Jagal Abilawa: Sawali Telah Kerasukan Ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, dan Kuntowijoyo

Oleh: NAQIB NAJAH

Sebelum anda berbangga dengan kalimat di atas, saya terlanjur menuliskan sebuah catatan sebagai berikut:
Bahwasanya seorang pembaca cerpen tak ubahnya penumpang angkot. Dan pengaranglah sopir kendaraan tersebut. Selamanya penumpang akan memasrahkan segalanya terhadap sopir. Masalah keselamatan, masalah kapan sampainya, masalah jalan yang terjal, itu urusan sopir. Sebab andalah pemegang kemudi. Namun, seberhak apapun anda, penumpangpun mempunyai kuasa untuk melayangkan protes. Seperti ketika anda tak berhati-hati pada tikungan tajam, atau ketika anda sedikit melamun.

Maka sebenarnya sah, ketika seorang pengarang menghendaki ending yang mengangetkan. (Bahkan karya yang seperti inilah karya yang diidam-idamkan pembaca) Namun, ketika anda mengerem sebuah kendaraan dengan mendadak, tanpa kapabilitas kendaraan yang mendukung, niscaya fatal juga apa yang akan terjadi. Adalah wajar ketika istri ngidam kemudian menghendaki sesuatu yang aneh-aneh. Dan demikianlah yang terjadi terhadap Sumi, istri sang Narator. Maka sejatinya tak ada masalah sepanjang anda membangun konflik yang bermula dari ngidamnya Sumi itu. Dengan plot yang tak sebegitu berat, (mengingatkan saya akan gaya Almarhum Kuntowijoyo) anda berhasil membawa pembaca masuk ke dalam alam imaji anda. Bahkan ketika Sumi melahirkan bayi tanpa bantuan siapapun, itu adalah kewajaran. Bukankah bayi dalam rahimnya adalah bayi yang lain dari yang lain. Namun, dalam fase yang seharusnya genting ini, anda terlihat terlalu cair. Atau lebih kasarnya gagal menjiwai sebuah peristiwa.

Ketika kau berniat untuk menuls, penggallah kepalamu terlebih dahulu. Kalimat di atas saya kutip dari ungkapan Joni Ariadinata. Dan memang betul, ketika kita mengarang cerpen, maka janganlah lebih mendahulukan kegeniusan ide, atau kebijakan tokoh. Sebab penjiwaan lebih wajib ketimbang beberapa perangkat itu. Oleh sebab itu, mengapa cerpen Isbedi Setiawan, atau cerpen Juwayriyah Mawardi terasa indah walaupun konflik serta tokoh-tokoh yang dihadirkan tak sehebat atau sebijak Fahri? Dijawab oleh Yanusa Nugroho (dalam pengantar cerpen Isbedi) bahwa terkadang menyajikan perkara yang biasa itu sulit. Sebab dalam cerpen yang bertemakan biasa, satu hal yang lebih dituntut adalah penjiwaan. Penjiwaan yang saya maksud, bisa diartikan semisal penyajian bahasa, atau mengeluarkan beberapa ideologi, mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan batin.

Namun, saya terlanjur menemukan jempol untuk menghadiahi bapak. Sebab, karya bapak adalah karya sastra yang tak mau lari dari konflik. Dan karya yang beginilah yang menurut I Nyoman Dharma Putra sebagai karya yang komplit. (Pengantar Cerpen Terpilih Kompas 2003). Jika seorang Sori Siregar adalah pesulap realita kedalam imajinasi, maka (saya kira) Anda pun pantas menyandang hal itu. ***

Catatan:
Tulisan ini menjadi Pemenang II kontes "Review Cerpen" dari buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya yang digelar di www.sawali.info.
READ MORE - Jagal Abilawa: Sawali Telah Kerasukan Ruh Sori Siregar, Edi AH Iyubenu, dan Kuntowijoyo

DHAWANGAN DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”: SEBUAH CATATAN PENDEK

Oleh: Aris Sutanto

Saya terperanjat, ketika niatan awal saya membaca cerpen Sawali Tuhusetya berjudul Dhawangan ini adalah untuk, menikmati aura magis yang disajikan dalam bentuk kesenian lokal bernama barongan, harus terkikis ketika saya dapati, bahwa di dalamnya terselip kritik sosial yang cukup menohok, terutama kepada kita-kita yang dalam hidup bertetangga, masih gemar menghina dan mencaci, serta memarginalkan individu yang kebetulan terlahir sebagai kaum difabel, baik dalam bentuk cacat fisik, maupun cacat mental.

