Tamu di Malam Tahun Baru

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Suara Karya, 04/17/2010

Malam Tahun Baru Muram. Sejak pagi gerimis bergantian dengan hujan deras. Semalam jam 20.22 WITA atau 19.22 WIB hpku menyala dan berita yang dikirim oleh Saut Situmorang berbunyi: "Gus Dur meninggal dunia."

Tanpa basa-basi, tanpa bentuk hormat, hanya isi. Kuperlihatkan sms kepada Sonia dan pak Seken yang duduk di sebelah-belahku. Kami sedang menyaksikan pementasan drama berbahasa Inggris berjudul "The Princess" gubahan WS Gilbert dan Sullivan, yang aslinya berupa sebuah opera terkenal. Tentu saja aku tak boleh berharap mereka benar-benar mempertunjukan sebuah opera yang perlu disiapkan mungkin setahun, padahal pementasan ini merupakan tugas akhir mata kuliah drama yang hanya satu semester, sebesar dua kredit.

Cukuplah empat orang mahasiswa yang dirias cantik berperan sebagai paduan suara, terkadang mengumandangkan larik-larik puitis dan kadang menyayikan lagu merdu. Katanya, lagu-lagu itu diunduh dari internet, demikian pula sewaktu menyiapkan pementasan itu, mereka juga mengunduh drama itu lengkap, sehingga mereka punya gambaran jelas mengenai akting, setting, kostum, dan sebagainya. Walau pun demikian, mereka tentu harus bekerja ektra keras untuk mewujudkan drama yang dapat mereka pentaskan seperti adanya malam itu.

Seusia diskusi, Pak Prof Seken ingin segera pulang dan menonton TV sambil makan malam. Katanya, dia belum makan malam sebab makan siangnya juga berlangsung sore hari. Prof Seken adalah lulusan pertama Jurusan Bahasa Inggris tempatku bekerja, pada tahun 1971. Akulah pembimbing skripsi sarjana mudanya, dan kemudian dia menempuh pendidikan pada English Language Teacher Traning Program (ELTTP) di IKIP Malang selama 5 semester, program yang juga diambil oleh mahasiswa dari Iran.

Program yang didanai Ford Foundation itu memang dimaksud untuk mendidik mahasiswa tangguh untuk menjadi dosen di perguruan tinggi.

Aku sendiri sudah beberapa tahun pensiun, dan ingin segera pulang, salat, dan tidur. Kuperlukan menyalakan TV sebentar untuk melihat berita kematian Gus Dur, Presiden RI ke IV yang rasa humornya tinggi. Aku pernah baca di dalam bacaan psikologiku, bahwa seseorang yang sense of humor tinggi itu orang dengan IQ tinggi. Aku percaya itu, sebab menurut pengalamanku, seseorang yang bodoh cepat tersinggung menghadapi humor yang tidak dipahaminya.

Kadang terdengar aku tertawa terbahak sendiri ketika seseorang melontarkan humor, sementara orang lain diam saja. Ini tidak berarti aku punya IQ tinggi. Menurut kakak klasku di Fakultas Psikologi UI, Murtono Aladin, IQ kami (aku dan dua teman lain yang mungkin Anda kenal) lebih dari 143.

Aku tak begitu percaya pada IQ, atau hasil test TOEFL yang di atas 600, sebab aku selalu merasa bodoh. Aku merasakan, keberhasilan sebuah studi tidak semata-mata tergantung dari hasil tes TOEFL atau IQ yang tinggi, namun sangat tergantung pada kematangan emosional dan sosial. Hal ini kurasakan saat aku menempuh studi program Master di Inggris. Masalahku justru aku merasa asing di negeri asing itu, dan ingin segera pulang ke Singaraja. Kupikir saat itu, aku lebih mementingkan diriku sendiri dibanding dengan memikirkan anak-anakku. Untuk apa aku mencapai gelar lebih tinggi sementara anak-anakku telantar di Singaraja?

Kamis muram walau diTV aku lihat cuaca cerah saat Taufiq Kiemas ketua MPR melepas jenazah Gus Gur untuk diterbangkan ke Surabaya. Aku ingat sosok Gus Dur yang tenang itu. Kudengar, dulu di Jakarta sambil menunggu istrinya pulang bekerja di majalah Zaman di Senen, dia sering meminjam mesin tulis, mengetik di sana kolom-kolom yang cemerlang yang membuatnya menjadi kolomnis terkemuka. Waktu itu aku tak tahu bahwa kelak dia akan muncul sebagai KH Abdurrahman Wahid, sosok agama yang sangat terbuka. Waktu aku menemaninya makan pagi di Singaraja tahun 1997, kukorek dari mulutnya mengenai prediksi negeri ini di bawah Pak Lurah, dan dia nampaknya punya banyak informasi, terutama tentang apa yang akan terjadi. Katanya, nanti akan ada pergantian pemerintahan yang sudah disiapkan dari sekarang. Pertama, dia menyebut sebuah nama terkemuka yang akan menjadi Panglima TNI, dan kemudian dengan mulus akan menggantikannya. Ternyata kelak prediksinya meleset sebab bukan nama itu yan muncul, tetapi nama jenderal lain, dan akhirnya justru BJ Habibie yang menggantikannya.

Ketika aku menyebut nama koran Republika dan nama Sinansari ecip yang bukan Muhamadiyah, ternyata dia tahu bahwa Sinansari berasal dari NU. Dia berasal dari Singosari, teman sebangkuku di SMPN III Malang, dan ketika pindah ke Jakarta, dia aktif menulis di koran Duta Masyarakat milik NU. Saat Duta Masyarakat digoyang, dia menjadi redaktur Duta Revolusi yang merupakan penjelmaan Duta Masyarakat.

Aku ingat cerpenku dimuat di koran itu walau aku sudah balik ke Malang. Di Jakarta aku ingat Sinansari menumpang di rumah tokoh penting asal Singosari yang tinggal di Kawasan Menteng. Kalau tidak salah seorang menteri atau anggauta dewan. Aku tak mengira dia menjadi Presiden RI ke IV. Di dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh wartawan koran besar di Jakarta, aku bergurau: "Andaikata aku bukan penulis dusun, pasti aku sudah diangkat jadi menteri. Ini lantaran beberapa pembantu Gus Dur justru para kolomnis atau penulis.Demikian pula saat aku menulis kolom bahasa Bulog Gate dan Brunei Gate aku juga menyinggung soal kepiawaian Gus Dur berkelakar, dan aku yakin pasti dia tak pernah membacanya, ataupun kalau pembacanya tertarik tulisanku, mungkin tulisanku dibacakannya dan Gus Dur barangkali tertawa terbahak-bahak."

Waktu aku bekerja sebagai LO untuk menteri-menteri pendidikan Asean yang mengadakan pertemuan di Nusa Dua, Gus Dur datang memberikan sambutan di dalam pertemuan itu. Sebelumnya aku sudah memasuki ruangan itu, mengantar Menteri Pendidikan Thailand yang kudampingi, namun aku tidak tinggal lama disitu. Setelah menunjukkan tempat duduknya dan menyerahkan tasnya pada asisten beliau yang duduk di baris kedua, aku keluar dan kembali ke kantor panitia. Dari sana kudengar suara sirene mengaum, menandakan kedatangan Presiden RI.

Teman-teman berlari memenuhi pintu belakang gedung bertemuan itu dan melihat Gus Dur dari sana, Aula itu seperti sebuah gedung teater, panggungnya terletak di lantai bawah, dan pintu belakangnya justru terbuka ke lantai dua, tempat kantor panitia. "Gak mau lihat Gus Dur, Pak?"

Aku hanya tersenyum dan berkata: "Sudah kenal, kok." Sopir Blue Bird yang membawa menteri kemana-mana mengatakan bahwa mobil khusus untuk Gus Dur diterbangkan langsung dari Jakarta dengan helicopter yang mendarat di lapangan tempat tinggal Pangdam Udayana. Katanya, itulah mobil standar untuk presiden.

Sebuah Limousine yang kulihat diparkir di depan hotel. Eh, standar presiden! Padahal saat aku turun dari bandara di Seatle, aku dijemput sebuah limo. Pantaskan aku jadi presiden?

Malam ini cuaca sangat tidak bersahabat.

Gerimis terus menerus menetes. Padahal biasanya cuaca cerah, dan Bupati selalu menyalakan kembang api untuk rakyatnya; Saat ultah kota Singaraja, saat pergantian tahun, saat pembukaan Pameran Pembangunan di bulan Agustus. Aku terkesan akan kotaku yang merupakan kota kembang api dan kota patung.

Dimana-mana di sudut kota didirikan patung dari Patung Patih Jelantik, pahlawan Puputan Jagaraga, sampai patung Sapi Gerumbungan, seni karapan sapi khas Buleleng.

Akankah malam ini kembang api dinyalakan sementara Presiden sudah menghimbau untuk meniadakan Perayaan Tahun Baru yang berlebihan untuk menghormati kepergian Gus Dur?

Selepas Isya saat aku berada di depan komputerku, kudengar ketukan di pintu.

Apakah ada tamu? Mahasiswa yang mengantar foto pementasan semalam? Ketika kubuka pintu depan, aku terperanjat dan hanya mendengar bisikan:

"Bas!" "Selamat jalan, Gus."

Bisikku balik. Lampu di halaman depan terang benderang, demikian pula lampu jalanan sudah dinyalakan istriku semenjak maghrib. Hanya sekilas kulihat sosoknya. Mungkin dia berkeliling berpamitan pada semua kenalannya, padahal kenalannya berada di seluruh dunia.

Mungkinkah?

Wallahualam bisawab. Saat itu tiba-tiba langit cerah. Ternyata kembang api sudah meledak di langit kota. Malam Tahun Baru sudah tiba, tiga presiden RI sudah tiada, semua menderita penyakit serupa: Kecapekan memikirkan bangsa ini. Tamu malam ini sangat berarti bagiku. ***
* Singaraja 31 Desember 2009.
READ MORE - Tamu di Malam Tahun Baru

Pengakuan

Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Koran Tempo (04/18/2010)

Di Semarang, pada tanggal 31 Januari 1728, setelah mundur satu hari dari hari yang direncanakan (karena, menurut perhitungan, itu adalah hari yang buruk), dengan ditemani istri keduanya Ragasmara, Pangeran Arya Mangkunegara bersaksi di hadapan Willem Ter Smitten, Adipati Semarang, dan seorang penerjemah.


TUAN Ter Smitten yang terhormat, terima kasih atas kesempatan ini, di mana saya bisa menceritakan kejadian yang saya alami. Saya tahu cerita ini tidak akan mengubah nasib saya, tidak akan memperingan hukuman apalagi bisa membebaskan diri saya. Dengan kata lain, cerita ini tidak berguna sama sekali bagi saya. Tapi bagi Tuan, setidaknya Tuan punya dua cerita tentang kejadian buruk yang menimpa saya.

Ini kali kedua saya menceritakannya. Mungkin yang terakhir sebelum saya dibawa ke Batavia untuk selanjutnya diasingkan di Pulo Kap. Di Kartasura saya telah beberkan dengan panjang lebar apa yang sesungguhnya saya alami kepada Tumenggung Nitinagara dan Tuan Residen. Interogasi yang sia-sia, Tuan. Sebagaimana Tuan tahu, Nitinagara adalah antek Patih Danureja, orang yang paling menginginkan saya tersingkir dari Kartasura. Ia sama sekali tak mempercayai cerita saya sekuat dan selengkap apa pun saya menceritakannya. Seluruh saksi yang meringankan saya telah disingkirkan. Wirasmara mati dicekik di kediaman Danureja. Mbok Wiraga diberhentikan dari pekerjaannya dan disingkirkan jauh-jauh dari kraton. Sedangkan Nitipraya diutus pergi ke Banyumas dan tak pernah kembali lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat, Tuan. Tiba-tiba saya sudah berada di dalam tandu dan dibawa ke mari.

Tuan Ter Smitten yang terhormat, cerita ini tak akan mengubah pendirian Tuan maupun Kompeni. Saya tahu kejadian ini menguntungkan seluruh kepentingan Tuan di Mataram. Tuan sama sekali tidak terlibat dalam usaha menyingkirkan saya. Tapi dengan tersingkirnya saya dari bumi Mataram, mata Tuan hanya akan tertuju pada Danureja. Saya mengerti politik, Tuan. Saya tidak bodoh. Tidak semua orang Jawa bodoh sebagaimana Tuan kira. Saya hanya tak mau lagi bermain di dalamnya. Saya hanya ingin hidup tenang bersama keluarga. Saya juga tak ada niatan sekecil apa pun untuk merebut tahta. Siapa pun tahu, sepeninggal ayah saya, sayalah yang paling mungkin menggantikannya. Saya putra tertua dan seluruh adik saya belum cukup umur untuk menjadi Sunan.

Tapi saya menerima seluruh keputusan ayahanda. Saya tak menyesal kenapa nama saya sama sekali tidak disebutkan dalam wasiat tersebut. Tahta diturunkan kepada Pangeran Adipati Anom. Jika sesuatu terjadi padanya maka tahta akan jatuh pada Buminata. Jika sesuatu kembali terjadi, tahta akan jatuh ke tangan Loringpasar. Di tengah sakitnya, nama saya telah terlupakan. Saya tahu saya cuma anak babu. Dan di mata ayah saya tetap seorang pemberontak yang gagal. Kejadian itu juga sangat menguntungkan Tuan, bukan? Seorang bocah 16 tahun menjadi sunan duduk di atas singgasana emas bermutu rendah. Tuan sendiri yang menakar nilai emas di singgasana kami. Tuan pula yang mengatakan bahwa yang sekarang duduk di atasnya bernilai lebih rendah lagi. Suksesi berjalan lancar sebagaimana yang Tuan harapkan. Usaha dagang Tuan berjalan normal. Tapi di mata Tuan saya adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan merusak seluruh usaha Tuan di tanah kami.

Tuan Willem Ter Smitten yang terhormat, sebuah bom hanya bisa meledak satu kali. Dan saya telah berjanji di hadapan Residen Kartasura di hari Minggu 2 Juni 1726 sehabis penobatan Sunan Pakubuwana bahwa saya akan tunduk pada seluruh keputusan. Maaf jika saya berpanjang-panjang. Saya hanya ingin Tuan tahu di mana saya berdiri sesungguhnya. Dan saya harus berterima kasih Tuan telah membawa saya ke Semarang dengan terhormat. Dengan sebuah tandu tertutup bersama kerabat saya. Terima kasih karena Tuan telah menolak permintaan kraton yang menginginkan saya dibawa ke Semarang dalam kerangkeng agar menjadi tontonan sepanjang jalan. Nilai saya tak serendah itu, Tuan. Nanti Tuan bisa menilainya sendiri di akhir cerita saya.

TUAN Ter Smitten yang terhormat, Pedagang Utama dan Gezaghebber Pesisir Timur Laut Jawa, saya hanya seorang duda yang sedang jatuh cinta. Tak kurang tak lebih. Dan cerita ini hanya sebuah drama cinta biasa yang telah dipelintir sedemikian jauh menjadi kisah politik yang begitu menyita perhatian hingga Batavia.

