Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Benarkah kita hidup di tengah peradaban horor? Bagaimana kita mesti memaknai meruyaknya berbagai bentuk kekerasan, korupsi, manipulasi, atau kejahatan yang tampil begitu telanjang dan vulgar di depan mata kita? Haruskah kita terus tenggelam dalam kubangan budaya “horor” yang nyata-nyata telah menanggalkan hakikat kemanusiaan kita yang tanpa disadari telah menjadikan kita sebagai sosok-sosok buas dan kanibal yang rela memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat kebuasan hati?

karnavalPascakemerdekaan, setidaknya kita telah melampaui tiga orde, yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Namun, banyak kalangan menilai, dari tiga orde yang kita lalui, (nyaris) belum manghasilkan perubahan yang mampu mengangkat harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang berdaulat, bermartabat, dan terhormat. Situasi transisi dari satu orde ke orde berikutnya, selalu saja menampilkan drama horor yang berending tragis; yang telah meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.

Era Orde Lama, misalnya, – meminjam istilah Budiman (2008) -- telah menghasilkan manusia Indonesia sebagai "manusia ideologis", yaitu manusia yang sarat dengan ide dan slogan-slogan ideologis. Berbagai slogan rakyat sebagai "pejuang", sebagai "berdiri di atas kaki sendiri", sebagai "nasionalis" menjadi bagian realitas manusia Orde Lama (Orla). Meski demikian, Orla gagal meningkatkan harkat kemanusiaan itu sendiri, disebabkan kegagalannya dalam memenuhi satu dimensi kemanusiaan, yaitu dimensi ekonomi. Kekerasan berlangsung karena ideologi dan kemiskinan.

Era Orde Baru, telah menghasilkan "manusia-manusia mekanis", yakni manusia-manusia pembangunan yang pikirannya justru dikosongkan dari ideologi-ideologi, untuk kemudian diisi dengan satu-satunya "ideologi", yaitu ideologi pembangunanisme. Manusia kemudian menjadi sekumpulan komponen dari "mesin pembangunan", yang di dalamnya berlangsung industrialisasi pikiran, berupa penyeragaman, standardisasi dan pembatasan-pembatasan terhadap manusia. Di dalamnya, berlangsung berbagai bentuk kekerasan dan in-humanitas, seperti penculikan, penyekapan, penangkapan paksa, ketimpangan, marjinalisasi, peminggiran, pemaksaan, represi, subordinasi, jual paksa, penyerobotan hak milik, perampasan hak pribadi menjadi bagian dari mesin pembangunan yang tidak manusiawi.

demoSementara itu, pada era Reformasi –disadari atau tidak—telah terjadi fragmentasi besar-besaran manusia sebagai akibat terbukanya pintu demokratisasi dan kebebasan. Akan tetapi, ironisnya, iklim reformasi justru telah menciptakan manusia- manusia yang kini lebih mementingkan diri sendiri, yakni manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja terhadap manusia lain dan melahirkan juga manusia-manusia buas yang dapat menerkam dan memangsa negara hingga sekarat, demi memenuhi hasrat dan kepentingannya; mereka suka mengeksploitasi manusia-manusia lain sebagai "manusia komoditas" yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilannya, demi kepentingan ekonomi, politik, dan keselamatan pribadi. Tanpa disadari, bangsa kita telah menjadi “pemuja” ritual arak-arakan, karnavalisme, retorika, pidato, pawai, dan bahkan demonstrasi, yang makin berdampak luas terhadap tatanan nilai dan norma-norma peradaban masyarakat.

Kini, sudah seabad lebih bangsa kita mengalami momentum kebangkitan nasional. Sudah selayaknya segenap komponen bangsa melakukan refleksi terhadap peradaban “horor” yang nyata-nyata telah kita rasakan amat mengusik nurani kemanusiaan kita. Semua pihak yang memiliki kekuatan untuk membangun peristiwa horor dengan segenap implikasi yang ditimbulkannya perlu melakukan “rehumanisasi” untuk menegakkan dan membangun kembali pilar-pilar kemanusiaan dan peradaban sipil yang (nyaris) runtuh.

Yang perlu segera dilakukan adalah meminimalkan efek-efek kerusakan dan mengontrol kompleksitasnya sehingga tidak jauh membentuk lubang-lubang kekerasan yang makin membuka dan meluas. Selain itu, aksi-aksi kemanusiaan yang sanggup membuka ruang untuk menumbuhsuburkan sikap toleransi, setiakawan, berdialog, dan berkomunikasi lintasbudaya perlu diagendakan agar mampu menciptakan generasi masa depan yang lebih toleran, inklusif, damai, dan ramah, yang tidak lagi menganggap dirinya sebagai kelompok promordial yang eksklusif, superior, dan dominan.

Tak lama lagi, bangsa kita juga akan menggelar sebuah hajat besar yang akan ikut menjadi penentu masa depan negeri ini pada kurun waktu lima tahun mendatang, yakni Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sungguh, tak ada alasan bagi siapa pun untuk membangun sebuah kekuatan “predator” yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekadar untuk memburu hasrat kepentingan dan kekuasaan semata. Segenap komponen bangsa juga perlu mengawal pesta dan hajat besar itu agar jangan sampai berubah menjadi “ladang kekerasan” yang bisa membuat peradaban horor di negeri ini kian memfosil dan menyejarah.

Roh para pendiri negeri ini tentu akan meratap dan menangis apabila negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah-payah itu terpaksa harus bersimbah darah akibat pertarungan antarsesama anak bangsa hanya lantaran perbedaan paham dan kepentingan. ***

----------------------
Gambar diambil dari inilah.com
READ MORE - Benarkah Kita Hidup di Tengah Peradaban Horor?

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Oleh: Sawali Tuhusetya



belantikSalah satu novel karya Ahmad Tohari yang cukup penting ialah Belantik (2001) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Persoalan menarik yang terdapat dalam novel Belantik adalah penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam dialog antartokoh. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam ikwal karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Masalah yang dikaji adalah: (a) apa sajakah karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik; (b) apa sajakah fungsinya; dan (c) hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi penggunaan tuturan tersebut. Tujuan penelitian adalah: (a) mengidentifikasi karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan; (b) mengidentifikasi fungsi tuturan tersebut; dan (c) memaparkan latar belakang penggunaan tuturan tersebut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya stilistika dari sudut pandang pragmatik dan menambah khazanah pustaka karya ilmiah di bidang pragmatik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh.