Cerpen yang dihidangkan dengan pola sorot balik dengan menampilkan tokoh bernama Jayus yang diceritakan tersisih dari pergaulan masyarakat di desanya dan bahkan, sampai tidak diakui eksistensi dan garis kekerabatannya oleh saudara-saudara kandungnya sendiri hanya karena ia mengidap Halitosis (penyakit bau mulut [di sini dikisahkan mulut Jayus menyemburkan bau bacin]) ini, menampilkan dengan begitu apik bagaimana seseorang yang dianggap abnormal seperti Jayus, mendapat masalah sosial (dan psiko-sosial) di lingkungannya.

Dus, jika cerpen ini kita perlakukan dengan “skimming through” (membaca sepintas), gambaran yang kita dapatkan bisa dipastikan tak akan jauh dari kisah yang hanya menyodorkan atraksi pertunjukan barongan yang ditaburi bumbu-bumbu mistis layaknya cergam Petruk-Gareng-Semar karya almarhum Tatang. S. Alih-alih, pesan sosial yang begitu mendesak yang ingin disampaikan pengarang pun, tidak akan tertangkap. Bisa kita rasakan, bagaimana pilunya seorang Jayus yang sampai terpaksa merelakan harga diri dan sisi kemanusiaannya ditukar dengan sifat dhawangan ketika ia dengan memohon, meminta kepada Kang Marto Barong, pimpinan group “Singa Tata Jalma” yang memamerkan atraksi barongan, agar dirinya diperkenankan menjadi pemain dhawangan. Asumsi Jayus begitu sederhana, dengan membiarkan dirinya kesurupan kala mementaskan aksi dhawangan, ia akan bisa melupakan kesedihan batin bahwa dirinya hidup penuh dalam hinaan dan cacian orang-orang. Sebuah pemikiran dan bentuk eskapisme yang tentu wajar dipikirkan oleh sosok seperti Jayus (mungkin kalau contoh-contoh di sekitar kita, bentuk pelarian yang umum dipikirkan orang yang terkena tekanan batin, biasanya tak akan jauh-jauh, kalau bukan menjadikan diri sebagai kriminal dengan merampok atau menjadi psikopat, paling banter ya bunuh diri).

Membaca secara “dua lapis” cerpen Dhawangan ini, mengingatkan saya pada sebuah teori sosiologi yang membahas teori-teori umum perihal penyimpangan, yang salah satunya bernama “teori labeling”. Teori Labeling ini mengatakan, bahwa seseorang bisa menjadi menyimpang, ketika ia mendapatkan label-label (khususnya stigma) tertentu yang ia dapat dari hasil interaksi sosialnya. Seperti seorang yang baru keluar dari penjara, namun masyarakat sekitar tetap menganggap dan menyebutinya seorang maling, misalnya. Pemberian label “maling” secara terus-menerus ini, akan mengakibatkan individu yang bersangkutan, merasa bahwa dirinya tidak akan pernah bisa diterima lagi di masyarakat, ia merasa dirinya tidak diperkenankan berbaur dengan masyarakat sebagaimana individu lainnya, dan jelas ia akan merasa teralienasi.

Eksesnya, karena ia tidak diterima lagi secara baik-baik, ia akan berpikir lebih baik menjadi maling kembali, sebab toh, meski dirinya sudah berusaha menjadi baik pun, cap “maling” masih saja dilekatkan pada dirinya. Begitu pula terhadap mereka-mereka yang disisihkan dari pergaulan sembari diberi label “gila”, “sudrun”, “bau bacin”, “pincang”, dan lain-lain. Orang yang diberi cap cacat mungkin tidak bisa berbuat lain selain peranan yang telah diberikan kepadanya. Pemberian label dan stigma yang demikian, akan menyebabkan orang tersebut menjadi penyimpang sekunder. Ia akan lari pada tempat dan pemikiran yang ia anggap nyaman, meski sebetulnya salah, contoh konkretnya menjadi seorang psikopat.

Ending terbuka dalam cerpen ini pun, membuat cerita serasa semakin bertambah mencekam; apakah kematian lima warga kampung yang mengenaskan dengan leher hampir terputus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas adalah ulah dari dhawangan sebagai sosok halus khas mitos dalam kisah-kisah zaman dulu, ataukah merupakan manifestasi dendam kesumat seorang Jayus terhadap mereka-mereka yang pernah mencaci dan menghinanya; entah, tak ada yang tahu (kecuali pengarangnya sendiri). Namun toh, seperti yang pernah dikatakan Radhar Panca Dhahana, bahwa ”sastra memang semestinya dikembalikan kepada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis”. Dan senada pula dengan semangat postmodern, terwakili ucapan Barthes, bahwa “pengarang telah mati”, dan pembacanyalah yang memiliki kebebasan memainkan tafsir atas karyanya.

