Bre Redana

sastrawanBre, anak ketiga dari empat bersaudara, termasuk orang yang enggan menyebutkan tanggal kelahirannya. Pernah secara terbuka, ia menuturkan latar belakang kehidupan keluarganya. “Ayah saya kader PKI di Salatiga.” Gondo Waluyo, sang ayah yang dikatakannya sebagai seorang yang terpelajar, dijemput dan ditahan di tempat yang tidak diketahui ketika Bre berusia delapan tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar.
Sejak penjemputan paksa itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Keluarganya kemudian menjadi bulan-bulanan teror masyarakat seputar. Bre pun tumbuh menjadi laki-laki pemalu dan cenderung minder.

Selanjutnya, kehidupan keluarganya sepenuhnya ditopang oleh ibunya, Yutinem. Berkat upaya ibunyalah, Bre remaja dapat berkenalan dengan majalah Horison, Prisma, MIDI, dan sebagainya. Kegemarannya membaca mengantarkannya kepada minat yang kuat untuk menulis, sebuah dunia karang-mengarang.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Cerpenis dan kolomnis ini menjalani masa-masa sebagai siswa SD Kanisius (1970) dan SMP Negeri 2 (1973) di kota kelahirannya, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, ia melanjutkan ke STM Kristen Klaten. Tamat STM, Bre, demikian panggilan akrabnya, berkuliah di jurusan bahasa Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Waktu kuliah itulah ia berkenalan dengan dunia jurnalistik dengan aktif di pers mahasiswa Gita Mahasiswa.
Ketika duduk di bangku kelas 2 STM, Bre Redana mulai mengirim tulisannya ke media massa cetak. Saat itu, medio 1975, ia mengirim karangan fiksi tentang cinta pertama ke majalah Detektif & Romantika. Alih-alih kisah nyata sesuai harapan majalah itu. Sewaktu menjadi mahasiswa, ia rajin menulis untuk pers di kampusnya.
Karangannya juga coba dikirim ke harian Kompas, tetapi tidak ada satu pun yang diterima. Namun, di Sinar Harapan dan Merdeka-lah ia berjodoh. Tulisannya banyak dimuat.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia beroleh honor yang memadai sebagai penulis di harian ibu kota itu.
Ironisnya, baru saja lulus sarjana muda dari Satya Wacana, tahun 1981, Bre Redana malah diterima sebagai wartawan di harian Kompas yang sebelumnya tidak pernah menerima satu pun tulisannya.
Sebagai jurnalis pemula, pria Salatiga ini ditempatkan di bagian yang menangani kolom ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Seterusnya ia pindah ke bagian kota, olah raga, dan luar negeri, sampai akhirnya bertugas di bagian yang mengelola kolom budaya—pekerjaan yang sangat disukainya.
Baginya sangat nyaman menangani kolom budaya yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Sejak anak-anak Bre Redana memang sangat dekat dengan kesenian tradisi seperti kethoprak, tarling, dan tayub. Ia pernah mengatakan, “Kalau saya menonton atau menulis hal itu lagi, saya seperti merasa kembali ke mata air saya lagi.”
Petualangannya dengan kesenian tradisional usai selepas mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Tehnology, Inggris, 1990-1991. Fokus tulisan Bre beralih ke masalah sosial di seputar kehidupan masyarakat Jakarta, seperti gosip artis, tren body shop, sampai toko mewah Mark and Spencer.
Tulisannya dikemas dalam laporan kerja jurnalistik yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan.
Bre Redana melihat pekerjaan jurnalistiknya bukan sekadar sumber pendapatan, melainan juga merupakan panggilan. “Saya menghayati pekerjaan jurnalistik. Saya merasa ada dimensi yang sakral dari pekerjaan menulis ini.”
Ketika pada 1980-an rezim Suharto mengangkat isu ‘bersih lingkungan’, ia dinyatakan termasuk sebagai orang yang ‘tidak bersih’. Bre Redana pun terpukul.
Akan tetapi, ia tidak menjadi patah arang. Ia terus mencari strategi lain untuk tetap dapat menulis. Sebagai jurnalis, ia sangat menghayatinya. Di mana pun berada, lelaki berkaca mata ini berusaha masuk sedalam-dalamnya, tetapi tetap ada jarak. “Karena dengan berjarak, kita bisa tetap kritis,” ujarnya.
Pria Salatiga ini menggemari pencak silat. Ia telah mendalaminya selama lebih dari lima belas tahun. “Sampai sekarang masih saya lakukan,” katanya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Membaca, termasuk membaca novel, sudah menjadi rutinitas harian. Setiap pagi, ia jarang membaca koran. Biasanya Bre membaca buku yang agak serius. Pria ini sangat mengagumi Umber Echo, esais kelas dunia.
Bisa jadi, tulisan Bre terpengaruh oleh ide-ide esais itu. “Echo sebagai seorang pemikir bisa menghasilkan esai yang mampu menjelaskan problem yang ada di masyarakat dengan sangat bagus dan disampaikan dengan sangat ringan,” tuturnya.
Berbicara tentang penampilan, laki-laki yang masih melajang ini melihatnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting. “Yang penting adalah bagaimana tidak membuat orang risih,” katanya.
Cita-citanya yang masih belum tercapai adalah menghasilkan sebuah karangan dari genre yang lain. “Saya ingin menulis novel,” katanya tentang keinginan yang hendak ia capai.
Ia merindukan punya waktu khusus. Kerja jurnalistik sangat sibuk, sehingga, menurut Bre, membuat wilayah-wilayah kreatif menjadi mandek. Kompas agaknya akan menjadi perhentian akhir karier Bre Redana. Pria berambut keriting, panjang, dan beruban ini tidak mempunyai semangat untuk berpetualang kerja di tempat lain. “Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis.”
READ MORE - Bre Redana

