dalam acara Diskusi dan Peluncuran Kumpulan Cerpen Perempuan Bergaun Putih di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16 Mei 2008. Kurnia Effendi, seorang cerpenis dan novelis, tinggal di Jakarta.


READ MORE - Catatan atas Cerpen-cerpen Sawali Tuhusetya

Kado Cerpen Istimewa dari Mantan Murid

Namanya Mochammad Farhan. Dulu, dia murid saya waktu SMP (2001-2004). Sekarang sudah menjadi teman dan sahabat saya, hahahaha :lol: meski masih tampak benar sikap hormatnya pada mantan gurunya yang katrok ini. Terbukti ketika suatu malam dia bertandang ke rumah, meminta saya untuk membenahi blognya di sini. Maklum, dia baru saja kenal blog. "Wew... kalau mau belajar ngeblog, ya langsung dioprek-oprek sendiri, dong, biar saya yang mbantu!" begitu jawab saya. Dengan cara yang amat santun, dia pun setuju dan hanya kutunjukkan cara-caranya saja.

Sebagai mantan gurunya, tentu saja saya merasa senang dan bangga. Waktu SMP, Farhan memang saya kenal sebagai murid yang cerdas dan rendah hati. Senyum dan keramahannya hampir tak pernah saya lupakan. Lebih membanggakan lagi, ternyata dia juga suka menulis teks sastra, baik berupa puisi maupun cerpen. Cerpennya berjudul "Rain On Desember" pernah dimuat di majalah sastra Horison (edisi Desember 2006). Tentu saja layak diberi apresiasi. Lha wong cerpen saya saja belum pernah dimuat di majalah sastra yang cukup bergengsi itu, kok, hehehehehe :lol:

Jelas bahwa keberhasilan Farhan menembus majalah Sastra Horison bukan lantaran *halah* "gemblengan" mantan gurunya, melainkan lebih disebabkan oleh ketekunan, minat, dan keseriusan cowok kelahiran 18 Februari 1988 yang pernah menjadi Aktor Terbaik Nasional Drama Pelajar se-Indonesia 2006 dan Nominasi Aktor Terbaik Drama Pelajar se-Jateng 2007 itu dalam menekuni dunianya. Ketekunan, minat, dan keseriusan itu mampu membuahkan pemikiran dan karya kreatif juga berkat atmosfer lingkungan yang sangat mendukungnya. (Profil Farhan selengkapnya bisa dibaca di sini!)

Nah, melalui "Buku Tamu" di blog ini, dia minta agar cerpennya yang pernah dimuat di Horison itu bisa dimuat di blog ecek-ecek ini. Ok, Farhan, permintaanmu saya penuhi. Berikut ini cerpen Farhan selengkapnya! Selamat menikmati!

Rain On Desember *)

Cerpen: Mochammad Farhan

Gadis berponi dan berwajah Barbie itu kembali mengenakan jaket kebesarannya yang berwarna merah cerah. Sudah dua hari ini ia mengenakan kostum itu. Tubuhnya yang kurus tinggi semakin apik dan anggun dengan tampilan warna yang menyala dan sportif. Agaknya ia pandai sekali membungkus tubuhnya yang kurus dengan jaket yang mampu menutupi kekurangan tubuhnya itu. Kerampingan tubuhnya tetap terlihat dengan model jaket modis yang ia kenakan. Rambutnya yang panjang sengaja diikat dengan karet gelang yang biasa saja. Namun, itu tidak mengurangi kelebihan maha karya Tuhan ini. Bahkan, dengan kesederhanaan yang entah disengaja atau tidak, ia terlihat istimewa, terkesan aristokrat, dan menawarkan tatapan mata yang polos. Tatapan mata yang mengundang decak kagum bagi orang yang melihatnya. Jika ia sedang berjalan, semua mata anak-anak IPS akan melirik dan mengaguminya.

Meski kesan tomboy yang didapat dari cara ia melangkahkan kakinya, gadis ini tetap saja cantik. Kontan saja anak-anak bereaksi bermacam-macam. Ada yang bersiul dan ada yang berusaha menyapanya dengan basa-basi mesra, seperti selamat pagi, hai, halo dan sebagainya. Anehnya, ia tetap santai saja tanpa pernah menimbulkan kesan sombong. Kadang ia menjawabnya dengan senyuman ramah. Kadang juga diam, menunduk, atau berjalan cepat-cepat. Oleh karenanya, wajar saja dan tidak ada protes jika kukatakan bahwa ia adalah salah satu penghuni SMA 2 ini yang tercantik dan bertampang innocent.

Jika tak salah dan memang benar, nama gadis tinggi semampai itu Shanty. Ia duduk di kelas III IPA 2 SMA kami. Terus terang, nama yang dimiliki itu cocok dengan wajah dan penampilannya. Disamping cantik dan cerdas, ia memiliki wajah yang eksotik, khas ketimuran dengan kulit bersih kecoklatan. Namun ciri khas yang melekat padanya justru jaketnya yang menutupi seragam OSIS di kala berangkat dan pulang sekolah.

Sekali lagi aku tak tahu apa karena baju jaketnya yang dikenakan memang bagus model dan warnanya atau karena orang yang memakainya. Yang pasti saat ini ia kembali berjalan melewatiku yang sedang mencuri sedikit pandang pada wajahnya yang cuek. Tapi…ah! Agaknya ia pura-pura tidak melihatku. Ia tak melirik sedikit pun pada diriku yang sangat berharap melihat barisan giginya yang rata bak biji mentimun. Ia tetap menatap kosong ke depan. Lurus! Seolah aku tak ada saja!

Untung aku termasuk orang yang sabar. Aku masih mampu mengendalikan situasi dan kondisi. Aku pun pura-pura tak melihatnya. Maklum jaga image. Kembali lagi aku melihat deretan huruf yang tertata rapi dalam buku kumpulan puisinya Sapardi Djoko Damono ini. Yah, buku ini menjadi penyelamat bagiku. Reputasiku terselamatkan oleh aksi membaca buku puisi Hujan Bulan Juni ini.

Tapi aku tergoda untuk menengadah dan melihat sosok gemulai yang berjalan menuju kelas terpojok dari sekolah kami. Yah, kelas paling ujung miliknya yang berada didekat pusat pembuangan sampah! Bahkan, kelas itu dekat pula dengan kuburan desa! Hanya dipisahkan tembok sekolah! Otomatis, selain banyak nyamuknya, suasana kelas itu menyeramkan dan bisa untuk uji nyali Dunia Lainnya Trans TV. Anehnya kelas itu justu banyak penghuninya yang cantik-cantik. Sudah siswa cowoknya paling sedikit, ceweknya saja ada tiga puluh enaman. Wah, apa nggak laris tuh cowok-cowok kelas IPA-nya. Lho-lho aku kok jadi sentimentil dan penuh kata-kata bernada emosional begini gara-gara tidak mendapatkan senyuman gratis di pagi kelabu ini.

Yah itu bentuk perjuanganku yang kurang sukses. Dulu pun aku mengenalnya juga secara kebetulan. Kami sama-sama aktif di PMR dan OSIS. Aku pernah bersamanya menangani sebuah kegiatan dalam rangka kegiatan ulang tahun SMA ini. Awalnya aku tidak tertarik dengan tipe cewek seperti ini. Bagiku, ia teramat sibuk dengan beragam aktivitas sekolahnya. Lesnya saja bermacam-macam. Semua mapel ia kejar jadwal tayangnya (memang sinetron!). Agaknya pula ia tipe cewek yang tidak suka pacaran. Waktu bagi dia adalah kesempatan untuk membenahii dan mengembangkan diri. Tak ada sisa waktu untuk hura-hura, pesta dan hiburan. Sudah banyak anak-anak IPS dan IPA yang menjadi korban cintanya. Semua bertepuk sebelah tangan. Ia tetap teguh dengan pilihannya. Ia rela menjomblo demi sebuah cita-cita yang diinginkannya. Tapi mungkin witing trisna jalaran saka kulina. Pepatah jawa itu agaknya mulai berlaku. Semakin aku berusaha menolak kehadiran cewek itu di dalam benakku, eh, semakin ia hadir dalam angan dan mimpi-mimpiku (cie!).

Yang jelas, ini sudah langkah kesekian kalinya aku gagal mengirim senyum pagiku padanya. Ia selalu terdiam untuk menengok wajahku yang kata ibuku ini sudah cakep dan rupawan. Ya, meski tidak ganteng-ganteng amat, aku dilahirkan dengan wajah yang lumayan kece…, cukup cerdas, dan memiliki postur tubuh yang semampai, maksudnya semester gak sampai alias pendek gitu. Aku berambut tipis berhidung mancung, namun sayingnya masuk kedalam, dan kloplah kalau teman-temanku yang iri pasti mengatakan aku bagai pungguk merindukan bulan bila mengharapkan cinta dari Shanty.