Meski pesan sosial yang dibawa dalam cerpen ini makin tersirat menjelang akhir cerita, sehingga semakin membuka mata kita apa yang mau disampaikan pengarangnya (yang membuat cerpen ini memiliki kekuatan–karena selain menekankan estetika kisah, juga menampilkan esensi cerita secara gamblang) tetap saja ada beberapa kekurangan dalam penyajiannya. Tapi, entah mungkin karena saya lebih cenderung mengamati sebuah cerita pendek dari segi substansi atau apa, membuat saya tidak terlalu memperhatikan detail-detail kelemahan cerpen ini, kecuali repetisi kalimat “…di tengah irama gamelan yang rancak ditingkah ketipak kendang yang menghentak-hentak…” yang saya rasakan cukup mengganggu (sampai ada dua-tiga kali diulang pada tiga paragraf). Padahal dengan melihat siapa sosok Sawali sesungguhnya (sebagai seorang yang memiliki kompetensi yang tidak perlu diragukan dalam dunia sastra kontemporer), semestinya beliau bisa memilih kalimat lain, meskipun saya akui, pengulangan kalimat yang digunakan bukanlah sesuatu yang sifatnya tautologis.

Lainnya, yang menjadi kekurangan (atau saya sebut saja keanehan yang lebih bersifat tanda tanya dibanding akhir kisah yang masih misterius), adalah peran Mak Timah selaku ibu Jayus. Penyebutan namanya yang hanya sekali, terkesan sebagai tokoh yang hanya dihadirkan sambil lalu, padahal ia sebagai Simbok yang diceritakan menjadi tempat satu-satunya Jayus mengadu dan satu-satunya orang yang masih sayang kepada Jayus, tentulah memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan untuk menjadikan Jayus anaknya tetap tegar menapaki hidup. Tidak diceritakan pula, bagaimana kondisi batin sang ibu ketika mengetahui anaknya hilang bersamaan dengan hilangnya dhawangan yang, pada saat yang sama, menjadi awal terjadinya pembunuhan berantai yang terjadi di kampung yang menjadi setting cerita.

Tapi terlepas dari itu–sekali lagi seperti apa yang diucapkan Radhar dan Barthes–saya sebagai pembaca, memiliki akses penuh untuk melakukan dekonstruksi ulang, dengan melanjutkan kisah ini sekehendak hati jika ingin mengenyahkan segumpal rasa penasaran yang masih tertinggal di benak. Tapi saya tidak melakukannya, atau katakanlah, belum, sebab, dengan menikmati secara literer saja cerpen Dhawangan ini, selain saya jadi mengenal salah satu atraksi kesenian lokal (yang entah bersetting di Cirebon, Kudus, atau Jepara) ini, saya sudah mendapatkan pelajaran berharga, bahwa kita semestinya hidup ditaburi sikap saling menyayangi, menjaga lidah, tepa selira, mau menerima kekurangan orang lain, tanpa ada diskriminasi apalagi men-subordinasi mereka-mereka yang terlahir tidak normal.

Tentu, saya yang tidak bersih dari dosa pernah menghina dan mengejek orang di sekitar, merasa “tertampar” dengan cerpen buah tangan Pak Sawali ini, sebagaimana “tertampar”-nya seorang pelacur yang konon kemudian sadar dan tobat setelah membaca “Kota Kelamin”-nya Mariana Amiruddin. Bukan dengan dakwah atau khotbah yang berbusa dan berjam-jam saja yang mampu menyadarkan manusia, tapi lewat sebuah cerpen pun, tingkah polah seorang manusia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Untuk hal ini, dan untuk yang ke sekian kalinya, saya angkat topi kepada Pak Sawali… (dan tentu, saya ucapkan terima kasih, cerpen panjenengan menyadarkan saya dari kekeliruan yang sebetulnya sudah lama melekat dalam diri saya ini, yakni kecenderungan mencaci kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada pada diri orang lain). ***

Catatan:
Tulisan ini menjadi Pemenang I kontes "Review Cerpen" dari buku kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih karya Sawali Tuhusetya yang digelar di www.sawali.info.
READ MORE - DHAWANGAN DAN SISI LAIN SAYA YANG “TERTAMPAR”: SEBUAH CATATAN PENDEK

Ranah Sosial dalam Teks Sastra

teks sastraSudah terlalu sering memang dimensi sosial dalam sastra ini diangkat ke permukaan sekaligus menjadi sebuah pembicaraan yang hangat. Namun, seperti dapat ditebak bahwa persoalannya justru kian kabur lantaran telah merembet ke berbagai ranah kreativitas para sastrawan sesuai dengan persepsi yang dikukuhinya. Para sastrawan makin getol mempertahankan visi personalnya masing-masing.