Pada tanggal 23 September 1727 isteri saya, Raden Ayu Wulan, meninggal karena cacar. Lalu sebulan kemudian Tuan berkunjung ke Kartasura. Saya yakin Tuan masih mengingatnya. Itu kunjungan pertama Tuan. Kita bertemu waktu itu. Dan Tuan tampak lega karena saya dan Danureja rukun-rukun saja, tidak seperti yang Tuan khawatirkan.

Kemudian tari Bedhaya pun digelar di pagelaran menyambut Maulud Nabi. Menyambut kedatangan rombongan Tuan. Sudah puluhan kali saya nonton Bedhaya, Tuan. Tapi entah kenapa tari Bedhaya malam itu begitu mengusik hati saya. Membuat saya nelangsa. Dan seluruh masa lalu saya datang kembali--menari di hadapan saya tanpa bisa saya kendalikan lagi. Ayu Wulan kembali duduk di pangkuan saya. Menghadirkan kembali pesona kota Blitar. Hati saya berdenyar, Tuan. Malam itu saya kembali hidup, Tuan. Sebulanan saya bagai mayat berjalan. Mati sajroning urip. Kehilangan sangkan paraning dumadi. Tapi malam itu tiba-tiba saya mendapati bahwa saya bisa hidup dalam kematian. Salah satu penari itu. Ia mirip benar dengan Ayu Wulan. Saya tak bisa tidur. Sepanjang malam penari itu menari-nari di ranjang saya. Seperti Ayu Wulan. Ia menyalakan malam-malam saya. Gusti Allah, saya mengambil air wudlu malam itu. Membasuh kulit saya yang mengelupas kekeringan. Cinta benar-benar datang malam itu. Menyapa saya serupa kawan lama.

Maaf, Tuan, kalau saya terdengar sentimentil. Di suatu masa saya adalah pemberontak yang garang--melawan ayah dan penjajah. Tapi di masa yang lain saya hanya laki-laki yang kesepian. Saya menyesal kenapa Wirasmara harus menari malam itu. Perempuan peranakan itu tak seharusnya berada di sana. Pertama karena ia seorang ratu. Kedua karena ia jadi begitu mengganggu. Jadi hantu mendiang isteri saya. Satu setengah bulan lamanya, sejak malam itu, saya jadi bulan-bulanan kenangan. Hingga akhirnya suatu malam saya kebagian tugas jaga. Saya berjaga bersama Pangeran Loringpasar, Pangeran Martasana dan Raden Purwakasuma. Mereka tak tahu apa yang tengah terjadi pada diri saya.

Tapi mereka tahu sesuatu tengah berlangsung dengan hebat dalam tubuh saya. Purwakusuma menggamit tangan saya, mengajak menepi. Apa Kangmas sakit? Ia bertanya-tanya. Lalu dengan hati-hati saya ceritakan perasaan saya. Ia bisa mengerti. Sebuah informasi yang penting segera disampaikannya. Wirasmara ternyata sudah tidak dikehendaki lagi oleh Sunan. Perempuan hadiah dari Adipati Semarang itu sebenarnya diberikan kepada ayah saya selagi beliau sakit. Ayah sama sekali tak pernah menjamahnya sampai beliau mangkat. Ia masih perawan ketika diwariskan kepada Sunan Pakubuwana. Sunanlah yang kemudian memerawani dan menghamili perempuan itu. Dan sekarang Sunan sudah bosan. Jadi mungkin saya bisa memintanya agar bisa menjadi isteri saya.

Malam itu juga saya memanggil Nitipraya, pembantu kesayangan Sunan. Di hadapan Purwakusuma saya bertanya kepadanya, apakah mungkin saya bisa meminta isteri kepada raja. Jika tidak, tolong lupakan saja pertemuan kita malam ini. Nitipraya menganggukkan kepala. Mungkin saja. Saya katakan kepada Nitipraya bahwa saya akan menerima siapa saja yang akan diberikan Sunan kepada saya. Saya katakan kepada Nitipraya agar membawa masalah ini kepada Mbok Wiraga, kepala pembantu keputren.

Empat hari kemudian, Tuan, ketika saya bertugas jaga kembali, saya memanggil Mbok Wiraga. Saya mengulangi lagi permintaan saya. Mbok Wiraga meyakinkan saya bahwa permintaan semacam itu sangat mungkin. Lalu ia mendesak saya, apakah Pangeran sudah punya pilihan. Saya tak berani menyebut nama. Itu tidak sopan bagi Sunan. Saya hanya bilang bahwa saya menginginkan seorang isteri yang wajah dan tingkah lakunya mengingatkan saya pada mendiang isteri saya. Mbok Wiraga langsung menyebut nama Wirasmara. Ia pilihan yang pas buat saya. Lagi pula Sunan sudah tidak menghendakinya. Saya hampir meledak gembira kalau saja saya tak bisa menahan diri dan menyadari bahwa semua itu belumlah terjadi. Ini baru sejumlah asumsi. Seluruh kepastian ada di tangan Sunan.

Keesokan paginya Nitipraya menemui saya. Ia bilang bahwa Mbok Wiraga sudah mengajukan permintaan saya kepada Sunan. Menurut Mbok Wiraga Sunan tak tampak keberatan. Saya boleh meminta siapa saja asal bukan Ratu Mas. Saya susah menggambarkannya, Tuan, tapi Tuan pasti bisa menebak sendiri bagaimana perasaan saya begitu mendengar kabar itu. Saya segera cabut keris pusaka dan saya berikan kepada Nitipraya. Sampaikan kepada Sunan sebagai tanda bahwa saya menerima apa pun keputusannya. Tapi Nitipraya menolaknya. Nanti saja Pangeran, kalau Pangeran sudah mendapatkan isteri baru, barulah keris ini Pangeran persembahkan bagi Sunan. Saya menurut saja. Mungkin lebih baik seperti itu. Saya tak tahu lagi mana yang terbaik yang mesti saya lakukan pagi itu. Selain menunggu.

TAPI saya bukan penunggu yang baik, Tuan Ter Smitten. Saya harus segera mendapat kepastian. Sesedikit apa pun. Siang itu juga saya memanggil Mbok Patrasari pembantu kesayangan Ibu Suri Amangkurat. Kepadanya saya katakan terus terang kehendak saya. Saya minta ia menyampaikannya kepada Ibu Suri. Sorenya Mbok Patrasari datang membawa jawaban dari Ibu Suri. Jawaban datang begitu cepat. Tapi isinya sama sekali di luar harapan saya. Ibu Suri terang-terang menolak. Ia tak setuju saya meminta Wirasmara sebagai isteri. Ia meminta saya memilih salah satu: Sutari, putri dari Raden Tohpati, atau Raden Ayu Kusuma, putri dari Pangeran Dipanagara.

Benar, Tuan Ter Smitten, dari sanalah kesalahan saya. Saya menolak keduanya. Tentunya ini membuat Ibu Suri tersinggung. Dan selanjutnya Tuan sudah mengerti sendiri bagaimana jalan ceritanya. Saya dituduh berselingkuh dengan Wirasmara. Danureja mengakhiri cerita saya dengan begitu memikat. Ia manfaatkan kekecewaan Ibu Suri. Ia manfaatkan kemarahan Sunan Pakubuwana. Bekas tukang rumput itu tahu benar bagaimana caranya menyingkirkan ilalang macam saya.

Tuan Ter Smitten, saya belum pernah sekali pun bertemu dengan Wirasmara. Saya cuma melihatnya sekali, malam itu bersama dengan Tuan, saat ia menari. Lalu bagaimana bisa saya dikatakan telah menidurinya, memalukan raja karena meniduri isterinya. Bukti yang Danureja ungkapkan memang tak bisa saya tampik. Benar bahwa perhiasan-perhiasan itu memang milik saya, perhiasan yang ditemukan di dalam kamar Wirasmara. Benar bahwa di rumah saya juga tersimpan barang-barang pemberian Wirasmara. Tapi, Tuan, barang-barang itu datang dari masa lalu. Mendiang isteri saya adalah sahabat dekatnya. Ini fakta yang terlambat saya angkat. Tentu saja mereka kerap bertukar kain dan perhiasan sebagaimana istri-istri pangeran yang lain.

Puisi cinta di dalam kotak sirih hanya membuktikan bahwa saya memang benar jatuh cinta kepadanya dan bukan saya telah merayunya untuk kemudian menidurinya. Patih Danureja benar-benar ingin menyingkirkan saya. Dengan dibuangnya saya, jalan akan semakin lempang terbuka baginya untuk menguasai Mataram. Benar itu memang puisi saya, Tuan. Saya menyalinnya sendiri dari buku yang saya pinjam dari Pangeran Loringpasar. Apa salahnya menyalin sebuah puisi cinta? Jika saja Wirasmara tidak buru-buru dibunuh ia tentu akan mengatakan hal yang sama dengan yang saya katakan: bahwa kami tak sekalipun pernah bertemu. Seharusnya Tuan menangkap Danureja karena membunuh seorang perempuan yang tak berdosa.

Tuan Willem Ter Smitten, demikian cerita saya. Sekarang saya sudah siap untuk Tuan bawa ke Batavia.

Willem Ter Smitten berusaha keras menahan air matanya. Satu bahaya telah dipadamkan. Sekarang ia bersiap menghadapi Danureja.

Jogjakarta, 2010
READ MORE - Pengakuan

Orang Bunian

Cerpen Gus tf Sakai
Dimuat di Kompas (04/25/2010)

”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”

Si lelaki mengalihkan pandang, menatap nanap ke mata putrinya. Mata yang bertahun-tahun berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Ada cerlang pagi, sibak matahari mulai naik, di dalamnya. Tapi cuma sebentar, sangat sebentar, sebelum gumpal kabut turun, merendah dari bukit-bukit, menebal menghalangi pendar.

Lalu dunia bagai dibelah. Lapis atas dan lapis bawah. Lapis atas, dunia di balik kabut itu, semata rahasia, kesenyapan, tempat yang entah kenapa dalam kepalanya hanya terhampar malam dan bintang-bintang. Sementara lapis bawah, ia lihat dirinya dan teman-temannya, para pemburu, bersama anjing-anjing yang menghambur dan menyalak, berlarian mengejar babi hutan yang mendudu, melanda semak atau belukar atau apa pun, terhosoh-hosoh ketakutan.

Tapi, sebetulnya, dunia lapis bawah itu juga tak semata terang. Ada banyak ceruk, lembah, dan lakuak (bahasa mereka untuk menyebut lembah-lembah kecil di antara undukan bukit) yang bila ditempuh akan menangkup lebat dedaun dan akar, menghalangi rembes rambat cahaya, menjadikan mata mereka seolah buta, tak bisa mengenali atau melihat apa-apa, menyerahkan arah hanya pada naluri atau krosak langkah dan gerung salak anjing-anjing mereka. Dan, sebetulnya pula, di lapis bawah ini, bukannya tak ada apa yang ia sebut rahasia.

Di tengah gelap ceruk, kelam lembah atau lindap lakuak, bisa saja tiba-tiba terbentang dunia terang. Dunia yang semua daun adalah bunga dan semua bunga adalah cahaya. Pohon-pohon meliuk, reranting berjalin, membentuk kubah dan pilar-pilar. Di situlah singgasana, alam jihin dan lelembut, dunia orang bunian. Tapi saat bertemu orang bunian, mereka tak boleh menyebut apa-apa. Karena jika bicara, siapa pun akan terbawa, tertawan, hidup selamanya di dunia orang bunian.

***

Dunia di balik kabut, dunia mereka para pemburu, dan dunia orang bunian baginya adalah dunia sendiri-sendiri. Ketiganya punya dan berjalan dalam ruang waktu masing-masing. Bahkan bagi ninik mamak, tetua kaumnya, setiap alam yang berbeda dikatakan samo manjago (saling jaga). Dan sebagai keturunan para peladang yang tak asing dengan hutan, dunia jihin dan lelembut, sebetulnya, tentu pula baginya biasa. Berbeda dari teman-temannya, para pemburu lain, yang kebanyakan datang dari kota-kota kecil di sekitar.

Teman-temannya itu, bisa juga dibilang, berburu lebih karena kesukaan. Di kepala mereka tak ada istilah hama babi kecuali gelak tawa, keriangan. Anjing-anjing mereka, sangat berbeda dari anjingnya, adalah anjing-anjing yang bersih, gagah, dan terpelihara. Anjing-anjing yang, seperti halnya juga tuan mereka, di matanya kadang terasa ganjil. Seolah tampak: mereka bukan bagian dari alam ini. Bukan bagian dari hutan ini. Dan, bila begitu, tidakkah sebenarnya teman-temannya bukan bagian dari lapis bawah, tempat di mana dirinya juga berada, salah satu dari tiga dunia?

Tetapi sebetulnya, bukan hanya antara dirinya dan teman-teman pemburu dari kota-kota kecil sekitar itu saja yang tampak berbeda. Antara dirinya dan teman-teman lain yang juga peladang dan sama berburu babi karena alasan hama pun kadang tak seperti dipikirkannya. Tapi memang begitulah mereka. Antara satu suku dengan suku lain selalu tak sama. Bahkan satu suku tetapi lain tempat bisa berbeda. Mereka menyebut, lain lubuk lain ikannya. Entah itu keyakinan entah pantangan, entah itu anjuran entah larangan. Tentang orang bunian itu misalnya.

Semua percaya, jika bertemu orang bunian mereka tak boleh bicara. Tapi akan ada pemburu, teman-temannya dari suku lain, yang menyertai dengan pantangan. Pantangan yang juga akan tak sama. Ada yang berpantang membawa apa pun peralatan berbuhul rotan, ada yang tak boleh rebahan di antara dua munggu. Ada yang kembali pulang jika melihat binatang dengan tingkah tertentu, ada yang dilarang menggauli istri pada Jumat malam sebelum berburu. Dan ia merasa senang (atau lega?) tak menerima pantangan apa pun dari tetua kaumnya kecuali menjaga apa yang mereka sebut sumangaik.

Bila ia membagi dunia jadi tiga, tiga bagian pulalah tetua kaumnya memerikan tubuh. Ada jasad, sesuatu yang jelas terlihat, ada ruh yang menghidupkan jasad. Yang ketiga, seperti ruh yang tak terlihat tapi serupa jasad yang hubungannya nyata dengan dunia, itulah sumangaik. Seseorang jadi gila atau pindah ke lain dunia, semisal dunia orang bunian, sumangaik merekalah yang sebenarnya hilang atau terbawa. Seseorang disantet, tasapo (bahasa mereka untuk menyebut orang yang diganggu makhluk halus), dipelet atau diguna-guna, sesungguhnya, sumangaik merekalah yang diambil ditarik pergi dari tubuh mereka. Dengan keyakinan demikianlah, selalu, ia tak pernah ragu memasuki hutan. Seperti halnya juga di hari itu.