Ada dua teori yang digunakan, yaitu teori novel dan teori pragmatik. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan stilistika (monisme) dan pragmatik. Pendekatan monisme digunakan untuk mengkaji fungsi dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk mengkaji karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah metode telaah isi. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dilakukan validasi data, yaitu memilih data yang benar-benar sesuai dengan kriteria. Data yang telah dipilah-pilah dianalisis dengan menggunakan metode normatif, yaitu metode yang penggunaannya didasarkan pada fakta yang ada.

Data penelitian berupa penggalan teks yang berisi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan sesuai dengan kriteria. Data penelitian ditafsirkan dengan menggunakan analisis monisme dan analisis pragmatik. Berdasarkan hasil penafsiran, hasil penelitian disimpulkan dengan metode generalisasi untuk mengidentifikasi karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, serta memaparkan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik.

Karakteristik Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok berdasarkan: (1) situasi tutur; (2) jenis tuturan; (3) pelanggaran prinsip kerja sama; dan (4) pelanggaran prinsip kesantunan.

1. Berdasarkan Situasi Tutur
Berdasarkan situasi tutur, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, dan vulger.

1.1 Tuturan Bernada Sinis
Tuturan bernada sinis adalah tuturan yang bersifat mengejek atau memandang rendah pihak lain tanpa melihat sisi kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang dimiliki pihak lain.














(1)HANDARBENI:Sudah, Mbakyu. Aku memang sudah mengatakan Lasi istriku. Sah. Tetapi Bambung tetap ngotot. ...
BU LANTING:... Dan bukan rahasia lagi, Anda pun biasa ngiler bila melihat perempuan cantik, tak peduli dia istri orang. Iya, kan? Nah, dari soal menggampangkan perempuan, kini Anda digampangkan orang dalam urusan yang sama. Tak aneh, ya?

(Belantik: 9)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sinis pada penggalan teks (1) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk memengaruhi Handarbeni agar mau "meminjamkan" Lasi kepada Bambung.
1.2 Tuturan Bernada Memuji
Tuturan bernada memuji adalah tuturan yang isinya berupa pernyataan rasa pengakuan atau penghargaan terhadap kelebihan pihak lain.















(2)


LASI:

Sama saja, Bu. Jadi kalau Pak Bambung mau datang kemari, ya datanglah.




BU LANTING:

Aduh, kamu memang anak manis, Las. Ya, apa salahnya menjadi pendamping orang gedean seperti Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (2) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memuji. Dalam percakapan tersebut, Lasi memilih sikap mengalah dengan berpura-pura mau menerima kehadiran Bambung. Namun, sikap Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting yang terus berusaha memengaruhi Lasi agar mau menuruti keinginan Bambung. sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada memuji.
1.3 Tuturan Bernada Membujuk
Tuturan bernada membujuk merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk meyakinkan pihak lain dengan kata-kata yang manis bahwa apa yang dikatakan itu benar.














(3)LASI:

Pokoknya nekat. Ibu sudah tahu bila orang sudah nekat.




BU LANTING:

Las, dokter bisa menggugurkan kandunganmu tanpa kamu harus merasakannya. Paling-paling kamu disuruh mengisap sesuatu dengan hidung, lalu tidur. Begitu kamu bangun dokter sudah selesai. Atau malah lebih mudah dari itu. Karena kandunganmu masih sangat muda, siapa tahu penggugurannya cukup dengan menelan obat. Nah, gampang sekali, kan?



(Belantik: 117)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan pada penggalan teks (3) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk membujuk Lasi agar mau menggugurkan kandungannya sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada membujuk.
1.4 Tuturan Bernada Mengancam
Tuturan bernada mengancam adalah tuturan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.














(4)LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya....



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (4) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada mengancam. Dalam percakapan tersebut, Lasi bersikukuh untuk tidak mau melayani permintaan Bambung. Namun, pernyataan Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang tuturan bernada mengancam.
1.5 Tuturan Bernada Memaksa
Tuturan bernada memaksa adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.




















(5)BU LANTING:

Ya. bila benar kamu hamil, dia memang menghendaki kandunganmu digugurkan.




LASI:

Tidak bisa, Bu. Saya tidak mau.




BU LANTING:

Ah, apa iya? Bagaimana kalau kamu dipaksa?



(Belantik: 116-117)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (5) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memaksa. Dengan berbagai cara, Bu Lanting memaksa Lasi agar mau menggugurkan kandungannya.
1.6 Tuturan Bernada Sombong
Tuturan bernada sombong merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menghargai diri sendiri secara berlebihan (congkak).














(6)PAK MIN:Jadi, Bapak juga percaya keutamaan pitutur kejawen?


HANDARBENI:Lho, Pak Min bagaimana? Sudah dibilang saya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut tetap priyayi Jawa. Jadi saya percaya semua pitutur kejawen. Percaya betul. Tetapi, Pak Min, seorang priyayi yang percaya terhadap pitutur itu tidak harus menjalankannya, bukan?

(Belantik: 18)



Tuturan Handarbeni mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sombong. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta Handarbeni untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak Min justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada sombong.
1.7 Tuturan Bernada Menyindir
Tuturan bernada menyindir adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk mencela atau mengejek pihak lain secara tidak langsung atau tidak terus terang.














(7)PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada menyindir pada penggalan teks (7) terdapat dalam tuturan Handarbeni. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada menyindir.
1.8 Tuturan Bernada Merendahkan Harga Diri Pihak Lain
Tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang bermartabat dan terhormat, sedangkan pihak lain dianggap kurang bermartabat dan terhormat.















