Sanusi Pane

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Kakak kandung Armijn Pane ini dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan pada tanggal 14 November 1905, tiga tahun lebih tua dari adiknya.

Kalau kita tilik latar belakang kehidupan Sanusi Pane akan kita peroleh jawaban mengapa dia tampak tidak bisa dipisahkan dengan alam. Dalam polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana (Pujangga Baru. April 1937) dia mengatakan bahwa di dunia Barat orang harus bekerja keras untuk menaklukkan alam. Orang harus berusaha mempertahankan diri untuk mengusai alam itu. Akibatnya, orang lebih mengutamakan jasmani sehingga timbul materialisme dan individualisme. Tidak demikian halnya dengan di Timur. Orang tidak usah bersusah payah berupaya untuk menaklukkan alam karena alam di Timur tidak sekeras di Barat. Di Timur manusia sudah merasa satu dengan alam sekelilingnya. Intelektualisme dan individualisme tidak begitu penting. Orang Timur tidak mementingkan segi jasmani. Hal ini bukan berarti bahwa derajat bangsa yang setinggi-tingginya itu dapat dicapai oleh “lapisan yang berpusatkan kenyataan: manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya." Pandangan hidup Sanusi Pane seperti itulah yang mencoraki hampir semua karyanya.

Kehidupan Sanusi Pane sehari-hari memperlihatkan betapa kuatnya pendiriannya itu mewarnai sikapnya terhadap hal-hal yang bersifat jasmani. Oleh karena sikapnya yang demikian itu pengarang ini tidak pernah membanggakan apa yang telah ia perbuat. Dia selalu bersifat merendah, meskipun sebenarnya hasil karyanya itu patut untuk dibanggakan. Ketika J.U. Nasution ingin menulis buku tentang karyakarya Sanusi Pane Ia tidak berhasil mewawancarainya. meskipun Nasution telah berulang-ulang mencobanya, Sanusi Pane selalu mengatakan. “Saya bukan apa-apa... ... saya bukan apa-apa... " ..." Itulah jawaban yang diberikan oleh Sanusi Pane (Nasution. 1963). Jawaban itu menggambarkan bahwa Sanusi Pane merasa dirinya belum berbuat sesuatu yang patut dihargai.

Menurut istri Sanusi Pane pada waktu presiden Soekamo akan memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada suaminya, Sanusi Pane menolak. Tentu saja sang istri terkejut bukan kepalang. Sanusi Pane memberikan jawaban sebagai berikut:

"Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."

Penghargaan semacam itu adalah kebanggaan yang bersifat jasmani yang justru harus dihindari dalam upaya mencapai manusia tingkat tinggi. Dengan kata lain, jika manusia tidak mampu melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat dumawi dia tidak akan dapat mencapai kebahagiaan yang sejati dalam alam baka nanti.
Keyakinan semacam itu sebenarnya adalah keyakinan orang Hindu. Sehagaimana petikan di atas telah diuraikan bahwa dunia ini hanyalah maya belaka. Bahkan, secara ekstrim dikatakan bahwa dunia ini jahat. Oleh karena itu. manusia harus berjuang untuk keluar dari belenggu itu. Tampaknya agama Hindu sudah merasuk ke dalam sanubari Sanusi Pane meskipun dia dilahirkan dari keluarga yang beragama Islam bahkan adiknya, Prof. Drs. Lafran Pane, adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketika Sanusi Pane akan meninggal dia berpesan agar jenazahnya diperabukan sebagai pujangga-pujangga Hindu yang telah terdahulu. Sudah tentu permintaan itu tidak dikabulkan oleh keluarganya karena menyalahi ajaran agama Islam.

Selama kurang lebih dua tahun inilah Sanusi Pane menemukan jalan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejati. Dia menyaksikan hahkan mengalami sendiri kehidupan tanah asal agama Hindu itu. Dia hidup di tanah “mulia". menurut Sanui Pane, penuh kedamaian sehingga ajaran Hindu benar-benar merasuk ke dalam hatinya. Tidak heran kalau dia pernah pantang makan daging karena agama Hindu mengajarkan untuk menyayangi sesama makhluk, termasuk binatang. Kalau orang menyayangi binatang sebagai konsekuensinya harus pantang makan dagingnya. Hal ini benar-benar diamalkan Sanusi Pane dalam kehidupan sehari-hari.

Ajaran agama Hindu itu begitu lekatnya dengan kehidupan Sanusi Pane sehingga masalah keduniaan tidak begitu ia perhatikan.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Sanusi pane mengawali pendidikannya di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan dan Tanjungbalai. Setelah itu. ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang dan di Jakarta. Ia tamat dari MULO pada tahun 1922. Selanjutnya, dia belajar di Kweekschool ‘Sekolah Pendidikan Guru' Gunung Sahari. Jakarta sampai tamat tahun 1925 dan langsung diangkat menjadi guru di sekolah itu sampai tahun 1931. Pernah pula Ia mengikuti kuliah di Rechtshogeschool ‘Sekolah Tinggi Kehakiman’ selama satu tahun. Pada tahun 1929--1930 dia melawat ke India untuk memperdalam kebudayaan Hindu (Nasution. 1963).

Sebagaimana telah disebut di muka, begitu lulus dari Kweekschool ‘Sekolah Pendidikan Guru’ pada tahun 1925. Sanusi langsung diangkat menjadi guru di sekolah tersebut. Pekerjaan mengajar itu dijalaninya selama lebih kurang enam tahun (1925--1931).
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Pada waktu dia bekerja di Balai Pustaka dia menolak untuk diantarjemput. Dia memilih berjalan kaki saja. Segala tawaran yang berkaitan dengan kariernya dibiarkan begitu saja tanpa jawaban. Sering dia membiarkan jatah berasnya membusuk di gudang tanpa diambil. Bahkan, selama bekerja dia tidak pernah mengurus kenaikan pangkatnya sehingga tetap berada dalam pangkat yang sama sampai pensiun. Pada suatu ketika istrinya merasa cemas dengan kehidupan Sanusi Pane yang harus membiayai enam orang anak. Istrinya mencoba menyadarkan Sanusi Pane agar memikirkan nasib anaknya pada masa datang. Sanusi Pane selalu menjawab, “Kita toh belum kelaparan. kita toh belum jadi gelandangan, kita toh masih bisa berpakaian.”

Sanusi Pane tampak tenang dalam kehidupan sehari-hari tidak mudah terpengaruh oleh kesibukan dunia sekelilingnya.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Selain itu. Sanusi juga dikenal sebagai salah seorang pendiri majalah Pudjangga Baroe. Di majalah tersebut, ia duduk sebagai pembantu utama. Di samping itu, ia pun pernah bekerja di Balai Pustaka.

Sebagai seorang sastrawan sebelum perang. tokoh Sanusi Pane memang tidak setenar adiknya, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisyahbana. Nama Armijn Pane cukup terkenal lantaran romannya Be!enggu; Sutan Takdir Alisyabbana namanya harum karena Layar Terkembang. Meskipun tidak setaraf dengan kedua pengarang itu, Sanusi Pane sebagai penulis drama, menurut J.U. Nasution. adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang atau masa Angkatan Pujangga Baru. Selain penulis drama, Sanusi Pane juga dikenal sebagai penulis puisi meskipun tidak setenar Amir Hamzah. Amir Hamzah mendapat julukan Raja Penyair, tidak demikian halnya dengan Sanusi Pane.

Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II, baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Di samping itu, dia termasuk salah seorang tokoh pendiri Angkatan Pujangga Baru. Kalau Armijn Pane menjabat Sekretaris majalah Pujangga Baru, Sanusi Pane adalah sebagai salah seorang pembantu utamanya.

Pada masa gerakan Pujangga Baru pandangan orang terhadap kebudayaan Indonesia pada umumnya ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya. Perbedaan pandangan terhadap kebudayaan itu menimbulkan polemik yang cukup seru. Polemik itu melibatkan tokoh-tokoh kenamaan seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M. Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana, dan tidak ketinggalan Sanusi Pane, Karangan yang muncul dalam polemik para ahli kebudayaan itu dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja (1977) menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan.

