Sesandu

Cerpen Gerson Poyk
Dimuat di Jurnal Nasional (05/16/2010)

Namaku Immanuel. Sejak kecil aku dipanggil Nuel. Aku lahir dari rahim seorang perempuan Rote, pulau paling selatan di republik ini. Ibuku kawin dengan seorang lelaki pedagang pakaian bekas berasal dari Sulawesi Selatan. Baru berumur tiga bulan, ayahku hilang ditelan ombak dan arus di selat Timor dan Rote, selat Pukuafu. Setelah berumur lima atau enam tahun, barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu.

Aku bisa mengenang ibu membawaku berjalan kaki dari kampung ke kampung, berjualan pakaian bekas. Kalau tidak dengan uang, maka pakaian bekas itu ditukar dengan jagung dan gula. Dalam perjalanan, kalau ibu membuat gula, aku diberi gula. Kalau aku haus, ibu membeli nira lontar dan aku minum sepuas-puasnya. Makanan yang paling aku suka adalah kue cucur. Itu pun bisa kumakan kalau pakaian bekas ibu laku. Akan tetapi makanan yang paling sehat adalah jaung tepung dicampur gula dan kacang ijo goreng kering tanpa minyak. Sering aku dan ibu kelelahan di perjalanan dari kampung ke kampung dan kalau sudah tak tertahan lagi, kami berbaring nyenyak di atas rumput kering di tepi jalan setapak, tidak peduli matahari membakar kulit kami.

Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah adalah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku ibu berkata, semoga anakku menjadi orang terkenal‘¦

Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, ibu meninggal dunia karena kanker paru-paru. Soalnya kalau ibu selesai memamah sirih, mulutnya diisi dengan tembakau yang tergantung-gantung di bibirnya, itulah kukira penyebab meninggalnya ibuku.

Pamanku datang dari Kupang menjemput aku karena di Rote sanak saudara sudah berpindah ke pulau Timor, bertani di pedalaman yang telah ada kampung-kampung Rote semenjak abad yang lalu. Ibu punya dua orang saudara, kakak perempuannya tinggal di Bali dan yang sulung, lelaki, tinggal di Kupang. Tanah saudara lelakinya seluas dua hektar dan di atas tanah itu ada banyak pohon lontar.

Mula-mula paman hidup sebagai penyadap lontar, memasak nira sampai menjadi gula lalu dipikulnya ke pasar di Kota Kupang. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia melihat daun lontar di pohon yang ditiup angin kemarau sehingga daun lontar itu seakan bergetar dan bernyanyi, maka idenya tergetar pula untuk membuat sesandu. Orang Jawa yang nama belakangnya selalu ada huruf ‘O‘™ suka menyebut alat musik itu sasando. Padahal orang Rote menyebut sesandu, bahkan dalam buku-buku tentang Rote dalam bahasa Inggris pun menyebut sesandu.

Pamanku bernama Eduard tetapi selalu dipanggil Edu. Paman Edu memang berbakat musik. Ia memainkan sesandu di pesta-pesta atau kalau tak ada pesta ia bermain sesandu sendiri berjam-jam. Akan tetapi setelah ia menjadi pengrajin atau pembuat alat musik itu, maka berjam-jam, berhari-hari ia sibuk membuat alat musik itu. Ada sesandu gong yang hanya memakai sembilan senar, ada sesandu biola dengan beberapa oktaf sehingga Mozart pun bisa dinyanyikan oleh alat musik etnik itu.

Aku menjadi kacungnya. Aku menjadi pemanjat pohon lontar untuk memotong daunnya, aku menggergaji kayu dan bambu, aku sering keluar membawa sesandu yang diborong orang, aku menjadi kemenakan yang paling disayang. Paman menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi pengrajin sesandu maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Dari sekolah formal aku masuk sekolah informal, sekolah sesandu. Akhirnya aku menjadi pemain sesandu dan sekaligus menjadi pengrajin sesandu. Kecil-kecil sudah bisa punya banyak uang. Selain penghasilan dari pembuatan alat musik sesandu, aku dikontrak oleh sebuah hotel berbintang di Kupang dan dengan demikian, aku tidak perlu susah-susah seperti teman-teman sebayaku yang berkantong kosong.

Akan tetapi kebanggaanku sebagai anak yang bisa memegang uang dengan mencari sendiri, hilang pelan-pelan. Ketika aku sudah berumur lima belas, aku sadar saat melihat teman-temanku yang bersekolah. Aku jadi malu karena aku anak putus sekolah di SD. Apalagi beberapa kali, kalau aku habis bermain sesandu, ada yang bertanya sekolah di mana. Seringkali aku menipu dengan mengatakan kalau aku mahasiswa. Sering para penanya menyambung; kuliah apa? Dan aku menyambung tipuku ; kuliah musik.

Tiba-tiba kakak ibuku datang berlibur dari Bali. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada paman, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kau saya bawa ke Bali saja. Tinggal di Denpasar. Bekerja di hotel saya. Setiap malam kau bermain sesandu di restoran kita. Kau dapat gaji. Di siang hari kau harus bersekolah lagi, ya! Mula-mula ikut ujian Paket A, kemudian masuk SMP dan seterusnya sampai jadi sarjana!”

Bukan main girangku.

“Hei dengar. Zaman dulu tak ada sekolah sebanyak ini sehingga saya, ibumu, dan pamanmu tidak bisa bersekolah dengan baik. Tapi sekarang, sekolah di depan mata. Hanya beberapa langkah berjalan, sampailah ke sekolah,” kata kakak ibuku.

Maka setelah puas berlibur di Rote, ia kembali ke Kupang, lalu kami berdua terbang ke Bali dengan membawa beberapa sesandu dan beberapa alat musik lainnya. Alat musik etnik Rote seperti gong dan tambur. Kami juga membawa beberapa karung dendeng asap yang disebut daging se‘™i. Tidak ketinggalan asam Jawa yang disebut tambring timor yang tumbuh liar di padang sabana.

Di Denpasar, aku kagum luar biasa atas perkembangan kakak ibuku. Kakak perempuan ibuku, tanteku, bibiku, budeku! Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar, pabrik garmen dengan seratus tukang jahit. Laba yang diperoleh dari pabrik garmen itu ditanam ke sebuah hotel yang dilengkapi kolam renang. Hotel itu juga memiliki sebuah restoran. Di restoran itu ada sebuah arena untuk musik dan berdansa. Luar biasa.

Sebelum bermain musik, aku disuruh membuat SIM. Walaupun ia sudah mempunyai sopir pribadi, ia ingin agar aku bisa membawa mobil untuk urusan ke sana kemari termasuk pergi dan pulang sekolah.

Usaha tanteku dimulai kira-kira bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Kalau ibuku mulai dengan pakaian bekas berjalan ke sana ke mari, masuk kampung keluar kampung maka tante memulainya dari sebuah jarum. Bukannya jalan ke sana kesini tapi hanya duduk sambil menyulam sarung bantal. Mula-mula dua sarung bantal, dan dua sarung bantal itu dibeli oleh seorang nyonya, tetangganya. Nyonya tetangga itu memperlihatkan kepada seorang turis Belanda. Turis Belanda itu tertarik lalu memesan beberapa lembar. Kemudian, sepuluh, lalu dua puluh, lalu seratus, dua ratus, lalu seribu. Dengan demikian, tanteku, bibiku, budeku memesan mesin jahit, mesin untuk sebuah perusahaan garmen dan butik. Mula-mula kecil, kemudian besar dan makin besar saja! Tanteku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah, dengan memulai dari sebuah jarum, sampai mempunyai pabrik dan hotel.”

Aku berpikir, pamanku juga begitu. Dia mulai dengan sebuah golok dan sebuah pisau, sebuah gergaji kecil, sebuah bor kecil. Dengan beberapa biji alat yang kecil itu, ia bisa memiliki sebuah bengkel pembuatan sesandu.

Hampir seluruh keluarga dari pihak ayah dan ibu sudah bermigrasi ke luar pulau. Hal itu terjadi sedikit demi sedikit ketika terjadi musibah besar dalam keluarga kami. Salah seorang kemenakan kakek membuat seluruh keluarga malu karena ia memberontak terhadap adat. Ceritanya menyedihkan. Ketika sepupu ayah melamar seorang gadis Rote, orangtua si gadis menuntut belis (emas kawin) terlalu banyak; empat puluh ekor kerbau, empat puluh sapi, empat puluh kuda, empat puluh gram kalung emas, dan uang empat puluh juta! Pihak keluarga sepupu ayah, termasuk ayahku memohon supaya emas kawin dicicil selama empat puluh tahun, sesuai dengan adat Rote. Tetapi pihak si gadis menolak. Harus kontan. Hal itu tidak mungkin. Pihak pria hanya memiliki sepuluh mamar (kebun tanaman keras) dan sejumlah sawah ladang tetapi tidak punya kerbau dan sapi sebanyak itu.

