Kepala Air

Cerpen Damhuri Muhammad
Dimuat di Jurnal Nasional (05/17/2009)

Dengan cara bagaimana lagi mereka akan melunakkan tabi’at Ku Imam yang keras kepala itu? Rasanya tiada lagi siasat dan muslihat yang belum mereka coba. Segala bujuk, dari yang santun hingga yang bernada menggertak, telah mendenging di kuping Imam masjid usang itu. Berkali-kali mereka meyakinkan bahwa bila yang dicemaskan Ku Imam sekadar kemuliaan syeikh keramat itu, maka kebulatan suara para pemuka suku untuk membuka Kepala Bandar menjadi daerah kunjungan wisata tiada bakal merusak, apalagi menginjak-injak kekeramatan syeikh yang hingga kini makamnya masih diziarahi oleh para pelaku tarekat itu—tanah di makam syeikh tiada pernah susut, meski kerap dipungut, dibawa pulang, sebab dipercaya bakal melipatgandakan hasil sawah dan ladang.

“Membiarkan pasangan muda-mudi bertandang ke tempat suci itu sama saja dengan mengundang bala ke kampung ini,” begitu kemarahan Ku Imam. Ia mulai muak, sebab orang-orang suruhan itu tidak bosan-bosan menyambangi bilik kecil di sisi kiri mihrab masjid usang, kediaman Ku Imam.

Barangkali kecemasan Ku Imam terlalu berlebihan. Bagi pemuka suku, menyemarakkan Kepala Bandar berarti membuka pintu-pintu rezeki bagi orang-orang kampung ini, termasuk anak-cucu dan karib-kerabat Ku Imam. Tengoklah, sejak mereka (diam-diam) membiarkan iring-iringan sepeda motor yang berdatangan hendak menikmati jernihnnya air dan jinaknya ikan-ikan di Lubuk—diam-diam pula mereka memungut biaya masuk dan ongkos parkir—warung-warung kopi tegak berdiri di selingkar area Kepala Bandar, begitu pula lepau-lepau makan, ramai pengunjung. Dagangan mereka ludes terjual, nyaris tak bersisa. Penghasilan mereka berlipat-lipat lebih banyak ketimbang hasil sawah yang dari musim ke musim semakin susah diharapkan. Para pengeping kayu di Kepala Bandar kini beroleh penghasilan sampingan dengan menyewakan rakit pada pengunjung yang ingin mengitari keluasan Lubuk. Satu rakit untuk satu pasangan. Ada pula yang menyewakan dangau-dangau kecil beratap rumbia dan berlantai pelupuh, cukup nyaman sebagai tempat bersantai bagi tamu-tamu yang lelah selepas mengayuh rakit. Satu dangau untuk satu pasangan. Jangan sungkan, dangau-dangau itu tersuruk di sebalik semak-semak kelimunting.

Kepala Bandar yang dulu hanya dikenang sebagai mata air pertama di kampung ini, kini telah menjadi mata air rejeki bagi orang-orang yang dulu hanya menggantungkan hidup dengan membelah batu atau mengeping kayu. Sesekali Ku Imam mungkin perlu menyigi betapa menterengnya Kepala Bandar kini. Akan lebih mentereng bila sudah resmi dikelola, jalanan kampung yang bergelimang lumpur di musim hujan itu akan jadi rata seperti jalan-jalan di kota, sebab akan lekas diaspal beton. Kepala Bandar akan tampak memikat seperti daerah-daerah kunjungan wisata lainnya. Kampung ini tentu bakal penuh-sesak pengunjung, makin harum namanya di mata orang luar. Tapi, itu hanya akan terwujud bila Ku Iman mau menandatangai surat persetujuan yang mereka sodorkan itu.

“Saya tidak mau bersepakat untuk membuka jalan maksiat di tempat keramat itu,” lagi-lagi Ku Imam bersikukuh.

“Ini demi masa depan anak-cucu kita, Ku.”

“Apa kau bilang? Kita? Jangan kau bawa-bawa saya dalam permufakatan itu!”