Dalam banyak hal Sanusi Pane bertentangan dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Takdir yang lebih banyak condong ke Barat mempunyai semboyan bahwa hidup harus selalu berjuang. hidup harus bekerja keras. Tanpa menyadari dan melaksanakan hal itu orang tidak akan maju, tidak akan bisa menjadi manusia yang modern. Sanusi Pane lehih mengutamakan ketenangan dan kedamaian. Justru hal inilah oleh Takdir dianggap hal yang melembekkan. Semboyan tenang dan damai membelenggu orang menjadi tidak maju.
Tampaknya aliran pikiran Hindu menyatu dalam diri Sanusi Pane. Orang Hindu beranggapan bahwa dunia ini adalah maya, kosong belaka. Untuk apa orang harus berlomba-lomba menguasai dunia yang sebenarnya hanya semu belaka. Mereka beranggapan bahwa ruh manusia di dunia ini diciptakan dari ruh dunia, ruh yang universal. Dia akan meresap kembali dengan ruh dunia itu. Di sanalah kebahagiaan itu akan dicapai manusia jika ia berhasil memisahkan diri dengan hal-hal yang bersifat materi.

Semboyan Sanusi Pane yang lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian itu tampaknya terjelma pada hampir semua hasil karyanya, baik yang berupa puisi maupun drama. Itulah sebabnya dia dikenal sebagai pengarang romantik. Dia merenungi kejayaan dan kemegahan serta kedamaian masa lampau. Dia merenungi kedamaian yang didendangkan alam sekitar. Alam tidak hanya sebagai lambang, tetapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam, misalnya, “Sawah, “Teja”, “Menumbuk Padi”.

Keindahan sawah menyentuh kalbu sang pujangga. Padi yang sedang menguning melambai-lambai; suara seruling petani sejuk terdengar mendamaikan hati. Sekelompok anak bercanda-ria, berkejarkejaran karena kegirangan mandi di sungai yang jernih. Langit cerah berwarna biru menawarkan ketenangan dan kedamaian. Di kejauhan tampak seekor burung elang melayang-layang di udara menikmati alam nan permai. Suara berdesik dari dedaunan berbisik merdu karena terbuai angin nan lembut. Sayup-sayup terdengar suara kokok ayam menambah kedamaian jiwa yang mendengarnya.

Sanusi Pane melihat alam dengan penuh gembira. Alam yang merupakan sumber yang tak kering-keringnya untuk dinikmati secara terus-menerus. Terkadang jiwa Sanusi Pane mengembara jauh ke masa silam; dia mendambakan kejayaan masa lampau yang gemilang.

Paham romantik masih tetap mengalir dalam jiwa Sanusi Pane. Dalam buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madah Kelana, jiwa keromantikan itu masih tetap mewarnainya. Banyak kita jumpai sajak-sajak percintaan yang cukup romantis, “Angin”, “Rindu”, “Bagi kekasih”, ‘Kemuning”, dan “Bercinta”. Sajak yang terbesar yang terdapat dalam Madah Kelana yakni “Syiwa Nataraja” adalah sajak yang melukiskan keinginan pengarang untuk bersatu dalam alam. Tampaknya ketika dia menciptakan sajak ini dia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang sebesar itu. Di samping itu, masib banyak lagi kita jumpai sajak-sajaknya yang senafas dengan itu. misalnya, “Awan”, “Penyanyi”. “Pagi”, “Damai", dan “Bersila”. Hal ini membuktikan keyakinan Sanusi Pane bahwa manusia harus bersatu dengan alam. Hal ini masih tetap mewarnai karya-kanya puisinya yang terkumpul dalam Madah Kelana ini.

Sanusi Pane di samping sebagai penyair juga sebagai penulis drama. Sebagai penulis drama dia adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang, sebagaimana telah diuraikan di atas. Dia telah menulis dua drama dalam bahasa Belanda yang berjudul Air Langga dan Enzame Garoedavlucht dan tiga buah dramanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Kertajaya, Sandyakala Ning Majapahit. serta Manusia Baru.

Drama Sanusi Pane. yang berjudul Kertajaya merupakan cerita tragedi yang mengingatkan kita pada cerita Romeo and Juliet karya pujangga Inggris Shakespeare. Dalam kesusastraan Jawa kita jumpai tragedi semacam itu pula yakni cerita Pranacitra dan Rana Mendut, di Bali kita jumpai cerita Jayaprana dan Layonsari. Drama itu ditutup dengan matinya dua tokoh utama, Dandang Gendis (Kertajaya) dan Dewi Amisani dengan cara bunuh diri. Suatu penyelesaian yang sangat berbeda kalau kita bandingkan dengan fakta sejarah. Memang, ada pula perbedaan fakta yang dikemukakan oleh ahli sejarah tentang nasib Kertajaya sebagai raja Kediri. Stutterheim, misalnya. menyatakan bahwa Kertajaya mengasmgkan diri sebagai petapa. Lain halnya dengan Krom, dia mengatakan, setelah Kertajaya kalah dalam pertempuran di Garner dia hilang, tidak jelas ke mana, mungkin mati atau melarikan diri.

Sastrawan mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu peristiwa. Sastrawan bukan pencatat peristiwa-peristiwa sejarah. Sebagaimana sastrawan Sanusi Pane memberi tafsiran yang berbeda dengan kedua ahli sejarah di atas. Dia memilih jalan sendiri untuk mengakhiri cerita itu dengan mematikan tokoh utamanya. Kedua tokoh utama dalam cerita itu mati dengan cana bunuh diri. Apa yang diceritakan oleh Sanusi Pane dapat kita maklumi karena dia adalah pengarang yang berjiwa romantik. Fantasi romantiknya yang mendorong pengarang untuk mengakhiri ceritanya dengan tetesan air mata. Hal yang sama dilakukannya pula dalam dramanya yang berjudul Sandyakala Ning Majapahit.

Adegan pertama dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Kertajaya sudah menunjukkan kekhasan Sanusi sebagai pengarang romantik. Dialog-dialog antara kedua tokoh utama cerita itu merupakan wujud lahir jiwa romantik sang pengarang. Pengambilan latar di lereng gunung Wilis, dihiasi kicauan bunung, suara angin yang berhembus, ayam yang berkokok sangat mendukung suasana romantis yang diingini pengarang. Dari jawaban Dandang Gendis (Kertajaya) atas pertanyaan Dewi Amisani itu kita ketahui bahwa lukisan tentang cinta seperti itu terlalu dilebih-lebihkan pengarang. Orang bersusah payah mencari nirwana melalui buku atau guru yang sampai mati pun sering tidak menemukannya. Akan tetapi, Dandang Gendis menemukan nirwana itu di mata kekasihnya, Dewi Amisani. Dandang Gendis menyamakan nirwana dengan kekaksihnya. Meskipun drama itu ditulis tahun 1938 (drama ini dimuat pertama kali pada majalah Poedjangga Baroe, tahun VI, No. 3, bulan Desember 1938) lukisan semacam itu tetap terasa berlebihan. Hal ini justru membuktikan pengaruh romantik sangat kuat dalam diri Sanusi Pane.

Dorongan hati untuk menciptakan cerita yang mengharukan. yang dapat mencucurkan air mata bagi pembaca atau penonton masih terlihat dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Sandyakala Ning Majapahit. Akhir cerita drama ini lain sama sekali dengan buku yang dijadikan dasar pembuatan cerita itu yakni Serat Damarwulan. Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama Sandyakala Ning Majapahit adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton.

Cerita Damar Wulan diakhiri dengan happy ending. Keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, Sandyakala Ning Majapahir diakhiri dengan peristiwa yang tragis. Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit dia juga dituduh sebagai pengkhianat. Tuduhan itu begitu hebatnya sehingga hukuman mati bagi Damar Wulan tak terelakkan lagi. Sepeninggal Damar Wulan kerajaan Majapahit diporakporandakan balatentara dari kerajaan Bintara.

Drama Sanusi Pane yang terakhir berjudul Manusia Baru. Drama ini dibuat pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe, tahun VIII, No. 5. November 1940. Tujuh tahun setelah dramanya yang berjudul Sandhyakala Ning Majapahit, Sanusi Pane menghasilkan dramanya Manusia Baru itu. Masa kurang lebih tujuh tahun sudah cukup bagi Sanusi Pane untuk menghasilkan ide-ide baru yang berbeda dengan ide-ide yang dituangkannya dalam puisi maupun drama sebelumnya. Dalam kurun waktu itu pula dia berhasil mengungkapkan konsep “manusia barunya"-nya. Manusia yang dapat mencapai kebahagiaan lahir batm, kebahagiaan dunia akhirat atau “insan kamil".

