PEMBENTUKAN KATA DENGAN UNSUR LAIN (I)

Dalam perkembangan bahasa Indonesia dapat dicatat dua hal yang terkait masalah pembentukan kata. Kedua hal tersebut ialah:
Pertama, digunakannya sejumlah kata asli Indonesia sebagai sarana pembentukan kata baru. Misalnya kata-kata: alih, aneka, antar, anti, baku, maha, salah, serba, tata. Kedua, digunakannya sejumlah imbuhan dari bahasa asing dalam pembentukan kata baru. Misalnya kata-kata: eks, ekstra, intra, ko, kontra, non, panca, pasca, pro, pra, purna,super, semi, man, wan, wati.

1.alih
Pembentukan kata baru dengan kata alih memberi makna “memindahkan (transfer)” atau “mengubah”. Penulisannya dipisahkan dari kata berikutnya.
alih bahasa = penerjemahan ????? alih generasi = regenerasi
alih teknologi = transfer teknologi, ??alih tugas = pindah jabatan

2. aneka
Pembentukan kata baru dengan aneka memberi makna “berbagai macam”. Penulisannya dipisahkan dari kata berikutnya.
aneka ria = berbagai kegembiraan
aneka warna = bermacam-macam warna
aneka pertunjukan = berbagai pertunjukan
aneka ragam = berbagai jenis

3. antar
Pembentukan kata baru dengan kata antar memberi makna “di antara lebih dari dua hal”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
antarbangsa = antara beberapa bangsa
antarpulau = antara pulau
antarkota = antara kota yang satu dengan yang lain
antarras = antara ras yang satu dengan yang lain

4. anti
Pembentukan kata baru dengan kata anti memberi makna “tidak setuju”, ”lawan” atau “musuh”. Penulisannya tidak dipisahkan dari kata berikutnya.
antibiotik = obat untuk menghambat atau menghancurkan bakteri
antipeluru = tahan tembakan dengan peluru
antihamil = pencegah kehamilan
antitank = bersifat dapat melumpuhkan tank

5. baku
Pembentukan kata baru dengan kata baku memberi makna “saling” atau “berbalasan” (resiprokal). Penulisanya disatukan dengan kata berikutnya.
bakuhantam = saling menghantam (berkelahi)
bakutembak = saling menembak
bakupeluk = saling memeluk
bakucium = saling mencium

6. maha
Pembentukan kata baru dengan kata maha memberi makna “sangat” atau “besar”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
mahabintang = orang yang terkenal karena prestasinya (dalam olahraga dll) mahakarya = karya besar, karya gemilang
mahasiswa = orang yang belajar pada perguruan tinggi
mahatahu = teramat tahu
Catatan : Apabila kata itu digunakan untuk Tuhan, harus ditulis dengan huruf besar. Contoh: (Tuhan Yang) Mahatahu, Mahasuci, Mahakuasa. Namun untuk kata esa = tunggal), ditulis terpisah, yaitu (Tuhan Yang ) Maha Esa = amat tunggal.

7. salah
Pembentukan kata baru dengan kata salah memberi makna “keliru”, “tidak benar” atau “kurang tepat”. Penulisannya dipisahkan dari kata berikutnya.
salah sangka = salah mengerti ????????
salah tanggap = salah faham
salah cetak = salah tulisan dalam cetakan??
salah pilih = salah dalam memilih

8. serba
Pembentukan kata baru dengan kata serba memberi makna “semua”, ”seluruh”, atau “belaka”. Penulisannya disatukan dengan kata berikutnya.
serbaada = segala-galanya ada
serbaguna = dapat digunakan untuk segala hal
serbaserbi = bermacam-macam
serbamewah = segalanya mewah

9. tata
Pembentukan kata baru dengan kata tata memberi makna “aturan”, ”susunan”, atau “cara”. Penulisannya dipisahkan dari kata berikutnya.
tata bahasa = gramatika ???tata krama = etiket, adat sopan santun
tata kerja = sistem bekerja ? tata warna = kombinasi warna

