Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

Jika dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, muatan sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampak lebih utuh dan komprehensif. Ada keterampilan reseptif (mendengarkan dan membaca) dan produktif (berbicara dan menulis) sekaligus di dalamnya. Dengan kata lain, ada aktivitas siswa untuk mendengarkan sastra, membaca sastra, berbicara sastra, dan menulis sastra selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Kalau muatan sastra dalam KTSP ini disajikan dengan baik, fenomena “rabun sastra” yang konon sudah menggejala di kalangan pelajar itu, saya yakin akan dapat teratasi.

Persoalannya sekarang, sudah benar-benar dalam kondisi siapkah para guru bahasa menyajikan muatan sastra dalam KTSP itu kepada siswa didik? Sanggupkah para guru bahasa kita memikul peran ganda; sebagai guru bahasa dan sekaligus guru sastra? Mampukah para guru bahasa kita memberikan bekal yang cukup memadai kepada anak-anak negeri ini dalam mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis sastra? Hal ini penting saya kemukakan, sebab selama ini memang tidak ada spesifikasi dalam penyajian materi bahasa dan sastra. Guru bahasa dengan sendirinya harus menjadi guru sastra.

Kalau guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai, jelas tidak ada masalah. Mereka bisa mengajak siswa didiknya untuk “berlayar” menikmati samudra sastra dan estetikanya. Melalui sastra, siswa bisa belajar banyak tentang persoalan hidup dan kehidupan, memperoleh “gizi” batin yang mampu mencerahkan hati nurani, sehingga sanggup menghadapi kompleks dan rumitnya persoalan kehidupan secara arif dan dewasa. Namun, secara jujur mesti diakui, tidak semua guru bahasa memiliki kompetensi sastra yang memadai. Minat dan kecintaan guru bahasa terhadap sastra masih menjadi tanda tanya. Tidak berlebihan jika pengajaran sastra di sekolah cenderung monoton, kaku, bahkan membosankan.

Tidak semua guru bahasa mampu menjadikan sastra sebagai “magnet” yang mampu menarik minat siswa untuk mencintai sastra. Yang lebih memprihatinkan, pengajaran sastra hanya sekadar menghafal nama-nama sastrawan beserta hasil karyanya. Siswa tidak pernah diajak untuk menggumuli dan menikmati teks-teks sastra yang sesungguhnya. Kalau kondisi semacam itu terus berlanjut bukan mustahil peserta didik akan mengidap “rabun” sastra berkepanjangan. Implikasi lebih jauh, dambaan pendidikan untuk melahirkan manusia yang utuh dan paripurna hanya akan menjadi impian belaka.

Kini sudah saatnya dipikirkan pemberdayaan guru bahasa dalam pengertian yang sesungguhnya. Format pemberdayaan guru semacam seminar, lokakarya, penataran, atau diklat yang cenderung formal dan kaku, tampaknya sudah tidak efektif. Forum non-formal semacam bengkel sastra barangkali justru akan lebih efektif. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan berdiskusi. Simulasi pengajaran sastra yang ideal bisa dipraktikkan bersama-sama, sehingga guru bahasa memperoleh gambaran konkret tentang cara menyajikan apresiasi sastra yang sebenarnya kepada siswa.

Guru bahasa menjadi figur sentral dalam menaburkan benih dan menyuburkan apresiasi sastra di kalangan peserta didik. Kalau pengajaran sastra diampu oleh guru yang tepat, imajinasi siswa akan terbawa ke dalam suasana pembelajaran yang dinamis, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika pengajaran sastra disajikan oleh guru yang salah, bukan mustahil situasi pembelajaran akan terjebak dalam atmosfer yang kaku, monoton, dan membosankan. Imbasnya, gema apresiasi sastra siswa tidak akan pemah bergeser dari “lagu lama”, terpuruk dan tersaruk-saruk.

