Hamsad Rangkuti

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Hamsad RangkutiHamsad Rangkuti, lelaki berpenampilan sangat sederhana ini lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 7 Mei 1943 adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia sangat dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek (cerpen).

Bersaudara enam orang saudaranya, masa kecil ia lewatkan di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Ia suka menemani bapaknya, yang bekerja sebagai penjaga malam yang merangkap sebagai guru mengaji di pasar kota perkebunan itu.

Kehidupan yang kurang beruntung, mengharuskan Hamsad membantu ibunya ikut mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar. Selain, bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan tembakau. “Dulu belum ada semprotan hama, jadi dikerahkan orang untuk merawatnya. Tiap hari saya ikut ibu membalik-balik daun tembakau, bila ada ulatnya kita ambil,” paparnya.

Setelah terkumpul, ulat-ulat itu mereka masukkan ke dalam tabung, yang kemudian dihitung jumlahnya oleh mandor perkebunan,” katanya. Menghadapi kepedihan karena belitan kesulitan hidup, Hamsad pun sering menghabiskan hari-harinya dengan melamun dan berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi sesuatu. Berkembanglah berbagai pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam cerita pendek. Kebetulan juga ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat mendongeng itu saya peroleh dari ayah saya. Cuma dia secara lisan, saya dengan tulisan,” katanya.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan SMA nya hanya sampai kelas 2 tahun 1961, karena ia tak mampu lagi membayar uang sekolah.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Hamsad lalu bekerja sebagai pegawai sipil Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Tapi hasrat menjadi pengarang lebih besar daripada bertahan sebagai pegawai.

Saat itu kebetulan akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang Sumatera Utara di tahun 1964. “Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan tinggal di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini.

Ia tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. “Saya tidur di ubin beralaskan koran. Karena ubinnya lebih rendah dari jalan, lantainya sering kebanjiran kalau hujan,” kata Hamsad mengungkapkan tahun-tahun awal penderitaannya di Jakarta. Namun di sini ia bisa menguping obrolan para seniman senior, yang sedang mengadakan acara kesenian atau sekadar berkumpul-kumpul di sana.

Kariernya sebagai penulis cerita pendek sejak 1962, dan
Pemimpin Redaksi Majalah Horison.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad terpaksa membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Di sanalah ia berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer.

Dari sini pula kepengarangannya tumbuh dan berkembang. Masih di SMP di Tanjungbalai, Asahan, ditahun 1959, ia menghasilkan cerpennya yang pertama, Sebuah Nyanyian di Rambung Tua, yang dimuat di sebuah koran di Medan.
KARYA:

Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis cerpen yang berhasil. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti:
1. Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan
2. Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.

Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, antara lain:
1. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo, dan
2. Senyum Seorang Jenderal
pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.

Tiga kumpulan cerpennya, antara lain:
1. Lukisan Perkawinan, dan
2. Cemara di tahun 1982, serta
3. Sampah Bulan Desember di tahun 2000,
masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas.

Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. Sehingga ia pernah bilang pada suatu seminar di Ujung Pandang bahwa para seniman rata-rata pembohong. Tapi bagaimana ia sendiri terilhami ? Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan cerpennya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Penghargaan :

- Penghargaan Insan Seni Indonesia 1999 Mal Taman Anggrek & Musicafe,
- Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
- Penghargaan Khusus Kompas 2001 atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001),
- Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001)

Karya Tulis :
1. Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
2. Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
3. Lukisan Perkawinan (1982),
4. Cemara (1982),
5. Sampah Bulan Desember,
6. Sukri Membawa Pisau Belati,
7. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
8. Senyum Seorang Jenderal (2001),
9. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
10. Bibir dalam Pispot (2003).
READ MORE - Hamsad Rangkuti

A.A. Navis

AA NavisNama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara.

LATAR BELAKANG KELUARGA:


Berbeda dengan kebanyakan putera Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis
telah memateri dirinya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah kreativitas itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya, pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah itu sama-sama memuat cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya. Navis selalu membaca cerita-cerita itu dan lama kelamaan ia pun mulai menggemarinya. Ayahnya mengetahui dan mau mengerti akan kegemaran Navis itu. Ayahnya pun lalu memberikan uang agar Navis bisa membeli buku-buku bacaan kegemarannya. Itulah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itulah yang kemudian dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku sastra yang dibelinya itu. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan Navis, secara formal, hanya sampai di INS. Selanjutnya, dia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, terlihat agak menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti kelemahan dari cerpen-cerpen Indonesia dan mencari kekuatan-kekuatan dari cerpen-cerpen asing. Ketika menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itulah yang coba diperbaikinya dengan memadukan dengan kekuatan cerpen asing.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan. Sebenamya, ia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.

Selain cerpen, Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Seterusnya, ia juga mulai menulis novel. Tema-tema yang muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau.

Navis pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan tentang kebangkitan umat Islam. Akan tetapi, keinginan itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi kedua peristiwa tersebut. Kalau dipaksakan, hal itu bisa menjadi suatu karya yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat itu sehingga tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih membuat cerita “hiburan” agar bisa terbit. Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih menyukai pekerjaan di atas ranjang daripada pekerjaan bermanfaat bagi manusia. Sesuatu yang sangat mengganggu.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Tentang kehadirannya di percaturan sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar, tetapi seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”. Komentar lain, Abrar Yusra mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo.

Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian. Hidup dari sekadar mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil. Hal ini disadari betul oleh Navis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi pengarang hanya ketika saat ia mengarang saja. Setelah itu, ia menjadi orang biasa lagi yang harus bekerja untuk mendapatkan nafkah.

Di Luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi pada harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya, sebagai pemakalah atau peserta.

Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai sastrawan. Apabila ia sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan membaca tiap lembar karangannya. Ia memperhatikan reaksi istrinya ketika membaca dan itulah yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginannya.

Di hari tuanya, masih saja Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan memulai menggarap novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai. Kendalanya adalah usianya yang bertambah tua yang menyebabkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun. A.A. Navis meninggal karena sakit, di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.
KARYA:

a. Cerita Pendek
(1) Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta. Gramedia, 1986
(2) Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990
(3) “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25--26
(4) “Terasing”,Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13
(5) “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957
(6) “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15
(7) “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961
(8) “Perebutan”,. Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961
(9) “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6

b. Puisi
Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara.

c. Novel
(1) Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992
(2) Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970.

d. Karya Non Fiksi
(1) “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961
(2) “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964
(3) “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981
(4) “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978
(5) “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989
(6) “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan
Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977

e. Hadiah dan Penghargaan
(1) Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”.
(2) Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi.
(3) Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”.
(4) Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”.
(5) “Hadiah Seni” dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau.
(6) SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand). ***

Sumber: Pusat Bahasa
READ MORE - A.A. Navis

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Gus DurPresiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)

Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.

Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.

Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)


Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU
Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Gus Dur: Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland


Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.

Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.

Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.

Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.

Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.

Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.

Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.

Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)


Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.

* Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
* Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
* Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.

Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.

Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.
Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :

* Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
* Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
* Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
* Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
* Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
* Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
* Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

Penghargaan-penghargaan lain :

* Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
* Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
* Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
* Pejuang Kebebasan Pers

Selamat Jalan Gus Dur

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur

Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.