Manusia semacam itu, menurut Sanusi Pane, tidak hanya mementingkan hal-hal yang bersifat rohani belaka. Dunia tidak lagi dianggap “jahat” yang perlu dijauhi dan dihindari, sebab menghindari dunia, hidup tidak bisa dipertahankan. Manusia hidup pada zaman modern ini harus bekerja keras dan mau menaklukkan dunia seperti tokoh Faust ciptaan Gothe. Akan tetapi, manusia modern harus tetap memiliki budi yang luhur, religius, dan cinta sesama manusia sebagaimana dimiliki oleh Arjuna ciptaan Empu Kanwa. Jika manusia belum dapat memadukan dua pribadi itu dalam dirinya dia bukan manusia modern yang diidealkan Sanusi Pane.

Di dalam Manusia Baru Sanusi Pane tidak lagi tenggelam ke dalam kejayaan dan kemegahan pada masa silam. Dia tidak lagi mengagungkan apa yang telah dicapai oleh nenek moyang sementara dirinya tidak berprestasi. Hal ini bukan berarti mengabaikan dan tidak mencintai karya agung warisan leluhur kita. Yang lama tetap agung dan berharga. Akan tetapi, manusia sekarang harus hidup pada masa sekarang serta mampu memandang kehidupan jauh ke depan. Dari yang lama manusia sekarang dapat mengambil manfaatnya selama dapat dimanfaatkan. Manusia sekarang harus pandai menyaring pengaruhpengaruh dari warisan lama termasuk budaya dari asing. Inilah “Manusia baru” yang diidealkan oleh Sanusi Pane dalam dramanya yang berjudul Manusia Baru. Tokoh Rama atau Rama Rao adalah simbol seniman pada umumnya masih terpesona keagungan masa silam. Dia berhasil disadarkan oleh Das atau Surendranath Das untuk bangkit sebagai manusia baru, seniman baru yang harus hidup penuh semangat memandang jauh ke masa depan. Seniman yang masih terikat oleh masa silam akan menghasilkan karya yang “layu, beku, kabur, mati, dan tidak berjiwa.”

Ide manusia yang ditampilkan Sanusi Pane dalam drama ini mencakup pula emansipasi wanita. Emansipasi ini tampak pada akhir ceritanya. Tokoh Saraswati atau Saraswati Wadia anak ketua Perkumpulan Industri Tenun Madras bangkit dari kungkungan adat lama. Adat lama mengatur bahwa anak gadis harus ditunangkan sejak kecil. Demikian juga Saraswati, dia ditunangkan sejak masih balita, sejak masih berumur empat tahun, peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Saraswati. Dia tidak mau hidup bagaikan dalam sangkar, sebentar dilepaskan kemudian dimasukkan kembali. Dia memberontak semua itu. Pertemuan antara Saraswati dengan seorang penganjur pemogokan kaum buruh, Surendranath Das, menyadarkan jiwanya untuk ikut bangkit sebagai manusia baru. Saraswati mengagumi watak dan pemikiran Surendranath Das. Bahkan, dia mencintai Das dan harus meninggalkan tunangan lamanya. Sudah barang tentu keluarganya tidak menyetujui hubungan itu, karena dalam peristiwa pemogokan kaum buruh itu Das adalah musuh keluarga Saraswati. Ketika Das akan pergi meninggalkan Madras, Sarswati bertekat akan tetap mengikuti ke mana Das pergi. Dia meningalkan adat lama; dia meninggalkan keluanga. ayah dan ibunya tersayang. Dia lakukan semua itu demi cintanya kepada Das, demi kemajuan bangsanya, demi kemajuan manusia, manusia baru.

Menarik sekali kisah cinta Sarswati dan Das yang ditampilkan Sanusi Pane dalam dramanya Manusia Baru ini karena kisah cinta kedua tokoh itu sangat mirip dengan kisah cinta sang pengarang. Ketika Sanusi Pane melamar sang bidadari pujaan hatinya, pihak keluarga perempuan meminta boli (mahar) sebesar tiga ribu gulden. Permintaan itu terlalu besar sehingga tidak terbayar oleh Sanusi Pane. Sebenarnya permintaan boli sebesar itu adalah penolakan secara halus. Apa reaksi Sanusi Pane atas permintaan itu? Sanusi Pane mengajak kekasihnya untuk melakukan marlojong (kawin lari). Kesepakatan telah dicapai: niat akan dilaksanakan sang mertua mengetahui tekad kedua anak manusia itu. Boli sebesar tiga nibu gulden pun dibatalkan dan hanya diminta membayar boli sebesar tiga ratus gulden. Perkawinan dilaksanakan dengan boli sebesar tiga ratus gulden walaupun akhirnya diketahui bahwa uang sebesar itu hasil Sanusi Pane meminjam. Sang mertualah yang pada akhirnya pula membayar hutang menantunya itu.

Dari keseluruhan karyanya dapat disimpulkan bahwa Sanusi Pane tidak hanya menganut satu aliran. Karya-karyanya, sebelum Manusia Baru, terwarnai alinan romantik yang sangat kuat. Dramanya yang berjudul Manusia Baru ini sudah mencerminkan sifat realistis pengarang. Pengarang benar-benar telah menemukan dirinya sebagai manusia baru, yang harus hidup pada masa sekanang. Untuk menemukan manusia baru itu diperlukan perenungan yang cukup panjang. Seperti pengakuan dalam esai tentang Timur dan Barat sebagai berikut. “Pengembaraan kami dalam berbagai-bagai kebudayaan membentuk semangat yang tertentu dalam diri kami. Semangat itu minta bahasa dan kesusastraan bam untuk wujudnya."

Sanusi Pane telah tiada. Ketika fajar mulai menyingsing tanggal 2 Januari 1968 sang Pujangga dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Dia pergi penuh kedamaian; telah banyak yang dilakukannya untuk kemaslahatan manusia. Dia mengabdikan dirinya dengan tulus ikhlas untuk kemanusian. Semoga dia dapat mencapai kebahagiaan “petala nirwana”. Sanusi Pane meninggalkan seorang istri dan enam orang anak tanpa meninggalkan kekayaan yang berupa materi sedikit pun, bahkan rumahpun tak dimilikinya.
KARYA:

Karya Sanusi Pane, antara lain:
a. Prosa Lirik
(1) Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926).

b. Puisi
(1) Puspa Mega (kumpulan), Jakarta: Balai Pustaka, 1927.
(2) Madah Kelana (kumpulan), Jakarta: Balai Pustaka I, 1931, 111950, Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978.

c. Drama
(1) Airlangga (berbahasa Belanda), 1928.
(2) Eenzame Garoedavlucht (berbahasa Belanda), 1929.
(3) Kertajaya, Jakarta: Balai Pustaka, 1932, Pustaka Jaya I 1971, IV 1987.
(4) Sandyakala Ning Majapahir, Jakarta: Balai Pustaka, 1933, dan Pustaka Jaya 1974.
(5) Manusia Baru, Jakarta: Balai Pustaka, 1940.

d. Terjemahan
Arjuna Wiwaha. Jakarta: Balai Puistaka I, 1940, II 1949 dan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan daerah, 1978.

e. Bunga Rampai
Bunga Rampai dari Hikayat Lama. 1946. Jakarta: Balai Pustaka

f. Sejarah
(1) Sejarah Indonesia. 1942, 4 jilid.
(2) Sejarah Indonesia Sepanjang Masa, 1952.
READ MORE - Sanusi Pane

Subagio Sastrowardoyo

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954—1958). Ia juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958—1961. Pada 1966—1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971—1974 mengajar di Salisbury Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia Selatan tahun 1974—1981. Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982—1984) dan sebagai anggota Kelompok Kerja Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981).
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi. Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta. Tentang kepenyairannya itu, Goenawan Mohamad mengatakan bahwa sajak-sajak Subagio adalah sajak rendah. Puisinya seolah-olah dicatat dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam. Itulah paling tidak sebagian dari karakter kepenyairan Subagio Sastrowardoyo.

Kreatifitas Subagio Sastrowardoyo tidak terbatas sebagai penyair. Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair, Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya.
KARYA:

Karya yang telah ditulisnya pun beragam dan banyak, seperti berikut ini.

A. Kumpulan puisi
1. Simphoni (1957)
2. Daerah Perbatasan (1970)
3. Keroncong Motinggo (1975)
4. Buku Harian (1979)
5. Hari dan Hara (1982)
6. Simponi Dua (1989)
7. Dan Kematian Makin Dekat (1995)

B. Kumpulan esai
1. Bakat Alam dan Intelektualitas (1972)
2. Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor (1976)
3. Sosok Pribadi dalam Sajak (1980)
4. Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983)
5. Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989)
6. Bunga Rampai Sastra Asean: Sastra Lisan Indonesia (1983)
7. Modern Asean Plays Indonesia (di dalamnya dimuat drama “The Bottomless Well”, “Wow”, “Time Bomb”, dan “Dhemit”) (1992)
8. Anthology of Asean Literatures: Volume III a: The Islamic Period in Indonesian Literature (1994)

C. Kumpulan cerpen
Tulisan Subagio yang berupa cerpen terkumpul dalam sebuah kumpulan cerpen, yaitu Kedjantanan di Sumbing (1965).