10. temu
Pembentukan kata baru dengan kata temu memberi makna “berkumpul untuk”.
Penulisannya dipisahkan dari kata berikutnya.
temu karya = lokakarya,sanggar kerja
temu muka = tatap muka, berhadapan muka
temu duga = tanya jawab antara yang memberi pekerjaan dan yang melamar pekerjaan, wawancara.
temu niaga = pertemuan antara produsen dan pengusaha untuk membicarakan niaga di antara mereka.
Pembentukan kata dengan unsur lain tersebut turut memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Namun, perlu diperhatikan cara penulisannya, yaitu ada yang dipisahkan dan ada pula yang disatukan.
***

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa29.html
READ MORE - PEMBENTUKAN KATA DENGAN UNSUR LAIN (I)

Permukiman, Pemukiman, Pelayanan, dan Layanan

Dalam pemakaiannya kata permukiman bersaing dengan kata pemukinan. Lalu, bentukan mana yang sebenarnya paling tepat? Kedua kata tersebut tergolong baku, artinya benar kalau dipakai sesuai dengan konteksnya..

1. Kata permukiman digunakan dalam konteks “tempat bermukim” atau “daerah perumahan”.
2. Kata pemukiman digunakan dalam konteks “proses memukimkan”.

Contoh:
1. Keluarga itu akan membeli rumah di permukiman Citra Land.
2. Pemerintah sedang memikirkan pemukiman kembali pengungsi Timor Timur prointergrasi.
Demikian pula dengan kata pelayanan dan kata layanan.
3. Kata pelayanan digunakan dalam konteks “proses melayani”.
4. Kata layanan digunakan dalam konteks “hasil melayani” atau “perbuatan melayani”.

Contoh:
3. Pegawai hotel itu kurang memberikan layanan yang memuaskan.
4. Pelayanan kepada masyarakat di kantor-kanor kelurahan sangat sederhana dan tidak berbelit-belit.

Dalam kaitan pemakaian kata-kata tersebut di atas, timbul pertanyaan bagaimana dengan kata keputusan, putusan, kesimpulan, dan simpulan? Tidak dapat disangkal bahwa dalam pemakaiannya, kata kesimpulan bersaing dengan kata simpulan. Demikian pula dengan kata keputusan dan putusan. Namun, menurut Buku Praktis Bahasa Indonesia, terbitan Pusat Bahasa Depdiknas dan Buku 1001 Kesalahan Berbahasa (Zinal Arifin-Farid Hadi), bentukan baku dan tertib adalah putusan dan simpulan.
5. Kata simpulan artinya “hasil menyimpulkan”.
6. Kata putusan artinya “hasil memutuskan”.

Contoh pemakaian kata kesimpulan dan kata keputusan yang dianggap kurang baku atau kurang rapi.
??1. Sebuah karya ilmiah yang baik harus mengandung bab pendahuluan, analisis, dan kesimpulan.
??2. Sejalan dengan keputusan pemerintah, bea masuk barang mewah dinaikkan 20 %.
Akan lebih rapi dan baku kalau contoh di atas diganti sebagai berikut:
??1. Sebuah karya ilmiah yang baik harus mengandung bab pendahuluan, analisis dan simpulan.
??2. Sejalan dengan putusan pemerintah, bea masuk barang mewah dinaikkan 20 %.
***
Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa28.html
READ MORE - Permukiman, Pemukiman, Pelayanan, dan Layanan

Awalan “se-“ dan Imbuhan Gabungan “se-nya”

I.Awalan “se-“.
Awalan “se-“ berfungsi membentuk kata keterangan (adverbia), sedangkan makna yang didapat sebagai hasil proses pengimbuhannya adalah menyatakan:
1. satu ??2. seluruh atau segenap ??3. sebanding, sama, serupa atau seperti
4. sama waktu atau pada waktu ??5. seberapa, sebanyak, sesuai

