Emha Ainun Nadjib: Kyai Kanjeng Sang Pelayan

emhaBudayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Nama: EMHA AINUN NADJIB
Lahir: Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama: Islam
Isteri: Novia S. Kolopaking
Anak:

* Sabrang Mowo Damar Panuluh
* Ainayya Al-Fatihah (alm)
* Aqiela Fadia Haya
* Jembar Tahta Aunillah
* Anayallah Rampak Mayesha

Pendidikan:

* SD, Jombang (1965)
* SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
* SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
* Pondok Pesantren Modern Gontor (tidak tamat)
* FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:

* Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
* Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
* Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
* Pemimpin Grup musik KiaiKanjeng
* Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:

* Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan “Raja” Soeharto)
* Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan)
* Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern)
* Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern)
* Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun)
* Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar)
* Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993)
* Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:

* “M” Frustasi (1976)
* Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978)
* Sajak-Sajak Cinta (1978)
* Nyanyian Gelandangan (1982)
* 99 Untuk Tuhanku (1983)
* Suluk Pesisiran (1989)
* Lautan Jilbab (1989)
* Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990)
* Cahaya Maha Cahaya (1991)
* Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
* Abacadabra (1994)
* Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:

* Dari Pojok Sejarah (1985)
* Sastra Yang Membebaskan (1985)
* Secangkir Kopi Jon Pakir (1990)
* Markesot Bertutur (1993)
* Markesot Bertutur Lagi (1994)
* Opini Plesetan (1996)
* Gerakan Punakawan (1994)
* Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996)
* Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994)
* Slilit Sang Kiai (1991)
* Sudrun Gugat (1994)
* Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995)
* Bola- Bola Kultural (1996)
* Budaya Tanding (1995)
* Titik Nadir Demokrasi (1995)
* Tuhanpun Berpuasa (1996)
* Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
* Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
* Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997)
* 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998)
* Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
* Kiai Kocar Kacir (1998)
* Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
* Keranjang Sampah (1998)
* Ikrar Husnul Khatimah (1999)
* Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000)
* Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
* Menelusuri Titik Keimanan (2001)
* Hikmah Puasa 1 dan 2 (2001)
* Segitiga Cinta (2001)
* Kitab Ketentraman (2001)
* Trilogi Kumpulan Puisi (2001)
* Tahajjud Cinta (2003)
* Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003)
* Folklore Madura (2005)
* Puasa ya Puasa (2005)
* Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara)
* Kafir Liberal (2006)
* Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)


Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil Kyai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di kawasan Bugisan, Patangpuluhan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain berkarya melalui panggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA. Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik KiaiKanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ”Raja” Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng serta Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994).

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Reformasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Pluralisme
Cak Nun bersama KiaiKanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih, sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah Salamullah”. Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam itu ia melakukan hal-hal yang menurut mayoritas masyarakat dan media sebagai hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu. ***

Sumber: http://www.padhangmbulan.com/about/emha-ainun-nadjib/
READ MORE - Emha Ainun Nadjib: Kyai Kanjeng Sang Pelayan

Nh. Dini

NH DiniNama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Namun, setelah mengetahui penulisnya anak-anak, Belanda mengalah.

Dini bercita-cita menjadi dokter hewan. Namun, ia tidak dapat mewujudkan cita-cita itu karena orang tuanya tidak mampu membiayainya. Ia hanya dapat mencapai pendidikannya sampai sekolah menengah atas jurusan sastra. Ia mengikuti kursus B1 jurusan sejarah (1957). Di samping itu, ia menambah pengetahuan bidang lain, yaitu menari Jawa dan memainkan gamelan. Meskipun demikian, ia lebih berkonsentrasi pada kegiatan menulis. Hasil karyanya yang berupa puisi dan cerpen dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta (1952), majalah Mimbar Indonesia, dan lembar kebudayaan Siasat. Pada tahun 1955 ia memenangkan sayembara penulisan naskah sandiwara radio dalam Festival Sandiwara Radio di seluruh Jawa Tengah.

Kegiatan lain yang dilakukannya ialah mendirikan perkumpulan seni Kuncup Mekar bersama kakaknya.Kegiatannya ialah karawitan dan sandiwara. Nh. Dini juga bekerja, yaitu di RRI Semarang, tetapi tidak lama. Kemudian, ia bekerja di Jakarta sebagai pramugari GIA (1957—1960).

Pada tahun 1960 Dini menikah dengan seorang diplomat Prancis yang bernama Yves Coffin. Ia mengikuti tugas suaminya di Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat. Karena bersuamikan orang Prancis, Dini beralih warga negaranya menjadi warga negara Prancis. Dari perkawinannya itu Dini mempunyai dua orang anak, yaitu Marie Claire Lintang dan Louis Padang. Terhadap kedua anaknya itu, Dini memeberi kebebasan budaya yang akan dianut dan bahasa yang akan dipelajari. Untuk mengajarkan budaya Indonesia, Dini menyuruh anaknya mendengarkan musik Indonesia, terutama gamelan Jawa, Bali, dan Sunda serta melatihnya menari.

Pada tahun 1984 Dini bercerai dengan suaminya. Pada tahun 1985 kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Ia memutuskan kembali ke kampung halamannya dan melanjutkan menulis serta mendirikan taman bacaan anak-anak yang bernama Pondok Baca N.H. Dini yang beralamat di Perumahan Beringin Indah, jalan Angsana No. 9, Blok A-V Ngalian, Semarang 50159, Jawa Tengah.

Pengalaman menjadi istri diplomat memperkaya pengetahuannya sehingga banyak mempengaruhi karya-karyanya, seperti karyanya yang berlatar kehidupan Jepang, Eropa, dan Amerika.

Sebagai pengarang, Nh. Dini termasuk salah satu pengarang yang kreatif. Banyak karya yang telah ditulisnya, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Karya puisi yang telah ditulisnya ialah “Februari” (1956), “Pesan Ibu” (1956), “Kapal di Pelabuhan Semarang” (1956), “Kematian” (1968), “Berdua” (1958), “Surat Kepada Kawan” (1964), “Bertemu Kembali” (1964), “Dari Jendela” (1966), “Sahabat” (1968), “Kotaku” (1968), “Penggembala” (1968), “Terpendam” (1969), “Pulau yang Ditinggal” (1969), “Bulan di Abad yang Akan Datang” (1969), “Anakku Bertanya” (1969), “Tetangga” (1970), “Kelahiran “ (1970), “Burung Kecil” (1970), “Pagi Bersalju” (1970), “Sesaudara” (1970), “Jam Berdentang” (1970), “Musim Gugur di Hutan” (1970) “Penyapu Jalan di Paris” (1970), “Yang Telah Pergi”(1970), “Rinduku” (1970). “Tak Ada yang Kulupa” (1971), Le havre” (1971), “Paeis yang Kukenal” (1971), “Mimpi” (1971), “Dua yang Pokok” (1971), dan “Kemari Dekatkan Kursimu” (1971).

