Pramoedya Ananta Toer

pramPramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.

Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.

Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.

****

Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri

Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.

Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.

Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.

Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.

Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.

Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.

Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". ?e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber.


Nama:
Pramoedya Ananta Toer
Lahir:
Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Meninggal:
Jakarta, 30 April 2006
Isteri:
Maemunah Thamrin

Pendidikan:
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

Pekerjaan:
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Prestasi dan Penghargaan
1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by writer
1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile
1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia
1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden
1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA
1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America
1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland
1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA
1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain
1995: Stichting Wertheim Award, Netherland
1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine
1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.)
1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor
2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan.

Buku:
Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951
Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia Yang Menyerah, 1951
Tjerita Dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958
Tjerita Dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia - HM, 1980
Anak Semua Bangsa - HM,1980
Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982
Jejak Langkah - HM, 1985
Gadis Pantai - HM,1987
Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987
Rumah Kaca - HM, 1988
Arus Balik - HM, 1995
Arok Dedes - HM, 1999
Mangir - KPG, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001
Cerita Dari Digul - KPG, 2001

Non-Fiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997
Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001

Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia
Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947
Frits van Raalte, 1946
J.Veth, 1943
John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950
Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951
Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954
Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956
Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958
Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958
Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959
Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man)
Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees)
Kristoferus
Albert Schweitzer

Cerita Pendek
Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6.
Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2.
Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7.
Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19.
Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22.
Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9.
Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20.
Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101.
Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6.
Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64.
Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55.
Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9.
Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29.
Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286.
Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96.
Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30.
Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim.
Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20.
Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8.
Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8.
Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1.
Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1.
Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48.
Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9.
Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30.
Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26.
Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29.
Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2.
Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128.
Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26.
Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8.
Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6.
Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71.
Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30.
Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90.
Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245.
Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3.
Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7.
Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9.
Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8.
Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7.
Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6.
Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19.
Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5.
Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5.
Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8.
Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7.
Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.
Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33.
Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8.
Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6.
Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7.
Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7.
Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4.
Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35.
Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268.
Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11.
"Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956.
Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10.
Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42.
Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6.
Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7.
Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9.
Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6.
Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27

Puisi
Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9.
Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.
Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20.

Alamat Rumah Keluarga:
= Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur
= Bojonggede, Bogor




Sumber: TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
READ MORE - Pramoedya Ananta Toer

K.H. Achmad Mustofa Bisri

gusmusKyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.

KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.

“Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya,” jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.

Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.

Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.

KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.

Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.

Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.

Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.

Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.

Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap “budaya” yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul “Berdzikir Bersama Inul”. Begitulah cara Gus Mus mendorong “perbaikan” budaya yang berkembang saat itu.

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius,” kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.

Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. “Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan,” kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.

Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.

Namun adalah Gus Dur pula yang ‘mengembalikan’ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara “Malam Palestina”. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.

Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.

Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).

Tentang kepenyairan Gus Mus, ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. “Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan,” kata Sutardji.

Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: “Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.”

Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).

Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, “Doaku untuk Indonesia” dan “Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia”. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya “panas” jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.

Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.

Enggan Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.

Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah ‘berpasangan’ dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama ‘kontroversial’.

Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.

Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah,” kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.

Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Ma’rafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, ”Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.”

Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, “Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak,” ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon. ?eti/ht-tsl

*** Diambil dari situs TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
READ MORE - K.H. Achmad Mustofa Bisri

Rosihan Anwar

r. anwarRosihan Anwar lahir tanggal 10 Mei 1922, di Kelurahan Kubang Nan Duo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Ia adalah putra seorang Ambtenaar Binnelands Bestuur, pamong praja, yang bernama Gelar Maharaja Soetan.

Rosihan Anwar adalah sastrawan Angkatan ’45, istilah “Angkatan ‘45” dalam kesusastraan berasal dari Rosihan. Kesastrawanannya dimulai dengan memublikasikan puisi-puisinya di berbagai media massa pada waktu itu, antara lain, di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik dan budaya Siasat. Beberpa puisinya dimasukkan H.B. Jassin ke dalam bukunya Kesusastraan Indonesia di masa Jepang (1948).

Rosihan juga menerjemahkan puisi-puisi asing ke dalam bahasa Indonesia. Di antaranya, puisi yang ditulis oleh pahlawan kemerdekaan Filipina, Yose Rizal, yang berjudul “Mi Ultimo Adios” (salamku yang terakhir), diterjemahkan Rosihan menjadi “Selamat Tinggal”. Walaupun bukan terjemahan langsung, puisi terjemahan itu dinilai para kritikus, antara lain Ramadhan K.H., sebagai puisi yang berhasil.