1. Untuk mendapatkan makna “satu” awalan “se-“ diimbuhkan pada kata benda (nomina) dan kata-kata yang menyatakan satuan ukuran.
Contoh:
a) Dia memesan segelas bir dingin dan seporsi sate kambing.
? (segelas, seporsi artinya satugelas, satu porsi)
b). Berapa harga seliter bensin sekarang?
? (seliter artinya satu liter)
c) Aya sepesawat dengan saya waktu berlibur ke Pulau Bali.
??(sepesawat artinya satu pesawat)
d) Ada serombongan wisatawan Jepang menginap di hotel ini.
??(serombongan artinya satu rombongan)

2. Untuk mendapat makna “seluruh atau segenap” awalan “se-“ diimbuhkan pada kata benda (nomina).
Contoh:
a) Menteri Dalam Negeri membuka rapat kerja gubernur se-Indonesia.
? (se-Indonesia artinya seluruh Indonesia)
b) Penduduk sedesa itu kena penyakit demam berdarah.
? (sedesa artinya seluruh desa)
c) Gara-gara dia siswa-siswa sekelas kena hukuman.
? (sekelas artinya seluruh kelas)

3. Untuk mendapatkan makna “sebanding, sama, atau serupa”, awalan “se-“ dimbuhkan pada kata sifat (adjektiva).
Contoh:
a).Ombak setinggi bukit telah menenggelamkan kapal nelayan itu.
? (setinggi artinya sama tinggi dengan (bukit)
b).Menurut selera saya masakan ini tidak seenak masakan ibu.
? (seenak artinya sama enak seperti (masakan)
c) Miki ingin punya pacar seganteng bintang film Tom Cruise.
? (seganteng artinya sama ganteng serupa (bintang film)

4. Untuk mendapatkan makna “sama waktu atau pada waktu” awalan “se-“ diimbuhkan pada kata kerja (verba).
Contoh:
a) Sekembali dari Indonesia dia sibuk dengan pekerjaan di kantor.
? (sekembali artinya begitu kembali)
b) Sedatang presiden direktur segera diadakan rapat staf.
? (sedatang artinya begitu atau pada waktu (presiden direktur) datang)
c) Setiba di bandara mereka dijemput oleh karyawan hotel itu.
? (setiba artinya begitu atau pada waktu (tiba)

5. Untuk mendapatkan makna “sebanyak, seberapa atau sesuai” awalan “se-“ diimbuhkan pada kata kerja (verba) yang menyatakan sikap atau kesanggupan.
Contoh:
a). Di sini kita bisa bermain-main sepuas hati kita.
? (sepuas artinya seberapa atau sampai (hati kita) puas)
b) Kerjakanlah sedapatmu, jangan terlalu memaksakan diri.
? (sedapatmu artinya sebanyak yang (kamu) dapat)
c) Kamu boleh beristirahat di kamar itu semaumu.
? (semaumu artinya seberapa atau sesuai dengan (kamu) mau)
Catatan : Awalan “se-“ pada kata-kata seperti setelah, sesudah, sebelum, dansehingga berfungsi membentuk kata penghubung (konjungsi).

II. Imbuhan Gabung “se-nya”.
Imbuhan gabung “se-nya” adalah awalan “se-“ dan akhiran “-nya” yang digabungkan pada sebuah kata dasar.
Imbuhan gabung “se-nya” berfungsi membentuk (a) kata penghubung (konjungsi),
(b) kata keterangan (adverbia).