Cerita pendek yang ditulisnya terkumpul dalam tiga kumpulan cerita pendek, yaitu Dua Dunia (1956), Tuileries (1982), serta Segi dan Garis (1983). Kumpulan cerpen Dua Dunia terdiri atas tujuh cerpen, yaitu “Dua Dunia”, “Istri Prajurit”, “Djatayu”, “Kelahiran”, “Pendurhaka”, “Perempuan Warung, dan “Penemuan”. Kumpulan cerpen Tuileries terdiri atas dua belas cerpen, yaitu “Tuileries”, “Kucing”, “Pabrik”, “Hari Larut di Kampung Borjuis”, “Kalipasir”, “Jenazah”, “Pencakar Langit”, “Matinya Sebuah Pulau”, “Pasir Hewan”, “Burung Putih”, “Tanah yang Terjanjikan”, dan “Warga Kota”.Kumpulan cerpen Segi dan Garis terdiri atas dua belas cerpen, yaitu “Di Langit di Hati”, “Di Pondok Salju”, “Hujan”, “Ibu Jeantte”, “Janda Muda”, “Kebahagiaan”, “Keluar Tanah Air”, “Pandanaran”, “Penanggung Jawab Candi”, “Perjalanan”, “Sebuah Teluk””, dan “Wanita Siam”. Kumpulan cerpen yang lain ialah Liar (1989) (perubahan judul kumpulan cerpen Dua Dunia) dan Istri Konsul (1989)

Novel yang telah ditulisnya ialah Dua Dunia, (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Sekayu (1981), Kuncup Berseri (1982), Orang-Orang Trans (1985), Pertemuan Dua hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), dan Kemayoran (2000).

Karya lain yang ditulisnya ialah Pangeran dari Negeri Seberang (Biografi penyair Amir Hamzah) (1981), Dongeng dari Galia Jilid I dan II (cerita rakyat Prancis) (1981), Peri Polybotte (cerita rakyat Prancis) (1983), dan Sampar (novel terjemahan dari La Peste karya Albert Camus) (1985).

Penghargaan yang telah diperolehnya ialah hadia kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio Frence Internasionale (1987). ***

Sumber: Balai Bahasa Bandung
READ MORE - Nh. Dini

Taufiq Ismail

Taufiq Ismail Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo. Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).
Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978). Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya:

1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10. Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)

Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap, Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali). Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka” dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati (2002).

Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.

Anugerah yang diterima:

1. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
2. Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3.South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5. Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,
Malaysia (1999)
6. Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.
Telepon (021) 8504959
Faksimile (021) 8583190
***

Sumber: Balai Bahasa Bandung
READ MORE - Taufiq Ismail

Danarto

sastrawanDanarto dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1941 di Sragen, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Jakio Harjodinomo, seorang mandor pabrik gula. Ibunya bernama Siti Aminah, pedagang batik kecil-kecilan di pasar.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah dasar (SD), ia melanjutkan pelajarannya ke sekolah menengah pertama (SMP). Kemudian, ia meneruskan sekolahnya di sekolah menengah atas (SMA) bagian Sastra di Solo. Pada tahun 1958--1961 ia belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta jurusan Seni Lukis.
Ia memang berbakat dalam bidang seni. Pada tahun 1958—1962 ia membantu majalah anak-anak Si Kuncung yang menampilkan cerita anak sekolah dasar. Ia menghiasi cerita itu dengan berbagai variasi gambar. Selain itu, ia juga membuat karya seni rupa, seperi relief, mozaik, patung, dan mural (lukisan dinding). Rumah pribadi, kantor, gedung, dan sebagainya banyak yang telah ditanganinya dengan karya seninya.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Pada tahun 1969—1974 ia bekerja sebagai tukang poster di Pusat kesenian jakarta, Tam Ismail Marzuki. Pada tahun 1973 ia menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ) Jakarta.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dalam bidang seni sastra, Danarto lebih gemar berkecimpung dalam dunia drama. Hal itu terbukti sejak tahun 1959—1964 ia masuk menjadi anggota Sanggar Bambu Yogyakarta, sebuah perhimpunan pelukis yang biasa mengadakan pameran seni lukis keliling, teater, pergelaran musik, dan tari. Dalam pementasan drama yang dilakukan Rendra dan Arifin C. Noor, Danarto ikut berperan, terutama dalam rias dekorasi.
Pad tahun 1970 ia bergabung dengan misi Kesenian Indonesia dan pergi ke Expo ’70 di Osaka, Jepang. Pada tahun 1971 ia membantu penyelenggaraan Festival Fantastikue di Paris. Pada tahun 1976 ia mengikuti lokakarya Internasional Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama pengarang dari 22 negara lainnya. Pada tahun 1979—1985 bekerja pada majalah Zaman.
Kegiatan sastra di luar negeri pun ia lakukan. Hal itu dibuktikan dengan kehadirannya tahun 1983 pada Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.
Tulisnanya yang berupa cerpen banyak dimuat dalam majalah Horison, seperti “Nostalgia”, “Adam Makrifat”, dan “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaekat”. Di antara cerpennya, yang berjudul “Rintrik”, mendapat hadiah dari majalah Horison tahun 1968. Pada tahun 1974 kumpulan cerpennya dihimpun dalam satu buku yang berjudul Godlob yang diterbitkan oleh Rombongan Dongeng dari Dirah. Karyanya bersama-sama dengan pengarang lain, yaitu Idrus, Pramudya Ananta Toer, A.A. Navis, Umar Kayam, Sitor Situmorang, dan Noegroho Soetanto, dimuat dalam sebuah antologi cerpen yang berjudul From Surabaya to Armageddon (1975) oleh Herry Aveling. Karya sastra Danarto yang lain pernah dimuat dalam majalah Budaya dan Westerlu (majalah yang terbit di Australia).
Dalam bidang film ia pun banyak memberikan sumbangannya yang besar, yaitu sebagai penata dekorasi. Film yang pernah digarapnya ialah Lahirnya Gatotkaca (1962), San Rego (1971), Mutiara dalam Lumpur (1972), dan Bandot (1978).
KARYA:

Karya lain yang telah ditulisnya adalah:
1. Godlob (kumpulan cerpen, 1975),
2. Adam Makrifat (kumpulan cerpen, 1982),
3. Berhala (kumpulan cerpen, 1987),
4. Orang Jawa Naik Haji (1984),
5. Obrok Owok-Owok,
6. Ebrek Ewek-Ewek (drama, 1976),
7. Bel Geduwel Beh (drama, 1976),
8. Gergasi (kumpulan cerpen, 1993),
9. Gerak-Gerak Allah (kumpulan esai, 1996), dan
10. Asmaraloka (novel, 1999).

Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Inggris, Belanda, dan Prancis.

Penghargaan lain yang pernah diterimanya adalah:
hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta dan hadiah dari Yayasan Buku Utama , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982 atas cerpennya Adam Makrifat serta hadiah dari Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987 atas kumpulan cerpennya Berhala. Selain itu, pada tahun 1988 ia mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand.
READ MORE - Danarto

Budi Darma

sastrawanBudi Darma lahir tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Ia anak keempat dari enam bersaudara yang semuanya laki-laki. Kedua orang tuanya berasal dari Rembang. Ayahnya bernama Munandar Darmowidagdo dan bekerja sebagai pegawai kantor pos. Ibunya bernama Sri Kunmaryati. Karena pekerjaan ayahnya, Budi darma sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya, antara lain di bandung, Yogyakarta, dan Semarang.

