Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

Seperti sudah banyak diungkap oleh para pemerhati dan pengamat bahasa Indonesia bahwa rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia tak hanya berlangsung di kalangan siswa, tetapi juga telah jauh meluas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, para pejabat yang secara sosial seharusnya menjadi anutan pun tak jarang masih ”belepotan” dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Mewabahnya penggunaan bahasa Indonesia bermutu rendah, kalau boleh disebut demikian, menurut hemat saya, lantaran belum jelasnya strategi dan basis pembinaan. Pemerintah cenderung cuek dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat Bahasa –sebagai tangan panjangnya—untuk menyusun strategi dan kebijakan. Namun, harus jujur diakui, strategi dan kebijakan Pusat Bahasa masih cenderung elitis. Artinya, kebijakan yang dilakukan Pusat Bahasa hanya menyentuh lini dan kalangan tertentu, seperti Jurusan Pendidikan Bahasa atau Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi. Sementara, Pendidikan Dasar dan Menengah yang seharusnya menjadi basis pembinaan justru luput dari perhatian. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada para guru bahasa. Layak dipertanyakan, sudahkah para guru bahasa Indonesia di sekolah memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi satu-satunya sumber dalam membumikan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar?

Upaya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tampaknya akan terus terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan kejelasan strategi dan basis pembinaan. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku.

Melahirkan generasi yang memiliki idealisme dan apresiasi tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar memang bukan hal yang mudah. Meskipun demikian, jika kemauan dan kepedulian dapat ditumbuhkan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga agenda penting yang perlu segera digarap. Pertama, menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan keteladanan dalam hal penggunaan bahasa, bukannya malah melakukan ”perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang selama ini kita saksikan. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menciptakan iklim berbahasa yang kondusif; mampu menjadi media alternatif dan ”patron” berbahasa setelah orang tua dinilai gagal dalam memberikan keteladanan.

Kedua, menyediakan buku yang ”bergizi”, sehat, mendidik, dan mencerahkan bagi dunia anak. Buku-buku yang disediakan tidak cukup hanya terjaga bobot isinya, tetapi juga harus betul-betul teruji penggunaan bahasanya sehingga mampu memberikan ”vitamin” yang baik ke dalam ruang batin anak. Perpustakaan sekolah perlu dihidupkan dan dilengkapi dengan buku-buku bermutu, bukan buku ”kelas dua” yang sudah tergolong basi dan ketinggalan zaman. Pusat Perbukuan Nasional (Pusbuk) yang selama ini menjadi ”pemasok” utama buku anak-anak diharapkan benar-benar cermat dan teliti dalam menyunting dan menganalisis buku dari aspek kebahasaan.

Ketiga, menjadikan sekolah sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia. Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Di sanalah jutaan anak bangsa memburu ilmu. Bahasa Indonesia jelas akan menjadi sebuah kebanggaan dan kecintaan apabila anak-anak di sekolah gencar dibina, dilatih, dan dibimbing secara serius dan intensif sejak dini. Bukan menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini membutuhkan kesiapan fasilitas kebahasaan yang memadai di bawah bimbingan guru yang profesional dan mumpuni.

Dengan menjadikan sekolah sebagai basis dan sasaran utama pembinaan bahasa, kelak diharapkan generasi bangsa yang lahir dari ”rahim” sekolah benar-benar akan memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa negerinya sendiri, tidak mudah larut dan tenggelam ke dalam kubangan budaya global yang kurang sesuai dengan jatidiri dan kepribadian bangsa. Bahkan, bukan mustahil kelak mereka mampu menjadi ”pionir” yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Iptek yang berwibawa dan komunikatif di tengah kancah percanturan global, tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sebagai bangsa yang tinggi tingkat peradaban dan budayanya.

Dalam lingkup yang lebih kecil, melalui penguasaan bahasa Indonesia secara baik, mereka akan mampu menjadi ”penasfir” dan ”penerjemah” pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu sehingga mampu menjadi sosok yang cerdas, bermoral, beradab, dan berbudaya. Persoalannya sekarang, sudah siapkah sekolah dijadikan sebagai basis pembinaan bahasa Indonesia? Sudahkah pengajaran bahasa Indonesia di sekolah berlangsung seperti yang diharapkan? Sudah terciptakah atmosfer pengajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sehingga mampu menarik dan memikat minat siswa untuk belajar bahasa Indonesia secara total dan intens? *** (bersambung)
READ MORE - Sekolah sebagai Basis Pembinaan Bahasa Indonesia (1)

Contreng, Centang, Conteng

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan kata contreng. Kata ini populer ketika suatu lembaga (KPU) dan Parpol mensosialisasikan cara pemilihan dengan contreng. Agar tidak terjadi kesalahtafsiran, istilah contreng tergolong kata yang tidak baku. Bagi kalangan tertentu (partai politik) kata contreng mungkin tidak banyak dipersoalkan, tetapi bagi kalangan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dan benar kata contreng belum dibenarkan. “Ada yang berpendapat bahwa yang penting rakyat mengerti. Jadi, penggunaan kata atau istilah apa pun boleh-boleh saja.” Menurut hemat penulis penggunaan contreng termasuk arbiter (semena-mena atau sesukanya) dan hanya berlaku untuk kalangan terbatas (meskipun kata itu belum dibakukan dalam Bahasa Indonesia).