Salam hormat dan turut berbela sungkawa,
ech-wan, 30 Desember 2009

Sumber: nusantaranews.wordpress.com
READ MORE - Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Paman Darajat

Cerpen Adek Alwi
Dimuat di Suara Karya (01/23/2010)

Paman Darajat, adik bungsu ibu, suka melihat peta Indonesia. Kalau ia mudik usai Lebaran dan bermalam di rumah kami dengan istrinya, pasti dia buka-buka atlas yang ada di meja belajarku. Jika tak ia jumpai, akan dia tanya, "Eh, mana petamu?" Aku pun buru-buru mencari atlas di sela buku lalu kuserahkan padanya. Setelah dua-dua kali begitu, aku dapat ide. Selain yang ada di meja, aku bingkai peta Indonesia dan kugantung di dinding. Nah, saat paman datang lagi peta-peta itu dipandangnya lama-lama sambil tersenyum dan manggut-manggut bak guru ilmu bumiku di sekolah dasar. Padahal, jangankan guru, SD pun tak tamat pamanku itu.

Adik ibuku itu berjualan di Jakarta, Tanah Abang; sebelumnya di Senen dan Pasar Baru. Mula-mula, menurut ibu, pamanku itu berjualan di kaki lima lalu kemudian, berkat hemat, rajin dan ulet, dia mampu beli toko sehingga tidak lagi berpanas-panas di bawah matahari di tepi jalan, sambil bersorak dan berdendang menarik perhatian pembeli. Calon pembeli pun banyak datang ke tokonya, walau tentu tak semua diakhiri dengan transaksi. Tetapi menurut ibu, sejak itu keadaan paman jadi lebih baik. Bukan cuma urat lehernya tak lagi meliuk-besar bak cacing, kulitnya juga kembali terang-bersih. Tak kalah penting, dompet paman tambah padat-berisi.

"Hebat nianlah pamanmu itu. Mamacik dia sejak bertoko," kata ibu. Maksud beliau, banyak duit paman kami itu sejak punya toko.

Sayangnya, Paman Darajat tak punya anak. Padahal ibu serta saudara-saudaranya yang lain kembang-biak seperti kelinci, bertaburan di mana-mana; sejak Pulau Sumatera, Jawa, dan entah mana lagi. Hebatnya lagi (atau sayang?) paman tak sudi menambah istri. Jangankan dua apalagi tiga, satu saja tidak. "Tidak, Kak," katanya konon pada ibu, dulu, waktu aku masih kecil. "Biar Marni saja pasanganku selama hayat. Tak akan kuganti atau kuduakan dia. Toh ia tak mandul dan aku pun, kata dokter, sehat saja. Rahasia Tuhan-lah mengapa kami tak diberi-Nya anak." Ibu dan delapan saudaranya maklum, memupus niat mereka mencari istri tambahan untuk adik yang banyak duit tapi miskin turunan itu.

Tetapi, dipikir-pikir, malah keluargaku yang untung dengan tidak punya anaknya Paman Darajat. Sebagai janda dengan lima anak yang masih kecil, serta masih bersekolah waktu ayahku wafat, ibu jelas kepayahan menata hidup kami dengan uang pensiun ayah.

Maklumlah, pensiunan pegawai negeri masa dulu. Dan, meski ibuku punya penghasilan dari berjualan sayur di pasar, tapi sampai pucat pun tangan beliau menjual lobak, kangkung, bayam, kol, sawit dan entah sayur apa lagi, hasilnya tetap tak cukup menutupi kebutuhan.

Meskipun keadaan ibu begitu, saudara-saudaranya yang banyak dan bertaburan di mana-mana seperti tak peduli. Atau mungkin peduli, tapi mereka sendiri repot walau tak sesak napas seperti ibu. Atau, barangkali pula keadaan ibu telah mereka pikirkan, dengan keputusan, Paman Darajat yang tepat membantu ibu. Karena pamanku itu yang kemudian turun tangan membantu kami. Maka, seingatku tak lama benar ibu kepayahan walau masa yang tidak lama itu sempat menguruskan tubuh beliau, bikin pucat wajah, serta membuat mata ibu yang sebelumnya tampak indah jadi kuyu. Ibu juga sempat menginap di rumah sakit karena kurang tidur, letih, dan kurang makan.

Saat itulah Paman Darajat datang. Dia sesali kenapa ia tak lekas diberi tahu.

"Kita bersaudara, Kak. Sedarah!" ia bilang. Dan saat dia balik lagi ke Jakarta dua abangku yang saat itu sudah SMA dibawanya. Dua kakak perempuanku tidak diajak agar ada teman ibu di rumah. Kalau saatnya tiba, ada jodoh, kakak malah akan dikawinkan agar hidupnya tak payah pula nanti.

Aku tak dibawa, tentu karena masih kecil. Tak apa. Yang penting napas ibu tidak sesak lagi dan dua abangku disekolahkan Paman Darajat di Jakarta. Siapa tahu mereka kelak jadi orang, lantas giliranku mereka biayai sampai jadi dokter bagai harapan ibu.

"Karena itu jangan kau malas belajar!" kata ibu mengingatkan tidak sekali dua kali. Aku mengangguk patuh dan membulatkan tekad.

"Bayangkan," kata ibu lagi. "Siapa tak bangga kelak.
Anak pedagang sayur, yatim tidak berayah, menjadi dokter!" Mata ibu berkaca-kaca seolah aku sudah mengenakan jas putih seperti dokter yang memeriksa beliau di rumah sakit.

Semangatku tambah menjadi-jadi, menggetarkan badan. Juga ada rasa haru yang naik, menyekat di kerongkongan. Dalam hati aku berdoa agar abangku cepat usai kuliah, kerja, membiayai sekolahku sampai tinggi. Karena, menurut ibu, tak elok bila kami terus bergantung kepada Paman Darajat. "Sekalipun dia adik Ibu dan tak pernah keberatan, tapi tidak elok kita terus membebaninya. Sudah cukup pamanmu itu membantu. Itu saja sudah membuktikan hatinya mulia, derajatnya memang beda dari kebanyakan orang. Tepatlah almarhum kakek dan nenekmu memberinya nama Darajat," ujar ibu memuji adiknya itu.

Paman Darajat memang tak pernah berubah. Walau dua abangku kemudian sudah jadi orang, pejabat tinggi, membiayai sekolahku, paman masih meweseli ibu meski ia tak lagi sejaya dulu. Dari tiga tokonya, tersisa rumah makan kecil di ujung gang tempat dia tinggal, yang dia urus dengan istri dan anak yang dia angkat setelah abangku tidak tinggal di rumahnya. Usia tua rupanya membuat paman tidak campin lagi menyergap peluang. Malah, sekadar mempertahankan yang dimiliki pun tampaknya dia sudah payah.

"Kasihan pamanmu sekarang," kata ibu, ketika suatu hari kulihat beliau berlinang air mata menerima wesel dari adiknya itu. "Telah berkali-kali kularang masih dikiriminya aku duit. Padahal"

Tiap habis Lebaran Paman Darajat pun tetap mudik ke kampung, ziarah ke pusara kakek-nenekku, bersilaturahmi dengan sanak-famili. Setelah itu dia kunjungi kota tempat mukim kami bersama istrinya, menginap di rumah agak dua-tiga hari. Kemudian, sambil kembali ke Jakarta dia kunjungi saudara-saudaranya yang ada di kota-kota lain, sambil menyampaikan salam ibu; kakak sulung mereka yang sudah lisut tubuhnya dan putih tiap helai rambutnya yang tersisa. "Kalian beri maaf aku, pun Kak Niar," kata Paman Darajat. "Salam dari dia untuk kalian. Tak kuat lagi dia berjalan jauh, kian rapuh tubuhnya kini."

Habis Hari Raya kemarin juga demikian. Begitu datang, istri pamanku berpelukan dan bertangisan dengan ibu. Lalu ibu menangis memeluk Paman Darajat. "Tidak Darajat, tidak. Aku yang patut minta maaf kepadamu, Dik," kata ibu.

