Armijn Pane

sastrawanMenurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari 8 bersaudara, mempunyai nama samaran banyak, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Selain sebagai seniman sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru. Bahkan Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik.

Armijn Pane menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan Universitas Islam Indonesia Yogya. Ia meninggal tanggal 24 Januari 1991. Ayah Armijn Pane itu juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa Pergerakan Nasional, di Palembang. Dan hal ini juga menyiratkan bahwa orang tua itu termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga terwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane. Pada Armijn Pane dapat kita lihat dalam sajak-sajaknya “Tanah Air dan Masyarakat” dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekalai ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia telah mengecewakan ibunya. Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.

Armijn Pane meninggal pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970 pukul 10.00 pagi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Menurut berita di surat kabar ia diserang Pneumonic Bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir adalah pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia 6 tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di jalan Setia Budi II No. 5, Jakarta.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School (HIS) Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian masuk Europese lagere School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak-anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi. Pada tahun 1923 menjadi Studen Stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta. Sayang sekolahnya tidak dilanjutkan, kemudian tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di Surabaya. Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia kemudian masuk ke AMS bagian AI jurusan bahasa dan kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.

Dalam dunia pendidikan ia juga tercatat sebagai guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa, baik di Kediri maupun di Jakarta. Oleh karena itu salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa almarhum dalam upacara pemakamannya.

Apakah pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokoh-tokohnya dokter, seperti dr. Sukartono dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama “Antara Bumi dan Langit”. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar tentang ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh, yang disajikan hanya wajah dan perilaku tokoh dokter secara permukaan. Hal ini mungkin saja karena ia sekolah kedokteran tidak sampai tamat sehingga tidak sampai menghayati segalanya yang berhubungan dengan ilmu itu. Ternyata, memang Armijn Pane bukan tertarik oleh dunia kedokteran, melainkan tertarik oleh dunia seni. Untuk itu ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.

LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di Yogyakarta. Diberitakan bahwa Armijn Pane setibanya di Jakarta akan menceburkan diri di lapangan penerbitan. Armijn Pane mengasuh majalah Indonesia yang berisi 124 halaman sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah, dan Boeyoeng Saleh. Armijn menulis “ Produksi Film Cerita di Indonesia”, setebal 112 halaman dalam majalah Indonesia itu.
Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan. Di dalam dunia sandiwara ia menjadi anggota terkemuka gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda “Angkatan Baru”, perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan, dan sebagai guru pada Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman Siswa di Kendiri kemudian di Jakarta. Dari situ kariernya dalam bidang penerbitan setapak demi setapak dirintis di Balai Pustaka, sebagai pegawai kantor itu. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Zaman Jepang ia menjabat kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Djakarta. Di sampaing itu, tahun 1938 ia menjadi sekretaris Kongres Bahasa Indonesia yang pertama, ia juga menjadi penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi anggota komosi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga aktif. Ternyata ia menjadi penganjur dan sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya, ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) selepas tahun 1950.
Dalam penerbitan, ternyata Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi makalah Indonesia.. Demikian pula dalam dunia film Armijn aktif sebagai anggota sensor film, (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Akan tetapi, dalam masa menjalani tugasnya, baik di zaman Beanda, zaman Jepang, maupun zaman republik Armijn selalu menyaksikan hal-hal yang tidak beres yang menusuk hati nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita tantang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekuti di sekitar Morotai. Jepang itu meminta agar Armijn membuat releasenya. Karena Armijn seorang yang polos, jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnyalah laporan yang diberikan Jepang itu. Akibatnya, ia harus berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji ke mana Armijn memihak. Itulah salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan dirinya terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia Armijn terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun 1933 di samping Sutan Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Mulai tahun 1933—1938 ia menduduki jabatan sekretaris redaksi majalah itu. Novelnya, Belenggu sebelum diterbitkan sebagai buku, dimua dalam majalah Pujangga Baru.
Prof. Dr. Teeuw (dalam Anita, 1992) menyatakan bahwa Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin menyangkalnya karena, baik dalam prosa maupun dalam puisi terlihat gaya impresionistis, terutama dalam sajak-sajaknya. Dalam novelnya Belenggu gaya romantis dapat diketemukan sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih berganti. Padahal Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya ekspresionistis. Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof. Teeuw di atas.
Karya-karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto, Rabindranath Tagore, Krisnamurti dan pelajaran Theosofie. Gerakan kesusastraan sesudah tahun 1880 di negeri Belanda tampak juga mempengaruhi karya-karyanya, begitu juga Dosxtojevski, di samping Tolstoy.
Armijn Pane adalah pengarang yang berpendirian kokoh. Ia mengibaratkan keyakinannya seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu seperti berikut, “kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan yang lain.”
Jadi, apapun yang dihadapkan pada keyakinannya yang sudah kokoh itu tak akan menggoyahkannya. Dalam karya Belenggu, tekadnya menjadi seorang manusia yang berguna bagi bangsa dan negara seperti yang disarankan Armijn Pane dalam ceramahnya yang tercermin pada tokoh dr. Sukartono dalam novel Belenggu. Tokoh itu sangat memperhatikan para pasiennya sehingga menomorduakan rumah tangganya sehingga berantakan. Ketidakharmonisan rumah tangga dr. Sukartono memang berawal dari ketidakpuasan Tini akan sikap dr. Sukartono yang lebih mengutamakan pasiennya daripada istrinya itu.
Dalam hal teknik penyusunan ada kesamaan antara Armijn dan Putu Wijaya serta Iwan Simatupang. Teknik itu menyatu dengan pemikiran yang ingin disampaikan seperti tampak dalam novel Belenggu itu.
Kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin (1954:67—70) mengatakan bahwa Belenggu merupakan karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum intelktual sebelum perang.
Di dalam sajak, Armijn Pane berhasil mengumpulkan sajaknya di dalam dua kumpulan Jiwa Berjiwa yang menurut tafsiran Ayip Rosidi berarti jiwa yang hidup (dalam Anita, 1993). Kumpulan lain berjudul Gamelan Djiwa yang jika dilihat dari artinya, “Gamelan”berarti alat-alat musik atau bunyi-bunyian. Jadi, gamelan jiwa dapat diartikan bunyi atau suara batin, yaitu suara batin si penulis yang menyuarakan cinta, yaitu cinta sebagaimana lazimnya anak muda. Cinta pada tanah air, cinta pada Tuhan, dan cinta pada sastra. Sampai pada saat terakhir cinta pada sastra ternyata masih tetap kuat. Ceramahnya tentang sastra di Taman Ismail Marzuki sebulan sebelum ia meninggal 15-1-1970 membuktikan cintanya pada sastra. Ceramah itu berjudul “Pengalaman Batin Pengarang Armijn Pane”. Dalam ceramah itu pengarang mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan kepenga-rangannya dan sedikit menyinggung soal angkatan. Butir-butir pikiran yang disampaikannya pada saat itu adalah (1) “Mengapa Aku Rela dan Ikhlas Jadi Pengarang”, (2) “Bagaimana Aku Memperbaharui Kerelaan and Keikhlasanku sebagai Pengarang di Zaman Sekarang ”, (3) “Sikap Hidup Bagi Pengarang”, (4) “Struktur Mengarang Fase-Fase Mengarang”, (5) “Pengarang Keagamaan dan Pengarang Nasional”, (6) “Apa yang Perlu Kita Dapat dari Pengarang-Pengarang Luar Negeri”, (7) “Apakah Pengarang Manurut Pendapat Pengarang”, (8) “Serba Sedikit Tentang Angkatan”.
Armijn mengakui bahwa kepengarangannya banyak didorong oleh kesadaran kebangsaannya. Ia juga mengatakan bahwa saat itu sedang disiapkan roman yang ketiga. Akan tetapi, roman itu tidak muncul.
Dalam ceramah itu Armijn menegaskan bahwa untuk menjadi pengarang lebih dulu harus kita dapatkan dunia keindahan dan harus kita memiliki sikap hidup yang tegas untuk melaksanakan tugas sebagai pengarang. Selanjutnya, pengarang itu mengemukakan bahwa untuk mengarang ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Langkah-langkah itu adalah mengumpulkan baha, mendapatkan ide, dan menyusun kerangka cerita. Dalam struktur karangan harus selalu ada tiga pihak, yaitu yang dilawan, yang melawan, dan yang menggerakan. Di samping itu, pengarang memiliki hati nurani, moral, dan inspirasi, yaitu inspirasi yang dikendalikan pengarang, agar pengarang selalu sadar akan apa yang harus dilakukan.
Dalam kesempatan itu Armijn juga mengarapkan agar di antara pengarang muda akan muncul pengarang keagamaan Indonesia yang dapat dihargai. Untuk itu, ia pun berkeinginan menjadi pengarang keagamaan.
Tentang kekhasan Indonesia dalam dunia kepengarangan, ia menganjurkan agar pengarang Indonesia mendapatkan kekhasan Indonesia. Akan tetapi, tidak berarti pengarang Indonesia dilarang mencontohkan pengarang asing, malahan ia menganjurkan asalkan tidak melakukan plagiat. Mengenai karya sastra yang lahir tahun 1920—1930, bahkan sampai sekarang, Armijn berpendapat bahwa Angkatan 1920—1930 mempunyai pengabdian. Angkatan Pujangga Baru memiliki tanda pro kepada yang baru, dinamis, anti yang fanatik, dan anti yang naif. Angkatan 45 memiliki tanda sebagai pejuang, Angkatan 50 mengemukakan masalah sosial, dan Angkatan terbaru memperlihatkan aksi. Dari uraian dalam ceramah itu, dapat disimpulkan bahwa Armijn Pane, ternyata samapai usia 62 tahun, pengamatan dan cintanya terhadap dunia sastra tetap segar.
KARYA:

a. Puisi
(1) Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
(2) Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
b. Novel
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
c. Kumpulan Cerpen
(1) Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
(2) Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
d. Drama
“Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.

0 komentar:

Posting Komentar