Sebenarnya, hari itu pagi yang cerah. Semua tanda alam yang sangat ia kenali, sejak malam sampai dini hari, menunjukkan besoknya siang bakal cemerlang. Malam dingin, udara seperti parutan es, dan bumi bagai merembeskan air dari pori-pori tanah. Ia tahu, itulah saat di mana babi-babi melekap lama, menyuruk dalam ke kehangatan sarang, dan buru-buru keluar begitu subuh menjelang. Waktu yang pendek, jangka yang seketika, saat kabut terangkat dan embun dilibas matahari tiba-tiba, babi-babi masih akan berada di perlintasan. Itulah saat yang tepat. Mereka menyebutnya bakutiko: babi-babi masih berkeliaran saat mereka pas tiba di hutan.

Jarang sekali mereka bisa memilih buruan. Tapi hari itu sungguh istimewa. Ada empat ekor babi yang mereka lihat di perlintasan, dan mereka memilih yang gemuk, betina, besar, seekor induk muda, untuk mereka giring ke lembah. Saat si babi telah mengarah dan masuk ke jalan setapak yang mereka inginkan, anjing-anjing pun mereka lepaskan. Dan begitulah anjing-anjing segera menghambur, memburu. Dan, seperti para anjing itu, mereka pun ikut berlarian menerobos jalan pintas mengikuti perburuan anjing-anjing. Itulah saat paling riang, paling tegang, sekaligus paling heboh dalam berburu. Karena masing-masing mereka, selain bersorak, juga akan berteriak, mengabarkan segala apa yang mereka lihat kepada para pemburu lain yang mengepung dan memintas dari arah lain.

”Hoooiii, dia mengarah ke lakuuuaakk!”

”Pinggulnya dikoyak Si Puncooo!”

”Pintas dari Bukit Buraaaii!”

Punco adalah nama salah seekor anjing mereka. Dan rupanya anjing itu berhasil melukai si babi dan si babi lari ke lakuak. Bukit Burai adalah undukan beberapa bukit kecil di hutan itu. Bila mereka tak ingin kehilangan jejak karena banyaknya lakuak, memang, mereka harus memintas dari bukit itu. Sebelum si babi mencapainya, mereka harus menghadang lebih dulu.

Dan, saat itulah tiba-tiba lindap. Tiba-tiba gelap. Entah dari mana, gumpal kabut bagai muncul begitu saja. Apakah bukan kabut? Pada saat cuaca begitu cerah! Semua bunyi, semua suara, juga jadi senyap. Tak ada teriak, riuh sorak teman-temannya. Tak terdengar salak, hondoh-posoh anjing-anjing mereka. Ia, tiba-tiba, juga merasa seolah sendiri. Padahal sebelumnya ia yakin ada beberapa teman mengikutinya. Apakah karena gelap?

Ia memanggil, tapi tak ada jawaban dari teman-temannya. Ia berteriak, tapi yang membalas hanya gema sunyi suara sendiri. Apakah teman-temannya telah memilih jalan pintas lain? Mengandalkan naluri, ia teruskan langkah mengira arah ke Bukit Burai. Entah seratus meter, entah dua ratus meter, saat tiba-tiba kembali terang. Secepat hilang, secepat itu pula kembali benderang. Butuh beberapa detik baginya mengenali sekitar, sebelum kemudian merasa asing. Dunia di sekelilingnya, betapa indah. Pepohon besar melengkung seperti kubah. Akar-akar membelit, menjalin, seperti tirai berbaku-pilin. Di antara itu semua, dedaun merumbul dikepung bunga. Beberapa kuntum mencuat, mendongak, bagai berkilau karena cahaya.

Entah berapa lama ia terpana. Saat sadar, dadanya berdesir: dunia orang bunian?

Kesadarannya sebetulnya belumlah lengkap, belum sempurna, saat lamat- lamat ia dengar suara: orang merintih?

Dan, tak butuh lama untuk mencari. Tak jauh darinya, di belakang salah satu pohon yang melengkung itu, sesosok tubuh tersender ke sebongkah batu. Dan betapa ia sangat terkejut. Seorang perempuan! Perempuan muda. Merintih. Mengerang. Seperti terluka. Sebelah tangannya membekap pinggul, sebelah yang lain memegang akar menahan tubuh agar tak jatuh. Memang, di belakang batu itu menganga jurang.

Belum sempat ia melakukan apa- apa, sesosok lain bergerak, merangkak keluar dari semak-semak. Dan betapa ia lebih terkejut. Bayi! Seorang bayi!

Ia akan melangkah, bergegas hendak menolong ketika matanya terarah ke bekap tangan si perempuan. Luka itu! Sobek itu! Pinggul babi yang dikoyak Punco! Kembali ia sadar. Awas pada diri. Sumangaik.

Entah berapa lama ia tak bersuara. Hanya memandang si perempuan yang merintih minta tolong dan sosok bayi yang merangkak ke arahnya. Tiba-tiba, sayup, tapi makin lama semakin jelas, ia dengar suara itu: sorai-sorak, hondoh-posoh, gonggong salak. Dari ketinggian tempat ia berada, ia bisa melihat mereka: teman-temannya, bersama anjing-anjing yang menghambur, memburu, mengejar seekor babi yang tampak telah terluka.

Segera ia sadar. Ada yang salah.

Saat ia bergegas, si perempuan telah melorot. Tangannya tak lagi berpegang pada akar dan tubuh itu terguling, meluncur ke dalam jurang.

Lama ia terpaku. Dadanya sesak napasnya memburu. Di bawah, sedepa di depan kakinya, si bayi mendongak, menatapnya dengan mata itu. Mata itu. Mata yang bertahun-tahun—sampai remaja—berusaha ia kenali, tapi selalu ada kabut yang menutupi.

***

”Masih adakah orang bunian itu, Ayah?”

Si lelaki bagai tersadar, mengerjap-ngerjapkan mata, menarik tatapan dari mata putrinya. Mata sejernih itu. Mata sebening itu. Menahan desah, dialihkannya pandang. Lihatlah kini semua berubah. Bukit Burai bagai tak lagi ada, berganti dengan undukan-undukan tanah pribadi; pepohon bertinggi sedang yang teratur dan tertata dan vila di sana-sini.

Tiga dunia; dan tiga bagian tubuh, di manakah kini berada? Kalau saja ia seorang asing, seorang yang darahnya bukan tertumpah di tanah ini, ia yakin semua akan berlalu dalam lupa. Tak akan ada tempat, bahkan walau tempat itu sesal terbesar dalam hidupnya. Ia ceritakan semua pada putrinya. Perburuan, teman-temannya, anjing-anjing, babi-babi, dan terutama orang bunian. Tapi, tak pernah sanggup ia bercerita tentang seorang ibu muda yang terluka, merintih, mengerang, yang ia biarkan mati meninggalkan anaknya.

”Ayah?”

Sekilas, kembali ia menatap ke mata putrinya. Tetapi kabut itu, tiga dunia itu, bagai deras menolak, mendorong ia balik ke alam nyata: segala yang terbentang di hadapannya. Undukan-undukan itu, pepohonan yang teratur, vila-vila, Bukit Burai yang berubah. Terbayang pula ladang mereka, ladang-ladang penduduk sekitar dan kaumnya, yang telah jauh pindah ke lembah. Orang bunian itu, masih adakah? Sangat ingin ia menjawab: Tidak. Tetapi, lirih, mulutnya berkata, ”Masih.” ***

Payakumbuh, 15 Maret 2010
READ MORE - Orang Bunian

Sipleg

Cerpen Oka Rusmini
Dimuat di Jawa Pos (04/25/2010)

Luh Sipleg nama perempuan tua itu. Perempuan kurus dengan beragam kerut-kerut tajam yang membuat takut orang yang menatapnya. Menurutku, Sipleg perempuan aneh, yang selalu memandang orang dengan mata penuh curiga. Penuh selidik, penuh tanda tanya. Kadang, dia juga seperti perempuan kebanyakan. Serbaingin tahu. Sering juga kulihat dia diam seperti batu kali. Aku menyukai gayanya yang naif itu. Bagiku, Sipleg perempuan dengan buku terbuka. Tak sembarang orang bisa membacanya. Akulah salah satu perempuan yang dibiarkan memasuki masa lalunya dengan santai. Tanpa dia pernah tahu aku telah mendapatkan cerita tentang hidupnya tanpa dipaksa. Aku juga tidak pernah merengek.

Aku menyukai perempuan-perempuan kuat seperti Sipleg. Dia perempuan kuno, yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahasa Indonesianya pun putus-putus. Kadang aku tak paham apa yang dia katakan dalam bahasa Indonesia. Dia terlihat cerdas dan luar biasa bila bercerita tentang pengalaman hidupnya menggunakan bahasa Bali, lebih ekspresif, dan aku dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti aktor tunggal dalam sebuah pementasan di panggung. Berapa umur perempuan kurus ini? Tubuhnya yang tua masih terlihat seksi dan menggairahkan? Hidupkah yang memberinya tambahan hidup? Penderitaankah yang membuatnya lebih berkuasa dari hidupnya sendiri?

Perempuan itu tinggal di sebuah desa terpencil. Umur 16 tahun kedua orang tuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang lelaki desanya, Wayan Payuk. Orang tuanya yang tidak jelas penghasilannya berharap perkawinan yang dilakukan Sipleg dengan pemilik tanah mampu mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di punggung Sipleglah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa. Hasilnya, rangkaian kemarahan terus beranak-pinak di otak dan aliran darahnya. Dia juga tidak percaya pada kata-kata. Makanya dia menjelma jadi perempuan bisu. Yang berbicara hanya matanya yang cekung dan tidak ramah. Cenderung menganggap semua hal yang dibicarakan orang-orang tidak ada artinya, tidak berguna bagi hidupnya. Sipleg tidak membutuhkan saran, yang dibutuhkannya adalah bagaimana mencari jalan keluar agar hidupnya lebih baik.

Diam baginya adalah pilihan yang tepat untuk berhadapan dengan mulut-mulut manusia yang tidak pernah berhenti memberi saran ini-itu. Tidak pernah bisa menguliti beratus penderitaan yang ditoreh di lilitan napasnya, usianya, dan jantungnya. Menjelmalah Sipleg perempuan yang jarang bicara, matanya adalah suaranya. Orang desa sering menganggap dia perempuan aneh. Mereka juga beranggapan perempuan tipis dan tinggi itu bisu, dan mengalami sedikit gangguan mental!

''Aku tidak percaya pada semua manusia yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Payuk, lelaki baik. Tetapi aku tidak menyukai lelaki yang kerjanya hanya pasrah. Menyerahkan hidup pada alam, Tuhan, dan takdir. Tolol namanya manusia seperti itu! Tidak bisakah kita menentang alam, Tuhan, dan takdir? Aku ingin melawan mereka dan jadi pemenang! Melawan apa yang selama ini tabu bagi kehidupan manusia. Aku ingin memiliki jalan sendiri, jalan hidup yang kubangun dan kupercayai sendiri.''

''Hidup itu sudah ada bagian-bagiannya, Sipleg. Yang penting kita terus bekerja. Dengan bekerja hidup kita jadi lebih baik.''

''Aku tidak percaya bahwa hidup sudah dijatah. Kita memang orang miskin, orang-orang yang dianggap terkutuk! Menyusahkan. Tapi kau lihat, bagaimana berbinarnya orang-orang kaya melihat kita? Karena kita bisa diupah semaunya, kita mau bekerja apa saja untuk bisa makan. Aku tidak mau kau suruh mempercayai pikiranmu! Mulai besok, aku ikut ke sawah. Aku ikut mencangkul, menanam padi, dan memberi makan ikan!''

''Kau sedang hamil!''

''Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. Duduk diam. Menunggumu dan mendengarkan meme-mu mengeluh di kupingku. Mengatakan aku perempuan miskin yang tidak menguntungkan! Perempuan penuh kutukan yang bisa menulari seluruh hidup keluarga suaminya!''

Menikah dengan Payuk tidak membuat Sipleg memiliki hidup yang lain. Kemarahannya pada takdir miskin yang dicangkokkan sang Hidup di tubuhnya membuat perempuan bertubuh tipis itu selalu memeram kemarahan yang dalam. Matanya sering dipenuhi debur ombak yang ganas. Kadang, kalau dia sedang diam dan tepekur di pinggir dapur sehabis memasak, orang bisa mendengarkan gemerutuk giginya yang diadu. Matanya bisa setajam taji. Siap dilempar untuk melukai orang-orang yang berada di dekatnya. Perempuan itu merasa tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Jam tiga pagi dia sudah bangun. Mengangkat air dari sungai. Memasak untuk perempuan tua nyinyir yang menganggap dirinya adalah kutukan! Menularkan kesialan dan kemiskinan bagi anak satu-satunya, Wayan Payuk. Lalu siapa yang menyuruh lelaki bertubuh hitam, berurat keras, itu meminang dirinya?

''Kata Payuk kau tidak bisu. Kenapa kau tak pernah bicara?'' Suatu hari perempuan tua nyinyir itu mendekat. Bagi Sipleg perempuan tua yang mulai berbau tanah kuburan itu berusaha mencuri perhatiannya. Mungkin dia mulai sadar, tak ada manusia lain yang bisa diajak berbicara selain dia dan Payuk. Mungkin Payuk pernah berkata padanya, istrinya tidak bisu. Sejak kawin, Sipleg memang tidak pernah bicara. Usia perkawinan mereka sudah delapan tahun. Bahkan waktu mertua lelakinya mati, tak seorang pelayat pun diajak bicara.

''Kau marah padaku?'' tanya perempuan tua itu.

Sipleg semakin jijik. Mendengar suara perempuan itu sering membuat kemarahan pada hidupnya memuncak. Teringat perempuan tua itulah yang membeli dirinya untuk Payuk. Perempuan tua itu sengaja meminjamkan uang pada ibunya. Karena perempuan tua itu tahu, ibunya tidak mungkin memiliki uang untuk membayar utang. Adik-adik Sipleg banyak. Lelaki satu-satunya di rumah hanya bapak, yang hanya bisa menaburkan benih di perut ibu. Enam adik, semua perempuan. Ibunya mirip pabrik bayi dibanding manusia. Kerjanya hanya mengandung, sampai tidak sempat merawat diri. Tubuhnya kurus. Bayi yang dilahirkan selalu prematur. Semua itu karena perempuan tolol itu sangat percaya pada lelaki yang mengawininya.

Kata bapak, perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi lelaki, perempuan sial! Hidup tanpa keturunan lelaki, kiamat! Hidup itu sudah mati tanpa lelaki! Dan, si tolol itu percaya. Sipleg tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati! Hanya untuk mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-menerus. Daging yang memakan isi tubuhnya.

Sering Sipleg berpikir, mungkinkah daging-daging yang tumbuh di perut ibunya memakan isi otaknya? Perempuan tolol itu lebih mirip benda mati dibanding benda hidup. Sipleg tak pernah mendengar suara perempuan itu memanggilnya penuh kasih. Padahal Sipleglah anak tertua. Anak yang selalu menyaksikan perempuan itu berteriak ketika mengeluarkan isi perutnya. Perempuan yang dipanggil meme itu seperti makhluk asing yang tidak dikenalnya. Tanpa suara, tanpa mimpi, tanpa keinginan, tanpa kasih sayang, tanpa tujuan. Hidup apa yang sedang dijalani perempuan itu?