Ya begitulah kalau orang ngiri pasti ada saja fitnes eh fitnah yang ditujukan padaku. Ketika kenal saja belum dengan cewek itu, aku dituduh sudah main dukun segala.

Kata guru BK, kegagalan adalah awal menuju sukses. Biarpun kita selalu mendapatkan kegagalan, cobalah untuk memiliki keberanian mencoba lagi. Jangan peduli kata orang lain. Pokoknya anjing menggonggong kafilah pasti berlalu. Walaupun gagal berkali-kali aku harus tetap maju terus pantang mundur. Rawe-rawe rantas malang-malang putung, bersatu kita teguh, bercerai kia kawin lagi (lho seru!). Hari ini gagal lusa pasti gagal lagi (he…he…)!

Maka mulailah perjuangan paling bersejarah dalam hidupku. Aku mulai mengirim bunga pada Shanty. Sebagai orang yang masih memiliki darah orang Bali, pasti ia suka bunga. Semua bunga aku kirimkan. Kecuali bunga bank. Bukannya aku sok kaya, tapi sungguh aku selalu mengirim ia bunga-bunga yang baunya semerbak. Meskipun demikian, ia tetap saja tidak memberikan sinyal-sinyal positif. Pasalnya bukan bunga mawar atau criscant yang aku kirimkan, namun bunga melati, kamboja putih, kenanga, dan selasih yang berbau mistik. Terang aja ia tak bertambah simpati padaku eh malah ketakutan dan pucat. Wah…wah, rencana kedua gagal. A ku harus berpikir rencana yang ketiga bagaimana agar ia bisa tertarik padaku. Akhirnya, aku mulai rajin mengunjungi perpustakaan sekolah. Aku membaca buku-buku tentang kiat sukses menggaet cewek. Selama satu minggu aku mengutak-atik bacaan yang terkait dengan psikologi cinta. Dari buku itu aku dapat pengetahuan tentang cinta dan solusinya.

Mulailah aku menerapkan ilmu yang baru kudapatkan. Kata Kahlil Gibran dalam Sang Nabi, wanita akan jatuh pada pelukan laki-laki bila ada bait-bait puisi yang menggetarkan hati mereka. Lalu, rajinlah aku membuat puisi cinta. Berkali-kali aku melihat majalah Horison untuk sekedar mencocokkan diksi yang bagus-bagus. Kata guru bahasaku teknik membuat puisi yang sudah pernah dimuat di majalah Horison pasti bagus. Agaknya aku setuju dengan pendapat itu. Puisinya Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Wan Anwar, Herfanda, Suminto, Emha, Jamal, dan Sutardji aku pelajari semuanya. Eh, tidak ada yang cocok dengan kata hati. Semuanya puisi serius. Aku mulai bingung. Mana ada ya puisi di rak-rak perpustakaan. Hai, ternyata ada puisi-puisi penyair muda berbakat. Puisi ini cocok dengan getar jiwa yang saat ini melanda hatiku. Mulailah aku merangkai kata dengan sedikit menengok kata demi kata yang hadir dalam buku itu. Yak sip lah, akhirnya selesai sudah. Siang ini harus aku kirimkan. Mumpung cuaca cerah en matahari bersinar padat bergizi (memangnya es krim ).

Dengan langkah gagah dan penuh percaya diri hasil didikan pramuka sekolah, aku melewati kelas demi kelas. Hatiku semakin bergetar dan tidak karuan. Dag… dig...dug...der, wah kayak mercon saja. Semakin mendekati pintu IPA 2 kakiku bertambah berat bak memakai sepatu kuda yang beratnya berkilo-kilo. Langkah terseok bagai siput malas yang keberatan rumah dinasnya.

Belum sempat aku menghembuskan nafas yang terakhir, eh lega, tiba-tiba wajah Shanty sudah mengepul di depanku. Hampir saja ia menabrak diriku yang mendadak berdiri mematung. Ia langsung membuang muka dan berjalan tergesa-gesa dengan teman sekelasnya yang tentu saja lebih ganteng dariku. Waduh sialan betul! Terlambat sudah! Dasar perempuan cantik! (Lho umpatan kok begitu )! Secara refleks aku memutar balik. Aku panjangkan langkahku untuk mencapai kelasku. Ceritanya aku putus asa. Aku lesu dan pingin marah rasanya. Langit meruntuhkan gerimis tipis-tipis. Awan menggelantung, menahan panas yang tak tersampaikan pada tanah dan rerumputan sekolah. Seakan gelap menyapaku hari ini. Seakan pula gerimis jatuh itu adalah air mata hatiku yang hancur berkeping-keping. Hatiku teriris melihat kemesraan ntara Shanty dan Sutadewa, sosok cowok yang bersamanya.

Bel pulang sekolah berbunyi tiga kali dengan nada yang panjang. Semua temanku berlari keluar kelas dengan gemuruk dan teriak-teriak tanda kepuasan dan kemerdekaan setelah penat belajar selama satu hari ini. Aku lihat awan masih menggelantung di tengah-tengah areal persawahan depan sekolah kami. Langit gelap dan menyemburkan petir sesekali. Dari jendela kelas aku melihat Shanty berjalan dengan memakai jaketnya yang khas. Jaket itu lain sekali dengan biasanya. Model jaket kali ini berbentuk lebih dewasa dengan kaki yang agak kaku. Meski demikian tetap saja ia kelihatan cantik dan imut-imut. Di sebelahnya ada Bidari dan Btari yang sebetulnya tidak kalah cantiknya. Bidari berwajah tirus dengan kulit lebih putih dari Shanty, sedangkan Btari wajahnya agak bulat dengan rambut yang sengaja dibuat shaggy sedikit nge-punk. Bidari agaknya mulai pula memakai jaket yang coraknya hamper sama dengan milik Shanty. Mereka tetawa-tawa. Mereka tersenyum-senyum. Sedang aku di sini hanya menatap nanar keceriaan mereka. Tangan ku masih memegang puisi yang belum sempat kuberikan padanya.

Tiba-tiba, muncul keberanianku untuk bangkit dan mengejar Shanty yang sudah sampai di pintu gerbang sekolah. Hampir saja aku dapat mengejarnya. Eh, lagi-lagi Sutadewa sialan sudah nyamperin di balik pintu gerbang denga keramahan yang dibuat-buat. Lha, sebel! Lagi-lagi kalah! Aku hanya menatap sendu ketika Shanty dengan lincah duduk membonceng sepeda motor Mega Pronya. Tapi aku tetap berjalan cepat. Pura-pura aku tidak melihat teman-teman mereka yang tersenyum mengejek atas kegagalanku yang kesekian kalinya. Untung aku adalah laki-laki sejati. Aku kuat menahan derita dari tatapan-tatapan penuh tawa milik Btari maupun Bidari

Baru lima menit berjalan cepat, tiba-tiba ada kerumunan orang yang merapat ditengah jalan raya.

“Ada kecelakaan! Ada kecelakaan!” teriak orang-orang sambil berlari medekat pada kerumunan itu.

Astaga! Naluriku mengatakan ada sesuatu yang menyangkut Shanty. Tadi Sutadewa mengendarai motornya terlalu cepat dengan kondisi jalan dan cuaca yang tidak bersahabat seperti ini.

“Siapa Bang!” tanyaku pada orang yang sudah melihatnya.

“Kelihatannya anak SMA sini, seragamnya pramuka,” jawabnya.

Deg! Langsung aku menyerobot dan masuk untuk melihat secara langsung siapa yang mengalami kecelakaan. Masya Allah! Ternyata Shanty terkapar dengan darah pada wajah dan tubuhnya.

“Bang, tolong! Carikan becak atau mobil!” perintahku cepat. Orang-orang hanya bengong saja tanpa ada reaksi untuk menolong. Langsung saja aku bopong tubuh Shanty sambil nekat mencegat mobil umum yang paling dekat.

“Antar kami ke rumah sakit!”

“Semua diam dan takut. Penumpang Isuzu itu hanya diam pula. Namun sopirnya dengan sigap langsung mengendalikan mobil itu cepat-cepat!

Tidak ada sepuluh menit kami sudah sampai dirumah sakit dr. Suwondo. Suster dan perawat menyongsong kami dengan peralatan dan kereta dorongnya. Lalu semuanya menjadi urusan dokter dan perawat itu.

Mataku tiba-tiba pedih dan berkunang-kunang. Agaknya aku kepingin pingsan di kursi ruang tunggu rumah sakit ini. Antara lelah atau pingsan, aku sudah tidak ingat lagi.
***

“Ti, bagaimana sih keadaannya?” Tanya Btari pada Shanty yang sudah siuman.

“Aku juga tak tahu. Tiba-tiba motor Suta sudah ndak bisa dikendalikan. Sepeda motornya oleng, lalu semuanya gelap,” jawabnya mengingat kejadian sambil memegang kepalanya. Agaknya dirasakan masih pening.