Bahrum Rangkuti

sastrawanBahrum Rangkuti lahir pada tanggal 7 Agustus 1919 di Galang, Riau. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Jadi, walaupun Bahrum lahir di Riau, ia adalah putra Batak asli. Rangkuti adalah marganya. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) , sekolah Belanda, setingkat sekolah dasar. Dari HIS, ia melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat dari HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Dari AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda.
Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di pakistan pada tahun 1950. Rabwah adalah sebuah desa kecil di tepi sungai Cenaab, tempat latihan para misionaris Islam yang bertugas ke seluruh dunia. Akan tetapi, ternyata, Bahrum tidak berminat menjadi misionaris.
Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960. Ia menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Dengan pengetahuan bahasa yang dimilikinya, Bachrum, kemudian bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta.
Bachrum Rangkuti pernah berceramah mengenai aspek sosial hari raya di depan para perwira ALRI pada saat Angkatan Laut RI itu dipemimpin oleh Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat kolonel tituler.
Walaupun telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya. Oleh karena itu, ia pun muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:
KARYA:

1) Puisi:
a. Sajak-sajak yang Sudah Diterbitkan
(1) “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943)
(2) “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944)
(3) “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944)
(4) “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944)
(5) “Akibat” Pantja Raja (1946)
(6) “Borobudur” Pantja Raja (1946)
(7) “Cita-Cita” Pantja Raja (1946)
(8) “Doa Makam” Pantja Raja (1946)
(9) “Hidupku” Pantja Raja (1946)
(10) “Insyaf” Pantja Raja (1946)
(11) “Kembali” Pantja Raja (1946)
(12) “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946)
(13) “Sakura” Pantja Raja (1946)
(14) “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946)
(15) “Laila” Gema Suasana (1948)
(16) “Pasar Ikan” Gema (1948)
(17) “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951)
(18) “Syuhada” Hikmah (1952)
(19) “Iqbal” Hikmah (1953)
(20) “Malam dari Segala Malam” Gema Islam (1962)
(21) “Pesan” Gema Islam (1966)
(22) “Nafiri Ciputat” Horison (1970)
(23) “Anak-Anakku” Horison (1971)
(24) “Dunia Baru” Horison (1971)
(25) “Ayahanda” Horison (1971)
(26) “Bunda” Horison (1971)
(27) “Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” Horison (1971)
(28) “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971)
(29) “Pejuang” Horison (1971)
(30) “Rumah” Horison (1971)
(31) “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971)
(32) “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971)
(33) “Sumbangsih” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co
(34) “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co