(8)


PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Contohnya, ya Pak Min sendiri. Dulu ayah Pak Min jadi pembantu di rumah orangtua saya. Sekarang Pak Min hanya jadi sopir saya. Nanti anak Pak Min jadi sopir atau pembantu anak saya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain pada penggalan teks (8) terdapat pada tuturan Handarbeni. Kekeliruan inferensi tersebut dinyatakan dalam tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain, yaitu merendahkan harga diri keluarga Pak Min yang dicontohkan sebagai orang yang tidak mempunyai ambisi dan keinginan.
1.9 Tuturan Bernada Umpatan
Tuturan bernada umpatan merupakan tuturan yang mengandung perkataan keji atau kotor, cercaan, atau makian, yang terekspresi karena perasaan marah, jengkel, atau kecewa.















(9)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! ....



(Belantik: 115)



Tuturan Bambung pada penggalan teks (9) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada umpatan. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting terkejut setelah diberitahu kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting dipahami secara keliru oleh Bambung melalui pernyataan yang bernada umpatan.
1.10 Tuturan Bernada Rendah Hati
Tuturan bernada rendah hati merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menyatakan sikap rendah hati, tidak sombong, atau tidak angkuh.














(10)HANDARBENI:Nguawur! Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler nguler kambang bisa tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?


PAK MIN:Oh, itu, Pak, yang begitu kok Bapak tanyakan kepada saya; mana bisa saya menjawabnya?

(Belantik: 15-16)



Tuturan Pak Min pada penggalan teks (10) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada rendah hati. Kekeliruan inferensi itu terjadi ketika Pak Min merespons pernyataan mitra tuturnya, Handarbeni, yang memintanya untuk menjawab pertanyaan Handarbeni. Pertanyaan itu dijawab secara keliru oleh Pak Min melalui tuturan yang bernada rendah hati.
1.11 Tuturan Bernada Kurang Percaya Diri
Tuturan bernada kurang percaya diri merupakan tuturan yang menyatakan sikap kurang yakin terhadap kebenaran, kemampuan, atau kelebihan diri sendiri.




















(11)KANJAT:

Mungkin, dirjen; direktur jenderal.




LASI:

Pokoknya begitulah. Kata Bu Lanting lagi, orang yang ingin menang di pengadilan juga bisa minta rek...rek...rek... apa?




KANJAT:

Rekomendasi.



(Belantik: 125-126)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada kurang percaya diri pada penggalan teks (11) terdapat pada tuturan Lasi. Tuturan yang diujarkan Lasi bermodus introgatif sebagai ekspresi sikap kurang percaya diri akibat tingkat pendidikannya yang rendah.
1.12 Tuturan Bernada Vulger
Tuturan bernada vulger adalah tuturan yang mengandung kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada pihak lain.















(12)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! Tahu? Ingin mengerti sebabnya?



(Belantik: 115)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada vulger pada penggalan teks (12) terdapat pada tuturan Bambung. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting menunjukkan sikap keterkejutannya dengan menggunakan tuturan bermodus introgatif karena dia memang belum mengetahui kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting justru direspons secara negatif oleh Bambung dengan mengucapkan kata-kata bernada vulger.
2. Berdasarkan Jenis Tuturan
Berdasarkan jenisnya, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati, taklangsung, dan takharfiah.
2.1 Tuturan Ilokusi
Tuturan ilokusi adalah tuturan yang mengandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu.














(13)LASI:

Baik, Bu.


BU LANTING:

Anu, Las. Lebih baik kamu bawa pakaian. Soalnya kalau lelah, mungkin kita harus menginap.



(Belantik: 26)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ilokusi pada penggalan teks (13) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Permintaan Bu Lanting agar Lasi membawa pakaian karena kalau lelah kemungkinan harus menginap terkandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu, yaitu Lasi hendak dipertemukan dengan Bambung.
2.2 Tuturan Perlokusi
Tuturan perlokusi merupakan jenis tuturan yang mengacu kepada efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu.














(14)HANDARBENI:Sebentar, Mbakyu. Rasanya tak enak menyerah begitu saja kepada momok itu. Lagi pula, betapapun lobinya sangat kuat, dia toh sebenarnya bukan atasanku. Bagaimana menurut Mbakyu?
BU LANTING:Pak Han, Anda ini bagaimana? Kok Anda jadi bodoh begitu? Apa Anda nggak ngerti, sebenarnya Bambung bahkan sudah tak punya jabatan resmi lagi? Tetapi Anda harus ingat, baik punya jabatan resmi atau tidak, yang pasti dia tetap Bambung. Jaringan lobinya tetap kukuh dan canggih. Dia memang hebat. Bahkan dahsyat. Dan ikwal hal ini saya tahu betul. Dengan kekuatan seperti itu lobi Bang Bajul ini pasti akan mampu menembus birokrasi di atas Anda dengan mudah. ...

(Belantik: 9-10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi pada penggalan teks (14) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bisa memberikan efek ketakutan kepada Handarbeni sehingga bisa dikatakan mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi.
2.3 Tuturan Representatif
Tuturan representatif (asertif) adalah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.















(15)


LASI:

Pak sopir, saya tak jadi ke Cikini.




SOPIR TAKSI:

Daripada pergi tanpa tujuan, Bu, apa tidak baik kita nonton saja? Sekarang filmnya bagus. Bagaimana?



(Belantik: 64-65)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan representatif pada penggalan teks (15) terdapat pada tuturan sopir taksi karena mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan keinginannya kepada mitra tutur.


2.4 Tuturan Direktif
Tuturan direktif atau impositif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran agar mitra tutur melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan.















(16)


LASI:Jadi Ibu di situ sekarang?


BU LANTING:

... Tolong deh urus dia. Kalau perlu turuti apa maunya, toh kamu tidak akan rugi. Betul deh!



(Belantik: 44)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (16) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena mengacu pada maksud ujaran agar mitra tuturnya, Lasi, melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan, yaitu menyuruh Lasi agar mengurus Bambung.
2.5 Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan penilaian.















(17)


BU LANTING:

Lain, Las, lain, karena kamu muda dan sangat, sangat pantas, hadir di tengah perempuan cantik lainnya. Duta Besar dan istrinya pasti akan tahu kamu memang bukan istri Pak Bambung. Tetapi mereka mau apa, sebab kamu adalah yang tercantik di antara semua perempuan yang pernah digandeng Pak Bambung. ...




LASI:

Anu Bu... tetapi, Bu... saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya ....