Budi Darma menikah pada tanggal 14 Maret 1968 dengan Sitaresmi, S.H., yang lahir 7 September 1938. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Diana (lahir di Banyuwangi, 15 Mei 1969), Guritno (lahir di Banyuwangi, 4 Februari 1972), dan Hannato Widodo (lahir di Surabaya, 3 Juni 1974).
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Budi Darma menempuh pendidikan di berbagai kota. Pendidikan sekolah dasar diselesaikannya tahun 1950 di Kudus, Jawa Tengah. Sekolah menengah pertama diselesaikannya tahun 1953 di Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, pendidikan sekolah menengah atas (SMA) diselesaikannya di Semarang tahun 1956. Setamat SMA, Budi Darma meneruskan kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1963. Judul skripsinya adalh Tragic Heroes in The Plays of Marlowe. Selama satu tahun (1967) ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Pada tahun 1970---1971 ia mendapat beasiswa dari East West Centre untuk belajar ilmu budaya dasar (basic humanities) di Universitas Hawai, Honolulu, Amerika Serikat. Pada tahun 1975 meraih gelar M.A. dari Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, yang judul tesisnya adalah Tha Death and The Alive, dan tahun 1980 di universitas yang sama ia meraih gelar Ph.D. dengan judul disertasinya Character and Moral Jugment in Jane Austin’s Novel.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Setelah tamat dari Jurusan Satra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, (1963) sampai sekarang, Budi Darma mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) (dahulu IKIP Surabaya). Selain sebagai dosen, Budi Darma juga pernah menjabat Ketua Jurusan Sastra Inggris (1966—1970 dan 1980—1984), Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (1963—1966 dan 1970—1974), dan Rektor IKIP Surabaya (1984—1988). Tahun 1980 ia menjadi visiting associate research di Universitas Indiana.
Budi Darma tercatat sebagai anggota Modern Language Association (MLA), New York (1977—1990). Nama Budi Darma tercatat dalam buku Who’s Who in The World (1982—1983).
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Sumbangan Budi Darma kepada kehidupan sastra sangat besar. Dalam kerangka kerja sama Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Budi Darma membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari Brunai Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam wadah Program Penulisan Mastera (1998—1999). Budi Darma juga terlibat dalam pembimbingan berbagai lokakarya dan penataran sastra bagi pegawai Pusat Bahasa dan dosen muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
KARYA:

Hasil karya Budi Darma berbentuk cerita pendek, novel, esai, dan puisi yang tersebar di berbagai media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Budi Darma dianggap memelopori penggunaan teknik kolase, yaitu teknik penempelan potongan iklan bioskop dan tiket pertunjukan dalam karya-karyanya, seperti Orang-Orang Bloomington dan Olenka. Berikut ini adalah karya Budi Darma.
1. Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen, 1950)
2. Ny. Talis (novel, 1983)
3. Olenka (novel, 1997)
4. Rafilus (novel, 1988)
5. Sejumlah Esai Sastra (kumpulan esai, 1984)
6. Solilokui (kumpulan esai, 1983)
7. Harmonium (kumpulan esai, 1996)
8. Derabat (cerpen, 1999)
9. The Legacy karya Intsi V. Himanyunga (terjemahan, 1996)
10. Sejarah 10 November 1945 (1987)
11. Culture in Surabaya (1992)
12. Modern Literature of ASEAN (2000)
13. Kumpulan Esai Sastra ASEAN (Asean Committee on Culture and Information)
Beberapa karya Budi Darma yang berbentuk cerita pendek pernah ditransformasikan dalam bentuk drama, yaitu “Orez”, yang dipentaskan mahasiswa ISI Yogyakarta, dan “Kritikus Adinan”, yang dipentaskan mahasiswa STSI Bandung).

Penghargaan

Karena peranannya dalam sastra, Budi Darma mendapat hadiah dan penghargaan dari berbagai pihak. Berikut ini hadiah/penghargaan yang diterima Budi Darma.
1. Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Naskah Roman Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya Olenka (1980)
2. Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta atas novelnya, Olenka, sebagai novel terbaik (1983)
3. Penghargaan Sea Write Award dari pemerintah Thailand atas karyanya yang berjudul Orang-Orang Bloomington (1984)
4. Penghargaan Anugerah Seni dari pemerintah Indonesia (1993)
5. Penghargaan dari Kompas atas cerpennya, “Derabat”, sebagai cerpen terbaik (1999)
READ MORE - Budi Darma

Bre Redana

sastrawanBre, anak ketiga dari empat bersaudara, termasuk orang yang enggan menyebutkan tanggal kelahirannya. Pernah secara terbuka, ia menuturkan latar belakang kehidupan keluarganya. “Ayah saya kader PKI di Salatiga.” Gondo Waluyo, sang ayah yang dikatakannya sebagai seorang yang terpelajar, dijemput dan ditahan di tempat yang tidak diketahui ketika Bre berusia delapan tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar.
Sejak penjemputan paksa itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Keluarganya kemudian menjadi bulan-bulanan teror masyarakat seputar. Bre pun tumbuh menjadi laki-laki pemalu dan cenderung minder.

Selanjutnya, kehidupan keluarganya sepenuhnya ditopang oleh ibunya, Yutinem. Berkat upaya ibunyalah, Bre remaja dapat berkenalan dengan majalah Horison, Prisma, MIDI, dan sebagainya. Kegemarannya membaca mengantarkannya kepada minat yang kuat untuk menulis, sebuah dunia karang-mengarang.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Cerpenis dan kolomnis ini menjalani masa-masa sebagai siswa SD Kanisius (1970) dan SMP Negeri 2 (1973) di kota kelahirannya, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, ia melanjutkan ke STM Kristen Klaten. Tamat STM, Bre, demikian panggilan akrabnya, berkuliah di jurusan bahasa Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Waktu kuliah itulah ia berkenalan dengan dunia jurnalistik dengan aktif di pers mahasiswa Gita Mahasiswa.
Ketika duduk di bangku kelas 2 STM, Bre Redana mulai mengirim tulisannya ke media massa cetak. Saat itu, medio 1975, ia mengirim karangan fiksi tentang cinta pertama ke majalah Detektif & Romantika. Alih-alih kisah nyata sesuai harapan majalah itu. Sewaktu menjadi mahasiswa, ia rajin menulis untuk pers di kampusnya.
Karangannya juga coba dikirim ke harian Kompas, tetapi tidak ada satu pun yang diterima. Namun, di Sinar Harapan dan Merdeka-lah ia berjodoh. Tulisannya banyak dimuat.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia beroleh honor yang memadai sebagai penulis di harian ibu kota itu.
Ironisnya, baru saja lulus sarjana muda dari Satya Wacana, tahun 1981, Bre Redana malah diterima sebagai wartawan di harian Kompas yang sebelumnya tidak pernah menerima satu pun tulisannya.
Sebagai jurnalis pemula, pria Salatiga ini ditempatkan di bagian yang menangani kolom ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Seterusnya ia pindah ke bagian kota, olah raga, dan luar negeri, sampai akhirnya bertugas di bagian yang mengelola kolom budaya—pekerjaan yang sangat disukainya.
Baginya sangat nyaman menangani kolom budaya yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Sejak anak-anak Bre Redana memang sangat dekat dengan kesenian tradisi seperti kethoprak, tarling, dan tayub. Ia pernah mengatakan, “Kalau saya menonton atau menulis hal itu lagi, saya seperti merasa kembali ke mata air saya lagi.”
Petualangannya dengan kesenian tradisional usai selepas mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Tehnology, Inggris, 1990-1991. Fokus tulisan Bre beralih ke masalah sosial di seputar kehidupan masyarakat Jakarta, seperti gosip artis, tren body shop, sampai toko mewah Mark and Spencer.
Tulisannya dikemas dalam laporan kerja jurnalistik yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan.
Bre Redana melihat pekerjaan jurnalistiknya bukan sekadar sumber pendapatan, melainan juga merupakan panggilan. “Saya menghayati pekerjaan jurnalistik. Saya merasa ada dimensi yang sakral dari pekerjaan menulis ini.”
Ketika pada 1980-an rezim Suharto mengangkat isu ‘bersih lingkungan’, ia dinyatakan termasuk sebagai orang yang ‘tidak bersih’. Bre Redana pun terpukul.
Akan tetapi, ia tidak menjadi patah arang. Ia terus mencari strategi lain untuk tetap dapat menulis. Sebagai jurnalis, ia sangat menghayatinya. Di mana pun berada, lelaki berkaca mata ini berusaha masuk sedalam-dalamnya, tetapi tetap ada jarak. “Karena dengan berjarak, kita bisa tetap kritis,” ujarnya.
Pria Salatiga ini menggemari pencak silat. Ia telah mendalaminya selama lebih dari lima belas tahun. “Sampai sekarang masih saya lakukan,” katanya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Membaca, termasuk membaca novel, sudah menjadi rutinitas harian. Setiap pagi, ia jarang membaca koran. Biasanya Bre membaca buku yang agak serius. Pria ini sangat mengagumi Umber Echo, esais kelas dunia.
Bisa jadi, tulisan Bre terpengaruh oleh ide-ide esais itu. “Echo sebagai seorang pemikir bisa menghasilkan esai yang mampu menjelaskan problem yang ada di masyarakat dengan sangat bagus dan disampaikan dengan sangat ringan,” tuturnya.
Berbicara tentang penampilan, laki-laki yang masih melajang ini melihatnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting. “Yang penting adalah bagaimana tidak membuat orang risih,” katanya.
Cita-citanya yang masih belum tercapai adalah menghasilkan sebuah karangan dari genre yang lain. “Saya ingin menulis novel,” katanya tentang keinginan yang hendak ia capai.
Ia merindukan punya waktu khusus. Kerja jurnalistik sangat sibuk, sehingga, menurut Bre, membuat wilayah-wilayah kreatif menjadi mandek. Kompas agaknya akan menjadi perhentian akhir karier Bre Redana. Pria berambut keriting, panjang, dan beruban ini tidak mempunyai semangat untuk berpetualang kerja di tempat lain. “Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis.”
READ MORE - Bre Redana

