Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.

Rakor
Direktur Pembinaan TK/SD
Rakor
Jajaran Direktorat Pembinaan TK/SD
Rakor
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri
Rakor
Dr. Zaim Uchrowi (Direktur Balai Pustaka)


Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.

Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.

Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.

Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?

Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis-- perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).

Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.

Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga! ***
READ MORE - Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

selamat idul fitri



KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN:


SELAMAT IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN



SEMOGA KITA BENAR-BENAR KEMBALI KEPADA FITRAH-NYA, AMIIIN.


READ MORE - Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

Selamat Datang Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan


Ramadhan telah datang. Satu masa dalam setahun yang sangat tepat dijadikan sebagai media refleksi terhadap perilaku keseharian kita. Semoga kita bisa menunaikan kewajiban suci dan mulia ini dengan tenang, khusyu', dan penuh kegembiraan. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin.


READ MORE - Selamat Datang Ramadhan

Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

petaindonesiaKita memang sudah menghirup udara kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Jika dianalogikan dengan usia manusia, negeri ini bisa dibilang cukup tua. Wajahnya sudah mulai tampak keriput. Tenaganya seringkali sempoyongan ketika memanggul beban. Namun, dari sisi pengalaman hidup, jelas sudah banyak dinamika kehidupan yang dilaluinya. Dalam kondisi demikian, idealnya negeri ini sudah memiliki kematangan dan kedewasaan sikap dalam menentukan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan yang bisa diwariskan dari generasi ke generasi dalam mencapai kemajuan dan kualitas hidup bangsa.

Meski demikian, secara jujur mesti diakui, semakin bertambahnya usia, bangsa kita justru semakin dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan yang makin rumit dan kompleks. Bangsa kita tak hanya dihadapkan pada persoalan-persoalan eksternal ketika dunia sudah menjadi sebuah “perkampungan global”, tetapi juga dihadapkan pada persoalan-persoalan internal yang justru makin menambah beban bangsa makin berat. Silang-sengkarutnya persoalan ekonomi, masih banyaknya kasus “mafia” peradilan yang menghambat supremasi hukum, sistem pendidikan yang masih amburadul, wajah demokrasi yang sarat “pembusukan”, atau berbagai fenomena anomali sosial yang marak terjadi di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, merupakan beberapa contoh fenomena betapa negeri ini telah kehilangan nilai-nilai kearifan dan fatsun kehidupan. Tidak berlebihan jika dinamika kehidupan negeri ini terkesan stagnan, bahkan mengalami set-back jauh ke belakang.

Homo Violens
Yang lebih mencemaskan, negeri ini dianggap telah kehilangan nilai-nilai kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat meruyaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme yang tak henti-hentinya menggoyang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa kita yang multikultur dan multiwajah dinilai telah kehilangan sikap ramah. Nilai-nilai keberadaban telah tereduksi oleh sikap-sikap kebiadaban yang membudaya dalam bentuk tawuran pelajar, pemerkosaan, pembunuhan, mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Sentimen-sentimen primordialisme berbasis kesukuan, agama, ras, atau antargolongan menjadi demikian rentan tereduksi oleh emosi-emosi agresivitas. Bangsa kita seolah-olah telah menjelma menjadi “homo violens” yang menghalalkan darah sesamanya dalam memanjakan naluri dan hasrat purbanya.

Memang bukan hal yang mudah untuk memutus mata rantai kekerasan sebagai ekspresi bangsa yang “murka” akibat pasungan rezim masa lalu yang bertahun-tahun lamanya “memenjarakan” anak-anak bangsa dalam tungku kekuasaan yang dianggap tertutup, tiran, dan tidak adil. Kesenjangan sosial-ekonomi yang begitu lebar, disadari atau tidak, telah membuat kehidupan masyarakat di lapisan akar rumput menjadi gampang putus asa dan rentan terhadap aksi-aksi kekerasan. Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka. Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.

Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru dinilai telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan. Manusia modem, dalam pandangan Hembing Wijayakusuma (1997), telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika. Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.

Ranah Pendidikan
“Historia est Magistra Vitae”, demikian ungkapan Latin yang nyaring terdengar itu. Ya, sejarah adalah guru kehidupan. Berkaca pada lintasan sejarah dari generasi ke generasi, sudah saatnya bangsa kita kembali memburu dan menemukan kesejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Temukan kembali sikap ramah itu menjadi entitas karakter bangsa yang telah lama hilang, untuk selanjutnya diapresiasi dan menjadi laku utama dalam kehidupan sehari-hari.