Centang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), centang memiliki makna sebagai berikut:

* cen·tang /céntang/ (nomina), yang berarti ‘tanda koreksi, bentuknya seperti huruf V atau tanda cawang.’ Jika diberi awalan /me-/ menjadi men·cen·tang (verba) yang berarti ‘membubuhi coretan tanda koreksi (V);
* Jika cen·tang /céntang/ dijadikan bentuk perulangan, menjadi cen·tang-pe·re·nang (ajektiva), yang berarti ‘tidak beraturan letaknya (malang melintang dsb.); porak-parik; berantakan.’ Contoh: Segalanya centang-perenang di ruangan itu .
* ke·cen·tang-pe·re·nang·an (nomina), yang berarti ‘keadaan yang centang-perentang.’ Contoh: Kecentang-perenangan dalam mengatur jadwal sering terjadi jika dilakukan terburu-buru .

Kata ‘centang ’ dipakai di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2), 3), dan 4) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 yang isinya, yaitu:

tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan:

1. menggunakan alat yang telah disediakan;
2. dalam bentuk tanda V (centang ) atau sebutan lainnya ;
3. pemberian tanda V (centang ) atau sebutan lain , dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota;
4. pemberian tanda V (centang) atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD;

Conteng
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), conteng memiliki makna sebagai berikut:

* con·teng /conténg/ (nomina), yang berarti coret (palit) dengan jelaga, arang, dsb.; coreng;
* ber·con·teng-con·teng (verba), yang berarti ‘ada conteng-contengnya; bercoreng-coreng (dengan arang, jelaga, dsb.).’ Contoh: Mukanya berconteng-conteng; Papan tulis itu berconteng-conteng dengan kapur.
* men·con·teng (verba), yang berarti ‘mencoreng dengan arang (tinta, cat, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng alisnya dengan arang; Menconteng arang di muka. (peribahasa), yang artinya ‘memberi malu.’
* men·con·teng-con·teng (verba), artinya ‘mencoreng-coreng (memalit-malit, mencoret-coret) dengan arang (tinta, kapur, dsb.).’ Contoh: Anak itu menconteng-conteng dinding rumah kami .
* men·con·teng·kan (verba), artinya ‘mencorengkan; memalitkan.’ Contoh: Ibarat mencontengkan arang di dahi sendiri (Peribahasa).
* ter·con·teng (verba), memliki dua arti: 1. ’sudah diconteng(kan); 2. kena noda (aib, malu). Contoh: Terconteng arang di muka. (Peribahasa), yang artinya ‘mendapat malu.’

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa “contreng“ termasuk istilah belum baku. Menurut hemat penulis kata “contreng“ ini baru muncul pada saat seseorang memberikan sosialisasi menjelang Pemilu 2009. Hal ini terjadi karena di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2) dan 3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 memungkinkan seseorang menggunakan sebutan lainnya . Oleh karena itu, muncullah istilah contreng. Oleh sebagian orang, hal itu turut dibenarkan dan turut pula disosialisasikan kepada masyarakat, padahal dalam Bahasa Indonesia maknanya belum ditemukan. (Red: tantangan bagi Penyusun Kamus Bahasa Indonesia).

Kata “centang“ merupakan istilah yang baku. Tanda “centang“ berarti pula memberikan tanda check atau tanda koreksi (V). Jika di dalam pemilihan umum nanti yang dimaksdukan memberi tanda check atau tanda koreksi (V) pada nomor atau angka seorang calon maka pemakaian kata “centang“ lebih tepat digunakan.

Kata “conteng“ memang tergolong kata baku, namun kata “conteng“ kurang tepat jika dipakai dalam konteks Pemilihan Umum 2009, sebab akan banyak bentuk coretan yang dilakukan masyarakat. Secara etimologi ‘conteng’ berarti coret. Yang dimaksud dengan coret dapat berarti memberi tanda check (V), silang (X), = (sama dengan), atau coreng dengan tinta, arang, atau apa saja. ***

Sumber: http://tarmizi.wordpress.com/2009/03/20/contreng-centang-conteng/
READ MORE - Contreng, Centang, Conteng

BEBAS PARKIR = BOLEH PARKIR ATAU DILARANG PARKIR?

