Ahmadun Yosi Herfanda

sastrawanLahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com. Mobile: 081315382096.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta (1986) dan S-2 Jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta (2004). Ia pernah aktif sebagai pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Inslam (HMI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002).
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Selain itu, sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Sehari-hari kini ia bekerja sebagai redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Ahmadun banyak menulis puisi, cerpen dan esei serta kolom. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle).
Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Oktober 2006 ia membacakan sajak-sajaknya dalam International Poetry Festival di Taman Budaya Palembang dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Maret 2007 ia menjadi pembicara utama dan membacakan sajak-sajaknya dalam The 1st International Poetry Gathering di Medan.
KARYA:

a. Puisi
1. Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984),
2. Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), 3. Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996),
4. Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996).
5. Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004)
6. The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005

b. Cerpen
1. Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),
2. Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004),
3. Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004),

Buku-buku barunya yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Karya-karya dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net.

Hadiah dan Penghargaan

Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
READ MORE - Ahmadun Yosi Herfanda

Agus R. Sarjono

sastrawanPenyair, cerpenis, dan esais ini lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya UI untuk S-2-nya.
Semasa mahasiswa ia aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989). Agus R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Puisi-puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri. Dr. Heike Gäßler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R. Sarjono tidak saja menciptakan gambar/ imaji melainkan juga membangunkan elemen-elemen dan figur-figur dalam puisinya agar hidup.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis.” Selain mengikuti workshop puisi seperti Asean Writers’ Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Pria beranak dua ini pernah diundang membacakan sajak-sajaknya di beberapa festival internasional, seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta (1995), Festival Seni Ipoh ke-III di Negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung (2002).
Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di berbagai kegiatan sastra, antara lain: “Mimbar Penyair Abad 21?, di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997?, di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I”, di Johor Bahru (1999).
Selain menjadi editor sejumlah buku, antara lain: Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993); Catatan Seni (1996); Kapita Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999); Dari Fansuri ke Handayani (2001); dan Horison Sastra Indonesia (2002); Horison Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity (2006); Agus R. Sarjono juga menulis beberapa cerita pendek.
Sejak Februari hingga Oktober 2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai writer in residence atas undangan Poets of All Nations serta peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden.
Agus adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pengajar pada Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta menjadi redaktur Majalah Sastra Horison.
Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang berdiskusi dan membacakan puisi-puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat-pusat kesenian di Jerman. Sejak 6 tahun yang lalu ia adalah salah seorang instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Salah satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003. Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain: Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001), dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Adapun karya dramanya terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004). Puisi-puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila (Filipina), Seoul (Korea Selatan), Bremen dan Berlin (Jerman). Selain itu, diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.
KARYA:

a. sajak
1. Kenduri Air Mata (1994; 1996);
2. A Story from the Land of the Wind (1999, 2001); dan
3. Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; 2003).

b. Puisi
1. Frische Knöckhen aus Banyuwangi (dalam bahasa Jerman, 2002),
2. Diterbangkan Kata-kata (antologi puisi, 2006).
3. "Kepada Urania" (terjemahan karya Joseph Brodsky, 1998) dan
4."Impian Kecemburuan" (terjemahan karya Seamus Heaney, 1998). Bersama Berthold Damshauser, ia menjadi editor Seri Puisi Jerman dan menerjemahkan beberapa puisi, antara lain: Zaman Buruk bagi Puisi, Berthold Brecht (2004); Candu dan Ingatan, Paul Celan (2005); Satu dan Segalanya, Johann Wolfgang von Goethe (2007).
READ MORE - Agus R. Sarjono

Adinegoro

sastrawanAdinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas (freelance journalist) pada surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta).
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana , hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
KARYA:

a. Novel
1. Darah Muda. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1931
2. Asmara Jaya. Batavia Centrum: Balai Pustaka. 1932.
3. Melawat ke Barat. Jakarta: Balai Pustaka. 1950.

b. Cerita pendek
1. “Bayati es Kopyor”. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.
2. “Etsuko”. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
3. “Lukisan Rumah Kami”. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17—18.
4. “Nyanyian Bulan April”. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31—32.
READ MORE - Adinegoro

