Aiptu dan Pacarnya

Cerpen Nadjib Kartapati Z.
Dimuat di Jurnal Nasional (05/30/2010)

Polisi berpangkat aiptu itu, atau lelaki tegap atletis itu, atau si bujangan tampan itu, malam ini datang di tempat kost pacarnya karena sore tadi sang pacar mengundangnya melalui pesan singkat. Sang pacar, Sari namanya, langsung memukuli dadanya dengan kedua tinjunya, sekuat tenaga, sambil menangis dan meracau seperti sedang kesurupan.

Lelaki tegap atletis itu sudah terdorong ke dinding tapi pacarnya masih saja merasuk kesetanan. Ia tangkap kedua lengan pacarnya sampai tak berkutik. Tangisnya tinggal sengguk ketika bujangan tampan itu berhasil merengkuhnya dalam dekapan. Namun tak lama, tiba-tiba Sari kembali muntab dengan menarik-narik baju polisi berpangkat aiptu itu.

“Kamu jahat! Kamu tega! Kamu nggak mau dengerin permintaan gue! Gue benci kamu, benci sekali.”

Ia diam saja seperti sudah maklum. Yang muncul dari ingatannya adalah lelaki muda bertubuh kekar dan berahang segi empat. Rambutnya gondrong sebahu. Lengan kirinya bertato naga serta bergelang akar bahar, dan lengan kanannya bertato kalajengking. Ada dua cincin bermata batu akik besar di jari tengah dan jari manisnya, yang satu abu-abu dan satunya lagi berwarna jelaga. Beberapa hari lalu pacarnya sudah menjelaskan seluruh identitas itu. Lebih dari tiga kali, dengan harapan dia tak lupa. Juga sudah disebutkan tempat mangkal lelaki gondrong itu. Di sekitar pangkalan truk tidak jauh dari gudang-gudang China di kawasan Kota, masuk dalam wilayah sektor tugas Sang Aiptu.

“Tolong selamatin dia! Terserah kamu, Bang, gue nggak tau caranya!”

Ia bukannya tak ingat pesan pacarnya saat ia menjalankan operasi gabungan tiga hari lalu. Bahkan ketika itu ia sempat bergumam sendirian, “Oh, itu dia. Rambut sebahu. Rahang segi empat. Tato naga dan kalajengking. Gelang akar bahar dan cincin bermata akik.”

Astaga! Cintanya yang berkobar kepada pacarnya seperti hanya sebagian saja dari isi hidup yang ia punya. Riaknya menjadi tidak begitu kuat sehingga tergulung oleh bagian-bagian isi hidup yang lain, yang ia namai tanggung jawab, kehormatan, panggilan tugas, karier, harga diri, dan seterusnya. Demikian cepat kejadiannya sehingga ia tak sempat melibatkan hatinya untuk ikut merasakan dan menimbang-nimbang, atau mengajak pikirannya untuk menghitung untung rugi bagi diri dan masa depan percintaannya.

Lelaki bertato itu mengambil langkah seribu ke dalam gang, dan serta-merta membuat Sang Aiptu memperoleh totalitasnya sebagai polisi. Setelah mengejar dengan loncatan macan kumbang, dia menjelma bagaikan cheetah saat berlari di sela-sela lorong dan gang. Ia kenal persis kawasan itu lantaran pernah menangani kasus perampokan di sana. Bahkan kemudian hafal gang demi gang yang berkelok, baik yang tembus maupun yang buntu. Sia-sialah pelarian lelaki berahang segi empat itu karena pengejarnya tahu persis ke mana harus menembus jalan pintas untuk menghadang.

Ia telah menangkap preman itu sendirian, dengan penguasaan medan, dengan kecerdasan dan ketangkasannya yang profesional. Ia telah menggiring lelaki itu dalam operasi preman yang ke sekian kali ia jalani.

* * *

“Gue merasa nggak lebih dari angin lalu. Secuil juga kamu nggak peduli sama kata-kata gue! Nyakitin! Pacar macam apa kamu ini?”

Ia mencoba merangkul pacarnya untuk menenangkan, tetapi tangannya ditepis dengan kasar. Gadis itu mundur selangkah dengan tatap mata permusuhan.

“Gue benci kamu! Jangan sentuh gue!”

“Tapi kamu sendiri nggak pernah bilang siapa lelaki itu.”

“Dia abang gue. Dia yang selama ini bekerja buat biayai kuliah gue.”

Sekaranglah, ia, lelaki lajang yang tampan itu, baru menyadari betapa banyak yang tidak ia ketahui tentang jati diri pacarnya. Ia terlalu sibuk mengeja hati gadis itu untuk menemukan kalimat cinta buat dirinya, sehingga bising asmara telah sejenak membuat jeda dari nalurinya sebagai polisi. Mungkin hal itu karena usianya yang sudah 32 tahun, yang membuatnya cemas menjadi bujang lapuk dan ketergesaannya ingin segera menyunting kekasihnya. Apalagi kekasihnya masih relatif muda dibanding dirinya, suatu kenyataan yang sulit didapatinya lagi.