Karena lamaran ditolak, tidak disangka-sangka, pada suatu malam sepupu ayah membawa parang, membunuh empat puluh keluarga dari pihak tunangannya, termasuk tunangannya. Terjadi kehebohan besar. Pulau Rote jadi terkenal sebagai pulau pembunuh. Amat memalukan.

Demikianlah, maka untuk menghindar dari pembalasan dendam, maka sanak keluargaku pindah ke pulau Timor. Kebetulan pulau Timor adalah pulau tanah kosong yang telantar. Orang asli Timor suka tinggal di tempat tinggi, di lereng dan puncak bukit berangin kencang, sehingga tidak ada nyamuk. Orang Rote tidak bisa terpisah dari mata air dan sungai. Dengan air kekayaan datang berlimpah. Mereka membuat sawah, menanam pohon-pohon keras seperti kelapa, nangka, sukun, pinang, dan sebagainya. Kebun tanaman keras itu disebut mamar.

Jadi mamar adalah kebun ekologi. Sering mas kawin atau belis dalam bentuk mamar. Satu atau dua mamar yang luas bisa “ditukar” dengan seorang gadis. Keluargaku yang pindah ke Timor jadi makmur sejahtera karena memiliki mamar, sawah, ladang, dan ternak kuda, sapi, serta domba. Jangan ditanya ayamnya, banyak. Namun ada juga orang Rote yang berpindah ke Timor sangat nakal. Sapi, kerbau, dan kuda milik orang Timor yang terlepas begitu saja di padang penggembalaan selalu turun ke mata air dan sungai untuk minum. Diam-diam para manusia Rote yang nakal itu membuat stempel besi berhuruf ‘R” lalu stempel itu dibakar, kemudian distempel ke pantat hewan milik orang Timor yang datang minum itu. Jadilah hewan-hewan itu milik orang Rote. Untunglah aku tidak tinggal di kampung Rote itu walaupun aku pernah diminta untuk menjadi gembala.

Tanteku, bibiku, budeku juga diajak tinggal di kampung Rote di tengah padang sabana. Belum lama tinggal di sana, ia keburu dilamar seorang tentara asal Bali. Aku berterimakasih pada suaminya. Bukan saja aku, tetapi seluruh keluargaku berterimakasih pada suaminya karena walaupun isetrinya hanya tamatan kelas satu SD, dengan tekun diajarinya berhitung sehingga aku menjadi kagum pada tanteku karena ia bisa berhitung, menambah, mengurangi, membagi, dan sebagainya. Memang, tanteku berbakat matematika. Kepalanya adalah komputer. Itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang pengusaha yang terhitung sukses. Walaupun ia cuma sampai di kelas satu sekolah formal tetapi karyawan yang tinggal dengannya, jika sudah menikah akan berkata bahwa mereka tamatan akademi pariwisata. Mengapa? Gadis-gadis yang tinggal dengannya akan menjadi isteri yang sangat mahir dan telaten mengurus rumahtangga.

Tanteku bercerita tentang masa remajanya. Seorang nyonya kontrolir Belanda (kini bupati), mengumpulkan gadis-gadis remaja, mereka diajari menjahit, menyulam, mencuci pakaian, kelantang pakaian putih yang disabuni lalu digelar di lapangan rumput agar putih bersih, menyeterika, melipat dan menyusunnya di lemari. Mereka diajari seni menangani dapur. Dapur harus bersih. Piring mangkuk dicuci bersih lalu diletakkan di rak secara teratur. Lemari makan harus bersih, tidak dikeroyok rayap dan lalat, tembok dapur harus putih bersih, meja makan harus disikat dengan sabun dan air. Cara mengatur meja, piring, sendok, garpu, serbet, semuanya harus tertata indah. Air minum harus dimasak, sayur mayur, ikan, daging harus dicuci bersih dan tidak lupa lantai rumah harus dipel, kasur harus dijemur setiap minggu dan seterusnya. Pendeknya sebuah rumahtangga harus diurus seperti mengurus hotel berbintang.

Gadis-gadis itu akhirnya dilamar oleh para guru, pegawai kantor, polisi, tentara dan pengusaha. Itulah gadis-gadis asuhan nyonya kontrolir. Di antaranya tanteku. Walaupun ia putus sekolah di kelas satu SD tetapi pengetahuannya mengenai pengurusan rumahtangga setingkat dengan Sekolah Kepandaian Putri. Bukan pendidikan formal, tetapi pendidikan non formal, pendidikan di luar sekolah formal, pendidikan permagangan.

Melihat orang Papua yang masih memakai koteka dan hidup di hutan, tanteku terbang ke sana dan membawa pulang sepuluh anak angkat untuk ikuti pendidikan permagangan di perusahaannya. Ia mendidik mereka mandi tiga kali sehari pakai sabun, bagaimana berpakaian, bagaimana cara makan di meja makan, dan sebagainya. Karena kayu terlalu banyak di Papua maka tanteku membuka sebuah bengkel. Mereka belajar membuat honai modern yang bersih dan sehat. Mereka dianjurkan untuk nantinya membuat sendiri rumah di atas lahan yang berada di bawah mata air yang bersih, membuat WC yang bersih memakai tempat buang air leher angsa dan sebagainya. Mereka diajari membuat kincir air yang memutar dinamo, juga kincir angin untuk memompa air sumur atau sungai. Pendeknya tanteku mendidik mereka untuk menjadi pemimpin desa, kalau perlu menjadi camat, bupati, dan sebagainya.

Tanteku selalu menarik nafas, berkata, kalau di tiap kabupaten ada nyonya bupati yang meniru nyonya kontrolir itu, maka orang Papua tidak sampai satu abad akan berpendidikan seperti orang dari negeri yang sudah maju. Itulah tanteku, perempuan desa yang mulai berusaha dari jarum, dari selingkar sulaman. Tanteku putus sekolah formal di kelas satu sampai menempuh pendidikan non formal luar sekolah sehingga bisa memiliki sebuah pabrik garmen dan sebuah hotel.

Setiap pagi aku bermain sesandu di restoran hotel milik tanteku. Siang harinya aku dibiarkan tidur sampai jam sepuluh. Bangun dari tidur yang menyehatkan, aku mandi lalu menolong beberapa pekerjaan ringan, kemudian makan siang dan bersiap-siap ke sekolah. Mula-mula aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMA-ku. Tanteku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Singkat cerita aku lulus sebagai musikolog.

Tugasku di hotel tanteku masih seperti biasa. Bermain sesandu sambil bernyanyi. Saat itulah, ketika aku sedang bermain sasandu, tiba-tiba seorang wartawati Amerika memintaku untuk diwawancara. Oh, aku gembira sekali. Dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar New York Times, koran dunia yang sangat terkenal itu. Ada wajahku di sana, ada sesandu kesayanganku. Ada kalimat berbunyi, “Aku bermain dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku menjadi musik dan musik menjadi aku.” Aku merasa bukan aku yang bermain musik melainkan malaikat surgawi, Dewi Musik. Setelah sadar kadang-kadang aku tidak bisa lagi bermain seperti itu.

“Barangkali Dewi Musik lagi gambek .” Sang wartawati tertawa.

Karena koran dunia itu, aku dikenal dunia pula. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Amerika untuk mengajar. Mengajar sesandu di departemen musik etnik. Oh Tuhan, syukur Tuhan. Tanteku memeluk aku, mencium aku sambil menangis karena gembiranya.

Aku menangis tersedu-sedu karena gembira pula. Karena jalan hidupku begitu mulus diciptakan Tuhan. Aku merasakan bahwa namaku memang benar. Immanuel berarti Tuhan beserta kita. Ya, Tuhan selalu beserta Nuel. Nuel! Tuhan selalu bersamamu Nuel, kataku.

Terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, aku tak dapat menahan airmataku. Aku mengenang ibuku penjual pakaian bekas keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki telanjang. Aku ingat akan kue cucur, sepotong kue cucur. Air mataku mengucur.

“Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis.

“Tidak. Semacam homesick,” kataku.