1. Imbuhan “se-nya” sebagai kata pembentuk kata penghubung (konjungsi) digunakan secara terbatas pada beberapa kata tertentu dari jenis kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), atau kata keterangan ( adverbia).
Contoh:
a. Kami akan membeli mobil baru sekiranya ada uang lebih
? (sekiranya artinya umpamanya, andai kata atau kalau).
b. Sebaiknya kamu tidak berpacaran dengan gadis matre itu.
? (sebaiknya artinya lebih baik)

2. Imbuhan “se-nya” sebagai pembentuk kata keterangan (adverbia) digunakan secara terbatas pada beberapa kata kerja (verba) dan kata sifat(adjektiva).
Contoh:
a. Dia jatuh sakit sekembalinya dari berlibur di Pulau Bali.
? (sekembalinya artinya pada saat kembali)
b. Jangan bicara seenaknya tanpa mengindahkan perasaan orang lain.
? (seenaknya artinya enak saja, sembarangan atau semau hati )

Catatan:
Berbeda dengan akhiran”-nya pada kata sepatutnya, sekiranya dll., kata “-nya” pada kata seperti sedapatnya, sepuasnya, sekenyangnya, seenaknya, semaunya, adalah kata ganti orang ketiga, bukan akhiran “-nya”, sebab posisinya dapat diganti dengan “-mu”, misalnya, sedapatmu, sepuasmu, sekenyangmu, seenakmu, semaumu.
***

http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa27.html
READ MORE - Awalan “se-“ dan Imbuhan Gabungan “se-nya”

“MEREKA-MEREKA”, DAPATKAH DIBENARKAN?

Oleh J.S. Badudu

Dalam bahasa, kita mengenal apa yang disebut sebagai kata ganti orang atau pronomina. Khusus dalam bahasa Indonesia, ada beberapa macam kata ganti ini. Ada kata ganti orang pertama (yang berbicara), seperti “aku”, “saya”, “hamba” (tunggal) dan “kami”, “kita” (bentuk jamak). Ada juga kata ganti orang kedua (yang diajak bicara), yakni “engkau”, “kau”, “kamu” (tunggal) dan “kalian” (jamak). Terakhir, kata ganti orang ketiga (yang dibicarakan), misalnya “ia”, “dia”, “beliau” (tunggal) dan “mereka” (jamak).

Kata “aku” lebih bersifat akrab dan intim, karena biasanya digunakan dalam lingkungan keluarga, sahabat, atau teman dekat. Sering juga digunakan jika orang yang diajak bicara lebih muda usianya, atau lebih rendah kedudukannya dari yang berbicara. Untuk orang yang lebih tua atau atasan, lazimnya digunakan “saya” yang lebih halus dari “aku”.

Sedangkan kata “hamba” biasanya ditujukan kepada Tuhan. Misalnya, saat berdoa, seseorang mengucapkan, “Oh Tuhan, berilah hambamu rezeki yang cukup.” Oh ya, ada lagi kata yang dulu sering digunakan terhadap raja (mudah ditemui dalam karya sastra lama), semisal kata “patik”. Namun dalam sastra modern, kata ini hampir tidak pernah dipakai lagi.

Berikutnya, kata “kami” digunakan untuk orang pertama jamak. Selain itu, dikenal juga kata “kita”, yang digunakan bila orang yang diajak bicara (orang kedua) termasuk di dalamnya. Ini fenomena yang agak unik. Sebab dalam bahasa Inggris, Belanda, maupun Arab, hanya dikenal satu bentuk kata yang mencakup pengertian, baik “kami” maupun “kita”. Inggris punya we, Belanda wij, dan Arab nahnu.

Kata ganti orang kedua yang lebih halus, belakangan sering dipakai “Anda” atau “saudara”, atau kata-kata benda untuk kata sapaan, seperti “ibu”, “bapak”, “tuan”, “saudara paman”, “bibi”. Sedangkan kata ganti orang ketiga (orang yang dibicarakan), bentuk tunggalnya menggunakan “ia”, “dia”, atau “beliau”, sedangkan jamaknya “mereka”. Bahasa Inggrisnya : they, Belanda zij, Arab hum (laki-laki) dan hunna (perempuan).