Selama ini ia hanya melihat apa-apa sekadar yang bisa ia tangkap dengan mata. Dalam pandangannya, pacarnya adalah gadis cerdas yang bisa kuliah di universitas negeri yang paling bergengsi di ibu kota, hanya dengan biaya dari hasil ayahnya buka warung kecil di beranda rumah. Betapa bodohnya ia karena berpikiran bahwa warung yang isinya hanya beberapa bungkus rokok, sabun detergen, bumbu masak, gula pasir dalam kemasan plastik, chiki-chikian, obat sakit kepala dan sekawanannya, itu, labanya dapat menutup kebutuhan uang kuliah dan sewa kamar kost di Depok. Ayah Sari yang sejatinya mantan tukang parkir atau bahkan pernah jadi preman itu pun selama ini ia kira sebagai pensiunan tentara.

Kini ia hanya tergolek di kursi kayu di sudut kamar sambil menatap kosong pacarnya yang tergugu karena rasa kecewa. Alangkah banyak pintu-pintu di belakang gadis itu yang sekarang mulai terkuak satu demi satu. Pintu-pintu yang sebelumnya bukan saja tertutup rapat, tetapi bahkan ia lihat pun tidak.

“Jadi kamu punya Abang? Kenapa nggak pernah ngenalin ke aku?”

“Itu pertanyaan tolol!”

Setiap Sabtu malam saat gadis itu balik ke rumah orang tuanya di Klender, ia selalu mengunjungi sang pacar. Ia tak bisa menghitung lagi, yang pasti lebih dari sepuluh kali. Namun kenapa ia tak pernah melihat pria gondrong bertato itu? Atas penjelasan pacarnya kini ia tahu bahwa lelaki gondrong bertato itu diusir ayahnya karena pekerjaannya.

“Dulu, sewaktu muda, ayahku juga preman jalanan. Peras sana peras sini. Tipu sana tipu sini. Palak sana palak sini. Ayah bukan orang sekolahan. Dia nggak punya keterampilan apa-apa. Tapi dia nggak mau anak sulungnya meniru dia. Ayah berubah saat usianya mulai menua. Dia lebih bahagia makan seadanya dari hasil membuka warung di rumah seperti yang kamu lihat itu.” Demikianlah Sari menjelaskan.

Abang Sari alias lelaki gondrong bertato kalajengking itu memprotes ayahnya karena sang ayah dipandang tidak adil. Sama-sama bukan orang sekolahan, sama-sama tidak memiliki keterampilan apa pun, juga sama di usia muda, kenapa sang ayah boleh menjadi preman sedangkan dia tidak? Bukankah penyebabnya dua hal yang sama: tak punya ijazah dan keterampilan?

“Tapi beda dengan Ayah. Abang lebih jeli membaca kemungkinan,” papar Sari kepada Sang Aiptu. “Abang pernah bilang ke gue kalau dia nggak perlu nunggu tua buat mengakhiri kehidupannya yang hitam. Abang melihat kemungkinan baik itu ada pada diri gue kalau saja antara dia dan gue sepakat untuk mengikat komitmen.”

Polisi tampan bertubuh atletis itu mengisi tatapan matanya yang kosong dengan keingintahuan. Ingin ia menghampiri pacarnya yang terduduk lesu di sisi ranjang. Ingin ia memegang lembut kedua lengan pacarnya seraya meminta agar mau bercerita banyak. Namun ia hanya mengucap satu kata menyerupai gumam yang nyaris tak terdengar oleh telinganya sendiri, “Komitmen?”

“Ya, komitmen! Semacam transaksi jual-beli buat menghapus noda hitam yang selama ini mengotori keluarga gue.”

Sudah sejak lama lelaki bertato itu melihat sinar cemerlang di kening adiknya. Sejak Sari selalu menjadi bintang kelas sepanjang sekolahnya di SD. Sejak Sari mengukuhkan prestasinya di SMP di mana ia selalu masuk ranking lima besar teratas. Sejak Sari membuktikan bahwa selama sekolah di SMU tak pernah memperoleh nilai di bawah angka delapan untuk mata pelajaran apa pun. Terakhir ketika Sari lulus UMPTN dengan nilai yang mencengangkan, ketika begitu banyak siswa menangis sedih karena gagal, ketika begitu banyak orang tua murid gamang mencari perguruan tinggi swasta. Dan ketika itulah lelaki bekas tukang parkir yang dipanggilnya ayah itu menyatakan tidak mampu lagi membiayai anak gadisnya melanjutkan sekolah.