Di berbagai tempat di dalam kota Jakarta, terpampang tulisan KAWASAN BEBAS ROKOK, (No Smoking Area) artinya kalau Anda berada di kawasan itu, Anda dilarang merokok. Begitu pula dengan semua pesawat lin domestik adalah penerbangan BEBAS ASAP ROKOK (No Smoking Flight).

Sebelum naik ke pesawat penerbangan internasional, biasanya turis asing melihat-lihat di toko-toko yang menjual barang-barang BEBAS CUKAI (duty free) dalam bandara, artinya barang-barang yang dijual di situ tidak dikenakan cukai. Kalau Anda rajin membaca koran, Anda akan menemukan pula kata-kata seperti BEBAS BANJIR, BEBAS BECAK, BEBAS MALARIA dll.

Pengertian BEBAS dalam kata-kata, BEBAS ROKOK, artinya dilarang merokok. BEBAS CUKAI, artinya tidak dikenakan cukai, BEBAS BANJIR, artinya tidak ada bahaya dilanda banjir, BEBAS BECAK, artinya jalan-jalan yang tidak boleh dilalui becak. BEBAS MALARIA, artinya tidak terdapat wabah malaria.

Nah, bagaimana dengan tulisan BEBAS PARKIR yang masih terpampang di depan sejumlah apotek, pasar swalayan atau tempat-tempat tertentu? Samakah artinya dengan BEBAS ROKOK atau BEBAS CUKAI?

Justru BEBAS PARKIR mengandung pengertian sebaliknya, bahwa di tempat itu tidak dilarang parkir. Jadi Anda boleh parkir seenaknya. Seharusnya kalau ingin supaya tempat itu tidak boleh digunakan untuk parkir harus ditulis DILARANG PARKIR (no parking) dan bukan BEBAS PARKIR (free parking). Rupanya kesalahan ini tidak disadari…!!!

Di mana letak kesalahannya? Kalau kita melihat kata BEBAS ROKOK, misalnya, kata rokok adalah kata benda. Begitu pula dengan kata cukai, becak, banjir, dan malaria. Sedangkan kata parkir bukan kata benda melainkan kata kerja. Kalau kata BEBAS diikuti kata kerja, justru akan mengandung arti sebaliknya. Misalnya BEBAS ROKOK, artinya dilarang merokok, tetapi dalam hal BEBAS MEROKOK, artinya Anda boleh merokok sepuas-puasnya. Jadi sebaiknya tulisan BEBAS PARKIR diganti dengan DILARANG PARKIR kalau tujuannya supaya kendaraan tidak boleh parkir di situ.

Yah, suatu kekeliruan kecil yang bisa menimbulkan kesalahfahaman besar karena tidak menguasai pemakaian bahasa Indonesia dengan teliti dan cermat. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa36.html
READ MORE - BEBAS PARKIR = BOLEH PARKIR ATAU DILARANG PARKIR?

Kesalahan Umum: Mempengaruhi-Memperhatikan-Memperkosa

Kalau membaca berita atau artikel dalam media massa, kita masih menjumpai kata-kata, seperti : mempengaruhi, memperhatikan, memperkosa dan sebagainya. Namun dilihat, dari segi tata bahasa baku, khususnya pemakaian awalan "me-"pada kata-kata tersebut tidak tepat.

Anda pernah belajar bahwa, huruf awal kata dasar "p"bila diberi awalan "me-", huruf "p" mengalami pelunturan menjadi "m".

Contoh:


















kata dasarawalan "me-"
periksamemeriksa (bukan memperiksa)
perintahmemerintah (bukan memperintah)
peliharamemelihara (bukan mempelihara)

Dengan demikian, secara konsekuen,kata-kata berikut ini pun harus mengikuti kaidah tersebut di atas.

Contoh:






































kata dasarawalan "me-"
pengaruhmemengaruhi (bukan mempengaruhi)
perhatimemerhatikan (bukan memperhatikan)
perkosamemerkosa (bukan memperkosa)
perincimemerinci (bukan memperinci)
positifmemositifkan (bukan mempositifkan)
pesonamemesona (bukan mempesona)
percayamemercayai (bukan mempercayai)
populermemopulerkan (bukan mempopulerkan)

Namun, ada juga beberapa kata yang mungkin merupakan perkecualian(?)