Selain itu, ia juga menerima hadiah dan penghargaan atas kreatifitasnya itu.

Hadiah dan Penghargaan yang diterima:
1. Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983) untuk karyanya Sastra Hindia Belanda dan Kita
2. Hadiah Pertama dari majalah Kisah (1995) untuk cerpennya “Kedjantanan di Sumbing”
3. Hadiah dari majalah Horison untuk puisinya “Dan Kematian pun Semakin Akrab” yang dimuat dalam majalah itu tahun 1966/1967
4. Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) untuk kumpulan puisinya Daerah Perbatasan
5. Penghargaan South East Asia Write Award (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand pada tahun 1991 untuk kumpulan puisinya Simponi Dua
READ MORE - Subagio Sastrowardoyo

Sutardji Calzoum Bachri

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Sutardji Calzoum Bachri dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya sampai tingkat doktoral, Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari pasangan Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah) dan May Calzoum (dari Tanbelan, Riau). Dia menikah dengan Mariham Linda (1982) dikaruniai seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Kariernya di bidang kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat kabar mingguan di Bandung.

Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison, dan Budaya Jaya.
Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji Calzoum Bachri diperhitungkan sebagai seorang penyair.

Pada tahun 2000—2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti menjadi redaktur majalah Horison.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974—April 1975), bersama Kiai Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail.

Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia.
KARYA:

Sutardji dengan “Kredo Puisi”nya menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.

Beberapa karyanya adalah:
1. O (Kumpulan Puisi, 1973),
2. Amuk (Kumpulan Puisi, 1977), dan
3. Kapak (Kumpulan Puisi, 1979).

Kumpulan puisnya, Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.

Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain:
1. Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976),
2. Writing from The Word (USA),
3. Westerly Review (Australia),
4. Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975),
5. Ik Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979),
6. Laut Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
7. Parade Puisi Indonesia (1990),
8. Majalah Tenggara,
9. Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
10. Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).

Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang, Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi “Bentara”.

Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”

Penghargaan:

Penghargaan yang pernah diraihnya adalah:
1. Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1997),
2. Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993),
3. Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan
4. Dianugrahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).
READ MORE - Sutardji Calzoum Bachri

Wisran Hadi

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Wisran Hadi merupakan sastrawan Indonesia asal Sumatra Barat, daerah yang banyak mencetak sastrawan, baik tempo dulu maupun saat ini.

Sastrawan yang berasal dari daerah Sumatra Barat ada yang berkarya di tanah kelahirannya dan ada pula yang membina produktivitasnya di perantauan. Salah seorang sastrawan asal Sumatra Barat yang banyak menghasilkan karya di tanah kelahirannya adalah Wisran Hadi.

Wisran Hadi dilahirkan di Lapai, Padang, pada 27 Juli 1945. Nama Hadi pada namanya itu merupakan singkatan nama orang tuanya, Haji Darwas Idris. Wisran merupakan anak ketiga dari tiga belas bersaudara. Ia dibesarkan dalam lingkungan pendidikan agama Islam yang taat. Ayahnya, H. Darwas Idris, adalah seorang Imam Besar Masjid Muhammadiyah Padang dan juga seorang ahli tafsir terkemuka di Indonesia. Masa kecil Wisran banyak dipengaruhi oleh kesenian Minangkabau tradisional, seperti pertunjukan randai dan kaba-kaba (cerita) rakyat Minangkabau.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Wisran Hadi menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota Padang. Setelah menyelesaikan sekolah guru agama di Padang, Wisran melanjutkan pendidikannya ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan tamat tahun 1969. Sejak tahun 1967, Wisran aktif melakukan pameran lukisan di kota Yogyakarta, baik sendirian maupun berkelompok. Untuk memperluas wawasannya dalam dunia sastra, Wisran pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, USA ( 1997); mengikuti Observasi Teater Modern Amerika di USA (1978); mengikuti Observasi Teater Modern Amerika dan Jepang (1986).
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Wisran tidak hanya menggeluti dunia lukis dan sastra, tetapi juga memasuki dunia akting dan aktif di berbagai kegiatan kesenian, baik tingkat daerah maupun nasional. Hobinya sebagai penulis membuahkan hasil sebagai penulis drama terkemuka di Indonesia yang memiliki ciri khas kedaerahan. Naskah-naskah drama yang dihasilkan mampu mengantarkannya sebagai pemenang lomba penulisan naskah sandiwara yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Ia memperoleh penghargaan penulisan naskah sandiwara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975, 1981, 1984, 1985, dan 1998. Pada tahun 1991, ia menerima penghargaan sebagai seniman teladan dari Pemda Tk II Padang. Wisran juga pernah memperoleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa tahun 1978 atas karyanya yang berjudul "Jalan Lurus". Selain menulis naskah drama, Wisran juga menulis, puisi, cerpen, dan novel. Untuk menyalurkan kreativitas generasai Padang dalam dunia teater, Wisran mendirikan sanggar Teater Bumi pada tahun 1978 di Padang.

Pada suatu masa, kelompok teater yang dipimpin Wisran Hadi itu pernah memiliki anggota sebanyak tujuh ratus orang. Darman Moenir, salah seorang sastrawan Indonesia asal Sumatra Barat, merupakan salah satu murid Wisran Hadi. Saat ini, Wisran lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menulis setelah pensiun dari dosen tamu Fakultas Sastra Universitas Andalas dan INS Kayu Tanam. Istrinya, Upita Agustina, juga seorang penyair. Mereka dikaruniai lima orang anak. Bersama Upita Agustine,Wisran menjalani hidup berkesenian dan menulis karya sastra.

Yang menarik dari karya-karya Wisran adalah adanya upaya untuk menghidupkan kembali tradisi dan mitos lama Minangkabau dan Melayu ke dalam bentuk kekinian. Akan tetapi, tidak tunduk kepada pemikiran masyarakatnya. Wisran, dalam karya-karyanya, berupaya mentransformasikan mitos dan nilai-nilai (lama) Minangkabau yang ada dalam tradisi dan cerita lama Minangkabau dalam bentuk yang baru. Ia tidak mengetengahkan mitos dan nilai lama itu sebagaimana adanya, tetapi "mengobrak-abriknya" sehingga menjadi sesuatu yang baru. Kedurhakaan Malin Kundang berubah menjadi kebaikan di tangan Wisran Hadi. Malin Kundang yang dalam mitos Minangkabau dan cerita lama Minangkabau dikenal sebagai anak durhaka, tetapi diubah oleh Wisran menjadi anak yang berguna.
KARYA:

Ada beberapa karya Wisran yang menggunakan teknik penceritaan seperti itu. Di samping itu, warna religious juga banyak mewarnai karya Wisran. Di samping menghasilkan karya dalam bentuk naskah lakon, Wisran juga menulis puisi, cerpen, dan novel. Drama yang dihasilkannya, antara lain sebagai berikut:
1. Dua Buah Segi Tiga (1972), dipentaskan di SSRI Padang
2. Sumur Tua (1972), dipentaskan di Padang
3. Gaung (1975), dipentaskan di Padang
4. Putri Cendana (drama anak-anak, 1975), dipentaskan di Padang
5. Angsa-Angsa Bermahkota (drama anak-anak, 1975), dipentaskan di Padang
6. Kejaran Bungsa (drama anak-anak, 1975)
7. Putri Mawar (drama anak-anak, 1975)
8. Saijah dan Adinda (drama remaja, 1975), dipentaskan di Padang
9. Ehm (1975), dipentaskan di TIM Jakarta
10. Memuara ke Telaga (1976)
11. Ring (1976), dipentaskan Bumi Teater di Padang
12. Tetangga (1977)
13. Sandi Ba Sandi (1977)
14. Payung Kuning (1977)
15. Simpang (1977)
16. Astaga (1977)
17. Anggun Nan Tongga (1977)
18. Cindua Mato (1977)
19. Malin Kundang (1978), dipentaskan Bumi Teater di Padang
20. Malin Deman (1978) dipentaskan Bumi Teater di Padang
21. Perguruan (1978) dipentaskan Bumi Teater di TIM Jakarta dan kota lain di Indonesia
22. Puti Bungsu (1979) dipentaskan Bumi Teater di TIM Jakarta
23. Tuanku Yayai (1979)
24. Imam Bonjol (1980), dipentaskan Bumi Teater di Padang
25. Terminal (operet, 1980)
26. Kemerdekaan (1980)
27. Baeram kumpulan sandiwara: (Baeram, Nilam Sari, Nilonali, Sutan Pamenan, Sabai, dan Istri Kita,1981)
28. Pewaris (1981), dipentaskan Bumi Teater di Padang dan kota lain di Sumatra
29. Nurani (1981)
30. Titian (1982)
31. Perantau Pulau Puti (1982)
32. Nyonya-Nyonya (1982)
33. Tuanku Nan Renceh (1982), dipentaskan Bumi Teater di Padang
34. Sabai Nan Aluih (naskah randai, 1982)
35. Paimbang Dunia (naskah randai, 1982)
36. Makan Bajamba (naskah randai, 1983)
37. Manjau Ari, (naskah randai, 1984)
38. Dara Jingga (1984), dipentaskan Bumi Teater di TIM Jakarta
39. Penyeberangan (1984)
40. Senandung Semenanjung (1985)
41. Jalan Lurus (1985)
42. Drama Perjuangan (1985)
43. Teater Elektronik (1985)
44. Kebun Tuan (1985)
45. Ibu Suri (1988)
46. Matri Lini (1988)
47. Salonsong (1988)
48. Ceramah Alamiah (1989)
49. Mandi Angin (1999)
50. Empat Sandiwara Orang Melayu (2000)