“Lebih baik saya melarat daripada berkecukupan tapi bergelimang syubhat dan maksiat.”

“Huss, kalau salah cakap bisa dituduh melawan pemerintah. Bisa masuk kandang situmbin.”

“Kalian mengancam saya? Mentang-mentang kalian bersekongkol dengan orang berseragam itu? Saya tidak takut! Bahkan bila dari mulutnya keluar api sekalipun.”
**

Tidak ada pemandangan yang menakjubkan di Kepala Bandar itu. Sebagaimana namanya, Kepala Bandar tak lebih dari kepala air yang mengairi sawah-sawah di kampung ini. Lubuk yang sangat digandrungi pasangan muda-mudi pengunjung Kepala Bandar, meski airnya jernih, tapi karena sangat dalam—itu sebabnya bernama Lubuk, warnanya jadi pekat. Alih-alih menyenangkan, malah menakutkan. Sejak dulu Lubuk dianggap sati. Masih tergiang-ngiang di telinga orang-orang cerita tentang Pudin Gabak, penebang liar yang menghanyutkan kayu-kayu curian, saat melintasi Lubuk itu tiba-tiba kesurupan. Selepas itu, ia jatuh sakit, dan tak lama berselang Pudin Gabak mati. Dokter tidak bisa mendiagnosa penyakit yang telah merenggut nyawa penebang liar itu. Desas-desus menyebutkan; Pudin mati karena tersapa hantu penunggu Lubuk. Begitu pula cerita tentang Marentuk Inyik, pemancing yang nekat melepas tali pancingan di kedalaman Lubuk pada suatu hari yang terlarang, hingga kini hilang tak berjejak. Ada yang menduga, ia tenggelam, mayatnya hanyut terbawa arus-deras Kepala Bandar yang di masa itu memang sedang musim buruk. Tapi banyak pula yang percaya Marentuk masih hidup, tapi karena tersesat ke alam orang bunian, selamanyalah ia bakal menjadi makhluk halus. Konon, sesekali ia muncul, di hari-hari buruk, tentu saja. Siapa yang melihat wujud Marentuk, dipastikan tiada bakal selamat. Akibat paling fatal; sakit, lalu mati, tanpa sebab yang kasat mata.

“Lalu Kepala Bandar sebelah mana yang kalian sebut berpemandangan indah dan memesona itu?” tanya Ku Imam pada orang-orang suruhan para pemuka suku itu.

“Pasangan muda-mudi itu datang bukan karena pemandangan Kepala Bandar, tapi karena di sana mereka leluasa membuang hajat.”

Para sesepuh memercayai, di Lubuk itulah Ikan Bersisik Emas—salah satu pertanda kekeramatan syeikh—bersarang. Di hari dan bulan baik, biasanya Ikan itu akan menampakkan diri, berenang ke hilir, mengikuti aliran yang akhirnya bermuara di kolam seluas satu setengah lapangan bola di halaman masjid usang itu. Kedatangan Ikan Keramat adalah pertanda baik. Selepas kemunculannya, sawah-sawah di kampung ini niscaya akan menghasilkan padi yang melimpah, hama wereng dan tikus lenyap tanpa dibasmi, hingga orang-orang tak mengeluh hidup susah sebagaimana kini. Terakhir kali ikan bersisik emas menampakkan wujudnnya saat Ku Imam belum tumbuh jakun, ia satu-satunya murid mengaji yang menyaksikan keajaiban itu. Ukurannya hampir seperempat ukuran masjid, sirip dan sisiknya berkilauan, hingga kolam itu seperti disinari cahaya dari ratusan bohlam berkekuatan tinggi, hingga pandangan Ku Imam silau dibuatnya. Rasanya seperti melihat malam lailatul qadar, kata Ku Imam. Sejak peristiwa itu ia tak pernah berlama-lama meninggalkan masjid itu. Ku Imam tekun membersihkan debu-debu di kelambu makam syeikh di sisi kanan masjid. Ia dipercaya menyimpan semua peninggalan syeikh; Tongkat, Jubah, Tasbih, Kitab-kitab, juga alat-alat bercukur yang mungkin sudah menjadi barang antik. Ku Imam pewaris cerita perihal syeikh dan Ikan Keramat yang masih tersisa. Hanya ia yang tahu betapa berkelindannya hubungan masjid usang itu dengan Kepala Bandar. Bila dulu Kepala Bandar adalah tempat syeikh berkhalwat, bermunajat, kini telah berubah menjadi tempat orang buang hajat. Tak sanggup Ku Imam menggambarkan betapa dahsyatnya petaka yang bakal menggulung kampung ini. Saban malam mimpi-mimpi celaka itu mengusiknya.
**