Contoh:














kata dasarawalan "me-"
perkaramemperkarakan (bukan memerkarakan)
punyamempunyai (bukan memunyai)

________________________________________________________________________

Mudah-mudahan penjelasan singkat tersebut di atas dapat bermanfaat bagi Anda untuk mengetahui perbedaan pemakaian kata-kata yang sering dipakai dalam media massa maupun percakapan dan dianggap lumrah. Namun dari segi tata bahasa baku merupakan kesalahan umum. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa33.html
READ MORE - Kesalahan Umum: Mempengaruhi-Memperhatikan-Memperkosa

AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA KEPADAMU, ATAU AKU CINTA KAMU?

Pada Hari Kasih Sayang (Hari Valentine) atau hari ulang tahun (ultah), mungkin Anda menerima sekotak coklat Godiva, Morozoff, atau hadiah lain dari istri, suami, pacar atau teman tapi mesra (TTM) dengan tulisan apik: AKU CINTA PADAMU … Ungkapan rasa kasih sayang dan cinta sangat bervariasi baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.

Benarkah pemakaian: “Aku cinta padamu” atau “Aku cinta kepadamu” menurut kaidah bahasa Indonesia yang baku?
Marilah kita simak pemakaian kata depan (preposisi) “pada” dan “kepada”.

1. Kata depan (preposisi) Pada
(1) Kalau kata depan “di” digunakan untuk menyatakan “tempat yang sebenarnya”, (di Tokyo, di kamar dll.) maka kata depan “pada” diletakkan di muka kata benda (nomina) atau frase benda yang “bukan nama tempat sebenarnya” (pada perusahaan, pada departemen dll.) sebagai varian dari kata depan “di”.
Contoh:
a. Dia bekerja sebagai supir pada sebuah perusahaan dagang di Tokyo..
b. Perasaan sedih dan sepi masih terbayang pada wajahnya.
c. Aku ingin tahu,masih adakah perasaan cinta pada dirimu?

(2) Kata depan “pada” digunakan untuk menyatakan “tempat keberadaan.”. Letaknya di muka kata ganti orang (pronomina), nama perkerabatan, nama pangkat dan gelar.
Contoh:
a. Kunci kamarmu ada pada ibu.
b. Pada saya ada beberapa foto kenangan bersama kamu.
c. Oleh-oleh untuk kamu saya titipkan pada Maria.

Catatan:
Kata depan “pada” sebaiknya tidak digunakan di depan obyek dalam kalimat yang predikatnya mengandung makna “tertuju terhadap sesuatu”. Dalam hal ini kata depan “pada” sebaiknya diganti dengan kata depan “kepada”.
Contoh:
a. Dia minta tolong pada ayahnya. (x)
? Dia minta tolong kepada ayahnya.(?)
b. Kecaman itu ditujukan pada pemerintah.(x)
? Kecaman itu ditujukan kepada pemerintah.(?)
c. Hadiah ini kuberikan sebagai tanda cinta pada kamu.(x)
? Hadiah ini kuberikan sebagai tanda cinta kepada kamu. (?)

2. Kata depan (preposisi) Kepada
(1) Kata depan “kepada” digunakan untuk menyatakan “tempat yang dituju”. Letaknya di depan obyek dalam kalimat yang predikatnya mengandung makna “tertuju terhadap sesuatu”. Kalau kata depan “ke” menyatakan “arah tempat yang sebenarnya”, maka kata depan “kepada” menyatakan “arah tempat yang tidak sebenarnya”.

Contoh:
a. Kami ke pos polisi untuk melaporkan hal itu kepada polisi.
b. Mereka akan minta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
c. Setiap tamu yang datang ke desa itu harus melapor kepada kepala desa.

(2) Sebagai varian kata depan “akan” dapat digunakan kata depan “kepada” untuk menyatakan “arah yang dituju”.
Contoh:
a. Pada malam hari anak itu takut sekali kepada hantu.
b. Dia selalu ingat kepada pacarnya yang tinggal di Bandung.
c. Karyawan itu ditegur karena lupa kepada kewajibannya

Setelah meneliti uraian singkat tentang pemakaian kata depan “pada” dan “kepada” di atas, lalu timbul pertanyaan, manakah ungkapan yang tepat ? “Aku cinta padamu” atau “Aku cinta kepadamu”? Nah, bagaimana pendapat Anda? Nah, ungkapan yang benar seharusnya: “AKU CINTA KAMU” tanpa kata depan “pada” atau “kepada”. Mengapa? Tidak sulit. Bukankah dalam bahasa Inggris digunakan ungkapan “ I LOVE YOU”, atau bahasa SMS-nya ILU, dan bukan “I love to you”(IL2U)? Namun, dalam soal ungkapan rasa cinta tidak perlu kaidah tata bahasa yang rumit. ***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa31.html
READ MORE - AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA KEPADAMU, ATAU AKU CINTA KAMU?