Kamar Mandi

Cerpen Yetti A KA
Dimuat di Jurnal Nasional (04/19/2009)

Saya rebahkan badan di lantai kamar mandi, telentang menghadap pagu. Rambut saya terserak di lantai, mirip tumpukan kain pel. Saya rentangkan kedua lengan, membentuk garis horizontal, lalu dua kaki saya merapat, jadilah saya sebuah pesawat terbang mainan. Benda belaka. Tentu enak menjadi benda, ia tidak punya emosi. Ia mati. Namun saya benda yang tidak mati. Saya terlihat memprihatinkan, bukan? Saya...ah, entah. Saya kurang yakin apa motif saya. Yang saya tahu saya sedang kesal padanya dan saya lepas kendali.

Sejujurnya, saya berada di kamar mandi ini saja, sudah membuat saya ragu, apa memang sudah seharusnya saya berlari ke kamar mandi seakan ada yang memporandakan kehidupan saya, padahal yang terjadi tadi cuma soal remeh temeh, dan selama ini saya tidak terganggu sedemikian rupa, apalagi sampai membanting pintu segala seraya merutuk, “Brengsek!”, kecuali beberapa kali, dapat dihitung dengan jari, ketika saya sedang hamil besar, dan itu dapat saja dipahami sebagai luapan dari kondisi psikis yang sedikit terguncang karena saya yang senang jalan-jalan keluar kota menjadi tidak bisa ke mana-mana selain olah raga pagi dan mengikuti kelas prenatal di sebuah sanggar, berjarak seratus meter dari rumah. Kali itupun selalu kami akhiri dengan sangat romantis. Saya ingat betul, dia menggedor-gedor pintu kamar mandi dan memanggil nama saya berkali-kali. Ia cemaskan keadaan saya (atau bayi kami?). Selang beberapa waktu, saya pun membukakan pintu, dan ia langsung merenggut tubuh saya yang sudah basah, ia peluk saya erat sekali, dan berkata, “Sayangku, Sayangku.” Saya tidak kuasa menahan gejolak perasaan dari kejadian yang amat dramatis itu. Tubuh saya berdenyut-denyut. Saya mau pingsan, rasanya. Di kedua lengannya saya menumpangkan kehidupan saya saat itu. Saya percaya ia pasti menjaga saya, sebagaimana ia meyakinkan saya bahwa ia tidak pernah bisa melihat saya terluka.

Tempat saya sekarang ini, kamar mandi yang sama, tanpa ada yang berubah. Bahkan aroma sabun yang menguar dari kotak itu masih sama. Juga sabun cuci atau pembersih porselen. Semua bercampur, bau khas kamar mandi, segar. Karena itu saya suka tempat ini. Terlebih bila saya marah atau tersinggung atau kecewa. Bau itu membantu perasaan saya sedikit lebih tenang. Semacam aromaterapi yang mengendurkan pikiran. Kemudian yang saya harapkan tentu saja dia akan memanggil nama saya, berkali-kali, menunjukkan tingkat kecemasan di titik tertentu, sampai ia membukakan pintu, dan kami kembali mengulangi drama sepasang kekasih yang mengharukan. Kami berbaikan, lagi-lagi membuat janji sederhana bahwa kami akan saling menjaga, saling memberi tempat sebesar-besarnya satu sama lain supaya kami merasa tidak tersisih di antara sekian kesibukan. Terutama akhir pekan. Kami sepakat melewatinya tanpa diganggu urusan kerja sama sekali. Bahkan kami mematikan HP di hari libur itu. Berjaga-jaga dari gangguan tidak terduga.

Tapi kini ia belum juga mengetuk pintu dan memanggil nama saya, padahal saya masih yakin ia mencintai saya. Keyakinan yang sama persis saat kami kencan dan mulai membincangkan harapan-harapan ke depan, termasuk ingin punya tujuh anak dalam lima belas tahun perkawinan, lelaki semua. Tujuh anak lelaki. Bayangkan betapa penuhnya rumah kami. Mereka berlari kian kemari. Membuat berantakan ruang tamu dan memecahkan keramik kesayangan saya. Saya tidak peduli tentang keramik itu. Terserah mau pecah semua. Saya mau mereka menganggap rumah sebagai tempat bermain yang menyenangkan, bebas dari aturan-aturan yang membatasi ekspresi mereka.

“Kamu mencengangkan,” dia berkomentar.

“Karena aku sudah membayangkan jadi seorang ibu,” balas saya saat itu.

“Hanya itu?” kejarnya.

“Karena aku dicintai dan itu membuatku bisa berpikir berbeda,” tambah saya.

Dan mungkinkah ia berubah saat kami baru punya satu anak lelaki, dan saya tidak menyadarinya sama sekali. Ada perempuan lain? Gadis muda?

Jika sekadar itu saya dapat saja memaklumi. Kakek saya pernah selingkuh dengan tetangga yang hanya berjarak tiga rumah. Ayah saya juga pernah memajang foto perempuan lain di meja kerjanya, perempun yang tidak lebih cantik dari ibu tapi dapat membuat ayah menyingkirkan ibu beberapa waktu lamanya. Paman saya membawa lari seorang janda seksi beranak satu selama sebulan lebih. Di balik kejadian itu, nenek saya mampu bertahan dari gunjingan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga kakek yang menyalahkan nenek karena tidak pandai menjaga suami. Ibu saya, awalnya memang sering menangis, bermalam-malam, terpuruk, merasa tidak berharga, sangat marah karena merasa ia mendapat karma dari kesalahan seorang ayah, setelah itu ia biasa-biasa saja, malah bisa bangkit dari keadaan buruk itu. Bibi saya masih membukakan pintu ketika paman kembali padanya membawa lima kotak dodol garut dan setoples gula-gula, kebiasaan dalam keluarga besar kami bila seseorang baru pulang dari bepergian jauh, biasanya dari Jawa, tanpa permintaan maaf atau setidaknya menunjukkan rasa malu.

Benarkah ada perempuan lain dalam rumah saya. Uhh! Apa matanya sebagus mata kelinci. Sungguh manis. Sungguh lucu. Perempuan itu mungkin pernah datang ke rumah ketika saya sedang bermalam di rumah orang tua saya. Dia memakai kamar mandi saya, mencuci rambutnya yang ikal (saya tahu suami saya selalu suka perempuan berambut ikal). Bisa jadi ia juga menghabiskan shampo dan sabun mandi saya. Menggunakan gunting saya untuk memotong poni atau ujung rambutnya yang mulai bercabang. Memakai gunting kuku saya untuk membersihkan kuku kakinya. Atau juga memakai pisau cukur saya untuk merapikan alisnya. Lalu ia bercermin dan berdandan di depan lemari rias saya. Suami saya dan perempuan itu saling menatap lewat cermin. Suami saya memeluknya dari belakang dan mereka cekikikan sepanjang hari. Tawa mereka lalu merambat ke dinding-dinding yang dingin. Berhari-hari, sebelum menguap, menjadi bagian dari udara yang saya hirup ketika saya kembali ke rumah, masuk ke paru-paru saya, menggerogoti hidup saya, pelan-pelan.

Kurang ajar! Saya jengah memikirkan itu. Bukan karena cemburu, tapi sangat menyebalkan jika membayangkan seseorang lain, perempuan pula, memakai kamar mandi pribadi saya, sebab di sanalah satu-satunya tempat yang saya yakini bebas dari campur tangan orang lain, di mana seringkali saya bertanya tentang diri, tentang begitu banyak keinginan yang ingin saya raih di waktu yang akan datang atau sesekali tempat saya membayangkan sejumlah mantan pacar yang bahkan masih bisa saya rasakan napas mereka yang hangat di balik telinga. Saya menuntut pada bayangan mantan pacar itu untuk terus membiarkan saya berada dalam hidupnya. Saya tidak mau buru-buru disingkirkan atau dibuang lewat jendela pada tengah malam gulita disertai kata-kata melankolis, “Tolong, pergilah dari hidup saya!” Saya ingin di hati mereka. Selama mungkin. Dan saya merasa tidak berbuat jahat karena itu.

“Saya tidak bisa melakukan itu,” kata suami saya suatu pagi sambil mengunyah sekeping biskuit rasa kacang. Ia kurang bersemangat mendengar cerita soal mantan pacar saya. Wajah bulatnya sedikit merah dan terkesan lebih kencang, seperti menahan marah.

Saya tertawa nakal, “Kamu cemburu?”

Ia melotot sejenak, mengangkat bahu sambil memasukkan lagi satu gigitan biskuit ke mulutnya.

Tentu ia tidak terlalu berminat atas apa yang saya lakukan dalam cerita saya itu. Setidaknya bagi dia atau kebanyakan lelaki lebih baik mengajak kencan perempuan yang baru dikenalnya di taman saat lari pagi ketimbang mengingat-ingat sejumlah mantan pacar menjelang tidur malam. Saya berani bertaruh tentang itu.

Suami saya menyeringai. Sedikit menakutkan. Lalu ia berujar, Aku cinta padamu. Ungkapan yang terdengar posesif. Saya bilang, Kau kurang tulus kali ini. Aku rindu kau yang dulu.

Ia tercengang. Sejenak kami sama-sama kikuk. Ia menggigit lagi biskuit kegemarannya. Terdengar napasnya agak kacau. Dia meninggalkan saya. Katanya, ia ada urusan dengan teman. Kenapa mendadak, saya mencecarnya. Kau menyebalkan pagi ini, akhirnya ia mau terbuka. Saya balas, Kau juga sudah berubah. Kau sekarang bukan lagi lelaki humoris dan hangat. Dia berteriak, Terserah. Saya balas berteriak, Dasar penipu. Dia menutup pintu pagar keras-keras. Saya berlari ke kamar mandi. Beberapa menit lamanya. Setelah itu ia kembali. Mengeluarkan saya dan mengaku salah karena bersikap tidak menyenangkan pagi itu. Saya memberinya kesempatan. Kami tertawa. Melanjutkan sarapan yang sempat terganggu.