“Terus bagaimana kabarnya Sutadewa, Ti?”

“Waktu itu aku juga ndak tahu, tuh?”

“Alah Ti, biarin saja. Kalau perlu lupakan saja. Wong dia nggak punya tanggung jawab. Sudah njatuhin kamu eh malah kabur.”

“Benar Ti, Lagian masih banyak cowok lain kan yang naksir kamu?”

“Ah, masak sih?”

“Benar, contohnya si punguk itu.”

Tiba-tiba ekspresi Shanty berubah. Ia langsung diam tanda tersinggung dengan ucapan Btari barusan. Ia sudah diceritani oleh perawat rumah sakit bahwa yang menolong dan membawa dirinya ke rumah sakit adalah Farid. Anaknya hitam dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Perawat itu juga mengatakan andai saja tak ada farid mungkin saja ia sudah kehilangan banyak darah. Tak hanya itu. Saat ia membutuhkan golongan darah A, kebetulan rumah sakit dan PMI sudah kehabisan stok darah, eh farid dengan ikhlasnya juga menyumbangkan darahnya. Ia tidak mengerti mengapa masih ada anak sebaik itu kata perawat kemarin.

Ah, Farid maafkan aku selama ini. Lalu ia menarik sebuah kertas kumal yang agaknya berisi sebuah puisi. Ia sudah membacanya berkali-kali. Matanya berkaca-kaca. Tetes air mata membasahi kata demi kata puisi itu.


RAIN ON DECEMBER

Nothing more resoluted
Than the rain on December
It’s kept drizzle yearning in secret
To that bleeming tree

Nothing more wisdom
Than the rain on December
It’s being eraed on the feet step
That hasitant through that street

Nothing more learned
Than the rain on December
It’s didn’t care of an untold story
Absorbed by the root of flower tree

By farid, 30 December 2005

*) Cerpen ini dimuat di majalah sastra Horison pada bulan Desember 2006. Penulis menulis cerpen ini berdasarkan pengalaman pribadi yang telah diubah alur dan tempatnya sesuai dengan cerita.


READ MORE - Kado Cerpen Istimewa dari Mantan Murid

Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

Cerpen Martin Aleida
Dimuat di Kompas (05/23/2010)

Sudah enam puluh tahun hariara itu tegak di pekarangan belakang sekolah itu. Walau usia sudah mengelupas kulit batangnya, namun dia tetaplah yang paling menjulang di antara pepohonan yang ada di sekeliling.

Di ujung akarnya yang menjentang di permukaan tanah, dengan bersila beralaskan tikar pandan, duduklah Kartika Suryani sejak beberapa saat yang lalu.

Mantan guru itu duduk dengan tegak. Usia tidak membuat punggungnya condong. Binar bola matanya di waktu muda masih disisakan oleh usia. Hanya pojok-pojok mata itu yang berkerut dilukis waktu. Rambutnya yang memutih tidak membuat wajahnya renta. Sinar matahari pagi mendatangkan kecerahan pada penampilannya. Di bawah pohon tua itu dia menanti murid-muridnya. Tentu bukan untuk memberikan pelajaran lagi, tetapi guna menepati janji yang sama-sama mereka sepakati dua puluh tahun yang silam. Janji yang lahir dari pedihnya kebebasan dan kejujuran.

Kartika memang cuma seorang guru bantu, tetapi dia telah membawa suasana baru ke sekolah itu. Dia selalu menyelipkan kelakar untuk menyingkirkan suasana bengis yang selama ini merajai ruang belajar. Kedudukannya sebagai guru tidak mengungkungnya untuk menjaga jarak dari murid. Dia memperlakukan mereka layaknya anak sendiri. Teman malah.

Terkadang dia memberikan tanda mata berupa manisan atau alat tulis kepada murid, yang menurutnya, pada hari itu telah menunjukkan upaya yang lebih besar dibandingkan kemarin. Dengan begitu, penghargaan itu tidak hanya monopoli murid yang paling pandai, tetapi juga menjadi sumber kepercayaan diri bagi mereka yang telah berusaha untuk menyayangi diri sendiri dengan berbuat lebih baik. Untuk menghidupkan suasana kebebasan, tak jarang dia mengajak murid-murid keluar kelas dan belajar dengan bergerombol mengelilingi hariara di pekarangan belakang.

Ke kelas mana pun dia menampakkan diri, simpati dan sukacita tumpah padanya. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang murah acapkali memancing murid-murid pria, yang suka iseng, diam-diam menyambut kedatangannya dengan suitan. Dia tidak hanya menjadi buah bibir di sekolah, tetapi juga bahan pujian di meja makan ketika murid-muridnya menceritakan kepada orangtua mereka tentang seorang guru yang cara mengajarnya membuat mereka betah di kelas.

Begitu masuk kelas, dia bukannya langsung memerintahkan murid-murid untuk membuka buku pelajaran, tetapi memulainya dengan percakapan enteng tentang apa saja. Dia menyemangati murid-murid supaya berani mengemukakan pendapat tentang pelajaran yang mereka peroleh kemarin dan mimpi apa yang mereka ingin gapai hari ini. Muridnya memanfaatkan kesempatan di menit-menit awal menjelang pelajaran itu untuk menyampaikan kritik maupun pujian. Kuping Kartika tak pernah tipis. Dia selalu mendengar dengan sabar dan penuh minat.

Semangat untuk menyatakan pendapat itu rupanya sudah tidak memperoleh ruang yang cukup kalau hanya diutarakan dalam beberapa menit menjelang pelajaran dimulai. Kartika kemudian menyediakan buku harian yang dia bentangkan di dekat pintu. Ke dalam halaman buku itu dia persilakan murid-murid untuk menuliskan apa saja yang mereka rasakan, atau pikirkan, tentang sekolah dan dunia mereka sendiri.

”Banyak yang bilang masa di sekolah menengah merupakan penggal kehidupan yang paling membahagiakan. Masa keemasan itu akan terampas ketika kita sudah duduk di perguruan tinggi, lantaran kehidupan senyatanya sudah di depan mata. Benarkah itu? Tolong beri aku jawaban. Tapi, jangan klise, ya…!” begitu kata seseorang di buku harian itu.

”Tidakkah bisa dipikirkan bagaimana mengajarkan matematika supaya menarik, bukannya seperti menyuapkan simbol-simbol yang menyebalkan, mati, dan diajarkan dengan sikap yang sukar dibedakan apakah guru atau monster?!” tulis yang lain menumpahkan kedongkolan.

Ada pula yang menulis dengan awal yang manis, tetapi ditutup dengan sikap seperti mau bunuh diri karena tak ingin kehilangan: ”Sumpah, swear! Kesemarakan hidup hanya kutemukan di sekolah ini, pada guru yang begitu besar cinta mereka kepadaku. Dan teman- teman hebat semua. Baik-baik bangat! Kalau boleh memilih, gue kepingin mati di sini aja.” Di sebelahnya, ada pula yang menanggapi dengan berseloroh: ”Enjoy aja neng, napa sih, he-he.”

Buku harian itu menjadi bahan pembicaraan ketika muncul sebuah kritik yang terlalu berterus terang dan tajam di situ. ”Ini adalah sekolah. Kata-kata guru di sini harus menjadi kenyataan tanpa tawar-menawar. Mereka berbicara mengenai lingkungan yang sedang terancam. Gak usah ngomong pake kaka-kata segede gajah, deh. Bicaralah tentang kamar kecil, kawan! Bak airnya kumal. Tali air di lantai mirip najis yang belepetan mencari jalan keluar. Tidakkah sekolah ini bisa memberikan contoh yang baik bagaimana hidup yang beriman? Kandang kuda tak sepesing ini.”

Kabar tentang keberadaan buku harian itu menyebar ke mana-mana. Murid dari kelas lain turut menikmati keterusterangan yang mekar di halamannya. Mereka seperti menemukan pintu masuk menuju sebuah lekuk kehidupan yang menenteramkan di situ. Banyak yang cemburu mengapa di kelas mereka tak terbentang buku tempat mencurahkan perasaan. Sementara guru yang merasa tersindir di halaman buku itu jadi kepanasan dibuatnya. Terutama kepala sekolah. Untuk beberapa guru, kritik dan kecaman yang ditulis di situ terasa seperti duri yang benar-benar mengusik ketenangan mereka.

”Siapa lagi yang bikin demokrasi edan ini kalau bukan si ganjen itu. Guru bantu saja sok selangit!” Guru-guru yang kegerahan terkena sentilan di buku harian itu menebarkan kebencian dari kelas yang satu ke kelas yang lain, dari satu kolega ke kolega yang lain. Hasut-menghasut membanjir supaya buku itu diberangus, disingkirkan.