Paman Darajat membujuk dengan mengusap-usap bahu ibu. "Sudah. Sudahlah, Kak. Tidak baik kita berduka di hari bahagia begini," ujarnya. Aku, dua kakakku dengan suami dan anak-anak mereka, merasa terharu, meski adegan itu tidak sekali itu kami saksikan.

"Ha, tambah tinggi kau sekarang!" kata Paman Darajat sewaktu aku dapat giliran menyalami dia dan istrinya. "Tentu sudah tidak SMP lagi kau, ya?" Suaranya tetap besar-cerah, seperti dulu, tapi tubuhnya tidak lagi gagah. Makin kurus, juga kelihatan rapuh.

"SMU, Paman. Kelas satu," kataku bangga.
"Oh, bagus. Bagus!" Mata Paman Darajat berkilat-kilat gembira mengamatiku.

Malamnya, seperti biasa di tahun-tahun yang sudah, datang dia ke meja belajarku. Tapi aku pun telah menyiapkan atlas masa SD, juga seperti tahun-tahun yang sudah. Dan kuletakkan di meja. Betul saja. Usai bertanya ini-itu soal sekolahku Paman Darajat segera mengambil atlas itu. Dia bolak-balik beberapa kali, berhenti, lantas ditatapnya peta bumi Indonesia lama-lama. Matanya kemudian beralih ke peta yang kubingkai dan kugantung di dinding. Dia tatap pula peta itu lama-lama. Lalu, terakhir, Paman Darajat mengangguk-angguk bak guru ilmu bumiku di sekolah dasar sambil terus memandangi peta Indonesia.

Keesokan harinya ketika adegan itu berulang kembali, aku sudah tak tahan untuk tidak bertanya.

Sudah bertahun-tahun aku ingin bertanya, sejak pertama dia menunjukkan kesukaan melihat peta, tapi tak pernah kesampaian karena aku tidak memiliki keberanian. Meski ia ramah dan suka bertanya, tetapi waktu kecil ngeri juga aku melihat kulit Paman Darajat yang hitam, disertai jambang dan kumis yang lebat serupa ijuk. Kini, jambangnya sudah hilang, kumisnya putih seperti rambutnya yang menipis-jarang.

"Kenapa Paman senang melihat peta?" Tiba-tiba saja aku sudah bertanya. Ajaib. Suaraku bahkan terdengar tenang, santai saja.

"Ya?" Mata Paman Darajat beralih menatapku. "Oh, karena aku merasa seperti salah satu pulau-pulau ini." Dia tunjuk pulau-pulau kecil yang bertebaran di dalam peta: dekat Kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan pulau-pulau besar lainnya.

"Mengapa begitu, Paman?" Kali ini Paman Darajat tak menyahut. Ia senyum saja melihatku. Tapi saat ia akan meninggalkan meja belajarku ia berbalik, menatapku.

"Eh," katanya.
"Bila kau jadi orang nanti, orang besar seperti kedua abangmu, kira-kira bersedia tidak kau mendatangi pulau-pulau itu?"

"Ah, jangan pula setelah jadi orang, Paman. Kini pun bila aku punya duit, keliling aku mengunjungi semua pulau di Indonesia," balasku girang sambil tertawa-tawa.

"Tapi, kira-kira ada hotel berbintang tidak di pulau-pulau kecil itu, Paman?"

Bukan menjawab, Paman Darajat terkekeh-kekeh meninggalkan meja belajarku.

Saat dia kembali ke Jakarta sambil singgah di kota-kota lain, mendatangi saudara-saudaranya yang lain, peristiwa itu kuceritakan pada ibu.

Tak kuduga, wajah ibu tiba-tiba berubah. Tampak pucat, juga berduka. Mulanya aku kira ibu sedih karena kalau ada umur baru tahun muka pula ia bisa jumpa dengan adik bungsunya yang baik itu. Tapi kemudian terdengar ibu berucap, serak, seperti dilumuri tangis, "Abang-abang kau itu yang tak tahu diuntung. Bak kacang lupa kulitnya. Padahal..."

Ibu terus bicara, penuh semangat, serta benar-benar menangis. Di mataku terbayang dua abangku yang sudah jadi orang, pejabat tinggi, namun satu kali pun mereka tak lagi sempat menginjak rumah Paman Darajat.***
READ MORE - Paman Darajat

Topeng

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.

Konon, topeng itu dibikin sendiri oleh ayah Barman almarhum. Untuk mendapatkan bahannya, ayah Barman ketika itu harus mengacak-acak seisi kuburan, lantas melakukan puasa mutih –makan nasi tanpa sayur dan garam– selama 40 hari. Dengan cara demikian, menurut penuturan orang-orang, tangan ayah Barman akan terbimbing oleh sesuatu yang gaib sehingga mampu menghasilkan topeng yang sempurna.

Topeng ayah Barman, akhir-akhir memang benar-benar sempurna. Bukan lantaran bentuknya, melainkan kekuatannya yang mampu menyihir para penonton. Lucu, memikat, dan menghanyutkan. Para penonton benar-benar dibikin terpesona setiap kali ayah Barman bermain reog dengan mengenakan topeng itu. Grup reognya kisan berkibar. Harganya tinggi, tapi selalu laris ditanggap orang. Bahkan, sering diundang pentas menyambut tamu penting di pendapa kabupaten.

Bila mengenakan topeng itu, ayah Barman benar-benar menjelma jadi tembem, badut kocak yang mampu mengocok perut penonton lewat gerakan-gerakannya yang sulit dan mustahil: indah dan atraktif. Tarian-tariannya menyatu dan hanyut bersama irama gamelan dan terompet reog yang khas. Para penonton berdecak kagum. Begitu sempurnanya ayah Barman dalam memainkan topeng tembem, sampai-sampai para pengagumnya memanggilnya dengan sebutan Marmo Tembem. Dan ayah Barman merasa bangga dengan dengan panggilannya itu.

Namun, rupanya ayah Barman belum siap untuk menjadi pemain reog yang menyandang nama besar. Uang hasil pentasnya sering dihambur-hamburkan untuk memanjakan perempuan nakal; dan memelihara “gundik”, bahkan sering ludes di meja judi. Rezekinya jarang nyanthol di rumah. Seiring dengan itu, seni reog mulai tergusur oleh berbagai hiburan modern yang terus bermuculan. Jarang, lebih tepat dibilang langka, orang yang mau menanggap reog lagi. Pelan-pelan nama Marmo Tembem pun semakin tenggelam oleh arus zaman yang gencar menawarkan perubahan-perubahan.

Hingga meninggal, Marmo Tembem tak meninggalkan warisan secuil pun. Satu-satunya harta peninggalan, yakni sepetak sawah yang dibeli saat jayanya, sudah jatuh ke tangan Mak Karni, istri simpanannya yang berakal bulus.

Barman masih terpaku dan mematung di depan topeng tembem. Tiba-tiba saja muncul hasratnya untuk mencoba mengenakannya. Tapi setiap kali jari-jarinya menyentuh permukaannya yang kasar, kekuatan aneh yang muncul dari balik topeng itu semakin dahsyat menyedot kekuatannya, Barman menyurutkan langkah ke belakang. Sepasang bola matanya mendelik. Keringat dingin meleleh di sekujur tubuhnya. Barman memekik dahsyat ketika menatap sepasang mata topeng itu membelalak lebar dan bergerak-gerak.

“Ada apa, Kang?” tanya Saritem, istrinya yang tampak seperti perempuan yang baru kejatuhan cicak.

“Tem, coba tatap topeng itu, Tem!” sahut Barman cemas.