Bahrum Rangkuti

sastrawanBahrum Rangkuti lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Riau. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Jadi, walaupun Bahrum lahir di Riau, ia adalah putra Batak asli. Rangkuti adalah marganya. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) , sekolah Belanda, setingkat sekolah dasar. Dari HIS, ia melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat dari HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Dari AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda.
Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di pakistan pada tahun 1950. Rabwah adalah sebuah desa kecil di tepi sungai Cenaab, tempat latihan para misionaris Islam yang bertugas ke seluruh dunia. Akan tetapi, ternyata, Bahrum tidak berminat menjadi misionaris.
Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960. Ia menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Dengan pengetahuan bahasa yang dimilikinya, Bachrum, kemudian bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta.
Bachrum Rangkuti pernah berceramah mengenai aspek sosial hari raya di depan para perwira ALRI pada saat Angkatan Laut RI itu dipemimpin oleh Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat kolonel tituler.
Walaupun telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya. Oleh karena itu, ia pun muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:
KARYA:

1) Puisi:
a. Sajak-sajak yang Sudah Diterbitkan
(1) “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943)
(2) “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944)
(3) “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944)
(4) “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944)
(5) “Akibat” Pantja Raja (1946)
(6) “Borobudur” Pantja Raja (1946)
(7) “Cita-Cita” Pantja Raja (1946)
(8) “Doa Makam” Pantja Raja (1946)
(9) “Hidupku” Pantja Raja (1946)
(10) “Insyaf” Pantja Raja (1946)
(11) “Kembali” Pantja Raja (1946)
(12) “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946)
(13) “Sakura” Pantja Raja (1946)
(14) “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946)
(15) “Laila” Gema Suasana (1948)
(16) “Pasar Ikan” Gema (1948)
(17) “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951)
(18) “Syuhada” Hikmah (1952)
(19) “Iqbal” Hikmah (1953)
(20) “Malam dari Segala Malam” Gema Islam (1962)
(21) “Pesan” Gema Islam (1966)
(22) “Nafiri Ciputat” Horison (1970)
(23) “Anak-Anakku” Horison (1971)
(24) “Dunia Baru” Horison (1971)
(25) “Ayahanda” Horison (1971)
(26) “Bunda” Horison (1971)
(27) “Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” Horison (1971)
(28) “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971)
(29) “Pejuang” Horison (1971)
(30) “Rumah” Horison (1971)
(31) “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971)
(32) “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971)
(33) “Sumbangsih” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co
(34) “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co

b. Sajak-sajak yang Belum Diterbitkan dan Tahun Ciptaannya
(1) “Tao Toba” (1970)
(2) “Sipirok” (1970)
(3) “Natalandi Gita Bahari” (t.th.)
(4) “Nunukan” (1970)
(5) “Mesjid di Tanjung Selor” (1970)
(6) “Ka’bah” (1971)
(7) “Bungan Bondar” (1971)
(8) “Mina” (1971)
(9) “Madinah” (1971)
(10) “Arafah” (1971)
(11) “Makkah” (1971)
(12) “Hajir” (1971)
(13) “Nisbah” (1971)
(14) “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971)
(15) “Bengkel Manusia” (t.th.)
(16) “meluruskan bahtera” (1973)
(17) “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973)
(18) “Mi’raj” (t.th.)
(19) “kepada Biniku A. Bara” (t.th.)
(20) “Isa a.s.” (1969)
(21) “Idul Fitri” (t.th.)
(22) “Mula Segala” (1969)
(23) “Muhammad s.a.w.” (1969)
(24) “Beton, Beling, dan Besi” (t.th.)
(25) “Laut Lepas Menanti” (t.th.) (PDS. H.B. Jassin)

2) Drama
(1) “Laila Majenun” Gema Suasana (1949)
(2) “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949)
(3) “Asmaran Dahana” Indonesia (1949)
(4) “Arjuna Wiwaha”

3) Cerpen
(1) “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936)
(2) “Rindu” Poedjangga Baroe (1941)
(3) “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942)
(4) “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946)
(5) “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antero Krisis Cita, Moral, dan benda” Zenith (1952)
(6) “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969)

4) Esai
(1) “Setahun di negeri Bulan Bintang I” Zenith (1951)
(2) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(3) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(4) “Angka dan Penjelmaannya” Zenith (1951)
(5) “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953)
(6) “Kandungan Al Fatihah” (1953)
(7) “Nabi Kita” Bacaan untuk Anak-anak (t.th.)
(8) “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern”: skripsi s-1 (1961). Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
(9) “Islam and “Modern Indonesian Literature”
(10) “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963)
(11) “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968)
(12) “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969)
(13) “Ceramah Tentang Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976)
(14) “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan” Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar (1976)
(15) “Sejarah Indonesia I dan II”
(16) “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab”
(17) “Sejarah Khalifah Usman r.a”
(18) “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w”
(19) “Islam dan PEmbangunan”
(20) “The Spritual Wealth in Islam”

5) Terjemahan
(1) “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948)
(2) “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949)
(3) “Kepada Penyair” karya M. Iqbal
(4) “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953)
(5) “Waktu itu Adalah Pedang” karya M. Iqbal (1953)
(6) “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953)
(7) “Soledad Montoya” karya Lorca
(8) “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru
(9) “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.
READ MORE - Bahrum Rangkuti

Ayu Utami

sastrawanNama lengkapnya Justina Ayu Utami, dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo, ibunya bernama Bernadeta Suhartina . Dia berasal dari keluarga katolik.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999) Ayu menggemari cerita petualangan seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.
Ayu suka mendengarkan musik tradisional dan etnik serta musik klasik Waktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh, tapi dunia model tidak ia tekuni.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ayu pernah jadi sekretaris di perusahaan yang memasok senjata. Juga pernah bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Dan akhirnya beliau masuk dalam dunia jurnalistik. Pernah bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Sepanjang 1991 menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai curator.
Anggota redaktur jurnal Kalam, dan ia juga peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Pada tahun 2000 mendapat Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:
KARYA:

Esai-esainya kerap dipublikasikan di jurnal Kalam. Dwilogi novelnya Saman dan Larung. Melalui novelnya, Saman ia memenangkan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998, dan novel ini mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Novelnya Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Tahun 2003, ia meluncurkan Kumpulan Esai "Si Parasit Lajang", Gagas Media.
READ MORE - Ayu Utami

Armijn Pane

sastrawanMenurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari 8 bersaudara, mempunyai nama samaran banyak, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Selain sebagai seniman sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru. Bahkan Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik.

Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ia meninggal tanggal 24 Januari 1991. Ayah Armijn Pane itu juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional, di Palembang. Dan hal ini juga menyiratkan bahwa orang tua itu termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga terwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya “Tanah Air dan Masyarakat” dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekalai ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia telah mengecewakan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.

Armijn Pane meninggal pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970 pukul 10.00 pagi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Menurut berita di surat kabar ia diserang Pneumonic Bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir adalah pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia 6 tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di jalan Setia Budi II No. 5, Jakarta.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk Europese lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 menjadi Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Sayang sekolahnya tidak dilanjutkan, kemudian tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya. Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI jurusan bahasa dan kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.

Dalam dunia pendidikan ia juga tercatat sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa, baik di Kediri maupun di Jakarta. Oleh karena itu salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.

Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokoh-tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama “Antara Bumi dan Langit”. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal ini mungkin saja karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu itu. Ternyata, memang Armijn Pane bukan tertarik oleh dunia kedokteran, melainkan tertarik oleh dunia seni. Untuk itu ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.

LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Diberitakan bahwa Armijn Pane setibanya di Jakarta akan menceburkan diri di lapangan penerbitan. Armijn Pane mengasuh majalah Indonesia yang berisi 124 halaman sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah, dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis “ Produksi Film Cerita di Indonesia”, setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia itu.
Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara ia menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda “Angkatan Baru”, perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan, dan sebagai guru pada Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri kemudian di Jakarta. Dari situ kariernya dalam bidang penerbitan setapak demi setapak dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Zaman Jepang ia menjabat kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di sampaing itu, tahun 1938 ia menjadi sekretaris Kongres Bahasa Indonesia yang pertama, ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komosi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ternyata ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) selepas tahun 1950.
Dalam penerbitan, ternyata Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi makalah Indonesia.. Demikian pula dalam dunia film Armijn aktif sebagai anggota sensor film, (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Akan tetapi, dalam masa menjalani tugasnya, baik di zaman Beanda, zaman Jepang, maupun zaman republik Armijn selalu menyaksikan hal-hal yang tidak beres yang menusuk hati nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tantang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekuti di sekitar Morotai. Jepang itu meminta agar Armijn membuat releasenya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnyalah laporan yang diberikan Jepang itu. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji ke mana Armijn memihak. Itulah salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia Armijn terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933 di samping Sutan Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Mulai tahun 1933—1938 ia menduduki jabatan sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu sebelum diterbitkan sebagai buku, dimua dalam majalah Pujangga Baru.
Prof. Dr. Teeuw (dalam Anita, 1992) menyatakan bahwa Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin menyangkalnya karena, baik dalam prosa maupun dalam puisi terlihat gaya impresionistis, terutama dalam sajak-sajaknya. Dalam novelnya Belenggu gaya romantis dapat diketemukan sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Padahal Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis. Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof. Teeuw di atas.
Karya-karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto, Rabindranath Tagore, Krisnamurti dan pelajaran Theosofie. Gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri Belanda tampak juga mempengaruhi karya-karyanya, begitu juga Dosxtojevski, di samping Tolstoy.
Armijn Pane adalah pengarang yang berpendirian kokoh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu seperti berikut, “kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”
Jadi, apapun yang dihadapkan pada keyakinannya yang sudah kokoh itu tak akan menggoyahkannya. Dalam karya Belenggu, tekadnya menjadi seorang manusia yang berguna bagi bangsa dan negara seperti yang disarankan Armijn Pane dalam ceramahnya yang tercermin pada tokoh dr. Sukartono dalam novel Belenggu. Tokoh itu sangat memperhatikan para pasiennya sehingga menomorduakan rumah tangganya sehingga berantakan. Ketidakharmonisan rumah tangga dr. Sukartono memang berawal dari ketidakpuasan Tini akan sikap dr. Sukartono yang lebih mengutamakan pasiennya daripada istrinya itu.
Dalam hal teknik penyusunan ada kesamaan antara Armijn dan Putu Wijaya serta Iwan Simatupang. Teknik itu menyatu dengan pemikiran yang ingin disampaikan seperti tampak dalam novel Belenggu itu.
Kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin (1954:67—70) mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelktual sebelum perang.
Di dalam sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup (dalam Anita, 1993). Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat dari artinya, “Gamelan”berarti alat-alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin si penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda. Cinta pada tanah air, cinta pada Tuhan, dan cinta pada sastra. Sampai pada saat terakhir cinta pada sastra ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya tentang sastra di Taman Ismail Marzuki sebulan sebelum ia meninggal 15-1-1970 membuktikan cintanya pada sastra. Ceramah itu berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”. Dalam ceramah itu pengarang mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan kepenga-rangannya dan sedikit menyinggung soal angkatan. Butir-butir pikiran yang disampaikannya pada saat itu adalah (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku Memperbaharui Kerelaan and Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang ”, (3) “Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5) “Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Manurut Pendapat Pengarang”, (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”.
Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ia juga mengatakan bahwa saat itu sedang disiapkan roman yang ketiga. Akan tetapi, roman itu tidak muncul.
Dalam ceramah itu Armijn menegaskan bahwa untuk menjadi pengarang lebih dulu harus kita dapatkan dunia keindahan dan harus kita memiliki sikap hidup yang tegas untuk melaksanakan tugas sebagai pengarang. Selanjutnya, pengarang itu mengemukakan bahwa untuk mengarang ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Langkah-langkah itu adalah mengumpulkan baha, mendapatkan ide, dan menyusun kerangka cerita. Dalam struktur karangan harus selalu ada tiga pihak, yaitu yang dilawan, yang melawan, dan yang menggerakan. Di samping itu, pengarang memiliki hati nurani, moral, dan inspirasi, yaitu inspirasi yang dikendalikan pengarang, agar pengarang selalu sadar akan apa yang harus dilakukan.
Dalam kesempatan itu Armijn juga mengarapkan agar di antara pengarang muda akan muncul pengarang keagamaan Indonesia yang dapat dihargai. Untuk itu, ia pun berkeinginan menjadi pengarang keagamaan.
Tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan, ia menganjurkan agar pengarang Indonesia mendapatkan kekhasan Indonesia. Akan tetapi, tidak berarti pengarang Indonesia dilarang mencontohkan pengarang asing, malahan ia menganjurkan asalkan tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920—1930, bahkan sampai sekarang, Armijn berpendapat bahwa Angkatan 1920—1930 mempunyai pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro kepada yang baru, dinamis, anti yang fanatik, dan anti yang naif. Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50 mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi. Dari uraian dalam ceramah itu, dapat disimpulkan bahwa Armijn Pane, ternyata samapai usia 62 tahun, pengamatan dan cintanya terhadap dunia sastra tetap segar.
KARYA:

a. Puisi
(1) Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
(2) Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
b. Novel
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
c. Kumpulan Cerpen
(1) Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
(2) Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
d. Drama
“Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
READ MORE - Armijn Pane

Aoh Karta Hadimadja

sastrawanAoh Karta Hadimadja, yang sering menggunakan nama samaran Karlan Hadi ini, lahir di Bandung pada tanggal 15 September 1911. Ia adalah putra seorang patih di Sumedang, Jawa Barat. Meskipun hampir sepertiga masa hidupnya dihabiskannya di luar negeri, Aoh termasuk tokoh sastrawan Indonesia yang patut dicatat dalam sejarah sastra Indonesia (Teeuw, 1978). “Dia sesungguhnya menjadi sebagian dari perkembangan kesusastraan sesudah perang,” demikian tulis Teeuw berikutnya.