Maka di sinilah arti si lengan bertato kalajengking itu bagi Sari. Banyak uang dari kantong para sopir truk yang bisa ia rampas tiap hari. Banyak duit dari saku para pedagang yang akan mengirim barangnya yang dapat direnggutnya kapan saja ia mau. Ia hanya menukar semua itu dengan gertak dan janji keamanan. Duit itu ia alirkan untuk uang kuliah adiknya, uang praktik, uang buku, sewa kamar kost, makan, transport, sampai pada keperluan beli pulsa dan alat kosmetika. Ia investasikan hasil kerjanya demi keberhasilan pendidikan si adik, yang pada gilirannya akan mengangkat martabat keluarga, menghapus noktah hitam premanisme yang tak pernah henti membayangi generasi keluarga besarnya.

Polisi berpangkat aiptu itu tercekat seperti menahan geram. “Apakah dengan cara itu kamu pasti berhasil?”

“Lebih baik kamu tanya apakah upaya gue ini masuk akal atau nggak?”

“Tapi kamu akan menjadi sarjana hukum, Sari! Sarjana hukum!”

“Memang kenapa? Hanya dengan cara itulah gue dapat memutus mata rantai premanisme di lingkungan keluarga gue. Ngerti kamu?”

Mata Sari menyala-nyala merah seolah jiwanya kembali terusik. Ia bangkit dan menghampiri lelaki tampan itu, berdiri persis di hadapan Sang Aiptu sambil berkacak pinggang. Lalu ia meracau seperti orang sakit panas, “Gue akan jadi sarjana hukum, tau kamu? Terus gue ngambil strata dua, kalo perlu sampai doktor. Terus gue akan jadi pengacara, tapi bukan buat orang-orang miskin. Gue cuma mau jadi pengacaranya orang-orang berduit, nggak peduli mereka itu koruptor. Itu jauh lebih terhormat daripada gue hanya tamat SMU dan cuma becus jadi waitress atau lady escort di karaoke, yang kalau perlu duit banyak mesti mau dibawa om-om. Dengan menjadi pengacara gue akan raup banyak uang, dan karena itu gue sanggup nyekolahin adik gue, anak-anak abang gue, juga anak-anak gue sendiri kelak, supaya dari mereka nggak ada yang kepaksa jadi preman jalanan. Tau kamu?”

Sari berhenti bicara, seperti tercekat dan tersadar dari mimpinya. Ia tahu harapannya sudah punah. Tangisnya kembali pecah. Ia tarik lagi kerah baju polisi berpangkat aiptu itu dengan kasar. “Gue nggak akan pernah maafin kamu, Sang Aiptu! Gue sakit hati lebih karena kamu nggak ngegubris permintaan gue. Kita putus!”
* * *

Polisi berpangkat aiptu itu, seperti lelaki lajang yang lain, di mana pun, hatinya bolong diputus cinta. Ia bawa hatinya yang kosong itu ke tempat-tempat rawan. Ke terminal. Ke stasiun. Ke pangkalan truk. Ke lampu merah. Ke pasar-pasar. Konsentrasinya hanya pada target buruannya. Ia tak mau tahu apakah setiap lelaki bertato yang dihadapi kemudian itu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Atau punya adik yang masih kuliah dengan sejibun impian. Atau sekadar pencari bekal membanting balak enam dan menenggak wishky. Ia tak mau peduli.

Namun, lelaki tampan atletis itu begitu cemas menghadapi malam-malamnya. Ada kesunyian yang nyaris tak tertanggungkan. Kesunyian yang hanya terobati oleh sapaan pacarnya, yang ia tahu kini sedang menanggung rasa kecewa. Seperti kekecewaan Drupadi terhadap Bisma yang hanya bisa ternganga tatkala Kurawa mencoba menelanjanginya. Kecewaan yang ia sadari tak akan pernah melahirkan kata “memaafkan”. Ia ingat ibunya pernah berkata, “Sengaja atau tidak, jangan pernah sakiti hati perempuan, karena raungannya sampai ke ujung zaman.”

Tiap malam ia selalu merasa sepi. Dulu, ia rajin mengekspresikan perasaannya melalui denting-denting gitar petikannya. Sekarang gitar itu hanya mengonggok di sudut ruang, menjadi simbol bagi kesepian itu sendiri.

Polisi berpangkat Aiptu itu sudah letih menunggu kabar dari pacarnya yang tak kunjung menyapa, termangu dirambahi usia. Tetapi tak dapat ia mungkiri, hatinya begitu sejuk, begitu punya arti setiap kali membaca pesan singkat yang belakangan kian sering masuk ponselnya. Pesan singkat dari sahabat-sahabatnya orang sipil. Dari para tetangganya. Juga dari teman-teman lamanya di sekolah dulu. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih. Mereka bilang, mereka kini merasa aman berada di tempat-tempat yang sebelumnya terkenal sangar.***

0 komentar:

Posting Komentar