Ia menyorong tisu tapi airmataku mengalir terus, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat pondok kecil yang dibuat ayahku setelah kami lari dari dusun karena pembunuhan empat puluh orang itu. Ayahku membuat sebuah pondok berdaun kelapa. Di dalamnya ada sebuah bale-bale tempat kami tidur. Tidak ada kursi melainkan beberapa buah batu besar untuk duduk-duduk. Waktu ayah tenggelam di selat Pukuafu, ibu tidak punya uang. Untuk makan malam, sore-sore, aku dan ibu ke pantai ketika laut surut. Kami memunggut kerang, memetik rumput laut yang dalam bahasa Rote disebut latu. Ada kepiting, ada udang, ada ikan, dan gurita remaja.

Aku mengenang pasir putihku yang selalu dijilat-jilat ombak. Di ujung lidah-lidah ombak di bawah pasir yang halus, ada berpuluh kerang di bawahnya. Kalau terinjak maka mereka menyemprotkan air sehinga aku berhenti dan mengorek pasir, memungutnya satu demi satu seperti makan kacang goreng saja. Setelah kenyang ibu telah siap dengan makanan laut satu keranjang penuh. Pulang ke pondok daun kelapa kami, ibu memasak makanan itu dan karena tak ada uang untuk membeli beras, pengganti nasi kami minum air gula lontar. Lumayan. Setelah kenyang aku melompat ke bale-bale dan tidur tertelungkup tanpa bantal. Bangun pagi-pagi karena terlalu banyak asam urat di tubuh, leherku linu kalau menoleh ke kiri dan ke kanan. Mengenang itu, aku menggeleng-geleng kepala beberapa kali. Leherku tidak linu ketika menoleh ke jendela, memandang gumpalan awan di bawah sana. Sayup dalam kenangan ada pantai di mana aku dan ibu memungut kerang ketika laut surut.

“Anda ke New York?” tanya gadis di sampingku.

“Tidak. Hanya di Los Angeles,” jawabku.

“Urusan bisnis?”

“Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.”

“O, profesor tamu,” katanya.

Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari ketika ada hari raya Home Coming, aku diundang ke rumahnya yang terletak agak di luar kota, di sebuah kota kecil. Ampun, ampun, rumahnya bak istana. Ayahnya seorang profesor fisika. Malam itu aku menginap di rumahnya, akan tetapi ketika berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk daun kelapa, bale-bale, berkeliling dengan ibu, berjalan kaki tanpa sepatu, makan kue cucur, minum air gula nira‘¦oh, walaupun mengantuk berat, aku masih menyebut namaku. Immanuel, Tuhan beserta kita, Nuel, Tuhan besertamu sampai di Amerika ini‘¦lalu aku terlelap dalam irama sesandu.***

Depok, 12-12-2009
READ MORE - Sesandu

Menari di Padang Prairi

Cerpen Abidah El Khalieqy
Dimuat di Jawa Pos (05/16/2010)

Oke! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

“Salam. Aku datang lagi…!”

“Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?”

“Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau dipadamkan.”

“Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.”

“Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.”

“But love is country with map.”

“Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.”

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

“Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.”

“Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.”

“Jadi?”

“Nikmati saja anugerah yang melimpah.”

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi. Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala. Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.

“Datang lagi aku, hallow…!”

“Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.”

“Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.”

“Tak berarti rintangan ke jurang kan?”

“Jurang mawar atau jurang berduri?”

“Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya memusnahkan jika diberdayakan.”

“Tak berarti kau mengancamku kan?”

“Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.”

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa. Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor. Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu cerah.

“Kita adalah dua merpati di keheningan,” kau bilang.

“Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan. Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.”

“Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf dalam kejayaan.”

“Tapi ke mana kita akan menuju?”

“Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia. Kita jalan saja menikmati angin.”

“Dasar kurang kerjaan!”

“Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak selamanya ramah.”

“Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot pindah rupa jadi gajah. He!”

“Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-revolusi. Angin itu revolusioner!”

“Kayak kamu dong!”

“Terima kasih sudah dinilai.”

“Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.”

“Apa pun perhatianmu, aku bahagia.”

“Ge-er!”

“Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku, menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.”

“Hek! Miring, Lu!”

“Hingga miring pun! Bahagia aku.”

“Syaraaaap! Majnun fil hubb ma’al isyq wal hawa. Ieh!”

“Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku sakao duhai cintaku!”

“Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!”

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

“Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!”

“Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami!” Responmu kurang bijaksana.

“Haha…! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku?” Topan mencibir. “Buka matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian!” lanjut Topan meremehkan.

“…yang tak kunjung padam,” lanjutmu bangga.

Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian. Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan. Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang tak kunjung padam.

“Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!”

“Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!”

“Kau mengancamku. Mau makar?”

“Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri. Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos, semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!”

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan bertubi-tubi.

“Hey! Kau pikir aku takut?” teriaknya nervous.

“Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha…!”

“Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.”

“Huaha…. Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari. Emang Jaka Tarub?”

“Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.”

“Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.”

“Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!”

“Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya. Setuju?”

“Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?”

Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku. Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

“Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna mawarku ya?” Topan curiga.

“Haha… curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!”

“Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?”

“Wakakaka… aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.”

“Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?”

“Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat. Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.”

“Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!”

“Haha… sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.”

“Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!”

“Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini pengibul?”

Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya dengan senyuman.

“Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!”

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari. Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami. Topan membatin dalam hati.

“Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,” katamu.

“Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang?” Topan jengah.

“Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.”

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas, seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari. Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan. Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu. Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah. Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!

Tarah min ‘ain. Sil ‘ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

“Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga sungguhan….” Topan terus saja menghadang.

“Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of date!”

“Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-hal sepele sekalipun!”

“Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro? Berbesar hati dan terima kenyataan.”

“Kenyataan gundulmu! Aku tak terima!” Topan meradang.

“Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima!” kau ikutan meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan mengelola dunia penuh mahabbah.

“Awas ya, kutinju, Ente!” Topan tak sabar.

“Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma itu!”

Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi kami, perlawanan itu napas abadi. ***

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Menari di Padang Prairi

Malam, Sebuah Kota

Cerpen Raudal Tanjung Banua
Dimuat di Suara Merdeka (04/16/2010)

Larut malam. Ia terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus pikiran. Kota begitu lengang. Sesekali, ada raan lewat dengan mesin menggema, lalu kendaraan lewat dengan mesin menggema, lalu lenyap dengan cahaya melesat. Pohon asam yang berjejer sepanjang jalan tampak bagai raksasa mengenakan mantel kebesarannya.

Sebatang beringin tua menyerupai seorang pertapa, penuh sesaji dan bunga-bunga. Angin malam berkesiur, tak urung merenggut juga daun-daunnya yang rimbun, sehelai-dua jatuh melayang, gugur ke bumi jalang, diseret-seret angin di atas aspal dan trotoar jalan yang keras.

Kadang akar-akar surai beringin itu menjuntai bagai rambut dan jenggot Batara Kala --seperti dalam pawai ogoh-ogoh pada malam pangrepukan, sehari menjelang Nyepi-kini berayunan hingga ke pokok pohon. Sekali waktu, datang angin kencang, menumpahkan canangsari berisi sesaji, dan ia merasa sari hidupnya terserak jatuh ke tanah.

Tanah rantau! Ah, surat dari ibu masih melekat di pikirannya, menyeretnya ke jalanan, mengepakkan debu rindu, tapi tak memberinya sayap untuk pulang!

Memang, tadi selepas petang ia pulang, tapi ke kamar kontrakannya yang berdinding gedhek di pinggiran kota. Langkahnya terantuk kaleng-kaleng rombeng yang tergeletak di lorong sempit di antara kamar-kamar. Preng! Preng! Sialan, bunyinya cukup gaduh, dan lebih dari itu matanya sudah tak awas ternyata.

Mestinya ia tahu, sepanjang hari anak-anak para pengontrak yang jumlahnya membeludak, menghabiskan waktu bermain apa saja di lorong itu --satu-satunya ruang yang bersisa dan mereka perebutkan dengan orang tua yang bergunjing, mondar-mandir, dan marah. Selalu, berhari-hari ia pergi dan kembali untuk tinggal tak berapa lama. Malam itu, ia kembali setelah pergi cukup lama, bahkan paling lama, sehingga membuatnya lupa pada kaleng-kaleng rombeng di lorong remang itu.