Hari-harinya diisi dengan mempersiapkan segala keperluan lelakinya. Lelaki yang selalu pulang larut malam dan mendengkur sampai siang hari, kadang sampai sore. Sipleg memanggil lelaki itu bape, bapak. Dia juga makhluk asing, yang tidak pernah memangkunya, memanggilnya dengan kasih. Kalau lelaki itu bicara selalu berteriak, kasar, dan menjijikkan. Dia tidak pernah tahu betapa perempuan-perempuan di rumah ini sudah seperti gundik-gundik yang tidak boleh memiliki keinginan. Ibunya pernah disiram kopi panas, karena dia lupa memberi gula.

Ada keanehan yang sering membuat Sipleg bertanya pada dirinya sendiri: ibunya tidak pernah menangis? Padahal perempuan itu sering dipukul, dimaki, dan diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh bape. Dia hanya diam.

Suatu pagi, ketika Sipleg akan berangkat ke ladang, dia mendapati ibunya sedang menggunting rambut di atas ubun-ubunnya. Wajah perempuan itu dilumuri darah yang terus mengalir dari batok kepalanya.

''Meme, Meme kenapa?'' Sipleg menggigil. Perempuan itu terdiam. Lalu bergegas berlari ke ladang. Mencabuti serumpun tanaman kunyit. Menggerus kunyit itu dan menempelkannya di ubun-ubun. Tak ada suara. Tak ada tangis, tak ada rintihan. Dua menit kemudian, darah tidak mengalir lagi dari batok kepalanya. Sepulang dari ladang memetik sedikit cabe dan sayuran.

Sipleg membersihkan kamar bape. Sebuah linggis tergeletak di depan pintu. Penuh darah. Bahkan seprei dan baju lelaki itu penuh percikan darah. Lelaki sial itu masih mendengkur. Benar-benar binatang, lelaki yang satu ini. Pelan-pelan Sipleg menyentuh tubuh linggis itu. Terasa dingin dan membuatnya menggigil. Tubuh kecilnya tiba-tiba saja berkeringat. Dielusnya tubuh benda tumpul itu. Begitu kasar dan terasa menggairahkan.

Hyang jagat berapa usia perempuan kecil itu sekarang? Tiga belas? Empat belas? Atau dua belas tahun? Sipleg merasakan ada hawa yang lain mengalir dalam tubuhnya. Sebuah kenikmatan yang aneh. Terlebih ketika linggis itu didekapnya ke dada. Terasa dingin dan nikmat. Seolah linggis itu memiliki jari-jari kokoh dan liat, menyentuh dua bukit kecil yang mulai mengeras di dadanya. Bukit itu jadi terasa lunak dan Sipleg merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sebuah pelukan yang dia impikan. Benda penuh darah itu membuat perempuan kecil itu menemukan kenikmatan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Luar biasa rasanya.

Sipleg pun meraba keruncingan tubuh linggis itu. Dia menciumnya. Merapatkannya ke bibirnya yang kecil. Tekanan yang kuat pada linggis itu membuat bibir Sipleg tergores. Sipleg membuka mata dan menjilati darah yang menetes dari bibir atasnya. Sipleg mengangkat tubuh linggis itu pelan-pelan. Matanya yang tajam melucuti tubuh lelaki yang tergeletak dengan damai di atas kasur. Hawa panas menaburi tubuhnya. Tiba-tiba saja Sipleg mengangkat tubuh linggis itu, tangannya yang kecil gemetar. Betapa inginnya dia menancapkan tubuh linggis di dalam dekapannya ke dada lelaki besar itu. Lelaki yang telah melumat tubuhnya. Dia bergerak mendekat...

''Sipleg...'' Sebuah suara mematahkan langkahnya.

''Sedang apa kau di sini!'' Perempuan itu berkata dingin.

''Bukankah Meme yang menyuruhku membersihkan kamar bape?''

Perempuan kurus itu menatap mata anak perempuannya tajam. Sipleg menunduk. Ada sesuatu yang tidak bisa ditentang dalam tubuh Ni Nyoman Songi, matanya yang selalu ingin mengupas tubuh perempuan lain. Sipleg tidak habis pikir, kenapa dia yang selalu dimusuhi perempuan ini. Kenapa bukan I Wayan Sager, lelaki yang mendengkur tanpa dosa di depan mereka. Sipleg menurunkan linggis dari dadanya, menancapkan tubuh linggis itu di lantai. Penuh kemarahan sampai lantai semen di kamar itu retak. Lelaki setan itu tetap mendengkur. Sipleg merasa telah menancapkan di lubang otak lelaki itu. Songi tetap menancapkan matanya di tubuh anak perempuannya. Sampai perempuan kecil itu keluar dari kamar dengan tetap mendekap linggis di dadanya. Seperti mendekap boneka-boneka mahal yang dijual di toko-toko mainan. Tiba-tiba saja tubuh perempuan ini ambruk, lalu melangkah keluar dari kamar Sager dengan hiasan darah di selangkang kakinya. Dia menyeret tubuhnya mendekati balai-balai di depan kamar Sager.

''Sipleg...,'' jeritnya terbata-bata. Sipleg terdiam. Dia sudah hapal harus melakukan apa.

***

SEORANG dukun dipanggil dari seberang desa. Perempuan tua dengan bau tubuh aneh. Mulutnya selalu disumbat tembakau. Rambutnya gimbal. Giginya hitam. Kukunya juga hitam. Bau kain yang menyelimuti tubuh perempuan itu anyir dan membuat Sipleg selalu bersin. Bau darah yang mengering. Orang-orang di lingkungan desanya sering berbisik pada Sipleg, ''Bawalah meme-mu ke puskesmas. Seorang bidan akan menolongnya.''

''Apa kau tidak takut melihat mata perempuan tua itu?''

''Dari baunya yang aneh sudah membuat bulu kudukku berdiri.''

''Aku tidak percaya padanya. Dulu, ketika meme-ku melahirkan adikku semua mati ditolong perempuan itu. Kata orang-orang meme-ku melahirkan sebelas anak. Tak ada yang hidup kecuali aku.''

''Perempuan itu sakti. Memakan bayi-bayi untuk menambah kesaktiannya. Umurnya ratusan tahun. Dia tidak mungkin mati. Bayi-bayi yang ditolongnya dipakai untuk menebus usianya.''

''Aku merasa perempuan itu menukar bayi Songi dengan bayi mati. Kau pernah melihat bayi-bayi yang dilahirkan Songi? Tubuh bayi itu biru. Bau busuk menguap dari kulitnya. Seperti bau mayat busuk puluhan hari.''

''Aku juga pernah memandikan mayat bayi Songi. Lehernya seperti habis dicekik.''

''Ada juga yang kepalanya membesar. Tanpa jari-jari tangan. Pernah kulihat dia melahirkan bayi yang sudah ada giginya. Mulutnya menyatu dengan saluran hidung.''

''Bukankah perempuan tua itu hampir buta. Siapa nama perempuan itu?''

''Ni Ketut Grubug.''

''Namanya membuat aku merinding. Terdengar aneh.''

''Sepertinya kedatangannya akan membawa bencana.''

''Nama yang mengancam hidup orang lain.''

''Bukankah artinya bencana?''

''Ya, bencana yang mengerikan.''

''Apakah benar dia membunuh bayi-bayi yang dikeluarkan dari tubuh perempuan-perempuan desa ini?''

Semua perempuan kampung itu terus bicara. Sipleg hanya terdiam. Berpikir, apakah perempuan-perempuan hanya bisa bergosip? Ingin tahu semua urusan orang? Dan, bersorak girang atas bencana yang dialami oleh perempuan lain. Termasuk dirinya. Apakah perempuan-perempuan itu juga punya perhatian serius pada hidupnya? Hidup seorang perempuan kecil. Sipleg menggigit bibir. Aku juga seorang perempuan! Sama dengan mereka!

***

BOCAH kecil itu terus berlari menembus gelap, menebas udara dingin. Kaki kecilnya tanpa sandal, sudah hapal membaca arah. Sudah terbiasa ditumbuhi duri dan beling. Sudah terbiasa terluka. Nikmat rasanya bila darah keluar dari kakinya. Sipleg sering membiarkan rasa nyeri menggerogoti kakinya, seolah ikut melemaskan tulang-tulang, juga pikirannya. Rasa nyeri yang aneh. Bila dia berjalan pincang, seluruh tubuhnya seperti berolahraga. Sipleg sangat menikmati. Tetapi perempuan yang tubuhnya sering ditumbuhi daging selalu mendelik. Lalu dengan kasarnya dia akan menyeret tubuh kecil Sipleg ke dapur. Matanya mendelik. Tangannya mencengkeram tubuh Sipleg dengan keras. Biasanya Sipleg pasrah. Kadang ada aliran aneh bila tubuh perempuan itu menyentuh tubuhnya. Sipleg merasa punya teman. Dia pun tidak bergerak ketika tubuh ibunya mendudukkan tubuh kecilnya di dapur. Dia begitu cekatan memarut kunyit, dan menggosokkannya ke kaki kecilnya. Dengan penuh amarah. Sipleg tidak meringis, sekalipun kaki itu sudah membengkak.

Rasanya senang membuat perempuan itu bisa sedikit berpaling dari urusan daging di perutnya. Sipleg senang kalau tubuhnya terluka. Songi akan terus mengawasi kondisinya dengan sorot mata yang sangat tidak ramah. Tubuhnya akan berkeringat bila mengobati bagian-bagian tubuh Sipleg yang berdarah. Tangannya begitu terampil. Napasnya turun naik. Dan, sebutir keringat akan jatuh dari keningnya mengenai kulit Sipleg. Udara yang panas akan menjelma sejuk. Sipleg pun akan terus menatap mata Songi yang selalu tidak ramah. Rasanya ingin sekali membuat persoalan besar yang bisa membuat perempuan yang pernah mengandung tubuhnya itu menjerit. Marah. Atau menangis, atau berteriak-teriak karena Sipleg nakal dan memuakkan. Atau tangannya akan mencubit tubuh kecilnya yang liat. Atau menepuk pantatnya yang tipis. Atau.... Apa ya? Semua itu tidak pernah dilakukan Songi. Sipleg masih berlari, sambil terus menerawang membayangkan hidupnya, tubuhnya, mimpinya, keinginannya....

Pikirannya segera tergulung, perempuan tua yang berdiri di hadapannya sudah berdiri kaku di pintu rumahnya. Tanpa bicara perempuan itu menyuruh Sipleg pergi. Sipleg pun akan berlari kencang. Anehnya dia selalu kalah. Perempuan tua itu pasti sudah ada di ambin ibunya ketika dia masuk ke halaman. Bau ketuaan. Bau darah. Bau usia, bau daum-daun aneh yang diusapkan di perut ibunya. Mata dukun beranak itu dingin. Tak pernah ada senyum. Mulutnya tak pernah mengeluarkan suara. Perempuan inikah yang mengeluarkan dirinya secara paksa dari perut ibunya? Sipleg menggigil. Setiap perempuan itu datang Sipleg ingin membakarnya hidup-hidup. Perempuan itu selalu menyuruhnya menunggui ibunya yang menjerit-jerit kesakitan. Bahkan Sipleg pernah melihat sepasang bambu dijepitkan di kepala adiknya yang baru lahir. Suatu kali, batang bambu itu menggores kepala adiknya yang tipis. Darah muncrat, matilah adiknya.

Bagaimana perempuan tanpa perasaan seperti itu menolong sepotong kehidupan? Bapak tak pernah menunggui ibu. Kadang dia mabuk dan memaki-maki. Marah dengan teriakan ibu yang melolong keras. Banyak daging yang tumbuh dalam perut ibu mati. Perempuan itu memang tak punya jiwa. Dia masih terus membiarkan tubuhnya ditumbuhi daging. Tak pernah peduli pada anak-anaknya yang lain. Usia adik-adik Sipleg tidak sampai lima tahun, mereka mati satu demi satu. Ibu tetap tidak peduli. Perempuan apa yang telah melahirkan aku? Satu-satunya manusia yang bisa bertahan hidup adalah dirinya. Seorang perempuan! Hanya lelaki yang bisa melanjutkan keturunan. Memuja leluhur. Meneruskan garis keluarga. Makanya, perempuan kumuh dan kurus itu tega menjual Sipleg ke Payuk. Tanpa hati, karena perempuan dekil itu memang tidak punya hati. Tidak punya rasa. Membiarkan adik-adiknya kelaparan, makanya banyak adik Sipleg yang mati. Perempuan itu juga tidak punya air mata. Dia terus mengandung, tanpa pernah merasakan apa-apa. ***

Denpasar-Bali

*) Nukilan dari novel Tempurung (Garsindo Jakarta, 2010)
READ MORE - Sipleg

Malina dalam Bus Tua

Cerpen Yetti A KA
Dimuat di Jawa Pos (04/04/2010)

Malina belum menentukan ke mana ia akan pergi ketika ia menumpang bus tua. Dia hanya tahu bus itu akan keluar dari kota kecil tempat ia tinggal, dan itu pula tujuannya.

Ada beberapa kursi kosong. Malina bergerak ke dalam dan memilih duduk di pinggir, dekat jendela yang terbuka. Kursi di sampingnya belum terisi. Udara cukup dingin, digesernya kaca jendela sampai rapat. Tas warna hitam yang mengembung ia letakkan di antara kedua kaki.

Wajah cekung dan bibir kering tanpa pemerah menambah getir penampilannya. Apalagi ia sama sekali tidak tersenyum pada siapa atau apa pun. Sesekali ia semburkan napas keras-keras, amat disengaja. Seseorang di depannya kadang menoleh. Mungkin terganggu. Mungkin penasaran. Ia tidak hirau. Wajahnya ia tempelkan dengan ketat ke kaca jendela. Kalau ada orang di jalan yang memerhatikan, mukanya pasti mirip kaleng penyok.

Di luar Malina melihat sawah, sedang hijau-hijaunya. Burung-burung kecil hinggap dan terbang. Sebagian sawah yang lain, yang letaknya jauh ke dalam, mulai menguning. Ia bayangkan di sana pasti lebih banyak burung-burung kecil, dan petani pasti pula sangat sibuk menghalaunya agar menjauh. Sawah dan burung-burung kecil itu membuat ia rindu pada kakek dan nenek di kampung. Mereka sudah tua tapi tetap ingin pergi ke sawah. Di sanalah mereka benar-benar dapat bahagia. Memang begitu jiwa seorang petani, kata ibunya memberinya pengertian bila ia --ketika itu ia masih kecil-- bertanya kenapa kakek dan nenek tidak kerasan tinggal bersama mereka di kota.

Apakah itu artinya kakek dan nenek bisa bermain lumpur seumur hidup mereka? Itu pertanyaan lain yang mendekam di kepala Malina, namun tak mampu ia sampaikan pada orang tuanya. Anak kecil tidak boleh terlampau ingin tahu semuanya, begitu pendapat orang dewasa.