Munculnya dua kubu sastrawan Indonesia merupakan bukti bahwa di antara mereka tak kan pernah bertemu dalam satu titik kebersamaan. Dua kubu sastrawan ini di antaranya, pertama, sastrawan yang menjadikan aspek estetika sebagai bagian paling esensial dalam sastra—sonder diimbangi dengan munculnya ketimpangan-ketimpangan sosial dalam karya-karya mereka. Kedua, sastrawan yang merasa terpanggil untuk mengangkat ketimpangan-ketimpangan sosial sebagai bagian paling esensial dalam sastra sebagai produk budaya –tanpa meninggalkan aspek estetiknya.

Tanpa bermaksud melecehkan kubu yang pertama, maka kini sudah tiba saatnya untuk menjadikan masyarakat sebagai sumber ilham bagi para sastrawan dalam berulah-kreasi. Mengapa? Karena masyarakat kita masih banyak dihuni oleh eknum-oknum tak jujur yang senantiasa menggerogoti keutuhan citra masyarakat adil-makmu yang lambat namun pasti kalau tak segera diberangus akan menjadi kendala terwujudnya kondisi masyarakat yang ideal. Nah, beranjak dari sisi inilah akhirnya sastra yang bicara, selain bidang-bidang sosial yang lain. Lebih-lebih jika diingat sistem dan struktur masyarakat kita yang cenderung mendukung penguasa –mengkritik penguasa sama saja menggorok leher diri sendiri—praktis kritik-kritik langsung secara lisan bisa menimbulkan konflik relasi sosial yang riskan antara atasan dan bawahan, majikan dan kuli, dan sebagainya, dan sebagainya.
Melihat celah-celah kebobroka semacam ini lewat sastralah salah sebuah medium yang dapat dicuatkan. Penulis akur dengan pemikiran Satyagraha Hoerip dengan Sastra Terlibat-nya dengan berlandas tumpu pada konsep bahwa sastra kita sepantasnya ikut menyelamatkan moral bangsa. Buat apa? Agar korupsi, manipulasi, menipu, memeas, dan sebagainya tak usah ikut-ikut mewaris ke generasi muda.

Rakyat sebagai Subjek
Berangkat dari pemikiran Paulo Freire, maka masyarakat sebagai sumber ilham kreativitas susastra menjadi sangat relevam dalam upayanya memberikan pencerahan kondisi zaman. Freire bilang bahwa rakyat mestinya tidak hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, melainkan justru sebagai subjek. Dengan bahasa lain bisa dikaakan bahwa susatra tidak hanya berbicara tentang dan untuk rakyat, tetapi juga berbicara dengan mereka.

Himpitan zaman yang mencekik rakyat, kemiskinan yang nyaris mengeringkan sumsum tulang, kebodohan yang merupakan sumber merajalelanya penipuan dan manipulasi, otoritas penguasa yang cendewrung “memuaskan kebuasan hati” (pinjam istilah Satyagraha Hoerip) serta kebobrokan fatalis lainnya merupakan kondisi yang seharusnya diakrabi oleh para sastrawan. Lebih-lebih berdasarkan pengamatan Soekanto bahwa kemiskinan menduduki urutan pertama selain kebodohan yang mengakibtakan timbulnya ketimpangan-ketimpangan sosial, maka sudah selayaknyalah kalau sastra berurun-rembug untuk menepiskannya ke tepi jurang.

Nah, apakah kalau sastra sudah gamblang-gamblangnya melabrak kemiskinan dan kebodohan masyarakat jadi terentas dari kebobrokan? Secara langsung tidak memang. Namun, seperti kata Chairul Harun, setidaknya masyarakat (pembaca) mempunyai kemungkinan terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai masalah manusia, secara langsung dan sekaligus setelah membaca karya sastra yang mempermasalahkan problema sosial tersebut kemungkinan tidak dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastrawan pengarang novel Warisan yang berwarna lokal Minangkabau sekaligus pencetus konsep Sastra sebagai human control ini juga mengatakan bahwa sastra menjadi mustahil tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya.