(Belantik: 35-36)



Pujian Bu Lanting pada penggalan teks (17) merupakan kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ekspresif karena mengacu pada maksud ujaran untuk memuji mitra tuturnya agar mau memenuhi permintaan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.
2.6 Tuturan Komisif
Tuturan komisif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk mengikat penuturnya melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.





















(18)


LASI:

Jangan, Pak. Jangan! Saya tidak siap. Saya tidak mau.




BAMBUNG:

... Las, kalau kamu menurut nanti kamu saya lelo-lelo, saya emban, saya pondhong. Bila menurut nanti kamu bisa minta apa saja atau ingin jadi apa saja. Apa kamu ingin jadi... komisaris bank? Atau anggota





parlemen? Ya, mengapa tidak? Kalau mau, nanti saya yang akan ngatur, maka semuanya pasti beres ....



(Belantik: 53)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan komisif pada penggalan teks (18) terdapat pada tuturan Bambung karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang memberikan janji kepada mitra tuturnya, Lasi, yaitu mau menuruti semua permintaan Lasi dengan syarat Lasi juga bersedia menuruti semua keinginannya.
2.7 Tuturan Isbati
Tuturan isbati adalah tuturan yang diacu oleh maksud tuturan yang di dalam pemakaiannya untuk menyatakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.














(19)BU LANTING:Lho, Pak Han, daripada Anda kehilangan jabatan dan karier politik? Sudah saya bilang, soal bekisar, Anda bisa mencari yang baru. Jangan khawatir, nanti saya bantu. Mau yang rambon Cina, Arab,

Spanyol, atau Yahudi? Atau malah rambon Cina-Irian? Yang terakhir ini lagi mode lho.
HANDARBENI:.... Urus saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. ...

(Belantik: 12)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan isbati pada penggalan teks (19) terdapat dalam tuturan Handarbeni karena ujaran tersebut mengacu pada maksud tuturan untuk memutuskan sesuatu. Keputusan tersebut dinyatakan kepada mitra tuturnya, Bu Lanting, yaitu Handarbeni memutuskan untuk menyerahkan Lasi kepada Bambung dan meminta Bu Lanting untuk mengurusnya.
2.8 Tuturan Taklangsung
Tuturan taklangsung merupakan tuturan isbati yang digunakan untuk bertanya, memerintah, atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional.














(20)HANDARBENI:Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING:.... Namun di rumah? He-he-he ... dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. Lalu mengapa Anda heboh? Belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti kebajulannya? ...

(Belantik: 8)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan taklangsung pada penggalan teks (20)terdapat pada tuturan Bu Lanting karena penutur melakukan kekeliruan dalam menafsirkan maksud tuturan mitra tuturnya dengan menggunakan tuturan bermodus ekspresif dan direktif secara tidak konvensional.
2.9 Tuturan Takharfiah
Tuturan takharfiah adalah tuturan yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.














(21)HANDARBENI:Lho, Mbakyu, kalau begini aku harus bagaimana? Masakan aku harus melepas bekisarku meski katanya, dia hanya mau pinjam sebentar? Bagaimana Mbakyu?
BU LANTING:Nanti dulu, Pak Han. Anda bercerita gugup seperti kondektur ketinggalan bus....

(Belantik: 7-8)



Tuturan Bu mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan takharfiah karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang tidak sama dengan kata-kata yang membentuknya.



3. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja dijabarkan ke dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Jika keempat bidal ini dilanggar akan tercipta percakapan yang tidak kooperatif.















(22)


LASI:

Yang penting duit ya, Bu?




BU LANTING:

Ah, kamu sudah mengatakannya. Meski tahu kamu berseloroh, namun aku menganggap kata-katamu betul. Itulah sikapku; dalam hidup yang penting duit. Maka bila jadi kamu, aku akan menuruti kata-kata ini: daripada sakit karena melawan pemerkosaan, lebih baik nikmati perkosaan itu. Ya, ini gila. Tetapi pikirlah. Kamu sudah membuktikan, ke mana pun lari kamu tak akan luput dari tangan Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (22) mengandung kekeliruan inferensi yang melanggar prinsip kerja sama, khususnya bidal kuantitas, karena Bu Lanting memberikan informasi yang berlewah yang sebenarnya tidak diperlukan oleh Lasi.
4. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan dijabarkan ke dalam enam bidal, yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Jika keenam bidal prinsip kesantunan ini dilanggar akan tercipta tuturan yang tidak santun.














(23)HANDARBENI:Jadi aku harus menyerah? Jadi biarlah Lasi dipinjam si pelobi itu?
BU LANTING:Lho, saya tak bilang begitu. Saya hanya bilang, rasanya aneh. Di satu pihak Anda pernah memberi Lasi kebebasan meskipun saya tahu dia belum bisa menggunakannya. Di pihak lain, Anda kelabakan ketika Bung Bambung kepingin bekisar itu. Bagaimana? Kok sepi? ....

(Belantik: 10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik melanggar prinsip kesantunan bidal ketimbangrasaan pada penggalan teks (23) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena memaksimalkan biaya kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.



C. Fungsi Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai (1) pemicu konflik eksternal; dan (2) pemicu konflik internal.
1. Pemicu Konflik Eksternal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu percekcokan, pelecehan status sosial, penindasan, dan pemaksaan.


1.1 Percekcokan
Konflik eksternal yang berupa percekcokan ditandai dengan adanya percakapan yang mengandung pertengkaran atau perselisihan pendapat antara penutur dan mitra tutur.














(24)HANDARBENI:Mbakyu, jangan bicara begitu. Sebab, soal Lasi kuanggap lain. Dia tetap bekisar yang istimewa.
BU LANTING:Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi orang normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh berada dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alaaah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 9-10)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (24) memicu terjadinya percekcokan dengan Handarbeni. Handarbeni tidak akan menyerahkan Lasi begitu saja kepada Bambung, apalagi Bambung bukan atasan Handarbeni. Pernyataan ini menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Bu Lanting dengan mengeluarkan kata-kata ancaman.
1.2 Pelecehan Status Sosial
Konflik eksternal berupa pelecehan status sosial dalam novel Belantik terekspresi dalam wujud dialog antartokoh yang mengandung unsur pelecehan status sosial, yaitu memandang rendah, menghinakan, atau mengabaikan pihak lain.