Ia hanya merasa alangkah senang kakek dan neneknya itu. Bermain kotor dan tidak ada yang melarang (sesungguhnya ini bukan semata-mata masalah boleh bermain kotor atau tidak, tapi tentang kebebasan yang diidamkan semua anak kecil).

Bus berhenti. Tubuh Malina terlonjak ke depan. Ia menarik tasnya yang sedikit bergeser. Seseorang naik dan menempati kursi di sampingnya. Anak laki-laki sepuluh tahunan dengan seragam pramuka yang lengkap. Seragam yang dulu amat disukainya karena ia mengira sangat keren dengan rok warna coklat pekat. Berjam-jam ia akan berdiri di depan cermin, mematut-matut penampilannya, sampai ibunya ngomel-ngomel.

Anak lelaki di sampingnya menguap. Ia perhatikan wajah itu tampak berat. Wajah cemberut yang menahan beban. Mungkinkah ia habis dimarahi? Bisa pula ia sedang malas sekolah tapi dipaksa untuk tidak membolos oleh ibunya. Jangan-jangan ia tengah ketakutan karena lupa membuat PR dan akibat dari itu ia pasti mendapat hukuman berdiri di halaman sekolah sampai jam pelajaran berakhir.

Buru-buru Malina mengatakan pada dirinya agar berhenti memikirkan masalah di luar kehidupannya. Hidupnya sendiri sudah terlampau rumit. Sekarang ia sedang menjauhi kerumitan itu. Ia ingin memisahkan diri. Namun dalam bahasa orang-orang di sekelilingnya, ia sedang ingin lari. Mau dibantah percuma. Maka ia benarkan pendapat itu dengan keputusan yang membuatnya berada dalam bus tua --tempat ia bertemu segala macam kejorokan yang dulu mungkin saja tidak terbayangkan bisa sedekat ini.

Dalam bus tua, Malina meremas jemarinya seperti remaja yang baru saja melompat dari jendela kamar dan menemukan ruang kosong yang terlalu lebar. Ia mengalami euphoria yang justru membuatnya kebingungan akan melangkah ke mana.

***

Tahun-tahun terakhir, rasanya, ia hampir tidak punya momentum untuk berkata-kata, tertawa, berpikir, mengkhayal, membuat puisi, membaca, menulis surat, menelepon teman semasa kuliah, mengadakan perjalanan, menonton film, kopi darat dengan kenalan baru, menghadiri peluncuran buku, atau menghabiskan waktu yang sifatnya lebih personal dan tentu menyenangkan untuk dirinya.

***

Kini bus tua membawa Malina makin jauh dari rumahnya. Rumah bercat putih bersih yang menunjukkan betapa angkuh pemiliknya. Apalagi dengan model pagar yang terlampau tinggi dan gembok besar yang selalu terpasang. Di rumah itu ia meninggalkan anak perempuan tiga tahun yang belum pernah berpisah sekali saja dengannya.

Menangiskah ia? bisik Malina kalut. Memang ia sudah menyiapkan semua kebutuhan anak itu. Termasuk catatan mengenai berapa botol susu yang harus diberikan atau berapa kali anak itu makan nasi atau buah dalam sehari. Tidak lupa ia juga meninggalkan nomor telepon dokter anak langganannya. Untuk berjaga-jaga kalau anaknya terserang pilek di musim yang tidak tentu ini.

Ia tahu suaminya belum pernah mengurus anak seorang diri, tapi ia percaya semua akan baik-baik saja. Bukankah dulu ia tidak tahu apa-apa tentang bayi sampai kemudian ia sudah menjalani peran sebagai ibu selama ini. Kalau ia bisa melewatinya, tak ada alasan untuk tak percaya pada suaminya. Lagi pula suaminya bisa minta bantuan pembantu jika diperlukan, walau selam
READ MORE - Malina dalam Bus Tua

Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Cerpen Raudal Tanjung Banua
Dimuat di Koran Tempo (04/11/2010)

CERITA ini bermula ketika aku berangkat ke suatu tempat, dan dari kaca bus yang terbuka kulihat sebatang pohon menyendiri di tengah keluasan padang. Pemandangan sekilas itu, entah mengapa, seketika membawa bus yang kutumpangi seakan berjalan ke belakang, melewati pohon-pohon dan belukar masa kecilku. Masa ketika mataku masih setengah terpejam, belum banyak melihat apa yang ada di balik tempurung kampung. Ketika kini sengaja kubuka mata, aku justru terhantar ke sebatang pohon kayu putih di keluasan padang gembala, di mana diriku dan kawan-kawan penggembala terasa kekal di sana.

Di bawahnya kami bermain bola dari sabut kelapa, menunggui kerbau memamah rumput dan gelagah. Bila bosan, kami memanjat batangnya yang ramping, mengedar pandang berkeliling. Kami menampak hamparan belukar sampai ke tepi rawa berumput hijau. Tak jarang belukar muda jadi santapan kerbau juga, membuatnya bergoyang-goyang direnggutkan sedang kerbaunya tidak kelihatan. Persis permadani digerakkan tangan-tangan gaib. Di kejauhan, kami lihat bagian dapur rumah-rumah di perkampungan, asap yang ramping dan suara-suara dibawa angin terdengar sayup. Nun di balik rawa, ada kampung sebelah, dekat sebenarnya, tapi karena terpisah hutan kayu basung, ia terasa di sebalik gunung. Menjelang sore, bayang-bayang kayu putih memanjang ditimpa matahari. Ketika matahari menyepuh belukar, bayang-bayang itu pun kian runduk sampai akhirnya jatuh bersujud ke tanah. Itu pertanda kami mengumpulkan kerbau gembalaan, bersiap pulang ke tiang pancang.

Kayu putih kami kulitnya memang putih, dan selebihnya kami tak tahu. Kami hanya tahu nama-nama pohon berdasarkan kesepakatan kami belaka. Ada pohon angka dua karena lengkung serupa angka 2, kelapa condong karena batangnya condong; lantas kelapa tiga batang, pohon kayu meja, cempedak gempal, kweni masam, kedondong bungkuk, nibung serumpun, duad bolong, dan banyak lagi yang kulupa. Kami memberi sendiri nama pohon di semesta kecil kami, bebas, murni. Orang lain belum tentu paham. Dan itulah yang terjadi.

Suatu hari aku singgah di warung Pak Mirus membeli roti. Lelaki berkeringat masam itu bertanya padaku, "Di mana kau dapat uang? Kalau dari ibumu, sampaikan pesanku padanya, utangnya segera lunasi. Pakai telur itik tak apa."

"Aku dapat sendiri," jawabku kesal, "Aku habis menjual kayu putih." Aku tak bohong, sebab aku baru saja membuat dua tangkai ketapel dari ranting kayu putih kami, lalu kujual kepada Uci dan Uli, dua anak kembar kesayangan neneknya. Tapi di luar dugaan Pak Mirus mendelik. "Aha, jangan jual ke orang lain, kau bawa ke sini, Buyung! Kita suling sendiri pakai penyuling nilam! Kapan lagi kau menyenangkan ibumu? Bawa ke mari, jika cocok maka hutang ibumu kucoret! Kalau sisa, kau bisa tambah roti."

Hari itu, segeralah aku membahagiakan ibu. Kututuh ranting dan sebagian dahan kayu putih kami. Kawan-kawanku heran, bahkan Ujang Meren sempat marah, sebelum akhirnya kubujuk bahwa sebentar lagi kami akan pesta roti marie. Dengan bantuan mereka, sore hari seonggok daun dan ranting kayu putih memenuhi teras warung Pak Mirus. Sebelum pesta roti, Pak Mirus mencium daunan dengan teliti, lalu wajah tirusnya berubah selebar semesta, "Khalera, ini tak bisa disuling! Ini kayu sampah!" O, tentu saja karena apa yang kami sebut kayu putih ternyata bukanlah jenis pohon yang minyaknya bisa disuling buat obat gosok. Kali ini Pak Mirus salah menggosok lampu keberuntungannya!

Begitulah, kami tak peduli nama, apalagi menyangkut untung-laba. Sebatang pohon jawi-jawi, kami sebut pohon kayu meja tak lebih karena dahan-dahannya pipih dan lebar, seperti meja. Di atasnya kami bermain dan tidur-tiduran, tanpa takut ular meski sering kami lihat selongsongnya tertinggal di ranting dan belitan akar. Sebagian selongsong itu putih mengering, sebagian masih basah pertanda ularnya baru berganti kulit. Tanpa takut, kami berebut merimuknya seperti kerupuk.

Apa yang membuat kami meninggalkan pohon meja kenangan itu ialah cerita pamanku, Paman Untung. Dulu, katanya, di bawah pohon itu Pak Gaek Sani (bekas pemilik banyak kerbau di kampungku) menambatkan kerbau-kerbaunya bila malam. Namun di pohon itu ada iblis yang bertugas menggoda Pak Sani supaya tidak mengeluarkan zakat ternak. Godaan itu berhasil, sampai kerbau beranak-pinak, tak sekalipun Pak Sani mengeluarkan zakat. Sampai suatu hari, Tuhan mengirim hujan dan petir, menghajar si iblis laknat!

"Kata ibuku, iblis tak pernah mati!" protes Uman, sahabat kami.

"Tentu saja. Aku tak bilang iblisnya mati. Yang mati adalah kerbau Pak Sani, besar-kecil bergelimpangan, hangus. Bahkan rumput dan dahan pohon yang basah oleh hujan ikut terbakar. Sejak itulah Pak Sani jatuh miskin."

Kami mengucap nama Tuhan. Takut dan ngeri. Sejak itu kami tak pernah lagi mendekati pohon jawi-jawi yang bertahun sudah kami akrabi. Tanpa anak gembala, kau tahu, sebatang pohon di tengah padang serupa rumah yang ditinggalkan; semak merimba, bahkan rumput-rumput yang jinak pun meninggi mengepungnya. Kehidupan berubah liar. Burung-burung lebih seenaknya membuang kotoran, ular beludak berkembang-biak, berang-berang yang habis berpesta ikan mendayaukan kotoran di bawahnya. Ketika sesekali lewat mencari kerbau, kami lihat kotoran berang-berang mematikan rumput berdepa-depa, membuat kami takut terbayang rumput yang terbakar petir. Yang paling mengejutkan, suatu hari, Isul Karnedi, sahabat kami lari terbirit-birit di tengah padang dan berteriak, "Iblis! Iblis!"

"Mengucap, Sul, mengucap," Uman menenangkan.

Isul menggigil, mengucap nama Tuhan.

"Nah, apa yang kau lihat?" tanyaku.

"Iblis! Rambut panjang, gigi taringnya berlapis. Hanya sekilas, ia cepat menghilang."

"Ke mana?"

"Terbang?"

"Menguap?"

"Kau lihat ada yang berasap?"

Isul menggeleng. "Dia masuk ke balik dahan meja tempat kita biasa tidur-tiduran."

"Ayo kita lihat!" ajak Ujang Meren mantap. Ia memang paling berani di antara kami.

Kami memberanikan diri ke sana. Tapi tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa. Rasa penasaran, gemas dan takut campur-aduk dalam diriku, membuatku nekad melemparkan segumpal lumpur kering ke pohon itu!

"Kudal, kau bisa sakit!" Uman dan Ujang berteriak tertahan. Seperti tersadar, Isul mengulang, "Kau bisa sakit!" Dan tanpa disangka, terdengar suara dari atas pohon, besar, bergema: "Siapa yang melempar tempat tinggalku, aku bikin sakit!"

Aku pucat. Uman, teman kami paling taat coba menawar, "Wahai orang halus penghuni pohon, siapa pun angkau, iblis, jumbalang atau syaiton, kami tak sengaja. Kami minta maaf." Lalu ia baca ayat yang ia hapal, kemudian berucap "Hu!"

"Kami khilaf Bapak Iblis," Ujang Meren ikut menimpali.

"Kami ndak bermaksud buruk orang halus," aku menambah.

"Tunggingkan pantatmu ke arah matahari terbit! Hadapkan kepalamu padaku, begitu caranya minta maaf, hahaha...."

Kami semua merundukkan kepala, membalikkan badan perlahan-lahan, lalu serentak berlari sekencang-kencangnya! Besoknya aku benar-benar sakit, dan hampir bersamaan dengan itu Paman Untung dipasung di rumah gadang.

"Kenapa?" tanyaku dalam demam.

"Sudah gila dia! Dia bertapa di atas pohon, mau menuntut kesaktian pada iblis penghuni pohon. Entah pohon mana," ibuku menjelaskan. Perutku mual dan aku muntah-muntah.

Ketika Paman Untung sudah sembuh (sebagian orang menganggap ia masih kambuh), ia bercerita padaku, "Benar, paman tolol betul ketika itu. Tapi, kupikir tidak juga. Alasannya jelas: jika iblis tercipta dari api, maka petir tak lain energi yang membuatnya tambah sakti. Jadi aku putuskan ke sana, daripada kalian kecipratan kesaktian sebelum masanya, bisa gawat. Kalian kan belum ada yang tamat kaji. Belum tuntas tarikat-makrifatnya, hahaha...."

MASIH dari padang gembala. Jika kerbau kami hilang, kami memantaunya dari pohon kedondong besar yang getahnya meleleh dan mengeras lalu menggantung seperti tali-tali kristal yang memanjang. Untuk menghindari kristal-kristal itu, kami memanjatnya tidak dari pokok pohon, tapi dari dahannya yang kami tarik hingga melengkung. Kedondong memang lentur, tak mudah patah, tapi gampang tumbuh dan karenanya orang kampung memilihnya jadi pancang pagar. Di atas kedondong itulah kami mencari-cari di mana gerangan belukar bergoyangan; atau, kalau untung, kami langsung melihat punggung kerbau yang hitam menyumbul di semak-semak. Maka kami tinggal berteriak dari ketinggian, "Di sana, di bawah kelapa condong!" Kami bergegas ke sana, dan sialnya, sekali waktu, yang kami temukan bukan kerbau yang dicari, tapi gerombolan babi. Karena sama terkejut, baik kami maupun babi, sama lari membabi-buta!

Di jalan ke rawa, ada sebatang pohon laban. Kami menyebutnya "laban sisir" sebab setiap kerbau yang lewat selalu menggosokkan badannya di sana. Akibatnya, kulit dan bahkan sebagian batang laban itu terkelupas. Bayangkan, betapa kuat pula kulit kerbau yang melintas; pohon laban, yang terkenal paling keras di kampungku, jadi genting dibuatnya. Jika kau punya mimpi, berusahalah, sekecil apa pun pasti membekas, kata petuah. Lihat air menetes di batu, pelan dan pasti, batu itu jadi cekung. Tapi kami dapat perumpamaan baru dari pohon laban yang perlahan menyerahkan kulitnya pada kulit kerbau itu!