Hidup bertahun-tahun di negeri orang ternyata membuat Aoh rindu pada kampung halaman. Pada tahun 1971, setelah lebih kurang dua puluh tahun tinggal di negeri orang (1952--1971), ia kembali ke Indonesia. Namun, belum genap tiga tahun tinggal di Indonesia, Aoh sudah dipanggil oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Pada tanggal 17 Maret 1973, karena penyakit darah tingginya tidak dapat lagi diatasi, Aoh meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Sebagai anak seorang patih, Aoh tentu dapat dengan mudah memasuki sekolah-sekolah Belanda sebagai tempat belajarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika bahasa asing yang pertama kali dikuasainya adalah bahasa Belanda. Secara formal, pendidikan Aoh memang hanya sampai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP saja. Namun, berkat kegemaran membacanya yang besar, ia dapat menyejajarkan dirinya dengan orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi daripadanya. Konon, saat ia dirawat di Sanatorium, Cisarua, Bogor (karena penyakit paru-parunya), ia banyak membaca buku-buku sastra dan agama. Buku-buku yang dibaca Aoh tersebut antara lain adalah karya-karya Hamka (Sinar Harapan, 24 Maret 1973).
Setelah penyakit paru-parunya sembuh, Aoh tidak hanya mengenal Hamka melalui buku-hukunya, tetapi langsung dengan orangnya. Ia bahkan tidak hanya bergaul dengan Hamka. Ia juga bergaul dengan ayah Hamka. Melalui dua orang, yang dianggapnya guru, inilah Aoh memperdalam pengetahuannya, baik pengetahuan agama maupun sastra (Kompas, 19 Maret 1973).
Setelah menamatkan MULO, Aoh Iangsung bekerja sebagai pegawai di Perkebunan Parakan, Salak, Sukabumi. Pekerjaan itu dijalaninya sampai dengan tahun 1939, saat ia harus dirawat di Sanatorium, Cisarua, Bogor.
Untuk menambah pengetahuannya di bidang sastra, pada zaman Jepang Aoh menggabungkan diri pada Pusat Kebudayaan di Jakarta. Di Pusat Kebudayaan itu Aoh bekerja sebagai penerjemah kesusastraan Sunda klasik.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Pada tahun 1949--4952 Aoh tinggal di Sumatra untuk melakukan penyelidikan budaya. Sepulangnya dari Sumatra, ia sempat bekerja di Balai Pustaka (sebagai redaktur) selama beberapa bulan. Setelah itu, ia pergi ke Negeri Belanda. Di negeri Kincir Angin itu ia bekerja sebagai penerjemah di Sticusa Amsterdam selama empat tahun (1952--i 956).
Aoh Karta Hadimadja ternyata senang bertualang, terutama dalam hal pekerjaan. Pada tahun 1957 ia pernah menjadi wartawan PIA dan Star Weekly. Bahkan, sempat pula ia menghadiri pesta perayaan kemerdekaan Malaysia di Kuala Lumpur. Setelah itu, ia kembali mengembara ke Eropa. Kali ini ia tinggäl di London dan bekerja sebagai penyiar radio BBC. Pekerjaan tersebut dijalaninya hingga tahun
1970.
Selain pekerjaan tetap sebagai penyiar radio BBC, selama di Eropa Aoh juga pernah mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sastra Indonesia yang kebetulan sedang melawat ke London. Tokoh-tokoh sastra tersebut, antara lain, adalah Hamka, Achdiat K. Mihardja, Sri Nuraini, Muhtar Lubis. dan Nugroho Notosusanto (Kompas. 18 Februari 1971).
Sepulangnya kembali di Indonesia, Aoh bekerja sebagai redaktur di penerbit Pustaka Jaya. Pekerjaan itu dijalaninya hingga akhir hayatnya. 17 Maret 1973.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Bakat kepengarangan Aoh dapat tumbuh dengan subur saat ia dirawat di Sanatorium, Cisanua, Bogor. Ia mempunyai banyak waktu untuk beristirahat sehingga memungkinnya untuk banyak membaca. Ia membaca banyak buku (terutama buku agama dan sastra) mula-mula untuk menghilangkan kebosanan serta ketegangan pikiran. Namun, lama kelamaan menjadi kebutuhan dan bahkan membangkitkan keinginannya untuk menulis.
Awal kepengarangan Aoh ditandai oleh hasil karyanya yang berupa sajak. Sajak-sajak itu kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dalam satu kumpulan yang diberinya judul Zahra (buku ini pada tahun 1971 dicetak ulang oleh Pustaka Jaya dengan judul baru, Pecahan Ratna). Konon, sebelum dibukukan, sajak-sajak tersebut pernah dimuat dalam majalah Panca Raya pada tahun 1946 dan setahun kemudian (1947) mendapat hadiah dari Balai Pustaka. Rupanya, peristiwa ini pulalah yang membuat Aoh bergairah untuk terus berkarya (Sinar Harapan, 24 Maret 1973).
Selama di London, ternyata Aoh tidak mengendorkan perhatiannya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Dari sana ia banyak mengirimkan esainya tentang berbagai corak puisi penyair¬penyair muda yang dimuat di berbagai majalah, seperti Budaya Jaya, Horison, dan Indonesia Raya. Path masa-masa itu pulalah muncul karya Aoh dalam bentuk cerpen, yang kemudian terkumpul dalam Poligami.
Setelah tinggal satu tahun di Indonesia, pada tahun 1972 Aoh mendapat anugerah seni dari Pemerintah Indonesia (Soekardi, 1972). Dan, untuk mengenang jasa-jasanya, sejak tahun 1976 BBC London, Seksi Indonesia, selalu mengadakan sayembara penulisan sajak dengan nama “Sayembara Sajak BBC guna memperingati Aoh Karta Hadimadja”.
KARYA:

a) Yang Sudah Terbit
Karya Fiksi
(1) Pecahan Ratna. Cet. I. Jakarta: Balai Pustaka, 1950. Cet. II, Jakarta: Pustaka Jaya, 1971. Kumpulan sajak dan drama
(2) Poligami (kumpulan cerpen), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
(3) Sepi Terasing (novel), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
(4) Manusia dan Tanahnya (kumpulan cerpen), Jakarta:Balai Pustaka, 1952
(5) Dan Terhamparlah Darat Yang Kuning Laut Yang Biru (novel), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
Karya Nonfiksi
(1) Seni Mengarang, Jakarta:Pustaka Jaya, 1971
(2) Aliran-Aliran Klasik, Romantik dan Realisma dalam
Kesasastraan: Dasar-dasar Perkembangannya,
Jakarta:Pustaka Jaya, 1972
(3) Beberapa Paham Angkatan 1945, Jakarta:Tintamas, 1952

b) Yang belum Terbit
(1) “Arus Perjuangan” (naskah drama)
(2) “Bumiku” (naskah puisi)
(3) “Bunga Merdeka” (naskah drama)
(4) “Kapten Sjah” (naskah drama)
(5) “Pancaran Balik Salaka” (naskah drama)
READ MORE - Aoh Karta Hadimadja