Ia merogoh saku celana, mengeluarkan kunci dan menjangkau daun pintu dengan malas. Pintu triplek itu menguapkan debu. Seekor laba-laba seperti kaget dan buru-buru menyingkir dari situ. Belum sempurna ia buka pintu, ketika berkerenyit engsel lain di sebelah. Kepala seorang perempuan muda dengan rambut basah sebahu terjulur dari sana, boleh jadi karena suara kaleng yang gaduh, dan lalu tahu kalau lakilaki aneh di sebelah kamarnya sudah datang. Perempuan itu bergegas memintasnya.

“Ada surat, Mas, ini! Sudah lama. Sengaja saya simpan, takut lama. Sengaja saya simpan, takut diambil anak-anak,“ perempuan itu memberikan amplop dengan sorot mata cemburu, mungkin iri mengapa surat itu tak jatuh padanya. Pada masa ketika surat masih ditulis, dan tukang pos masih yang tersibuk di dunia, sebuah amplop berterakan nama dan alamat bakal membuat orang yang dituju tersipu-sipu.

Dan pada malam ketika surat masih dituliskan ini, laki-laki itu mendapatkan bagiannya.

Ia ucapkan terima kasih kepada perempuan yang baik hati dan segar sehabis mandi itu. Bau sampho lidah buaya masih tertinggal di muka pintu, ketika ia masuk dan menyalakan lampu.

Tanpa sempat membersihkan debu, langsung ia rebahkan badannya di kasur kapuk yang kurus, sekurus kujur tubuhnya. Lama, didekapnya surat itu, bersabar untuk tak segera membuka.

Ia nikmati denyut dan debar dalam dada, nikmat-ngilu campur-aduk jadi satu. Lain sekali rasanya. Dan kian berpacu, membuatnya tak tahan. Ia sobek amplop lusuh itu.

Ini surat pertama yang menjenguknya selang empat tahun perantauannya. Surat dari ibu! Surat bagi perantau pemula! Ada sejumlah perkara di kampung, baik menyangkut dirinya langsung, maupun yang hanya berhubungan dengan segala sentimental yang tak perlu: rindu bertemu. Ah, betapa jauh jarak, betapa luas ruang dan betapa tak sederhananya waktu, sebab rantau, kau tahu, bukan sekadar kepergian yang selesai dengan sebuah kepulangan.

Pulang? Alangkah tak mudah, tak sesederhana yang dibayangkan. Begitu seseorang memutuskan pergi, ia masuk ke wilayah tak bertepi dan sungguh tak mudah untuk kembali.

Ah! Ha-hh! Ia meronta dari kekangan waktu, dari belitan kalimat rindu. Ia tak mau terpuruk dan terbujuk kata pulang. Ia bangkit, berontak. Ia simpan surat itu di bawah bantal, dan segera ia matikan lampu. Bergegas ia keluar, menghempas dan mengunci pintu, lalu mengayun tinju di keremangan lorong itu. Ketika melewati kaleng-kaleng rombeng tadi, ia sengaja menyepaknya. Preng, preng, prenggg!! Ia tak peduli. Dan ia terus berjalan, sampai kini terus berjalan, membiarkan dirinya hanyut dalam arus kusut pikiran.

Sebuah dokar lewat, sarat muatan sayurmayur; pak-kudipak kaki kuda memecah malam raya. Kusir dan seorang perempuan terangguk-angguk di atasnya. Bukan karena kantuk! Sebab kusir dan perempuan itu adalah mereka yang berjaga. Perempuan itu, membuatnya tergeragap oleh rindu. Rambutnya yang tertutup tengkuluk mengingatkannya pada rambut nenek atau ibu. Tapi tidak. Ini perempuan pedagang di Pasar Kumbasari, berjualan larut malam sampai dini hari. Dan langkahnya terseret ke pasar itu, mengikuti arah dokar yang sayup menghilang dalam kabut. Melewati jembatan tukad Badung, ia serasa menyeberangi masa lalu dan masa kini. Mampukah jembatan ini menyeberangkan diriku dari masa lalu yang kelu, ke masa depan yang belum tentu? Ia berbisik, seperti mendapatkan sebaris puisi. Ah, persetan puisi! Ia mengumpati diri sendiri.

Alir tukad Badung berkilau diterpa cahaya lampu merkuri, mengingatkannya pada sungai besar di kampungnya yang berkilau bila terang bulan. Perahu-perahu laju, dan bagan, kapal kayu penangkap ikan, bersauh di muara yang lebar. Melihat sampah-sampah yang terapung tak tahu arah di arus tukad Badung, ia teringat perahu-perahu dari sabut kelapa yang ia hanyutkan dari tepian, entah terdampar di mana.

Lalu riuh pasar membuatnya tersintak dari lamunan. Pasar Kumbasari memang membuatnya terjaga dari kantuk dan pikiran. Pasar induk ini memulai aktivitasnya tengah malam menjelang dinihari, di batas antara malam yang matang dan pagi yang akan menjelang. Di situlah para pedagang --sebagian besar perempuan-tegak berjaga. Menjaga dagangan di hadapan; keranjang penuh buah, bunga-bunga, sayur-mayur, daging babi dan ikan-ikan.

Selintas keranjang bambu itu bagai canang raksasa saja layaknya, dipersembahkan perempuan-perempuan pasar yang penuh bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Biasanya, jika ke Kumbasari, ia akan bertemu kawan-kawan lain yang sama-sama berahi mabuk puisi. Lalu mereka akan nongkrong di sebuah kedai soto babat --soto “terenak di dunia“ begitu mereka bilang --yang terletak di pojok pasar, di tepi tukad Badung. Pada hari tertentu, akan ada seorang “lelaki kuda“ hadir di tengah-tengah mereka. Lelaki kuda itu, begitu ia disebut, dan sebagian lain menyebut “si batu dungu“, ikut bergabung sehabis dead line rubrik “Apresiasi“ di sebuah surat kabar lokal yang ia asuh. Kehadirannya selalu hangat dan membakar hasrat siapa pun untuk tak mainmain dengan pilihan hidup.

Beberapa minggu lalu, ia masih bertemu si laki-laki kuda, dan berkumpul bersama kawankawannya yang selalu terceguk pada kata-kata dan puisi itu.

“Masih membantu sablon di Alit Esha?“ laki-laki kuda hangat menyapa.

“Sudah tidak, Bung. Order sepi. Alit sekarang beralih ke ayam potong.“

“O, ayam potong? Cepat juga orang itu beralih usaha ya.“

“Iya, Bung, ada celah di Benoa untuk memasok daging ayam bagi kapal yang akan berlayar. Tapi ini baru mulai.“

“O, bagus itu. Jadi, tugasmu sekarang tinggal antar ya?“ “Saya yang memotong ayam-ayam itu, Bung, tiap kali ada permintaan. Sebab ABK kebanyakan muslim, maka pilihan jatuh kepada saya. Halal katanya, hahaha...“

Semua yang hadir tertawa. Penyair Jengki berkata,“Daging soto ini tetap enak, meski yang motong sapinya kita ndak tahu, hahaha...“

“Iya, enak,“ jawabnya pula, lalu sedikit mengeluh, “Berat sekali jadi tukang jagal.“

“Justru!“ laki-laki kuda berseru, “Kau akan dapat kata-kata liar, akan...“

`'...dapat sajak-sajak ayam potong!“ potong Wirah.

Kembali tawa bergema. Kali ini ia diam. Ia agak kesal kepada Wirah yang sok tahu. Ia sendiri merasa tidak mudah beralih usaha dari sablon ke ayam potong. Bukan perkara ruang sablon jadi tempat penampungan ayam, tapi kejadian dinihari yang membuatnya merinding.

Setiap dinihari, ia akan bangun dengan kilatan pisau di tangan. Bagaimana mungkin ia memotong ayam berpuluh ekor, sedang memotong seekor saja alangkah sulit? Pernah, suatu ketika, perempuan tetangga kamarnya itu memintanya memotong ayam. Ia berusaha matimatian, meski jadi tertawaan perempuan itu.

Namun itu pula membuatnya nekat menggorokkan pisau, membuang rasa tega. Alhasil, hari itu, ia dan perempuan tetangganya yang baik hati itu pesta daging si Burik, dan sedikit ciuman yang mereka lakukan dengan tersipusipu. Berkat pengalaman itu, ia berani menerima tawaran Alit untuk mengubah usaha sablon jadi tempat pemotongan ayam. Sejak itulah, ia bersentuhan dengan darah, cacah pisau di leher yang pasrah dan keok sekelok yang memecah pagi buta!