Puncaknya bukan pada kritik yang dilancarkan para murid, tetapi pada Kartika Suryani, yang sudah tak tahan membendung banjir perasaannya. Untuk pertama kali dia mencurahkan kata hatinya: ”Aku tak pernah menyangka bahwa suatu ketika, dalam hidup ini, aku akan menemukan kepelikan yang muncul dari sikap korup seseorang yang semestinya menjunjung tinggi kejujuran. Karena kata inilah yang justru sering dikumandangkannya di depan murid-murid, pada setiap upacara seninan. Dan inilah yang menyakitkan. Dia menyuruh aku untuk menjadi penghubung, menemui seseorang yang akan memberikan kunci jawaban ujian nasional di suatu tempat. Mimpi buruk macam apa yang kudapatkan ini? Penghinaan seperti apa yang sedang dia rekayasa untuk merendahkan derajat anak-anakku? Aku tak mau dan tak bisa terlibat dalam kejahatan ini… Aku telah memilih untuk meninggalkan sekolah ini.”

Zaman sudah berkelok dan jauh meninggalkan kodratnya. Seorang kepala sekolah sudah bukan lambang di mana kejujuran menemukan bentuknya. Kartika harus menutup buku yang menjadi jangkar bagi para muridnya untuk melabuhkan kata hati yang sering datang meronta-ronta. Dia hanya seorang guru bantu. Dia tidak dilahirkan dan tidak dikirimkan ke sekolah itu untuk menjadi dewi penyelamat. Bakat sebagai pembangkang juga dia tak punya. Hanya saja, dia tak punya nyali untuk menipu dan membungkam keyakinannya sendiri. Sebagaimana yang disumpahkannya di dalam buku harian itu, maka dia memilih berhenti.

Dia mengajak seisi kelas untuk mengadakan semacam upacara perpisahan dengannya di sekolah itu juga, pada satu pagi di hari Minggu. Murid-murid membawa tanda cinta dan air mata mereka yang penghabisan dalam bentuk kado kecil-kecil yang mereka bungkus sendiri. Kartika membalas semua itu dengan terima kasih dan peluk cium.

”Mari kita tanam buku ini di sini, sebagai tanda terima kasih kepada lembar-lembar halamannya kepada siapa kita telah belajar tentang keberanian dan memercayakan perasaan kita. Lembar-lembar kertas yang telah ikut membesarkan kita semua. Kebebasan berpikir dan mengungkapkan kata hati takkan pernah bisa dibungkam. Dan itulah yang telah kita lakukan dengan catatan harian ini,” katanya seraya menahan perasaan dan titik air mata.

Seperti sedang meratapi peruntungannya sendiri, katanya pahit: ”Saya tahu mencari pekerjaan buat saya tidaklah mudah. Tetapi, saya tak pernah takut jadi miskin. Saya hanya gentar pada kejujuran.”

Dengan kesepakatan murid-murid yang tegak menahan emosi, buku itu diputuskan supaya ditanam. ”Kita yang setia kepada kejujuran diharap datang lagi ke sini, tepat di sini, di bawah pohon ini, pada hari ini juga, Minggu, persis dua puluh tahun mendatang. Kita akan lihat bagaimana kejujuran akan menunjukkan wajahnya. Apakah dia pernah menjadi tua…?” Kata-kata itu membuat upacara di bawah pohon itu terdiam oleh haru.

Dengan setangkai cangkul yang dia bawa sendiri, Kartika memulai galian pertama, diikuti semua muridnya, satu-demi-satu. Buku harian itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dikuburkan di bawah pohon hariara di pekarangan belakang sekolah itu.

Persis dua puluh tahun kemudian, pada hari ini, hari Minggu, sebagaimana yang sudah disepakati, Kartika sudah duduk menanti di antara akar-akar hariara yang menjalar melilit-lilit memperkokoh cengkeramannya di tanah.

Punggung Kartika Suryani tetap tegak. Juga lehernya yang jenjang menadah sapuan angin pagi. Matanya menatap ke pintu gerbang. Dan dia ingat, gerbang itu dulu terbuat dari kayu, yang kalau dikuakkan akan berderik. Kini, pintu masuk itu adalah besi kempa berukir.

Waktu masih mengajar dulu, dia selalu datang lebih awal dari murid- muridnya. Menjadi orang pertama yang melintas di gerbang itu, dia selalu disambut tukang kebun yang kini sudah tiada. Dan, sebagaimana dulu, pada hari ini, dua puluh tahun kemudian, mantan guru bantu itu mendahului kedatangan murid-muridnya guna menepati sebuah janji untuk menyaksikan kejujuran yang tak bisa dibengkokkan.

Mereka akan bersama-sama menggali tanah di kaki pohon tua yang berkeriput itu, mengeluarkan sebuah buku harian, di mana kebebasan dan kejujuran mereka telah menemukan bentuknya yang paling awal. ***
READ MORE - Di Kaki Hariara Dua Puluh Tahun Kemudian

Aiptu dan Pacarnya

Cerpen Nadjib Kartapati Z.
Dimuat di Jurnal Nasional (05/30/2010)

Polisi berpangkat aiptu itu, atau lelaki tegap atletis itu, atau si bujangan tampan itu, malam ini datang di tempat kost pacarnya karena sore tadi sang pacar mengundangnya melalui pesan singkat. Sang pacar, Sari namanya, langsung memukuli dadanya dengan kedua tinjunya, sekuat tenaga, sambil menangis dan meracau seperti sedang kesurupan.

Lelaki tegap atletis itu sudah terdorong ke dinding tapi pacarnya masih saja merasuk kesetanan. Ia tangkap kedua lengan pacarnya sampai tak berkutik. Tangisnya tinggal sengguk ketika bujangan tampan itu berhasil merengkuhnya dalam dekapan. Namun tak lama, tiba-tiba Sari kembali muntab dengan menarik-narik baju polisi berpangkat aiptu itu.

“Kamu jahat! Kamu tega! Kamu nggak mau dengerin permintaan gue! Gue benci kamu, benci sekali.”

Ia diam saja seperti sudah maklum. Yang muncul dari ingatannya adalah lelaki muda bertubuh kekar dan berahang segi empat. Rambutnya gondrong sebahu. Lengan kirinya bertato naga serta bergelang akar bahar, dan lengan kanannya bertato kalajengking. Ada dua cincin bermata batu akik besar di jari tengah dan jari manisnya, yang satu abu-abu dan satunya lagi berwarna jelaga. Beberapa hari lalu pacarnya sudah menjelaskan seluruh identitas itu. Lebih dari tiga kali, dengan harapan dia tak lupa. Juga sudah disebutkan tempat mangkal lelaki gondrong itu. Di sekitar pangkalan truk tidak jauh dari gudang-gudang China di kawasan Kota, masuk dalam wilayah sektor tugas Sang Aiptu.

“Tolong selamatin dia! Terserah kamu, Bang, gue nggak tau caranya!”

Ia bukannya tak ingat pesan pacarnya saat ia menjalankan operasi gabungan tiga hari lalu. Bahkan ketika itu ia sempat bergumam sendirian, “Oh, itu dia. Rambut sebahu. Rahang segi empat. Tato naga dan kalajengking. Gelang akar bahar dan cincin bermata akik.”

Astaga! Cintanya yang berkobar kepada pacarnya seperti hanya sebagian saja dari isi hidup yang ia punya. Riaknya menjadi tidak begitu kuat sehingga tergulung oleh bagian-bagian isi hidup yang lain, yang ia namai tanggung jawab, kehormatan, panggilan tugas, karier, harga diri, dan seterusnya. Demikian cepat kejadiannya sehingga ia tak sempat melibatkan hatinya untuk ikut merasakan dan menimbang-nimbang, atau mengajak pikirannya untuk menghitung untung rugi bagi diri dan masa depan percintaannya.

Lelaki bertato itu mengambil langkah seribu ke dalam gang, dan serta-merta membuat Sang Aiptu memperoleh totalitasnya sebagai polisi. Setelah mengejar dengan loncatan macan kumbang, dia menjelma bagaikan cheetah saat berlari di sela-sela lorong dan gang. Ia kenal persis kawasan itu lantaran pernah menangani kasus perampokan di sana. Bahkan kemudian hafal gang demi gang yang berkelok, baik yang tembus maupun yang buntu. Sia-sialah pelarian lelaki berahang segi empat itu karena pengejarnya tahu persis ke mana harus menembus jalan pintas untuk menghadang.

Ia telah menangkap preman itu sendirian, dengan penguasaan medan, dengan kecerdasan dan ketangkasannya yang profesional. Ia telah menggiring lelaki itu dalam operasi preman yang ke sekian kali ia jalani.

* * *

“Gue merasa nggak lebih dari angin lalu. Secuil juga kamu nggak peduli sama kata-kata gue! Nyakitin! Pacar macam apa kamu ini?”

Ia mencoba merangkul pacarnya untuk menenangkan, tetapi tangannya ditepis dengan kasar. Gadis itu mundur selangkah dengan tatap mata permusuhan.

“Gue benci kamu! Jangan sentuh gue!”