Ramah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti: "baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan." Beranjak dari pengertian ini, sikap ramah jelas akan memberikan nilai tambah buat bangsa yang kini tengah memasuki peradaban yang “sakit” dan sarat dengan berbagai pembusukan yang bisa mengikis kesejatian diri bangsa. Oleh karena itu, menggali dan merevitalisasi nilai-nilai keramahan menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Sikap ramah juga akan mampu menanggalkan sikap-sikap congkak, dendam, dan kebencian, yang selama ini benar-benar telah membuat bangsa kita terpuruk ke dalam kubangan stagnasi dan situasi yang serba chaos. Sangat beralasan ketika bangsa lain sudah melaju mulus di atas “jalan tol” peradaban dunia, bangsa kita justru masih bersikutat di balik semak-belukar lantaran sibuk menaburkan bibit-bibit dendam dan kebencian terhadap sesamanya.

Akar kekerasan yang membelit sendi-sendi kehidupan bangsa tentu saja tidak lahir begitu saja. Sistem pendidikan kita yang belum efektif dalam melahirkan generasi-generasi masa depan yang cerdas sekaligus bermoral yang kemudian “berselingkuh” dengan kultur sosial masyarakat kita yang sedang chaos dan “sakit” setidaknya telah memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan lingkaran kekerasan itu.

Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan.

Nilai-nilai luhur baku yang digembar-gemborkan di lembaga pendidikan (nyaris) tak bergema dalam gendang nurani siswa didik ketika berbenturan dengan kenyataan sosial yang chaos dan “sakit”. Nilai-nilai kesantunan dan keberadaban telah terkikis oleh meruyaknya perilaku-perilaku anomali sosial yang berlangsung di tengah panggung kehidupan masyarakat. Ketika guru menanamkan nilai-nilai moral dan religi, para siswa harus melihat kenyataan, betapa masyarakat kita demikian gampang kalap dan lebih mengedepankan emosi ketimbang logika dan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. Nilai-nilai kearifan dan kesantunan telah terbonsai menjadi perilaku yang sarat darah dan kekerasan. Ketika guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, betapa anak-anak masa depan negeri ini harus menyaksikan banyaknya kaum elite yang tega melakukan pembohongan publik, manipulasi, atau korupsi. Hal itu diperparah dengan tersingkirnya anak-anak miskin dari dunia pendidikan akibat ketiadaan biaya.

Sampai kapan pun lingkaran kekerasan di negeri ini tidak akan pernah bisa terputus apabila tidak didukung oleh atmosfer dunia pendidikan yang nyaman dan mencerahkan serta kultur sosial yang kondusif. Oleh karena itu, sudah selayaknya fenomena kekerasan ini mendapatkan perhatian serius dari semua komponen bangsa untuk menghentikannya. Para elite negeri, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, orang tua, atau pengelola media, perlu bersinergi untuk bersama-sama membangun iklim kehidupan yang nyaman dan mencerahkan di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat. Demikian juga dari ranah hukum. Perlu diciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan agar tidak terus-terusan mewabah dan memfosil dari generasi ke generasi.

Selain itu, idealnya lingkungan keluarga juga harus memiliki filter yang kuat terhadap gencarnya arus perubahan yang tengah berlangsung. Dalam konteks demikian, peran orang tua menjadi amat penting dan vital dalam memberdayakan moralitas anak. Orang tualah yang menjadi referensi utama ketika anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Idealnya, orang tua mesti bisa menjadi “patron” teladan. Anak-anak sangat membutuhkan figur anutan moral dari orang tuanya sendiri, yang tidak hanya pintar “berkhotbah”, tetapi juga mampu memberikan contoh konkret dalam bentuk perilaku, sikap, dan perbuatan.

Masyarakat juga harus mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol yang ikut mengawasi perilaku kaum remaja kita. “Deteksi” dini terhadap kemungkinan munculnya perilaku kekerasan mutlak diperlukan. Potong secepatnya jalur agresivitas yang kemungkinan akan menjadi “jalan” bagi penganut “mazab” kekerasan dalam menyalurkan naluri agresivitasnya. Ini artinya, dibutuhkan sinergi yang kuat antara dunia pendidikan, orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan para pengambil kebijakan untuk bersama-sama peduli terhadap perilaku kekerasan yang (nyaris) menjadi budaya baru di negeri ini.

Sungguh, kita sangat merindukan Indonesia yang multiwajah dan multikultur serta memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang begitu beragam itu ditaburi dengan nilai-nilai keramahan, kearifan, dan fatsun kehidupan di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Jangan sampai terjadi pesona kekerasan, arogansi kekuasaan, dan emosi-emosi agresivitas purba yang serba naif, sebagaimana disindir W.S. Rendra dalam “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon” berikut ini menjadi “fosil” yang makin memperkuat stigma bangsa kita sebagai bangsa bar-bar dan biadab.
………………………………………
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya! Ya! Kekerasan mulai mempesona orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan?
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini?
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak?
Apakah kata nurani kemanusiaan?

O, Senjakala yang menyala!
Singkat tapi menggetarkan hati!
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang!