Penelaahan Rosihan atas riwayat pahlawan Yose Rizal serta daya upaya Rosihan memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia membuat masyarakat Filipina senang. Oleh karena itu, pada tahun 1961, dalam rangka memperingati hari ulang tahun pahlawan itu, pemerintah Filipina mengundang Rosihan Anwar ke negaranya. “Selamat Tinggal” (“Mi Ultimo Adios” dalam bahasa Indonesia) pun berkumandang, dideklamasikan oleh Rosihan, pada acara itu.

Terjemahan rosihan yang lain adalah sebuah puisi dari Henriette Roland Holts, penyair Belanda yang sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1940-an. Puisi yang diterjemahkan oleh Rosihan itu, kemudian, dipasang menghiasi tugu batu pualam Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.

Rosihan dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat Islam. Jadi, Selain bersekolah di HIS (untuk pendidikan formal), ia juga wajib belajar di Madrasah, dan sore harinya ke surau. Keadaan itu, ternyata, belum dapat dijadikan jaminan bahwa kehidupan beragamanya akan langgeng.

Pada waktu bersekolah di AMS Yogyakarta, karena beberapa temannya (yang juga Islam) makan babi, ia pun ikut makan babi. Padahal, dalam Islam, jelas, makan babi itu haram. Akan tetapi, ia tidak peduli. Bahkan, pada zaman Jepang, ia sudah tidak berpuasa dan tidak salat lagi. Ia juga tidak berkeberatan dijuluki kafirun.

Pada suatu hari di tahun 1957 (saat Rosihan masih menjabat sebagai pemimpin redaksi Pedoman), dalam sebuah resepsi, Rosihan berseloroh kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kafrawi, “Kafrawi, you kapan memberi saya kesempatan naik haji?” Sebenarnya, ia hanya bercanda. Akan tetapi, Kafrawi menanggapinya serius. Kafrawi memberinya kesempatan dan menugasinya sebagai pimpinan rombongan “haji terbang”. Sepuluh hari kemudian, Ia pun benar-benar berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Sekembali dari Mekkah itulah, kehidupan rohani Rosihan berubah. Ia mulai menulis hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Setiap hari Jumat, ia menulis Tajuk Rencana di harian Pedoman. Tajuk itu berjudul “Renungan Wak Haji”. Di dalam tajuk itu terdapat percakapan antara Wak Haji dan Haji Waang (tokoh Haji Waang adalah dirinya).

Rosihan Anwar menikah dengan Siti Zuraida Sanawi (Ida Sanawi), pada tanggal 25 April 1947, di Yogyakarta. Ida Sanawi, gadis Betawi Asli, adalah adik kandung Sonia Hermine Sanawi, istri Usmar Ismail. Usmar Ismail, tokoh teater dan film nasional itu, adalah sahabat Rosihan. Perkenalan anatara Rosihan dan Ida terjadi ketika mereka sama-sama bekerja di surat kabar Asia Raya, Rosihan adalah reporter dan Ida adalah sekretaris pemimpin redaksi.

Karya-karya Rosihan Anwar
Puisi
1. “keyakinan”
2. “Mari Kumandangkan Indonesia Raya”
3. “Manusia Baru”
4. “Pulang Berjasa”
5. “Musafir”
6. “Kini Abad Rakyat Jelata”
7. “Di Kubur Pahlawan”
8. “Bukan Mimpi”
9. “Raja Jin”
10. “Di dalam Revolusi”
11. “Lukisan”
12. “Kisah di Waktu Pagi”
13. “Kami Kenangkan kembali”
14. “Seruan Lepas”
15. “Hamba”
16. “Bertanya”
17. “Lahir dan Batin”
18. “Untuk Saudara”
19. Kepadamu Gunung”
20. “Indahlah Nusa”

Cerita Pendek

1. “Pamanku”
2. “Radio Masyarakat”

Novel
Raja Kecil: Bajak Laut di Selat Malaka ***

Sumber: Pusat Bahasa
READ MORE - Rosihan Anwar

Kuntowijoyo

kuntowijoyoKuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 18 September 1943. Ia dibesarkan di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran Muhammadiyah. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara. Ia menikah tahun 1969 dengan Susilaningsih, lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari pernikahannya itu Kuntowijoyo mempunyai dua orang anak, Punang Amaripuja dan Alun Paradipta. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 dalam usia 62 tahun karena sakit.