“Memangnya kenapa?”

“Matanya!”

Serentak, perempuan bermata juling itu menjatuhkan pandangannya ke arah topeng yang lekat terpajang di dinding. Tapi begitu sepasang matanya hinggap di sana, perempuan itu malah tertawa. Barman tersipu. Topeng itu memang tak lebih dari sebuah topeng badut usang yang kaku dan beku. Lekukan dan goresan matanya yang nampak samar, tak lagi membelalak dan bergerak-gerak. Barman geleng-geleng.

“Sudahlah, Kang? Kakang terlalu capek! Sebaiknya Kakang istirahat saja, bukankah besok harus menghadiri undangan di balai desa?” kata istrinya sambil beringsut dari depan suaminya. Barman termangu. Benaknya seperti disentakkan oleh sebuah arus yang tidak bisa dipahaminya.

***

UDARA pagi di kampung tak berubah. Dingin. Kabut dari pinggang bukit terus menyembur-nyembur menyelimuti perkampungan. Mata Barman masih diserang kantuk. Pelan-pelan, lelaki gempal itu beringsut dari pembaringan, mengambil segelas air putih dan meneguknya. Sisanya disemburkan ke lantai. Sayup-sayup gendang telinganya menangkap kesibukan kampung yang mulai menggeliat. Suara deru motor, lengkingan tangis bocah, yang ditingkah hiruk-pikuk suara ternak piaraan.

Barman menyambut surat undangan yang tergeletak di atas meja. Sambil merapatkan sarung, Barman membacanya berulang kali di atas dipan, seakan hendak memperoleh kepastian tentang kebenaran isi surat itu.

Mata Barman berbinar-binar. Benaknya menerawang. Tiba-tiba saja ia mampu mengucapkan rasa syukur yang demikian tulusnya. Ia merasa benar-benar tersanjung dan begitu dihormati. Ia diundang dengan hormat ke balai desa untuk menerima penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasa almarhum ayahnya melestarikan kesenian tradisional, reog.

Di mata Barman, tiba-tiba ayahnya muncul begitu agung dan berwibawa. Tabiat ayahnya yang keranjingan judi dan perempuan seolah-olah tenggelam di balik surat undangan yang tengah dibaca dan dipahaminya. Berulang-ulang Barman menarik napas lega. Dadanya ditimbuni harapan, penghargaan itu setidaknya akan sanggup menggeser nasib hidupnya yang kurang beruntung. Lebih-lebih setelah belakangan ini perubahan musim mulai tak menentu, hasil panen sepetak sawahnya tak mampu lagi menutup kebutuhan rumah tangganya yang membengkak.

Tapi harapan indah itu pun pupus di balai desa ketika ia hanya menerima selembar kertas yang diserahkan dengan bangganya oleh Pak Lurah atas nama pemerintah daerah. Saat itu memang ia tidak sendirian, para awak pemain reog yang kini masih hidup dan para ahli waris teman-teman seangkatan ayahnya juga menerima penghargaan yang sama. Tak henti-hentinya kepala Barman dicecar pertanyaan, kenapa penghargaan mesti diwujudkan dalam selembar kertas? Apakah tidak ada bentuk penghargaan lain yang lebih pantas dan manusiawi, dengan duit, misalnya? Dengan langkah tak bersemangat, Barman mengepit selembar kertas itu, lantas menyodorkannya di depan hidung istrinya. Istrinya melengos. Uring-uringan.
***

TIBA-TIBA saja, sepasang mata Barman kembali terusik untuk memandangi topeng tembem yang lekat terpajang di dinding. Kekuatan aneh itu muncul kembali dari balik topeng, lewat goresan dan lekuknya. Tubuh Barman bergetar seperti ada sebuah arus kuat yang menjalar bersama aliran darahnya. Gendang telinganya menangkap sayup-sayup suara yang tak dikenalnya. Suara yang muncul dari sebuah ketersiksaan dan penderitaan. Mengerang dan merintih-rintih sekujur tubuhnya.

Suara-suara ganjil itu terus mendesing-desing di telinganya, memekakkan. Bersamaan dengan itu, Barman menyaksikan kedua mata topeng itu membelalak lebar dan bergerak-gerak, tapi sejurus kemudian mengatup rapat. Dan kini mendadak sepasang mata topeng itu mengeluarkan air mata. Semula hanya satu-dua tetes, tapi lama-lama menderas dan mengucur bagaikan pancuran. Dan yang lebih menyentakkannya, air mata itu pelan-pelan berubah memerah seperti darah. Seketika itu pula bau anyir darah menyerang hidungnya.

Tubuh Barman lemas. Kekuatannya seperti dibelejeti oleh sebuah kekuatan aneh yang tak dipahaminya. Sementara itu, suara mengerang dan merintih, suara yang muncul dari sebuah ketersiksaan dan penderitaan itu terus membombardir telinganya.

Gila! Secara tiba-tiba pula topeng itu terlepas dari dinding. Seperti melesatnya anak panah dari busur, topeng itu secepat kilat menancap dan menyatu dengan wajah Barman sedemikian kuat mencengkeramnya. Barman meronta dan dan memekik dahsyat. Setelah itu ia merasakan tubuhnya melayang entah ke mana. Istrinya bingung. Di matanya, wajah Barman benar-benar telah berubah, berganti rupa menjadi wajah topeng peninggalan almarhum mertuanya. Sepontan perempuan itu menjerit histeris memecah perkampungan.

Kampung gempar. Para penduduk berdatangan. Desahan, gumam, teriakan, dan berbagai komentar tumpah campur aduk, bersambung-sambungan.

“Barman jadi tembem!”

“Hiii … ngeri!”

“Jangan ada yang mendekat, Barman bisa ngamuk!”

“Celaka!”

Para penduduk tak ada yang memberikan pertolongan ketika tubuh Saritem ambruk di kaki Barman. ***
READ MORE - Topeng

Dhawangan

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

“Tolooong .... tttolooong, tttoo......” Terdengar jeritan histeris yang memilukan. Menggetarkan perkampungan. Para penduduk bergegas keluar rumah dengan setumpuk pertanyaan yang menyerbu kepala. Namun, jeritan histeris itu seketika menghilang seperti ditelan senja yang berkabut. Sepi. Nglangut.

Dhawangan1) keparat itu muncul lagi, Kang?” tanya seorang penduduk.

“Mungkin!”

“Lho, kok, mungkin?”

“Mana aku tahu? Memang aku ini prewangan?2)”

“Tapi biasanya Sampeyan menjawab dengan penuh kepastian? Takut, ya, Kang?”

“Dasar gemblung!3)”

“Ah, sudah, sudah! Nggak ada gunanya berdebat! Yang perlu kita lakukan sekarang, kita harus secepatnya mencari tahu siapa yang menjerit-jerit tadi!” sergah penduduk yang lain.

“Betul!” sahut penduduk yang lain lagi. Lantas, disambung perbincangan ngalor-ngidul yang tidak jelas alurnya. Riuh. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan rombongan penduduk yang lain. Berkerumun. Lantas, berkelebat dengan dada berdebar-debar. Mereka berpapasan lagi dengan beberapa penduduk yang lain. Berbincang-bincang sebentar. Kemudian, berkelebat lagi, menuju ke sebuah tempat. Entah di mana!