Oleh sebab itu, betapapun sebuah karya sastra bergelimang dengan tebaran estetika yang mengharubiru sanubari, tanpa ada persoalan humani yang disentuhnya, ia tak kan bermakna apa-apa dalam benak pembaca. Karya sastra hanya akan melambungkan khayal yang muluk-muluk tanpa ada koherensi makna kemanusiaan yang diluncurkannya. Padahal, menurut A. Teeuw, karya sastra merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi sirinya sendiri sebagai aspek terpenting.

Ronggowarsito Yunior
Kembali pada konsep Sastra Terlibat-nya Satyagraha Hoerip – atau Comitted Literature untuk menamai konsep yang dianut penulis Barat—sebenarnya telah dirintis sejak zaman pujangga besar Ronggowarsito dengan serat Kalatidha-nya yang melukiskan bobroknya moral para pejabat Jawa di masyarakat Surakarta Hadiningrat. Dus, masalah sosial dalam sastra sebenarnya telah mengusik kegelisahan pujangga zaman kerajaan yang dimanfaatkan untuk memberikan pencerahan terhadap kondisi zaman yang penuh dengan ulah dan tingkah kemunafikan.

Berangkat dari titian historis inilah sudah selayaknya mulai terpikir untuk menghidupkan kembali suasana sastra yang hanya adem-ayem itu. Apalagi, kini kondisi politis telah memungkinkan untuk menghembuskan kembali adanya bias-bias sosial dalam sastra. Hal ini terbukti dengan dipakainya adagium: “Di zaman gila dan tak bermoral, seuntung-untungnya orang yang lupa masih untung orang yang ingat dan waspada” dalam sebuah forum resmi oleh penguasa negeri ini. Oleh sebab itu, seperti harapan Satyagraha Hoerip, tiba saatnya kini tampil Ronggowarsito-Ronggowarsito yunior untuk mengobarkan kembali ketimpangan-ketimpangan sosial, kebobrokan-kebobrokan moral, dan kenyataan korup lainnya dalam sastra. Tujuannya? Agar segala thethek-bengek praktik keculasan dan ketakjujuran –yang memanfaatkan kemiskinan dan kebodohan wong cilik—menjadi impas dari segala rangsang tingkah amoral.

Bagi para sastrawan yang menghamba pada “Dewa Estetika”, boleh jadi berang dengan luncuran-luncuran konsep semacam itu. Akan tetapi, mengingat bahwa susastra sebagai sebuah unicum yang hadir dengan kemandirian persepsi masing-masing sastrawannya, maka konsep-konsep di atas justru menjadi sah adanya. Bahkan, dengan adanya beragam persepsi yang majemuk sanggup menjadikan rimba sastra kita semakin kaya dan semarak.

Sastra dengan kondisi yang pluralis justru harus dimaknai sebagai dunia otonom yang mampu merambah ke berbagai versi yang tak terbatas dan bertepi, baik dari aspek bentuk (keindahan) maupun isi (amanat)-nya. Biarlah masing-masing kubu sastrawan berderap dan bertiarap sesuai komando zaman yang memolanya. Akan menjadi tidak sah jika tiap kubu berupaya menyerang dan meluncurkan bom guna mematikan pihak kawan yang dianggap lawan tanpa adanya teriakan komando.

Paling Esensial
Boleh dibilang bahwa dimensi sosial dalam sastra merupakan aspek paling esensial tanpa ditunggangi oleh isme-isme tertentu. Seperti kita tahu bahwa sastra menjadi mokal tanpa adanya persoalan manusia yang disentuhnya. Manusia sebagai persoanal yang sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari paguyuban masyarakat secara komunal merupakan persoalan adikodrati dan sudah laik menjadi komitmen sastrawan dalam menggarap masalah-masalah yang diahadapinya tatkala berproses kreatif. Oleh sebab itu, karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan ulah dan pokal gawe manusia, maka pencerahan terhadap kondisi zaman yang buram harus dikembalikan kepada manusianya. Dalam hal ini lantaran sastrawan yang notabene memiliki kepekaan intuitif dan mata batin yang tajam, maka merekalah yang perlu mencairkan kondisi zaman dari kebekuan.

Hanya saja kita juga butuh sastra yang tidak melulu mengobarkan yel-yel dan protes yang gegap-gempita, tetapi harus dibarengi dengan poetika estetik yang sanggup menumbuhkan kesadaran ke dalam lubuk hati pembaca tanpa bermaksud menggurui. Sebab apa? Pembaca yang hanya disodori dengan pepatah-peitih sosial yang nggegirisi tak ubahnya pembaca bak membaca sebuah repertoir kejadian demonstrasi dan unjuk rasa yang vulgar sonder diimbangi dengan persepsi dan visi penulisnya.