“Tapi kamu sendiri nggak pernah bilang siapa lelaki itu.”

“Dia abang gue. Dia yang selama ini bekerja buat biayai kuliah gue.”

Sekaranglah, ia, lelaki lajang yang tampan itu, baru menyadari betapa banyak yang tidak ia ketahui tentang jati diri pacarnya. Ia terlalu sibuk mengeja hati gadis itu untuk menemukan kalimat cinta buat dirinya, sehingga bising asmara telah sejenak membuat jeda dari nalurinya sebagai polisi. Mungkin hal itu karena usianya yang sudah 32 tahun, yang membuatnya cemas menjadi bujang lapuk dan ketergesaannya ingin segera menyunting kekasihnya. Apalagi kekasihnya masih relatif muda dibanding dirinya, suatu kenyataan yang sulit didapatinya lagi.

Selama ini ia hanya melihat apa-apa sekadar yang bisa ia tangkap dengan mata. Dalam pandangannya, pacarnya adalah gadis cerdas yang bisa kuliah di universitas negeri yang paling bergengsi di ibu kota, hanya dengan biaya dari hasil ayahnya buka warung kecil di beranda rumah. Betapa bodohnya ia karena berpikiran bahwa warung yang isinya hanya beberapa bungkus rokok, sabun detergen, bumbu masak, gula pasir dalam kemasan plastik, chiki-chikian, obat sakit kepala dan sekawanannya, itu, labanya dapat menutup kebutuhan uang kuliah dan sewa kamar kost di Depok. Ayah Sari yang sejatinya mantan tukang parkir atau bahkan pernah jadi preman itu pun selama ini ia kira sebagai pensiunan tentara.

Kini ia hanya tergolek di kursi kayu di sudut kamar sambil menatap kosong pacarnya yang tergugu karena rasa kecewa. Alangkah banyak pintu-pintu di belakang gadis itu yang sekarang mulai terkuak satu demi satu. Pintu-pintu yang sebelumnya bukan saja tertutup rapat, tetapi bahkan ia lihat pun tidak.

“Jadi kamu punya Abang? Kenapa nggak pernah ngenalin ke aku?”

“Itu pertanyaan tolol!”

Setiap Sabtu malam saat gadis itu balik ke rumah orang tuanya di Klender, ia selalu mengunjungi sang pacar. Ia tak bisa menghitung lagi, yang pasti lebih dari sepuluh kali. Namun kenapa ia tak pernah melihat pria gondrong bertato itu? Atas penjelasan pacarnya kini ia tahu bahwa lelaki gondrong bertato itu diusir ayahnya karena pekerjaannya.

“Dulu, sewaktu muda, ayahku juga preman jalanan. Peras sana peras sini. Tipu sana tipu sini. Palak sana palak sini. Ayah bukan orang sekolahan. Dia nggak punya keterampilan apa-apa. Tapi dia nggak mau anak sulungnya meniru dia. Ayah berubah saat usianya mulai menua. Dia lebih bahagia makan seadanya dari hasil membuka warung di rumah seperti yang kamu lihat itu.” Demikianlah Sari menjelaskan.

Abang Sari alias lelaki gondrong bertato kalajengking itu memprotes ayahnya karena sang ayah dipandang tidak adil. Sama-sama bukan orang sekolahan, sama-sama tidak memiliki keterampilan apa pun, juga sama di usia muda, kenapa sang ayah boleh menjadi preman sedangkan dia tidak? Bukankah penyebabnya dua hal yang sama: tak punya ijazah dan keterampilan?

“Tapi beda dengan Ayah. Abang lebih jeli membaca kemungkinan,” papar Sari kepada Sang Aiptu. “Abang pernah bilang ke gue kalau dia nggak perlu nunggu tua buat mengakhiri kehidupannya yang hitam. Abang melihat kemungkinan baik itu ada pada diri gue kalau saja antara dia dan gue sepakat untuk mengikat komitmen.”

Polisi tampan bertubuh atletis itu mengisi tatapan matanya yang kosong dengan keingintahuan. Ingin ia menghampiri pacarnya yang terduduk lesu di sisi ranjang. Ingin ia memegang lembut kedua lengan pacarnya seraya meminta agar mau bercerita banyak. Namun ia hanya mengucap satu kata menyerupai gumam yang nyaris tak terdengar oleh telinganya sendiri, “Komitmen?”

“Ya, komitmen! Semacam transaksi jual-beli buat menghapus noda hitam yang selama ini mengotori keluarga gue.”

Sudah sejak lama lelaki bertato itu melihat sinar cemerlang di kening adiknya. Sejak Sari selalu menjadi bintang kelas sepanjang sekolahnya di SD. Sejak Sari mengukuhkan prestasinya di SMP di mana ia selalu masuk ranking lima besar teratas. Sejak Sari membuktikan bahwa selama sekolah di SMU tak pernah memperoleh nilai di bawah angka delapan untuk mata pelajaran apa pun. Terakhir ketika Sari lulus UMPTN dengan nilai yang mencengangkan, ketika begitu banyak siswa menangis sedih karena gagal, ketika begitu banyak orang tua murid gamang mencari perguruan tinggi swasta. Dan ketika itulah lelaki bekas tukang parkir yang dipanggilnya ayah itu menyatakan tidak mampu lagi membiayai anak gadisnya melanjutkan sekolah.

Maka di sinilah arti si lengan bertato kalajengking itu bagi Sari. Banyak uang dari kantong para sopir truk yang bisa ia rampas tiap hari. Banyak duit dari saku para pedagang yang akan mengirim barangnya yang dapat direnggutnya kapan saja ia mau. Ia hanya menukar semua itu dengan gertak dan janji keamanan. Duit itu ia alirkan untuk uang kuliah adiknya, uang praktik, uang buku, sewa kamar kost, makan, transport, sampai pada keperluan beli pulsa dan alat kosmetika. Ia investasikan hasil kerjanya demi keberhasilan pendidikan si adik, yang pada gilirannya akan mengangkat martabat keluarga, menghapus noktah hitam premanisme yang tak pernah henti membayangi generasi keluarga besarnya.

Polisi berpangkat aiptu itu tercekat seperti menahan geram. “Apakah dengan cara itu kamu pasti berhasil?”

“Lebih baik kamu tanya apakah upaya gue ini masuk akal atau nggak?”

“Tapi kamu akan menjadi sarjana hukum, Sari! Sarjana hukum!”

“Memang kenapa? Hanya dengan cara itulah gue dapat memutus mata rantai premanisme di lingkungan keluarga gue. Ngerti kamu?”

Mata Sari menyala-nyala merah seolah jiwanya kembali terusik. Ia bangkit dan menghampiri lelaki tampan itu, berdiri persis di hadapan Sang Aiptu sambil berkacak pinggang. Lalu ia meracau seperti orang sakit panas, “Gue akan jadi sarjana hukum, tau kamu? Terus gue ngambil strata dua, kalo perlu sampai doktor. Terus gue akan jadi pengacara, tapi bukan buat orang-orang miskin. Gue cuma mau jadi pengacaranya orang-orang berduit, nggak peduli mereka itu koruptor. Itu jauh lebih terhormat daripada gue hanya tamat SMU dan cuma becus jadi waitress atau lady escort di karaoke, yang kalau perlu duit banyak mesti mau dibawa om-om. Dengan menjadi pengacara gue akan raup banyak uang, dan karena itu gue sanggup nyekolahin adik gue, anak-anak abang gue, juga anak-anak gue sendiri kelak, supaya dari mereka nggak ada yang kepaksa jadi preman jalanan. Tau kamu?”

Sari berhenti bicara, seperti tercekat dan tersadar dari mimpinya. Ia tahu harapannya sudah punah. Tangisnya kembali pecah. Ia tarik lagi kerah baju polisi berpangkat aiptu itu dengan kasar. “Gue nggak akan pernah maafin kamu, Sang Aiptu! Gue sakit hati lebih karena kamu nggak ngegubris permintaan gue. Kita putus!”
* * *

Polisi berpangkat aiptu itu, seperti lelaki lajang yang lain, di mana pun, hatinya bolong diputus cinta. Ia bawa hatinya yang kosong itu ke tempat-tempat rawan. Ke terminal. Ke stasiun. Ke pangkalan truk. Ke lampu merah. Ke pasar-pasar. Konsentrasinya hanya pada target buruannya. Ia tak mau tahu apakah setiap lelaki bertato yang dihadapi kemudian itu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Atau punya adik yang masih kuliah dengan sejibun impian. Atau sekadar pencari bekal membanting balak enam dan menenggak wishky. Ia tak mau peduli.