Benarkah kini kami telah begitu jauh meninggalkan diri kami yang dulu; hubungan yang sederhana, mengalir, selalu banyak tawa. Saling mengerti dan berusaha tidak saling menyakiti. Saya ingat ia amat manis, semua yang ada dalam dirinya.

Ah, sudah sepuluh menit saya di kamar mandi ini, entah kenapa, pelan-pelan saya rapuh dan merasa tidak lebih dari gelas tipis yang dibeli dari tawaran diskon besar-besaran di sebuah pusat perbelanjaan, gelas yang sangat mudah pecah! Lima belas menit, saya mulai dirayapi kesepian yang dalam. Dua puluh menit, saya mulai mengeluarkan kemarahan dengan kata-kata kurang senonoh dan untungnya cukup saya dengar sendiri. Dua puluh lima menit, tetap tidak ada yang mengetuk pintu dan bertanya, “Kau baik-baik saja, Sayangku?”

Saya tahu ia masih di sana, di ruang tengah tempat biasa kami berkumpul, hanya sepuluh langkah orang dewasa dari kamar mandi di mana saya sekarang berada. Ia bercengkerama, tentunya, dengan bayi kami yang berumur dua puluh empat bulan. Tawanya cempreng. Sekali dua kali. Saya bertanya-tanya, kenapa ia tidak buru-buru menyadari ada satu tempat kosong di sana, lalu ia segera ingat saya, dan mengeluarkan saya dari tubuh pesawat terbang mainan ini, kemudian kami memulai hubungan yang baru, lebih dalam dan lekat. Banyak orang mengatakan setelah pertengkaran merupakan momen paling bagus untuk membuat hubungan semakin hangat jika kita mampu mengambil peluang itu.

Hanya saja bukankah kami tidak benar-benar bertengkar. Tiba-tiba saya tidak enak hati dan mengurung diri di kamar mandi ini. Jangan-jangan ia sama sekali tidak menyadari kalau saya ada dalam kamar mandi dengan kondisi yang menyedihkan. Karena itu saya begitu yakin peluang itu tidak mungkin kami dapatkan. Terlepas begitu saja. Belakangan ia kurang sensitif, sedikit acuh, sibuk sendiri. Saya melemaskan tubuh saya. Entah kenapa saya mulai berpikir untuk melayang ke tempat lebih tinggi, seperti orang yang frustasi saya ingin melepaskan diri dari kengerian masa depan saya bersama lelaki itu.

Saya berdiri, keluar dari tubuh pesawat terbang mainan. Saya perhatikan gunting yang tergantung dekat tissue. Saya mengambilnya. Kemudian gunting itu saya arahkan ke rambut saya yang sepinggang. Tidak cukup satu menit, lebih dari setengah rambut saya sudah jatuh ke lantai. Mendadak tubuh saya lebih ringan. Setelah itu saya memotong rambut yang tersisa di kepala saya dengan cara membabi buta. Saya melihat diri saya lewat cermin. Dalam cermin itu saya melihat wajah saya yang dungu. Saya geram. Mata saya tertuju pada botol pembersih lantai merk tertentu. Saya mengambil botol itu dan membuka tutupnya. Aroma lavender segera menyengat hidung saya. Saya memejamkan mata. Lagi-lagi saya dengar dia tertawa. Mereka seakan asyik sekali. Bahagia. Sementara saya semakin sepi. Semakin merasa ditinggalkan.

Saya perhatikan lagi botol pembersih lantai itu lekat-lekat sembari membayangkan terbang di keharumannya yang damai. Dengan mata nyalang saya mengangkat botol itu hingga dalam sekejap seluruh isinya sudah berpindah ke perut saya. Setelah itu usus saya serasa terbakar dan berantakan.

Sampai kapan ia menyadari kalau ada tempat kosong di kehidupan mereka, lalu buru-buru ingat saya, mencari saya ke mana-mana, termasuk ke dalam kamar mandi sebelum saya benar-benar melayang ke tempat lebih tinggi. Atau ia betul-betul akan membiarkan saya pergi, menganggap saya sesuatu yang tidak berguna lagi dalam kehidupannya.
***

“Morin…”

“Aku di mana?”

“Kamu di rumah sakit.” Dia menempelkan tangan saya ke dadanya, “Jangan pergi dariku...” Lelaki itu menangis. Ia tampak terpukul.

“Aku mimpi buruk,” kata saya.

“Itu sudah berlalu.”

“Maafkan aku. Aku bingung sekali.”

Dia mengusap pipi saya, berkata, “Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa.”

“Aku bahkan tidak tahu kenapa begitu kalut seolah-olah aku menjadi

orang lain dan aku tidak bisa mengendalikannya.”

“Sayangku, sungguh, kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa.” Dia mengecup pipi saya, dan berbisik, “Tidurlah. Aku akan menjagamu.” ***
Jalan Enam Mei, Oktober 2008
READ MORE - Kamar Mandi

Kanal

Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
Dimuat di Jawa Pos (04/26/2009)

Menelusuri jalan-jalan di Universitas Amsterdam, Nunung merasa sangat tidak nyaman (dia baru tiga bulan di sini untuk mengambil S2 atas biaya dari negeri ini).

Nunung sibuk menutupi rambutnya dengan penutup kepala jaketnya, agar bisa mengurangi hawa dingin. Tiba-tiba Bryan berkata, ''Rambut orang Asia itu bagus ya.''

Nunung menatap wajah Bryan. Negeri ini mungkin penuh basa-basi. Dia tak mau jauh berpikir. Melihat ke arah lain, beberapa mahasiswa berseliweran dengan tas ransel di pundak. Bryan mengulangi ucapannya, ''Rambut orang Asia memang bagus. Aku kepingin melukis rambutmu, Nyonya.''

Nunung tersenyum. Lelaki itu bermata cokelat! Selama di kampus, mereka memang sering jalan bareng ke ruang kuliah, perpustakaan, dan kantin. Juga ketika mereka menelusuri kanal-kanal.

''Setelah tiga bulan di sini, aku belum tahu siapa kamu sebenarnya! Kecuali teman sekuliah dan kebetulan apartemen kita berdekatan.''

''Kalau begitu aku yang tahu tentang kamu. Penduduk negerimu 227 juta dan sebagian besar muslim. Begitu plural bangsamu, dari yang bisa belajar di sini sampai mereka yang tetap bertahan hidup di pedalaman Kalimantan atau Papua. Sedangkan di sini hampir seragam kehidupannya. Negerimu merupakan sebuah antropologi sejarah manusia yang sangat tua. Almarhum opaku pernah ke sana, tapi percayalah, dia tidak pernah menembak siapa pun. Karena dia bukan militer tetapi seorang pegawai di pabrik gula. Aku pernah menemukan foto perempuan Jawa yang cantik di lemari buku opa. Aneh, dia mirip kamu!''

''Menurutmu, siapa dia?''

''Cerita Mamie, dia adalah Ningsih Wulandari, teman opa bermain tenis, anak amtenar dari pabrik gula. Aku menduga ada hubungan khusus di antara mereka.''

Nunung tersenyum. Dia kembali melihat mata cokelat itu. Selama tiga bulan di sini, dia tidak begitu dekat dengan teman-teman bulenya. Pada hari libur, Nunung lebih suka bermain dengan mahasiswa Indonesia, atau dengan mahasiswa Malaysia yang berbahasa Melayu. Padahal mentornya bilang, ''Kau bisa belajar banyak dari orang-orang yang begitu plural di kampus ini. Sedangkan orang Indonesia paling suka bergerombol. Cobalah bergaul dengan komunitas lain.''

Nunung memandang Bryan. ''Aku melihat bangsamu dengan semangat individu, kerja keras, dan teratur. Buat apa?''

Bryan tersenyum. ''Aku juga mendengar, orang Bali suka gamelan dan menari.''

Nunung merasa ada kenaifan dalam kata-kata Bryan. ''Bryan, yang kamu sebut-sebut itu hanyalah the small part of Indonesia. Indonesia bukan hanya Bali.''

Bryan mengeryitkan hidungnya. Nunung tidak suka dengan sikap itu. ''Maaf, aku kira yang terkenal cuma Bali.''

Nunung mengatakan, ''Kau tahu, negeriku sangat cantik dan luasnya hampir sedataran Eropa. Kau harus melihat itu, suatu hari nanti.''

''Nunung, kamu tahu, aku bukan orang kaya. Aku baru bisa mengagendakan itu untuk tiga-empat tahun mendatang. Setelah selesai kuliah, aku akan mengajar di Cape Town, sebuah kota di Afrika. Kemudian baru bisa melihat negerimu, Nyonya.''

Nunung terdiam. Lelaki itu pasti tidak sama dengan lelaki di negerinya, khususnya dengan si Mas. Dan, seharusnya si Mas tidak perlu khawatir, karena Nunung mencintai dan tetap akan mencintai Masnya beserta bayi perempuannya yang masih berusia 10 bulan.

Nunung harus berhenti berpikir karena kini sudah sampai di ruang kuliah. Yang harus dia pikirkan adalah tugas-tugasnya yang banyak. Sungguh, dia tak mau kalah dengan Bryan atau bule lain. Karena itu, dia berjuang keras dengan belajar sampai larut malam.