Kini, KTSP sudah diluncurkan. Dari sisi muatan materi ajar, KTSP terkesan lebih ramping dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Namun, dari sisi pendalaman materi, KTSP terasa lebih intens dan konkret dalam memberikan bekal kompetensi kepada siswa. Secara eksplisit, KTSP sudah mencantumkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Konsekuensinya, guru harus benar-benar mumpuni dan berkompeten di bidangnya. Jika tidak, kegagalan KTSP sudah menanti, menyusul kegagalan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Demikian juga halnya dengan pengajaran sastra. Guru bahasa yang sekaligus guru sastra jelas dituntut memiliki kompetensi dan talenta sastra yang memadai.

Ada baiknya Depdiknas perlu segera melakukan pemetaan guru bahasa untuk mengetahui guru bahasa yang memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Merekalah yang kelak diharapkan menjadi guru sastra yang mampu membawa dunia siswa untuk mencintai sastra. Guru bahasa yang nihil talenta dan miskin minat sastranya tidak usah dibebani tugas ganda. Biarkan mereka berkonsentrasi di bidang kebahasaan, sehingga mampu memberikan bekal kompetensi kebahasaan secara memadai. Sebaliknya, biarkan pengajaran sastra diurus oleh guru bahasa yang benar-benar memiliki kompetensi dan minat di bidang sastra. Dengan spesialisasi semacam itu, kompetensi bahasa dan sastra siswa diharapkan bisa berkembang bersama-sama tanpa ada yang dianaktirikan. ***
READ MORE - Guru Bahasa, Sastra, dan KTSP

Kristal Hakikat dalam Cerpen Danarto

(Sambung rasa dengan Bung Rosa Widyawan)

Sungguh tak terduga kalau tulisan saya “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” (Wawasan Minggu, 26 Juni 1988) yang sekadar selentingan itu mendapatkan respon yang sangat menarik dari Bung Rosa Widyawan RP dengan judul “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” (Wawasan Minggu, 4 September 1988). Ya, sebuah judul yang bernada retorika, namun justru menggelitik untuk dicarikan bias-bias jawabannya. Dengan munculnya tulisan itu, saya bermaksud mengadakan sambung rasa dengan Bung Rosa. Atau, boleh juga dibilang sebagai hak jawab saya atas pertanyaan yang diluncurkan Bung Rosa.

Dalam tulisan itu, Bung Rosa meragukan sekaligus mempertanyakan sisi absurditas yang membayangi cerpen-cerpen Danarto. Bung Rosa akur jia abusrditas yang dimaksud adalah pemerkosaan terhadap hukum logika, sebab absurditas menimbulkan penafsiran yang luas, baik ditinjau dari segi teologi, filsafat, maupun seni. Kemudian, pada akhir uraian, Bung Rosa juga tidak sependapat dnegan pernyataan saya bahwa Danarto adalah seorang pembaharu dalam dunia cerpen Indonesia mutakhir –saya merujuk pendapat Korrie Layun Rampan dan Rayani Sri Widodo—sebab menurut Bung Rosa, cerita-cerita yang dipaparkan Danarto dalam cerpen-cerpennya sudah demikian akrab dalam gendang telinga pembaca.

Kristal Hakikat
Benar memang yang Bung Rosa katakan bahwa absurditas bisa menimbulkan penafsiran yang luas, baik ditinjau dari segi teologi, filsafat, maupun seni. Namun, perlu juga kita garis bawahi bahwa absurditas yang kita bicarakan adalah absurditas yang membayangi cerpen-cerpen seorang Danarto yang tentu saja batas leingkupnya lebih sempit.

Sebagai penulis yang dilandasi alam pikiran moral panteistis yang meyakini bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan, Danarto telah menjadi begitu yakin bahwa tokoh-tokoh ciptaannya mampu menerobos dimensi ruang dan waktu yang pada akhirnya menemukan klimaks konfliknya di tengah-tengah pertarungan kehidupan maya di alam fana dengan ucapan: “Melihat wajah Tuhan” seperti kata Rintrik, “Aku bukan hidup dan bukan mati. Akulah kekekalan” seperti teriakan Abimanyu ketika maut menyongsongnya, ataupun “O, Pohon Hayatku”, desah perempuan bunting dengan nikmat setelah babaran.
Momen-momen semacam inilah yang menggiring saya untuk mengatakan bahwa sisi absurditas dalam cerpen Danarto akan menjadi lain persoalannya jika dikaitkan dengan istilah absurditas dalam disiplin ilmu yang mahaluas itu. Sisi absurditas dalam cerpen-cerpen Danarto adalah hanya berfungsi sebagai arus-arus dalam menemukan krital hakikat, seperti kata Rayani Sriwidodo. Semacam prakatarsis melihat wajah Tuhan (1983:154).