Namun, lelaki tampan atletis itu begitu cemas menghadapi malam-malamnya. Ada kesunyian yang nyaris tak tertanggungkan. Kesunyian yang hanya terobati oleh sapaan pacarnya, yang ia tahu kini sedang menanggung rasa kecewa. Seperti kekecewaan Drupadi terhadap Bisma yang hanya bisa ternganga tatkala Kurawa mencoba menelanjanginya. Kecewaan yang ia sadari tak akan pernah melahirkan kata “memaafkan”. Ia ingat ibunya pernah berkata, “Sengaja atau tidak, jangan pernah sakiti hati perempuan, karena raungannya sampai ke ujung zaman.”

Tiap malam ia selalu merasa sepi. Dulu, ia rajin mengekspresikan perasaannya melalui denting-denting gitar petikannya. Sekarang gitar itu hanya mengonggok di sudut ruang, menjadi simbol bagi kesepian itu sendiri.

Polisi berpangkat Aiptu itu sudah letih menunggu kabar dari pacarnya yang tak kunjung menyapa, termangu dirambahi usia. Tetapi tak dapat ia mungkiri, hatinya begitu sejuk, begitu punya arti setiap kali membaca pesan singkat yang belakangan kian sering masuk ponselnya. Pesan singkat dari sahabat-sahabatnya orang sipil. Dari para tetangganya. Juga dari teman-teman lamanya di sekolah dulu. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih. Mereka bilang, mereka kini merasa aman berada di tempat-tempat yang sebelumnya terkenal sangar.***
READ MORE - Aiptu dan Pacarnya

Jika Tak Ingin Dihujat, Jangan Korupsi!

Panggung sosial di negeri ini agaknya sedang menampilkan lakon keterasingan hidup. Sebuah situasi yang sangat paradoksal. Di tengah dinamika peradaban yang demikian gegap-gempita menyajikan repertoar-repertoar global yang genuine dan beradab, Indonesia justru menampilkan ikon dan citra korup yang membuat wajah bangsa kian tercoreng. Terkuaknya megaskandal maklar kasus, mafia perpajakan, mafia hukum, mafia peradilan, atau mafioso-mafioso yang lain, yang melibatkan banyak tokoh penting di negeri ini, makin menguatkan bukti betapa keterasingan hidup sedang melilit para aktor sosial “mainstraim” kita.

Betapa tidak? Tingginya jabatan dan kekuasaan ternyata tidak bisa menjadi jaminan seseorang mampu menemukan kebahagiaan. Mungkin ada benarnya kalau ada yang bilang bahwa kebahagiaan sesungguhnya bukan untuk dicari, melainkan diciptakan. Dus, para aktor sosial yang sedang tersandung masalah hukum bisa jadi telah gagal menciptakan kebahagiaan dalam hidupnya. Yang terjadi justru sebuah keterasingan hidup; dinistakan, dicemooh, dikutuk, dan telah tercitrakan sebagai pengumpul uang haram. Dalam situasi seperti itu, bukan hal yang mudah untuk bisa hidup nyaman dan “manjing ajur ajer” di tengah-tengah komunitas sosialnya.

inilah.com
Sindiran ala Inilah.com.
Bisa jadi kosakata “keterasingan hidup” tak tercantum dalam kamus sosiologi dan antropologi Indonesia. Ia bisa hadir dan bisa menerpa siapa saja yang kebetulan sedang berada di tengah-tengah gelimang kemewahan dan puncak kekuasaan. Jika gagal membendung godaan, siapa pun orangnya bisa dipastikan akan tersungkur ke dalam kubangan keterasingan hidup itu. Bukankah serapat-rapatnya orang membungkus bangkai, suatu ketika pasti bau busuknya akan tercium juga? Bukankah John Emerich Edward Dahlberg Acton (Lord Acton) juga pernah bilang, “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu cenderung korup; semakin besar kekuasaan berada dalam genggaman tangan, semakin besar pula peluang dan kesempatan untuk melakukan korupsi?

Salahkah kalau Adi Massardi dengan gaya ucap yang sedikit vulgar dan kenes, menyerukan “revolusi” lewat lirik “Negeri Para Bedebah” berikut ini?

Negeri Para Bedebah

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan! ***


Adi Massardi memang tidak sedang mengigau. Melalui suara batinnya, dia dengan sengaja menguliti wajah negerinya sendiri di tengah kegelisahan menyaksikan perilaku korupsi yang nyata-nyata telah membuat bangsa ini bangkrut lewat lirik yang pedih, ekspresif, dan demonstratif.

novel korupsiSalah jugakah Pramudya Ananta Toer yang dengan gaya satir dan getir mengungkapkan “kesaksian” imajiatifnya terhadap praktik korupsi yang mewabah secara luas menjadi penyakit sosial ke dalam sebuah novel? Meski sekitar tahun 1953, ketika novel tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya, korupsi belum sedemikian marak seperti sekarang, namun dengan kepekaan intuitifnya, Pram telah sanggup mengangkat persoalan korupsi ke dalam sebuah teks sastra yang pada akhirnya memiliki relevansi dengan konteks kekinian. Novel yang terdiri atas 14 bab tersebut mengisahkan seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama-kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.

Kalau korupsi itu sebuah fakta, teks sastra memfiksikannya. Kalau koruptor itu seorang pesakitan, sang sastrawan meratapinya dengan menggunakan kepekaan batin dan intuisinya. Maka, membaca teks sastra sejatinya juga membaca denyut dan napas kehidupan yang bisa dijadikan sebagai medium penyadaran untuk menjadi manusia yang lebih jujur dan berhati nurani.

Adi Massardi atau (alm.) Pram hanyalah beberapa gelintir pengarang yang dengan amat sadar menjadikan korupsi sebagai tema besar dalam teks literernya. Masih banyak pengarang lain yang menggarap tema serupa sebagai bentuk “kesaksian” imajinatif terhadap berbagai fenomena hidup yang makin korup dan serakah. Teks sastra yang lahir pada setiap zaman tak ubahnya merupakan hasil refleksi dari setiap geliat peradaban yang melingkupinya, bahkan bisa menjadi bukti dan rujukan otentik terhadap perjalanan sejarah dari generasi ke generasi. Teks sastra akan terus memfosil dalam setiap memori bangsa sekaligus bisa dijadikan sebagai medium pembelajaran hidup di tengah-tengah atmosfer zaman yang makin abai terhadap persoalan-persoalan moral.

Dalam konteks demikian, tiba-tiba saja napas saya menjadi sesak menyaksikan perilaku para koruptor yang harus terkena post-power syndrom; harus merelakan diri dan keluarganya dicaci-maki dan dihinakan di depan publik, hingga akhirnya mengalami keterasingan hidup yang entah sampai kapan masyarakat bisa dengan mudah menerimanya sebagai bagian dari komunitas sosial secara utuh dan wajar.

Hmm … mungkin ada benarnya juga kalau Kang Sandimin, tetangga yang biasa nongkrong di gardu Poskamling bilang, “Maka, jika tak ingin hidup terasing dari komunitas sosialnya, janganlah melakukan korupsi! Jika tak mau dikutuk, janganlah korupsi! ***
READ MORE - Jika Tak Ingin Dihujat, Jangan Korupsi!

Sesandu

Cerpen Gerson Poyk
Dimuat di Jurnal Nasional (05/16/2010)

Namaku Immanuel. Sejak kecil aku dipanggil Nuel. Aku lahir dari rahim seorang perempuan Rote, pulau paling selatan di republik ini. Ibuku kawin dengan seorang lelaki pedagang pakaian bekas berasal dari Sulawesi Selatan. Baru berumur tiga bulan, ayahku hilang ditelan ombak dan arus di selat Timor dan Rote, selat Pukuafu. Setelah berumur lima atau enam tahun, barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu.

Aku bisa mengenang ibu membawaku berjalan kaki dari kampung ke kampung, berjualan pakaian bekas. Kalau tidak dengan uang, maka pakaian bekas itu ditukar dengan jagung dan gula. Dalam perjalanan, kalau ibu membuat gula, aku diberi gula. Kalau aku haus, ibu membeli nira lontar dan aku minum sepuas-puasnya. Makanan yang paling aku suka adalah kue cucur. Itu pun bisa kumakan kalau pakaian bekas ibu laku. Akan tetapi makanan yang paling sehat adalah jaung tepung dicampur gula dan kacang ijo goreng kering tanpa minyak. Sering aku dan ibu kelelahan di perjalanan dari kampung ke kampung dan kalau sudah tak tertahan lagi, kami berbaring nyenyak di atas rumput kering di tepi jalan setapak, tidak peduli matahari membakar kulit kami.

Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah adalah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku ibu berkata, semoga anakku menjadi orang terkenal‘¦

Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, ibu meninggal dunia karena kanker paru-paru. Soalnya kalau ibu selesai memamah sirih, mulutnya diisi dengan tembakau yang tergantung-gantung di bibirnya, itulah kukira penyebab meninggalnya ibuku.