Achdiat Karta Miharja

Achdiat Karta Miharja Achdiat Karta Miharja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa Barat. Achdiat rnenikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Ia memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) di kota Bandung dan tamat tahun 1925. Ia masuk ke AMS (sekolah Belanda setara SMA), bagian Sastra dan Kebudayaan Timur, di kota Solo tahun 1932. Lalu, melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di kota Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen Filsafat. Tahun 1956, dalam rangka Colombo Plan, Achdiat men¬dapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris, serta karang me¬ngarang di Australia.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Tamat dari AMS, Achdiat sempat mengajar di Perguruan Nasio¬nal, Taman Siswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 Ia beralih kerja menjadi anggota redaksi Bintang Ti¬mur dan redaktur mingguan Paninjauan. Tahun 1941 Ia menjadi redak¬tur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjemah di bagian siaran, radio Jakarta. Tahun 1946 ia me¬mimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan pe¬nyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 Ia kembali bekerja sebagai re¬daktur Balai Pustaka. Tahun 1949 Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping seba¬gai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Pada tahun 1951--1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Nas¬kah dan Majalah Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK.
Pada tahun 1951 Achdiat juga menjadi wakil ketua Organisasi Pe¬ngarang Indonesia (OPI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Ke¬budayaan Nasional (BMKN). Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indo¬nesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indo¬nesia. Tahun 1954 Achdiat menjabat ketua bagian
naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk ke¬susastraan. Tahun 1959--1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun 196 1—1969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU) Canberra.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Achdiat tertarik pada sastra berawal dari rumahnya sendiri, ketika ia masih kecil, masih di SD. Ayahnya adalah seorang penggemar sastra, terutama sastra dunia. Ayahnya sering menceritakan kembali karya-karya yang telah dibacanya kepada Achdiat. Lama-kelamaan, Achdiat kecil pun menjadi gemar juga membaca buku-buku koleksi ayahnya itu. Ia pun ikut melahap buku-buku sastra ayahnya itu. Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot dan Genoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika kelas VI SD.
Hasilnya adalah tulisan-tulisan Achdiat yang lahir di kemudian hari, baik itu yang berupa kar¬ya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia. Banyak pakar sastra yang membicarakan novelnya itu, antara lain, Ajip Rosidi, Boen S. Oemarjati, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.
KARYA:

a. Cerpen
(1) Kesan dan Kenangan (kump. cerpen). 1960. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) Keretakan dan Ketegangan (kump. cerpen).1956. Jakarta: Balai Pustaka.
(3) Belitan Nasib (kump. cerpen). 1975. Singapura: Pustaka Nasional.
(4) Pembunuh dan Anjing Hitam (kump. cerpen). Jakarta: Balai Pustaka
(5) “Pak Sarkam”. Poedjangga Baroe. No.5, Th. 13, 1951.
(6) “Buku Tuan X”. Poedjangga Baroe. No.7,8, Th. 4, 1953.
(7) “Salim, Norma, Sophie”. Prosa. No.2, Th. 1, 1953.
(8) “Sutedjo dan Rukmini”. Indonesia. No. 8,9, Th. 4, 1953.
(9) “Bekas Wartawan Sudirun”. Indonesia. Th. 4, 1953.
(10) “Si Ayah Menyusul”. Konfrontasi. No. 18, 1957.
(11) “Si Pemabok”.Varia. No. 104, Th. 3. 1960.
(12) “Latihan Melukis”. Budaya Jaya. No. 47, Th. 5. 1972.

b. Puisi
(1) “Pemuda Indonesia”. Gelombang Zaman, 2.1, (45), 2.
(2) “Bagai Melati”. Gelombang Zaman, 7.1(46), 2.
(3) “Bunga Bangsa”. Gelombang Zaman, 13.1 (46), 2.
(4) “O, Pudjangga”. Gelombang Zaman, 35.1, (46), 10.

c. Novel
(1) Atheis. 1949. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) Debu Cinta Bertebaran. 1973. Malaysia: Pena Mas.

d. Drama
(1) Bentrokan dalam Asmara. 1952. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) ‘Pak Dulah in Extremis”. Indonesia. No. 5, Tb. 10. 1959.
(3) “Keluarga R. Sastro” (drama satu babak). Indonesia. No. 8. Th.5. 1959.