Kristal hakikat macam apa? Sebagian besar cerpen Danarto yang bernada absurd nyaris berkaitan dnegan mau. Dalam “Dinding Anak”, misalnya, Bibit dikejar-kejar dan dipermainkan oleh Izrail si Malaikat Maut. Karena menjadi anak emas, maka sang ayah mengadakan tipu muslihat dengan mengganti nama Bibit menjadi Sruni. Namun, ternyata takdir berkehendak lain. Bibit keburu direnggut maut ketika namanya diubah menjadi Sruni. Atau, pada cerpen yang bertitel “!”, di mana sang ayah sebagai kepala keluarga sebuah keluarga modern mendapat serangan jantung yang hebat lantaran ulah anaknya yang badung. Namun, apa yang terjadi? Ketika seluruh anggota keluarga dirundung kesedihan setelah sang ayah dinyatakan mati oleh dokter, sang ayah justru mengalunkan lagu Come Back to Sorento dengan berdiri tegap di atas tempat tidur.

Suasana cerpen “Nostalgia” juga demikian. Ketika ajal menghadang karena dihujani busur-busur panah di sekujur tubuhnya dalam perang Bharatayuda, justru Abimanyu menerimanya dnegan erangan kenikmatan. Abimanyu malah tampak lebih gagah dengan busur-busur panah yang menancap di tubuhnya. Rupanya Bibit, sang ayah, dan Abimanyu yang dijadikan medium Danarto dalam menampilkan suasana absurd sebagai arus menuju kristal hakikat sebagai pengejawantahan dari takdir yang mokal bisa dimuslihati atau diingkari oleh manusia. Dan kristal hakikat yang diburu oleh patron tokoh cerpen Danarto adalah maut sebagai titian menuju penyatuan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).

Danarto memang bukanlah kaum eksistensialis Barat yang dengan radikalnya menyerap absurditas sebagai objek peneluran karya-karyanya. Akan tetapi, Danarto adalah seorang penulis yang dengan sangat sadar menjadikan sisi absurditas sebagai medium dalam menemukan kristal hakikat. Oleh sebab itu, Abimanyu akan lain halnya dengan Perken dalam “Royal Way”-nya Andre Malraux dalam menghadapi maut. Kalau Abimayu begitu menikmati songsongan maut. Sonder memberontak, tetapi Perken begitu berang dan memberontak ketika dihadang maut saat bertekad membentuk dan mengepalai sebuah negara Asia nun jauh di tengah rimba belantara Indocina. Ketika Sysiphus dikutuk oleh para dewa lantaran mengetahui rahasia para dewa yang harus mengangkat batu ke puncak gunung selalu gagal dengan peluh cucuran keringat berulangkali, barangkali ini sebagai pengejawantahan Albert Camus dalam menampilkan suasana absurditas yang dengan begitu kejam dan sadis memperlakukan Sysiphus.

Namun, Bibit dalam “Dinding Anak” milik Danarto begitu menurut, bahkan beriang ria dipermainkan oleh malaikat Izrail ketika bergelantungan di pohon yang tinggi menjulang pada malam hari. Sebab, Danarto sudah begitu yakin bahwa Bibit sudah saatnya menghadap Sang Pencipta.

Dalam kumpulan cerpen terbarunya Berhala yang memuat 13 cerpen, Danarto tak banyak mengambil imaji Yunani, Bharatayuda, Injil, maupun animisme Jawa. Tokoh-tokohnya pun kebanyakan berasal dari patron manusia lumrah yang manusiawi yang tak begitu memiliki kekuatan supranatural yang serba gaib seperti pada dua kumpulan cerpennya terdahulu. Danarto tak lagi mencomot tokoh-tokoh semacam Ahasveros, Salome, Kadal, Bekakrak, zat asam, maupun tokoh lain dari epos. Kalau toh itu ada, tokoh-tokoh semacam itu hanya sebagai digresi atau penyimpangan dari fokus cerita yang sebenarnya. Misalnya, tokoh “saya” yang berperan sebagai petrus alias penembak misterius dalam “Pundak yang Begini Sempit” tiba-tiba dilanda kegamangan yang hebat tatkala harus menyergap gali yang sedang berpcaran karena ia ingat Pandu dikutuk oleh kijang lantaran telah dibuhnya selagi sedang bermesraan. Ada juga tokoh malaikat dalam “Dinding Anak” yang senantiasa mempermainkan Bibit di pepohonan yang tinggi menjulang depan rumah.