Ahmadun Yosi Herfanda

sastrawanLahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com. Mobile: 081315382096.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (1986) dan S-2 Jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta (2004). Ia pernah aktif sebagai pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Inslam (HMI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002).
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Selain itu, sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Sehari-hari kini ia bekerja sebagai redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Ahmadun banyak menulis puisi, cerpen dan esei serta kolom. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle).
Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Oktober 2006 ia membacakan sajak-sajaknya dalam International Poetry Festival di Taman Budaya Palembang dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Maret 2007 ia menjadi pembicara utama dan membacakan sajak-sajaknya dalam The 1st International Poetry Gathering di Medan.
KARYA:

a. Puisi
1. Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984),
2. Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), 3. Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996),
4. Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996).
5. Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004)
6. The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005

b. Cerpen
1. Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),
2. Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004),
3. Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004),

Buku-buku barunya yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Karya-karya dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net.

Hadiah dan Penghargaan

Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
READ MORE - Ahmadun Yosi Herfanda

Agus R. Sarjono

sastrawanPenyair, cerpenis, dan esais ini lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya UI untuk S-2-nya.
Semasa mahasiswa ia aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989). Agus R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Puisi-puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri. Dr. Heike Gäßler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R. Sarjono tidak saja menciptakan gambar/ imaji melainkan juga membangunkan elemen-elemen dan figur-figur dalam puisinya agar hidup.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis.” Selain mengikuti workshop puisi seperti Asean Writers’ Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Pria beranak dua ini pernah diundang membacakan sajak-sajaknya di beberapa festival internasional, seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta (1995), Festival Seni Ipoh ke-III di Negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung (2002).
Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di berbagai kegiatan sastra, antara lain: “Mimbar Penyair Abad 21?, di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997?, di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I”, di Johor Bahru (1999).
Selain menjadi editor sejumlah buku, antara lain: Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapita Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999); Dari Fansuri ke Handayani (2001); dan Horison Sastra Indonesia (2002); Horison Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity (2006); Agus R. Sarjono juga menulis beberapa cerita pendek.
Sejak Februari hingga Oktober 2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai writer in residence atas undangan Poets of All Nations serta peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden.
Agus adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pengajar pada Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta menjadi redaktur Majalah Sastra Horison.
Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang berdiskusi dan membacakan puisi-puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat-pusat kesenian di Jerman. Sejak 6 tahun yang lalu ia adalah salah seorang instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Salah satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003. Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain: Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001), dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Adapun karya dramanya terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004). Puisi-puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila (Filipina), Seoul (Korea Selatan), Bremen dan Berlin (Jerman). Selain itu, diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.
KARYA:

a. sajak
1. Kenduri Air Mata (1994; 1996);
2. A Story from the Land of the Wind (1999, 2001); dan
3. Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; 2003).

b. Puisi
1. Frische Knöckhen aus Banyuwangi (dalam bahasa Jerman, 2002),
2. Diterbangkan Kata-kata (antologi puisi, 2006).
3. "Kepada Urania" (terjemahan karya Joseph Brodsky, 1998) dan
4."Impian Kecemburuan" (terjemahan karya Seamus Heaney, 1998). Bersama Berthold Damshauser, ia menjadi editor Seri Puisi Jerman dan menerjemahkan beberapa puisi, antara lain: Zaman Buruk bagi Puisi, Berthold Brecht (2004); Candu dan Ingatan, Paul Celan (2005); Satu dan Segalanya, Johann Wolfgang von Goethe (2007).
READ MORE - Agus R. Sarjono

Adinegoro

sastrawanAdinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance journalist) pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana , hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
KARYA:

a. Novel
1. Darah Muda. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1931
2. Asmara Jaya. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1932.
3. Melawat ke Barat. Jakarta: Balai Pustaka. 1950.

b. Cerita pendek
1. “Bayati es Kopyor”. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.
2. “Etsuko”. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
3. “Lukisan Rumah Kami”. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17—18.
4. “Nyanyian Bulan April”. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31—32.
READ MORE - Adinegoro

Achdiat Karta Miharja

Achdiat Karta Miharja Achdiat Karta Miharja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa Barat. Achdiat rnenikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Ia memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) di kota Bandung dan tamat tahun 1925. Ia masuk ke AMS (sekolah Belanda setara SMA), bagian Sastra dan Kebudayaan Timur, di kota Solo tahun 1932. Lalu, melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di kota Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen Filsafat. Tahun 1956, dalam rangka Colombo Plan, Achdiat men¬dapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris, serta karang me¬ngarang di Australia.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Tamat dari AMS, Achdiat sempat mengajar di Perguruan Nasio¬nal, Taman Siswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 Ia beralih kerja menjadi anggota redaksi Bintang Ti¬mur dan redaktur mingguan Paninjauan. Tahun 1941 Ia menjadi redak¬tur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjemah di bagian siaran, radio Jakarta. Tahun 1946 ia me¬mimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan pe¬nyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 Ia kembali bekerja sebagai re¬daktur Balai Pustaka. Tahun 1949 Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping seba¬gai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Pada tahun 1951--1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Nas¬kah dan Majalah Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK.
Pada tahun 1951 Achdiat juga menjadi wakil ketua Organisasi Pe¬ngarang Indonesia (OPI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Ke¬budayaan Nasional (BMKN). Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indo¬nesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indo¬nesia. Tahun 1954 Achdiat menjabat ketua bagian
naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk ke¬susastraan. Tahun 1959--1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun 196 1—1969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU) Canberra.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Achdiat tertarik pada sastra berawal dari rumahnya sendiri, ketika ia masih kecil, masih di SD. Ayahnya adalah seorang penggemar sastra, terutama sastra dunia. Ayahnya sering menceritakan kembali karya-karya yang telah dibacanya kepada Achdiat. Lama-kelamaan, Achdiat kecil pun menjadi gemar juga membaca buku-buku koleksi ayahnya itu. Ia pun ikut melahap buku-buku sastra ayahnya itu. Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot dan Genoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika kelas VI SD.
Hasilnya adalah tulisan-tulisan Achdiat yang lahir di kemudian hari, baik itu yang berupa kar¬ya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia. Banyak pakar sastra yang membicarakan novelnya itu, antara lain, Ajip Rosidi, Boen S. Oemarjati, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.
KARYA:

a. Cerpen
(1) Kesan dan Kenangan (kump. cerpen). 1960. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) Keretakan dan Ketegangan (kump. cerpen).1956. Jakarta: Balai Pustaka.
(3) Belitan Nasib (kump. cerpen). 1975. Singapura: Pustaka Nasional.
(4) Pembunuh dan Anjing Hitam (kump. cerpen). Jakarta: Balai Pustaka
(5) “Pak Sarkam”. Poedjangga Baroe. No.5, Th. 13, 1951.
(6) “Buku Tuan X”. Poedjangga Baroe. No.7,8, Th. 4, 1953.
(7) “Salim, Norma, Sophie”. Prosa. No.2, Th. 1, 1953.
(8) “Sutedjo dan Rukmini”. Indonesia. No. 8,9, Th. 4, 1953.
(9) “Bekas Wartawan Sudirun”. Indonesia. Th. 4, 1953.
(10) “Si Ayah Menyusul”. Konfrontasi. No. 18, 1957.
(11) “Si Pemabok”.Varia. No. 104, Th. 3. 1960.
(12) “Latihan Melukis”. Budaya Jaya. No. 47, Th. 5. 1972.