Kampung terpencil itu memang tergila-gila dengan pertunjukan barongan. Tua-muda, besar-kecil, laki-laki-perempuan tumpah-ruah memadati arena pertunjukan ketika ada warga yang punya hajat. Darah mereka seolah-olah sudah menyatu ke dalam pertunjukan rakyat yang menggabungkan unsur seni dan magis itu. Jayus pun tak mau kalah. Larut ke dalam arus pertunjukan yang liar, bringas, dan buas. Setiap ada pentas barongan, Jayus selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Sedetik pun bola matanya tak mau lepas dari arena. Lebih-lebih ketika adegan dhawangan meluncur ke tengah pentas. Mulutnya berteriak-teriak; memompa semangat para pemain sambil tak henti-hentinya bertepuk tangan. Jayus seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainannya yang telah lama hilang. Irama gamelan yang rancak membikin Jayus makin semangat berteriak dan bertepuk tangan. Sepasang kakinya menghentak-hentak, mengikuti irama kendang.

Ketika gendhing waru dhoyong menggema dari mulut waranggana, pertunjukan makin seru. Di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak, gerakan dhawangan laki-laki yang tinggi besar itu makin tak terkendali. Dari pojok arena, kedua kakinya pasang kuda-kuda. Diam beberapa saat, lantas meluncur cepat ke pojok yang lain dengan posisi tubuh yang ndhoyong. Dua gigi taringnya yang kuat seakan-akan siap menerkam dhawangan perempuan dan sepasang dhemit bertubuh kerdil yang berlarian ke sana kemari. Para penonton bersorak. Bertepuk tangan. Riuh. Tak terkecuali Jayus.

Gagal menerkam mangsa, dhawangan laki-laki kembali menuju ke pojok arena. Kedua kakinya kembali pasang kuda-kuda. Di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak dan gendhing waru dhoyong yang membahana, dhawangan laki-laki terpaku. Sepasang bola matanya yang besar dan liar membelalak; memancarkan amarah dan kebuasan. Lantas, dengan kecepatan tak terduga, dhawangan laki-laki berwajah gelap dan menakutkan itu, meluncur cepat berusaha menerkam dhawangan perempuan yang berwajah putih dan lembut. Namun, terkaman itu kembali gagal. Sepasang dhemit yang jahil dan usil berhasil melindungi dhawangan perempuan. Dhawangan laki-laki kecewa. Sesekali melakukan gerakan mesum. Dengan posisi tubuh ndhoyong, pinggulnya digerak-gerakkan seperti sedang melakukan ritual persetubuhan mengikuti irama kendang yang menghentak-hentak. Penonton kembali bersorak. Tepuk tangan membahana seperti hendak membelah langit.

Penonton terhenyak ketika tiba-tiba dhawangan laki-laki itu tersungkur di tengah arena. Tubuhnya limbung mencium tanah. Sepasang kakinya berkelejotan. Suasana berubah onar. Para penonton hafal betul bahwa hal itu pertanda pemain dhawangan laki-laki sedang kesurupan. Namun, kerumunan penonton justru makin mendekat; berdesak-desakan. Seorang pawang bersenjatakan cambuk tua dan dua anggota group yang berpakaian gelap dan berikat kepala hitam terjun ke tengah arena. Dengan gerak cekatan dan terlatih, mereka segera melolos perlengkapan dhawangan raksasa itu. Pemain dhawangan masih limbung dengan sepasang kaki berkelejotan. Namun, ketika sang pawang menghajar tubuhnya dengan cambuk tua, seketika itu pula pemain dhawangan bangkit. Lantas, dengan gerakan liar menari-nari mengikuti irama gamelan. Sepasang bola matanya tampak memerah saga. Menerawang entah ke mana. Penonton kembali terhenyak. Sesekali pemain dhawangan itu berlari ke arah penonton dengan bola mata liar. Penonton menjerit, berusaha menjauh, berdesak-desakan.

Gerakan pemain dhawangan yang tengah kesurupan semakin liar. Tak terkendali. Anehnya, penonton makin bersemangat. Tepuk sorak kembali membahana. Bersambung-sambungan. Jayus menyibak kerumunan. Wajahnya berbinar-binar. Mulutnya menyeringai. Para penonton serentak menutup hidung. Ke mana pun pemain dhawangan bergerak, lelaki kurus bermata juling itu terus membuntutinya. Dia ikut berlari-lari dan menari. Dia merasa bangga bisa ikut meramaikan pertunjukan. Liar dan buas, tapi menghibur. Suatu ketika, dia ingin memainkan dhawangan laki-laki itu. Sungguh sebuah kebanggaan dan kehormatan baginya apabila pimpinan group berkenan mengizinkannya. Ia ingin tampil habis-habisan.

Adegan demi adegan terus berlangsung di tengah arena. Semakin banyak pemain yang kesurupan. Mereka kalap. Melahap dengan rakus segala macam benda yang ditemukan. Dengan sorot mata liar dan bringas, mereka terus menari-nari; melahap rumput, botol, sabut kelapa, atau beling. Mirip kerumunan makhluk halus yang tengah berpesta. Alangkah bahagianya kalau Jayus bisa seperti mereka. Menari-nari, kesurupan, menghibur banyak orang, melupakan segala beban derita hidup, menghindari segala ejekan, cemoohan, dan hinaan orang.

Jayus memang lelaki bernasib malang. Dalam usia yang sudah menginjak kepala empat, tak seorang pun gadis kampung yang mau hidup bersamanya. Yang lebih menyedihkan, ke mana pun ia berada, selalu saja jadi bahan olok-olok dan ejekan. Ada yang menyebutnya “Jayus Gemblung”, “Jayus Gembel”, atau “Jayus Bacin”. Tak seorang pun penduduk yang mau menyisihkan sedikit keramahan untuknya. Semua menjauhinya. Dalam pergaulan, ia selalu tersisih dan disisihkan. Warga kampung selalu menutup hidungnya rapat-rapat setiap kali berbincang-bincang dengannya. Tidak tahan dengan bau bacin yang menyembur-nyembur dari rongga mulutnya.

Di dalam keluarganya, Jayus pun kurang mendapatkan tempat. Dua kakaknya yang sudah hidup berumah tangga, nyaris tak pernah menganggapnya sebagai saudara. Demikian juga dengan ketiga adiknya. Tak seorang pun saudaranya yang memberikan pembelaan ketika tetangga-tetangganya mempermainkan dan mengolok-oloknya. Mereka lebih suka menjauh ketika Jayus sedang menjadi objek ejekan. Hanya Mak Tentrem, simbok-nya, yang masih menyisakan sedikit kasih sayang untuknya. Perempuan yang mulai rapuh termakan usia itu sering membelai-belai rambutnya yang kusut dan menghiburnya dengan sabar ketika Jayus menumpahkan perasaannya yang sakit dan perih. Jayus seperti merasa mendapatkan perlindungan dan ketenteraman hidup setiap kali berada di dekat Mak Tentrem.

Jayus sudah berusaha bersikap ramah kepada siapa saja. Bahkan, kepada orang-orang yang pernah menghinanya. Dia tidak dendam atau sakit hati. Namun, citra dekil, gemblung, gembel, atau bacin sudah telanjur melekat ke dalam dirinya. Dia tetap saja dicibir, dicemooh, dan dihinakan.

Desakan untuk bisa menjadi pemain dhawangan terus mendesing-desing dalam rongga dadanya. Tak tertahankan. Dengan cara begitu, Jayus berharap bisa melupakan ejekan dan hinaan orang-orang. Dalam keadaan tidak sadar dan kesurupan, gendang telinganya tidak akan mampu menangkap celoteh miring para tetangga. Dia akan terus menari-nari, melahap benda-benda, atau mengganggu kerumunan penonton dengan tenang dan nyaman. Ta
READ MORE - Dhawangan

PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR

Ade HM Irawan dan Meti Istimurti

(Disampaikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski di Batu, 12 14 Agustus 2008)

Abstrak
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa.