b. Sajak-sajak yang Belum Diterbitkan dan Tahun Ciptaannya
(1) “Tao Toba” (1970)
(2) “Sipirok” (1970)
(3) “Natalandi Gita Bahari” (t.th.)
(4) “Nunukan” (1970)
(5) “Mesjid di Tanjung Selor” (1970)
(6) “Ka’bah” (1971)
(7) “Bungan Bondar” (1971)
(8) “Mina” (1971)
(9) “Madinah” (1971)
(10) “Arafah” (1971)
(11) “Makkah” (1971)
(12) “Hajir” (1971)
(13) “Nisbah” (1971)
(14) “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971)
(15) “Bengkel Manusia” (t.th.)
(16) “meluruskan bahtera” (1973)
(17) “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973)
(18) “Mi’raj” (t.th.)
(19) “kepada Biniku A. Bara” (t.th.)
(20) “Isa a.s.” (1969)
(21) “Idul Fitri” (t.th.)
(22) “Mula Segala” (1969)
(23) “Muhammad s.a.w.” (1969)
(24) “Beton, Beling, dan Besi” (t.th.)
(25) “Laut Lepas Menanti” (t.th.) (PDS. H.B. Jassin)

2) Drama
(1) “Laila Majenun” Gema Suasana (1949)
(2) “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949)
(3) “Asmaran Dahana” Indonesia (1949)
(4) “Arjuna Wiwaha”

3) Cerpen
(1) “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936)
(2) “Rindu” Poedjangga Baroe (1941)
(3) “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942)
(4) “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946)
(5) “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antero Krisis Cita, Moral, dan benda” Zenith (1952)
(6) “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969)

4) Esai
(1) “Setahun di negeri Bulan Bintang I” Zenith (1951)
(2) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(3) “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)
(4) “Angka dan Penjelmaannya” Zenith (1951)
(5) “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953)
(6) “Kandungan Al Fatihah” (1953)
(7) “Nabi Kita” Bacaan untuk Anak-anak (t.th.)
(8) “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern”: skripsi s-1 (1961). Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
(9) “Islam and “Modern Indonesian Literature”
(10) “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963)
(11) “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968)
(12) “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969)
(13) “Ceramah Tentang Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976)
(14) “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan” Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar (1976)
(15) “Sejarah Indonesia I dan II”
(16) “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab”
(17) “Sejarah Khalifah Usman r.a”
(18) “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w”
(19) “Islam dan PEmbangunan”
(20) “The Spritual Wealth in Islam”

5) Terjemahan
(1) “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948)
(2) “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949)
(3) “Kepada Penyair” karya M. Iqbal
(4) “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953)
(5) “Waktu itu Adalah Pedang” karya M. Iqbal (1953)
(6) “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953)
(7) “Soledad Montoya” karya Lorca
(8) “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru
(9) “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.
READ MORE - Bahrum Rangkuti

Ayu Utami

sastrawanNama lengkapnya Justina Ayu Utami, dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo, ibunya bernama Bernadeta Suhartina . Dia berasal dari keluarga katolik.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999) Ayu menggemari cerita petualangan seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.
Ayu suka mendengarkan musik tradisional dan etnik serta musik klasik Waktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh, tapi dunia model tidak ia tekuni.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ayu pernah jadi sekretaris di perusahaan yang memasok senjata. Juga pernah bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Dan akhirnya beliau masuk dalam dunia jurnalistik. Pernah bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Sepanjang 1991 menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai curator.
Anggota redaktur jurnal Kalam, dan ia juga peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Pada tahun 2000 mendapat Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:
KARYA:

Esai-esainya kerap dipublikasikan di jurnal Kalam. Dwilogi novelnya Saman dan Larung. Melalui novelnya, Saman ia memenangkan Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998, dan novel ini mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Novelnya Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Tahun 2003, ia meluncurkan Kumpulan Esai "Si Parasit Lajang", Gagas Media.
READ MORE - Ayu Utami

Armijn Pane

sastrawanMenurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari 8 bersaudara, mempunyai nama samaran banyak, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Selain sebagai seniman sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru. Bahkan Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik.

Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ia meninggal tanggal 24 Januari 1991. Ayah Armijn Pane itu juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional, di Palembang. Dan hal ini juga menyiratkan bahwa orang tua itu termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga terwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya “Tanah Air dan Masyarakat” dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekalai ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia telah mengecewakan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.

Armijn Pane meninggal pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970 pukul 10.00 pagi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Menurut berita di surat kabar ia diserang Pneumonic Bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir adalah pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia 6 tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di jalan Setia Budi II No. 5, Jakarta.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk Europese lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 menjadi Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Sayang sekolahnya tidak dilanjutkan, kemudian tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya. Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI jurusan bahasa dan kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.

Dalam dunia pendidikan ia juga tercatat sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa, baik di Kediri maupun di Jakarta. Oleh karena itu salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.

Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokoh-tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama “Antara Bumi dan Langit”. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal ini mungkin saja karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu itu. Ternyata, memang Armijn Pane bukan tertarik oleh dunia kedokteran, melainkan tertarik oleh dunia seni. Untuk itu ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.

LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Diberitakan bahwa Armijn Pane setibanya di Jakarta akan menceburkan diri di lapangan penerbitan. Armijn Pane mengasuh majalah Indonesia yang berisi 124 halaman sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah, dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis “ Produksi Film Cerita di Indonesia”, setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia itu.
Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara ia menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda “Angkatan Baru”, perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan, dan sebagai guru pada Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri kemudian di Jakarta. Dari situ kariernya dalam bidang penerbitan setapak demi setapak dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Zaman Jepang ia menjabat kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di sampaing itu, tahun 1938 ia menjadi sekretaris Kongres Bahasa Indonesia yang pertama, ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komosi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ternyata ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) selepas tahun 1950.
Dalam penerbitan, ternyata Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi makalah Indonesia.. Demikian pula dalam dunia film Armijn aktif sebagai anggota sensor film, (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Akan tetapi, dalam masa menjalani tugasnya, baik di zaman Beanda, zaman Jepang, maupun zaman republik Armijn selalu menyaksikan hal-hal yang tidak beres yang menusuk hati nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tantang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekuti di sekitar Morotai. Jepang itu meminta agar Armijn membuat releasenya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnyalah laporan yang diberikan Jepang itu. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji ke mana Armijn memihak. Itulah salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia Armijn terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933 di samping Sutan Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Mulai tahun 1933—1938 ia menduduki jabatan sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu sebelum diterbitkan sebagai buku, dimua dalam majalah Pujangga Baru.
Prof. Dr. Teeuw (dalam Anita, 1992) menyatakan bahwa Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin menyangkalnya karena, baik dalam prosa maupun dalam puisi terlihat gaya impresionistis, terutama dalam sajak-sajaknya. Dalam novelnya Belenggu gaya romantis dapat diketemukan sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Padahal Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis. Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof. Teeuw di atas.
Karya-karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto, Rabindranath Tagore, Krisnamurti dan pelajaran Theosofie. Gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri Belanda tampak juga mempengaruhi karya-karyanya, begitu juga Dosxtojevski, di samping Tolstoy.
Armijn Pane adalah pengarang yang berpendirian kokoh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu seperti berikut, “kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”
Jadi, apapun yang dihadapkan pada keyakinannya yang sudah kokoh itu tak akan menggoyahkannya. Dalam karya Belenggu, tekadnya menjadi seorang manusia yang berguna bagi bangsa dan negara seperti yang disarankan Armijn Pane dalam ceramahnya yang tercermin pada tokoh dr. Sukartono dalam novel Belenggu. Tokoh itu sangat memperhatikan para pasiennya sehingga menomorduakan rumah tangganya sehingga berantakan. Ketidakharmonisan rumah tangga dr. Sukartono memang berawal dari ketidakpuasan Tini akan sikap dr. Sukartono yang lebih mengutamakan pasiennya daripada istrinya itu.
Dalam hal teknik penyusunan ada kesamaan antara Armijn dan Putu Wijaya serta Iwan Simatupang. Teknik itu menyatu dengan pemikiran yang ingin disampaikan seperti tampak dalam novel Belenggu itu.
Kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin (1954:67—70) mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelktual sebelum perang.
Di dalam sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup (dalam Anita, 1993). Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat dari artinya, “Gamelan”berarti alat-alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin si penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda. Cinta pada tanah air, cinta pada Tuhan, dan cinta pada sastra. Sampai pada saat terakhir cinta pada sastra ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya tentang sastra di Taman Ismail Marzuki sebulan sebelum ia meninggal 15-1-1970 membuktikan cintanya pada sastra. Ceramah itu berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”. Dalam ceramah itu pengarang mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan kepenga-rangannya dan sedikit menyinggung soal angkatan. Butir-butir pikiran yang disampaikannya pada saat itu adalah (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku Memperbaharui Kerelaan and Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang ”, (3) “Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5) “Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Manurut Pendapat Pengarang”, (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”.
Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ia juga mengatakan bahwa saat itu sedang disiapkan roman yang ketiga. Akan tetapi, roman itu tidak muncul.
Dalam ceramah itu Armijn menegaskan bahwa untuk menjadi pengarang lebih dulu harus kita dapatkan dunia keindahan dan harus kita memiliki sikap hidup yang tegas untuk melaksanakan tugas sebagai pengarang. Selanjutnya, pengarang itu mengemukakan bahwa untuk mengarang ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Langkah-langkah itu adalah mengumpulkan baha, mendapatkan ide, dan menyusun kerangka cerita. Dalam struktur karangan harus selalu ada tiga pihak, yaitu yang dilawan, yang melawan, dan yang menggerakan. Di samping itu, pengarang memiliki hati nurani, moral, dan inspirasi, yaitu inspirasi yang dikendalikan pengarang, agar pengarang selalu sadar akan apa yang harus dilakukan.
Dalam kesempatan itu Armijn juga mengarapkan agar di antara pengarang muda akan muncul pengarang keagamaan Indonesia yang dapat dihargai. Untuk itu, ia pun berkeinginan menjadi pengarang keagamaan.
Tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan, ia menganjurkan agar pengarang Indonesia mendapatkan kekhasan Indonesia. Akan tetapi, tidak berarti pengarang Indonesia dilarang mencontohkan pengarang asing, malahan ia menganjurkan asalkan tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920—1930, bahkan sampai sekarang, Armijn berpendapat bahwa Angkatan 1920—1930 mempunyai pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro kepada yang baru, dinamis, anti yang fanatik, dan anti yang naif. Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50 mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi. Dari uraian dalam ceramah itu, dapat disimpulkan bahwa Armijn Pane, ternyata samapai usia 62 tahun, pengamatan dan cintanya terhadap dunia sastra tetap segar.
KARYA:

a. Puisi
(1) Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
(2) Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
b. Novel
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
c. Kumpulan Cerpen
(1) Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
(2) Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
d. Drama
“Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
READ MORE - Armijn Pane