Dan malam ini tak ada siapa pun. Sepi. Tak ada teman berbagi. Bahkan Wirah yang selalu serbatahu juga tak nongol. Padahal lumayan untuk merintang hati yang gundah, o, gaduh! Tapi ia tak ingin pula. Ia ingin sendiri, berjalan tanpa rencana, tanpa siapa-siapa. Ia berbalik.

Jika mau, ia bisa mampir di kedai pojok jembatan, memesan segelas kopi kental, atau menikmati nasi jinggo di pelataran toko Jalan Gajah Mada. Tapi tidak. Ia ingin berjalan saja, memperturutkan sejauh mana arus pikiran menyeret dirinya. Ia berjalan ke timur, menyeret terompah lusuhnya. Ia berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik yang baru pulang melantai dari diskotek di atas Pasar Kumbasari.

Dua dunia, batinnya. Di bawah, para perempuan berjaga dengan keranjang sayur-mayur, sementara di lantai atas perempuan-perempuan ini pun berjaga dalam irama musik yang menghentak. Di atas Jembatan Tukad Badung, ia ingin berteriak, entah meneriakkan apa, dan kerongkongannya tercekat. Akhirnya ia menemukan sebuah baut berkarat tergeletak di atas kerikil. Ia pungut baut berkarat itu, ia tokoktokokkan ke tiang besi jembatan yang juga berkarat. Teng! Teng! Suaranya melengking, tapi tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar. Lagi pula, siapa peduli?

O, terbuat dari apakah sebuah kota? Dari besi, aspal dan baja. Di manakah halaman sebuah kota? Di taman-taman dan alun-alun yang terbuka. Dan perlahan ia melangkah ke sana, ke arah lapangan Puputan Badung. Ia melewati toko-toko yang merapat ke sisi jalan, melewati perempatan, melintasi bank besar milik pemerintah yang berdiri berhadap muka dengan bank swasta. Lalu kantor wali kota, ah, apa saja kerja mereka? Ia bergumam, hingga terhantar di air mancur, di bawah kaki patung pahlawan. Ia ciduk air yang berlumut dengan telapak tangan, berkumur, lalu menghamburkan kuat-kuat seperti tersadar itu air lumutan.

Bersamaan dengan itu teriakkannya pecah! “Ppuuaaah!“ Bergema, menghalau burungburung malam yang bersarang di dinding kantor wali kota.

Akhirnya, ia tiba di lapangan. Rumputrumput berkilat mandi cahaya. Embun sudah turun. Daun-daun di pohonan memantulkan sinar lampu-lampu kota. Walau sudah tiba di bangku taman, dia tetap saja berjalan memutari bangku-bangku itu. Terompahnya basah, tapi ia tak hendak duduk. Ia berjalan memutari dua setengah kali lapangan itu, tanpa tahu mengapa, sampai ia kemudian merasa lelah. Ia teringat sebuah sanggar seni di Jalan Wahidin, jalan terpendek di kota itu. Ia ingin ke sana, sebagaimana biasa ia menghabiskan malamnya di ruangan yang penuh debu, melekat di koran dan buku-buku. Banyak nyamuk, sehingga kalau ia memasang krem anti nyamuk di kulitnya, ia merasa dirinya seolah Ibrahim di tengah api, dan nyamuk-nyamuk itulah api yang berdenging! Ia memutuskan ke sana.

Tiba di Jalan Sulawesi, tempat berderet toko emas dan toko kain milik pedagang keturunan Arab, ia tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingat kamarnya. Sebuah kamar, sungguh berarti saat kita terlantar di jalan. Ia ingin kembali.

Mengempaskan diri di kamar sendiri. Ya, ia putuskan lurus ke Jalan Kartini, batal ke Wahidin. Ia pilih masuk gang, mencari jalan pintas. Sebagai orang yang berjalan kaki ke mana-mana, ia tahu seluk-beluk berpuluh gang.

Grrr! Guk, guk, guk!

Baru saja masuk berapa depa ke Gang India, seekor anjing ke luar dari pekarangan, menyerbunya. Laki-laki itu terhuyung, tergeragap mundur. Tapi anjing hitam itu terus menyosornya dengan galak. Nyaris ia terjerembab ke selokan, jika saja anjing itu tak berhenti mendadak. Ia pungut sebutir batu dan ia lemparkan. Kraang! Batu itu nyasar ke dinding pagar. Ia menahan napas. Kecut. Ngeri jika pemilik rumah bangun lalu meneriakinya maling. Tidak! Tiba-tiba ia merasa sangat kasih pada dirinya. Betapa ia ingin setiap organ tubuhnya terlindungi dengan baik. Ia lihat tangannya yang kurus dalam remang cahaya malam. Tak akan dibiarkannya teraniaya. Juga kakinya. Tubuhnya. Bahkan kuku-kukunya.

Tapi, siapakah yang akan melindungi itu semua? Bahkan sesama organ tubuhnya pun terasa tak cukup mampu. Semuanya begitu ringkih, kurus dan menderita. Tapi tidak. Ada sesuatu yang bangkit dari kedalaman dadanya, begitu kuat dan perkasa: semangat yang membuatnya bertahan hidup, bertahan di tanah rantau, dan menolak kata pulang. Semua itu kini menggumpal dalam dadanya, seakan dada tipis itu bakal pecah.

Ia bangkit, berontak dari kelumpuhannya.

Sepasukan anjing liar kini dalam waktu singkat telah mengepungnya --entah berdatangan dari mana. Ia lihat anjing-anjing itu bagai sepasukan nasib buruk yang harus dilawan dan dimusnahkan. Tangannya bergerak meraih batu lebih banyak. Kau tahu, batu, benda Tuhan yang keras itu, adalah peluru sejati bagi manusia yang ingin mempertahankan hidupnya di bumi! Ya, ya, sebuah batu melayang, tak lagi salah sasaran. Buk! Seekor anjing kena timpuk, barangkali patah tulang, terkaing-kaing tak keruan. Tapi yang lain merangsek maju. Sebuah batu lagi melayang. Lagi dan lagi. Dan entah pada batu ke berapa, seseorot cahaya senter meneror wajahnya!

“Diam di tempat!“ sesuara melerai ketegangan, tapi mengundang ketegangan baru. Derap langkah mendekat. Aneh, anjing-anjing mundur teratur, melesat kembali masuk gang. Sepi sebentar. Sepi yang meneror. Ia yang baru saja memperoleh separo kekuatan dirinya, kini kembali tergetar oleh kekuatan di luar dirinya yang jauh lebih besar.

Seseorang menyambar lengannya, mencengkram seperti hendak mematahkan, “Ke sini kamu!“ Beberapa yang lain mendekat.

“Bawa ke tempat terang, Ndan!“ Tubuhnya digeser ke bawah tiang lampu jalan. Ia menekur, menghindari cahaya yang terasa setajam mata komandan --lebih tajam daripada sorot mata si anjing hitam.

“Mau ke mana malam-malam begini?“ “Saya mau pulang, Pak. Tadi dari Kumbasari.“

“Jualan apa? Di mana tinggal?“ “Nyari nasi jinggo, Pak. Saya tinggal di Jalan Bedahulu.“

“Tak ada nasi jinggo di situ?“ “Sudah habis. Tapi sebenarnya saya sekalian dari sanggar.“

“Sanggar senam?“ “Bukan. Sanggar seni, di Jalan Wahidin.“

“Mana KTP-nya?“ Ia gelagapan, merogoh dompet. Ia sodorkan kartu sanggar berlambang mata terbuka.

“Saya sudah lama di sini, Pak.“

“Hmmm, sudah lama?“ Seseorang menyahut, “Itu goblok namanya.

Sudah lama, kok tak punya KTP! Kartu lain tak berlaku, tahu? Dari mana kamu? Nak Jawa?“ “Sumatera.“

“Sumatera mana? Dekat Aceh?“ orang itu masih nyelutuk dengan kedangkalan pengetahuannya.

Ia tak lagi menjawab, sebab orang yang tadi menyenter wajahnya dan menarik lengannya sudah terlanjur berbisik, “Punya berapa di dompetmu?“ Kembali ia keluarkan dompet, menghitung uang kertas ditambah recehan. Masih saja ia dengar celutukan meniru iklan mobil irit, “Ke Bali, tak sampai empat puluh empat ribu!“ Ia memberontak. Ia masukkan kembali dompetnya, dan ia serakkan lagi uang receh ke dalam kantong celananya. Lalu ia tatap wajah orang yang menginterogasinya. “Saya tak punya uang, terserah Bapak sekarang...“

“Ndaskleng!!“ beberapa orang menggerutu serentak. Untunglah sang komandan cukup tenang, dan aneh, ia melunak.