Cerita pendek yang dihasilkan Wisran Hadi, antara lain:
1. Sketsa (1975)
2. Tembok (1976)
3. Nenek (1976)
4. Direkturnya Seorang Sastrawan (1977)
5. Sore Itu Daun-Daun Mahoni Gugur Lagi (1977)
6. Pintu Gerbang (1978)
7. Sri (1979)
8. Harga Meja Tulis Itu (1982)
9. Lawan Berat (1982)
10. Tersapa Patung Kuda (1982)
11. Bertanyalah Pada Dewa (1982)
12. Festival Garundang (1982)
13. Liem Kon Doang (1986)
14. Catatan Kumal Si Malin Kundang (1986)
15. Bukan Salah Penghulu (1986)
16. Penghulu Internasional (1987)

Novel yang ditulisnya, antara lain:
1. Bayang-Bayang dan Buih (1977)
2. Di Pinggir Kota, di Pinggir Kita (1977)
3. Imam (cerita bersambung di Republika, 1996)
4. Tamu (1996)
5. Orang-Orang Blanti (2000)

Di samping itu, Wisran juga mengumpulkan puisi-puisinya dalam satu antologi yang bertajuk Simalakama (1975). Kegigihan Wisran Hadi menekuni dunia sastra membuahkan berbagai penghargaan atas preatasinya.

Penghargaan yang diperolehnya, antara lain :
1. Pemenang Harapan Ketiga Lomba Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk karyanya Gaung (1975)
2. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya
3. Ring (1976)
4. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Anggun Nan Tongga (1976)
5. Pemenang Lomba Penulisan Nasah Sandiwara DKJ untuk karyanya Cindua Mato (1997)
6. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Malin Kundang (1978)
7. Pemenang LombaPenulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Perguruan (1979)
8. Pemenang lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Imam Bonjol (1980)
9. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Pewaris (1981)
10. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Penyeberangan (1984)
11. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Senandung Semenanjung (1985)
12. Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk karyanya Gading Cempaka (1998)
13. Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa atas karyanya Jalan Lurus (1991)
14. Penghargaan sastra SEA Write Award dalam karyanya Empat Sandiwara Orang Melayu (2000)

Meskipun dalam berkarya Wisran tidak pernah membayangkan akan menerima bermacam penghargaan, komitmennya terhadap khazanah sastra Indonesia sangat besar sehingga ia memperoleh berbagai penghargaan.

Kumpulan dramanya Empat Sandiwara orang Melayu yang menghantarkan Wisran sebagai sastrawan Indonesia peraih perghargaan SEA Write Award 2000 diterbitkan oleh Angkasa Bandung pada tahun 2000.

Pada tahun 2000 Wisran berkesempatan menjadi pembimbing dalam Program Penulisan Mastera dengan peserta penulis muda dari tiga anggota Mastera, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia.
READ MORE - Wisran Hadi

Yanusa Nugroho

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Yanusa Nugroho yang lahir di Surabaya, tanggal 2 Januari 1960.

Kepiawaan penulis berambut gondrong ini yang sejak kecil gemar membaca, terutama cerita-cerita wayang menapaki pendidikan sekolah dasar di daerah yang berbeda.

Masa kecilnya di Surabaya dijalani sampai tahun 1969, ketika kesenian tradisional, seperti ludruk, ketoprak, wayang wong, dan wayang kulit masih menjamur subur di Suarabaya. Tahun 1970, ia ikut orang tuanya pindah ke Palembang.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan dasarnya diawali di SD YMCA Surabaya, tetapi ia menamatkannya di SD Methodist II Palembang (1974). Sekolah menengah pertamanya di SMP Negeri I Sidoarjo, Jawa Timur (1977).

Sementara itu, pendidikan SMA dilanjutkan di SMAN 43, Jakarta Selatan (1981). Sama halnya ketika menapaki pendidikan di sekolah dasar, pria yang asal Surabaya ini semasa memasuki kuliah pun pernah mengenyam di daerah yang berbeda pula, Yanusa pernah kuliah di IPB, Bogor, tetapi drop out pada tahun 1983.

Yanusa kemudian pindah ke Jakarta mendaftar lagi menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra UI, jurusan Sastra Indonesia. Akhirnya ia dapat menamatkan kuliahnya dan diwisuda sebagai sarjana sastra pada tahun 1989.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Yanusa Nugroho memulai debut menulis ketika masih duduk di bangku sekolah menengah dan mulai berkibar ke blantika media massa pada tahun 1981 sampai sekarang. Karya cerpennya hingga kini sudah menghiasi halaman-halaman media massa, seperti Kompas, Matra, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Merdeka, Republika, Femina, Amanah, Syir’ah, Noor, dan Ayah Bunda.

Keterlibatan Yanusa Nugroho dalam dunia tulis menulis, terutama cerpen, ternyata juga pernah duduk sebagai redaksi di Majalah Berita Buku IKAPI.

Tahun 1991. Ayah dua anak yang piawai dalam merangkai dan mengotak-atik kata ini, setelah tidak lagi duduk sebagai redaksi di Majalah Berita Buku IKAPI mencoba mencari pengalaman menjadi penulis naskah di biro iklan Adwork Advertising.

Namun, pria kelahiran Surabaya ini ingin selalu berkreasi dengan ide-idenya. Ia kemudian mencoca lagi mencari pengalaman ke tempat baru. Tempat yang dituju adalah ke Indo-Ad. Di Indo-Ad (sekarang bernama Ogilvy, Jakarta ini) Yanusa tetap berprofesi sebagai penulis naskah iklan. Tampaknya petualangan Yanusa ke berbagai biro iklan berakhir tahun 1998. Dan, sejak tahun itu pula, ia lebih menikmati hidup sebagai penulis lepas.
KARYA:

Seiring dengan berjalannya waktu, karya cerpen Yanusa selain dimuat dalam media massa, karya-karya cerpennya juga telah dibukukan, antara lain:
1. Bulan Bugil Bulat (1989),
2. Cerita di Daun Tal (1992),
3. Menggenggam Petir (1996),
4. Segulung Cerita Tua (2002),
5. Kuda Kayu Bersayap (2004),
6. Tamu dari Paris (2005) adalah karya cerpennya yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia dan Grasindo.

Selain itu, cerpen-cerpennya juga pernah dibukukan bersama sastrawan lainnya:
1. di dalam Kado Istimewa (1992),
2. Lampor (1994),
3. Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995),
4. Mata yang Indah (2001),
5. Jejak Tanah (2002),
6. Sepi pun Menari di Tepi Hari (2004),
7. Kurma (2003),
8. China Moon (2003), dan
9. Satu kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris, juga bersama sastrawan lainnya, berjudul Diverse Lives-editor Jeanette Lingard (1995).

Novelnya:
1. Di Batas Angin (2003),
2. Manyura (2004), dan
3. Boma (2005).

Salah satu cerpennya Kunang-Kunang Kuning (1987) pernah meraih penghargaan Multatuli dari Radio Nederland.