Aoh Karta Hadimadja

sastrawanAoh Karta Hadimadja, yang sering menggunakan nama samaran Karlan Hadi ini, lahir di Bandung pada tanggal 15 September 1911. Ia adalah putra seorang patih di Sumedang, Jawa Barat. Meskipun hampir sepertiga masa hidupnya dihabiskannya di luar negeri, Aoh termasuk tokoh sastrawan Indonesia yang patut dicatat dalam sejarah sastra Indonesia (Teeuw, 1978). “Dia sesungguhnya menjadi sebagian dari perkembangan kesusastraan sesudah perang,” demikian tulis Teeuw berikutnya.

Hidup bertahun-tahun di negeri orang ternyata membuat Aoh rindu pada kampung halaman. Pada tahun 1971, setelah lebih kurang dua puluh tahun tinggal di negeri orang (1952--1971), ia kembali ke Indonesia. Namun, belum genap tiga tahun tinggal di Indonesia, Aoh sudah dipanggil oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Pada tanggal 17 Maret 1973, karena penyakit darah tingginya tidak dapat lagi diatasi, Aoh meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Sebagai anak seorang patih, Aoh tentu dapat dengan mudah memasuki sekolah-sekolah Belanda sebagai tempat belajarnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika bahasa asing yang pertama kali dikuasainya adalah bahasa Belanda. Secara formal, pendidikan Aoh memang hanya sampai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP saja. Namun, berkat kegemaran membacanya yang besar, ia dapat menyejajarkan dirinya dengan orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi daripadanya. Konon, saat ia dirawat di Sanatorium, Cisarua, Bogor (karena penyakit paru-parunya), ia banyak membaca buku-buku sastra dan agama. Buku-buku yang dibaca Aoh tersebut antara lain adalah karya-karya Hamka (Sinar Harapan, 24 Maret 1973).
Setelah penyakit paru-parunya sembuh, Aoh tidak hanya mengenal Hamka melalui buku-hukunya, tetapi langsung dengan orangnya. Ia bahkan tidak hanya bergaul dengan Hamka. Ia juga bergaul dengan ayah Hamka. Melalui dua orang, yang dianggapnya guru, inilah Aoh memperdalam pengetahuannya, baik pengetahuan agama maupun sastra (Kompas, 19 Maret 1973).
Setelah menamatkan MULO, Aoh Iangsung bekerja sebagai pegawai di Perkebunan Parakan, Salak, Sukabumi. Pekerjaan itu dijalaninya sampai dengan tahun 1939, saat ia harus dirawat di Sanatorium, Cisarua, Bogor.
Untuk menambah pengetahuannya di bidang sastra, pada zaman Jepang Aoh menggabungkan diri pada Pusat Kebudayaan di Jakarta. Di Pusat Kebudayaan itu Aoh bekerja sebagai penerjemah kesusastraan Sunda klasik.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Pada tahun 1949--4952 Aoh tinggal di Sumatra untuk melakukan penyelidikan budaya. Sepulangnya dari Sumatra, ia sempat bekerja di Balai Pustaka (sebagai redaktur) selama beberapa bulan. Setelah itu, ia pergi ke Negeri Belanda. Di negeri Kincir Angin itu ia bekerja sebagai penerjemah di Sticusa Amsterdam selama empat tahun (1952--i 956).
Aoh Karta Hadimadja ternyata senang bertualang, terutama dalam hal pekerjaan. Pada tahun 1957 ia pernah menjadi wartawan PIA dan Star Weekly. Bahkan, sempat pula ia menghadiri pesta perayaan kemerdekaan Malaysia di Kuala Lumpur. Setelah itu, ia kembali mengembara ke Eropa. Kali ini ia tinggäl di London dan bekerja sebagai penyiar radio BBC. Pekerjaan tersebut dijalaninya hingga tahun
1970.
Selain pekerjaan tetap sebagai penyiar radio BBC, selama di Eropa Aoh juga pernah mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sastra Indonesia yang kebetulan sedang melawat ke London. Tokoh-tokoh sastra tersebut, antara lain, adalah Hamka, Achdiat K. Mihardja, Sri Nuraini, Muhtar Lubis. dan Nugroho Notosusanto (Kompas. 18 Februari 1971).
Sepulangnya kembali di Indonesia, Aoh bekerja sebagai redaktur di penerbit Pustaka Jaya. Pekerjaan itu dijalaninya hingga akhir hayatnya. 17 Maret 1973.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Bakat kepengarangan Aoh dapat tumbuh dengan subur saat ia dirawat di Sanatorium, Cisanua, Bogor. Ia mempunyai banyak waktu untuk beristirahat sehingga memungkinnya untuk banyak membaca. Ia membaca banyak buku (terutama buku agama dan sastra) mula-mula untuk menghilangkan kebosanan serta ketegangan pikiran. Namun, lama kelamaan menjadi kebutuhan dan bahkan membangkitkan keinginannya untuk menulis.
Awal kepengarangan Aoh ditandai oleh hasil karyanya yang berupa sajak. Sajak-sajak itu kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950 dalam satu kumpulan yang diberinya judul Zahra (buku ini pada tahun 1971 dicetak ulang oleh Pustaka Jaya dengan judul baru, Pecahan Ratna). Konon, sebelum dibukukan, sajak-sajak tersebut pernah dimuat dalam majalah Panca Raya pada tahun 1946 dan setahun kemudian (1947) mendapat hadiah dari Balai Pustaka. Rupanya, peristiwa ini pulalah yang membuat Aoh bergairah untuk terus berkarya (Sinar Harapan, 24 Maret 1973).
Selama di London, ternyata Aoh tidak mengendorkan perhatiannya terhadap perkembangan sastra Indonesia. Dari sana ia banyak mengirimkan esainya tentang berbagai corak puisi penyair¬penyair muda yang dimuat di berbagai majalah, seperti Budaya Jaya, Horison, dan Indonesia Raya. Path masa-masa itu pulalah muncul karya Aoh dalam bentuk cerpen, yang kemudian terkumpul dalam Poligami.
Setelah tinggal satu tahun di Indonesia, pada tahun 1972 Aoh mendapat anugerah seni dari Pemerintah Indonesia (Soekardi, 1972). Dan, untuk mengenang jasa-jasanya, sejak tahun 1976 BBC London, Seksi Indonesia, selalu mengadakan sayembara penulisan sajak dengan nama “Sayembara Sajak BBC guna memperingati Aoh Karta Hadimadja”.
KARYA:

a) Yang Sudah Terbit
Karya Fiksi
(1) Pecahan Ratna. Cet. I. Jakarta: Balai Pustaka, 1950. Cet. II, Jakarta: Pustaka Jaya, 1971. Kumpulan sajak dan drama
(2) Poligami (kumpulan cerpen), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
(3) Sepi Terasing (novel), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
(4) Manusia dan Tanahnya (kumpulan cerpen), Jakarta:Balai Pustaka, 1952
(5) Dan Terhamparlah Darat Yang Kuning Laut Yang Biru (novel), Jakarta:Pustaka Jaya, 1975
Karya Nonfiksi
(1) Seni Mengarang, Jakarta:Pustaka Jaya, 1971
(2) Aliran-Aliran Klasik, Romantik dan Realisma dalam
Kesasastraan: Dasar-dasar Perkembangannya,
Jakarta:Pustaka Jaya, 1972
(3) Beberapa Paham Angkatan 1945, Jakarta:Tintamas, 1952

b) Yang belum Terbit
(1) “Arus Perjuangan” (naskah drama)
(2) “Bumiku” (naskah puisi)
(3) “Bunga Merdeka” (naskah drama)
(4) “Kapten Sjah” (naskah drama)
(5) “Pancaran Balik Salaka” (naskah drama)
READ MORE - Aoh Karta Hadimadja