“Ya, sudahlah, pulang saja ke kostmu! Besok urus KTP. Itu tidak sulit. Saya pernah di Jawa, dan dulu ikut orang tua transmigrasi di Lampung,“ begitu saja komandan itu membalikkan badan. Anak buahnya tampak enggan.

Tak lama, mobil pick-up di ujung gang menyala, membawa petugas Tramtib itu menjauh. Ia tiba-tiba merasa sepi. Tak ada lagi yang dilawan buat membangkitkan pemberontakan dalam diri. Atau, haruskah ia merobek-robek surat ibu di balik bantal? Entah. Ia ke luar gang.

Menyusuri kembali malam. Dirinya perlahan jinak bagai seekor rusa dikandangkan di kebun binatang sebuah kota. Entah kenapa.***
READ MORE - Malam, Sebuah Kota

Tamu di Malam Tahun Baru

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Suara Karya, 04/17/2010

Malam Tahun Baru Muram. Sejak pagi gerimis bergantian dengan hujan deras. Semalam jam 20.22 WITA atau 19.22 WIB hpku menyala dan berita yang dikirim oleh Saut Situmorang berbunyi: "Gus Dur meninggal dunia."

Tanpa basa-basi, tanpa bentuk hormat, hanya isi. Kuperlihatkan sms kepada Sonia dan pak Seken yang duduk di sebelah-belahku. Kami sedang menyaksikan pementasan drama berbahasa Inggris berjudul "The Princess" gubahan WS Gilbert dan Sullivan, yang aslinya berupa sebuah opera terkenal. Tentu saja aku tak boleh berharap mereka benar-benar mempertunjukan sebuah opera yang perlu disiapkan mungkin setahun, padahal pementasan ini merupakan tugas akhir mata kuliah drama yang hanya satu semester, sebesar dua kredit.

Cukuplah empat orang mahasiswa yang dirias cantik berperan sebagai paduan suara, terkadang mengumandangkan larik-larik puitis dan kadang menyayikan lagu merdu. Katanya, lagu-lagu itu diunduh dari internet, demikian pula sewaktu menyiapkan pementasan itu, mereka juga mengunduh drama itu lengkap, sehingga mereka punya gambaran jelas mengenai akting, setting, kostum, dan sebagainya. Walau pun demikian, mereka tentu harus bekerja ektra keras untuk mewujudkan drama yang dapat mereka pentaskan seperti adanya malam itu.

Seusia diskusi, Pak Prof Seken ingin segera pulang dan menonton TV sambil makan malam. Katanya, dia belum makan malam sebab makan siangnya juga berlangsung sore hari. Prof Seken adalah lulusan pertama Jurusan Bahasa Inggris tempatku bekerja, pada tahun 1971. Akulah pembimbing skripsi sarjana mudanya, dan kemudian dia menempuh pendidikan pada English Language Teacher Traning Program (ELTTP) di IKIP Malang selama 5 semester, program yang juga diambil oleh mahasiswa dari Iran.

Program yang didanai Ford Foundation itu memang dimaksud untuk mendidik mahasiswa tangguh untuk menjadi dosen di perguruan tinggi.

Aku sendiri sudah beberapa tahun pensiun, dan ingin segera pulang, salat, dan tidur. Kuperlukan menyalakan TV sebentar untuk melihat berita kematian Gus Dur, Presiden RI ke IV yang rasa humornya tinggi. Aku pernah baca di dalam bacaan psikologiku, bahwa seseorang yang sense of humor tinggi itu orang dengan IQ tinggi. Aku percaya itu, sebab menurut pengalamanku, seseorang yang bodoh cepat tersinggung menghadapi humor yang tidak dipahaminya.

Kadang terdengar aku tertawa terbahak sendiri ketika seseorang melontarkan humor, sementara orang lain diam saja. Ini tidak berarti aku punya IQ tinggi. Menurut kakak klasku di Fakultas Psikologi UI, Murtono Aladin, IQ kami (aku dan dua teman lain yang mungkin Anda kenal) lebih dari 143.

Aku tak begitu percaya pada IQ, atau hasil test TOEFL yang di atas 600, sebab aku selalu merasa bodoh. Aku merasakan, keberhasilan sebuah studi tidak semata-mata tergantung dari hasil tes TOEFL atau IQ yang tinggi, namun sangat tergantung pada kematangan emosional dan sosial. Hal ini kurasakan saat aku menempuh studi program Master di Inggris. Masalahku justru aku merasa asing di negeri asing itu, dan ingin segera pulang ke Singaraja. Kupikir saat itu, aku lebih mementingkan diriku sendiri dibanding dengan memikirkan anak-anakku. Untuk apa aku mencapai gelar lebih tinggi sementara anak-anakku telantar di Singaraja?

Kamis muram walau diTV aku lihat cuaca cerah saat Taufiq Kiemas ketua MPR melepas jenazah Gus Gur untuk diterbangkan ke Surabaya. Aku ingat sosok Gus Dur yang tenang itu. Kudengar, dulu di Jakarta sambil menunggu istrinya pulang bekerja di majalah Zaman di Senen, dia sering meminjam mesin tulis, mengetik di sana kolom-kolom yang cemerlang yang membuatnya menjadi kolomnis terkemuka. Waktu itu aku tak tahu bahwa kelak dia akan muncul sebagai KH Abdurrahman Wahid, sosok agama yang sangat terbuka. Waktu aku menemaninya makan pagi di Singaraja tahun 1997, kukorek dari mulutnya mengenai prediksi negeri ini di bawah Pak Lurah, dan dia nampaknya punya banyak informasi, terutama tentang apa yang akan terjadi. Katanya, nanti akan ada pergantian pemerintahan yang sudah disiapkan dari sekarang. Pertama, dia menyebut sebuah nama terkemuka yang akan menjadi Panglima TNI, dan kemudian dengan mulus akan menggantikannya. Ternyata kelak prediksinya meleset sebab bukan nama itu yan muncul, tetapi nama jenderal lain, dan akhirnya justru BJ Habibie yang menggantikannya.

Ketika aku menyebut nama koran Republika dan nama Sinansari ecip yang bukan Muhamadiyah, ternyata dia tahu bahwa Sinansari berasal dari NU. Dia berasal dari Singosari, teman sebangkuku di SMPN III Malang, dan ketika pindah ke Jakarta, dia aktif menulis di koran Duta Masyarakat milik NU. Saat Duta Masyarakat digoyang, dia menjadi redaktur Duta Revolusi yang merupakan penjelmaan Duta Masyarakat.

Aku ingat cerpenku dimuat di koran itu walau aku sudah balik ke Malang. Di Jakarta aku ingat Sinansari menumpang di rumah tokoh penting asal Singosari yang tinggal di Kawasan Menteng. Kalau tidak salah seorang menteri atau anggauta dewan. Aku tak mengira dia menjadi Presiden RI ke IV. Di dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh wartawan koran besar di Jakarta, aku bergurau: "Andaikata aku bukan penulis dusun, pasti aku sudah diangkat jadi menteri. Ini lantaran beberapa pembantu Gus Dur justru para kolomnis atau penulis.Demikian pula saat aku menulis kolom bahasa Bulog Gate dan Brunei Gate aku juga menyinggung soal kepiawaian Gus Dur berkelakar, dan aku yakin pasti dia tak pernah membacanya, ataupun kalau pembacanya tertarik tulisanku, mungkin tulisanku dibacakannya dan Gus Dur barangkali tertawa terbahak-bahak."

Waktu aku bekerja sebagai LO untuk menteri-menteri pendidikan Asean yang mengadakan pertemuan di Nusa Dua, Gus Dur datang memberikan sambutan di dalam pertemuan itu. Sebelumnya aku sudah memasuki ruangan itu, mengantar Menteri Pendidikan Thailand yang kudampingi, namun aku tidak tinggal lama disitu. Setelah menunjukkan tempat duduknya dan menyerahkan tasnya pada asisten beliau yang duduk di baris kedua, aku keluar dan kembali ke kantor panitia. Dari sana kudengar suara sirene mengaum, menandakan kedatangan Presiden RI.

Teman-teman berlari memenuhi pintu belakang gedung bertemuan itu dan melihat Gus Dur dari sana, Aula itu seperti sebuah gedung teater, panggungnya terletak di lantai bawah, dan pintu belakangnya justru terbuka ke lantai dua, tempat kantor panitia. "Gak mau lihat Gus Dur, Pak?"