Banyak peminat bahasa menanyakan penggunaan kata mereka yang diulang menjadi “mereka-mereka”. Padahal, “mereka” itu sendiri sudah mengandung pengertian jamak. Misalnya dalam kalimat: Mereka-mereka yang datang ke pesta itu semuanya berpakaian bagus. Atau, Setujukah kau dengan yang diusulkan mereka-mereka itu? Jelas pengulangan kata “mereka-mereka” dalam kedua kalimat di a
READ MORE - “MEREKA-MEREKA”, DAPATKAH DIBENARKAN?

Dibalik atau Di Balik?

Dibalik?
Oleh Polisi EYD

rony.digitalmediaworks.web.id: Dibalik Cerita Dahyang Sumbi.

Pemakaian kata depan di dan awalan di- yang sering tertukar adalah termasuk kesalahan yang paling banyak dilakukan. Beberapa kesalahan tersebut dapat langsung kita lihat dari kata yang mengikutinya. Misalnya, kata “dipasar” sudah tentu salah karena pasar adalah kata benda sehingga penulisan yang benar adalah “di pasar”. Demikian juga halnya dengan kata “di makan”, sudah jelas salah karena makan adalah kata kerja sehingga kata tersebut seharusnya ditulis “dimakan”.

Namun ada pula kata benda yang dapat diperlakukan sebagai kata kerja, atau yang berubah menjadi kata kerja setelah diberi awalan me- atau di- sehingga penambahan awalan di- ataupun kata depan di tidak bisa serta merta kita nilai kesalahannya tanpa melihat konteks kalimat secara keseluruhan.

Penulisan kata “dibalik”, misalnya, adalah benar pada kalimat “Agar tidak kotor, kertas itu harus dibalik“, tetapi salah pada kalimat “Siapa otak dibalik pembunuhan itu?”.

Andaikan kalimat Fakta Dibalik Ledakan Bom London adalah benar, maka kalimat tersebut bisa kita tulis ulang menjadi Ledakan Bom London Membalik Fakta. Apakah itu yang dimaksud dalam kalimat ini? :)

Hasil pencarian di Google menghasilkan begitu banyak kesalahan pemakaian kata “di balik”. Dari sekitar 29.300 situs yang muncul, 90 situs pertama yang saya amati menggunakan kata “dibalik” yang salah alih-alih “di balik”.
READ MORE - Dibalik atau Di Balik?

Interjeksi

Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara.

Untuk memperkuat rasa hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu di samping kalimat yang mengandung maksud pokok.

Di bawah ini diberikan beberapa jenis interjeksi dan contohnya.
1. Interjeksi kejijikan : bah, cih, cis, ih, idih (idiih)

?Contoh: a. Bah, segera kau keluar dari kamar ini juga!
? b. Cih, tidak tahu malu ! Maunya ditraktir orang melulu!
? c. Cis, gua muak lihat muka lu ! Dasar cowok enggak tau diri!
? d. Ih, mulutmu bau amat, sih! Nggak pernah disikat, 'kali!
? e. Idih, WC-nya bau pesing banget ! Jijik, ah!

2. Interjeksi kekesalan atau kecewa: brengsek, sialan, buset (busyet) , keparat, celaka

?Contoh: a. Brengsek, disuruh ngebantuin malah ngomel!
? b. Sialan, baru mau tidur sudah dibangunin!
? c. Buset, aku dimarahi guru gara-gara kamu!
? d. Keparat, dompet saya kecopetan di pasar!
? e. Celaka, kopornya ketinggalan di lobi bandara!

3. Interjeksi kekaguman atau kepuasan: aduh (duh), aduhai, amboi, asyik, wah

?Contoh: a. Aduh, cantik sekali kamu malam ini!
? b. Aduhai, indah sekali pemandangan di sini!
? c. Amboi, akhirnya sampai juga kita dengan selamat!
? d. Asyik, nikmatnya kita duduk-duduk di pantai yang sepi ini.
? e. Wah, goyang dangdut penyanyi itu benar-benar seksi!