Masih ada tokoh-tokoh lain yang punya kekuatan super, seperti tokoh ayah dalam “Langit Menganga” yang sanggup memusnahkan wadag manusia menjadi air, Wiwin dalam “Cendera Mata” yang sanggup memproduksi berpintal-pintal benang halus dari air matanya, tokoh Kyai dalam “Pageblug” yang sanggup menciptakan sebungkah es meluncur untuk memberantas pageblug, tetapi disalahpahami oleh para penjudi buntut dengan selalu mengejar bungkusan es yang terus meluncur itu. Namun, semuanya hanyalah digresi khas Danarto yang mengklaim tokoh-tokohnya denga kekuatan lebih.

Bukan Pembaharu Tema
Benar yang Bung Rosa katakan bahwa cerita-cerita yang dipaparkan Danarto dalam crpen-cerpennya sudah demikian akrab dalam telinga kita, bahkan cerita-cerita semacam itu telah mbalung sumsum dan bernaung turba (meminjam istilah Rama Mangun) sejak zaman baheula. Akan tetapi, cerita itu hanya berlangsung dari mulut ke mulut secara lisan. Seandainya cerita semacam itu ada dalam bentuk tulis, barangkali belum maujud dalam bentuk cerpen seperti yang Bung Rosa contohkan dalam sekar “Dandang Gula” itu.

Barangkali yang ingin Bung Rosa katakan adalah bukan hal yang baru dari segi tema. Ini benar. Dan saya yakin Danarto bukanlah seorang pembaharu tema dalam khazanah cerpen Indonesia, sebab tema-tema yang disajikannya sudah tidak asing lagi bagi pembaca. Akan tetapi, ada beberapa segi yang terasa baru dalam khazanah cerpen Indonesia yang belu pernah dilakukan dan dimiliki oleh penulis-penulis sebelumnya.

Rayani Sriwidodo pernah menyatakan bahwa ada dua aspek yang menunjukkan corak baru dalam cerpen Danarto, yakni aspek penyajian yang memasukkan unsur puisi, musik, dan seni lukis dalam cerpen-cerpennya sehingga tampak efek puitis, musikal, dan artistik dekoratif, serta aspek muatan yang, yakni adanya tendensi moral patenistis yang meyakini ajaran bahwa segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan. Selain itu, jika kita membaca cerpen-cerpen Danarto akan tampak bahwa sebagian unsur intrinsik dan ekstrinsik banyak menampilakn corak baru. Dari unsur intrinsik, misalnya, corak baru tersebut terletak pada tokoh dan perwatakannya, alur/plot, dan setting.

Tokoh dalam cerpen Danarto adalah tokoh imajiner yang sanggup menerobos terhadap benturan dimensi ruang dan waktu, manusia super yang mampu bertahan dalam situasi dan kondisi apa pun. Hal ini tampak pada “Pundak yang Begini Sempit” yang menceritakan kegelisahan seorang petrus yang dalam setiap tugasnya senantiasa diikuti oleh makhluk berkerudung, bersayap, dan bermata banyak di sekujur tubuhnya yang dengan mudahnya menghilang kapan dan di mana saja. Atau, pada cerpen “Kecubung Pengasihan”, seorang perempuan bunting sanggup bertahan hidup hanya memakan kembang-kembang di taman. Dan masih banyak tokoh lain semacam itu dalam cerpen-cerpen Danarto yang berjumlah 28 judul dari tiga buku kumpulan cerpen tersebut. Pada alur, cerpen Danarto penuh dadakan, kejutan, dan surprise yang sulit diterapkan dengan model alur konvensional. Ending cerita bisa di awal, di tengah, atau di akhir, bahkan ada juga cerita yang tanpa akhir (never ending story).