Begitu juga kumpulan cerpennya "Segulung cerita Tua", sempat masuk nominasi Hadiah Sastra Katulistiwa.

Tahun 2006, Wening cerpennya, mendapat Anugerah Kebudayaan tahun 2006 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Pengalaman dan kepiawaian Yanusa Nugroho mulai dari menulis cerpen, otak-atik kata menjadi bahasa iklan hingga menulis skenario sudah tidak diragukan lagi. Naskah skenario yang pernah ditulisnya juga sangat menarik untuk anak-anak. Naskah itu ditulis diproduksi oleh Red Rocket Bandung yang dikemas dalam bentuk serial animasi berjudul Dongeng Untuk Anak dan Kau.

Selain kepiawaan menulis cerpen, iklan, dan skenario, Yanusa Nugroho juga pernah membantu SET Production. Di SET Production ini, dia menulis salah satu skenario seri Tokoh Bangsa, Bung Hatta. Sayap yang dibentangkan pria lulusan Fakultas Sastra UI ini, ternyata sampai juga hingga ke EKI Dance Company. Di EKI Dance Company, Yanusa pernah menulis naskah berupa, Gallery of Kisses. Di sela-sela kesibukannya menulis karya cerpen, Yanusa juga masih sempat membantu kelompok Deddy Luthan Dance Company dalam menggarap beberapa karya tari mereka.

Kecintaannya pada dunia wayang yang dicintainya sejak kecil masih terus digeluti hingga kini. Karena kecintaannya pada wayang, terlebih wayang kulit, karya sastra yang ditulis ada yang didasari pada cerita wayang, terutama tokoh dan ceritanya. Dua novelnya yang berjudul Di Batas Angin dan Menyura adalah karyanya yang ditulis berdasarkan kisah pewayangan Jawa. Dari kisah-kisah pewayangan itu pula, suami dari Yuli ini akhirnya dapat melahirkan konsep pertunjukan wayang kulit televisi KALASINEMA, yang digarapnya bersama Ki Manteb Sudharsono dan para seniman pengajar STSI, Surakarta. Konsep pertunjukan wayang purwa yang sempat dijadikan VCD ini oleh Mathew Cohen-pengamat seni pertunjukan Asia dan pengajar di Glossgow University, pernah memutar KALASINEMA sebagai materi pembelajaran di fakultas yang dipimpinnya. Selain itu, Yanusa juga sdah membuat VCD pembacaan cerpen berdurasi 40-an menit, berjudul Anjing, yang diambil dari kumpulan cerpennya Kuda Kayu Bersayap.

Kini, Yanusa Nugroho, di rumahnya yang asri di ujung selatan Jakarta, tepatnya di Bukit Nusa Indah, Jalan Pinang kav. 982, Ciputat 15414, didampingi seorang isteri dan putri yang beranjak dewasa serta seorang putra, masih terus dan tetap konsisten berkarya, terutama menulis cerbung dan cerpen. Di samping kesibukan menulis, Yanusa Nugroho juga menjadi mengajar penulisan kreatif (copywriting) di Yayasan Budha Dharma Indonesia (BDI), pembimbing penulisan naskah iklan, pembimbing workshop penulisan cerita fiksi (cerpen) di berbagai tempat dan menulis artikel pentas-pentas kesenian di berbagai daerah di Indonesia. ***
READ MORE - Yanusa Nugroho

Hamsad Rangkuti

LATAR BELAKANG KELUARGA:

Hamsad RangkutiHamsad Rangkuti, lelaki berpenampilan sangat sederhana ini lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 7 Mei 1943 adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia sangat dikenal luas masyarakat melalui cerita pendek (cerpen).

Bersaudara enam orang saudaranya, masa kecil ia lewatkan di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Ia suka menemani bapaknya, yang bekerja sebagai penjaga malam yang merangkap sebagai guru mengaji di pasar kota perkebunan itu.

Kehidupan yang kurang beruntung, mengharuskan Hamsad membantu ibunya ikut mencari makan dengan menjadi penjual buah di pasar. Selain, bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan tembakau. “Dulu belum ada semprotan hama, jadi dikerahkan orang untuk merawatnya. Tiap hari saya ikut ibu membalik-balik daun tembakau, bila ada ulatnya kita ambil,” paparnya.

Setelah terkumpul, ulat-ulat itu mereka masukkan ke dalam tabung, yang kemudian dihitung jumlahnya oleh mandor perkebunan,” katanya. Menghadapi kepedihan karena belitan kesulitan hidup, Hamsad pun sering menghabiskan hari-harinya dengan melamun dan berimajinasi bagaimana memiliki dan menjadi sesuatu. Berkembanglah berbagai pikiran liar, yang antaranya ia tuangkan dalam cerita pendek. Kebetulan juga ayahnya suka mendongeng. “Saya merasa bakat mendongeng itu saya peroleh dari ayah saya. Cuma dia secara lisan, saya dengan tulisan,” katanya.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan SMA nya hanya sampai kelas 2 tahun 1961, karena ia tak mampu lagi membayar uang sekolah.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Hamsad lalu bekerja sebagai pegawai sipil Kantor Kehakiman Komando Daerah Militer II Bukit Barisan di Medan. Tapi hasrat menjadi pengarang lebih besar daripada bertahan sebagai pegawai.

Saat itu kebetulan akan berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang seluruh Indonesia (KKPI) di Jakarta, dan ia termasuk dalam delegasi pengarang Sumatera Utara di tahun 1964. “Setelah pulang konferensi itulah saya memutuskan tinggal di Jakarta,” papar penandatangan Manifes Kebudayaan ini.

Ia tinggal di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat. “Saya tidur di ubin beralaskan koran. Karena ubinnya lebih rendah dari jalan, lantainya sering kebanjiran kalau hujan,” kata Hamsad mengungkapkan tahun-tahun awal penderitaannya di Jakarta. Namun di sini ia bisa menguping obrolan para seniman senior, yang sedang mengadakan acara kesenian atau sekadar berkumpul-kumpul di sana.

Kariernya sebagai penulis cerita pendek sejak 1962, dan
Pemimpin Redaksi Majalah Horison.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad terpaksa membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Di sanalah ia berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Maxim Gorki, O. Henry, dan Pramoedya Ananta Toer.

Dari sini pula kepengarangannya tumbuh dan berkembang. Masih di SMP di Tanjungbalai, Asahan, ditahun 1959, ia menghasilkan cerpennya yang pertama, Sebuah Nyanyian di Rambung Tua, yang dimuat di sebuah koran di Medan.
KARYA:

Kini Hamsad telah mencapai cita-citanya menjadi penulis cerpen yang berhasil. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti:
1. Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, dan
2. Sukri Membawa Pisau Belati yang diterjemahkan kedalam bahasa Jerman.

Dua cerpen dari pemenang Cerita Anak Terbaik 75 Tahun Balai Pustaka tahun 2001 ini, antara lain:
1. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo, dan
2. Senyum Seorang Jenderal
pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.

Tiga kumpulan cerpennya, antara lain:
1. Lukisan Perkawinan, dan
2. Cemara di tahun 1982, serta
3. Sampah Bulan Desember di tahun 2000,
masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas.

Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah memenangkan sayembara penulisan roman DKI, yang kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Bagi Hamsad, proses kreatif lahir dari daya imajinasi dan kreativitas. Sehingga ia pernah bilang pada suatu seminar di Ujung Pandang bahwa para seniman rata-rata pembohong. Tapi bagaimana ia sendiri terilhami ? Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan cerpennya Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Penghargaan :

- Penghargaan Insan Seni Indonesia 1999 Mal Taman Anggrek & Musicafe,
- Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000)
- Penghargaan Khusus Kompas 2001 atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,
- Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001),
- Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001)

Karya Tulis :
1. Sebuah Nyanyian di Rambung Tua (1959),
2. Ketika Lampu Berwarna Merah (1981),
3. Lukisan Perkawinan (1982),
4. Cemara (1982),
5. Sampah Bulan Desember,
6. Sukri Membawa Pisau Belati,
7. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo (2001),
8. Senyum Seorang Jenderal (2001),
9. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
10. Bibir dalam Pispot (2003).
READ MORE - Hamsad Rangkuti

A.A. Navis

AA NavisNama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih simpel A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari lima belas bersaudara.