4. Interjeksi kesyukuran: syukur, alhamdulillah, untung

Contoh: a. Syukur, kamu dapat diterima pada perusahaan itu!
????? b. Alhamdulillah, keluarga saya luput dari kecelakaan itu.
???? ?c. Untung, waktu terjadi kerusuhan itu toko kami tidak dijarah.

5. Interjeksi harapan : insya Allah, mudah-mudahan, semoga

?Contoh: a. Insya Allah, saya akan datang ke pesta pernikahanmu!
???b. Mudah-mudahan Anda tiba dengan selamat di tanah air!
? c. Semoga cita-citamu lekas tercapai!

6. Interjeksi keheranan : aduh, aih, ai, lo, duilah, eh, oh, ah

?Contoh: a. Aduh, kamu kok suka gonta ganti pacar!
? b. Aih, kurus amat kamu sekarang ini ! Lagi diet?
? c. Ai, tasnya keren banget! Merek apa, sih?
? d. Lo, masa nggak kenal lagi! Kamu 'kan teman sekolahku di SMP.
? e. Duilah, begitu saja kamu tidak bisa!
? ?f. Eh, aku heran dia bisa lulus ujian. Pada hal jarang belajar!
? g. Oh, saya baru tahu kalau kamu sudah menikah
h. Ah, saya tidak kira kalau kamu pandai bahasa Korea.

7. Interjekasi kekagetan: astaga, astagafirullah, masyaallah, masa, alamak, gila (gile)

?Contoh: a. Astaga, mahal amat baju ini! Nggak sanggup beli, deh!
???????b. Astagafirullah, seluruh keluarganya dibantai perampok?
???????c. Masyallah, pamanmu punya bini muda lagi?
???????d. Masa, si Ria udah hamil? Kan dianya belon menikah.
???????e. Alamak, dandanan cewek-cewek bachiguro itu serem banget!
???????f. Gile, dia bisa abisin bir selusin sendirian tapi nggak mabuk!

8. Interjeksi ajakan : ayo, yuk, mari

Contoh : a. Ayo,, siapa mau ikut minum-minum ke kedai minum?
b. Yuk, kita pergi barengan ke Shibuya!
c. Mari, dicoba kuenya. Jangan malu-malu!

9. Interjeksi panggilan : hai, he, hei, eh, halo (alo)

Contoh : a. Hai, kapan kamu datang dari Tokyo?
b. He, di mana si Alya tinggal sekarang?
c.. Hei, tolong beliin gua rokok sebungkus!

d. Eh, mau ikut nggak ngedugem malam ini!
e. Halo, apa kabar, sayang!

10. Interjeksi marah atau makian: goblok, tolol, anjing, sontoloyo

Contoh: a. Goblok, sudah diajarin juga nggak ngerti-ngerti.
???????b. Tolol, kopinya bukan diisi gula tapi garam!
???????c. Anjing, berani-beranian colek pantat gua!
???????d. Sontoloyo, kerjaan segampang ini nggak becus!

Perlu diperhatikan bahwa banyak dari interjeksi itu dipakai dalam bahasa lisan atau bahasa tulis berbentuk percakapan. Pada bahasa tulis yang tidak merupakan percakapan, khususnya yang bersifat formal, interjeksi jarang dipakai.
READ MORE - Interjeksi

Efisiensi Bahasa Gaya Jurnalistik

Ragam bahasa jurnalistik memang sering ditandai oleh efisiensi penggunaan tanda baca, diksi, dan kalimat. Akan tetapi, efisiensi itu tak jarang harus dibayar mahal, karena berbuntut kebingungan pada diri pembaca.
“Maunya irit koma, tapi yang terjadi justru orot (boro-Red) pikiran. Sebab, dengan penghilangan koma, pembaca malahan jadi kebingungan. Jadi, mana yang lebih mahal, harga sebuah titik atau kebingungan npembaca?” kata pakar linguistik, Dr. Sudaryanto, di depan guru-dosen bahasa dan redaktur Suara Merdeka.

Sudaryanto mengemukakan hal itu pada Dialog Bahasa dengan Guru-Dosen di kantor Redaksi Suara Merdeka, Jl. Kaligawe, Selasa (29/10/2002). Selain Sudaryanto, tampil sebagai pembicara guru SLTP 2 Pegandon, Drs. Sawali Tuhusetya dan redaktur bahasa Suara Merdeka Gunawan Budi Susanto, SS.

Dosen Universitas Widya Dharma Klaten itu juga mengemukakan, ragam bahasa jurnalistik mengandung kekuatan yang nggegirisi, menggentarkan, dan menggetarkan. “Kekuatan itu bisa muncul dalam aneka bentuk, pancamuka. Bisa bermuka raksasa ganas bila daya ledak tinggi yang ditonjolkan; bisa berwajah bengawan waskita bila kesejukan angin pegunungan yang disemilirkan; bisa bertampang pemabuk teler bila aroma minuman keras yang ditebarkan. Semua itu bergantung pada niat sang jurnalis yang memanfaatkan ragam jurnalistik, katanya.

Kepolosan Hati
Karena itu, menurut dia, bagi seorang jurnalis, alasnya adalah “kepolosan hati” dengan orientasi “terketahuinya persitiwa demi peristiwa kebenaran atau kenyataan yang tak terbantahkan.”

Senada dengan Sudaryanto, Sawali mengungkapkan, prinsip efisiensi berbahasa pada ragam jurnalistik tak jarang memunculkan gejala deviasi. “Sebenarnya sah-sah saja ragam bahasa jurnalistik mengekspresikan ide-ide dengan karakteristik itu. Akan tetapi, jangan terlalu banyak menabrak kaidah bahasa standar jika bahasa jurnalistik ingin memainkan misi pendidikan bahasa bagi masyarakat,” katanya.

Distansi yang terlalu jauh antara ragam bahasa jurnalistik dan ragam bahasa standar yang diajarkan di sekolah, kata Sawali, akan membingungkan para siswa. “Karena itu diperlukan kebijakan untuk memperpendek jarak tersebut,” katanya. ***
READ MORE - Efisiensi Bahasa Gaya Jurnalistik

Bahasa Indonesia di Tengah Pertarungan Globalisasi

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.

Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir.

Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.

Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia?masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi?

Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?

Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.

Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah “laku”. Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.

Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.

Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.

Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara.

Tiga Agenda
Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku.

Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.

Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi “patron” dan anutan.

Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.

Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang moden, tetap tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya. ***
READ MORE - Bahasa Indonesia di Tengah Pertarungan Globalisasi

Kaidah Ejaan (Bagian 1)

Dalam bahasa Indonesia terdapat kata dasar, kata berimbuhan (awalan, sisipan, akhiran) kata ulang, dan kata majemuk.

1. Kata dasar ditulis sebagai kesatuan yang berdiri sendiri.
Contoh: sahabat, daerah, datang, pergi, panas, dingin dsb.

2. Imbuhan (awalan atau akhiran) pada kata turunan ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Contoh : bermain, menari, tertawa, dianggap, seorang, biarkan, jumpai dsb.

3. Gabungan kata yang hanya mendapat awalan atau akhiran, awalan atau akhiran itu dituliskan serangkai dengan kata yang bersangkutan saja.

Contoh:
































Gabungan KataBentuk SalahBentuk Benar
tanda tanganbertandatanganbertanda tangan
beri tahumemberitahumemberi tahu
kerja samabekerjasamabekerja sama
sebar luassebarluaskansebar luaskan
ikut sertaikutsertakanikut sertakan

4. Kalau gabungan kata sekaligus mendapat awalan dan akhiran,bentuk kata turunannya harus dituliskan serangkai seluruhnya.
Contoh:










































Gabungan KataBentuk SalahBentuk Benar
tanda tanganditanda tanganiditandatangani
beri tahupemberi tahuanpemberitahuan
simpang siurkesimpang siurankesimpangsiuran
tidak adilketidak adilanketidakadilan
sebar luasmenyebar?luaskanmenyebarluaskan
kurang tahukekurang tahuankekurangtahuan
rumah sakitdirumah sakitkandirumahsakitkan

5. Kata ulang ditulis secara lengkap dengan memakai tanda hubung.
Contoh:


























Bentuk SalahBentuk Benar
jalan2Jalan-jalan
gonta gantiGonta-ganti
ramah tamahramah-tamah
pilah pilihpilah-pilih
simpang siursimpang-siur

Masih banyak kita jumpai penulisan ejaan yang tidak tepat berdasarkan kaidah ejaan. Mungkin karena belum memahami betul caranya atau kurang teliti. Namun, setiap bahasa memiliki kaidah yang harus ditaati bila memakai bahasa resmi tertulis. Mengingat kali ini uraian mengenai kaidah ejaan cukup banyak, sehingga terpaksa dibagi dalam beberapa bagian yang bersambung. Sampai jumpa lagi pada Bagian II.

Sumber: http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa11.html
READ MORE - Kaidah Ejaan (Bagian 1)

Penggunaan Kata Penghubung "tetapi", "Akan tetapi", dan "Namun"

Perhatikan dengan saksama kalimat berikut ini!
1. Banyak wanita cantik. Tetapi tidak banyak yang menjadi seorang diva.
2. Wajah Tamara agak pucat, namun dia tetap tampil dengan senyum.

Pemakaian kata penghubung tetapi dan namun pada kalimat-kalimat di atas secara baku tidak tepat. Memang, bahasa dalam media massa kadang-kadang kurang memperhatikan kaidah tata bahasa yang baku.

Penggunaan kata penghubung yang benar adalah sebagai berikut.
A._________________, tetapi ______________ (intrakalimat)
B.__________________. Akan tetapi ______________ (antarkalimat)
C.__________________. Namun ______________ (antarkalimat)

Kata penghubung tetapi merupakan kata penghubung intrakalimat.?Kata penghubung akan tetapi dan namun merupakan kata penghubung antarkalimat.

Jadi kalimat-kalimat tersebut di atas seharusnya ditulis sebagai berikut.
1. Banyak wanita cantik, tetapi tidak banyak yang menjadi seorang diva.
2. Wajah Tamara agak pucat. Namun dia tetap tampil dengan senyum.

Contoh kalimat:
A. 1. Dia sudah belajar sungguh-sungguh, tetapi tidak lulus ujian.
?? 2. Saya mau mengundang kamu ke rumah, tetapi belum sempat.
B. 1. Sudah lama saya menunggu di stasiun. Akan tetapi dia belum juga datang.
??2. Minako mau menikah dengan pria itu. Akan tetapi tidak disetujui orang tuanya.
C. 1. Dia sudah berobat ke rumah sakit. Namun penyakitnya tidak sembuh-sembuh.
??2. Karyawan itu sering bekerja lembur. Namun dia tidak mendapat tunjangan lembur.

Catatan : Kata tapi nonbaku, sedangkan yang baku ialah tetapi.

Memang dari kesalahan, kita dapat belajar sesuatu yang baru. Jadi, dalam menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tutur, jangan merasa malu bila Anda membuat kesalahan. Hal itu wajar karena Anda masih dalam taraf belajar. Pengajar Anda tentu akan membantu Anda untuk memperbaiki kesalahan tersebut, 'kan?
READ MORE - Penggunaan Kata Penghubung "tetapi", "Akan tetapi", dan "Namun"