Tiba-tiba, Mas menelepon dan mengatakan kekhawatirannya. ''Apakah betul di sana ada kelompok anti-Islam? Kabar itu menakutkan.'' Nunung bilang, sejauh ini dia baik-baik saja dan sedang sibuk menyesuaikan diri dengan udara musim dingin di Amsterdam. Ia menceritakan bagaimana dirinya takjub melihat salju pertama yang turun di jendela apartemennya.

Mas tertawa mendengar ucapan Nunung.

Masih di depan layar komputer, Nunung merasa capek. Dia heran pada kehidupan bule di sini. Yah, dengan kehidupan mereka yang terjadwal dan rumah-rumah jompo bagi orang tua, satu hal yang aneh bagi Nunung. Padahal, Eyang tinggal serumah dengan orang tuanya sampai beliau meninggal. Nunung ingat ucapan Eyangnya, ''Papamu kalau kerja ngotot kayak landa. Padahal anaknya cuma dua, sedangkan anakku sepuluh. Eyang Kakung masih punya waktu untuk ngobrol bersama anak-anaknya. Tanyakan hal itu kepada Mamamu. Dia lebih sering melihat bapaknya daripada kamu melihat Papamu. Jangan seperti itu ya Nduk, kalau nanti menjadi ibu.''

Nunung menggangguk hikmat. Dia tidak ingin seperti masa kecilnya, karena kesibukan Papa-Mamanya di luar rumah, dia jarang bertemu! Namun, hari ini dia meninggalkan suami dan anaknya. Mama bilang, ''Ini kesempatan bagus dan tidak datang dua kali. Mama bersedia merawat bayimu, karena jabatan Mama sebagai dekan sudah selesai. Sebagai dosen biasa, Mama masih punya waktu.''

***

Jam dua malam, Nunung masih mengerjakan makalah. Nunung mulai berpikir, apakah dia sudah seperti bule-bule itu ya! Tiba-tiba pikiran Nunung ke Bryan lagi. Bagaimana kalau dia menjadi seorang suami. Sebaik-baik si Mas, dia tidak pernah ingin belajar memasak. Tapi Bryan, ''Sejak kecil aku sudah membantu Mamie memasak.''

Nunung baru ingat kalau Sabtu depan Bryan mengundang dia ke rumah kakaknya, Susan, yang menikah dengan seorang muslim. Nunung menanyakan, apakah Susan juga ikut menjadi muslim, Bryan menggelengkan kepala. ''Susan tidak menganut salah satu agama. Tapi dia membiarkan kedua anaknya dididik secara muslim oleh Papienya."

Seperti kebanyakan ibu rumah tangga, Susan mengerjakan semua dengan baik sekalipun tanpa pembantu. ''Anak-anakku belajar agama di masjid yang tidak jauh dari rumah kami.'' Sebelum Nunung sempat bertanya, Susan meneruskan omongannya, ''Buatku semua agama itu baik. Suamiku memahami, kami adalah individu yang tidak akan menjadi orang lain, sekalipun terikat pada pernikahan.''

''Suamiku juga memberi kebebasan sebagai individu. Tidak semua perempuan di negeriku mendapat dukungan dari suaminya sepertiku. Namun, sepulang mengajar, aku tetap menyiapkan makanan untuk suamiku. Kalau aku lelah, suamiku yang menyiapkan makan, mencuci piring dan mendongeng untuk anak-anak,'' kata Susan telak.

Nunung tercenung. Dia tidak bisa membayangkan Masnya mau melakukan hal itu. Kalau dia melakukan itu, Mama (yang mantan dekan itu) pasti menasehatinya, ''Kalau dilihat oleh orang lain, saru, Nduk. Apalagi kalau dilihat mertua dan ipar-iparmu.''

''Aku sendiri tidak pernah melakukan yang tidak pantas menurut tradisi kita. Aku suka melakukan itu dan tidak pernah merasa terjajah oleh Papamu,'' sambungnya.

Malam itu, keluarga Susan banyak bertanya tentang Indonesia. Sebetulnya Nunung sedikit tertekan ketika Susan dan Robert, suaminya, bertanya tentang korupsi, hukum yang lemah, yang seolah berpihak kepada para pejabat. Nunung bilang dengan sungguh-sungguh, ''Itu politik, sebagian rakyat Indonesia menjadi korban dari sistem politik itu. Di sisi lain, apakah kalian bisa bayangkan, kalau ada orang sakit atau meninggal, berpuluh-puluh orang akan larut dalam kesedihan itu. Waktu Eyang meninggal, berpuluh-puluh orang ikut mendoakan selama seminggu berturut-turut. Dan, mereka tidak dibayar!''

Pulang dari rumah Susan, Bryan berkata, ''Kau pasti tertekan atau mungkin tersinggung mendengar ucapan mereka. Tapi kau harus tahu, itu tanpa maksud apa pun. Cuma rasa ingin tahu yang berlebihan.''

Nunung diam saja. Malam itu dia merindukan Masnya, bayinya, Mama dan teman-teman dekatnya yang mungkin pada saat ini berkumpul di salah satu rumah mereka, ngopi dan ngobrol.

Bryan berbicara lagi. ''Nunung masih mau menerima tawaranku kan? Kita pergi ke sebuah danau, aku ingin melukismu di sana. Maaf, aku sudah membikin sketsanya. Aku melihat kau seperti Ningsih Wulandari, perempuan Jawa yang cantik itu.''

Nunung merasa pipinya menjadi merah. (Masnya tidak pernah memujinya seperti itu).

''Aku ingin sekali belajar dan mengenal bangsamu Bryan. Tapi aku tidak suka dengan pendapat orang. Aku harus mencarinya sendiri, tentang kau, dan bangsamu.''

''Nunung, aku tahu kau menganggap bangsaku narsis. Secara politik mungkin ya, tapi secara individu, kami butuh teman juga. Apalagi kalau bicara tentang Bali. Kami selalu ingin melihat tarian adat dan dewa-dewi mereka. Rasanya eksotis sekali. Sungguh kami tak habis pikir, bagaimana mereka dengan ikhlas memakai uangnya selama mereka hidup untuk ritual keagamaan. Dan, aku sebetulnya surprais sekali karena sebagai seorang nyonya, tanpa didampingi suami, kau berada di negeri ini. Aku sering membaca, perempuan-perempuan muslim sepanjang hidupnya cuma ada di seputar rumah tangganya, tidak ke mana-mana, kalau tidak didampingi sang suami.''

Nunung tertawa. ''Kalau di negeriku, kau bisa melihat kemandirian kami sampai di desa-desa. Bahkan, beberapa perempuan di desa secara kejiwaan lebih mandiri, karena mereka ikut menopang ekonomi keluarga, dan tetap menganggap suaminya sebagai kepala keluarga.''

''Aneh,'' seru Bryan

Nunung, merasa perlu bercerita banyak sekali tentang Indonesia kepada Bryan. Di setiap kesempatan, Nunung juga bercerita tentang orang tuanya, bayinya, dan kakak perempuannya yang insinyur memilih jadi ibu rumah tangga ketika menikah, dan ikut suaminya yang dokter ke pedalaman Papua.

Bryan, tidak pernah kehilangan minatnya mendengarkan cerita Nunung. Sehingga setiap liburan, sambil menemani Bryan melukis, Nunung bercerita tentang Indonesia, keluarga, dan teman-temannya!

***

Bryan dan Nunung sampai sejauh ini hanya sebatas senang ngobrol bersama. Nunung tahu, dia tidak boleh jatuh cinta kepada siapa pun di sini! Kedekatannya dengan Bryan tidak menghilangkan kerinduannya pada Mas, bayinya, dan Mama. Bahkan sejak awal, dia tahu, hanya mencintai Masnya dan akan terus mencintai! Nunung ingat, bagaimana dia dulu jatuh hati pertama kali pada dosennya, sehingga sekalipun sudah lulus, dia masih ikut kuliah sang dosen yang kemudian menjadi Masnya itu. Lelaki yang santun itu memanggilnya dan berkata pelan-pelan, ''Saya rasa Anda tidak perlu memperbaiki nilai dari saya, kan sudah dapat B!'' Nunung tertawa dan bilang, ''Saya senang kalau diajar Bapak.'' Cerita ini bisa ditebak, tiga bulan setelah itu, sang dosen melamar Nunung menjadi istri. Yah, Nunung menceritakan itu semua kepada Bryan.

Lelaki itu melipat bibirnya dan mengatakan, ''Aku kepingin menikah dengan perempuan Indonesia sepertimu, yang memiliki kecantikan luar dan dalam.''

Nunung merasa tersanjung dan kembali pipinya jadi kemerahan. Bryan melihat dengan senyum di seluruh matanya. Nunung bercerita, ''Ada sebuah dongeng, dongeng itu kami namakan wayang. Salah satu ceritanya tentang kesetiaan Dewi Setiyawati kepada suaminya. Dia rela bapaknya lenyap, agar suaminya tidak malu bermertuakan seorang raksasa.''

Bryan mengeryitkan dahinya. ''Cerita itu betul-betul bias gender, apakah kamu mau mengorbankan keluargamu untuk seorang suami?''

Nunung menggelengkan kepala kuat-kuat, ''Tentu saja tidak. Aku ingin bisa bersetia pada suami yang bapak anakku.''

Bryan melihatnya lekat-lekat. ''Kalau begitu, kita sama-sama tidak setuju dengan kesetiaan Dewi Setiyawati. Tapi, aku bayangkan dalam imajinasiku, wajahmu tidak seperti Dewi Setiyawati tapi seperti Ningsih Wulandari!''

Mereka tertawa bersama dan Nunung bilang, ''Aku melihat laki-laki di negerimu tidak punya banyak pancaran kelelakian, seperti laki-laki di negeriku. Tapi, aku kira perempuan di negerimu sangat mandiri, mereka jadi kehilangan watak keperempuanannya.''