Diberlakukannya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang digunakan oleh guru di sekolah, memberikan kebebasan kepada guru untuk mengajarkan materi Bahasa Indonesia dengan menyesuaikan pada potensi, sarana, dan prasarana yang dimiliki siswa, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. KTSP memberikan peluang lebih besar kepada guru untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa. Berbagai upaya dapat dilakukan, di antaranya adalah dengan pemilihan karya sastra (cerpen anak) bernuansa kesetaraan gender sebagai bahan ajar merupakan jalan untuk memperkenalkan wacana gender pada siswa. Dengan demikian, siswa sudah mengenal wacana gender sejak dini, sehingga di masa yang akan datang, siswa diharapkan dapat memahami dan menerapkan kesetaraan gender dalam kehidupannya.

Kata Kunci: KTSP, Wacana Gender, Kreativitas Guru.

Pengantar
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks.

Pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra dan contoh-contoh kalimat yang bias gender

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa. Dengan demikian, karya sastra atau kutipan karya sastra serta kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan semangat kesetaraan gender kepada generasi penerus bangsa melalui jalur formal.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Perubahan yang terjadi pada kurikulum pendidikan di Indonesia selalu didasari pada alasan perbaikan, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Namun sayangnya, perubahan tersebut justru mengarah pada opini publik yang menganggap ganti menteri ganti kurikulum. Opini tersebut dapat diterima ketika perubahan tersebut memang seakan-akan terjadi setiap kali pergantian menteri. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai reaksi masyarakat ketika muncul kabar diberlakukannya suatu kurikulum baru. Penerbit buku pendidikan jelas mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi pada buku teks yang diterbitkannya, guru-guru sibuk mengikuti berbagai seminar yang berkaitan dengan kurikulum baru tersebut, dan orang tua siswa harus bersiap-siap menyisihkan dana untuk membeli buku baru yang sesuai dengan kurikulum baru karena tentu saja siswa tidak dapat menggunakan buku lama, bekas kakak kelasnya, yang menggunakan kurikulum lama. Dengan kata lain, perubahan kurikulum tersebut memunculkan dua kubu, yaitu kubu yang diuntungkan dan kubu yang dirugikan.

Perubahan kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi sistem pendidikan di Indonesia. Persoalan tersebut hingga kini masih menjadi pembicaraan para pemerhati pendidikan. Kurikulum terbaru yang kini marak dibicarakan adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Beragam reaksi masyarakat bermunculan. Bahkan, masyarakat yang pesimis membuat plesetan KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai atau Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran. Jika terus-menerus pesimis, kapan pendidikan di Indonesia akan maju? Oleh karena itu, perlulah kiranya kita mengkaji lebih dalam mengenai KTSP agar kita benar-benar memahami esensi kurikulum tersebut.

KTSP menurut Mulyasa (2006: 19-22) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Mulyasa juga menyebutkan bahwa KTSP bertujuan (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetisi yang sehat antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan di capai.

KTSP memberikan kelonggaran dan kebebasan pada satuan pendidikan untuk menyususn kurikulumnya sendiri sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki sekolah. Selain itu, KTSP juga memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam penyususnan dan pengembangan kurikulum. Meskipun hal itu sebenarnya tidak betul-betul baru, mengingat pada kurikulum sebelumnya memungkinkan keterlibatan masyarakat, seperti adanya keterlibatan Komite Sekolah dalam pelaksanaan pendidikan, tetapi paling tidak KTSP memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, yang belum pernah ada sebelumnya pada CBSA maupun KBK.

Kelonggaran dan kebebasan yang terdapat dalam KTSP hendaklah dimaknai sebagai sebuah peluang yang harus dimanfaatkan oleh para pengelola pendidikan. Peranan guru dan kepala sekolah menjadi salah satu kunci sukses penerapan KTSP di setiap sekolah. Inisiatif, gagasan-gagasan baru, semangat membangun, semangat bangkit untuk maju dan berkembang, semangat persaingan sehat benar-benar dituntut dari guru dan kepala sekolah. Pelaksanaan KTSP di sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta atmosfer di setiap sekolah. Hal itulah yang kemudian memunculkan berbagai masalah. Selain karena KTSP menuntut perubahan cara berpikir, KTSP juga menuntut perubahan sistem pendidikan menjadi otonomi.

Dalam kaitan dengan materi pelajaran Bahasa Indonesia, Sarumpaet (2007: 29) mengungkapkan bahwa KBK yang bersifat alamiah dan karenanya sangat mengutamakan siswa sebagai subjek, dapat menolong siswa dalam mengembangkan dan menghidupkan potensinya. Dengan demikian, jika KBK mengisyaratkan kompetensi berdasarkan pengalaman langsung yang dapat diukur secara objektif, maka materi yang harus disampiakan juga sebaiknya mempertimbangkan faktor siswa (sebagai individu yang akan memelajari), lingkungan belajar yang kondusif, dan waktu. Hadirnya KTSP ditengarai sebagai upaya untuk mempercepat keberhasilan dan peningkatan pendidikan di Indonesia sehingga wajar apabila semua faktor, ciri, dan kekuatan yang ada dalam KBK dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dari materi itu pulalah semua syarat yang ada dalam KBK dan KTSP menuntut kompetensi tinggi dari setiap guru sebagai pengajar. Dengan demikian, kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada dua faktor, yaitu guru dan siswa.

Kompetensi Guru
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Setiap guru mata pelajaran wajib menyusun kurikulumnya mata pelajarannya. KTSP hanya memberikan kompetensi dasar, sedangkan indikator yang harus dicapai siswa berkaitan dengan kompetensi dasar tersebut dibuat oleh guru yang bersangkutan. Dengan demikian, dibutuhkan kompetensi guru untuk menilai potensi siswa dan lingkungannya.

Pelaksanaan KTSP di sekolah harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas guru yang selama ini menjadi masalah serius yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 diperoleh data yang menyebutkan bahwa dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234. 927 orang, jumlah guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya adalah 558.675 orang atau sebesar 45,2% dan pada SD swasta sebanyak 50. 542 orang atau setara dengan 4,1%.

Kondisi tersebut jelas memprihatinkan. KTSP memang sejalan dengan dinamika sosial-politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Namun, apakah KTSP dapat dilaksanakan dengan baik di setiap sekolah mengingat kualitas guru yang belum memadai? KTSP memberikan kebebasan untuk menyusun silabus, mencari dan memilih bahan ajar, tetapi wawasan dan pengetahuan guru yang bersangkutan sangat terbatas.

Dalam KTSP mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru memiliki wewenang untuk membuat silabus yang berisi sejumlah indikator yang harus dicapai oleh siswa. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sastra menjadi bagian materi yang harus disampaikan kepada siswa. Penyatuan antara materi bahasa dengan materi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia menuntut guru yang tidak hanya mengerti mengenai bahasa, tetapi juga mengenai sastra. Namun, apakah guru Bahasa Indonesia memiliki wawasan yang cukup mengenai sastra?

Dari pengalaman mengajar materi pembelajaran Bahasa Indonesia PGSD di Universitas Terbuka pada tahun 2008, dari 35 peserta, 20 orang salah dalam menentukan bahan ajar sastra kepada siswa Sekolah Dasar, 10 orang mengambil bahan ajar langsung dari buku teks, dan 5 orang mengambil bahan ajar secara tepat dari berbagai sumber, seperti majalah anak-anak.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mencari dan menentukan bahan ajar sastra kepada siswa sekolah dasar membutuhkan kreativitas guru agar tujuan kegiatan belajar mengajar dapat tepat sasaran. Buku ajar sebaiknya tidak dijadikan kitab suci oleh guru karena akan membatasi kreativitas guru dalam menerapkan KTSP di sekolah, tetapi buku ajar hanya dijadikan sebagai pelengkap (suplemen) bagi guru untuk mengajar.