Persoalan estetika memang tak bisa ditinggalkan oleh sastrawan. Pada awal mulanya, sastra tercipta untuk dinikmati keindahan estetiknya, bukan untuk dipahami. Namun, mengingat bahwa sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka akhirnya berkembang sesuai dengan proses zaman yang memolanya. Sastra diharapkan mampu memberikan sesuatu yang berguna di benak pembacanya, selain untuk dinikmati keindahan yang tercipta di dalamnya. Dus, dapat ditarik sebuah sentesis bahwa selain mengandung nilai-nilai yang kuyup keindahan, sastra harus pula diimbangi dengan persoalan-persoalan yang tengah berlangsung di tengah kehidupan masyarakat. Ya, dapat juga dibalik menjadi sebuh idiom: “Dimensi sosial dalam sastra harus diimbangi dengan poetika estetik. ***
READ MORE - Ranah Sosial dalam Teks Sastra

"Pemberontakan" dalam Teks Sastra

Sekitar tahun 1983, Budi Darma pernah menyatakan, jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan, cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya para sastrawan kita belum berbobot. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Paling tidak, ada dua kandungan tafsir yang tersirat di balik pernyataan pengarang novel Olenka itu.

Pertama, sebagai ”pasemon” terhadap ”tradisi” pengarang yang suka bikin sensasi lewat eksperimentasi penciptaan yang mentah dan konyol, tanpa dibarengi akuntabilitas moral dan etik. Artinya, pemberontakan hanya dilakukan untuk memburu ketenaran nama an sich, tidak berbasisikan kultur penciptaan yang dengan sangat sadar dilakukan untuk melahirkan teks-teks kreatif yang bernilai.


Kedua, pemberontakan bisa dimaknai sebagai upaya pengarang dalam melakukan perburuan kreativitas penciptaan yang lebih berbobot sehingga mampu menghembuskan napas dan arus kesadaran baru lewat teks-teks sastra masterpiece dan menyejarah. Atau, lewat pemberontakan yang dilakukan, sang sastrawan sanggup menancapkan tonggak sejarah baru di tengah-tengah dinamika sastra.


Hampir setiap angkatan, sejarah sastra kita mencatat munculnya para pemberontak yang berupaya melakukan pembebasan ”mitos” penciptaan teks-teks sastra. Pemberontakan yang mereka lakukan bukanlah sikap latah yang berambisi melambungkan nama di tengah jagad kesastraan, tetapi lebih berupaya untuk mencari dan menemukan bentuk pengucapan yang sesuai dengan tuntutan hati nurani dan kepekaan estetiknya.


Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Chairil Anwar lewat sajak ”Aku” pada Angkatan ’45, Sutardji Calzoum Bachri lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat kumpulan cerpen Godlob pada era 1970-an adalah beberapa nama yang bisa dibilang sukses melakukan pemberontakan kreatif sehingga bobot kesastraan mereka amat diperhitungkan dalam diskursus sastra. Tentu masih banyak pengarang lain yang dengan amat sadar meniupkan roh dan semangat pemberontakan dalam karya-karya mereka.


Lantas, bagaimana dengan ”pemberontakan” para sastrawan kontemporer kita? Agaknya, atmosfer peradaban yang tidak lagi sarat dengan pemasungan dan ketertindasan terhadap penciptaan teks-teks kreatif, justru seringkali memandulkan sikap pemberontakan itu. Tak ada lagi tantangan untuk menciptakan teks-teks yang lebih ”liar” dan mencengangkan. Miskinnya pemberontakan para sastrawan kontemporer itu bisa jadi makin memperkuat dugaan bahwa negeri kita memang bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Apalagi tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesastraan masih berada pada aras yang amat rendah.


Kondisi semacam itu diperparah dengan langkanya penerbit yang memiliki idealisme untuk menghidupkan dan menggairahkan terbitnya buku-buku sastra. Untung rugi secara finansial agaknya menjadi pertimbangan utama para penerbit dalam meluncurkan buku-buku sastra. Mereka tak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra kalau pada akhirnya ”jeblog” di pasaran.


Mandulnya peran Dewan Kesenian (Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra di daerah pun memiliki andil yang cukup besar dalam ”membunuh” pemberontakan para pengarang lokal. Keberadaan Dewan Kesenian tak lebih dari sebuah perpanjangan tangan birokrasi yang lebih sibuk mengurus persoalan-persoalan administratif dan pendanaan ketimbang substansi dan esensi kesastraan. Akibatnya, potensi lokal-genius kesastraan tak bisa berkembang. Aktivitas sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik (nyaris) tak pernah tersentuh.


Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan mustahil nasib sastra kita makin merana dan tak terurus. Dalam konteks demikian, dibutuhkan sinergi dan kesadaran kolektif semua pihak untuk memosisikan sastra pada aras yang lebih terhormat. Sebagai kreator, sang sastrawan dituntut memiliki ”nyali” pemberontakan kreatif dalam melakukan perburuan, inovasi, serta eksplorasi aspek muatan nilai dan penyajian sehingga mampu menancapkan tonggak yang melegenda dalam khazanah sastra kita. Jika proses ini berhasil, penerbit yang masih memiliki idealisme terhadap persoalan-persoalan kebudayaan dan kemanusiaan pasti akan memburunya. Dimensi hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat kita perlu terus digali dan diangkat ke dalam teks-teks sastra sehingga mampu memancarkan ”aura” kemanusiaan bagi penikmatnya. Melalui kepekaan intuitifnya, sastrawan kita diharapkan mampu menafsirkan dan menerjemahkan berbagai persoalan mikro dan detil kehidupan menjadi lebih bermakna.


Masih banyak persoalan sastra yang belum tergarap secara serius, termasuk meningkatkan apresiasi publik terhadap sastra. Dunia pendidikan sebagai wadah pemberdayaan anak bangsa perlu dijadikan sebagai ajang apresiasi dan pembumian nilai-nilai kesastraan. Jika, memungkinkan, program ”Sastrawan Masuk Sekolah” yang dulu pernah gencar dilakukan perlu dihidupkan kembali untuk membantu guru-guru bahasa dan sastra yang selama ini dinilai telah gagal dalam menanamkan apresiasi sastra kepada siswa didik. Nah, bagaimana? ***




READ MORE - "Pemberontakan" dalam Teks Sastra

Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?

Sastrawan Masuk Sekolah (SMS) yang dulu pernah gencar digelar oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas, agaknya kini tak terdengar lagi gaungnya. Agenda yang pernah menghadirkan sastrawan papan atas semacam Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, atau Taufik Ikram Jamil di balik tembok sekolah itu kini seolah-olah sudah "tamat" riwayatnya. Apakah lantaran The Ford Foundation tak lagi turun tangan menjadi sponsornya? Entahlah!


Memang, agenda SMS pernah dikritik oleh Mursal Esten. Ia khawatir, agenda semacam itu bisa membuat para guru dan siswa lebih tertarik pada akting sang sastrawan ketimbang secara suntuk melakukan penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra yang merupakan arus utama dalam kegiatan apresiasi. Dengan kata lain, kehadiran sastrawan ke sekolah justru hanya akan melahirkan apresiasi semu yang berujung pada pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastrawi. Para guru dan siswa cenderung menjadi snobis gaya baru yang mengagumi sastrawan tertentu secara berlebihan, naif, dan "membabi buta", tanpa diimbangi dengan intensitas apresiasi yang sesungguhnya.


Kalau itu yang terjadi, bukankah SMS hanya akan menjadi ajang pameran bagi sastrawan tertentu guna mendapatkan pengukuhan, popularitas, dan legitimasi baru lewat institusi pendidikan?


Harus diakui, apresiasi sastra bukanlah pelajaran yang bisa dengan mudah "menghipnotis" siswa untuk menggemari teks-teks sastra. Pertama, pelajaran apresiasi sastra dianggap tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, amat "miskin" nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan. Hal itu berbeda dengan pelajaran Fisika, Matematika, atau bahasa Inggris yang dianggap memiliki pertautan langsung dengan nilai-nilai praksis kehidupan dan masa depan. Tidak mengherankan jika hanya beberapa gelintir siswa yang memiliki "dunia panggilan" untuk bersikap serius, total, dan intens dalam mengapresiasi sastra.


Kedua, tidak semua guru sastra memiliki minat dan "talenta" sastra yang memadai. Alih-alih menyajikan teks-teks sastra secara menarik dan memikat bagi peserta didik, sekadar menafsirkan teks sastra untuk dirinya sendiri pun masih sering kedodoran. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra berlangsung monoton, miskin kreativitas, sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori model hafalan. Yang lebih memprihatinkan, pelajaran apresiasi sastra tak jarang dilewati begitu saja lantaran jarang diujikan dalam soal ulangan umum maupun ujian. Guru tidak mau bersikap konyol dengan menyajikan apresiasi sastra secara total dan serius kepada siswa didik kalau pada akhirnya nilai ujian nasional yang selama ini "didewa-dewakan" jadi merosot.