''Kami sudah terdidik dengan jadwal waktu yang tepat. Kau tahu, tidak ada orang lain yang bisa menolong kita kalau sakit, kecuali dengan kartu asuransi kesehatan,'' kata Bryan.

''Kau tahu, tidak banyak bangsaku melakukan hal itu. Hidup kami mengalir bersama mimpi-mimpi dan harapan. Karena itu apa pun jeleknya situasi negeri, kami masih berharap ada ratu adil yang akan menolong setiap orang di negeriku,'' kata Nunung.

Bryan melebarkan matanya. ''Aku kepingin belajar menjadi seperti bangsamu, mengalir seperti air.''

***

Kedekatan Nunung pada Bryan semakin lama semakin lekat. Ke mana pun mereka pergi, selalu berdua. Entah ke ruang kuliah, kantin atau perpustakaan. Bahkan sambil minum kopi terakhir, di jam-jam malam, Nunung masih mendiskusikan apa saja, baik pelajaran maupun masalah di seputar mereka. Nunung maupun Bryan bisa tertawa bersama atau kadang-kadang menjadi sangat murung, Nunung sering menanyakan masa kecil Bryan. Yah, seperti bertemu laki-laki di mana dia bisa mengekspresikan dengan bahasa yang lebih lepas, daripada ke Masnya. Ini karena jarak usia Nunung dan Masnya yang 10 tahun. Kegelisahannya sebagai seorang perempuan muda dan kegelisahan-kegelisahan waktu itu bisa diekspresikan kepada Mas, seorang lelaki yang begitu dihormatinya dan kelihatan matang. Rasa aman yang menghangatkan seluruh urat nadinya ketika dia memutuskan bersedia menjadi istri Mas. Tapi Bryan masih muda, sebaya, sehat dan mereka baru saja berusia 27 tahun, yang mungkin suka mencari-cari sesuatu yang lebih absurd. Di simpang jalan inilah, Nunung bertemu Bryan, dan merasa bisa mengekspresikan dirinya. Bryan menangkapnya dengan semangat yang sama.

Betul, Nunung masih menyayangi Masnya, sangat mencintai anak dan Mamanya, ketika dia bersama Bryan di malam yang paling membingungkan di tengah tumpukan piring makan yang belum dicuci.

''Ini tidak boleh terjadi, aku seorang istri dan ibu! Barangkali setelah ini harus ada batas-batas yang jelas.''

Bryan melihatnya lekat-lekat, ''Jujur sajalah Nunung, kita baru saja berenang di sebuah lautan tanpa tepi. Aku toh tidak keberatan menjadi bapak dari anakmu.''

Nunung seperti dibangunkan dari mimpi-mimpi. ''Aku merasa diriku seorang antropolog yang harus menjelajahi kehidupan bangsamu. Kita terpisahkan dalam banyak hal. Aku selalu merasa bangsamu realistis. Tapi nyatanya, kamu sama absurdnya dengan suamiku. Aku seperti mengeksplorasi bayang-bayang yang tidak bisa sungguh-sungguh tergenggam dalam diriku.'' Nunung tidak bisa meneruskan omongannya. Bryan juga tidak berbicara apa pun.

Nunung belakangan berusaha untuk tidak begitu dekat dengan Bryan. Walaupun mereka masih jalan bersama, berdiskusi materi kuliah sampai larut malam sambil menghirup kopi, memperdebatkan kultur bangsa masing-masing, jalan-jalan ke kanal, dan melukis.

Akhirnya Nunung menamatkan studinya dengan predikat terbaik di kelas. Kepulangannya pun semakin dekat. Seperti ditelan bumi Bryan makin jarang mengunjungi Nunung. Namun, senyum Bryan mengejarnya dan berada di mana-mana!

***

Ketika Nunung memasang lukisan Bryan di rumah, Masnya berkomentar, ''Aku suka sekali lukisan itu. Sepertinya bercerita tentang kangen dan cintamu padaku.''

Nunung melihat ke arah lain, waktu di pesawat yang akan membawanya ke tanah air, dia merasa Bryan duduk di sebelahnya dan mengatakan, ''Semoga di kehidupan yang akan datang, kau adalah Ningsih Wulandari!'' ***
READ MORE - Kanal

Sokaratu

Cerpen Beni Setia
Dimuat di Jurnal Nasional (05/10/2009)

Bunyi tekanan dan gesekan menghancurkan bumbu dari mutu pada cowet itu menimbulkan gema unik. Suara teredam yang lembut, tapi mengisi awal pagi dengan kehangatan, seperti meneguhkan janji yang dikesiutkan air mau mendidih atas tungku yang apinya berkobar sedang menjerang, mengatasi gemuruh berpuluh kodok yang terus bernyanyi. Menyuarakan birahi dalam udara dingin yang pasti berpakaian kabut — dari hujan sejak sore itu, di luar sana. Di balik dinding gedek yang tidak berdaya menyaring hembusan angin yang bolak-balik kepleset pada daun basah di luar, dalam kesunyian yang diisi denging serangga tanpa jengkrik — kemarau tiga bulan lagi.

Khas meski si pembuat cowet batu itu tak dengan sengaja membuat cekungan dan ketipisan alas yang mampu bergetar dalam amplitudo tertentu. Aku menyibakkan selimut kain panjang batik, dalam motif bertumpuk-tumpuk bagai seribu sisik. Hadiah luar biasa, diberikan si ibu rumah yang ramah semalam. Cukup hangat meski tak bisa menanggalkan dingin yang selain ada seluruh ruang tengah los ini, juga bagai tumbuh dari dalam tulang mencuil-cuil sisa hangat dari darah di daging. Aku menggosok betis dengan telapak tangan sebelum bergeletuk menyelinap ke dapur. Siap tersenyum pada ibu yang sedang suntuk menghaluskan bumbu dalam cowet.

Palupuh, lantai bambu yang diremukkan dan dihamparkan itu, berderak dan goyangan itu membuat perempuan tua yang menunduk asyik itu melirik. Tersenyum. ”Dingin ya?” katanya. Aku mengangguk. Langsung jongkok depan tungku.”Maaf,” katanya, “begini keadaan kampung.” Aku melirik dan tersenyum. Bilang kalau akupun berasal dari kampung sehingga terbiasa hidup seadanya. Tersenyum. Menelan ludah, dan mendorong kayu masuk perut tungku lewat mulut setengah lingkarannya. Bilang bahwa, meski sekarang kerja di kota tapi tiap dua atau tiga bulan selalu pulang dan bertualang di tengah alam pedesaan. ”Ya,” kataku, setengah tersihir ketika hidung disapu wangi kencur, “bila tak jalan-jalan, ya …mancing.”

”Begitu?”

”Kencur ya?”

”Iya! Akan membuat sangu sangray. Di kampung mah kreasinya cuma sampai

sangray kejo. Jangan tersinggung ya? Nasinya padi huma yang bagi orang kota mah terlalu keras. Jangan tersinggung ya? Cabenya berapa?”

”Terserah, bu. Pokoknya saya ikut apa yang disuguhkan. Saya kan sudah amat merepotkan keluarga sini. Kalau Anabrang ke mana?”

”Ke lembah, mau ambil bubu. Biasanya ada lele atau badar.”
***

Aku menarik telapak tangan yang dijulurkan terbuka di hadapan nyala, berbalik memberikan punggung pada nyala setelah minta maaf kepada si ibu. Aku merasakan hangat dari api dan udara yang pengap berasap di dapur sempit, yang penuh dengan baju-baju yang disampirkan, digantungkan, dan dikaitkan, julur-julur bambu tempat mengaitkan genting, dan rongga terbuka untuk mengeluarkan asap dan penuh jelaga tungku. Tapi dengan lantai palapuh yang mengkilap pertanda selalu ada yang duduk bersimpuh, bersila dan beringsut, pertanda di tempat ini selalu ada yang berkunjung dan diterima sebagai keluarga dan bukannya sekadar tamu — yang diterima dengan kehormatan formal berlebihan di ruang tamu.

Seperti biasa. Seperti adatnya. Dan kalau bisa memilih aku selalu ingin diterima di dapur, diajak bicara tentang yang intim dan bukan yang formal dan maha penting — tapi segera selesai. Momen yang akan membawa kita datang lagi ke dapur, dan bicara tentang yang intim, seperti bila sanak keluarga bertemu, berbincang sambil menikmati makanan sepele karena ingin lebur dalam suasana makan bersama dan bukan apa jenis makanannya. Dan aku berpikir: Apa itu yang hilang dari rumah, setelah Bapak kawin lagi, dan aku tak bisa larut dalam suasana dapur dengan ibu tiriku? Dilarang ke dapur, disiapkan makan di tengah rumah, dan di dalam kaku formalnya terpaksa mengobrol serius dengan bapak. Sesuatu hilang dari rumah saat libur kerja, karenanya terpaksa bertualang, mengeluyuran di ladang di lembah dan bukit tiap pulang kampung.

Sampai Kalakay bilang agar [aku] mencoba mancing beunteur di Sokaratu, di hulu Cikambuy, di leuwi tepat setelah celah sempit lembah pertama Gunung Puntang. ”Tapi agak sanget,” katanya, ”jadi harus uluksalam dulu, baca doa, menyulut rokok dan melemparnya ke lubuk. Merepotkan tapi ya …jaga-jagalah.” Aku mengangguk. Beunteur, ikan liar yang paling besar sekitar dua jari orang dewasa, sudah agak sulit di kampung. Dulu banyak, mungkin sama banyaknya dengan udang air tawar, yang di masa kanak ditangkap dengan cara membanting batu di atas batu yang terendam air. Satu dua ada tertangkap, lalu dibakar dengan daun bambu di pinggir sungai. Menu setengah matang yang terasa manis meski tanpa bumbu.Dan omongan Kalakay itu membuatku tergerak memancing. Bangun pagi dan berjalan ke hulu supaya sebelum jam sepuluh, tepat saat matahari menerangi Lembah Sokaratu yang selalu meremang karena diapit dinding jurang dan rimbun pepohonan liar.