Di luar permasalahan tersebut, sesungguhnya KTSP dalam pelajaran Bahasa Indonesia merupakan peluang untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini. Kebebasan guru dalam mencari dan menentukan bahan ajar yang tepat berdasarkan potensi, sarana, dan prasarana di sekolah dan daerahnya, mempermudah wacana gender memasuki ruang pendidikan formal. Melalui berbagai cara, wacana gender dapat ditanamkan kepada siswa dengan bantuan guru dan media pendukung proses belajar mengajar. Dengan demikian, diskriminasi gender yang selama ini terjadi di masyarakat dapat terhapus secara perlahan-lahan.

Wacana Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm, 2002: 177 178), gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 4 6) mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu.

Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse (2003:69 70), mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya.

Heddy Shri Ahimsa Putra (dalam Mufidah: 3-6) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini.
1. Gender sebagai Istilah Asing dengan Makna Tertentu : Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru.
2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya : Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender bagi masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan oleh konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.
3. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial : Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial.
4. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya : Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya.
5. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis : Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.
6. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan: Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik.

Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang disampaikan Tinneke Hellwig (2003:17) merupakan salah satu komponen dalam bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, peng(k)ajian perempuan dan sastra terlebih dahulu harus mengklarifikasi posisinya.

Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik sastra feminis disampaikan Jane Moore (dalam Hellwig: 29) sebagai sebuah kerja berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar teks.

Mengenai hal itu, Murniati (2004: 27) dalam Getar Gender menyebutkan bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.

Sekaitan dengan itu, pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Meskipun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Pada penelitian ini, kajian gender digunakan untuk mengetahui bagaimana posisi perempuan dan laki-laki ditanamkan pada siswa dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD, khususnya dalam pemilihan karya sastra (cerpen anak) sebagai bahan ajar.

Cerpen anak
Cerpen anak adalah salah satu bahan ajar yang harus dicari dan ditentukan oleh guru dalam mengajarkan sastra. Cerpen anak sesungguhnya adalah cerpen yang memiliki segmentasi pembaca sangat jelas, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Sesuatu yang khas dari cerpen anak adalah cerita yang disampaikan sangat dekat dengan dunia anak-anak. Pada umumnya cerpen anak di Indonesia mengangkat tema tentang persahabatan, permainan, dan hal-hal yang mengandung nilai pendidikan moral, seperti: suka menolong adalah hal yang baik, menyontek adalah hal yang buruk, dan mematuhi perintah orangtua adalah sesuatu yang wajib bagi anak. Baik dan buruk dalam cerpen anak tersebut dipaparkan secara hitam putih dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak secara jelas.

Cerpen anak sebagian besar ditulis oleh orang dewasa. Oleh karena itulah, banyak cerpen anak yang disadari atau tidak oleh penulisnya, menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Selain itu, banyak cerpen yang mengandung upaya penanaman budi pekerti yang disampaikan dengan cara menggurui, bahkan tidak sesuai dengan kondisi psikologis anak. Hal- hal seperti itulah yang menyebabkan perlunya memilih bahan ajar yang tepat dalam mengajarkan sastra, terutama cerpen, pada anak-anak.

Tokoh dan peristiwa dalam cerpen dapat menjadi karakter yang menginspirasi anak. Melalui tokoh-tokoh tersebutlah, nilai-nilai budi pekerti disampaikan kepada anak sebagai pembaca karya sastra. Oleh karena itu, proses pemilihan cerpen sebagai bahan ajar di sekolah membutuhkan kepekaan guru. Guru diharapkan mampu menentukan cerpen yang tepat bagi anak untuk digunakan sebagai bahan ajar di kelas, yaitu bahan ajar sastra yang bicara tentang dunia anak-anak dengan bahasa anak-anak dan dengan tokoh yang bisa memunculkan kesan pada anak bahwa tokoh tersebut adalah dirinya atau kawannnya, bukan orang tua atau gurunya yang terkesan menggurui. Dengan kata lain, cerpen yang memberikan pesan-pesan moral secara alami pada anak, mengalir begitu saja tanpa terkesan menggurui.

Selain itu, guru diharapkan tidak hanya mengandalkan buku ajar sebagai sumber bacaan, tetapi juga mencari bahan ajar lain yang lebih tepat dengan kondisi siswanya. Bahan ajar, khususnya cerpen, yang terdapat dalam buku ajar (buku teks), sebaiknya tidak dijadikan sebagai kitab suci yang selalu diikuti karena biar bagaimanapun, gurulah yang mengetahui kondisi siswa di kelasnya. Dengan demikian, pelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, diharapkan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa dan bermanfaat dalam membentuk karakter mereka.

Cerpen sebagai salah satu bahan ajar yang diterapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai media pengenalan wacana gender pada siswa. Guru dapat memilih cerpen-cerpen yang berwawasan gender untuk diperkenalkan kepada siswa melalui pencapaian empat aspek, yaitu: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Pada tahap menyimak, siswa diberikan sebuah cerpen anak sebagai bahan pembelajaran cerpen. Pada kesempatan inilah, guru dapat memilih cerpen anak yang mengandung wacana gender.

Cerpen anak yang berwacana gender, di antaranya dapat dilihat dari sisi tokoh, karakter tokoh dan peristiwa yang dialamai tokoh. Jika selama ini yang tertanam di benak anak adalah pembedaan lakai-laki dan perempuan melalui simbol-simbol, seperti; anak perempuan memiliki karakater cengeng, menyukai boneka, memakai warna pink, dan rajin membuat catatan pelajaran, sedangkan laki-laki memiliki karakter jagoan, nakal, memakai warna biru, dan malas mencatat pelajaran, maka pada pemilihan cerpen untuk bahan ajar, guru dapat menghindari cerpen-cerpen yang berisi simbol-simbol yang bias gender tersebut.

Siswa harus ditanamkan pemikiran bahwa laki-laki bisa menangis (cengeng) dan perempuan juga bisa menjadi jagoan. Oposisi biner yang selama ini melekat di benak siswa merupakan dasar pembedaan gender tersebut. Dengan penanaman wacana gender pada siswa melalui pilihan cerpen, diharapkan ketika mereka dewasa, mereka akan lebih menghargai seseorang berdasarkan kemampuannya, tidak berdasarkan jenis kelaminnya.

Pemilihan Contoh Kalimat dari Kutipan Cerpen Anak
Pada pelajaran menulis, siswa diberikan pengenalan mengenai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Setelah itu, mereka diminta untuk membuat kalimat seperti contoh kalimat yang diberikan oleh guru. Pada kesempatan itulah, guru dapat mengenalkan wacana gender pada anak.

Guru harus menghindari contoh kalimat yang bias gender, seperti: Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar, dan aku pergi ke sekolah. Contoh kalimat tersebut jelas mengandung diskriminasi gender. Kondisi yang terdapat pada kalimat tersebut, sangat tidak tepat dengan kondisi saat ini di mana perempuan bisa bekerja di luar rumah, tidak hanya mengurus rumah tangga. Kalimat tersebut membentuk kesan bahwa ayah adalah kepala rumah tangga yang bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarga dan ibu hanya sebagai pengurus rumah tangga, yang berperan sebagai sekunder di rumah tangga karena kepala rumah tangga adalah ayah.