Aku hanya tersenyum dan berkata: "Sudah kenal, kok." Sopir Blue Bird yang membawa menteri kemana-mana mengatakan bahwa mobil khusus untuk Gus Dur diterbangkan langsung dari Jakarta dengan helicopter yang mendarat di lapangan tempat tinggal Pangdam Udayana. Katanya, itulah mobil standar untuk presiden.

Sebuah Limousine yang kulihat diparkir di depan hotel. Eh, standar presiden! Padahal saat aku turun dari bandara di Seatle, aku dijemput sebuah limo. Pantaskan aku jadi presiden?

Malam ini cuaca sangat tidak bersahabat.

Gerimis terus menerus menetes. Padahal biasanya cuaca cerah, dan Bupati selalu menyalakan kembang api untuk rakyatnya; Saat ultah kota Singaraja, saat pergantian tahun, saat pembukaan Pameran Pembangunan di bulan Agustus. Aku terkesan akan kotaku yang merupakan kota kembang api dan kota patung.

Dimana-mana di sudut kota didirikan patung dari Patung Patih Jelantik, pahlawan Puputan Jagaraga, sampai patung Sapi Gerumbungan, seni karapan sapi khas Buleleng.

Akankah malam ini kembang api dinyalakan sementara Presiden sudah menghimbau untuk meniadakan Perayaan Tahun Baru yang berlebihan untuk menghormati kepergian Gus Dur?

Selepas Isya saat aku berada di depan komputerku, kudengar ketukan di pintu.

Apakah ada tamu? Mahasiswa yang mengantar foto pementasan semalam? Ketika kubuka pintu depan, aku terperanjat dan hanya mendengar bisikan:

"Bas!" "Selamat jalan, Gus."

Bisikku balik. Lampu di halaman depan terang benderang, demikian pula lampu jalanan sudah dinyalakan istriku semenjak maghrib. Hanya sekilas kulihat sosoknya. Mungkin dia berkeliling berpamitan pada semua kenalannya, padahal kenalannya berada di seluruh dunia.

Mungkinkah?

Wallahualam bisawab. Saat itu tiba-tiba langit cerah. Ternyata kembang api sudah meledak di langit kota. Malam Tahun Baru sudah tiba, tiga presiden RI sudah tiada, semua menderita penyakit serupa: Kecapekan memikirkan bangsa ini. Tamu malam ini sangat berarti bagiku. ***
* Singaraja 31 Desember 2009.
READ MORE - Tamu di Malam Tahun Baru

Pengakuan

Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Koran Tempo (04/18/2010)

Di Semarang, pada tanggal 31 Januari 1728, setelah mundur satu hari dari hari yang direncanakan (karena, menurut perhitungan, itu adalah hari yang buruk), dengan ditemani istri keduanya Ragasmara, Pangeran Arya Mangkunegara bersaksi di hadapan Willem Ter Smitten, Adipati Semarang, dan seorang penerjemah.


TUAN Ter Smitten yang terhormat, terima kasih atas kesempatan ini, di mana saya bisa menceritakan kejadian yang saya alami. Saya tahu cerita ini tidak akan mengubah nasib saya, tidak akan memperingan hukuman apalagi bisa membebaskan diri saya. Dengan kata lain, cerita ini tidak berguna sama sekali bagi saya. Tapi bagi Tuan, setidaknya Tuan punya dua cerita tentang kejadian buruk yang menimpa saya.

Ini kali kedua saya menceritakannya. Mungkin yang terakhir sebelum saya dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan di Pulo Kap. Di Kartasura saya telah beberkan dengan panjang lebar apa yang sesungguhnya saya alami kepada Tumenggung Nitinagara dan Tuan Residen. Interogasi yang sia-sia, Tuan. Sebagaimana Tuan tahu, Nitinagara adalah antek Patih Danureja, orang yang paling menginginkan saya tersingkir dari Kartasura. Ia sama sekali tak mempercayai cerita saya sekuat dan selengkap apa pun saya menceritakannya. Seluruh saksi yang meringankan saya telah disingkirkan. Wirasmara mati dicekik di kediaman Danureja. Mbok Wiraga diberhentikan dari pekerjaannya dan disingkirkan jauh-jauh dari kraton. Sedangkan Nitipraya diutus pergi ke Banyumas dan tak pernah kembali lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat, Tuan. Tiba-tiba saya sudah berada di dalam tandu dan dibawa ke mari.

Tuan Ter Smitten yang terhormat, cerita ini tak akan mengubah pendirian Tuan maupun Kompeni. Saya tahu kejadian ini menguntungkan seluruh kepentingan Tuan di Mataram. Tuan sama sekali tidak terlibat dalam usaha menyingkirkan saya. Tapi dengan tersingkirnya saya dari bumi Mataram, mata Tuan hanya akan tertuju pada Danureja. Saya mengerti politik, Tuan. Saya tidak bodoh. Tidak semua orang Jawa bodoh sebagaimana Tuan kira. Saya hanya tak mau lagi bermain di dalamnya. Saya hanya ingin hidup tenang bersama keluarga. Saya juga tak ada niatan sekecil apa pun untuk merebut tahta. Siapa pun tahu, sepeninggal ayah saya, sayalah yang paling mungkin menggantikannya. Saya putra tertua dan seluruh adik saya belum cukup umur untuk menjadi Sunan.

Tapi saya menerima seluruh keputusan ayahanda. Saya tak menyesal kenapa nama saya sama sekali tidak disebutkan dalam wasiat tersebut. Tahta diturunkan kepada Pangeran Adipati Anom. Jika sesuatu terjadi padanya maka tahta akan jatuh pada Buminata. Jika sesuatu kembali terjadi, tahta akan jatuh ke tangan Loringpasar. Di tengah sakitnya, nama saya telah terlupakan. Saya tahu saya cuma anak babu. Dan di mata ayah saya tetap seorang pemberontak yang gagal. Kejadian itu juga sangat menguntungkan Tuan, bukan? Seorang bocah 16 tahun menjadi sunan duduk di atas singgasana emas bermutu rendah. Tuan sendiri yang menakar nilai emas di singgasana kami. Tuan pula yang mengatakan bahwa yang sekarang duduk di atasnya bernilai lebih rendah lagi. Suksesi berjalan lancar sebagaimana yang Tuan harapkan. Usaha dagang Tuan berjalan normal. Tapi di mata Tuan saya adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan merusak seluruh usaha Tuan di tanah kami.

Tuan Willem Ter Smitten yang terhormat, sebuah bom hanya bisa meledak satu kali. Dan saya telah berjanji di hadapan Residen Kartasura di hari Minggu 2 Juni 1726 sehabis penobatan Sunan Pakubuwana bahwa saya akan tunduk pada seluruh keputusan. Maaf jika saya berpanjang-panjang. Saya hanya ingin Tuan tahu di mana saya berdiri sesungguhnya. Dan saya harus berterima kasih Tuan telah membawa saya ke Semarang dengan terhormat. Dengan sebuah tandu tertutup bersama kerabat saya. Terima kasih karena Tuan telah menolak permintaan kraton yang menginginkan saya dibawa ke Semarang dalam kerangkeng agar menjadi tontonan sepanjang jalan. Nilai saya tak serendah itu, Tuan. Nanti Tuan bisa menilainya sendiri di akhir cerita saya.

TUAN Ter Smitten yang terhormat, Pedagang Utama dan Gezaghebber Pesisir Timur Laut Jawa, saya hanya seorang duda yang sedang jatuh cinta. Tak kurang tak lebih. Dan cerita ini hanya sebuah drama cinta biasa yang telah dipelintir sedemikian jauh menjadi kisah politik yang begitu menyita perhatian hingga Batavia.

Pada tanggal 23 September 1727 isteri saya, Raden Ayu Wulan, meninggal karena cacar. Lalu sebulan kemudian Tuan berkunjung ke Kartasura. Saya yakin Tuan masih mengingatnya. Itu kunjungan pertama Tuan. Kita bertemu waktu itu. Dan Tuan tampak lega karena saya dan Danureja rukun-rukun saja, tidak seperti yang Tuan khawatirkan.