Orang bilang, heubeul isuk — selalu pagi —, tapi ada yang bilang itu gancang sore — kesusu petang. Aku tak begitu peduli. Lembah itu sempit, menjulur ke selatan, sampai terantuk tebing di mana ketinggian menjatuhkan air ke lubuk, lalu Cikambuy menghilir lirih dan membuat lubuk berikut di mulut lembah. Jurang tinggi, pepohonan liar dan perdu membuat nyamuk perkasa — mungkin juga ular. Karenanya tak banyak yang datang memancing. Tempat yang selalu pagi dan petang — jadi mengigiriskan bila dihiasi matahari sore yang cepat teduh teraling dengan bunyi denging uir-uir yang melengking menyuarakan kesenyapan di tengah keluasan sepi. Cuma para pemberani macam Kalakay yang ambil risiko. Itupun dengan pesan, kalau saat Ashar tiba harus pulang — agar tidak kemalaman di jalan. Dan kalau mendengar petir dan langit mulai mendung harus segera ke luar. Bila hujan selalu ada banjir bandang yang bisa bikin kita terkurung, karena setapak rahasia di bawah permukaan air di tebing kiri pada celah selebar tiga meter itu dipenuhi air deras setinggi dagu.

Aku berbalik lagi. Perempuan itu mengangkat seeng tembaga, meletakkannya pada bantalan dari tanah liat yang membulat dan pas menyangga alas yang hitam itu. Ia meletakkan wajan yang sipat putih logamnya sudah hilang berganti warna hangus terlalu terjerang dan tak pernah digosok sehingga kerak hangusnya terkelupas. Tapi di sana hakekat seni masak kampung, di mana bumbu terkini akan dipolusi oleh bumbu yang kemarin dan kemarin lusa, sehingga muncul aroma dan rasa khas wajan itu. Dan setelah wajan panas perempuan itu memasukkan campuran terulek kencur, kunyit, bawang putih, bawah merah dan cabe ke cekungan wajan — dengan sedikit air. Lantas menggongsonya. Mengambil bakul, membalikkannya sehingga nasi dingin terbiarkan semalam itu memenuhi adonan yang membumbungkan wangi kencur — bumbu yang jarang ditemukan di luar menu Sunda —, yang dalam lotek atah Ma Acih aroma getah mentahnya bikin klenger.

Papan undakan pintu dapur berdenyit menyusul bunyi barang yang diletakkan menyandar di dinding. Pintu terbuka. Anabrang muncul. Tersenyum.”Udah bangun?” katanya. Aku mengangguk, bilang dibangunkan bunyi mengulek bumbu dan kesiut air mau mendidih dalam seeng. Anabrang memperlihatkan tangkapannya, seekor deleg yang telah dibersihkan isi perutnya, lalu yang dibakar di bara tungku sambil minta maaf karena tidak bisa mempersembahkan yang lebih baik dari sekadar ikan bakar. ”Maaf,” katanya, “Kami tak boleh makan garam. Jadi kejo sangray dan ikan bakarnya tidak bergaram.” Aku tertawa. Menyodorkan rokok, dan bilang, yang minta disuguhi garam itu siapa, karena aku sudah mendapatkan yang lebih gurih dari sekadar garam dalam masakan: penerimaan hangat penuh kekeluargaan. “Persaudaraan …,” kataku. Anabrang menyulut rokok, tersenyum.”Tarima kasih, kang,” katanya — seperti orang menemukan emas, seperti menyadari kalau itu sudah langka di dunia ini.
***

Itu yang menyelamatkanku kemarin. Yang keasyikan memancing, terutama karena di setiap lemparan selalu menghasilkan ikan sebesar satu ari, dan ada empat yang lumayan sebesar dua jari, lalu — tanpa ada isyarat alam di langit —: air tiba-tiba naik didahului sampah dan kotoran yang tergelontor. Aku tersentak, meloncat, dan bergegas menyusuri pinggir lubuk di sisi tebing yang meneteskan air. Tapi terlambat, karena air sudah naik sepinggang, dan dalam panik sebatang kayu menabrak pinggul. Aku kehilangan keseimbangan, terhoyong kecebur ke inti arus. Gelagapan. Hanyut. Dan seseorang menjemba tangan, menarik ke pinggiran, dan menyeret ke atas tebing. Arus makin besar. Menggemuruh. Dan di sebelah Anabrang tersenyum. ”Tak apa-apa kan, kang?” katanya. Aku tersipu — berkali-kali mengucapkan tarima kasih. Sambil mengawasi langit Anabrang menarik tanganku. “Akan hujan besar, kang,” katanya. Aku mengikutinya naik ke punggung bukit, berbelok dan tiba di lembah yang rasanya tak pernah ada. Aku celingukan. Di jauhnya terdengar derap hujan. Kami berlari. Dan saat sampai di undakan dapur hujan sempurna membasahi lembah.

Setelah salin dengan pakaian hitam-hitamnya Anabrang aku berkenalan dengan ibunya — menurut ceritanya tempat itu Lembah Sokaratu asli. Aku mengangguk. Aku menikmati air panas tanpa gula, teh dan kopi. Mengobrol sambil menikmati ubi bakar yang disajikan dengan irisan gula kelapa. “Seadanya,” katanya. Aku tertawa. Bilang, kalau yang ada itu yang enak, karena yang tak ada itu tak bisa dinikmati meski bisa dibayangkan enak. Perempuan itu tertawa. Karenanya — hujan deras, sesekali tepias terdorong angin ke dinding —: Aku bercerita tentang kota, tentang Bandung, tentang Jakarta, tentang mobil dan motor. Tentang kereta api, yang kumisalkan ular besar, yang perutnya bisa diisi berpuluh-puluh orang tanpa membunuhnya, dan berjalan di atas alur tertentu. “Ada yang begitu?” tanya Anabrang. Aku tersenyum, mengangguk, dan bercerita tentang pesawat terbang, yang anehnya tak menarik minat kedua orang itu. Sehingga aku kembali bercerita panjang lebar tentang kereta api, si ular besi yang sesungguhnya kendaraan yang digerakkan mesin diesel di kepala lokomotifnya. Aku

bercerita tentang stasiun, peron, karcis, langsir dan nyanyi lagu ”Naik Kereta Api”.

Mereka ternganga. Anabrang minta diajari lagu “Naik Kereta Api”, dan ia terus bersenandung semalaman. Aku tersenyum. Menjelang tengah malam, dalam dingin mencekam, si perempuan itu menyerahkan selembar kain panjang untuk selimut. Aku setengah tertidur meski tak lelap — dan tahu kalau Anabrang terus menyanyikan lagu ”Naik Kereta Api”. Lalu aku pulas, dan terjaga di dingin pagi, sendirian, dipanggili bunyi mutu tergesekkan pada cowet dan bunyi denging sebelum air mendidih — yang mengingatkan pada dapur dan ibuku. Ya! Dan ketika sang sangray sudah ditata di piring, kami duduk melingkar dan makan dengan ikan bakar. Terasa hámbar tanpa garam, tapi hangat dapur dan kesederhanaan mereka yang tak tahu kereta api dan tak pernah mendengar lagu ”Naik Kereta Api” itu membuatku maklum, sehingga apapun yang ada tandas dimakan. Kerakusan yang membuat mereka senang, karena merasa aku mau diterima dalam keapaadaannya. Tapi haruskah mempersoalkan yang tak ada?
***

Sekitar jam sebelas aku pamit. Perempuan tua itu tersenyum, mengucapkan terima kasih atas cerita kereta api yang mengagumkan itu. “Ceritamu itu membuat Anabrang tak perlu pergi ke kota untuk nonton kereta api,” katanya. Aku tersenyum. Berjanji akan berkunjung lagi. Perempuan itu hanya tersenyum. Pamitan. Aku diantar Anabrang, yang kembali bertanya tentang kereta api, dan karenanya aku berjanji akan membawakan kereta api mainan agar bisa membayangkannya. Anabrang tersenyum. ”Bener, kang?” katanya. Aku mengangguk. Dan di punggung gunung, sebelum turun ke lembah dekat celah Sokaratu di mana Cikambuy muncul bagai ular menggeliat di pesawahan, Anbabrang menyerahkan kain batik — selimut semalam. ”Kalau mau ke sini kerodongkan, tapi jangan membawa yang lain. Janji,” katanya. Aku mengangguk. Pamit. Meloncat. Menuruni setapak. Di bawah aku menengok dan di punuk pundak bukit terlihat seekor ular sanca, sebesar pohon kelapa, menggelusur — menjauh.