(25)


PAK MIN:Jadi wewarah itu buat siapa?


HANDARBENI:He-he-he, ya buat para petani dan wong cilik lainnya seperti Pak Min itu.

(Belantik: 20)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (25) terdapat pada tuturan Handarbeni yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pelecehan status sosial, yaitu melecehkan status sosial Pak Min yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir pribadi.
1.3 Penindasan
Konflik eksternal berupa penindasan terwujud dalam percakapan yang mengandung unsur penindasan, yaitu memperlakukan pihak lain dengan sewenang-wenang dan lalim.















(26)


LASI:

.... Bapak sudah mendengar semuanya. Kini saya sedang mengandung anak suami saya, Kanjat. Jadi, apakah Bapak tetap menghendaki saya tinggal di sini? Saya menunggu tanggapan Bapak.




PAK BAMBUNG:

Sampai saya memutuskan lain, kamu harus tetap di sini. Soal kehamilanmu akan menjadi urusan dokter.



(Belantik: 113)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (26) terdapat pada tuturan Bambung yang memutuskan agar Lasi tetap tinggal di Jakarta sebelum ada keputusan lain. Selain itu, Bambung juga melakukan penindasan terhadap Lasi agar mengugurkan kandungannya.
1.4 Pemaksaan
Konflik eksternal yang berupa pemaksaan terekspresi dalam percakapan yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.















(27)


LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya. Maka kubilang jangan main-main sama dia. Kamu sudah tahu, suamimu pun tak berdaya.



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (27) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pemaksaan terhadap mitra tutur, yaitu memaksa Lasi agar mau menuruti semua keinginan Bambung. (bersambung)
READ MORE - Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Entah, tiba-tiba saja ingatan saya jatuh ke masa silam. Ingin mengenang tanah kelahiran, tempat sang guru menempa para cantrik menjadi insan peradaban yang diharapkan dapat mengenal dinamika zaman beserta pernak-perniknya.

Ya, ya, ya! Saya masih ingat, sekitar tahun ’70-an, tanah kelahiran saya bukanlah tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk hidup. Secara geografis, lokasinya hanya bisa dijangkau kendaraan ketika musim kemarau tiba. Saat musim hujan jatuh, tanah kelahiran saya tak lebih seperti sebuah perdikan yang dikelilingi tanah berlumpur. Nyaris tak ada jalan alternatif yang memungkinkan kaum pendatang untuk bisa sampai dalam keadaan bersih. Sebaliknya, jika kemarau tiba, sejauh mata memandang hanya tampak kegersangan di sana-sini. Kerusakan hutan akibat pembakaran hutan makin menyempurnakan derita di musim kemarau. Air jadi sulit didapat.

dsdsdsdsDalam kondisi seperti itu, saya masih beruntung bisa ikut mengenyam pendidikan di SD bersama teman-teman sebaya. Dari situlah saya mulai menyimpan banyak kenangan terhadap figur guru-guru saya. Merekalah yang telah memperkenalkan saya terhadap angka dan aksara, hingga akhirnya saya bisa mengenal calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Sungguh, tak bisa saya bayangkan kalau tanah kelahiran saya yang gersang dan tandus seperti itu tak ada guru; tak ada gedung sekolah. Meski nyaris ambruk, gedung SD yang atapnya bocor di sana-sini dengan dinding-dindingnya yang mulai keropos itu, telah menjadi tempat yang “nyaman” untuk belajar.

Saya juga beruntung sempat belajar kepada para guru yang total mengabdikan diri dalam dunia pawiyatan dengan penghasilan pas-pasan saat itu. Dari sinilah saya mendapatkan pendidikan formal untuk yang pertama kalinya. Masih jelas terbentang dalam layar memori saya, betapa sang guru harus berjalan kaki sekitar 15-an km untuk bisa tiba di sekolah. Jika musim hujan, mereka harus menenteng sandal jepit sambil mengepit tas butut. Namun, mereka tak pernah mengeluh. Bahkan, mereka masih bisa dengan fasih mengajak saya dan teman-teman sekelas untuk menyanyi lagu wajib bersama-sama, meski batin mereka sedih memikirkan asap dapur yang belum tentu bisa mengepul setiap saat.

Di mata saya, seorang guru SD adalah seorang “ilmuwan” general. Mereka mampu menyajikan semua mata pelajaran dengan fasih. Jelas, bukan tugas yang ringan, apalagi yang mereka hadapi adalah anak-anak antara usia 6-13 tahun. Usia yang masih terlalu dini untuk mengenal hidup dan kehidupan.

Saya sangat menghormati dan mengapresiasi sang guru di tanah kelahiran saya yang telah membukakan mata anak-anak untuk mencintai ilmu pengetahuan. Merekalah status pengabdi yang sesungguhnya; menganggap siswa didiknya sebagai anak-anak ideologisnya. Terlalu murah kalau status mereka mesti diganti dengan predikat profesional yang seringkali mengukur kerja dan keringatnya dengan uang, penghasilan, dan kesejahteraan.

Agaknya, kini telah terjadi pergeseran status guru; dari shi fu menjadi tenaga profesional. Di ladang dunia pendidikan saat ini, setiap tetesan keringat sang guru harus ada imbalannya. Sungguh kontras dengan kinerja sang guru di tanah kelahiran saya. Merekalah yang layak disebut pahlawan dalam arti yang sesungguhnya.

Terima kasih sang guru; semoga sang ibu pertiwi senantiasa memancarkan cahaya kasih sayang dan belaian lembutnya atas pengabdianmu yang tulus; tanpa pamrih!. ***
READ MORE - Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

otakAllah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, telah memberikan anugerah akal-budi yang tak ternilai harganya kepada umat manusia. Melalui akal-budi, manusia dapat menyimpan peristiwa masa silam ke dalam kantong memorinya, memikirkan peristiwa pada masa kini, sekaligus mampu membayangkan peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Yang luar biasa adalah kemampuan manusia untuk me-retrieve alias memanggil ulang peristiwa-peristiwa masa silam ke dalam layar kehidupan masa kini.