Ada sembilan juru kunci yang berwewenang penuh menegaskan hitam-putihnya kawasan Kepala Bandar; resmi jadi daerah kunjungan wisata, atau tetap jadi Kepala Bandar dengan kisah lapuk tentang syeikh dan Ikan Keramat. Jumlah sembilan itu terhimpun dari sembilan suku yang masing-masing mengutus satu orang juru kunci. Itu sebabnya disebut Kunci Sembilan. Dan, kini delapan orang juru kunci telah bersetuju untuk menyemarakkan Kepala Bandar. Hanya satu orang yang masih bersikukuh menyanggah. Siapa lagi kalau bukan Ku Imam?

Sekuat apapun Ku Imam bertahan dengan pendiriannya, di atas kertas ia sudah nyata-nyata kalah suara. Delapan orang sejawatnya terus membujuk dengan segala macam janji muluk. Tapi Ku Imam tetap menolak untuk bersepakat dengan para tetua adat yang telah lebih dahulu bersekutu dengan orang-orang yang bakal menangguk keuntungan dari Kepala Bandar.

“Kalaupun Kepala Bandar harus dibuka, kita masih berwewenang membuat aturan, agar tempat suci itu tak ternajisi.”

“Tidak baik akibatnya bila Ku terus menerus bersikeras.”

“Seberapa banyak mereka telah membayar kalian hah?” bentak Ku Imam, ia mulai naik pitam.

“Lakukan apa yang kalian mau, tapi jangan bawa-bawa nama saya. Kepala Bandar itu terang-gelap dan hitam-putih kampung ini. Saya tiada bakal tunduk!”

Hanya tiga malam setelah selisih pendapat di antara petinggi Kunci Sembilan itu, Ku Imam menerima surat panggilan dari kantor polisi. Ia diduga telah menyebarkan ajaran sesat di kampung ini. Masuk akal memang. Bukankah hampir setiap jumat Ku Imam mengambil segumpal tanah untuk dibagikan kepada para peziarah makam syeikh? Tanah itu dipercayai memiliki kekuatan magis, menyuburkan tanah, menyembuhkan penyakit-penyakit kronis. Ku Imam pula yang selalu menukilkan kisah tentang kekeramatan syeikh hingga peziarah-peziarah itu makin fanatik saja.

“Saudara Ku Imam, untuk sementara saudara kami amankan. Ajaran sesat yang saudara pimpin telah meresahkan masyarakat,” kata salah seorang petugas di kandang situmbin itu.
**

Sementara Ku Imam meringkuk di kandang situmbin, pengunjung Kepala Bandar makin penuh-sesak. Pada hari-hari libur, jalan menuju kepala air macet lantaran padatnya iringan-iringan sepeda motor pasangan muda-mudi yang datang hendak bersenang-senang. Semuanya tampak tergesa, seperti orang-orang yang tidak sabar ingin lekas buang hajat. Preman-preman kampung kewalahan mengatur lalu-lalang kendaraan, petugas parkir nyaris kehabisan lahan, para pemilik rakit dan dangau-dagau sewaan tak henti-henti melayani pengunjung yang terus berdesak-desakan, gadis-gadis kampung sibuk berdandan, berjaga-jaga bila sewaktu-waktu datang panggilan—sebab banyak tamu yang datang tanpa pasangan. Sementara itu, tetua-tetua suku lengah karena sibuk menghitung setoran… ***

Jakarta, 2009

0 komentar:

Posting Komentar