Kuntowiyo menyelesaikan SD dan madrasah tahun 1956 dan SMP tahun 1959, semuanya di Klaten. Ketertarikannya pada sastra mulai tampak saat SD. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri, seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison.

Setelah menyelesaikan SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969. Kemudian, ia diangkat sebagai pengajar di almamaternya.

Di bidang kebudayaan, Kuntowijoyo mendirikan Leksi (Lembaga Kebudayan dan Seniman Islam) bersama kawan-kawannya. Ia menjadi sekretaris tahun 1963—1969. Dari tahun 1969—1971 Kuntowijoyo aktif dalam Kelompok Studi Mantika bersama temannya, seperti M. Dawam Raharjo, Arifin C. Noer, Abdul Hadi W.M., Amri Yahya, Sju’bah Asa, Chairul Umam, dan Ikranegara.

Sebagai sarjana ilmu sejarah, pendidikan formalnya tuntas setelah meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Columbia University, New York, Amerika Serikat, tahun 1980. Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut, Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900—1915 (2004). Namun, bukan dengan ilmu sejarah saja ia menjangkau publik secara luas. Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di bidang sastra: puisi, novel, cerita pendek, dan drama. Atas ketekunannya itu, ia pun banyak mendapat hadiah dan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut ini adalah karya, hadiah, dan penghargaan Kuntowijoyo.

A. Kumpulan puisi
1. Suluk Awang-Uwung (1975)
2. Isyarat (1976)
3. Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)

B. Kumpulan cerpen
1. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992)
2. Antologi cerpen pilihan Kompas: “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri” (1995),“Pistol Perdamaian” (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997)
3. Hampir Sebuah Subversi (1999)

C. Novel
1. Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966)
2. Khotbah di Atas Bukit (1976)
3. Pasar (1994)
4. Impian Amerika (1998)
5.Mantra Pejinak Ular (2000)

D. Naskah drama
1. “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968)
2. :Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas” (1972)
3. “Topeng Kayu” (1973)

E. Karya nonfiksi
1. Pengantar Ilmu Sejarah (1995)
2. Metodologi Sejarah (1994)
3. Demokrasi & Budaya Birokrasi (1994)
4. Radikalisasi Petani (1993)
5. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)
6. Dinamika Sejarah Umat Islam (1997)
7. Identitas Politik Umat Islam (1997)
8. Esai Agama, Budaya, dan Politik (2000)
9. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900—1915 (2004)

F. Hadiah
1. Hadiah Harapan dari Pembina Teater Nasional Indonesia untuk naskah drama “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968)
2. Hadiah Pertama Sayembara Cerpen Majalah Sastra untuk cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (1968)
3. Hadiah Sayembara Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas” (1972)
4. Hadiah Panitia Hari Buku untuk novel Pasar (1972)
5. Hadiah Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama “Topeng Kayu” (1973)

G. Penghargaan
1. Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986)
2. Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994)
3. Penghargaan Kebudayaan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) (1995)
4. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri” (1995)
5. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Pistol Perdamaian” (1996)
6. Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997)
7. Penghargaan dari Asean Award on Culture (1977)
8. Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan Republik Indonesia (1997)
9. Penghargan dari Penerbit Mizan Award (1998)
10. Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)
11. Penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1999)
12. Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (2005)
***
Sumber: Pusat Bahasa
READ MORE - Kuntowijoyo

ASRUL SANI (1926—2004)*

asrul saniAsrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di sebelah utara Sumatera Barat, pada tanggal 10 Juni 1926 dan meninggal di Jakarta, pada tanggal …2004.

Asrul Sani berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya adalah seorang raja yang bergelar “Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti RaoMapat”. Meski membenci Belanda, ayahnya sangat menggemari musik klasik (aliran musik bergengsi dari Eropa yang tidak biasa didengar oleh penduduk pribumi pada saat itu, apalagi di daerah terbelakang seperti Rao). Oleh karena itu, Asrul patut berbangga hati karena sebelum bersekolah, ia sudah mendengar karya-karya terkenal dari Schubert.

Ibunya adalah seorang wanita yang sederhana, namun sangat memperhatikan pendidikannya. Sejak kecil ia dimanjakan oleh ibunya dengan buku-buku cerita ternama. Ibunya selalu membacakan buku-buku tersebut untuknya. Oleh karena itu, sekali lagi, ia patut berbangga hati karena sebelum pandai membaca, ia sudah mendengar cerita Surat Kepada Raja karya Tagore.