LATAR BELAKANG KELUARGA:


Berbeda dengan kebanyakan putera Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis
telah memateri dirinya untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah kreativitas itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari rumah. Orang tuanya, pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah itu sama-sama memuat cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya. Navis selalu membaca cerita-cerita itu dan lama kelamaan ia pun mulai menggemarinya. Ayahnya mengetahui dan mau mengerti akan kegemaran Navis itu. Ayahnya pun lalu memberikan uang agar Navis bisa membeli buku-buku bacaan kegemarannya. Itulah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Kebetulan jarak antara rumah dan sekolah Navis cukup jauh. Perjalanan panjang yang ditempuhnya setiap hari itulah yang kemudian dimanfaatkannya untuk membaca buku-buku sastra yang dibelinya itu. Selama sekolah di INS, selain mendapat pelajaran utama, Navis juga mendapat pelajaran kesenian dan berbagai keterampilan.
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN:

Pendidikan Navis, secara formal, hanya sampai di INS. Selanjutnya, dia belajar secara otodidak. Akan tetapi, kegemarannya membaca buku (bukan hanya buku sastra, juga berbagai ilmu pengetahuan lain) memungkinkan intelektualnya berkembang. Bahkan, terlihat agak menonjol dari teman seusianya. Dari berbagai bacaan yang diperolehnya, Navis kemudian mulai menulis kritik dan esai. Ia berusaha menyoroti kelemahan dari cerpen-cerpen Indonesia dan mencari kekuatan-kekuatan dari cerpen-cerpen asing. Ketika menulis cerpennya sendiri, kelemahan cerpen Indonesia itulah yang coba diperbaikinya dengan memadukan dengan kekuatan cerpen asing.
LATAR BELAKANG PEKERJAAN:

Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usianya sekitar tiga puluhan. Sebenamya, ia sudah mulai aktif menulis sejak tahun 1950. Akan tetapi, kepenulisannya baru diakui sekitar tahun 1955 sejak cerpennya banyak muncul di beberapa majalah, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan Roman.

Selain cerpen, Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar. Seterusnya, ia juga mulai menulis novel. Tema-tema yang muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau.

Navis pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan tentang kebangkitan umat Islam. Akan tetapi, keinginan itu diurungkannya mengingat sulitnya mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi kedua peristiwa tersebut. Kalau dipaksakan, hal itu bisa menjadi suatu karya yang mubazir. Navis memang prihatin terhadap situasi bangsa Indonesia saat itu sehingga tidak perlu heran mengapa banyak pengarang lebih memilih membuat cerita “hiburan” agar bisa terbit. Keadaan itu menimbulkan kesan bahwa bangsa Indonesia memang lebih menyukai pekerjaan di atas ranjang daripada pekerjaan bermanfaat bagi manusia. Sesuatu yang sangat mengganggu.
LATAR BELAKANG KESASTRAAN / KEBAHASAAN:

Tentang kehadirannya di percaturan sastra Indonesia, A. Teeuw berkomentar bahwa Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar, tetapi seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”. Komentar lain, Abrar Yusra mengatakan bahwa cerpen Navis “Robohnya Surau Kami” yang mendapat hadiah kedua dari majalah Kisah sebenarnya lebih terkenal daripada cerpen “kejantanan di Sumbing” karya Subagio Sastrowardoyo.

Hidup sebagai sastrawan tidaklah mudah, terutama dalam masalah perekonomian. Hidup dari sekadar mengharapkan upah menulis menjadi suatu hal yang mustahil. Hal ini disadari betul oleh Navis. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi pengarang hanya ketika saat ia mengarang saja. Setelah itu, ia menjadi orang biasa lagi yang harus bekerja untuk mendapatkan nafkah.

Di Luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi pada harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya, sebagai pemakalah atau peserta.

Setelah Navis menikah, istrinya juga ikut membantu pekerjaannnya sebagai sastrawan. Apabila ia sedang menulis sebuah cerita, istrinya selalu mendampinginya dan membaca tiap lembar karangannya. Ia memperhatikan reaksi istrinya ketika membaca dan itulah yang dibuatnya sebagai ukuran bahwa tulisannya sesuai atau tidak dengan keinginannya.

Di hari tuanya, masih saja Navis menyimpan beberapa gagasan untuk menulis cerpen dan memulai menggarap novel. Beberapa dari keinginannya itu sudah selesai, tetapi banyak juga yang terbengkalai. Kendalanya adalah usianya yang bertambah tua yang menyebabkan daya tahan tubuh dan pikirannya semakin menurun. A.A. Navis meninggal karena sakit, di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, tahun 2004.
KARYA:

a. Cerita Pendek
(1) Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta. Gramedia, 1986
(2) Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990
(3) “Cerita Tiga Malam”, Roman, Thn. V, No.3, 1958:25--26
(4) “Terasing”,Aneka, Thn. VII, No. 33, 1956:12--13
(5) “Cinta Buta”, Roman, Thn. IV, No. 3, 1957
(6) “Man Rabuka”, Siasat, Thn. XI, No. 542, 1957:14--15
(7) “Tiada Membawa Nyawa”, Waktu, Thn. XIV, No.5, 1961
(8) “Perebutan”,. Star Weekly, Thu. XVI, No. 807, 1961
(9) “Jodoh”, Kompas, Thu. Xl, No. 236, 6 April 1976:6

b. Puisi
Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara.

c. Novel
(1) Kernarau, Jakarta: GrasIndo, 1992
(2) Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970.

d. Karya Non Fiksi
(1) “Surat-Surat Drama”, Budaya, Thn.X, Januari-Februari 1961
(2) “Hamka Sebagai Pengarang Roman”, Berita Bibliografi, Thn.X, No.2, Juni 1964
(3) “Warna Lokal dalam Novel Minangkabau”, Sinar Harapan, 16 Mel 1981
(4) “Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra.”, Suara Karya, 1978
(5) “Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup”, Suara Pembaruan, 1989
(6) “Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern”, Bahasa dan
Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977

e. Hadiah dan Penghargaan
(1) Hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”.
(2) Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi.
(3) Hadiah dari Kincir Emas (1975) untuk cerpen “Jodoh”.
(4) Hadiah dari majalah Femina (1978) untuk cerpen “Kawin”.
(5) “Hadiah Seni” dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau.
(6) SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand). ***

Sumber: Pusat Bahasa
READ MORE - A.A. Navis

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Gus DurPresiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara Merdeka, 22 Maret 2004).

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya (Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)

Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.

Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara.

Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”
-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)


Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU
Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Menjadi Presiden RI ke-4

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Gus Dur: Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4
Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland


Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.

Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa” Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.

Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.

Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.

Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi.

Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.

Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.

Dua skandal “Buloggate” dan “Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different beliefs.
-KH Abdurrahman Wahid- (source)


Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.

* Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.
* Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.
* Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.

Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.

Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.
Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :

* Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
* Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
* Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
* Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
* Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
* Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
* Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
* Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

Penghargaan-penghargaan lain :

* Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
* Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
* Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
* Pejuang Kebebasan Pers

Selamat Jalan Gus Dur

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur

Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang ‘agung’.

Salam hormat dan turut berbela sungkawa,
ech-wan, 30 Desember 2009

Sumber: nusantaranews.wordpress.com
READ MORE - Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Mengenang Tujuh Hari Kematian Rendra lewat Baca Puisi

Rabu, 12 Agustus 2009 (pukul 15.30 s.d. 16.15 WIB), Pendapa Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi kiprah sejumlah seniman dan wartawan yang tengah berupaya mengenang tujuh hari kepergian si Burung Merak, W.S. Rendra, dengan berorasi dan membacakan puisi-puisi karya penyair balada itu. Ada belasan puisi yang dibacakan secara bergantian oleh para penggiat seni yang hadir. Selain sejumlah seniman dan wartawan Kendal, hadir juga Bowo Kajangan dan rombongan dari Semarang yang ikut memeriahkan acara dadakan itu.

Tak ada acara protokoler resmi. Semuanya mengalir begitu saja ala kaum seniman. Mereka bebas berekspresi ketika didaulat untuk membacakan puisi-puisi naratif dan satiris karya sang penyair balada itu.

mengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendra

“Seragam kita boleh berbeda. Tapi kehadiran kita di sini hanya satu tujuan, yakni untuk mengenang seorang penyair besar yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kemajuan kesenian dan kebudayaan Indonesia,” kata salah seorang seniman sebelum membaca puisi.

Siapa pun yang tampil diberikan kebebasan untuk sedikit berorasi dan kembali mengingatkan bahwa di negeri ini pernah lahir seorang penyair besar yang dengan sangat sadar menjadikan penyair sebagai sebuah profesi kebanggaan dalam KTP-nya.