Kemudian tari Bedhaya pun digelar di pagelaran menyambut Maulud Nabi. Menyambut kedatangan rombongan Tuan. Sudah puluhan kali saya nonton Bedhaya, Tuan. Tapi entah kenapa tari Bedhaya malam itu begitu mengusik hati saya. Membuat saya nelangsa. Dan seluruh masa lalu saya datang kembali--menari di hadapan saya tanpa bisa saya kendalikan lagi. Ayu Wulan kembali duduk di pangkuan saya. Menghadirkan kembali pesona kota Blitar. Hati saya berdenyar, Tuan. Malam itu saya kembali hidup, Tuan. Sebulanan saya bagai mayat berjalan. Mati sajroning urip. Kehilangan sangkan paraning dumadi. Tapi malam itu tiba-tiba saya mendapati bahwa saya bisa hidup dalam kematian. Salah satu penari itu. Ia mirip benar dengan Ayu Wulan. Saya tak bisa tidur. Sepanjang malam penari itu menari-nari di ranjang saya. Seperti Ayu Wulan. Ia menyalakan malam-malam saya. Gusti Allah, saya mengambil air wudlu malam itu. Membasuh kulit saya yang mengelupas kekeringan. Cinta benar-benar datang malam itu. Menyapa saya serupa kawan lama.

Maaf, Tuan, kalau saya terdengar sentimentil. Di suatu masa saya adalah pemberontak yang garang--melawan ayah dan penjajah. Tapi di masa yang lain saya hanya laki-laki yang kesepian. Saya menyesal kenapa Wirasmara harus menari malam itu. Perempuan peranakan itu tak seharusnya berada di sana. Pertama karena ia seorang ratu. Kedua karena ia jadi begitu mengganggu. Jadi hantu mendiang isteri saya. Satu setengah bulan lamanya, sejak malam itu, saya jadi bulan-bulanan kenangan. Hingga akhirnya suatu malam saya kebagian tugas jaga. Saya berjaga bersama Pangeran Loringpasar, Pangeran Martasana dan Raden Purwakasuma. Mereka tak tahu apa yang tengah terjadi pada diri saya.

Tapi mereka tahu sesuatu tengah berlangsung dengan hebat dalam tubuh saya. Purwakusuma menggamit tangan saya, mengajak menepi. Apa Kangmas sakit? Ia bertanya-tanya. Lalu dengan hati-hati saya ceritakan perasaan saya. Ia bisa mengerti. Sebuah informasi yang penting segera disampaikannya. Wirasmara ternyata sudah tidak dikehendaki lagi oleh Sunan. Perempuan hadiah dari Adipati Semarang itu sebenarnya diberikan kepada ayah saya selagi beliau sakit. Ayah sama sekali tak pernah menjamahnya sampai beliau mangkat. Ia masih perawan ketika diwariskan kepada Sunan Pakubuwana. Sunanlah yang kemudian memerawani dan menghamili perempuan itu. Dan sekarang Sunan sudah bosan. Jadi mungkin saya bisa memintanya agar bisa menjadi isteri saya.

Malam itu juga saya memanggil Nitipraya, pembantu kesayangan Sunan. Di hadapan Purwakusuma saya bertanya kepadanya, apakah mungkin saya bisa meminta isteri kepada raja. Jika tidak, tolong lupakan saja pertemuan kita malam ini. Nitipraya menganggukkan kepala. Mungkin saja. Saya katakan kepada Nitipraya bahwa saya akan menerima siapa saja yang akan diberikan Sunan kepada saya. Saya katakan kepada Nitipraya agar membawa masalah ini kepada Mbok Wiraga, kepala pembantu keputren.

Empat hari kemudian, Tuan, ketika saya bertugas jaga kembali, saya memanggil Mbok Wiraga. Saya mengulangi lagi permintaan saya. Mbok Wiraga meyakinkan saya bahwa permintaan semacam itu sangat mungkin. Lalu ia mendesak saya, apakah Pangeran sudah punya pilihan. Saya tak berani menyebut nama. Itu tidak sopan bagi Sunan. Saya hanya bilang bahwa saya menginginkan seorang isteri yang wajah dan tingkah lakunya mengingatkan saya pada mendiang isteri saya. Mbok Wiraga langsung menyebut nama Wirasmara. Ia pilihan yang pas buat saya. Lagi pula Sunan sudah tidak menghendakinya. Saya hampir meledak gembira kalau saja saya tak bisa menahan diri dan menyadari bahwa semua itu belumlah terjadi. Ini baru sejumlah asumsi. Seluruh kepastian ada di tangan Sunan.

Keesokan paginya Nitipraya menemui saya. Ia bilang bahwa Mbok Wiraga sudah mengajukan permintaan saya kepada Sunan. Menurut Mbok Wiraga Sunan tak tampak keberatan. Saya boleh meminta siapa saja asal bukan Ratu Mas. Saya susah menggambarkannya, Tuan, tapi Tuan pasti bisa menebak sendiri bagaimana perasaan saya begitu mendengar kabar itu. Saya segera cabut keris pusaka dan saya berikan kepada Nitipraya. Sampaikan kepada Sunan sebagai tanda bahwa saya menerima apa pun keputusannya. Tapi Nitipraya menolaknya. Nanti saja Pangeran, kalau Pangeran sudah mendapatkan isteri baru, barulah keris ini Pangeran persembahkan bagi Sunan. Saya menurut saja. Mungkin lebih baik seperti itu. Saya tak tahu lagi mana yang terbaik yang mesti saya lakukan pagi itu. Selain menunggu.

TAPI saya bukan penunggu yang baik, Tuan Ter Smitten. Saya harus segera mendapat kepastian. Sesedikit apa pun. Siang itu juga saya memanggil Mbok Patrasari pembantu kesayangan Ibu Suri Amangkurat. Kepadanya saya katakan terus terang kehendak saya. Saya minta ia menyampaikannya kepada Ibu Suri. Sorenya Mbok Patrasari datang membawa jawaban dari Ibu Suri. Jawaban datang begitu cepat. Tapi isinya sama sekali di luar harapan saya. Ibu Suri terang-terang menolak. Ia tak setuju saya meminta Wirasmara sebagai isteri. Ia meminta saya memilih salah satu: Sutari, putri dari Raden Tohpati, atau Raden Ayu Kusuma, putri dari Pangeran Dipanagara.

Benar, Tuan Ter Smitten, dari sanalah kesalahan saya. Saya menolak keduanya. Tentunya ini membuat Ibu Suri tersinggung. Dan selanjutnya Tuan sudah mengerti sendiri bagaimana jalan ceritanya. Saya dituduh berselingkuh dengan Wirasmara. Danureja mengakhiri cerita saya dengan begitu memikat. Ia manfaatkan kekecewaan Ibu Suri. Ia manfaatkan kemarahan Sunan Pakubuwana. Bekas tukang rumput itu tahu benar bagaimana caranya menyingkirkan ilalang macam saya.

Tuan Ter Smitten, saya belum pernah sekali pun bertemu dengan Wirasmara. Saya cuma melihatnya sekali, malam itu bersama dengan Tuan, saat ia menari. Lalu bagaimana bisa saya dikatakan telah menidurinya, memalukan raja karena meniduri isterinya. Bukti yang Danureja ungkapkan memang tak bisa saya tampik. Benar bahwa perhiasan-perhiasan itu memang milik saya, perhiasan yang ditemukan di dalam kamar Wirasmara. Benar bahwa di rumah saya juga tersimpan barang-barang pemberian Wirasmara. Tapi, Tuan, barang-barang itu datang dari masa lalu. Mendiang isteri saya adalah sahabat dekatnya. Ini fakta yang terlambat saya angkat. Tentu saja mereka kerap bertukar kain dan perhiasan sebagaimana istri-istri pangeran yang lain.

Puisi cinta di dalam kotak sirih hanya membuktikan bahwa saya memang benar jatuh cinta kepadanya dan bukan saya telah merayunya untuk kemudian menidurinya. Patih Danureja benar-benar ingin menyingkirkan saya. Dengan dibuangnya saya, jalan akan semakin lempang terbuka baginya untuk menguasai Mataram. Benar itu memang puisi saya, Tuan. Saya menyalinnya sendiri dari buku yang saya pinjam dari Pangeran Loringpasar. Apa salahnya menyalin sebuah puisi cinta? Jika saja Wirasmara tidak buru-buru dibunuh ia tentu akan mengatakan hal yang sama dengan yang saya katakan: bahwa kami tak sekalipun pernah bertemu. Seharusnya Tuan menangkap Danureja karena membunuh seorang perempuan yang tak berdosa.

Tuan Willem Ter Smitten, demikian cerita saya. Sekarang saya sudah siap untuk Tuan bawa ke Batavia.

Willem Ter Smitten berusaha keras menahan air matanya. Satu bahaya telah dipadamkan. Sekarang ia bersiap menghadapi Danureja.

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Pengakuan