e. Esai, antara lain
(1) Polemik Kebudayaan. 1948. Jakarta: Balai Pustaka.
(2) “Ada Sifat Tuhan dalam Diri Kita”. Pikiran Rakyat 28 Juni 1991.
(3) “Pengaruh Kebudayaan Feodal”. Sikap. Tb. ke-1, 13/X, 1948.
(4) “Bercakap-cakap dengan Jef Last”. Kebudayaan 10 Agustus 1950.
READ MORE - Achdiat Karta Miharja

Acep Zam Zam Noor

Acep Zam Zam NoorAcep Zam Zam Noor, seorang penyair yang lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren Cipasung. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren, mau tidak mau nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa. Cipasung adalah sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penyair kelahiran Cipasung, Tasikmalaya. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa islami yang kental.

Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa. Beberapa puisinya, bahkan ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok pesantren Cipasung pula, Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.
Ayah Acep Zam Zam Noor adalah seorang seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal di Pondok Pesantren Cipasung. Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya..Dia lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Sejak lahir tanggal 28 Februari 1960, Acep kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok pesantren.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Ketika duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Awalnya, dia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Seiring berjalannya waktu, Acep menulis puisi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus menggeliat. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Acep kemudian melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bertambah semangat untuk menulis. Atmosfir berkesenian yang ada dalam dirinya makin menggelora. Acep, bukan saja menulis puisi, melainkan juga melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub-klub diskusi kesenian.

Setelah menamatkan kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1980—1987), Acep tetap konsisten pada dunia berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas per Stranieri, Perugia, Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.
Di sela-sela kesibukan menulis puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Asep juga sibuk membimbing penulis-penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.

Kegiatan lainnya selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga pernah menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta dan pada tahun yang sama pula ke Kuala Lumpur dalam acara Southeast Asian Writers Meet. Tahun 2002, Acep mengikuti Festival Puisi Internasional di Makassar dan tahun 2004 dengan kegiatan yang sama, ia terbang ke Den Haag, Belanda.

KARYA:
1. Tamparlah Muka (1982),
2. Aku Kini Doa (1986),
3. Kasidah Sunyi (1989),
4. Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993),
5. Dari Kota Hujan (1996),
6. Di Luar Kota (1996),
7. Di Atas Umbria (1999),
8. Dongeng dari Negeri Sembako (2001),
9. Jalan Menuju Rumahku (2004).

Selain kumpulan buku puisi yang telah diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra dan jurnal. Mulai dari majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi, sampai dengan Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia) dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi, seperti:
1. Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987),
2. Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994),
3. Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995),
4. Takbir Para Penyair (Festival Istiqal, 1995),
5. Negeri Bayang-Bayang (Festival Surabaya, 1996),
6. Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996),
7. Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Kalam, 1998),
8. Angkatan 2000 (Gramedia, 2001),
9. Dari fansuri ke Handayani (Horison, 2001),
10. Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), dan
11. Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004).

Selain karya puisi yang dibuat bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga membuat puisi-puisi cinta yang romantis. Buku puisinya yang berjudul Menjadi Penyair lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007), boleh dianggap mewakili tren “puisi romantis”.
Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 menampung puisi lama (1978—1989) yang kata Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi-puisi barunya (1990—2006) Karena kepiawaiannya juga, karya puisi Acep Zam Zam Noor telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), serta diterjemahjan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda serta telah dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi-puisi Sundanya juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001), dan ke dala, bahasa Perancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).
Di samping menulis puisi, Acep Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif ikut dalam pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri, seperti ke Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.

Penghargaan
Karena dedikasi dan prestasinya dalam kegiatan menulis puisi, Acep Zam Zam Noor, pernah mendapat hadiah atau penghargaan sastra. Antara lain, Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993.
Tahun 1994, nominator hadiah Rancange untuk Dayeuh Matapoe. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional untuk karya Di Luar Kata tahun 2001. Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu dan The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu.

Sumber: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/?q=indeks_tokoh
READ MORE - Acep Zam Zam Noor