Dari unsur ekstrinsik –usnur-unsur dari luar cerita yang turut mewarnai suasana cerita—juga menunjukkan corak baru, misalnya tendensi moral panteistis, doktrin sufi yang mengacu pada ajaran wahdat al-wujud serta visi lain dalam benak Danarto dalam memandang dunia.

Untuk mengakhiri sambung rasa ini, perkenankanlah saya mengutip salah sebuah monolog seorang perempuan bunting dalam “Kecubung Pengasihan” ketika melihat kulit rahimnya kian mengembang:

“O, rahim semesta. Demikian agungkah Engkau? Rahimku mengandung diriku sendiri, di manak aku bermain-main di dalamnya dengan tenteramnya.”
READ MORE - Kristal Hakikat dalam Cerpen Danarto

ABSURDITAS DALAM CERPEN DANARTO

Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Hal ini bisa dimaklumi, sebab selain Danarto menggeluti dunia sastra, ia juga mengakrabi dunia seni lain, yakni seni leukis. Baginya, menulis dan melukis berjalan bersamaan. Sebuah pengakuan jujur.

Sebuah cerpen yang baik –setidak-tidaknya menurut persepsi saya—bukanlah produk mentah yang menghidangkan sajian-sajian vulgar, tetapi butuh proses renungan dan pengendapan setelah melalui pergulatan visi, filosofi, dan latar sosio-kultural yang menggelisahkan mata batin pengarang. Bagaimanapun juga sebuah cerpen tak pernah tercipta dalam kekosongan. Artinya, cerpen akan selalu diwarnai oleh worldview (pandangan dunia) dan pretensi pengarang dalam menangkap fenomena-fenomena sosiokultural yang menggelisahkannya. Beranjak dari sisi ini kejujuran Danarto tersebut justru harus dimaknai sebagai tuntutan komitmen seorang sastrawan yang mau tidak mau harus memiliki doktrin moral-force dan jangan dipersepsikan sebagai kreator yang kekeringan objek imajinatif, impresif, dan cuatan ekspresi.

Seorang Pembaharu
Dalam salah satu esainya, Korrie Layun Rampan pernah mengatakan, Danarto adalah seorang pembaharu dalam khasanah sastra Indonesia. Seorang pembaharu yang sadar, bukan kerena eksperimentasi yang mentah dan konyol. (via Eneste, 1983:146). Aset Danarto sebagai pembaharu bukanlah sebuah slogan. Cerpen-cerpennya menunjukkan kebaruan unik yang berbeda dnegan cerpen-cerpen yang pernah ada. Kebaruan tersebut dapat dilihat dari aspek penyajian dan aspek muatan dalam cerpen-cerpennya. Dari aspek penyajian tampak corak penampilan unsur-unsur puisi, musik dan seni lukis, sehingga mampu memberikan efek puitis, musikal, dan artistik-dekoratif, sampai-sampai pembunuhan yang tragis menjadi begitu indah, ceceran darah menjadi adonan yang begitu manis. Dari aspek muatan. Tampak adanya tendensi moral pantheisme, yakni ajaran yang meyakini doktrin segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan (Rayani Sriwidodo, 1983:147-150). Fenomena-fenomena semacam inilah yang menggiring kita untuk sependapat dengan ucapan Korrie Layun Rampan.

Predikat sebagai pembaharu agaknya juga disepakati oleh Umar Kayam yang menyatakan bahwa di Indonesia belum ada seorang penulis cerpen yang dengan sangat sadar menciptakan dunia laternatif dalam cerita-ceritanya, kecuali Danarto. Dua kumpulan cerpen jelas menunjukkan adanya dunai alternatif yang dengan senantiasa mengajak pembaca untuk memasuki sebuah dunia yang bukan milik orang awam. Pembaca dihadapkan pada sbeuah misteri yang tak pernah tuntas, teror, kebrutalan, dan sekian perbuatan superior yang tidak kepalang tanggung. Cerpen Danarto hanyalah memberikan arah saja seperti yang dikatakan Iwan Simatupang (via Eneste, 1983:346) bahwa pengarang cerpen hanyalah memberi arah saja. Danarto lewat cerpen-cerpennya memberikan prelogika yang harus dilogikakan sendiri oleh pembaca sehingga mampu mengundang berbagai alternatif interpretasi. Cerpen yang mengandung kekuatan teror mental yang mahadahsyat.