Pamanku datang dari Kupang menjemput aku karena di Rote sanak saudara sudah berpindah ke pulau Timor, bertani di pedalaman yang telah ada kampung-kampung Rote semenjak abad yang lalu. Ibu punya dua orang saudara, kakak perempuannya tinggal di Bali dan yang sulung, lelaki, tinggal di Kupang. Tanah saudara lelakinya seluas dua hektar dan di atas tanah itu ada banyak pohon lontar.

Mula-mula paman hidup sebagai penyadap lontar, memasak nira sampai menjadi gula lalu dipikulnya ke pasar di Kota Kupang. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia melihat daun lontar di pohon yang ditiup angin kemarau sehingga daun lontar itu seakan bergetar dan bernyanyi, maka idenya tergetar pula untuk membuat sesandu. Orang Jawa yang nama belakangnya selalu ada huruf ‘O‘™ suka menyebut alat musik itu sasando. Padahal orang Rote menyebut sesandu, bahkan dalam buku-buku tentang Rote dalam bahasa Inggris pun menyebut sesandu.

Pamanku bernama Eduard tetapi selalu dipanggil Edu. Paman Edu memang berbakat musik. Ia memainkan sesandu di pesta-pesta atau kalau tak ada pesta ia bermain sesandu sendiri berjam-jam. Akan tetapi setelah ia menjadi pengrajin atau pembuat alat musik itu, maka berjam-jam, berhari-hari ia sibuk membuat alat musik itu. Ada sesandu gong yang hanya memakai sembilan senar, ada sesandu biola dengan beberapa oktaf sehingga Mozart pun bisa dinyanyikan oleh alat musik etnik itu.

Aku menjadi kacungnya. Aku menjadi pemanjat pohon lontar untuk memotong daunnya, aku menggergaji kayu dan bambu, aku sering keluar membawa sesandu yang diborong orang, aku menjadi kemenakan yang paling disayang. Paman menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi pengrajin sesandu maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Dari sekolah formal aku masuk sekolah informal, sekolah sesandu. Akhirnya aku menjadi pemain sesandu dan sekaligus menjadi pengrajin sesandu. Kecil-kecil sudah bisa punya banyak uang. Selain penghasilan dari pembuatan alat musik sesandu, aku dikontrak oleh sebuah hotel berbintang di Kupang dan dengan demikian, aku tidak perlu susah-susah seperti teman-teman sebayaku yang berkantong kosong.

Akan tetapi kebanggaanku sebagai anak yang bisa memegang uang dengan mencari sendiri, hilang pelan-pelan. Ketika aku sudah berumur lima belas, aku sadar saat melihat teman-temanku yang bersekolah. Aku jadi malu karena aku anak putus sekolah di SD. Apalagi beberapa kali, kalau aku habis bermain sesandu, ada yang bertanya sekolah di mana. Seringkali aku menipu dengan mengatakan kalau aku mahasiswa. Sering para penanya menyambung; kuliah apa? Dan aku menyambung tipuku ; kuliah musik.

Tiba-tiba kakak ibuku datang berlibur dari Bali. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada paman, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kau saya bawa ke Bali saja. Tinggal di Denpasar. Bekerja di hotel saya. Setiap malam kau bermain sesandu di restoran kita. Kau dapat gaji. Di siang hari kau harus bersekolah lagi, ya! Mula-mula ikut ujian Paket A, kemudian masuk SMP dan seterusnya sampai jadi sarjana!”

Bukan main girangku.

“Hei dengar. Zaman dulu tak ada sekolah sebanyak ini sehingga saya, ibumu, dan pamanmu tidak bisa bersekolah dengan baik. Tapi sekarang, sekolah di depan mata. Hanya beberapa langkah berjalan, sampailah ke sekolah,” kata kakak ibuku.

Maka setelah puas berlibur di Rote, ia kembali ke Kupang, lalu kami berdua terbang ke Bali dengan membawa beberapa sesandu dan beberapa alat musik lainnya. Alat musik etnik Rote seperti gong dan tambur. Kami juga membawa beberapa karung dendeng asap yang disebut daging se‘™i. Tidak ketinggalan asam Jawa yang disebut tambring timor yang tumbuh liar di padang sabana.

Di Denpasar, aku kagum luar biasa atas perkembangan kakak ibuku. Kakak perempuan ibuku, tanteku, bibiku, budeku! Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar, pabrik garmen dengan seratus tukang jahit. Laba yang diperoleh dari pabrik garmen itu ditanam ke sebuah hotel yang dilengkapi kolam renang. Hotel itu juga memiliki sebuah restoran. Di restoran itu ada sebuah arena untuk musik dan berdansa. Luar biasa.

Sebelum bermain musik, aku disuruh membuat SIM. Walaupun ia sudah mempunyai sopir pribadi, ia ingin agar aku bisa membawa mobil untuk urusan ke sana kemari termasuk pergi dan pulang sekolah.

Usaha tanteku dimulai kira-kira bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Kalau ibuku mulai dengan pakaian bekas berjalan ke sana ke mari, masuk kampung keluar kampung maka tante memulainya dari sebuah jarum. Bukannya jalan ke sana kesini tapi hanya duduk sambil menyulam sarung bantal. Mula-mula dua sarung bantal, dan dua sarung bantal itu dibeli oleh seorang nyonya, tetangganya. Nyonya tetangga itu memperlihatkan kepada seorang turis Belanda. Turis Belanda itu tertarik lalu memesan beberapa lembar. Kemudian, sepuluh, lalu dua puluh, lalu seratus, dua ratus, lalu seribu. Dengan demikian, tanteku, bibiku, budeku memesan mesin jahit, mesin untuk sebuah perusahaan garmen dan butik. Mula-mula kecil, kemudian besar dan makin besar saja! Tanteku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah, dengan memulai dari sebuah jarum, sampai mempunyai pabrik dan hotel.”

Aku berpikir, pamanku juga begitu. Dia mulai dengan sebuah golok dan sebuah pisau, sebuah gergaji kecil, sebuah bor kecil. Dengan beberapa biji alat yang kecil itu, ia bisa memiliki sebuah bengkel pembuatan sesandu.

Hampir seluruh keluarga dari pihak ayah dan ibu sudah bermigrasi ke luar pulau. Hal itu terjadi sedikit demi sedikit ketika terjadi musibah besar dalam keluarga kami. Salah seorang kemenakan kakek membuat seluruh keluarga malu karena ia memberontak terhadap adat. Ceritanya menyedihkan. Ketika sepupu ayah melamar seorang gadis Rote, orangtua si gadis menuntut belis (emas kawin) terlalu banyak; empat puluh ekor kerbau, empat puluh sapi, empat puluh kuda, empat puluh gram kalung emas, dan uang empat puluh juta! Pihak keluarga sepupu ayah, termasuk ayahku memohon supaya emas kawin dicicil selama empat puluh tahun, sesuai dengan adat Rote. Tetapi pihak si gadis menolak. Harus kontan. Hal itu tidak mungkin. Pihak pria hanya memiliki sepuluh mamar (kebun tanaman keras) dan sejumlah sawah ladang tetapi tidak punya kerbau dan sapi sebanyak itu.

Karena lamaran ditolak, tidak disangka-sangka, pada suatu malam sepupu ayah membawa parang, membunuh empat puluh keluarga dari pihak tunangannya, termasuk tunangannya. Terjadi kehebohan besar. Pulau Rote jadi terkenal sebagai pulau pembunuh. Amat memalukan.

Demikianlah, maka untuk menghindar dari pembalasan dendam, maka sanak keluargaku pindah ke pulau Timor. Kebetulan pulau Timor adalah pulau tanah kosong yang telantar. Orang asli Timor suka tinggal di tempat tinggi, di lereng dan puncak bukit berangin kencang, sehingga tidak ada nyamuk. Orang Rote tidak bisa terpisah dari mata air dan sungai. Dengan air kekayaan datang berlimpah. Mereka membuat sawah, menanam pohon-pohon keras seperti kelapa, nangka, sukun, pinang, dan sebagainya. Kebun tanaman keras itu disebut mamar.

Jadi mamar adalah kebun ekologi. Sering mas kawin atau belis dalam bentuk mamar. Satu atau dua mamar yang luas bisa “ditukar” dengan seorang gadis. Keluargaku yang pindah ke Timor jadi makmur sejahtera karena memiliki mamar, sawah, ladang, dan ternak kuda, sapi, serta domba. Jangan ditanya ayamnya, banyak. Namun ada juga orang Rote yang berpindah ke Timor sangat nakal. Sapi, kerbau, dan kuda milik orang Timor yang terlepas begitu saja di padang penggembalaan selalu turun ke mata air dan sungai untuk minum. Diam-diam para manusia Rote yang nakal itu membuat stempel besi berhuruf ‘R” lalu stempel itu dibakar, kemudian distempel ke pantat hewan milik orang Timor yang datang minum itu. Jadilah hewan-hewan itu milik orang Rote. Untunglah aku tidak tinggal di kampung Rote itu walaupun aku pernah diminta untuk menjadi gembala.