Contoh kalimat tersebut dapat diubah menjadi kalimat yang bewawasan gender menjadi kalimat:
Bapak dan Ibu pergi ke kantor, sedangkan aku pergi ke sekolah.

Kalimat tersebut jelas menunjukkan sebuah kondisi yang bernuansa kesetaraan gender. Pada kalimat tersebut, perempuan melalui tokoh ibu, digambarkan sebagai perempuan yang bekerja di luar rumah, tidak hanya berurusan dengan masalah rumah tangga. Hal itu dapat membentuk sebuah wacana pada siswa bahwa sosok perempuan dapat maju dalam hal pekerjaan atau karier seperti halnya sosok laki-laki.

Contoh kalimat seperti itu dapat dijumpai dari cerpen anak yang digunakan sebagai bahan ajar. Dalam hal ini, diperlukan kepekaan guru untuk memilih dan menentukan kalimat-kalimat yang tepat untuk mengajarkan konsep pembentukan kalimat sekaligus menanamkan konsep kesetaraan gender kepada siswa.

Pemilihan Buku Teks
Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia membantu siswa dalam mencapai kompetensi yang harus mereka capai pada mata pelajaran tersebut. Pada proses pemilihan buku teks untuk siswa, guru memiliki kebebasan penuh untuk menentukan buku dari penerbit mana yang paling tepat digunakan untuk siswanya. Pada kesempatan itu, guru memiliki peluang untuk memilih buku yang tidak bias gender.

Pusat Perbukuan pada 2005 telah menyeleksi sejumlah buku dari berbagai penerbit yang akan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pada proses penyeleksian tersebut, salah satu butir yang disampaikan panitia adalah pengenalan wacana gender pada siswa. Panitia mengharapkan tidak ada lagi kalimat-kalimat yang bias gender, seperti pada pembahasan contoh kalimat di atas. Panitia mengharapkan sebuah buku teks yang mendukung kesetaraan gender.

Pada salah satu buku teks karya Muh. Darisman berjudul Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD, misalnya, wacana gender tersebut sudah mulai diterapkan dengan memunculkan tokoh perempuan bernama Rima. Rima adalah tokoh yang menjadi narator pada buku teks tersebut. Tokoh Rima digambarkan sebagai siswa perempuan yang aktif, kreatif, dan pandai bergaul. Wacana gender tersebut beberapa di antaranya disampaikan melalui penggalan cerita pendek, seperti berikut ini.

Membantu Korban Kebakaran
Rima mendengar berita bahwa beberapa siswa SD Indrasari yang tinggal di Desa Pasir Muncang menjadi korban kebakaran yang terjadi kemarin. Peristiwa kebakaran itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Para korban kehilangan harta benda bahkan ada yang kehilangan keluarganya karena terbakar api. Sampai sekarang para korban belum mendapatkan tempat penampungan yang layak. Mereka masih tinggal di tenda-tenda penampungan yang sempit.

Sebagai anggota palang merah remaja (PMR), Rima mengusulkan agar seluruh siswa SD Indrasari ikut meringankan beban para korban dengan memberikan sumbangan berupa uang atau pakaian layak pakai. Ide Rima tersebut mendapat dukungan dari Pak Mamat, pembina PMR SD Indrasari.

Ide yang bagus, Rima! Besok semua anggota PMR mulai mengumumkan rencana ini ke setiap kelas, kata Pak Mamat.

Lalu, kapan kita memberikan sumbangan pada para korban kebakaran itu, Pak? tanya Rudi.

Setelah sumbangan terkumpul, kita langsung menyerahkannya ke tempat penampungan mereka, jawab Pak Mamat.

Lima hari kemudian, sumbangan dari seluruh siswa Indrasari diberikan secara langsung kepada para korban kebakaran. Bu Yanti, salah satu perwakilan dari para korban mengucapkan terima kasih. Sumbangan ini sangat berarti bagi kami, ucap Bu Yanti. Matanya berkaca-kaca menahan rasa haru.
(Muh. Darisman, 2006: 97)

Pada penggalan cerita pendek di atas, Rima tampak sebagai anak perempuan yang memiliki ide cemerlang, berjiwa sosial, dan berani mengungkapkan gagasannya. Keberadaan tokoh Rima tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat siswa perempuan untuk berani menunjukkan potensi diri, tidak hanya berdiam diri. Tokoh Rima pada buku teks tersebut merupakan tokoh yang membawa nuansa gender pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ia tidak hanya mandiri, tetapi juga dapat bersaing dengan teman-temannya, terutama siswa laki-laki. Ia menjadi sosok perempuan yang patut diperhitungkan di dalam lingkungannya.

Namun sayangnya, dalam buku teks tersebut, masih terdapat pilihan bahan ajar yang bias gender. Misalnya, pada pemilihan cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih . Pada cerita tersebut, mucul penanaman karakter ibu tiri yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Hal itu tentu saja dapat memunculkan kesan pada siswa bahwa ibu tiri adalah sosok perempuan yang jahat. Pilihan cerita tersebut tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender seperti pada pemunculan tokoh Rima sebagai narator pada buku teks tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa wacana gender yang hendak diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar belum dilakukan secara maksimal. Oleh karena itu, peran guru sangat diperlukan dalam memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Proses pemilihan buku teks diharapkan akan dimanfaatkan guru untuk mendampinginya dalam mengenalkan wacana gender pada siswa. Pada proses tersebut, selain kreativitas guru, kepekaan guru terhadap wacana gender pun sangat menentukan keberhasilan pemilihan buku teks yang tepat bagi guru dalam upaya memperkenalkan wacana gender pada siswa.

Simpulan
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan kepada guru untuk menentukan materi yang akan diajarkannya kepada siswa. Pada bidang studi Bahasa Indonesia, KTSP memberikan keleluasan kepada guru untuk menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa secara kreatif. Guru harus menyesuaikan pengajaran Bahasa Indonesia dengan potensi, sarana, dan prasarana yang ada di lingkungan sekitar siswa. KTSP sangat tepat dengan atmosfer demokrasi dan otonomi yang sekarang sedang diterapkan di Indonesia.

Kebebasan yang diperoleh guru dalam KTSP tersebut membutuhkan semangat dan kreativitas guru. Oleh karena itu, kompetensi guru pun harus terus ditingkatkan agar sejalan dengan tujuan KTSP, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit.

Di luar itu, KTSP memberikan peluang yang besar kepada guru untuk memperkenalkan, bahkan menanamkan wacana gender kepada siswa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui jalur formal ini, di antaranya adalah:
1. Melalui pemilihan contoh karya sastra dalam hal ini pemilihan cerpen anak sebagai bahan ajar.
2. Melalui penyampaian contoh-contoh kalimat yang terdapat dalam kutipan karya sastra (cerpen anak)
3. Melalui pemilihan buku teks yang memuat kutipan karya sastra yang berwawasan gender.

Cara-cara sederhana tersebut diharapkan mampu memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini, sehingga kelak siswa memiliki semangat kesetaraan gender. Dengan demikian, bias gender yang selama ini masih melekat di masyarakat secara perlahan-lahan dapat terkikis hingga habis.

DAFTAR PUSTAKA

Darisman, Muh. 2006. Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD. Bogor: PT Yudhistira.

Hellwig, Tinneke. 2003. In The Shadow of Change; Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (diterjemahkan oleh Rika Iffati Farikha). Jakarta: Desantara.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Mufidah Ch. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.
Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan. Diterjemahkan oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2007. Dengan Sastra Menjadi Manusia Susastra 5. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
READ MORE - PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR