Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Entah, produk budaya Indonesia apa lagi yang hendak dicaplok negeri Jiran. Yang pasti, hingga saat ini, sudah ada puluhan produk budaya kita yang nyata-nyata telah diklaim dan dipatenkan oleh sebuah negara kecil yang konon tak pernah merasakan etos perjuangan dan buta kebudayaan itu. Bagaimana tidak? Malaysia tak se-heroik Indonesia dalam berjuang merebut dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Untuk mempertahankan dan merebut eksistensi negara yang merdeka dan berdaulat penuh, Indonesia mesti berdarah-darah dan mengorbankan segalanya. Lain halnya dengan Malaysia. Mereka bisa hidup makmur karena proteksi dan belas kasihan negara lain yang dulu menjajahnya. Semua kemanjaan mereka dapatkan secara instan. Tak heran apabila Malaysia ktak pernah bisa menghargai karya cipta dan kreativitas bangsa serumpun. Mereka juga tak pernah mengenal dan mengasah kepekaan kultural. Karena tak pernah mengenal dinamika berkesenian dan berkebudayaan, merka hanya bisa menjiplak, main klaim, mencuri, dan main caplok.

Ironisnya, pemerintah kita seperti tutup mata dan tutup telinga terhadap ulah negeri jiran itu. Apa tidak pernah terusik untuk berpikir, bagaimana nasib para perajin dan pekerja seni di negeri ini jika mereka harus menyerahkan sejumlah royalty ke negeri jiran karena secara hukum, kita sudah tak memiliki hak atas produk-produk budaya yang telah dipatenkan Malaysia itu.

Ulah Malaysia juga perlu dijadikan sebagai “warning” buat bangsa kita agar tak terlalu silau dengan budaya global yang selama ini (nyaris) telah menggerus jati diri bangsa. Kita yang selama ini abai terhadap budaya kita sendiri, baru teriak kencang-kencang setelah diklaim negeri lain. Dalam kondisi demikian, kita perlu membangun kembali kesadaran kultural secara kolektif setelah kita terninabobokan dan terhipnotis oleh kultur global yang secara langsung maupun tidak langsung telah membuat kita terlena dan abai terhadap budaya negeri sendiri.

Dari search engine, ada beberapa produk budaya Indonesia yang diduga telah dicaplok oleh Malasyia. Berikut ini daftarnya.
1.Batik
2.Tari Pendet
3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi
9.Keris
10.Rendang Padang

batikpendetwayang kulitangklungreog-ponorogokuda_lumpingvisitmalingsiarafflesiakerisrendang-padang

Sementara itu, menurut versi budaya-indonesia.org, sudah lebih banyak lagi daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain. Berikut ini daftarnya:
  1. Batik dari Jawa oleh Adidas
  2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
  5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
  7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
  8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
  10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
  11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
  14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
  15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
  16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
  17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
  18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
  19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
  20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
  21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
  22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
  23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
  24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
  25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
  26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
  27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
  28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
  29. Kain Ulos oleh Malaysia
  30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
  31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
  32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia


Sudah saatnya kita kembali meneguhkan sikap untuk peduli dan membangun kesadaran kultural secara kolektif untuk merebut kembali produk budaya yang telah dicaplok orang itu. Sebagai bangsa yang besar, kita jangan gampang menyerah dan bersikap permisif. Ayo, rebut kembali produk-produk budaya bangsa kita yang hilang itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? ***
READ MORE - Kesadaran Kultural Indonesia yang Terkoyak

Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.

Rakor
Direktur Pembinaan TK/SD
Rakor
Jajaran Direktorat Pembinaan TK/SD
Rakor
Helvy Tiana Rosa dan Intan Savitri
Rakor
Dr. Zaim Uchrowi (Direktur Balai Pustaka)


Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.

Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.

Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.

Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?

Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis-- perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).

Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.

Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga! ***
READ MORE - Dunia Pendidikan dan Karakter Bangsa

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sanga terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.

karya sastraPergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.

Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam del-del yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.

Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa- siswa di sekolah di segala penjuru dunia.

Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.

Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya- karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.

Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas
untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.

Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahw seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.

Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.

Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.

Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra
dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita.

Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.

Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya- karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan. ***

Richard Oh Direktur Toko Buku QB
Sumber: Kompas Cyber Media
READ MORE - Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR

Ade HM Irawan dan Meti Istimurti

(Disampaikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / Hiski di Batu, 12 14 Agustus 2008)

Abstrak
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa.

Diberlakukannya Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang sekarang digunakan oleh guru di sekolah, memberikan kebebasan kepada guru untuk mengajarkan materi Bahasa Indonesia dengan menyesuaikan pada potensi, sarana, dan prasarana yang dimiliki siswa, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. KTSP memberikan peluang lebih besar kepada guru untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa. Berbagai upaya dapat dilakukan, di antaranya adalah dengan pemilihan karya sastra (cerpen anak) bernuansa kesetaraan gender sebagai bahan ajar merupakan jalan untuk memperkenalkan wacana gender pada siswa. Dengan demikian, siswa sudah mengenal wacana gender sejak dini, sehingga di masa yang akan datang, siswa diharapkan dapat memahami dan menerapkan kesetaraan gender dalam kehidupannya.

Kata Kunci: KTSP, Wacana Gender, Kreativitas Guru.

Pengantar
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin gencar. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks.

Pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra dan contoh-contoh kalimat yang bias gender

Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat persamaan gender. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia tersebut, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa. Dengan demikian, karya sastra atau kutipan karya sastra serta kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan semangat kesetaraan gender kepada generasi penerus bangsa melalui jalur formal.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Perubahan yang terjadi pada kurikulum pendidikan di Indonesia selalu didasari pada alasan perbaikan, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Namun sayangnya, perubahan tersebut justru mengarah pada opini publik yang menganggap ganti menteri ganti kurikulum. Opini tersebut dapat diterima ketika perubahan tersebut memang seakan-akan terjadi setiap kali pergantian menteri. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai reaksi masyarakat ketika muncul kabar diberlakukannya suatu kurikulum baru. Penerbit buku pendidikan jelas mengambil ancang-ancang untuk melakukan revisi pada buku teks yang diterbitkannya, guru-guru sibuk mengikuti berbagai seminar yang berkaitan dengan kurikulum baru tersebut, dan orang tua siswa harus bersiap-siap menyisihkan dana untuk membeli buku baru yang sesuai dengan kurikulum baru karena tentu saja siswa tidak dapat menggunakan buku lama, bekas kakak kelasnya, yang menggunakan kurikulum lama. Dengan kata lain, perubahan kurikulum tersebut memunculkan dua kubu, yaitu kubu yang diuntungkan dan kubu yang dirugikan.

Perubahan kurikulum merupakan salah satu persoalan yang menghiasi sistem pendidikan di Indonesia. Persoalan tersebut hingga kini masih menjadi pembicaraan para pemerhati pendidikan. Kurikulum terbaru yang kini marak dibicarakan adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Beragam reaksi masyarakat bermunculan. Bahkan, masyarakat yang pesimis membuat plesetan KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai atau Kurikulum Tingkat Sengketa Pembelajaran. Jika terus-menerus pesimis, kapan pendidikan di Indonesia akan maju? Oleh karena itu, perlulah kiranya kita mengkaji lebih dalam mengenai KTSP agar kita benar-benar memahami esensi kurikulum tersebut.

KTSP menurut Mulyasa (2006: 19-22) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Mulyasa juga menyebutkan bahwa KTSP bertujuan (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; (2) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama; dan (3) meningkatkan kompetisi yang sehat antarsatuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan di capai.

KTSP memberikan kelonggaran dan kebebasan pada satuan pendidikan untuk menyususn kurikulumnya sendiri sesuai dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki sekolah. Selain itu, KTSP juga memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam penyususnan dan pengembangan kurikulum. Meskipun hal itu sebenarnya tidak betul-betul baru, mengingat pada kurikulum sebelumnya memungkinkan keterlibatan masyarakat, seperti adanya keterlibatan Komite Sekolah dalam pelaksanaan pendidikan, tetapi paling tidak KTSP memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, yang belum pernah ada sebelumnya pada CBSA maupun KBK.

Kelonggaran dan kebebasan yang terdapat dalam KTSP hendaklah dimaknai sebagai sebuah peluang yang harus dimanfaatkan oleh para pengelola pendidikan. Peranan guru dan kepala sekolah menjadi salah satu kunci sukses penerapan KTSP di setiap sekolah. Inisiatif, gagasan-gagasan baru, semangat membangun, semangat bangkit untuk maju dan berkembang, semangat persaingan sehat benar-benar dituntut dari guru dan kepala sekolah. Pelaksanaan KTSP di sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya adalah sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta atmosfer di setiap sekolah. Hal itulah yang kemudian memunculkan berbagai masalah. Selain karena KTSP menuntut perubahan cara berpikir, KTSP juga menuntut perubahan sistem pendidikan menjadi otonomi.

Dalam kaitan dengan materi pelajaran Bahasa Indonesia, Sarumpaet (2007: 29) mengungkapkan bahwa KBK yang bersifat alamiah dan karenanya sangat mengutamakan siswa sebagai subjek, dapat menolong siswa dalam mengembangkan dan menghidupkan potensinya. Dengan demikian, jika KBK mengisyaratkan kompetensi berdasarkan pengalaman langsung yang dapat diukur secara objektif, maka materi yang harus disampiakan juga sebaiknya mempertimbangkan faktor siswa (sebagai individu yang akan memelajari), lingkungan belajar yang kondusif, dan waktu. Hadirnya KTSP ditengarai sebagai upaya untuk mempercepat keberhasilan dan peningkatan pendidikan di Indonesia sehingga wajar apabila semua faktor, ciri, dan kekuatan yang ada dalam KBK dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Dari materi itu pulalah semua syarat yang ada dalam KBK dan KTSP menuntut kompetensi tinggi dari setiap guru sebagai pengajar. Dengan demikian, kunci utama keberhasilan pendidikan terletak pada dua faktor, yaitu guru dan siswa.

Kompetensi Guru
KTSP memberikan peluang kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Setiap guru mata pelajaran wajib menyusun kurikulumnya mata pelajarannya. KTSP hanya memberikan kompetensi dasar, sedangkan indikator yang harus dicapai siswa berkaitan dengan kompetensi dasar tersebut dibuat oleh guru yang bersangkutan. Dengan demikian, dibutuhkan kompetensi guru untuk menilai potensi siswa dan lingkungannya.

Pelaksanaan KTSP di sekolah harus dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas guru yang selama ini menjadi masalah serius yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 diperoleh data yang menyebutkan bahwa dari total jumlah guru SD sebanyak 1.234. 927 orang, jumlah guru SD negeri yang tidak memenuhi kriteria layak untuk mengajar sesuai dengan bidang keilmuannya adalah 558.675 orang atau sebesar 45,2% dan pada SD swasta sebanyak 50. 542 orang atau setara dengan 4,1%.

Kondisi tersebut jelas memprihatinkan. KTSP memang sejalan dengan dinamika sosial-politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Namun, apakah KTSP dapat dilaksanakan dengan baik di setiap sekolah mengingat kualitas guru yang belum memadai? KTSP memberikan kebebasan untuk menyusun silabus, mencari dan memilih bahan ajar, tetapi wawasan dan pengetahuan guru yang bersangkutan sangat terbatas.

Dalam KTSP mata pelajaran Bahasa Indonesia, guru memiliki wewenang untuk membuat silabus yang berisi sejumlah indikator yang harus dicapai oleh siswa. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sastra menjadi bagian materi yang harus disampaikan kepada siswa. Penyatuan antara materi bahasa dengan materi sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia menuntut guru yang tidak hanya mengerti mengenai bahasa, tetapi juga mengenai sastra. Namun, apakah guru Bahasa Indonesia memiliki wawasan yang cukup mengenai sastra?

Dari pengalaman mengajar materi pembelajaran Bahasa Indonesia PGSD di Universitas Terbuka pada tahun 2008, dari 35 peserta, 20 orang salah dalam menentukan bahan ajar sastra kepada siswa Sekolah Dasar, 10 orang mengambil bahan ajar langsung dari buku teks, dan 5 orang mengambil bahan ajar secara tepat dari berbagai sumber, seperti majalah anak-anak.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mencari dan menentukan bahan ajar sastra kepada siswa sekolah dasar membutuhkan kreativitas guru agar tujuan kegiatan belajar mengajar dapat tepat sasaran. Buku ajar sebaiknya tidak dijadikan kitab suci oleh guru karena akan membatasi kreativitas guru dalam menerapkan KTSP di sekolah, tetapi buku ajar hanya dijadikan sebagai pelengkap (suplemen) bagi guru untuk mengajar.

Di luar permasalahan tersebut, sesungguhnya KTSP dalam pelajaran Bahasa Indonesia merupakan peluang untuk memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini. Kebebasan guru dalam mencari dan menentukan bahan ajar yang tepat berdasarkan potensi, sarana, dan prasarana di sekolah dan daerahnya, mempermudah wacana gender memasuki ruang pendidikan formal. Melalui berbagai cara, wacana gender dapat ditanamkan kepada siswa dengan bantuan guru dan media pendukung proses belajar mengajar. Dengan demikian, diskriminasi gender yang selama ini terjadi di masyarakat dapat terhapus secara perlahan-lahan.

Wacana Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm, 2002: 177 178), gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 4 6) mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu.

Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse (2003:69 70), mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya.

Heddy Shri Ahimsa Putra (dalam Mufidah: 3-6) menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini.
1. Gender sebagai Istilah Asing dengan Makna Tertentu : Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru.
2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya : Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender bagi masyarakat Jawa. Hal itu diakibatkan oleh konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya.
3. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial : Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial.
4. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya : Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya.
5. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis : Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya.
6. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan: Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik.

Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang disampaikan Tinneke Hellwig (2003:17) merupakan salah satu komponen dalam bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, peng(k)ajian perempuan dan sastra terlebih dahulu harus mengklarifikasi posisinya.

Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik sastra feminis disampaikan Jane Moore (dalam Hellwig: 29) sebagai sebuah kerja berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar teks.

Mengenai hal itu, Murniati (2004: 27) dalam Getar Gender menyebutkan bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.

Sekaitan dengan itu, pada proyek pengadaan buku teks untuk tingkat dasar tahun 2005, pusat perbukuan (PUSBUK) menunjukkan beberapa hal yang diinginkan atau disyaratkan pemerintah, di antaranya adalah pemilihan bacaan (sastra maupun ilmiah) dan contoh-contoh soal pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang secara sederhana mengangkat kesetaraan gender. Meskipun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender.

Pada penelitian ini, kajian gender digunakan untuk mengetahui bagaimana posisi perempuan dan laki-laki ditanamkan pada siswa dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD, khususnya dalam pemilihan karya sastra (cerpen anak) sebagai bahan ajar.

Cerpen anak
Cerpen anak adalah salah satu bahan ajar yang harus dicari dan ditentukan oleh guru dalam mengajarkan sastra. Cerpen anak sesungguhnya adalah cerpen yang memiliki segmentasi pembaca sangat jelas, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Sesuatu yang khas dari cerpen anak adalah cerita yang disampaikan sangat dekat dengan dunia anak-anak. Pada umumnya cerpen anak di Indonesia mengangkat tema tentang persahabatan, permainan, dan hal-hal yang mengandung nilai pendidikan moral, seperti: suka menolong adalah hal yang baik, menyontek adalah hal yang buruk, dan mematuhi perintah orangtua adalah sesuatu yang wajib bagi anak. Baik dan buruk dalam cerpen anak tersebut dipaparkan secara hitam putih dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak secara jelas.

Cerpen anak sebagian besar ditulis oleh orang dewasa. Oleh karena itulah, banyak cerpen anak yang disadari atau tidak oleh penulisnya, menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Selain itu, banyak cerpen yang mengandung upaya penanaman budi pekerti yang disampaikan dengan cara menggurui, bahkan tidak sesuai dengan kondisi psikologis anak. Hal- hal seperti itulah yang menyebabkan perlunya memilih bahan ajar yang tepat dalam mengajarkan sastra, terutama cerpen, pada anak-anak.

Tokoh dan peristiwa dalam cerpen dapat menjadi karakter yang menginspirasi anak. Melalui tokoh-tokoh tersebutlah, nilai-nilai budi pekerti disampaikan kepada anak sebagai pembaca karya sastra. Oleh karena itu, proses pemilihan cerpen sebagai bahan ajar di sekolah membutuhkan kepekaan guru. Guru diharapkan mampu menentukan cerpen yang tepat bagi anak untuk digunakan sebagai bahan ajar di kelas, yaitu bahan ajar sastra yang bicara tentang dunia anak-anak dengan bahasa anak-anak dan dengan tokoh yang bisa memunculkan kesan pada anak bahwa tokoh tersebut adalah dirinya atau kawannnya, bukan orang tua atau gurunya yang terkesan menggurui. Dengan kata lain, cerpen yang memberikan pesan-pesan moral secara alami pada anak, mengalir begitu saja tanpa terkesan menggurui.

Selain itu, guru diharapkan tidak hanya mengandalkan buku ajar sebagai sumber bacaan, tetapi juga mencari bahan ajar lain yang lebih tepat dengan kondisi siswanya. Bahan ajar, khususnya cerpen, yang terdapat dalam buku ajar (buku teks), sebaiknya tidak dijadikan sebagai kitab suci yang selalu diikuti karena biar bagaimanapun, gurulah yang mengetahui kondisi siswa di kelasnya. Dengan demikian, pelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, diharapkan akan menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa dan bermanfaat dalam membentuk karakter mereka.

Cerpen sebagai salah satu bahan ajar yang diterapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai media pengenalan wacana gender pada siswa. Guru dapat memilih cerpen-cerpen yang berwawasan gender untuk diperkenalkan kepada siswa melalui pencapaian empat aspek, yaitu: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Pada tahap menyimak, siswa diberikan sebuah cerpen anak sebagai bahan pembelajaran cerpen. Pada kesempatan inilah, guru dapat memilih cerpen anak yang mengandung wacana gender.

Cerpen anak yang berwacana gender, di antaranya dapat dilihat dari sisi tokoh, karakter tokoh dan peristiwa yang dialamai tokoh. Jika selama ini yang tertanam di benak anak adalah pembedaan lakai-laki dan perempuan melalui simbol-simbol, seperti; anak perempuan memiliki karakater cengeng, menyukai boneka, memakai warna pink, dan rajin membuat catatan pelajaran, sedangkan laki-laki memiliki karakter jagoan, nakal, memakai warna biru, dan malas mencatat pelajaran, maka pada pemilihan cerpen untuk bahan ajar, guru dapat menghindari cerpen-cerpen yang berisi simbol-simbol yang bias gender tersebut.

Siswa harus ditanamkan pemikiran bahwa laki-laki bisa menangis (cengeng) dan perempuan juga bisa menjadi jagoan. Oposisi biner yang selama ini melekat di benak siswa merupakan dasar pembedaan gender tersebut. Dengan penanaman wacana gender pada siswa melalui pilihan cerpen, diharapkan ketika mereka dewasa, mereka akan lebih menghargai seseorang berdasarkan kemampuannya, tidak berdasarkan jenis kelaminnya.

Pemilihan Contoh Kalimat dari Kutipan Cerpen Anak
Pada pelajaran menulis, siswa diberikan pengenalan mengenai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Setelah itu, mereka diminta untuk membuat kalimat seperti contoh kalimat yang diberikan oleh guru. Pada kesempatan itulah, guru dapat mengenalkan wacana gender pada anak.

Guru harus menghindari contoh kalimat yang bias gender, seperti: Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar, dan aku pergi ke sekolah. Contoh kalimat tersebut jelas mengandung diskriminasi gender. Kondisi yang terdapat pada kalimat tersebut, sangat tidak tepat dengan kondisi saat ini di mana perempuan bisa bekerja di luar rumah, tidak hanya mengurus rumah tangga. Kalimat tersebut membentuk kesan bahwa ayah adalah kepala rumah tangga yang bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarga dan ibu hanya sebagai pengurus rumah tangga, yang berperan sebagai sekunder di rumah tangga karena kepala rumah tangga adalah ayah.

Contoh kalimat tersebut dapat diubah menjadi kalimat yang bewawasan gender menjadi kalimat:
Bapak dan Ibu pergi ke kantor, sedangkan aku pergi ke sekolah.

Kalimat tersebut jelas menunjukkan sebuah kondisi yang bernuansa kesetaraan gender. Pada kalimat tersebut, perempuan melalui tokoh ibu, digambarkan sebagai perempuan yang bekerja di luar rumah, tidak hanya berurusan dengan masalah rumah tangga. Hal itu dapat membentuk sebuah wacana pada siswa bahwa sosok perempuan dapat maju dalam hal pekerjaan atau karier seperti halnya sosok laki-laki.

Contoh kalimat seperti itu dapat dijumpai dari cerpen anak yang digunakan sebagai bahan ajar. Dalam hal ini, diperlukan kepekaan guru untuk memilih dan menentukan kalimat-kalimat yang tepat untuk mengajarkan konsep pembentukan kalimat sekaligus menanamkan konsep kesetaraan gender kepada siswa.

Pemilihan Buku Teks
Buku teks pelajaran Bahasa Indonesia membantu siswa dalam mencapai kompetensi yang harus mereka capai pada mata pelajaran tersebut. Pada proses pemilihan buku teks untuk siswa, guru memiliki kebebasan penuh untuk menentukan buku dari penerbit mana yang paling tepat digunakan untuk siswanya. Pada kesempatan itu, guru memiliki peluang untuk memilih buku yang tidak bias gender.

Pusat Perbukuan pada 2005 telah menyeleksi sejumlah buku dari berbagai penerbit yang akan digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Pada proses penyeleksian tersebut, salah satu butir yang disampaikan panitia adalah pengenalan wacana gender pada siswa. Panitia mengharapkan tidak ada lagi kalimat-kalimat yang bias gender, seperti pada pembahasan contoh kalimat di atas. Panitia mengharapkan sebuah buku teks yang mendukung kesetaraan gender.

Pada salah satu buku teks karya Muh. Darisman berjudul Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD, misalnya, wacana gender tersebut sudah mulai diterapkan dengan memunculkan tokoh perempuan bernama Rima. Rima adalah tokoh yang menjadi narator pada buku teks tersebut. Tokoh Rima digambarkan sebagai siswa perempuan yang aktif, kreatif, dan pandai bergaul. Wacana gender tersebut beberapa di antaranya disampaikan melalui penggalan cerita pendek, seperti berikut ini.

Membantu Korban Kebakaran
Rima mendengar berita bahwa beberapa siswa SD Indrasari yang tinggal di Desa Pasir Muncang menjadi korban kebakaran yang terjadi kemarin. Peristiwa kebakaran itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Para korban kehilangan harta benda bahkan ada yang kehilangan keluarganya karena terbakar api. Sampai sekarang para korban belum mendapatkan tempat penampungan yang layak. Mereka masih tinggal di tenda-tenda penampungan yang sempit.

Sebagai anggota palang merah remaja (PMR), Rima mengusulkan agar seluruh siswa SD Indrasari ikut meringankan beban para korban dengan memberikan sumbangan berupa uang atau pakaian layak pakai. Ide Rima tersebut mendapat dukungan dari Pak Mamat, pembina PMR SD Indrasari.

Ide yang bagus, Rima! Besok semua anggota PMR mulai mengumumkan rencana ini ke setiap kelas, kata Pak Mamat.

Lalu, kapan kita memberikan sumbangan pada para korban kebakaran itu, Pak? tanya Rudi.

Setelah sumbangan terkumpul, kita langsung menyerahkannya ke tempat penampungan mereka, jawab Pak Mamat.

Lima hari kemudian, sumbangan dari seluruh siswa Indrasari diberikan secara langsung kepada para korban kebakaran. Bu Yanti, salah satu perwakilan dari para korban mengucapkan terima kasih. Sumbangan ini sangat berarti bagi kami, ucap Bu Yanti. Matanya berkaca-kaca menahan rasa haru.
(Muh. Darisman, 2006: 97)

Pada penggalan cerita pendek di atas, Rima tampak sebagai anak perempuan yang memiliki ide cemerlang, berjiwa sosial, dan berani mengungkapkan gagasannya. Keberadaan tokoh Rima tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat siswa perempuan untuk berani menunjukkan potensi diri, tidak hanya berdiam diri. Tokoh Rima pada buku teks tersebut merupakan tokoh yang membawa nuansa gender pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ia tidak hanya mandiri, tetapi juga dapat bersaing dengan teman-temannya, terutama siswa laki-laki. Ia menjadi sosok perempuan yang patut diperhitungkan di dalam lingkungannya.

Namun sayangnya, dalam buku teks tersebut, masih terdapat pilihan bahan ajar yang bias gender. Misalnya, pada pemilihan cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih . Pada cerita tersebut, mucul penanaman karakter ibu tiri yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Hal itu tentu saja dapat memunculkan kesan pada siswa bahwa ibu tiri adalah sosok perempuan yang jahat. Pilihan cerita tersebut tidak sejalan dengan semangat kesetaraan gender seperti pada pemunculan tokoh Rima sebagai narator pada buku teks tersebut.

Hal tersebut menunjukkan bahwa wacana gender yang hendak diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar belum dilakukan secara maksimal. Oleh karena itu, peran guru sangat diperlukan dalam memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Proses pemilihan buku teks diharapkan akan dimanfaatkan guru untuk mendampinginya dalam mengenalkan wacana gender pada siswa. Pada proses tersebut, selain kreativitas guru, kepekaan guru terhadap wacana gender pun sangat menentukan keberhasilan pemilihan buku teks yang tepat bagi guru dalam upaya memperkenalkan wacana gender pada siswa.

Simpulan
KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memberikan kebebasan kepada guru untuk menentukan materi yang akan diajarkannya kepada siswa. Pada bidang studi Bahasa Indonesia, KTSP memberikan keleluasan kepada guru untuk menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia kepada siswa secara kreatif. Guru harus menyesuaikan pengajaran Bahasa Indonesia dengan potensi, sarana, dan prasarana yang ada di lingkungan sekitar siswa. KTSP sangat tepat dengan atmosfer demokrasi dan otonomi yang sekarang sedang diterapkan di Indonesia.

Kebebasan yang diperoleh guru dalam KTSP tersebut membutuhkan semangat dan kreativitas guru. Oleh karena itu, kompetensi guru pun harus terus ditingkatkan agar sejalan dengan tujuan KTSP, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit.

Di luar itu, KTSP memberikan peluang yang besar kepada guru untuk memperkenalkan, bahkan menanamkan wacana gender kepada siswa. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui jalur formal ini, di antaranya adalah:
1. Melalui pemilihan contoh karya sastra dalam hal ini pemilihan cerpen anak sebagai bahan ajar.
2. Melalui penyampaian contoh-contoh kalimat yang terdapat dalam kutipan karya sastra (cerpen anak)
3. Melalui pemilihan buku teks yang memuat kutipan karya sastra yang berwawasan gender.

Cara-cara sederhana tersebut diharapkan mampu memperkenalkan wacana gender kepada siswa sejak dini, sehingga kelak siswa memiliki semangat kesetaraan gender. Dengan demikian, bias gender yang selama ini masih melekat di masyarakat secara perlahan-lahan dapat terkikis hingga habis.

DAFTAR PUSTAKA

Darisman, Muh. 2006. Mari Belajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 5 SD. Bogor: PT Yudhistira.

Hellwig, Tinneke. 2003. In The Shadow of Change; Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (diterjemahkan oleh Rika Iffati Farikha). Jakarta: Desantara.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Mufidah Ch. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.
Mosse, Julia Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan. Diterjemahkan oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2007. Dengan Sastra Menjadi Manusia Susastra 5. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
READ MORE - PERAN KARYA SASTRA DALAM MEMPERKENALKAN WACANA GENDER PADA SISWA DI SEKOLAH DASAR

Review Cerpen "Sang Pembunuh"

Oleh: Denologis

Sepuluh tahun yang lalu, kampung kami kedatangan serombongan tamu dari kota. Mereka adalah rekanan Juragan Karta, orang terkaya sekampung. Ternyata, tujuan kedatangan mereka adalah untuk membangun pabrik di kampung. Buktinya, keesokan harinya Juragan Karta mengumumkan rencana itu dengan dalih untuk meningkatkan SDM dan SDA di kampung. Bahkan, disertai ancaman bagi yang menolak untuk mendukung rencana tersebut. Pak Lurah pun mengiyakan dan menyatakan dukungannya. Karena menolak menyerahkan tanah sawah dengan ganti rugi yang sangat sedikit, aku dan Mas Karjo dimusuhi habis-habisan oleh Juragan Karta dan anak buahnya. Mereka juga menghasut hampir seluruh warga desa untuk membenci kami. Hingga pada puncaknya, Mas Karjo dibunuh dengan sadis, dan aku difitnah sebagai pembunuhnya. Akupun divonis penjara selama 10 tahun, dan sampailah aku di penjara yang pengap ini. Namun, semangatku kembali menyala karena sepekan lagi aku akan bebas….


Menurut saya, cerpen berjudul Sang Pembunuh ini cukup menarik, karena ide ceritanya yang cukup membumi. Relevan dengan kondisi riil sosial Indonesia, di mana pembangunan proyek kerap mengorbankan dan memaksa sejumlah warga seperti Aku untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak setimpal. Selain itu, alur dalam cerpen ini juga cukup bagus karena menggunakan timing method khas penulisnya, present -> past -> future. Alur khas yang unik dan seharusnya tidak mudah ditebak. Namun, lebih dari itu, saya kira cerpen ini kurang memiliki taste. Diawali dengan blunder inkonsistensi kata ganti tokoh utama -yang sebenarnya tidak perlu terjadi-. Perhatikan perubahan kata “aku” dan “saya”. Terhitung ada 3 kata “aku” dan 51 kata “saya”. Cerpen ini menjadi terkesan terasa sepo (dingin) karena menggunakan kata “saya” sebagai kata ganti orang pertama. Bandingkan jika menggunakan “aku”. Selain itu, ritme cerita juga terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan. Coba bandingkan dengan irama emosional dalam cerpen Marto Klawung atau Kang Panut. Sangat berbeda bukan? Seperti pada paragraf ke-3 dan ke-4. Terasa cemplang (drastis) ketika memasuki paragraf ke-4. Padahal, saya mengira penulis akan melanjutkan harapan-harapan “wah” di paragraf ke-3 pada paragraf ke-4. Juga ketika tokoh Aku sudah bebas dari penjara, keram
READ MORE - Review Cerpen "Sang Pembunuh"