Tanteku, bibiku, budeku juga diajak tinggal di kampung Rote di tengah padang sabana. Belum lama tinggal di sana, ia keburu dilamar seorang tentara asal Bali. Aku berterimakasih pada suaminya. Bukan saja aku, tetapi seluruh keluargaku berterimakasih pada suaminya karena walaupun isetrinya hanya tamatan kelas satu SD, dengan tekun diajarinya berhitung sehingga aku menjadi kagum pada tanteku karena ia bisa berhitung, menambah, mengurangi, membagi, dan sebagainya. Memang, tanteku berbakat matematika. Kepalanya adalah komputer. Itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang pengusaha yang terhitung sukses. Walaupun ia cuma sampai di kelas satu sekolah formal tetapi karyawan yang tinggal dengannya, jika sudah menikah akan berkata bahwa mereka tamatan akademi pariwisata. Mengapa? Gadis-gadis yang tinggal dengannya akan menjadi isteri yang sangat mahir dan telaten mengurus rumahtangga.

Tanteku bercerita tentang masa remajanya. Seorang nyonya kontrolir Belanda (kini bupati), mengumpulkan gadis-gadis remaja, mereka diajari menjahit, menyulam, mencuci pakaian, kelantang pakaian putih yang disabuni lalu digelar di lapangan rumput agar putih bersih, menyeterika, melipat dan menyusunnya di lemari. Mereka diajari seni menangani dapur. Dapur harus bersih. Piring mangkuk dicuci bersih lalu diletakkan di rak secara teratur. Lemari makan harus bersih, tidak dikeroyok rayap dan lalat, tembok dapur harus putih bersih, meja makan harus disikat dengan sabun dan air. Cara mengatur meja, piring, sendok, garpu, serbet, semuanya harus tertata indah. Air minum harus dimasak, sayur mayur, ikan, daging harus dicuci bersih dan tidak lupa lantai rumah harus dipel, kasur harus dijemur setiap minggu dan seterusnya. Pendeknya sebuah rumahtangga harus diurus seperti mengurus hotel berbintang.

Gadis-gadis itu akhirnya dilamar oleh para guru, pegawai kantor, polisi, tentara dan pengusaha. Itulah gadis-gadis asuhan nyonya kontrolir. Di antaranya tanteku. Walaupun ia putus sekolah di kelas satu SD tetapi pengetahuannya mengenai pengurusan rumahtangga setingkat dengan Sekolah Kepandaian Putri. Bukan pendidikan formal, tetapi pendidikan non formal, pendidikan di luar sekolah formal, pendidikan permagangan.

Melihat orang Papua yang masih memakai koteka dan hidup di hutan, tanteku terbang ke sana dan membawa pulang sepuluh anak angkat untuk ikuti pendidikan permagangan di perusahaannya. Ia mendidik mereka mandi tiga kali sehari pakai sabun, bagaimana berpakaian, bagaimana cara makan di meja makan, dan sebagainya. Karena kayu terlalu banyak di Papua maka tanteku membuka sebuah bengkel. Mereka belajar membuat honai modern yang bersih dan sehat. Mereka dianjurkan untuk nantinya membuat sendiri rumah di atas lahan yang berada di bawah mata air yang bersih, membuat WC yang bersih memakai tempat buang air leher angsa dan sebagainya. Mereka diajari membuat kincir air yang memutar dinamo, juga kincir angin untuk memompa air sumur atau sungai. Pendeknya tanteku mendidik mereka untuk menjadi pemimpin desa, kalau perlu menjadi camat, bupati, dan sebagainya.

Tanteku selalu menarik nafas, berkata, kalau di tiap kabupaten ada nyonya bupati yang meniru nyonya kontrolir itu, maka orang Papua tidak sampai satu abad akan berpendidikan seperti orang dari negeri yang sudah maju. Itulah tanteku, perempuan desa yang mulai berusaha dari jarum, dari selingkar sulaman. Tanteku putus sekolah formal di kelas satu sampai menempuh pendidikan non formal luar sekolah sehingga bisa memiliki sebuah pabrik garmen dan sebuah hotel.

Setiap pagi aku bermain sesandu di restoran hotel milik tanteku. Siang harinya aku dibiarkan tidur sampai jam sepuluh. Bangun dari tidur yang menyehatkan, aku mandi lalu menolong beberapa pekerjaan ringan, kemudian makan siang dan bersiap-siap ke sekolah. Mula-mula aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMA-ku. Tanteku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Singkat cerita aku lulus sebagai musikolog.

Tugasku di hotel tanteku masih seperti biasa. Bermain sesandu sambil bernyanyi. Saat itulah, ketika aku sedang bermain sasandu, tiba-tiba seorang wartawati Amerika memintaku untuk diwawancara. Oh, aku gembira sekali. Dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar New York Times, koran dunia yang sangat terkenal itu. Ada wajahku di sana, ada sesandu kesayanganku. Ada kalimat berbunyi, “Aku bermain dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku menjadi musik dan musik menjadi aku.” Aku merasa bukan aku yang bermain musik melainkan malaikat surgawi, Dewi Musik. Setelah sadar kadang-kadang aku tidak bisa lagi bermain seperti itu.

“Barangkali Dewi Musik lagi gambek .” Sang wartawati tertawa.

Karena koran dunia itu, aku dikenal dunia pula. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Amerika untuk mengajar. Mengajar sesandu di departemen musik etnik. Oh Tuhan, syukur Tuhan. Tanteku memeluk aku, mencium aku sambil menangis karena gembiranya.

Aku menangis tersedu-sedu karena gembira pula. Karena jalan hidupku begitu mulus diciptakan Tuhan. Aku merasakan bahwa namaku memang benar. Immanuel berarti Tuhan beserta kita. Ya, Tuhan selalu beserta Nuel. Nuel! Tuhan selalu bersamamu Nuel, kataku.

Terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, aku tak dapat menahan airmataku. Aku mengenang ibuku penjual pakaian bekas keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki telanjang. Aku ingat akan kue cucur, sepotong kue cucur. Air mataku mengucur.

“Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis.

“Tidak. Semacam homesick,” kataku.

Ia menyorong tisu tapi airmataku mengalir terus, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat pondok kecil yang dibuat ayahku setelah kami lari dari dusun karena pembunuhan empat puluh orang itu. Ayahku membuat sebuah pondok berdaun kelapa. Di dalamnya ada sebuah bale-bale tempat kami tidur. Tidak ada kursi melainkan beberapa buah batu besar untuk duduk-duduk. Waktu ayah tenggelam di selat Pukuafu, ibu tidak punya uang. Untuk makan malam, sore-sore, aku dan ibu ke pantai ketika laut surut. Kami memunggut kerang, memetik rumput laut yang dalam bahasa Rote disebut latu. Ada kepiting, ada udang, ada ikan, dan gurita remaja.

Aku mengenang pasir putihku yang selalu dijilat-jilat ombak. Di ujung lidah-lidah ombak di bawah pasir yang halus, ada berpuluh kerang di bawahnya. Kalau terinjak maka mereka menyemprotkan air sehinga aku berhenti dan mengorek pasir, memungutnya satu demi satu seperti makan kacang goreng saja. Setelah kenyang ibu telah siap dengan makanan laut satu keranjang penuh. Pulang ke pondok daun kelapa kami, ibu memasak makanan itu dan karena tak ada uang untuk membeli beras, pengganti nasi kami minum air gula lontar. Lumayan. Setelah kenyang aku melompat ke bale-bale dan tidur tertelungkup tanpa bantal. Bangun pagi-pagi karena terlalu banyak asam urat di tubuh, leherku linu kalau menoleh ke kiri dan ke kanan. Mengenang itu, aku menggeleng-geleng kepala beberapa kali. Leherku tidak linu ketika menoleh ke jendela, memandang gumpalan awan di bawah sana. Sayup dalam kenangan ada pantai di mana aku dan ibu memungut kerang ketika laut surut.

“Anda ke New York?” tanya gadis di sampingku.

“Tidak. Hanya di Los Angeles,” jawabku.

“Urusan bisnis?”

“Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.”

“O, profesor tamu,” katanya.

Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari ketika ada hari raya Home Coming, aku diundang ke rumahnya yang terletak agak di luar kota, di sebuah kota kecil. Ampun, ampun, rumahnya bak istana. Ayahnya seorang profesor fisika. Malam itu aku menginap di rumahnya, akan tetapi ketika berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk daun kelapa, bale-bale, berkeliling dengan ibu, berjalan kaki tanpa sepatu, makan kue cucur, minum air gula nira‘¦oh, walaupun mengantuk berat, aku masih menyebut namaku. Immanuel, Tuhan beserta kita, Nuel, Tuhan besertamu sampai di Amerika ini‘¦lalu aku terlelap dalam irama sesandu.***

Depok, 12-12-2009
READ MORE - Sesandu