Ya, ya, ya, W.S. Rendra memang layak dikenang. Kepergiannya menghadap Sang Khalik merupakan sebuah kehilangan, tak hanya buat bangsa kita dan para pengagumnya, tetapi juga buat para pejuang kebudayaan yang tersebar di berbagai belahan dunia. Karya-karyanya yang memadukan antara romantisme alam dan geliat budaya yang multidimensi seperti telah menjadi “sihir” estetis yang menghipnotis banyak orang secara lintas-geografis. Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah kesarjanaan, mulai level strata I hingga strata III.

Kesetiaan Rendra dalam menjaga gawang kesenian dan kebudayaan agaknya telah membuat hidup Rendra (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan politik praktis. Kalau toh bicara soal politik, ia selalu menggunakan paradigma kesenian dan kebudayaan. Begitulah sosok Rendra yang bisa demikian konsisten dalam memperjuangkan nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran, meski harus ditebus dengan menjadi penghuni kerangkeng penjara. Di tengah peradaban yang makin gila dalam memberhalakan gaya hidup hedonistis dan konsumtif, Rendra tak pernah terperangkap untuk ikut-ikutan latah masuk dalam lingkaran kekuasaan. Ia tetap bersarang dalam sangkar kesenian dan kebudayaan.

Meski demikian, agaknya kita tak perlu larut dalam romantisme berlebihan ke dalam sosok Rendra dengan segenap sihir dan daya pesonanya. Ia sudah meninggalkan kita dan tengah melanjutkan kehidupan barunya di alam keabadian. Yang perlu kita lakukan adalah meneladani semangatnya dalam berkesenian dan kebudayaan di tengah ancaman gaya hidup yang serba hedonis dan serba memberhalakan gebyar lahiriah.

Berikut ini saya kutipkan beberapa puisi karya W.S. Rendra yang dibacakan di depan Pendapa Kabupaten Kendal dalam mengenang tujuh hari kematiannya.

ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

AKU TULIS PAMPLET INI

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
***


Meski berlangsung singkat, semoga acara dadakan ini bisa menjadi penanda bahwa semangat Rendra tak pernah mati, bahkan akan terus terpahat dalam prasasti nurani bangsa dari generasi ke generasi. Semoga!
READ MORE - Mengenang Tujuh Hari Kematian Rendra lewat Baca Puisi

Dunia Sastra Berduka

Innnalillahi wa’innaillaihi raji’un

ws rendraDunia sastra Indonesia berduka. WS Rendra, seorang budayawan, sastrawan, penyair, dan teaterawan, telah meninggal dunia pada hari Kamis (6 Agustus 2009), sekitar pukul 22.15 WIB di Depok, Jawa Barat.

Tokoh teater modern Indonesia itu meninggal dunia pada usia 74 tahun. Rendra meninggal karena penyakit yang dideritanya. Diduga Rendra meninggal akibat penyakit jantung koroner. Pendiri Bengkel Teater Rendra itu meninggal saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat. Sebelumnya, amarhum sempat dirawat di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Semoga arwah almarhum dilapangkan jalan menuju ke haribaan-Nya, diampuni segala dosa dan kesalahannya, dan diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya.

Untuk mengenang almarhum, berikut ini ada beberapa video pembacaan puisi dan wawancara sang penyair yang telah memiliki jasa besar dalam dunia sastra dan budaya Indonesia itu.








Selamat Jalan Rendra!
READ MORE - Dunia Sastra Berduka

Ahmad Tohari yang Suka "Tapa Ngrame"

Ahmad TohariNama Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan sudah lama dikenal. Kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya sungguh layak dikagumi. Puluhan novel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi sudah lahir dari tangannya. Sosok Ahmad Tohari sesungguhnya tak hanya menarik dibicarakan berdasarkan karya-karyanya, tetapi juga kesantunan dan kesederhanaan gaya hidupnya. Ia dikenal sangat alergi terhadap simbol-simbol feodalisme dan kapitalisme yang konon sudah demikian kuat membelit sendi-sendi kehidupan bangsa. Sungguh beruntung saya bersama beberapa pengurus Agupena Jawa Tengah yang lain bisa sedikit ngobrol dengan novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jentera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari di sela-sela acara menjelang seminar nasional yang digelar di LPMP Semarang pada hari Kamis, 25 Juni 2009, itu.

“Saya sangat marah ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sebagian kemarahan saya tercermin dalam novel Blantik itu,” katanya. Lebih lanjut, sastrawan yang sering disapa dengan “Ramane Srintil” itu mempertanyakan tentang keadiluhungan budaya Jawa yang gencar digembar-gemborkan itu.

“Adiluhung yang mana? Bisakah itu disebut adilihung kalau dibangun berdasarkan nilai-nilai feodalisme yang justru mematikan hak rakyat kecil dalam memperjuangkan eksistensi hidupnya!” ungkapnya dengan nada getir. Dalam masyarakat Jawa, katanya, dikenal strata berlapis tujuh yang menunjukkan status sosial seseorang. Hal itu terlihat dari undha-usuking bahasa, mulai dari sapaan “Sampeyan Dalem” sampai “Kowe”.

“Sekadar untuk menyampaikan pendapat saja kepada “Sampeyan Dalem”, orang Jawa yang menduduki strata “kowe” harus melewati tujuh lapis. Kapan rakyat kecil bisa memiliki kedudukan yang egaliter?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

Ya, ya, ya, begitulah sisi lain yang tampak jelas tercermin di balik sosoknya yang bersahaja. Kang Tohari bisa demikian marah dan geram ketika menyaksikan wong cilik diperlakukan secara tidak adil. Dia tak hanya sekadar beretorika, tetapi benar-benar menyatu dan meleburkan hidupnya di tengah-tengah kehidupan wong cilik. Tak heran kalau dia tetap merasa betah dan nyaman hidup di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika masyarakat urban.

Dalam menggelar perhelatan pernikahan putri bungsunya, dokter Din Alfina binti Ahmad Tohari dan Wiwid Ardhianto SE pun, sejak Jumat hingga Minggu (21/6), Kang Tohari sengaja mengambil tema “Kembali ke Kampung” yang menggambarkan “pemberontakan kultural” terhadap menguatnya akar feodalisme dan kapitalisme itu.

Sebagaimana dilaporkan Suara Merdeka, Kang Tohari sengaja membuat setting perhelatan pernikahan dalam nuansa kampung orang gaplek. Tamu yang hadir silih berganti mengaku gumun memasuki halaman belakang rumah yang menjadi panggung utama dalam pagelaran mantenan itu. Pelataran belakang rumah yang sekaligus menjadi halaman musala Al Hidayah itu disulap menjadi suatu perkampungan, seperti tergambar dalam novel masterpiece Tohari itu. ”Kiye tah mantene wong gaplek (Ini dia perkawinan orang gaplek),” seru Edhi Romadhon, penggerak Komunitas Gethek.

Tohari lantas menunjukkan sekumpulan ketela pohon yang sudah dikupas dan disebar di atap rumah welit (atap ilalang) yang menjadi tempat pengantin jejer. Singkong yang dibiarkan terkena hujan dan panas selama berbulan-bulan itulah yang disebut gaplek. Di masa paceklik, singkong yang sudah ditumbuhi jamur itu jadi makanan pokok warga. Cermin kemiskinan itu selaras dengan gubuk bambu yang dinaunginya.

Seperti seniman lain saat punya gawe, suami Samsiah yang kerap disapa kiai ini rupanya juga sedang bermain simbol. Selain gaplek, tamu-tamu juga tercengang ketika mantenan ini menampilkan apa-apa yang serba ndesa.

”Suasana ini menjadi akar budaya saya, termasuk orang-orang yang kini sudah keluar dari kemiskinan. Sambil mantenan, sah-sah saja dong saya mengajak mereka untuk mengingat orang yang masih kelaparan, di tengah kebahagiaan kita,” kata Tohari.

Hmmm … Begitulah sisi lain sosok Ahmad Tohari yang tidak hanya gencar menyuarakan nasib wong cilik yang terpinggir dan dipinggirkan ke dalam teks sastra, tetapi juga menyelaraskan dan menyatukan “darah kehidupan”-nya di tengah-tengah kehidupan wong cilik yang kesrakat dan bersahaja. Meminjam istilah Bakdi Sumanto, Ahmad Tohari bisa dibilang sebagai seorang resi yang “tapa ngrame”, bertapa di tengah keramaian kehidupan rakyat kecil yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern dan kosmopolit yang sejatinya dengan mudah bisa dia nikmati dalam kemegahan yang sarat dengan sentuhan gebyar duniawi dan godaan nilai-nilai hedonisme. ***
READ MORE - Ahmad Tohari yang Suka "Tapa Ngrame"