Tapi mungkin karena kulit keduanya sama-sama keras, perumpamaan itu jadi terasa bermata dua. Betapa tidak. Ia membawa kami pada cerita lama yang sengaja dilupakan sebab amanatnya dianggap kurang bagus: cerita Bujang Jibun. Mulanya Jibun kaya-raya. Sampai-sampai ada punggung bukit yang genting, bahkan putus, karena setiap hari dilewati gerombolan kerbaunya; tempat itu kini dinamai bukit putus. Tapi Jibun suka berjudi, lalu banyak hutang. Jika ada penagih hutang datang, ia sambut dengan meniup seruling. Kepandaiannya memainkan buluh perindu itu membuat si penagih hutang tertidur, lemah jiwa raganya sehingga tak sanggup ia meminta piutang.

Begitu bertahun-tahun, berkali-kali, sampai Bujang Jibun bosan sendiri. Ia akhirnya membuang serulingnya ke sebuah lubuk, lalu menyusul terjun. Di tempat ia terjun itu tumbuh sebuah batu, persis menyerupai Jibun. Kepalanya menyumbul dari air yang berpusar. Tentu kami tidak pernah melihat batu Jibun, sebab konon kepalanya patah tertumbuk rakit sehingga yang tertinggal hanya bagian badannya, di dalam lubuk. Kalau air sungai surut, kita bisa melihat bagian tubuh Jibun, kata orang; tapi tiap kali kami tunggu air surut, pemandangan ajaib itu tak pernah ada. Kami hanya melihat gerumbul belukar bergoyangan terus dibasuh arus. Akhirnya kami lebih tertarik pada seruling Jibun. Sebagai gembala kami punya cukup waktu membayangkan diri sebagai Jibun yang berseruling di bawah pohon-pohon perlindungan kami. Akibat terlalu asyik, kerbau kami luput dari perhatian. Pernah kerbau kami hilang, ikut rombongan kerbau lain ke kampung sebelah. Tapi yang lebih parah, suatu hari kerbau kami menyeberang ke sawah orang, memakan berpetak-petak padi yang hampir terbit!

Hari itu, tiga orang petani mengamuk ke rumah kami. Aku tidak tahu bagaimana orang tua kami mengganti kerugian. Orang tua kami juga petani, pastilah sukar menilai padi bunting dengan uang atau apa pun. Entah bagaimana penyelesaiannya. Yang masih kuingat, kulitku seakan masih merasakan perih lecutan ranting keduduk yang dipatahkan ayah dari belukar tepi sumur, dan mencambukku tanpa ampun. Aku mungkin lebih baik. Kudengar Isul dipulun ibunya sampai nyaris habis nafas dan Ujang diikat di pohon dadap penuh semut merah. Hanya Uman yang tidak diapa-apakan oleh orang tuanya, sebab mereka percaya itu takdir Tuhan. Setelah itu, aku dimandikan ibu. Dua hari kemudian, kami sudah bisa saling menganggu. Kataku, "Kita dikutuk seruling Jibun!"

"Iya, untung tak dikutuk jadi pucuk keduduk," kata Ujang.

"Masih untung. Kalau dikutuk jadi batu di pohon dadap, bagaimana? Sudah berduri bersemut pula," kataku. Ujang mendekatiku. Sakit di tubuhnya pasti belum hilang sehingga membuatnya cepat meradang. Kami siap bertinju.

"Sudah, sudah," kata Uman. "Tak ada yang salah. Kata ibuku, ini kehendak Tuhan. Kita hanya terbalik: harusnya kita bukan Jibun, tapi penagih hutang yang meminta uangnya. Kata ibuku, jangan senang jadi orang berutang sebab orang berutang miskin selamanya."

"Tapi Jibun dulu kaya. Orang-orang itu memberinya hutang banyak-banyak...."

"Karena ia tamak, ingin lebih kaya lewat judi!" Uman meninggi.

"Kalau begitu, judi yang membuatnya sengsara," Isul menyimpulkan.

MENGENANG lagi pohon-pohon dan belukar masa kecilku, ternyata banyak buah kisah yang dapat kupetik. Manis, penuh gelak-tawa. Tentu ada pula yang pahit dan getir. Demikianlah, ketika bus yang membawaku kini melintasi perbukitan, aku tertunduk menyaksikan sebatang pohon besar di lekuk lembah. Pohon berdaun jarang itu, mengantarku ke belakang rumah, ke sebatang pohon sitinjau laut yang tinggi menjulang. Aku selalu mengingatnya karena di sana aku melihat seekor burung elang merobek-robek induk ayam yang ia sambar dari kesunyian kampung. Ayam itu menggelepar, bulu-bulunya berhamburan dari ketinggian, jatuh melayang ke bumi yang diam. Aku terpaku, lumpuh. Lama. Aku baru tersadar mendengar ciap-ciap anak ayam sembunyi di semak-semak. Pembunuhan berlangsung di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk, begitu kalimat sebuah novel yang kubaca bertahun kemudian; dan itu sejatinya juga terjadi di kesenyapan kampungku.

Masih ada "pembunuhan" lain, mengandung tangis. Ketika itu, kami punya pohon manggis tempat kami memanjat sampai ke cabang-cabang yang terjauh. Di sampingnya jambu dan ambacang rimbun, agak rapat, sehingga kami bisa loncat berpindah pohon, tanpa turun. Ada juga sarang semut dari tanah, tinggi merah seperti kubah, sedang kami amsal bukit kecil, bebas dipanjat dan dipeluk. Kami betah bermain membayangkannya jadi apa saja. Namun kami kehilangan itu semua. Entah tahun keberapa, pemilik tanah, Gaek Ikal, memaksa cucunya yang yatim-piatu jadi istri kesekian juragan kapal ikan. Konon, syaratnya rumah kayu yang mereka tempati diganti. Tak terhindarkan, pohon-pohon ditebangi, sarang semut kami digerus. Sebuah rumah batu berdiri di situ. Dan aku, bekas teman bermain Desi, cucu asuhan Gaek Ikal, hanya boleh melirik perempuan itu berdiri di penutu, jika sesekali lalu. Tapi lebih sering kulihat sang nenek yang kuasa menghamburkan air sirihnya. Kehilangan pohon manggis, jambu dan ambacang, kurasa sama dengan kehilangan Desi. Perihnya hanya bisa kugambarkan dengan air sirih yang merah lantas mengering. Dan ketika kulihat perut Desi menggembung, aku terbayang bukit kecil kami yang tak mungkin lagi bisa disentuh.

Kami pun tak bisa leluasa menyentuh sehampar belukar menakutkan seolah dunia asing di bagian lain kampungku, arah ke pantai. Itulah bentangan rawa raya, penuh rumput banto, bakung, dan sagu. Sorga bagi ular dan lintah. Paling mengerikan adalah pohon angeh; jangankan kena getahnya, kena bayangnya saja kulitmu akan gatal melepuh. Tapi perempuan pencari kayu, termasuk ibuku, bisa menundukkannya entah dengan cara apa. Di sana juga ada sebatang sukun atau keluwih terlantar, tempat bertengger burung bubut pemanggil hujan. Pohon tarab berdaun lebar, memeram suara burung hantu malam-malam. Lalu, pohon cempedak dan cengkeh yang dahannya melengkung aneh seperti salah tempat tumbuh.

Kadang kupikir, belukar dan pohon terlantar itu memisahkan kami dengan dunia. Betapa tidak. Untuk ke pantai, kami takut menembusnya, dan mesti memutar jauh ke muara. Ia menutup pandangan kami dengan laut. Gedebur ombak terasa sayup, jauh tersembunyi di balik tirai alam liar. Begitu pula di bagian kampung arah ke bukit, tumbuh subur semak karimuntiang, rengsam, keduduk, panai dan entah apalagi. Ia tumbuh rapat sejajar, susah ditembus sebagai jalan pintas ke lain kampung. Jarak terasa jauh, ruang mengungkung, dan dunia terasa alangkah besarnya. Sampai akhirnya masanya tiba: rawa itu kedatangan orang-orang proyek. Mereka mengeduk sungai-sungai kecil yang mampet di situ, menyatukannya dalam sebuah tali bandar, lalu mengalirkannya ke muara sungai besar di selatan kampung. Sejak itu, sedikit demi sedikit sawah-sawah diteruka. Laut yang selama bertahun-tahun hanya kami dengar gemanya, terbuka cerlang di depan mata!

Sementara itu, entah pada usia berapa dari masa kecilku, pada suatu musim kemarau, belukar lebat di belakang rumah kami terbakar. Hanya dalam waktu semalam suntuk, api merah saga menghabiskan belukar sakti kampung kami. Paginya, ketika hendak berangkat sekolah, aku mendapatkan dunia baru diliputi debu dan abu, dan aku gugup menatapnya. Ada yang terasa hilang, entah apa. Sampai kini pun! Ya, ketika kini bus menurunkanku di kaki Meratus, kudapatkan sebatang cempedak hutan berlubang digirik kumbang, lapuk sendiri di tengah belukar bekas terbakar. Tapi kulihat tunas-tunas baru tumbuh, seperti kenangan masa kecilku yang memunculkan lambang-lambang baru!***

Rumahlebah Yogya-Meratus Kandangan, 2009-2010
READ MORE - Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Silariang

Cerpen Khrisna Pabichara
Dimuat di Suara Karya (03/20/2010)

I

Pernahkan kamu berhasrat melakukan sesuatu, tapi tak berdaya sama sekali? Begitulah suratan yang kujalani saat ini. Takdir mengajariku tabiat pantang menyerah, namun takdir pula yang mengunjukkan padaku pedihnya berpasrah. Rasanya tak perlu kita perdebatkan hakikat sabar, menyimpang terlalu jauh dari ruh cerita ini. Karena aku selalu tak yakin bisa bersabar, atau ikhlas, atau apa pun namanya segala wujud kepasrahan atau malah ketakberdayaan itu. Toh tak ada bedanya, tak mengubah garis nasib.

Apakah perlu kusebut nama gadis yang aku cintai itu? Jika kamu memintanya, baiklah, namanya Aisha Arissa Ashalina. Namanya cantik, bukan? Pernah, sekali waktu, aku iseng mencari arti namanya di kamus nama-nama indah, dan kutemukan makna namanya yang ternyata memang indah: putri yang cemerlang dan penyayang. Ia gadis tercantik di kampungku, tapi kecantikannya pudar tersebabkan takdir yang tak bisa diubahnya; ia putri pengusaha kaya, musuh bebuyutan keluargaku.

Sementara aku, Syarifuddin Tola, seorang karaeng tikno, bangsawan Turatea, tak diperkenankan menikah dengannya; betapapun cantik, alim, dan cerdasnya. Itulah muasal cerita yang kudaras ini.

II

Baiklah. Sebaiknya kututurkan dari mana bermula renjana ini. Sesungguhnya hubungan kami berlangsung sudah sangat lama, sejak kami masih kanak. Usiaku terpaut tak jauh beda darinya, hanya berselisih satu tahun.

Riwayat mencatat, dahulu, Bapaknya pernah melamar adik Bapakku. Bisa ditebak, lamaran itu ditolak mentah-mentah. Limpahan harta tidak serta-merta melunakkan hati Kakek. Bermula dari sana dendam itu tergurat.

Mereka memandang kami, keluargaku, pewaris lapuk kejayaan purba. Sedangkan keluargaku melihat mereka puak yang maruk harkat. Maka, kesumat itu terajut diam-diam, laiknya arus sungai yang tenang; di permukaan tampak diam, di bawah terus bergolak.

Oh ya, keakraban kami di masa kanak tak pernah jadi masalah bagi keluargaku, tidak juga bagi keluarganya. Mungkin karena mereka mengira kami masih kecil dan semua keakraban itu sebatas keintiman kanak-kanak. Ternyata dugaan mereka keliru, lambat laun keakraban itu terasa membahagiakan, setiap bersamanya aku merasa sangat hidup, menjelang dewasa, aku mulai merasa asing setiap jauh darinya, karena rindu yang indah meski sangat menyiksa.

Dan, tahukah kamu apa yang paling membahagiakan bagiku saat itu? Ia ternyata memiara perasaan yang sama. Resmilah kami menjadi sepasang kekasih. Semakin hari semakin dalam cinta itu menyelusup ke dalam hati kami. Pasti kamu menduga kisah kami berjalan mulus. Tidak. Bukan itu yang terjadi. Aku tak mengira Karaeng Sijaya, kakak sulungku yang pendiam, ternyata sejak lama memata-matai kami. Suatu sore, sesaat selepas berpisah dengannya di Kassi tempat rekreasi paling meriah di kampungku, Karaeng Sijaya berdiri kukuh seperentang lengan saja di hadapanku.

"Kamu tak bisa mengubah riwayat, andi'..." katanya ketika ia, gadis yang kucintai itu, perlahan menghilang.

"Bagaimana mungkin mereka bakal menerima pinanganmu?"

"Riwayat sudah tamat, daeng...." Kakakku itu tersenyum lembut, kemudian berkata,

"Aku tidak mau kamu terluka, andik, dalam tubuhmu mengalir darah bangsawan. Apa jadinya jika kamu dinistakan?"

Sejak itu aku tak banyak bicara, meski masih terus berharap.

III

Kami tak mudah lagi berjumpa. Ia jadi gadis pingitan. Sedangkan gerak-gerikku diawasi sepanjang hari. Tak ada lagi tawa bahagia, tak juga tatapan mesra. Dunia berbalik tigaratus enampuluh derajat. Setiap hari aku peras otak untuk menyusun siasat, hasilnya selalu sama; nihil.

Tak ada yang paling menyakitkan selain merasa tak berdaya. Dan, aku mulai gila. Benar-benar gila. Aku tidak berharap banyak, sungguh, aku hanya ingin menatap bening matanya, sekali saja, dan cukuplah itu bagiku.

Tahukah kamu apa buah dari keganjilan sikapku itu? Bapak dan Ibuku melunak. Pun begitu kerabat yang lain, termasuk kakakku, Karaeng Sijaya. Lalu, tiba satu hari mereka bermufakat hendak melamar Aisha - gadis impianku itu - untukku. Duh, bahagianya! Aku tahu itu bukan perkara mudah, bukan semata ritual lamar-melamar, melainkan pertaruhan harga diri dan nama baik keluarga. Tapi, itu juga membuktikan, betapa sayang keluargaku kepadaku. Tibalah malam bahagia, sekaligus mengerikan itu. Aku dan sanak-kerabat bertandang ke rumahnya.

Sepanjang jalan aku terus memikirkannya, gadis yang aku cintai selama bertahun-tahun itu. Ia tak tergantikan oleh siapa pun. Kapan, dan di mana pun.

Aku rindu hangat senyummu. Ternyata, malam itu, ketika keluargaku sepakat meminangnya sebagai pendamping hidupku, seperti telah ditilik sanak-kerabat, jadi pergi segala petaka.

"Apa?

Mahar seratus juta?" seru kakakku, juru pinang keluargaku malam itu.

"Ya!" "Semahal itu?"

"Ya!"

"Kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi biaya hajat, beli kuda, dan kerbau. Bagaimana kalau limapuluh juta saja?"

Bapaknya tersenyum sinis, "Ah, hanya sebatas itu kuasa keluarga bangsawan?"

"Tidakkah Bapak memikirkan perasaan mereka, Tola dan Aisha?" "Apakah keluargamu dulu memikirkan perasaanku dan perasaan keluargaku?"