Aku tersentak. Gemetar — dan kembali tenang. Bukankah kami telah dipertalikan pesaudaraan? Dan karenanya, tiga bulan kemudian, diam-diam berangkat ke Lembah Sokaratu, dengan kereta api mainan yang digerakkan bateri. Menginap seminggu, dan pulang tanpa peduli cerita orang: aku hilang setengah tahun — setelah hilang sebulan. Apa peduli orang-orang itu? Bukankah aku hanya datang bertamu, bertemu saudara yang sederhana dan menyenangkan dalam kesederhanaannya? Bolak-balik. Sampai Anabrang menikah dan punya anak — dan aku memutuskan tidak menikah dan punya anak, agar mereka tak shock ketemu saudara dari alam lain. Memang.***
READ MORE - Sokaratu

Malam Saweran

Cerpen AS Laksana
Dimuat di Suara Merdeka (05/10/2009)

AKU sepakat bahwa laporan bersambung itu terasa mengada-ada. Setidak-tidaknya, ia terasa sebagai upaya berlebihan dari penulisnya untuk membuatmu putus asa mengikuti sepak terkam orang-orang yang gemar menyelinap di tengah malam. Wartawan itu memang menulis dalam gaya yang samar; ia menceritakan tabiat sejumlah orang tanpa menyodorkan petunjuk yang memungkinkanmu menerka siapa saja sesungguhnya yang sedang ia ceritakan dan di mana kejadiannya berlangsung.

Dan apa yang samar, apalagi jika diturunkan sebagai serial dengan label ”Dunia Malam Orang-Orang Terhormat”, tentu akan mudah membuatmu penasaran, bukan? Dan, ketika rasa penasaranmu tak terpuaskan, kau bisa saja memutuskan bahwa seluruh tulisan itu tidak lebih adalah karangan belaka. Silakan. Di sini aku hanya ingin menyampaikan yang kutahu dan meyakinkanmu bahwa tidak semua laporan itu hasil karangan si wartawan; setidak-tidaknya ada satu yang aku yakin ditulis berdasarkan kejadian, yakni tulisan ke-11 yang berjudul Nonton Penari Bugil, Nyawer Lima Juta. Kautahu, akulah si penyawer yang dirahasiakan nama dan jabatannya oleh wartawan itu.

Kutuklah aku; kau punya kebebasan untuk mengutuk siapa saja yang membuatmu senep. Atau geramlah sembari membuat tinjauan melodramatik yang bisa menguatkan rasa gerammu; kau boleh mengatakan, misalnya, betapa tak tahu dirinya aku, menghamburkan lima juta rupiah untuk si bugil di tengah begitu banyaknya anak yang telantar dan kelaparan. Kau boleh membenciku dengan segala alasan yang terpikirkan olehmu, tetapi aku bisa menjelaskan apa yang kulakukan. Aku menjadi penyawer karena gagal menjadi suami yang bahagia dan karena itu gagal juga membuat istriku bahagia. Perempuan yang kucintai selalu menyakitiku dan ia membuatku kesepian dengan menyalak tak putus-putus.

”Apa lagi yang mau kaukatakan?” itu satu contoh bagaimana ia menyalak. ”Bukti-bukti sudah bicara. Kau tak perlu mengelak. Tak perlu berdalih. Tak perlu berpanjang lidah.” Ia sering bicara tentang bukti-bukti. Kupikir ia terlalu gelap menjalani hidup. Yang ia sebut sebagai bukti-bukti, kautahu, sesungguhnya hanyalah khayalan yang bangkit oleh kekalutannya sendiri. Ia mengungkung diri dalam prasangka runyam tentangku dan kemudian menyebut apa saja yang terlintas di keruwetan pikirannya sebagai bukti-bukti.

Terus terang, aku ingin menjahit mulutnya.

Tentu tak bisa kusampaikan keinginanku ini kepadanya. Tak bisa kusampaikan apa pun. Karena itu aku lebih suka pulang larut malam atau dinihari ketika ia sudah tidur. Itu caraku mengalah dan selama ini aku lebih suka diam menerima lolongannya, tetapi justru ia menganggapku orang yang ribut. Aku tidak habis pikir bagaimana ia bisa menyuruhkan tidak usah berpanjang lidah; kupikir aku tidak pernah mengulurkan lidahku di hadapannya. Dan kapan aku mengajukan dalih-dalih?

Kurasa kau harus berhati-hati menghadapi perempuan seperti ini; ia terlalu cerewet dan seringkali tidak bisa membedakan suara siapa yang ia dengar: apakah suaranya sendiri ataukah suaramu. Ia sungguh menyedihkan dan ia senang mengatakan bahwa aku suka menggasak uang yang bukan hakku. Ini tuduhan keji dan istriku sendiri yang melakukannya. Padahal, aku berbuat apa pun demi menyenangkan hatinya.

Kautahu, aku memang telah mengambilnya, dengan cara yang tak mungkin ia tolak, dari cengkeraman orang yang kupikir tak layak menjadi pacarnya dan kami menikah secepatnya setelah aku berhasil memisahkannya dari lelaki tak layak itu. Mengenai riwayat perjodohan kami, aku tak akan malu mengakui bahwa semula ia memang tidak mencintaiku —ia menyimpan pasfoto orang lain di selipan dompetnya. Kami pernah makan di warung yang sama dan aku melihat foto lelaki itu ketika ia membuka dompet hendak membayar. Aku menyimpan pasfoto ibu negara yang kugunting dari sebuah majalah. Itu hanya sebuah cara untuk berbeda.

Pengetahuan tentang ”menjadi berbeda” itu kudapat dari riwayat hidup delapan orang; salah satu dari mereka mengatakan, ”Kau tidak akan bisa memikat orang lain jika tidak ada apa pun dari penampilanmu yang bisa diingat orang. Orang-orang hanya akan memandangmu ketika kau berbeda dari orang-orang lain yang sebagian besar biasa-biasa saja.” (Timothy G Sapir, Delapan Tokoh Eksentrik, Surabaya 1987, Cetakan 2, halaman 93; garis bawah dari saya). Aku setuju pada pernyataannya. Karena itulah ketika sebagian temanku menyimpan pasfoto pacarnya di dompet, dan sebagian yang lain tidak tahu harus menyimpan pasfoto siapa, aku menyisipkan pasfoto ibu negara di lipatan dompetku. Ketika anak-anak lain mengenakan kacamata dengan bingkai tipis, aku memilih kacamata penyu yang pernah digemari orang seratus tahun lalu.

Begitulah, mengikuti nasihat orang itu, aku menjadikan diriku tidak lumrah. Namun aku tak pernah merasa bahwa gadis itu tertarik kepadaku sekalipun aku menyimpan foto ibu negara di dompetku dan mengenakan kacamata penyu. Tak ada masalah dengan itu dan sebetulnya aku bisa sangat ikhlas menerima kenyataan bahwa ia tidak menggubrisku. Aku tahu cara menghibur diri dan bisa mengatakan dengan enteng kepadamu, ”Yah, aku bukan tipenya.”

Masalahnya, kau tak bisa benar-benar bersikap enteng jika kau tertarik pada seorang gadis dan berusaha membuat gadis itu tertarik kepadamu, dan nyatanya gadis itu memilih berpacaran dengan orang lain yang nilainya bisa dibilang tak lebih dari enam. Itu sebuah siksaan. Atau semacam penganiayaan yang rasa sakitnya akan tetap tinggal hingga bertahun-tahun kemudian.

Kupikir kau bisa memahami perasaanku, sebab kau pun tak suka dianiaya dengan cara seperti itu. Mestinya ia memilih pacar yang tampan; itu akan membuatku lebih rileks kalaupun ia tak meladeni upayaku. Seorang gadis cantik berpacaran dengan pemuda tampan, apa yang perlu dipermasalahkan? Pada pasangan seperti itu, kau tidak akan menaruh dengki berkepanjangan atau berniat kriminal, misalnya, dengan menghamburkan kasak-kusuk agar si lelaki kelihatan tengik di mata teman-teman. Tetapi karena gadis itu salah menjatuhkan pilihan dan ia menyimpan foto lelaki tidak tampan di dompetnya, maka aku merasakan kesia-siaan yang memukul harga diriku. Perempuan itu, yang kelak menjadi istriku, sama sekali tidak melirik penampilan eksentrikku.

Aku menjadi lungkrah dan malas kuliah dan melarikan diri ke mana saja mengikuti truk-truk yang bisa kutumpangi. Dan, dalam sebuah perjalanan ke timur, aku mendapatkan inspirasi dari truk yang terseok-seok ke barat. Aku masih murung ketika membaca tulisan pada bak truk itu —cinta ditolak, dukun bertindak— tetapi pelan-pelan kemurunganku mereda dan aku merasakan sebuah pencerahan. Kautahu, pencerahan memang tak terjadi seketika; ia merambat pelan-pelan ke batok kepala seperti serangga sampai akhirnya kau menyadari bahwa kau tidak perlu menjadi eksentrik untuk merebut seorang perempuan dari lelaki yang dipacarinya. Kau hanya perlu melakukan tindakan wajar, sewajar tidur ketika mengantuk atau memaki ketika sakit hati.

Maka, aku pun bertingkah wajar: kudatangi seorang dukun, lalu dukun itu bertindak untukku, lalu perempuan itu tertarik kepadaku. Seluruh dunia kurasa memanjatkan puji syukur karena gadis cantik itu akhirnya mencampakkan lelaki yang cuma pas-pasan. Namun aku tak tahu apakah dunia juga bersyukur ketika melihat perempuan itu, setelah lepas dari mulut buaya, akhirnya jatuh ke pangkuan penyu. Dalam urusan ini, aku tak peduli pendapat orang. Mungkin mereka iri kepadaku dan akan bergunjing bahwa aku memakai guna-guna untuk merebut perempuan yang sudah punya pacar. Silakan mereka bergunjing seperti itu. Kautahu, hanya para pendengki yang suka bergunjing dan aku tidak akan mengalami cedera parah karena digunjingkan oleh para pendengki. Sebaliknya, semakin dengki mereka, semakin nikmat kurasakan kemenanganku.

Perempuan itu datang pertama kali kepadaku dengan gerak orang yang melamun. Aku menerimanya dengan penuh kesadaran dan sedikit rasa waswas bahwa besok pagi ia akan tersadar dari lamunannya dan kembali ke pacarnya.