Bisa jadi, itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam hal berbahasa, misalnya, manusia adalah makhluk yang paling dinamis. Melalui akal budinya, manusia mampu mempelajari berbagai bahasa di dunia, apalagi jika bersentuhan langsung dengan kultur masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Lain dengan binatang. Ayam dan kucing, misalnya, tak akan pernah sanggup belajar berbahasa. Meski dikerangkeng dalam sebuah kurungan seumur hidup, ayam tak akan pernah sanggup mengeong seperti kucing. Kucing pun tak akan sanggup berkokok seperti ayam. Konon, binatang hanya sanggup mempertahankan hidup berdasarkan nalurinya secara statis dan stagnan.

Pernah dengar stigma bangsa yang “rabun” membaca? Yaps, stigma ini muncul akibat lumpuhnya bangsa kita dalam soal budaya membaca. Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita mengalami lompatan budaya membaca yang tidak wajar; dari budaya praliterasi langsung melompat ke budaya posliterasi. Sedangkan, budaya literasinya (nyaris) tak lagi tersentuh. Budaya praliterasi muncul ketika bangsa kita belum sanggup baca-tulis. Mereka hanya mampu menggunakan media bahasa lisan dalam berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Dengan berkembangnya peradaban manusia, bangsa kita masuk pada budaya literasi yang ditandai dengan sentuhan-seuntuhan nilai pendidikan yang mampu membuka kesadaran baru tentang pentingnya keaksaraan dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kreatif.

Belum matang benar budaya literasi mengilusumsum dan bernaung turba dalam kehidupan masyarakat, muncul peradaban baru yang memiliki daya pukau dahsyat yang ditandai dengan temuan-temuan baru di bidang teknologi dan informasi. Anak buah teknologi, semacam TV-kabel, multimedia, atau sarana telekomunikasi bergerak lainnya mulai merambah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Masyarakat pun mulai berubah pola dan gaya hidupnya. Mereka mulai dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan bermacam-macam piranti teknologi canggih sehingga melupakan budaya literasi yang seharusnya mereka lalui. Masyarakat demikian terpukau oleh kehadiran sarana dan fasilitas teknologi itu sehingga jadi malas dan lupa membaca. Ketika antena dan parabola menjamur di atap-atap rumah, masyarakat pun rela menghabiskan waktunya di depan “kotak ajaib” itu. Tumpukan buku dibiarkan melapuk dan tak tersentuh.

Sejatinya, membaca sangat erat kaitannya dengan aktivitas akal-budi. Membaca merupakan aksi intelektual yang mencerahkan dan mencerdaskan yang akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sehingga menimbulkan rangsangan manusiawi untuk bertindak penuh kearifan dan kebajikan. Dalam diskursus yang lebih luas, membaca bisa dimaknai sebagai kemampuan menafsirkan “ayat-ayat” Tuhan yang tergelar di ruang semesta. Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.

Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan. Jika benar demikian, mereka hanya menggunakan naluri sekadar untuk memuaskan kebuasan hati, bukan menggunakan nurani untuk menjaga keseimbangan semesta. Lantas, apa bedanya dengan kucing dan ayam yang selalu statis dan stagnan sehingga tak pernah punya kesanggupan untuk membaca tanda-tanda zaman? Atau, bisa jadi, lantaran kesalahan kolektif bangsa kita yang mengalami lompatan tak wajar dalam budaya membaca? ***
READ MORE - Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

Sokaratu

Cerpen Beni Setia
Dimuat di Jurnal Nasional (05/10/2009)

Bunyi tekanan dan gesekan menghancurkan bumbu dari mutu pada cowet itu menimbulkan gema unik. Suara teredam yang lembut, tapi mengisi awal pagi dengan kehangatan, seperti meneguhkan janji yang dikesiutkan air mau mendidih atas tungku yang apinya berkobar sedang menjerang, mengatasi gemuruh berpuluh kodok yang terus bernyanyi. Menyuarakan birahi dalam udara dingin yang pasti berpakaian kabut — dari hujan sejak sore itu, di luar sana. Di balik dinding gedek yang tidak berdaya menyaring hembusan angin yang bolak-balik kepleset pada daun basah di luar, dalam kesunyian yang diisi denging serangga tanpa jengkrik — kemarau tiga bulan lagi.

Khas meski si pembuat cowet batu itu tak dengan sengaja membuat cekungan dan ketipisan alas yang mampu bergetar dalam amplitudo tertentu. Aku menyibakkan selimut kain panjang batik, dalam motif bertumpuk-tumpuk bagai seribu sisik. Hadiah luar biasa, diberikan si ibu rumah yang ramah semalam. Cukup hangat meski tak bisa menanggalkan dingin yang selain ada seluruh ruang tengah los ini, juga bagai tumbuh dari dalam tulang mencuil-cuil sisa hangat dari darah di daging. Aku menggosok betis dengan telapak tangan sebelum bergeletuk menyelinap ke dapur. Siap tersenyum pada ibu yang sedang suntuk menghaluskan bumbu dalam cowet.

Palupuh, lantai bambu yang diremukkan dan dihamparkan itu, berderak dan goyangan itu membuat perempuan tua yang menunduk asyik itu melirik. Tersenyum. ”Dingin ya?” katanya. Aku mengangguk. Langsung jongkok depan tungku.”Maaf,” katanya, “begini keadaan kampung.” Aku melirik dan tersenyum. Bilang kalau akupun berasal dari kampung sehingga terbiasa hidup seadanya. Tersenyum. Menelan ludah, dan mendorong kayu masuk perut tungku lewat mulut setengah lingkarannya. Bilang bahwa, meski sekarang kerja di kota tapi tiap dua atau tiga bulan selalu pulang dan bertualang di tengah alam pedesaan. ”Ya,” kataku, setengah tersihir ketika hidung disapu wangi kencur, “bila tak jalan-jalan, ya …mancing.”

”Begitu?”

”Kencur ya?”

”Iya! Akan membuat sangu sangray. Di kampung mah kreasinya cuma sampai

sangray kejo. Jangan tersinggung ya? Nasinya padi huma yang bagi orang kota mah terlalu keras. Jangan tersinggung ya? Cabenya berapa?”

”Terserah, bu. Pokoknya saya ikut apa yang disuguhkan. Saya kan sudah amat merepotkan keluarga sini. Kalau Anabrang ke mana?”