Pinangan itu berakhir buntu karena dendam yang menyungkupi hati. Sungguh, aku dengar isak-tangis dari bilik kamarnya, lamat dan lirih, tapi pedihnya menyelusup hingga rongga hati. Sebaiknya kamu tahu, tradisi di Turatea, kampung kelahiranku, memperlakukan perempuan semena-mena; ditakar lewat setumpuk rupiah berdasar kecantikan, derajat, atau ilmunya. Semakin cantik semakin mahal, semakin tinggi derajatnya semakin mustahil mahar yang harus ditebus untuk meminangnya. Pahitnya, itu pula yang ditimpakan takdir padaku!

IV

Di awal kisah telah aku tuturkan padamu, bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang menyerah padaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba, akhirnya kami bersua juga. Sungguh, luar biasa. Kamu tahu di mana? Aku bertemu di kolong rumahnya setelah ia turun lewat pintu belakang, supaya tidak bingung, aku beritahukan padamu, rata-rata rumah di kampung kami berbentuk panggung, tepat ketika keluarganya sedang riuh menonton tivi di ruang tamu. Lama sekali kami larut melunaskan rindu yang tanak lewat hangat senyum. Hingga kami sadar waktu berjalan amat cepat.

"Kamu harus pulang, daeng..." desahnya di sela isak tertahan.

Sedetik membayang jalan pintas yang menjanjikan untuk kami sasar. "Selalu ada jalan," ujarku takzim.

Matanya mengerjap, kebingungan. "Jika semua pintu tertutup, masih ada jendela untuk kita lewati." "Silariang?"

Aku mengangguk dengan pasti. Aku tahu ini pilihan sulit. Orang-orang di kampung kami menamakannya silariang. Kamu boleh menyebutnya kawin lari. Hanya saja, kawin lari di sini tidak semata melarikan diri lalu menikah di kampung orang. Tidak sesederhana itu, kawan. Ketika silariang itu terjadi, berarti mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis. Dan, aib itu berarti siri', harga diri tak terbeli, yang harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce, malu tak terperi. Tapi, bukankah jodoh harus diperjuangkan?

Ia, juga aku, memilih pergi. Bersama.

V

Dan, tahukah kamu apa yang terjadi sesudahnya? Kami berjalan merambah kebun, meniti jalan di bawah kerlip bintang.

Rasanya seperti mimpi. Membahagiakan, dan mendebarkan. Menerobos gelap, ditelikung cemas, dilayangkan mimpi. Tubuh kami mmbubung ringan, seolah tak menjejak tanah. Di benakku membayang keindahan masa depan, menggusur percintaan masa lalu yang suram. Sebentar lagi cinta kami tunai, dan derita ini bakal usai.

Hingga....

"Berhenti!"

Suara itu bak petir menyambar-nyambar telinga, memilin-milin ulu hati. Lihat! Tiga tombak di depan kami berdiri tegap Arwan Arsuka, kakak Aisha, gadis yang mengkerut di punggungku. Andai saja kamu ada di sini, pasti kamu bisa melihat betapa piasnya wajah kami, tak lebih cakap dari kucing kuyup yang kedapatan maling ikan. Sepertinya semua harapan kami bakal buyar lagi. Aku nekat melawan, tapi, sungguh, baru kali ini aku sesali nasib mengapa tidak pernah serius belajar mancak, silat aliran Turatea, sehingga aku bisa membela diri dan melindunginya.

"Beginikah caramu memperlakukan perempuan? Ketika tak kuasa membayar uang mahar, kamu paksa Aisha silariang. Kamu pecundang, Tola!" hardiknya. Ia menjerit lirih ketika tangannya ditarik kakaknya dengan kasar. "Kak..."

"Pulang..., kamu tak bisa menjaga nama baik keluarga!"

Rasanya dunia tiba-tiba kiamat. Dan, riwayat ini segera tamat.

VI

"Lepaskan Aisha, Arwan. Atau kamu harus berhadapan denganku!" Tiba-tiba suara lain menyentak pendengaranku. Aku kenal suara itu, ya, itu kakakku. Lagi-lagi, andai saja kamu berada di sini, menyaksikan rentet peristiwa ini, pastilah kamu melihat betapa cerah wajahku. Betapa tidak, Karaeng Sijaya, kakakku yang pendiam itu, menantang Arwan berduel dengan sangat elegan. Dan, kakakku menoleh padaku, memberi isyarat agar aku segera menuntunnya meninggalkan tempat itu. Selekas-lekasnya.

Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus pergi atau tetap di sini menyaksikan kesudahan yang bakal terjadi? Oh, baiklah, aku akan turuti saranmu. Kamu benar, tak baik menyia-nyiakan peluang. Terima kasih, kawan. Aku dan gadis yang kucintai itu perlahan menjauh dari pertarungan dua lelaki yang mempertaruhkan harga diri; yang satu demi nama siri'; dan nama baik keluarga, satunya lagi demi pacce dan cinta sepasang manusia.

VII

Di sinilah kami hari ini. Di pinggiran Jakarta. Sudah lima tahun sejak silariang itu terjadi, belum juga keluarganya mengikhlaskan dan merestui pernikahan kami. Berkali sudah keluargaku datang menjenguk, terutama kakakku, namun keluarganya belum juga datang bertandang. Meskipun kami sepakat, bahwa keluargaku adalah keluarganya juga.

Tapi, keluarganya tak kunjung menerimaku. ***
* Jakarta, Februari 2010
READ MORE - Silariang

Ada yang Menangis Sepanjang Hari…

Cerpen Agus Noor
Dimuat di Kompas (03/28/2010)

Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.

Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda.

”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!”

”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah keterlaluan!”

”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya.

”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.”

Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu?

Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris malam.

Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu?

”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT.

”Kami harap Pak RT segera mencari siapa yang terus-menerus menangis begitu…”

”Lho, apa salahnya orang menangis. Kadang menangis kan ya perlu,” ujar Pak RT.

”Kalau nangisnya sebentar sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan kami jadi terganggu.”

”Terus terang, kami juga jadi ikut-ikutan sedih karenanya.”

”Jadi kebawa pingin nangis…”

”Itu namanya mengganggu ketertiban!”

”Pokoknya orang itu harus segera diamankan!”

Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung.

”Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”

***

Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari…

Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus- terusan menangis seperti itu.

”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…”

”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.”

”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…”

”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…”

”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.”

”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…”

”Mungkin tangisan Suster Ngesot…”

Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.

Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orang- orang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar.

Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri.

Menteri yang lain hanya diam.

***

Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar.

Mendadak istrinya sudah di sampingnya.

”Ada apa?”

”Saya seperti mendengar suara tangis…”

”Siapa?”

”Entahlah…”

”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?”

Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.

***

Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor lelawa yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.

Apakah kau dengar tangisan itu? ***
Jakarta, 2007-2010
READ MORE - Ada yang Menangis Sepanjang Hari…

Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil

Cerpen Raudal Tanjung Banua
Dimuat di Jawa Pos (03/07/2010)

KARYA seni adalah persimpangan jalan, tulis Milan Kundera1, saat ia kubaca dalam perjalanan. Bahuku terguncang karena batu dan lubang jalanan, tapi kuteruskan membaca, menyusuri sebuah pikiran. Jumlah jalan yang bertemu, lanjut Kundera, akan menentukan mutu seninya. Aku berpikir, jika kota dapat dikatakan sebagai karya seni, jalanan seperti apakah gerangan yang akan menentukan mutu sebuah kota?

Aku mengangkat kepala, menatap ke luar jendela dari bus yang berderak. Pohon-pohon, deretan rumah, dan semak-semak ikut bergerak. Bus kemudian memelan melewati pasar dengan simpang yang semrawut. Suara orang ramai seperti berebut masuk melewati kaca-kaca yang retak dan berdebu. Teriakan penjual obat pecah di tepi jalan. Penjual sayur mencangkung di muka keranjang. Lelaki tua menarik kambing dan seorang anak muda memarkir motor tanpa plat pas di moncong bus. Ketika akhirnya bus, susah-payah, lolos dari perangkap persimpangan, aku larut kembali memaknai simpang bagi sebuah kota.

Ya, mula-mula silangan jalan: pertigaan atau perempatan lalu tumbuh saling memberi; persimpangan mencipta kota, kota mencipta simpang-simpang. Sebuah tempat memiliki prosfektif untuk berkembang jika terletak di tempat bertemunya dua atau lebih ruas jalan. Ia akan jadi tempat pemberhentian, karena di situ mungkin ada rumah makan, bengkel kompresor, warung kopi, terminal bayangan, stasiun kecil, dan akhirnya nanti ruko, rumah bertingkat, swalayan. Lalu bakal muncul gardu polisi, papan iklan, lampu neon, traffic-light. Kemudian jalan baru dibangun, jalan lama terbelintang, simpang demi simpang bertemu; dari sekadar tempat berhenti, jadi tempat persinggahan, lalu jadi kota tujuan. Begitulah sebuah kota tumbuh. Tetapi soal mutu? Tunggu dulu. Kadang kupikir, kota dengan banyak simpang membuat kita tersesat karena terlalu banyak alamat, terlalu banyak nama-nama!2

Tapi, ah, tak ada yang sanggup menolak takdir simpang dari sebuah kota! Ia akan tetap terjaga, terus berjaga, bagi lintasan dan segala yang bakal singgah. Meski sebenarnya sebuah kota butuh persimpangan lebih ''hakiki'': jalan lempang ke kota yang lain. Bukan sekadar belokan dalam kota yang hanya cukup membuat seorang pedagang sate keliling berputar-putar dengan gerobak dorongnya. Maka, kota yang memiliki pedalaman, hulu atau ''mudiknya'', punya hilir atau ''induknya'' sendiri --ditandai jalan yang panjang-- akan lebih hidup dan berkembang. Atau kota lintasan, jalan pintas untuk menjangkau sebuah tempat lebih cepat, juga akan tumbuh lebih cepat. Namun simpang bukan sebatas darat, sebab juga ada jalan air dengan dermaga dan pelabuhannya. Itulah sebabnya, kota pelabuhan tidaklah berhadapan dengan kebuntuan laut mati. Pelabuhan sama dengan persimpangan, malah mestinya lebih banyak simpang, jalan air yang menghubungkan pulau-pulau, bahkan benua.

Aku tidak bilang kota tanpa simpang menerima kutukan jadi kota mati. Percayalah, kota tanpa simpang tapi terletak di jalur utama, jika pengelolanya tak hanya cerdik korupsi, niscaya tetap berdenyut hidup. Ia jadi persinggahan. Tempat transit, tanpa lengking pluit, jadi kota jasa dibutuhkan siapa saja. Tapi, adakah kota yang tak punya simpang di dunia?

***

PADA akhirnya, ada atau tidak ada persimpangan, sebuah kota akan menciptakan kota-kota kecilnya sendiri sebagai penyanggah. Lalu sadar atau tidak, keduanya saling memberi. Kota-kota penyanggah punya ''induk'' yang mengharap limpahan berkah, dan kota yang disanggah punya ''mudik'' yang diharap mengalirkan rezeki. Begitukah? Begitulah yang kupahami.

Memang, kota-kota penyanggah itu hanya kota kecamatan yang berkat persimpangan atau terletak di pelintasan, beroleh akses lebih baik. Lalu, seperti rumah kerang, tumbuh ia di antara kota kabupaten atau kotamadya yang lebih dulu tumbuh. Sebagian dari kota induk itu terus berkembang, sebagian lain terasa buntu. Apa pun keadaannya, kota penyanggah tetap berperan: selapis demi selapis, bagai menghikmati kulit bawang. Pendapatku ini cukup terasa jika kita menyusuri kota-kota kecil yang tumbuh subur di Pulau Jawa. Besarnya jumlah penduduk mungkin membuat ''kebutuhan'' akan kota di Jawa jadi tinggi, sebab kotalah gudang kebutuhan dan pusat konsumsi. Itu satu hal. Tapi paling penting ialah akses jalan yang bagus, lapang, dan mulus. Jalur utama --termasuk jalur kereta-- terus berbenah, dan lebih banyak lagi jalur alternatif, dan itu artinya simpang-simpang yang terbuka.

Kawan, aku tinggal di Jogja, di kota kecil Sewon. Di sini semua jalan beraspal, jumlahnya terus bertambah, seperti labirin, membuat kau bakal tersesat berputar-putar. Sebaliknya sangat mudah mencari jalan ke luar; arahkan saja kendaraanmu sesuka hati, nanti pasti sampai di jalan utama sebab jalanan kecil itu bertemu satu sama lain. Aku merasa beruntung tinggal di tempat yang jalannya bagus-bagus seperti di sini. Tapi kadang ngelangut sedih teringat banyak tempat yang sejak dunia terkembang belum pernah sekalipun tersentuh batu dan kerikil. Ah, Kawan, aku tak tahu ke mana rasa riang sekaligus murung ini kualamatkan. Rasanya tak mungkin kepada raja dan pangeran. Meski bagi sebagian orang Jogja dianggap pusat atau titik imbang Pulau Jawa. Kau toh pernah dengar konsep-konsep filosofis semacam Mangkubumi atau Pakubuwono yang maknanya bahkan merujuk kerajaan pedalaman ini sebagai ''pusat bumi''. Tapi aku tak banyak paham soal itu, sementara anggap saja tempat tinggalku titik tengah Pulau Jawa lebih karena fakta geografis. Fakta ini pun sebenarnya tak terlalu penting, kecuali hanya titik tolakku menjelajah kota ke segala arah.

Demikianlah, jika aku ke timur, aku akan bersua kota kecil penyanggah kota-kota sekitar. Yang terdekat Delanggu, kota kecil penghasil beras, menyanggah kota induknya, Klaten. Delanggu membangun ruangnya di ruas jalan Jogja-Solo, yang rasanya sebesar apa pun jalan penghubung selalu terasa tidak muat. Beberapa tahun lalu jalannya diperlebar, tapi kendaraan terasa makin banyak; rel kereta api commuter dibuat ganda, namun penumpang tambah sesak. Dan Delanggu tumbuh dengan beras aneka merk, wangi, dan pulen, meski pabrik karung goni yang dulu ia punyai sudah lama tutup, dan karung-karung plastik dengan mudah menggantikannya, semudah mendirikan toko-toko kelontong, rumah besar dan masjid warna-warni. Bersamaan dengan itu, sawahnya yang subur mulai ditimbuni tanah kapur, difondasi batu dan pasir dari Merapi; jadi ruang baru bagi kota yang berlari!

Jauh di timur, aku terkesan dengan Caruban, jalan pintas bagi bus-bus AC-eksekutif jurusan Jogja-Surabaya. Bangunannya merapat ke sisi jalan, membuat bus yang lewat seolah akan menggores dinding rumah dan toko-tokonya yang rawan. Sebaliknya, gang-gangnya terbuka lebar, becak dari pasar leluasa masuk ke kedalaman. Kurasakan, Caruban bagai sekotak brem, makanan khasnya yang manis-masam. Ia punya segala hal: dua pasar besar, stadion, terminal, bahkan gedung wakil rakyat Madiun, sebentar lagi jalan tol, tapi tidak mengubah wajah pengayuh becak di ujung gang.