b. Puisi
(1) “Pemuda Indonesia”. Gelombang Zaman, 2.1, (45), 2.
(2) “Bagai Melati”. Gelombang Zaman, 7.1(46), 2.
(3) “Bunga Bangsa”. Gelombang Zaman, 13.1 (46), 2.
(4) “O, Pudjangga”. Gelombang Zaman, 35.1, (46), 10.

c. Novel
(1) Atheis. 1949. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) Debu Cinta Bertebaran. 1973. Malaysia: Pena Mas.

d. Drama
(1) Bentrokan dalam Asmara. 1952. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) ‘Pak Dulah in Extremis”. Indonesia. No. 5, Tb. 10. 1959.
(3) “Keluarga R. Sastro” (drama satu babak). Indonesia. No. 8. Th.5. 1959.

e. Esai, antara lain
(1) Polemik Kebudayaan. 1948. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) “Ada Sifat Tuhan dalam Diri Kita”. Pikiran Rakyat 28 Juni 1991.
(3) “Pengaruh Kebudayaan Feodal”. Sikap. Tb. ke-1, 13/X, 1948.
(4) “Bercakap-cakap dengan Jef Last”. Kebudayaan 10 Agustus 1950.
READ MORE - Achdiat Karta Miharja

Acep Zam Zam Noor

Acep Zam Zam NoorAcep Zam Zam Noor, seorang penyair yang lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren Cipasung. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren, mau tidak mau nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa. Cipasung adalah sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penyair kelahiran Cipasung, Tasikmalaya. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa islami yang kental.

Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa. Beberapa puisinya, bahkan ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok pesantren Cipasung pula, Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.
Ayah Acep Zam Zam Noor adalah seorang seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal di Pondok Pesantren Cipasung. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya..Dia lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Sejak lahir tanggal 28 Februari 1960, Acep kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok pesantren.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Ketika duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Awalnya, dia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Seiring berjalannya waktu, Acep menulis puisi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus menggeliat. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Acep kemudian melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bertambah semangat untuk menulis. Atmosfir berkesenian yang ada dalam dirinya makin menggelora. Acep, bukan saja menulis puisi, melainkan juga melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub-klub diskusi kesenian.

Setelah menamatkan kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1980—1987), Acep tetap konsisten pada dunia berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas per Stranieri, Perugia, Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.
Di sela-sela kesibukan menulis puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Asep juga sibuk membimbing penulis-penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.

Kegiatan lainnya selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga pernah menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta dan pada tahun yang sama pula ke Kuala Lumpur dalam acara Southeast Asian Writers Meet. Tahun 2002, Acep mengikuti Festival Puisi Internasional di Makassar dan tahun 2004 dengan kegiatan yang sama, ia terbang ke Den Haag, Belanda.

KARYA:
1. Tamparlah Muka (1982),
2. Aku Kini Doa (1986),
3. Kasidah Sunyi (1989),
4. Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993),
5. Dari Kota Hujan (1996),
6. Di Luar Kota (1996),
7. Di Atas Umbria (1999),
8. Dongeng dari Negeri Sembako (2001),
9. Jalan Menuju Rumahku (2004).

Selain kumpulan buku puisi yang telah diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra dan jurnal. Mulai dari majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, sampai dengan Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia) dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi, seperti:
1. Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987),
2. Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994),
3. Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995),
4. Takbir Para Penyair (Festival Istiqal, 1995),
5. Negeri Bayang-Bayang (Festival Surabaya, 1996),
6. Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996),
7. Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Kalam, 1998),
8. Angkatan 2000 (Gramedia, 2001),
9. Dari fansuri ke Handayani (Horison, 2001),
10. Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), dan
11. Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004).

Selain karya puisi yang dibuat bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga membuat puisi-puisi cinta yang romantis. Buku puisinya yang berjudul Menjadi Penyair lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007), boleh dianggap mewakili tren “puisi romantis”.
Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 menampung puisi lama (1978—1989) yang kata Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi-puisi barunya (1990—2006) Karena kepiawaiannya juga, karya puisi Acep Zam Zam Noor telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), serta diterjemahjan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda serta telah dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi-puisi Sundanya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001), dan ke dala, bahasa Perancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).
Di samping menulis puisi, Acep Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif ikut dalam pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri, seperti ke Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.

Penghargaan
Karena dedikasi dan prestasinya dalam kegiatan menulis puisi, Acep Zam Zam Noor, pernah mendapat hadiah atau penghargaan sastra. Antara lain, Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993.
Tahun 1994, nominator hadiah Rancange untuk Dayeuh Matapoe. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional untuk karya Di Luar Kata tahun 2001. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu dan The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu.

Sumber: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/?q=indeks_tokoh
READ MORE - Acep Zam Zam Noor

Abdul Muis (1883—1959)

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang-orang Minangkabau Iainnya, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Puiau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.

Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan mi meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung, sehari kemudian. Ia meninggalkan dua orang istri dan tiga belas orang anak (lihat Mimbar Indonesia, No.24-25, 18 Juni 1959; Suluh Indonesia. No~211, l9Juni 1959; dan HarianAbadi, No.132, l9Juni 1959).
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Abdul Muis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia sempat pergi ke Negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda sendiri (Mimbar Indonesia. No.24-25, 19 Juni 1959). Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia. menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai kierk. Konon, Abdul Muislah orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.

Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tersebut ternyata tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hal itu tentu saja membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 Ia keluar dan Departemen itu setelah dijalaninya selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-- 1905).

Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Hanya dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector(korektor kepala) karena kemampuan berbahasa Belandanya yang baik (Mimbar Indonesia. No.24-25, 119 Juni 1959).

Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu pula, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara (Mimbar Indonesia, No.24-25, 19 Juni 959).

Di zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis terus berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke Negeri Belanda untuk mem-propagandakan comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan Negeri Belanda, bdul Muis terpaksa harus pindah kerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 itu juga, Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).

Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh-tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah, Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pun memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat (Biodata “Abdul Muis” yang tersimpan di Perpustakaan PDS H.B. Jassin). Protes tersebut berhasil. Dan, landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.

Oleh pemerintah Belanda, tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dan daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak diperkenankan meninggalkan Pulau Jawa.

Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Sayang, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.

Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Oleh Serikat Islam ia pada tahun 1926 dicalonkan (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Anehnya, pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama: A.M. ia menulis hanyak hal. salah satu di antananya adalah roman sejarahnya. Surapati. Konon. sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ pada Kaum Muda.

Sebagai sastrawan, Abdul Muis tergolong kurang produktif. Menurut catatan yang ada, ia hanya menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan saja. Namun, dari karyanya yang hanya sedikit itu, nama Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Konon, karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar penganang selalu menyajikan tema-tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan justru menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
KARYA:

(1) Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan dan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
(2) Sebatang Kara (terjemahan dan karya Hector Malot, Perancis), cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
(3) Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
(4) Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
(5) Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
(6) Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
(7) Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
(8) Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
(9) Pertemuan Djodoh (cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
(10) Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
(11) Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
(12) Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (Terjemahan dan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
(13) Don Kisot (terjemahaiun dan karya Cervantes, Spanyol)
(14) Pangeran Kornel (terjemahan dan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
(15) Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.
READ MORE - Abdul Muis (1883—1959)