”Ke lembah, mau ambil bubu. Biasanya ada lele atau badar.”
***

Aku menarik telapak tangan yang dijulurkan terbuka di hadapan nyala, berbalik memberikan punggung pada nyala setelah minta maaf kepada si ibu. Aku merasakan hangat dari api dan udara yang pengap berasap di dapur sempit, yang penuh dengan baju-baju yang disampirkan, digantungkan, dan dikaitkan, julur-julur bambu tempat mengaitkan genting, dan rongga terbuka untuk mengeluarkan asap dan penuh jelaga tungku. Tapi dengan lantai palapuh yang mengkilap pertanda selalu ada yang duduk bersimpuh, bersila dan beringsut, pertanda di tempat ini selalu ada yang berkunjung dan diterima sebagai keluarga dan bukannya sekadar tamu — yang diterima dengan kehormatan formal berlebihan di ruang tamu.

Seperti biasa. Seperti adatnya. Dan kalau bisa memilih aku selalu ingin diterima di dapur, diajak bicara tentang yang intim dan bukan yang formal dan maha penting — tapi segera selesai. Momen yang akan membawa kita datang lagi ke dapur, dan bicara tentang yang intim, seperti bila sanak keluarga bertemu, berbincang sambil menikmati makanan sepele karena ingin lebur dalam suasana makan bersama dan bukan apa jenis makanannya. Dan aku berpikir: Apa itu yang hilang dari rumah, setelah Bapak kawin lagi, dan aku tak bisa larut dalam suasana dapur dengan ibu tiriku? Dilarang ke dapur, disiapkan makan di tengah rumah, dan di dalam kaku formalnya terpaksa mengobrol serius dengan bapak. Sesuatu hilang dari rumah saat libur kerja, karenanya terpaksa bertualang, mengeluyuran di ladang di lembah dan bukit tiap pulang kampung.

Sampai Kalakay bilang agar [aku] mencoba mancing beunteur di Sokaratu, di hulu Cikambuy, di leuwi tepat setelah celah sempit lembah pertama Gunung Puntang. ”Tapi agak sanget,” katanya, ”jadi harus uluksalam dulu, baca doa, menyulut rokok dan melemparnya ke lubuk. Merepotkan tapi ya …jaga-jagalah.” Aku mengangguk. Beunteur, ikan liar yang paling besar sekitar dua jari orang dewasa, sudah agak sulit di kampung. Dulu banyak, mungkin sama banyaknya dengan udang air tawar, yang di masa kanak ditangkap dengan cara membanting batu di atas batu yang terendam air. Satu dua ada tertangkap, lalu dibakar dengan daun bambu di pinggir sungai. Menu setengah matang yang terasa manis meski tanpa bumbu.Dan omongan Kalakay itu membuatku tergerak memancing. Bangun pagi dan berjalan ke hulu supaya sebelum jam sepuluh, tepat saat matahari menerangi Lembah Sokaratu yang selalu meremang karena diapit dinding jurang dan rimbun pepohonan liar.

Orang bilang, heubeul isuk — selalu pagi —, tapi ada yang bilang itu gancang sore — kesusu petang. Aku tak begitu peduli. Lembah itu sempit, menjulur ke selatan, sampai terantuk tebing di mana ketinggian menjatuhkan air ke lubuk, lalu Cikambuy menghilir lirih dan membuat lubuk berikut di mulut lembah. Jurang tinggi, pepohonan liar dan perdu membuat nyamuk perkasa — mungkin juga ular. Karenanya tak banyak yang datang memancing. Tempat yang selalu pagi dan petang — jadi mengigiriskan bila dihiasi matahari sore yang cepat teduh teraling dengan bunyi denging uir-uir yang melengking menyuarakan kesenyapan di tengah keluasan sepi. Cuma para pemberani macam Kalakay yang ambil risiko. Itupun dengan pesan, kalau saat Ashar tiba harus pulang — agar tidak kemalaman di jalan. Dan kalau mendengar petir dan langit mulai mendung harus segera ke luar. Bila hujan selalu ada banjir bandang yang bisa bikin kita terkurung, karena setapak rahasia di bawah permukaan air di tebing kiri pada celah selebar tiga meter itu dipenuhi air deras setinggi dagu.

Aku berbalik lagi. Perempuan itu mengangkat seeng tembaga, meletakkannya pada bantalan dari tanah liat yang membulat dan pas menyangga alas yang hitam itu. Ia meletakkan wajan yang sipat putih logamnya sudah hilang berganti warna hangus terlalu terjerang dan tak pernah digosok sehingga kerak hangusnya terkelupas. Tapi di sana hakekat seni masak kampung, di mana bumbu terkini akan dipolusi oleh bumbu yang kemarin dan kemarin lusa, sehingga muncul aroma dan rasa khas wajan itu. Dan setelah wajan panas perempuan itu memasukkan campuran terulek kencur, kunyit, bawang putih, bawah merah dan cabe ke cekungan wajan — dengan sedikit air. Lantas menggongsonya. Mengambil bakul, membalikkannya sehingga nasi dingin terbiarkan semalam itu memenuhi adonan yang membumbungkan wangi kencur — bumbu yang jarang ditemukan di luar menu Sunda —, yang dalam lotek atah Ma Acih aroma getah mentahnya bikin klenger.