Inilah gambaran Asrul muda di mata Pramoedya Ananta Toer:

Seorang pemuda langsing, gagah, ganteng, berhidung mancung bersikap aristokrat tulen…Tinggalnya di jalan Gondangdia Lama. Mendengar nama jalan ini saja, kami pribumi kampung yang lain, mau tak mau terpaksa angkat pandang menatap wajahnya. Di Gondangdia Lama hanya ada gedung-gedung besar, megah, dan mewah. Akan tetapi, kami pun punya kebanggaan “penerbitan kami”. Begitulah, pada suatu kali kami undang dia datang menghadiri diskusi sastra. “Penerbitan” kebanggaan kami, kami perlihatkan kepadanya. Dia baca pendapat redaksi tentang sajak-sajak peserta. Tentunya, kami ingin tahu pendapatnya, dan sudah tentu juga perhatiannya. Ternyata pendapat dan perhatiannya tepat sebaliknya daripada yang kami harapkan. Aku masih ingat kata-katanya: “Tahu apa orang-orang ini tentang sajak?” Dan, kami pun sadar, sesungguhnya kami tidak tahu. Tapi itu tidaklah begitu mengejutkan dibanding dengan kata-katanya yang lain: “Tahu apa orang-orang ini tentang Keats dan Shelley! Bukan hanya kami yang baru dengar kata-kata aneh itu, juga Victor Hugo-nya Sanjaya menjadi gagu kehilangan lidah!

Pemuda berpeci merah tebal itu adalah asrul Sani . Dan “penerbitan” kamipun mati kehabisan darah kebakaran semangant.

Asrul memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (HIS), Bukittinggi, pada tahun 1936. Lalu, ia masuk ke SMP Taman Siswa, Jakarta (1942), Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor (194.). Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1955. Jadi, ia adalah seorang dokter hewan. Akan tetapi, gelar bergengsi itu tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari dunia seni (sastra, teater, dan film). Bahkan, di sela-sela kuliahnya, ia masih sempat belajar drama di akademi seni drama di Amsterdam (bea siswa dari Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, 1952).

Asrul Sani bisa memuji secara habis, selamanya disediakan tempat yang lebih tinggi bagi dirinya. (M. Balfas dalamHutagalung)g

Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai Sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.

Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul “Sahabat Saya Cordiaz” dimasukkan oleh Teeuw ke dalam “Moderne Indonesische Verhalen” dan dramanya ,Mahkamah, mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah “Surat atas Kertas Merah Jambu” (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda).

Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Ia mementaskan “Pintu Tertutup” karya Jean-Paul Sartre, “Burung Camar” karya Anton P. Chekov, dll. Ia menulis skenario film “Lewat Jam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), “Apa yang Kau Cari Palupi?” (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), “Kemelut Hidup” (mendapat Piala Citra 1979),dll. Ia juga menyutradarai film “Salah Asuhan” (1972), “Jembatan Merah” (1973), Bulan di atas Kuburan (1973), dll.

Banyak sekali pekerjaan yang dilakukan Asrul Sani semasa hidupnya dan berbagai bidang pula. Ia pernah menjadi Laskar Rakyat (pada masa proklamasi), redaktur majalah (Pujangga Baru, Gema Suasana, Siasat, dan Zenith). Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1977—1987), Ketua Lembaga Seniman Kebudayaan Muslim (Lesbumi), Anggota Badan Sensor Film, Pengurus Pusat Nahdatul Ulama, Anggota DPR-MPR (1966—1983), dll.

Dalam perjalanan hidupnya, Asrul pernah menikah dua kali. Yang pertama, ia menikahi Siti Nuraini, temannya sesama wartawan, pada tanggal 29 Maret 1951, di Bogor (dan bercerai pada tahun 1961). Yang kedua, ia menikahi Mutiara Sarumpaet, 22 tahu lebih muda darinya, pada tanggal 29 desember 1972. Dari pernikahannya yang pertama, Asrul dikaruniai tiga anak perempuan dan dari pernikahannya yang kedua Asrul dikaruniai tiga anak laki-laki

Pada masa akhir hidupnya, istrinya, Mutiara Sarumpaet, tetap setia mendampinginya. Asrul yang mulai renta dan sudah harus duduk di kursi roda tidak menghalangi keduanya untuk tampil di depan umum dengan mesra. Ketika menghadiri acara pelantikan Prof. Riris K. Toha Sarumpaet, Ph.D. (adik kandung Mutiara) menjadi guru besar di Universitas Indonesia (3 September 2003), Mutiara dengan mesra menyuapi Asrul di atas kursi rodanya. Makanan dan minuman yang sesekali meluncur dari bibir dan mengotori dagunya, dilap oleh Mutiara dengan lembut.