Kota kecil dengan alun-alun besar ialah Bangil, kota yang tampak didirikan secara manual di antara Sidoarjo dan Pasuruan. Toko-toko di perempatannya banyak yang tua, bercat putih kelabu, sebagian berdinding kayu, tapi berkat itu tak mengenal karat dan ngengat. Simpang dan rel kereta, bersilangan bagai benang bordirnya di kain tapis. Selepas hutan jati Situbondo, aku bertemu Tenggir, tak ada di dalam peta namun ia sendiri sangat peduli pada peta; petunjuk arahnya lengkap, ke Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi. Di Jember yang basah, selepas Rambipuji, ada kota yang sama --tiada dalam peta-- bernama Tanggul tapi sangat terbuka pada dunia; punya banyak tempat penukaran uang asing!

***

KE UTARA dari Jogja, aku bertemu Muntilan, penyanggah Magelang dan Mungkid yang baru tumbuh di kaki Borobudur. Deretan tokonya masif, nyaris tak bercelah, semua terisi bukan hanya tape ketan dan jajan pasar, tapi seluruh kebutuhan yang pokok dan tak pokok. Toko-toko itu pula agaknya yang membedakan Muntilan sebagai kota wedana di masa lalu, dan kota niaga di masa kini. Selepas pasar bersiaplah melihat kendaraan ngebut di jalan satu arah seolah melintasi sirkuit masa depan. Tak tahu, siapa akan menang; Muntilan yang tenang, atau para pelintas dari kota-kota sekitar yang bergegas.

Di Temanggung ada juga kota pelintasan, Parakan; pasarnya terus membesar, simpangnya mempercepat tujuan. Aku terkenang masjid tua kampung Kauman, dekat tikungan, seolah jadi penunjuk arah ke Pantura, melewati jalan naik dan menurun, tembus ke Weleri. Dan di jalur Pantura sendiri tumbuh kota-kota kecil di antara ibu kota kabupaten, jadi penyanggah yang geraknya kadang lebih hidup ketimbang kota utama. Juwana di Pati, Kaliwungu-Kendal, Comal-Pemalang, Palimanan-Cirebon, Lohbener-Indramayu. Apakah karena lebih kecil sehingga denyutnya gampang terlihat mata telanjang?

Menuju ke barat, aku singgah di Kroya, sebelum Cilacap. Di sini jalur kereta utama di Pulau Jawa seakan bertemu diam-diam, di bawah stasiun beratap baja. Turunlah, luangkan waktumu menempuh jalan-jalan kecilnya, kau bersua toko pakaian, kedai swalayan, warung soto yang nikmat. Angin sawah berembus mengangkut aroma lumpur, jerami padi, dan bebek-bebek. Malam hari, sehabis hujan, suara kodok akan menidurkan kota, dan deru kereta seperti menindih mimpi.

Lebih ke barat lagi, selepas Banyumas menjelang Purwokerto, aku kerap tergeragap disambut kota kecil yang manis, Sokaraja. Manis, serasa getuk goreng atau lukisan alamnya yang lembut di kanvas beludru, membuatku selalu rindu bertemu.

Jika aku menyerong agak ke utara, ke Brebes, akan kulewati kota kecil yang permai, dikelilingi sawah bertingkat, sungai dan bukit biru, berkabut nyaris kelabu. Bumiayu. Aku tahu, jumlah rumah yang bertengger di kaki bukit semakin banyak, sebagian mengarah ke puncak, membuat bukit-bukit remaja itu seperti anak sekolah yang mulai memikirkan lowongan kerja.

Lurus ke barat, kita sampai di Majenang. Di sini, rumah-rumah seperti kotak lebah tergantung di peternakan. Namun, suatu kali, terbangun dari lelap tengah malam, kusaksikan semua itu seperti peti rambu solok3 merapat ke bukit-bukit batu Tana Toraja. O, tidak! Aku menggosok mataku: ini bukan kota kematian, tapi kota kehidupan. Namun ketika tidur lagi, aku bermimpi: orang-orang seperti kumbang menggirik dinding batu! Apakah gambaran masa depan Majenang yang kelak menggempur bukit-bukit itu? Aku tak tahu.

Sebelumnya, kulewati dua kota di batas Jogja. Kutoarjo di Purworejo, dulu ibu kota Bagelan, kini denyutnya tidaklah padam; agen bus segala jurusan, jalan bersimpang ke dan kota-kota di dataran tinggi Dieng. Seperti keliaran arus sungai Jayanegara, Gombong di Kebumen terus tumbuh, penuh gairah. Dua rumah sakit swasta, pasar yang luas, hotel dan restoran, masjid indah di batas kota, melengkapi cabang jalan ke Banjarnegara dan Waduk Sempor.

Kawan, kotaku berhadapan dengan laut selatan yang ganas tapi berhati lembut, persis Nyai Roro Kidul. Karena itu, bukan tidak ada jalan ke selatan. Aku bisa saja menyusuri jalan Deandles dari Bantul sampai Kebumen, lalu berjumpa Ambal dan Ayah. Ambal punya sate berkuah tempe dan Ayah memiliki pasar ikan di muara sungai lebar, persis seorang ayah yang penyabar. Jalur lain melewati Wonosari atau Panggang, terus ke Purwantoro, kota kecil di tengah sawah yang menyanggah Wonogiri nun di lembah.

***

SINGKAT kata, setiap kota punya satu atau lebih kota penyanggah. Tentu juga dengan satu atau lebih alasan. Mungkin posisi, sejarah, atau segala sesuatu yang dimilikinya; stasiun, kebun, pelabuhan, tempat wisata, pabrik, dan lainnya. Maka, ia jadi kota kedua yang dirujuk setelah menyebut nama kota ''induk''. Sebutlah Sukabumi, ingatanmu melayang ke Pelabuhan Ratu, kota mungil di tepian teluk, di mana sukar membedakan kilau lampu resort atau cahaya mercusuar. Serang punya Merak dan Anyer, Tegal-Sidodadi, Semarang-Ambarawa, Cepu-Blora, Pare-Kediri. Begitu pula Kertosono di Nganjuk, Babat di Lamongan, Bululawang-Dampit-Turen di Malang, Klakah-Jatiroto di Lumajang, Leces di Probolinggo, Ambulu di Jember, Genteng di Banyuwangi, serta kota-kota yang kuceritakan tadi, begitulah seterusnya.

Ini tentu juga terjadi di bagian lain tanah air, meski tidak sesubur di Pulau Jawa. Seperti kubilang, selain penduduk, jumlah jalan sangat menentukan lahirnya sebuah kota. Barangsiapa ingin menumbuhkan kota, bangunlah jalan dan pelihara simpang-simpangnya!

Sadar akan hal ini, Pulau Punjung mulai memandang pelintasan dan simpang jalan tidak sekadar sampiran dalam dendang. Berkat lintasan, kini ia jadi ibu kota kabupaten baru di Sumatera Barat, Dharmasaraya, lepas dari Sijunjung. Ia berdamping dengan Gunung Medan, di mana berdiri megah warung makan ternama di Jalan Lintas Sumatera. Tak jauh dari situ, ada Kota Baru, pusat ekonomi Dharmasaraya, karena ia punya ''mudiknya'' sendiri: jalan bersimpang ke daerah transmigran Sitiung. Memang pula, pelintasan tak selamanya bergairah. Kau tahu, penumpang bus banyak beralih ke pesawat, truk-truk kehilangan muatan, dan Jalan Lintas Sumatera yang menjadi urat nadinya (o, urat nadi semua kota!) rusak di mana-mana, diperbaiki tambal-sulam, seperti malam yang tak pasti dapat cahaya. Namun tetap saja lintasan lebih punya berkah. Coba, lihatlah Muaro, ibu kota kabupaten lama Sijunjung. Kota ini menjauh dari Jalan Lintas Sumatera, sedang simpangnya tak meyakinkan, sehingga membayangkannya saja sekarang aku disergap rasa lengang, bagai memandang pohon langsat merimba di ladang orang. Mungkin lain jika kotanya dulu Pematang Panjang, di tepi lintasan, aksesnya pasti luas seperti Bangko atau Muaro Bungo di Jambi.

Kita melompat ke Simpang Empat. Dulu ia penyanggah Lubuk Sikaping, Pasaman. Berkat simpang dan kebun sawit, tumbuh ia jadi ibu kota kabupaten baru, Pasaman Barat, menyusul Natal di Mandailiang. Namun menyalip Air Bangis dan Bonjol, dua kota penting sejak zaman kolonial. Mungkin di pantai Air Bangis kau masih mencium bau ikan dan kapal-kapal. Dan di Bonjol bayanganmu angslup di bawah garis edar matahari seperti pudarnya benteng dan parit masa lalu. Tapi percayalah, kebanyakan kota tumbuh dari modal masa kini: kebun sawit, pasar, pajak, retribusi, bank, dan pabrik-pabrik. Selain itu, kau akan termangu. Kecuali kotamu punya sesuatu untuk ditawarkan, seperti Duri di Dumai --jalan bersimpang ke Bagan Batu-- punya kilang pipa-pipa besi menyedot minyak bumi. Tapi toh jalanannya tetap saja terkelupas sehingga terasa lengang bagai panas tengah hari. Atau, Koba di Bangka Tengah, kota timah yang dimekarkan jadi ibu kota kabupaten baru, tumbuh ambigu: papan iklan pemda dan perusahaan timah berebut ruang di gerbang kota. Tak tahu, siapakah yang berkuasa: pemerintah daerah yang masih muda, atau perusahaan timah yang tua bangka!

Di Bali, kota kecil Mengwi hidup di antara Denpasar dan Tabanan, meski lebih dari itu, apa yang membuatnya berkembang --trotoar dibangun, jalan satu arah diatur-- tidak lain letaknya di dua arah tempat wisata: Bedugul-Tanah Lot. Mengwi sendiri punya Taman Ayun, di mana jalan alternatif juga mulus ke Ubud. Jadilah ia menyatu dengan dua kota utama yang mengapitnya. Beda dengan Seririt di Singaraja. Tak ada jatah kue pariwisata, tapi kota yang dihantam gempa tahun 1976 itu, terus bangkit mengandalkan simpang ''segara-gunungnya''; naik ke bukit memintas Tabanan, lurus menyisir pantai ke Amlapura dan Gilimanuk.

Binuang, kota kecil di antara Banjarbaru dan Rantau, di Kalimantan Selatan, menjadi kota persinggahan yang cukup ramai karena penambangan batu baranya. Di situ, ada tambang batu baru tua, Pangaron, dan tambang-tambang baru terus dibuka. Lubang jalanan, deru, dan derak truk, tidak menghalangi Binuang tumbuh, meski kadang tampak seperti seorang gadis yang menunggu dalam debu. Debu juga beterbangan di jalanan Wonomulyo, kota orang-orang trans di Polewali Mandar, Sulawesi. Tapi ia terus berdandan. Lihatlah, masjid dengan menara tinggi, seolah menghindar dari debu di bumi; kios di pasar dan toko-toko berbagai nama, membuatnya terasa lebih hidup ketimbang Polewali!

***

KADANG kupikir, kota kecil lebih gampang dirawat, besar sedikit merepotkan, jika sudah tumbuh besar, hati-hati, dia bisa memakan yang kecil, dan itu mencemaskan! Memang kota penyanggah bisa jadi kota utama, tapi siapa jamin peralihan status menyentuh piring nasi penghuninya? Kepanjen jadi ibu kota Malang, tapi pasar dan stasiunnya tetap sempit dan becek. Banjar di perbatasan Jawa Barat, sukses menyandang status kotamadya, menyalip kota induknya, Ciamis. Tapi, apa lebih berarti selain statusnya yang mengharu-biru itu? Banyak pula di antara kota ''induk'' tak mau kalah, berpacu meraih status baru meski tak ada yang berubah. Tasikmalaya dan Klaten, kini punya wali kota, tapi apa pengaruhnya pada lapangan Dadaha atau pedagang lele dari Ceper? Tak ada, kecuali parkir lebih diawasi, Satpol PP lebih gaduh, swalayan di mana-mana, trotoar diproyekkan, dan lampu merah kian banyak saja.

Kawan, kau boleh mengagumi insting kolonial memilih tempat dan merancang sebuah kota. Tapi masa depan punya persimpangan nasibnya sendiri. Terbukti, kota penting yang dibangun kolonial di masa lalu, ternyata ditinggalkan. Banyumas, Lasem, Panarukan. Hasrat memutus mimpi buruk? Kurasa lebih sebagai hasrat mengambil sisi lain kolonial: penaklukan! Maka, lihatlah, Bandung dengan taman-taman besarnya dan Jakarta dengan kanal-kanalnya pun ''sukses'' ditaklukkan pengelola kota sampai tidak ada yang bersisa...

Kupejamkan mata, berharap kota-kota kecil tumbuh sebagaimana kodratnya, tanpa hasrat menaklukkan. Ah, kini aku jauh di pesisir Sumatera, menyusuri daerahku yang merana. Sudah lama kulewati Painan, ibu kota kabupaten yang persimpangannya baru saja punya lampu merah. Mungkin lebih baik. Sebab simpang besar dengan banyak jalan, kadang membuatku sulit memahami mana jalan yang bernilai seni, mana yang sampah. Karya seni adalah persimpangan, kata Kundera, dan aku ingin membalik: persimpangan adalah karya seni --jumlah karya yang ''ditampilkan'' menentukan mutu persimpangan!

Tak terasa, aku telah tiba di Tapan, kota kecil di perbatasan tiga provinsi: Bengkulu-Sumbar-Jambi. Sangat strategis, tapi bertahun-tahun tak ada yang cukup bermutu dari persimpangannya: jalanan rusak, wajah kota murung abadi. Sampai akhirnya kebun sawit dibuka berhektare-hektare, pabrik didirikan, jalanan ke Sungaipenuh dan Muko-muko mulai menggeliat. Tapi masih menyimpan kesedihan yang tak gampang terlihat, bagai suara kernet yang berseru, seakan jauh di masa lalu, ''Ke Jambi, ke Bengkulu! Tunggu bus lain dekat tugu."

Aku tak peduli lagi bacaanku, langsung turun saat bus menepi. Sebuah truk lewat mengangkut bertandan-tandan kelapa sawit, seolah mengangkut impian Tapan ke masa depan. Di tengah kepulan debu, kulihat seorang lelaki melintas. ''Hoi, Kudal, jadi wa'ang datang?!" ia berseru di seberang jalan. Gigi-giginya hitam. Dialah suami kakak sepupuku, Uda Kidam. Sudah lama kami tak bertemu. Dan ketika ia menyeberang tersaruk dan agak bungkuk, aku membayangkannya sedang mengais masa lalu Tapan dengan tangguk udangnya di rawa-rawa yang luas; kini jadi kebun sawit seluas bumi, bakal jadi kota baru di muka bumi, o, penaklukan yang murni! ***

Rumahlebah Jogjakarta, 2009-2010
READ MORE - Kota-kota Kecil Penyanggah Kota Kecil