”Kita harus secepatnya menikah,” kataku.

”Ya,” katanya, seperti orang kurang waras.

”Apakah kau benar-benar mencintaiku?”

”Ya.”

”Tak ada lelaki lain di hatimu?”

”Ya.”

”Kau berjanji menjadi istriku selamanya?”

”Ya.”

Itu percakapan indah dan aku ingin mendengarnya berulang-ulang dan, pada kenyataannya, dua hari penuh percakapan itu menggaung di kepalaku. Demi mengekalkannya, aku menyalin percakapan itu pada secarik kertas dan menyimpannya di dompetku, menutupi pasfoto ibu negara. Setiap ada kesempatan, aku mengambil kertas itu dari dompet, membuka lipatannya, membacanya, melipatnya lagi, memasukkannya lagi ke dompet.

Kini aku agak menyesal kenapa tak kurekam percakapan itu. Tetapi, pada waktu itu, siapa akan terpikir tentang rekaman percakapan? Belum ada ilham ke arah sana. Tanya jawab kami berlangsung sebelum orang memutar rekaman percakapan antara jaksa agung dan presiden, jauh sebelum percakapan lucu antara seorang jaksa dan penyogoknya diperdengarkan di ruang sidang. Sekiranya percakapan kami terjadi sekarang, tentu kurekam baik-baik tanya jawab kami dan aku bisa mempergunakan rekaman itu jika sewaktu-waktu kubutuhkan. Siapa tahu suatu hari ia mulai menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya dan mulai menunjukkan gelagat hendak meninggalkanku, aku akan bisa memutar rekaman itu dan mengatakan, ”Dengarlah, kau sendiri yang mencintaiku; ini ucapanmu sendiri, bukan?”

Tetapi, syukurlah, sampai sekarang perempuan itu tetap menjadi istriku dan tidak pernah menunjukkan gelagat hendak kembali kepada bekas pacarnya. Tentang lelaki itu, aku tidak berminat mengikuti kabarnya. Mungkin ia tidak pernah bisa mendapatkan pacar lagi dan itu bukan urusanku. Biarlah ia menyadari dirinya sendiri. Kurasa yang ia perlukan adalah cermin besar agar ia bisa berkaca dan menyadari bahwa sudah sepantasnya ia ditinggalkan oleh perempuan cantik yang sekali waktu pernah khilaf menjadikannya pacar. Aku hanya menaruh perhatian pada keberhasilanku mendapatkan gadis itu dan pada rasa bahagia yang menjalari sekujur tubuhku. Dan gadis itu, dalam gerak yang seperti melamun, selalu kubawa ke mana pun aku pergi dan aku menggandeng tangannya ketika kami melintas di antara teman-teman.

Kami menikah dua bulan sebelum aku selesai kuliah; aku terharu pada hari pernikahan dan ia tetap kelihatan melamun. Enam bulan setelah itu aku merasa sangat lega: itu hari pertamaku bekerja di kantor pajak dan istriku hamil tiga bulan. Dengan janin di dalam rahimnya, kupikir ia tak mungkin meninggalkanku. Dan, lihatlah, istriku tampak agak malas mengurus diri dan ia masih melamun. Anak di rahimnya pasti laki-laki. Tak perlu kauragukan isyarat ini: seorang perempuan tampak malas dan acak-acakan pada saat mengandung jika anak di dalam rahimnya adalah laki-laki.

Anak kami lahir pada waktunya. Perempuan. Agak menyalahi isyarat yang dipercaya orang, tetapi tidak sepenuhnya begitu: sejak berumur dua tahun, kautahu, ia tampak kelaki-lakian. Aku tidak terganggu oleh hal ini, namun istriku risau pada tabiat anak kami. Ketika anak itu delapan tahun, istriku seperti orang bangun tidur dan ia tidak melamun lagi; ia berubah menjadi seorang penuduh dan mulai bicara bukti-bukti. Ia tekun menyerangku dan semakin sengit ketika anak kami berumur dua puluh satu dan tetap kelaki-lakian.

Telah kukatakan bahwa sejak awal ia tidak pernah menaruh perhatian padaku, tetapi kesediaannya menikah denganku sungguh membuatku terharu. Karena itu aku bertekad membuatnya bahagia dan di situ aku gagal. Ia tidak bahagia dan kelihatannya tak pernah mencintaiku; ia menggunakan apa saja untuk menyudutkanku, termasuk dengan terus uring-uringan mengenai anak kami. ”Kau menjejalkan dosa ke perutnya,” katanya. ”Karena itulah ia tumbuh menjadi anak perempuan yang tidak sewajarnya.”

”Kau berlebihan,” kataku. ”Ia hanya sedikit hiperaktif.”

”Ia begitu karena menanggung dosamu,” katanya.

Kupikir ia mestinya belajar mensyukuri rezeki berlimpah yang mengalir ke kantung suaminya. Dan kusampaikan kepadanya apa yang kupikir. Tapi ia malah mengatakan ”cuih!” dan meraung-raung, ”Apa yang harus kusyukuri? Semua orang jijik melihatku. Mereka membicarakan anak kita, mereka membicarakan aku. Ketika lelaki menjadi binatang pengerat, setiap orang menyalahkan istrinya. Aku merasakan itu.”

”Aku hanya ingin membahagiakanmu.”

”Kau menyedihkan aku.”

Benar, kau menyedihkan aku. Karena itulah aku mengendap-endap hampir tiap malam, membahagiakan orang yang senang kubahagiakan. Ketika laporan soal nyawer muncul di koran, aku menyodorimu tulisan itu. Suaraku riang, ”Bacalah!” Suaramu sengit, ”Tak sudi.” Aku tahu kau tak suka membaca koran, tetapi, khusus laporan itu, aku ingin kau membacanya, lalu penasaran, lalu menyerangku: ”Kau yang nyawer perempuan bugil ini?” Demi kebaikan, aku akan meyakinkanmu, dan bersumpah, bahwa itu bukan aku dan bahwa laporan itu hanya karangan si wartawan. ***
READ MORE - Malam Saweran

Kepala Air

Cerpen Damhuri Muhammad
Dimuat di Jurnal Nasional (05/17/2009)

Dengan cara bagaimana lagi mereka akan melunakkan tabi’at Ku Imam yang keras kepala itu? Rasanya tiada lagi siasat dan muslihat yang belum mereka coba. Segala bujuk, dari yang santun hingga yang bernada menggertak, telah mendenging di kuping Imam masjid usang itu. Berkali-kali mereka meyakinkan bahwa bila yang dicemaskan Ku Imam sekadar kemuliaan syeikh keramat itu, maka kebulatan suara para pemuka suku untuk membuka Kepala Bandar menjadi daerah kunjungan wisata tiada bakal merusak, apalagi menginjak-injak kekeramatan syeikh yang hingga kini makamnya masih diziarahi oleh para pelaku tarekat itu—tanah di makam syeikh tiada pernah susut, meski kerap dipungut, dibawa pulang, sebab dipercaya bakal melipatgandakan hasil sawah dan ladang.

“Membiarkan pasangan muda-mudi bertandang ke tempat suci itu sama saja dengan mengundang bala ke kampung ini,” begitu kemarahan Ku Imam. Ia mulai muak, sebab orang-orang suruhan itu tidak bosan-bosan menyambangi bilik kecil di sisi kiri mihrab masjid usang, kediaman Ku Imam.

Barangkali kecemasan Ku Imam terlalu berlebihan. Bagi pemuka suku, menyemarakkan Kepala Bandar berarti membuka pintu-pintu rezeki bagi orang-orang kampung ini, termasuk anak-cucu dan karib-kerabat Ku Imam. Tengoklah, sejak mereka (diam-diam) membiarkan iring-iringan sepeda motor yang berdatangan hendak menikmati jernihnnya air dan jinaknya ikan-ikan di Lubuk—diam-diam pula mereka memungut biaya masuk dan ongkos parkir—warung-warung kopi tegak berdiri di selingkar area Kepala Bandar, begitu pula lepau-lepau makan, ramai pengunjung. Dagangan mereka ludes terjual, nyaris tak bersisa. Penghasilan mereka berlipat-lipat lebih banyak ketimbang hasil sawah yang dari musim ke musim semakin susah diharapkan. Para pengeping kayu di Kepala Bandar kini beroleh penghasilan sampingan dengan menyewakan rakit pada pengunjung yang ingin mengitari keluasan Lubuk. Satu rakit untuk satu pasangan. Ada pula yang menyewakan dangau-dangau kecil beratap rumbia dan berlantai pelupuh, cukup nyaman sebagai tempat bersantai bagi tamu-tamu yang lelah selepas mengayuh rakit. Satu dangau untuk satu pasangan. Jangan sungkan, dangau-dangau itu tersuruk di sebalik semak-semak kelimunting.

Kepala Bandar yang dulu hanya dikenang sebagai mata air pertama di kampung ini, kini telah menjadi mata air rejeki bagi orang-orang yang dulu hanya menggantungkan hidup dengan membelah batu atau mengeping kayu. Sesekali Ku Imam mungkin perlu menyigi betapa menterengnya Kepala Bandar kini. Akan lebih mentereng bila sudah resmi dikelola, jalanan kampung yang bergelimang lumpur di musim hujan itu akan jadi rata seperti jalan-jalan di kota, sebab akan lekas diaspal beton. Kepala Bandar akan tampak memikat seperti daerah-daerah kunjungan wisata lainnya. Kampung ini tentu bakal penuh-sesak pengunjung, makin harum namanya di mata orang luar. Tapi, itu hanya akan terwujud bila Ku Iman mau menandatangai surat persetujuan yang mereka sodorkan itu.