Papan undakan pintu dapur berdenyit menyusul bunyi barang yang diletakkan menyandar di dinding. Pintu terbuka. Anabrang muncul. Tersenyum.”Udah bangun?” katanya. Aku mengangguk, bilang dibangunkan bunyi mengulek bumbu dan kesiut air mau mendidih dalam seeng. Anabrang memperlihatkan tangkapannya, seekor deleg yang telah dibersihkan isi perutnya, lalu yang dibakar di bara tungku sambil minta maaf karena tidak bisa mempersembahkan yang lebih baik dari sekadar ikan bakar. ”Maaf,” katanya, “Kami tak boleh makan garam. Jadi kejo sangray dan ikan bakarnya tidak bergaram.” Aku tertawa. Menyodorkan rokok, dan bilang, yang minta disuguhi garam itu siapa, karena aku sudah mendapatkan yang lebih gurih dari sekadar garam dalam masakan: penerimaan hangat penuh kekeluargaan. “Persaudaraan …,” kataku. Anabrang menyulut rokok, tersenyum.”Tarima kasih, kang,” katanya — seperti orang menemukan emas, seperti menyadari kalau itu sudah langka di dunia ini.
***

Itu yang menyelamatkanku kemarin. Yang keasyikan memancing, terutama karena di setiap lemparan selalu menghasilkan ikan sebesar satu ari, dan ada empat yang lumayan sebesar dua jari, lalu — tanpa ada isyarat alam di langit —: air tiba-tiba naik didahului sampah dan kotoran yang tergelontor. Aku tersentak, meloncat, dan bergegas menyusuri pinggir lubuk di sisi tebing yang meneteskan air. Tapi terlambat, karena air sudah naik sepinggang, dan dalam panik sebatang kayu menabrak pinggul. Aku kehilangan keseimbangan, terhoyong kecebur ke inti arus. Gelagapan. Hanyut. Dan seseorang menjemba tangan, menarik ke pinggiran, dan menyeret ke atas tebing. Arus makin besar. Menggemuruh. Dan di sebelah Anabrang tersenyum. ”Tak apa-apa kan, kang?” katanya. Aku tersipu — berkali-kali mengucapkan tarima kasih. Sambil mengawasi langit Anabrang menarik tanganku. “Akan hujan besar, kang,” katanya. Aku mengikutinya naik ke punggung bukit, berbelok dan tiba di lembah yang rasanya tak pernah ada. Aku celingukan. Di jauhnya terdengar derap hujan. Kami berlari. Dan saat sampai di undakan dapur hujan sempurna membasahi lembah.

Setelah salin dengan pakaian hitam-hitamnya Anabrang aku berkenalan dengan ibunya — menurut ceritanya tempat itu Lembah Sokaratu asli. Aku mengangguk. Aku menikmati air panas tanpa gula, teh dan kopi. Mengobrol sambil menikmati ubi bakar yang disajikan dengan irisan gula kelapa. “Seadanya,” katanya. Aku tertawa. Bilang, kalau yang ada itu yang enak, karena yang tak ada itu tak bisa dinikmati meski bisa dibayangkan enak. Perempuan itu tertawa. Karenanya — hujan deras, sesekali tepias terdorong angin ke dinding —: Aku bercerita tentang kota, tentang Bandung, tentang Jakarta, tentang mobil dan motor. Tentang kereta api, yang kumisalkan ular besar, yang perutnya bisa diisi berpuluh-puluh orang tanpa membunuhnya, dan berjalan di atas alur tertentu. “Ada yang begitu?” tanya Anabrang. Aku tersenyum, mengangguk, dan bercerita tentang pesawat terbang, yang anehnya tak menarik minat kedua orang itu. Sehingga aku kembali bercerita panjang lebar tentang kereta api, si ular besi yang sesungguhnya kendaraan yang digerakkan mesin diesel di kepala lokomotifnya. Aku

bercerita tentang stasiun, peron, karcis, langsir dan nyanyi lagu ”Naik Kereta Api”.

Mereka ternganga. Anabrang minta diajari lagu “Naik Kereta Api”, dan ia terus bersenandung semalaman. Aku tersenyum. Menjelang tengah malam, dalam dingin mencekam, si perempuan itu menyerahkan selembar kain panjang untuk selimut. Aku setengah tertidur meski tak lelap — dan tahu kalau Anabrang terus menyanyikan lagu ”Naik Kereta Api”. Lalu aku pulas, dan terjaga di dingin pagi, sendirian, dipanggili bunyi mutu tergesekkan pada cowet dan bunyi denging sebelum air mendidih — yang mengingatkan pada dapur dan ibuku. Ya! Dan ketika sang sangray sudah ditata di piring, kami duduk melingkar dan makan dengan ikan bakar. Terasa hámbar tanpa garam, tapi hangat dapur dan kesederhanaan mereka yang tak tahu kereta api dan tak pernah mendengar lagu ”Naik Kereta Api” itu membuatku maklum, sehingga apapun yang ada tandas dimakan. Kerakusan yang membuat mereka senang, karena merasa aku mau diterima dalam keapaadaannya. Tapi haruskah mempersoalkan yang tak ada?
***

Sekitar jam sebelas aku pamit. Perempuan tua itu tersenyum, mengucapkan terima kasih atas cerita kereta api yang mengagumkan itu. “Ceritamu itu membuat Anabrang tak perlu pergi ke kota untuk nonton kereta api,” katanya. Aku tersenyum. Berjanji akan berkunjung lagi. Perempuan itu hanya tersenyum. Pamitan. Aku diantar Anabrang, yang kembali bertanya tentang kereta api, dan karenanya aku berjanji akan membawakan kereta api mainan agar bisa membayangkannya. Anabrang tersenyum. ”Bener, kang?” katanya. Aku mengangguk. Dan di punggung gunung, sebelum turun ke lembah dekat celah Sokaratu di mana Cikambuy muncul bagai ular menggeliat di pesawahan, Anbabrang menyerahkan kain batik — selimut semalam. ”Kalau mau ke sini kerodongkan, tapi jangan membawa yang lain. Janji,” katanya. Aku mengangguk. Pamit. Meloncat. Menuruni setapak. Di bawah aku menengok dan di punuk pundak bukit terlihat seekor ular sanca, sebesar pohon kelapa, menggelusur — menjauh.

Aku tersentak. Gemetar — dan kembali tenang. Bukankah kami telah dipertalikan pesaudaraan? Dan karenanya, tiga bulan kemudian, diam-diam berangkat ke Lembah Sokaratu, dengan kereta api mainan yang digerakkan bateri. Menginap seminggu, dan pulang tanpa peduli cerita orang: aku hilang setengah tahun — setelah hilang sebulan. Apa peduli orang-orang itu? Bukankah aku hanya datang bertamu, bertemu saudara yang sederhana dan menyenangkan dalam kesederhanaannya? Bolak-balik. Sampai Anabrang menikah dan punya anak — dan aku memutuskan tidak menikah dan punya anak, agar mereka tak shock ketemu saudara dari alam lain. Memang.***
READ MORE - Sokaratu