Ketiga, langkanya buku-buku teks sastra di sekolah. Sudah bukan rahasia lagi, "kemauan politik" pemerintah untuk membumikan sastra lewat dunia pendidikan masih amat minim. Diakui atau tidak, para birokrat masih punya basis asumsi klise bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Bahkan, tidak jarang yang memahami bahwa parodi dan kritik dalam teks sastra sebagai penghambat laju pembangunan, sehingga perlu dilakukan sensor ketat terhadap teks-teks sastra yang hendak diluncurkan ke sekolah. Tidak berlebihan jika pusat perbukuan amat jarang --lebih tepat dibilang langka-- memasok buku-buku sastra mutakhir yang berbobot ke sekolah. Yang tersedia di perpustakaan sekolah hanyalah teks-teks sastra pendukung kebijakan penguasa yang tergolong "basi" dan ketinggalan zaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya, wawasan dan "kecanggihan" sastra para guru dan siswa didik (nyaris) tak pernah bergeser dari kondisi stagnan.


***


Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi yang ditandai dengan makin terbukanya persaingan di era pasar bebas, sastra justru menjadi penting dan urgen untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global secara arif, matang, dan dewasa. Dalam konteks demikian, sastra menjadi semakin penting, bukan saja lantaran sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas persoalan yang dihadapinya.


Untuk membedah kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi hidup yang terkandung dalam teks sastra jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemahaman dan penghayatan secara serius dan total lewat pembimbingan apresiasi secara intensif; bukan sekadar digelembungkan lewat slogan dan retorika.


Nah, ketika guru sastra mulai gencar dipertanyakan kapabilitasnya dan dianggap tak berdaya dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi sastra kepada siswa didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke sekolah untuk memberikan "sugesti" dan "injeksi" agar muncul gairah apresiasi baru dalam proses pembelajaran sastra. Ini artinya, agenda SMS perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk ikut menjawab kegelisahan dan kegagapan guru sastra di sekolah yang dinilai "miskin" kreativitas dan kurang "canggih" dalam menyajikan apresiasi sastra, sehingga tingkat apresiasi sastra peserta didik berada pada titik yang rendah.


***


Kekhawatiran bahwa SMS hanya akan menyesatkan apresiasi sastra siswa lantaran hanya memunculkan kekaguman pada "keaktoran" sastrawan ketimbang pada teks sastranya, memang sah-sah saja apabila tidak diimbangi dengan kreativitas sang sastrawan dalam meluncurkan teks-teks sastra berbobot yang mengalir dari tangannya. Kehadiran mereka tak lebih dari seorang selebritis yang menaburkan mimpi keglamoran bagi penggemar dan pengagumnya. Namun, sepanjang kepiawaian sang sastrawan dalam berakting disempurnakan lewat kiprah dan gairah bersastra yang tak henti-hentinya mengalir, kehadiran mereka justru akan mampu menjadi "oase" bersejarah di tengah kegersangan apresiasi sastra yang sudah lama dirasakan oleh dunia pendidikan.


Jelas, yang dibutuhkan bukan sastrwan yang semata-mata pandai berakting mengartikulasikan teks-teks sastra di depan guru dan siswa didik, melainkan mereka yang mampu mengomunikasikan nilai estetika dan ide-ide cemerlang yang terpancar dari teks-teks sastra secara cerdas sehingga mampu memberikan imaji positif sekaligus mampu membebaskan mitos sastra sebagai dunia kaum pengkhayal yang miskin kontribusinya terhadap gerak dan dinamika peradaban.


Lewat kehadiran sastrawan ke sekolah, teks-teks sastra yang selama ini berada di puncak keterasingan bisa membumi dan tersosialisasikan secara intensif di bangku sekolah. Harapannya, teks sastra tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah produk budaya, tetapi juga sebagai sebuah kenikmatan rohaniah yang mencerahkan.


Persoalannya sekarang, kenapa para sastrawan lokal --yang tak kalah hebatnya dengan sastrawan ibukota-- dan sekolah-sekolah yang ada di daerah belum juga tergugah untuk membangun jaringan mutualistis yang identik dengan SMS? Sudah bukan saatnya lagi sekolah menjadi "tempurung" ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki sumber-sumber belajar dari luar. Justru sebaliknya, sekolah harus benar-benar memosisikan diri sebagai basis pendidikan nilai, menggambarkan diorama masyarakat mini yang lentur dan terbuka terhadap segala tantangan dan perubahan konstruktif dalam mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Demikian juga sang sastrawan. Mereka diharapkan tidak hanya sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada publik, termasuk lewat agenda SMS.


Sampeyan punya cara lain? ***


READ MORE - Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?