O, gambaran-gambaran yang fana!
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977
("Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" karya W.S. Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi)

Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Mengembalikan Wajah Indonesia yang Ramah

Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?

logo_diknasSejarah kita telah mencatat, guru senantiasa tampil di garda depan dalam membebaskan generasi bangsanya dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan keterasingan peradaban. Lewat entitas pengabdian yang tulus, tanpa pamrih, total, dan intens, guru telah banyak melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, sekaligus bermoral. Tak dapat disangkal lagi, jasa guru dalam mewarnai dinamika peradaban dari zaman ke zaman benar-benar teruji oleh sejarah.

Dulu, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk padepokan atau pertapaan, seorang guru alias resi menjadi figur sentral, otonom, dan bebas menuangkan kreativitasnya dalam menggembleng para cantrik. Resi pada zamannya dinilai menjadi sosok yang benar-benar mumpuni, pinunjul, dan kaya ilmu, sehingga menjadi figur yang dihormati dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi dianggap sebagai “sabda” tak terbantahkan. Perilaku dan kepribadiannya menjadi cermin dan referensi bagi para cantriknya. Tak berlebihan kalau padepokan menjadi sebuah institusi yang kredibel dan begitu tinggi citranya di mata masyarakat.

Resi alias guru, sejatinya adalah hamba kemanusiaan. Mereka menjadi pelayan, abdi pendidikan. Mereka menjadi agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran sehingga mampu membuka mata dan nurani terhadap kesejatian diri, harga diri, harkat, dan martabat bangsanya.

Sebagai hamba kemanusiaan, dengan sendirinya guru sangat akrab dengan kehidupan anak-anak bangsa yang masih butuh sentuhan kearifan, kejujuran, kesabaran, dan ketulusan nurani. Karena tugasnya bersentuhan langsung dengan kehidupan sebuah generasi, guru tak hanya dituntut menguasai materi ajar, tetapi juga diharapkan terampil menyajikannya kepada siswa didik secara menarik sekaligus menyenangkan. Selain itu, guru juga dituntut memiliki integritas kepribadian yang baik sehingga tak gampang tergoda melakukan tindakan tercela yang akan meruntuhkan citra dan kredibilitasnya. Hal ini sangat beralasan, sebab tugas guru tak hanya sebagai pentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur baku kepada siswa didiknya.

Pergeseran Nilai

Seiring derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan, beban yang mesti dipikul guru jelas semakin berat. Modernisasi yang membawa imbas terjadinya pergeseran tata nilai menjadi persoalan krusial bagi guru. Guru mesti dihadapkan pada persoalan serius ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dimarginalkan, nilai-nilai moral dan agama semakin terbonsai, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial) makin terabaikan.

Dalam pandangan Erich Fromm, era modernisasi yang mengibarkan bendera peradaban teknologi, bukan perjuangan manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan, melainkan merupakan masa di mana manusia telah terhenti menjadi manusia. Manusia telah berubah menjadi mesin yang tidak berpikir dan berperasaan sehingga gampang kehilangan kontrol terhadap sistem yang telah dibangun bersama. Meminjam bahasa Max Weber, masyarakat tak ubahnya seperti ”kandang besi” yang memasung dan membelenggu kehidupan manusia modern.

Iklim dan atmosfer kehidupan modern semacam itu, disadari atau tidak, juga memiliki andil yang cukup besar terhadap munculnya generasi ”robot” yang kehilangan kepekaan etika, estetika, dan religi. Mereka telah menjadi generasi instan yang kehilangan apresiasi terhadap nilai kejujuran, kesabaran, dan ketelatenan. Untuk mencapai harapan dan keinginan, mereka tak segan-segan mencari jalan pintas dan suka menerabas.

Yang lebih mencemaskan, para pelajar masa kini dinilai juga mulai kehilangan sikap hormat dan respek terhadap gurunya. Hubungan guru dan murid telah kehilangan kedalaman komunikasi yang intens dan harmonis. Akibatnya, guru seringkali tak berdaya dalam menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif; efektif, menarik, dan menyenangkan.

Dalam kondisi demikian, diperlukan sinergi antara guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan elemen pendidikan yang lain Di tengah situasi peradaban yang makin rumit dan kompleks, stakeholder pendidikan perlu memiliki kesamaan visi dalam upaya membebaskan generasi masa depan negeri ini dari belenggu peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Orang tua perlu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman nilai moral, budaya, dan agama. Kesibukan memburu gebyar materi jangan sampai menjadi penghalang untuk dekat dengan anak-anak. Demikian juga halnya dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka perlu mengembalikan fungsinya sebagai kekuatan kontrol terhadap berbagai perilaku menyimpang yang rentan dilakukan oleh anak-anak.

Sebagai hamba kemanusiaan, guru juga perlu mengembalikan ”khittah”-nya sebagai sosok yang benar-benar bisa ”digugu dan ditiru” sehingga tetap sanggup menjalankan perannya sebagai agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran terhadap nilai-nilai kesejatian diri. ***
READ MORE - Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?