Pada kumpulan cerpen terbarunya, Berhala, Danarto mencuat dengan gebrakan baru. Saya katakan demikian, sebab persepsinya terdahulu nyaris ditinggalkannya. Dunia alternatif –yang menjadi karakteristik pada kumpulan cerpennya terdahulu- bergeser ke dunia realitas yang manusiawi. Danarto tak lagi berbicara tentang dunia sonya-ruri yang penuh ambigu—meski tidak semuanya—tetapi lebih gelisah pada masalah-masalah sosial yang menghinggapi manusia-manusia metropolis. Keterlibatan tokoh “saya” nyaris menjadi ajang pembredelan borok-borok manusia metropolis. Danarto menjadi peka terhadap problem-problem sosial manusia kapitalis yang cenderung mekanis dan memola manusia untuk menghamba pada kepuasan hedonis. Barangkali Danarto telah punya pandangan lain tentang sastra yang tidak harus melulu mengabdi pada kepentingan susastra, tretapi bisa dijadikan sebagai medium untuk mencuatkan obsesi kegelisahan terhadap kenyataan sosial yang korup. Apakah ini pertanda terbuktinya konsepsi Satyagraha Hurip tentang Sastra Terlibat di mana sastra harus turut memperbaiki moral bangsa?

Doktrin Sufi
Walaupun cerpen Danarto berbicara masalah sosial, agaknya tradisi yang khas yang tak mungkin bisa ditinggalkannya, takni suasana absurditas. Bukanlah Danarto kalau tidak memasukkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya.

Sebagai seorang Jawa Isalam yang taat dan dibesarkan di lingkunagn budaya Jawa Tengah (Sragen, Solo, dan Yogya), Danarto terpelanting pada dunia tassawuf, dunia kaum sufi yang bersiteguh pada doktrin wahdat al-wujud (ketunggalan wujud atau ketunggalan kehadiran) di mana semua pernyataan keheidupan menemukan ke-Esa-annya kepada Sang pencipta (Umar Kayam, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataannya bahwa kita ini adalah milik Sang pencipta secara absolut dan ditentukan (Danarto, 1983). Oleh sebab itu, tidak terlalu mengherankan jika hampir semua cerpennya selalu dinapasi doktrin sufi yang begitu akrab bergelayut dalam perjalanan hidupnya.

Namun begitu, cerpen-cerpennya bukanlah cerpen vulgar yang hanya mengaplikasikan doktrin sufi secara mentah, tetapi melalui pencerapan yang diadopsikan dengan bias-bias realita yang berhasil ditangkap melalui syaraf intuitifnya. Tampaklah bahwa cerpennya bukan sekadar mengobral doktrin mentah seperti orang berkhotbah.

Rayani Sriwidodo pernah menyinyalir bahwa Danarto juga terpengaruh oleh bayangan absurditas yang dianut oleh kaum eksistensialis pemikir Barat yang berdasar pada keyakinan bahwa manusia berada dalam satu dunia irasional yang tanpa arti. Hanya bedanya, Danarto lebih mengandalkan intuisi daripada rasio. Tradisi berpikir sistematis belum menjadi miliknya. Sedangkan, kaum eksistensialis Barat bertolak dari rasio yang menuntunnya ke arah sistem filsafat atau setidaknya kecenderungan falsafi yang jelas penalran ilmiahnya. Namun, agaknya semua itu di-nonsens-kan oleh Danarto yang lebih meyakini adanya proses dalam lingkaran kreasinya.

Tak pelak lagi, doktrin sufi sebagai salah satu corak agamawi berhasil menggiring Danarto untuk menghasilkan karya sastra yang transenden. Kepekaan akan kesadaran religius yang diproses melalui tatapan mata batinnya yang sensitif dalam mencuatkan obsesi kegelisahannya. Doktrin The Merging of Servant and Master (Manunggaling Kawula-Gusti) yang merupakan pancaran wahdat al-wujud senantiasa menjadi titik sentral dengan penggarapannya yang fantastis dan teatral. Hal ini tampak sekali pada salah satu cerpennya “Anakmu Bukanlah Anakmu, ujar Gibran” di mana Niken hamil tanpa seorang lelaki pun yang menjamahnya, meski pada akhirnya Niken menikah dengan pemuda Tomo yang papa dan tak dikenalnya. Anehnya, pada pesta perkawinannya muncul Khalil Gibran –seorang tokoh sufi yang telah meninggal tahun 1931—datang memberikan kado. Atau, pada cerpen “Bulan Sepotong Semangka” (Kompas, 12 Juni 1988), tokoh Nari juga hamil tanpa seorang lelaki pun yang menyentuhnya. Tanpa sesal. Bahkan, Nari bagaikan seorang resi yang bertapa di kamar abadinya. Tanpa makan dan minum sampai akhirnya ia melahirkan, bahkan sampai anaknya, Bim, dewasa, kuliah di Fisipol di universitas kamar abadinya dengan dosesnnya Nari sendiri. Fantastis! Niken ataupu Nari rupanya dijadikan tumpuan Danarto untuk mencuatkan doktrin sufinya. Betapapun masalah yang digarap sederhana, Danarto tak mungkin bisa meninggalkan suasana absurd dalam cerpen-cerpennya yang fantastis dan teatral. Tradisi kreativitas yang telah mengikatnya erat-erat tak mungkin ditinggalkannya. Danarto telah punya tradisi kepenulisan yang khas.

Untuk memahami cerpen-cerpen Danarto secara otentik, paling tidak kita harus menelusuri doktrin sufinya yang liat dan kental dalam perjalanan hidupnya. Selain itu, kita harus meohoknya dari latar sosiokultural yang melingkupinya. Tanpa tohokan semacam itu kita hanya akan dihadapkan pada cerpen abstrak yang sulit untuk dimaknai. ***
READ MORE - ABSURDITAS DALAM CERPEN DANARTO

Memburu Legitimasi lewat Antologi Sastra

Paling tidak dalam paro dekade terakhir muncul fenomena baru dalam jagat kesastraan Indonesia mutakhir. Yakni, memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya lahir sebuah antologi (baik cerpen maupun puisi).

Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan.

Antologi memang bisa menjadi alat dan media mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari ”panggilan” hidup tetaplah butuh pengakuan.

Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sekadar tujuan.
Menggeluti dunia sastra hakikatnya memahami hidup dan kehidupan sebagai bagian dari dinamika kebudayaan yang berujung pada upaya pemuliaan hidup dan martabat kemanusiaan. Teks-teks kreatif yang lahir dari tangan sastrawan mesti dipahami sebagai perwujudan dan pengejawantahan ”kebajikan” hidup untuk memberikan penafsiran dan penerjemahan kompleksitas denyut kehidupan, sehingga memberikan ”katarsis” dan pencerahan hidup dari berbagai macam pembonsaian nilai-nilai kemanusiaan.

Karena menggeluti dunia sastra adalah panggilan hidup untuk memuliakan nilai dan martabat kemanusiaan, kreativitas sastrawan akan senantiasa diuji oleh zaman dan dinamika peradaban. Artinya, kematangan dan kedewasaan kreativitas seorang sastrawan tidak semata-mata ditentukan oleh kehadiran sebuah antologi, tetapi lebih oleh gairah dan kesuntukan menggeluti kesastraan sebagai panggilan hidup.

Kalau toh hadir sebuah antologi yang menampung teks-teks kreatifnya, itu mesti dimaknai sebagai imbas, efek samping, atau bolehlah disebut ”tonggak sejarah” yang benar-benar melegitimasi derajat kesastrawanannya.

Persoalannya, hidup di tengah-tengah zaman yang kian kapitalistis seperti saat ini tidaklah mudah mendapatkan penerbit yang benar-benar memiliki idealisme untuk menerbitkan antologi sastra. Untung-rugi selalu menjadi pertimbangan utama. Sebuah penerbit tidak akan berbuat konyol dengan menerbitkan buku-buku sastra (termasuk antologi) kalau akhirnya buku-buku itu tidak laku.

Ya, para penulis memang masih bisa berkiprah meluncurkan teks kreatif melalui media massa. Namun, umumnya, hanya singgah sebentar dalam imaji publik, tidak semua mampu ”memfosil” dan menyejarah dalam wilayah apresiasi. Hanya beberapa di antara mereka mampu membangun kolaborasi dengan penerbit, sehingga punya antologi.

Lantas, bagaimana dengan karya-karya penulis yang secara literer tidak kalah hebat dari teks-teks sastra yang terantologi, namun tak terjamah penerbit buku?

Dalam konteks itu, mungkin dibutuhkan kehadiran seorang dokumentator dan kritikus sastra sekelas almarhum HB Jassin yang dengan cermat, suntuk, dan intens senantiasa mengikuti perkembangan dan dinamika teks sastra yang terpublikasikan di berbagai media massa, untuk selanjutnya membedah dan menganalisis tanpa harus menggunakan perangkat teori sastra yang muluk-muluk dan bombastis.

Sayang, selain Korrie Layun Rampan yang memproklamasikan Angkatan 2000 dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, kehadiran HB Jassin ”baru” dalam kesastraan kita tetap tanda tanya besar.

Dan, gairah kreativitas penulisan teks-teks sastra yang gencar mengalir dalam bentuk antologi tanpa diimbangi kesuntukan dan intensitas kritik sastra yang memadai hanya akan melahirkan kelatahan dan kekenesan. ***
READ MORE - Memburu Legitimasi lewat Antologi Sastra

Puisi Perjuangan Hartojo Andangjaya

RAKYAT

hadiah di hari krida
buat siswa-siswi SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman


Oleh : Hartojo Andangjaya


Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa



Sastra,
No. 10-11, Th II, 1962

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
READ MORE - Puisi Perjuangan Hartojo Andangjaya

Puisi Perjuangan Emha Ainun Najib

ANTARA TIGA KOTA

Oleh : Emha Ainun Najib

di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk

kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu

kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga

surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya

kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

-------------------

BEGITU ENGKAU BERSUJUD

Oleh : Emha Ainun Najib

Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid


1987


Pengirim Subhan Toba
Jumat 6 Januari 2000

-------------------

DARI BENTANGAN LANGIT

Oleh : Emha Ainun Najib

Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.


Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

-----------------------

DITANYAKAN KEPADANYA


Oleh :
Emha Ainun Najib





Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia


1988

------------------------

IKRAR

Oleh : Emha Ainun Najib

Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu

Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia

Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu

Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan

Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama



Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

-----------------

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG

Oleh : Emha Ainun Najib

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan


1987
------------------------

KITA MASUKI PASAR RIBA

Oleh : Emha Ainun Najib

Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan

Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa

1987

------------------

MEMECAH MENGUTUHKAN

Oleh : Emha Ainun Najib

Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan

Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu

Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan

Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia

1987

----------------------

SEPENGGAL PUISI CAK NUN

Oleh : Emha Ainun Najib

sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan

Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini

-------------------------

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

Oleh : Emha Ainun Najib

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!


1987

---------------------------------

TAHAJJUD CINTAKU

Oleh : Emha Ainun Najib

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
READ MORE - Puisi Perjuangan Emha Ainun Najib

Puisi Perjuangan D. Zawawi Imron

KUPERAM SUKMAKU

Oleh : D. Zawawi Imron

kuperam sukmaku di ketiak karang
kusemai benihmu dalam lambai dan salam
cambuk ombak melecut hari.
lahirlah sapi yang menanduk kebosanan

kutemukan keloneng benang
dalam sunyiku

menganga liang : ombak panas
arusmu terbakar di lautan jingga

kujilat nanah di luka korban
kauletakkan krakatau ke dalam diriku
Ialu kubuat peta bumi yang baru
dengan pisaumu


Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten

------------------

TEMBANG DAHAGA

Oleh : D. Zawawi Imron


airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti
sejak kapan dimulai gelisah

lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga
sedang cuaca tak pemah dusta ?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya

bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya


Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
READ MORE - Puisi Perjuangan D. Zawawi Imron