“Saya tidak mau bersepakat untuk membuka jalan maksiat di tempat keramat itu,” lagi-lagi Ku Imam bersikukuh.

“Ini demi masa depan anak-cucu kita, Ku.”

“Apa kau bilang? Kita? Jangan kau bawa-bawa saya dalam permufakatan itu!”

“Lebih baik saya melarat daripada berkecukupan tapi bergelimang syubhat dan maksiat.”

“Huss, kalau salah cakap bisa dituduh melawan pemerintah. Bisa masuk kandang situmbin.”

“Kalian mengancam saya? Mentang-mentang kalian bersekongkol dengan orang berseragam itu? Saya tidak takut! Bahkan bila dari mulutnya keluar api sekalipun.”
**

Tidak ada pemandangan yang menakjubkan di Kepala Bandar itu. Sebagaimana namanya, Kepala Bandar tak lebih dari kepala air yang mengairi sawah-sawah di kampung ini. Lubuk yang sangat digandrungi pasangan muda-mudi pengunjung Kepala Bandar, meski airnya jernih, tapi karena sangat dalam—itu sebabnya bernama Lubuk, warnanya jadi pekat. Alih-alih menyenangkan, malah menakutkan. Sejak dulu Lubuk dianggap sati. Masih tergiang-ngiang di telinga orang-orang cerita tentang Pudin Gabak, penebang liar yang menghanyutkan kayu-kayu curian, saat melintasi Lubuk itu tiba-tiba kesurupan. Selepas itu, ia jatuh sakit, dan tak lama berselang Pudin Gabak mati. Dokter tidak bisa mendiagnosa penyakit yang telah merenggut nyawa penebang liar itu. Desas-desus menyebutkan; Pudin mati karena tersapa hantu penunggu Lubuk. Begitu pula cerita tentang Marentuk Inyik, pemancing yang nekat melepas tali pancingan di kedalaman Lubuk pada suatu hari yang terlarang, hingga kini hilang tak berjejak. Ada yang menduga, ia tenggelam, mayatnya hanyut terbawa arus-deras Kepala Bandar yang di masa itu memang sedang musim buruk. Tapi banyak pula yang percaya Marentuk masih hidup, tapi karena tersesat ke alam orang bunian, selamanyalah ia bakal menjadi makhluk halus. Konon, sesekali ia muncul, di hari-hari buruk, tentu saja. Siapa yang melihat wujud Marentuk, dipastikan tiada bakal selamat. Akibat paling fatal; sakit, lalu mati, tanpa sebab yang kasat mata.

“Lalu Kepala Bandar sebelah mana yang kalian sebut berpemandangan indah dan memesona itu?” tanya Ku Imam pada orang-orang suruhan para pemuka suku itu.

“Pasangan muda-mudi itu datang bukan karena pemandangan Kepala Bandar, tapi karena di sana mereka leluasa membuang hajat.”

Para sesepuh memercayai, di Lubuk itulah Ikan Bersisik Emas—salah satu pertanda kekeramatan syeikh—bersarang. Di hari dan bulan baik, biasanya Ikan itu akan menampakkan diri, berenang ke hilir, mengikuti aliran yang akhirnya bermuara di kolam seluas satu setengah lapangan bola di halaman masjid usang itu. Kedatangan Ikan Keramat adalah pertanda baik. Selepas kemunculannya, sawah-sawah di kampung ini niscaya akan menghasilkan padi yang melimpah, hama wereng dan tikus lenyap tanpa dibasmi, hingga orang-orang tak mengeluh hidup susah sebagaimana kini. Terakhir kali ikan bersisik emas menampakkan wujudnnya saat Ku Imam belum tumbuh jakun, ia satu-satunya murid mengaji yang menyaksikan keajaiban itu. Ukurannya hampir seperempat ukuran masjid, sirip dan sisiknya berkilauan, hingga kolam itu seperti disinari cahaya dari ratusan bohlam berkekuatan tinggi, hingga pandangan Ku Imam silau dibuatnya. Rasanya seperti melihat malam lailatul qadar, kata Ku Imam. Sejak peristiwa itu ia tak pernah berlama-lama meninggalkan masjid itu. Ku Imam tekun membersihkan debu-debu di kelambu makam syeikh di sisi kanan masjid. Ia dipercaya menyimpan semua peninggalan syeikh; Tongkat, Jubah, Tasbih, Kitab-kitab, juga alat-alat bercukur yang mungkin sudah menjadi barang antik. Ku Imam pewaris cerita perihal syeikh dan Ikan Keramat yang masih tersisa. Hanya ia yang tahu betapa berkelindannya hubungan masjid usang itu dengan Kepala Bandar. Bila dulu Kepala Bandar adalah tempat syeikh berkhalwat, bermunajat, kini telah berubah menjadi tempat orang buang hajat. Tak sanggup Ku Imam menggambarkan betapa dahsyatnya petaka yang bakal menggulung kampung ini. Saban malam mimpi-mimpi celaka itu mengusiknya.
**

Ada sembilan juru kunci yang berwewenang penuh menegaskan hitam-putihnya kawasan Kepala Bandar; resmi jadi daerah kunjungan wisata, atau tetap jadi Kepala Bandar dengan kisah lapuk tentang syeikh dan Ikan Keramat. Jumlah sembilan itu terhimpun dari sembilan suku yang masing-masing mengutus satu orang juru kunci. Itu sebabnya disebut Kunci Sembilan. Dan, kini delapan orang juru kunci telah bersetuju untuk menyemarakkan Kepala Bandar. Hanya satu orang yang masih bersikukuh menyanggah. Siapa lagi kalau bukan Ku Imam?

Sekuat apapun Ku Imam bertahan dengan pendiriannya, di atas kertas ia sudah nyata-nyata kalah suara. Delapan orang sejawatnya terus membujuk dengan segala macam janji muluk. Tapi Ku Imam tetap menolak untuk bersepakat dengan para tetua adat yang telah lebih dahulu bersekutu dengan orang-orang yang bakal menangguk keuntungan dari Kepala Bandar.

“Kalaupun Kepala Bandar harus dibuka, kita masih berwewenang membuat aturan, agar tempat suci itu tak ternajisi.”

“Tidak baik akibatnya bila Ku terus menerus bersikeras.”

“Seberapa banyak mereka telah membayar kalian hah?” bentak Ku Imam, ia mulai naik pitam.

“Lakukan apa yang kalian mau, tapi jangan bawa-bawa nama saya. Kepala Bandar itu terang-gelap dan hitam-putih kampung ini. Saya tiada bakal tunduk!”

Hanya tiga malam setelah selisih pendapat di antara petinggi Kunci Sembilan itu, Ku Imam menerima surat panggilan dari kantor polisi. Ia diduga telah menyebarkan ajaran sesat di kampung ini. Masuk akal memang. Bukankah hampir setiap jumat Ku Imam mengambil segumpal tanah untuk dibagikan kepada para peziarah makam syeikh? Tanah itu dipercayai memiliki kekuatan magis, menyuburkan tanah, menyembuhkan penyakit-penyakit kronis. Ku Imam pula yang selalu menukilkan kisah tentang kekeramatan syeikh hingga peziarah-peziarah itu makin fanatik saja.

“Saudara Ku Imam, untuk sementara saudara kami amankan. Ajaran sesat yang saudara pimpin telah meresahkan masyarakat,” kata salah seorang petugas di kandang situmbin itu.
**

Sementara Ku Imam meringkuk di kandang situmbin, pengunjung Kepala Bandar makin penuh-sesak. Pada hari-hari libur, jalan menuju kepala air macet lantaran padatnya iringan-iringan sepeda motor pasangan muda-mudi yang datang hendak bersenang-senang. Semuanya tampak tergesa, seperti orang-orang yang tidak sabar ingin lekas buang hajat. Preman-preman kampung kewalahan mengatur lalu-lalang kendaraan, petugas parkir nyaris kehabisan lahan, para pemilik rakit dan dangau-dagau sewaan tak henti-henti melayani pengunjung yang terus berdesak-desakan, gadis-gadis kampung sibuk berdandan, berjaga-jaga bila sewaktu-waktu datang panggilan—sebab banyak tamu yang datang tanpa pasangan. Sementara itu, tetua-tetua suku lengah karena sibuk menghitung setoran… ***

Jakarta, 2009
READ MORE - Kepala Air

Puisi Goenawan Mohamad

TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM


Oleh :
Goenawan Mohamad

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

Horison, September 1971, Thn VI.

----------------------

PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS

Oleh :
Goenawan Mohammad

Kuinginkan tubuhmu
dari zaman
yang tak punya tanda,
kecuali warna sepia.

Pundakmu
yang bebas ,
akan kurampas
dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu
pada tubir meja:
telanjang
yang meminta

kekar kemaluan purba,
dan zat hutan
yang jauh, dengan surya
yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu
mencambukmu,
lepas. Tak ada yang tersisa
dalam pigura

juga api yang tertinggal
pada klimaks ketiga,
juga para dewa, juga kau
yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali
kembali, kembali...
Mari.
Kuinginkan tubuhmu

dari zaman
yang tak punya tanda
kecuali
warna sepia

1996

dikutip dari: Misalkan Kita Di Sarajevo, Kalam, 1998

--------------------

TIGRIS

Oleh :
Goenawan Mohammad


Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)

1986

dikutip dari: Asmaradana, Grasindo, 1992

-------------------

DI MALIOBORO
--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965

Oleh :
Goenawan Mohammad

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram...

Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.

1997
READ MORE - Puisi Goenawan Mohamad

Puisi Sapardi Djoko Damono

AIR SELOKAN

Oleh : Sapardi Djoko Damono

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.

Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tib
READ MORE - Puisi Sapardi Djoko Damono