Karya-Karya Asrul Sani

I. Karya Asli
a) puisi
b) cerita pendek
c) drama
d) esai

II. Karya Terjemahan
a) puisi
b) cerita pendek
c) novel (masih berupa naskah)
d) drama (sebagian besar masih berupa naskah)

***

Sumber: Pusat Bahasa
READ MORE - ASRUL SANI (1926—2004)*

Asrul Sani: Seniman Pelopor Angkatan '45

Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.

Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya.



Nama: Asrul Sani
Lahir: Rao, Pasaman, 10 Juni 1927
Meninggal: Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB
Istri: (1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet
Anak: Tiga putra, tiga putri, enam cucu
Ayah: Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang

Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia (IPB)
Dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957
Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun 1951-1952
SLTP hingga SLTA di Jakarta
SD di Rao, Sumatera Barat

Karir Politik:
Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama
Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP

Pendiri :
“Gelanggang Seniman Merdeka”
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)

Kegiatan Pergerakan:
Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di Bogor

Kegiatan Penerbitan:
Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan Majalah” Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”
Konsep Kebudayaan:
“Surat Kepercayaan Gelanggang”

Penghargaan:
Tokoh Angkatan 45
Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000
Enam buah Piala Citra pada Festifal Film Indonesia (FFI)
Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun 1970

Karya Puisi:
“Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah cerpen sebelum penerbitan antologi “Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu sesudahnya tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.

Karya Film:
“Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”

Alamat Rumah:
Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No. 4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan




*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
READ MORE - Asrul Sani: Seniman Pelopor Angkatan '45

W.S. Rendra: Kepiawaian Si Burung Merak

rendraMeski usianya hampir 70 tahun, kepak sayap si penyair berjuluk "Si Burung Merak" ini masih kuat dan tangkas. Suaranya masih lantang dan sangatlah mahir memainkan irama serta tempo. Kepiawaian pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta, ini membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang dikenal oleh seluruh anak negeri hingga ke mancanegara.

WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri,
bahkan di luar negeri.

Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.

Sejak kuliah di Universitas Gajah Mada tersebut, ia telah giat menulis cerpen dan essei di berbagai majalah seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Basis, Budaya Jaya. Di kemudian hari ia juga menulis puisi dan naskah drama. Sebelum berangkat ke Amerika, ia telah banyak menulis sajak maupun drama di antaranya, kumpulan sajak Balada Orang-orang Tercinta serta Empat Kumpulan Sajak yang sangat digemari pembaca pada jaman tersebut. Bahkan salah satu drama hasil karyanya yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) berhasil mendapat penghargaan/hadiah dari Departemen P & K Yogyakarta.

Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik.

Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.

Di samping karya berbau protes, dramawan kelahiran Solo, Nopember 1953, ini juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.

Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.

Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya pada acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi pada tanggal 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.

Beberapa waktu lalu, ia turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 22 Juli 2004. Dalam acara itu, ia menyuguhkan dua puisi balada yang berkisah tentang penderitaan wanita di daerah konflik berjudul Jangan Takut Ibu dan kegalauan penyair terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, lelaki yang akrab dipanggil Willy ini didampingi pengusaha Setiawan Djody membacakan puisi berjudul Menang karya Susilo Bambang Yudhoyono.

Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, seperti Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada tahun 1957, Anugerah Seni dari Departemen P & K pada tahun 1969, Hadiah Seni dari Akademi Jakarta pada tahun 1975, dan lain sebagainya.

Menyinggung mengenai teori harmoni berkeseniannya, ia mengatakan bahwa mise en scene tak lebih sebagai elemen lain yang tidak bisa berdiri sendiri, dalam arti ia masih terikat oleh kepentingan harmoni dalam pertemuannya dengan elemen-elemen lain. Lebih jelasnya ia mengatakan, bahwa ia tidak memiliki kredo seni, yang ada adalah kredo kehidupan yaitu kredo yang berdasarkan filsafat keseniannya yang mengabdi kepada kebebasan, kejujuran dan harmoni.

Itulah Rendra, si bintang panggung yang selalu memukau para penontonnya setiap kali membaca sajaknya maupun melakoni dramanya.

Nama: WS Rendra
Nama Lengkap: Willibrordus Surendra Broto Rendra
Lahir: Solo, 7 Nopember 1935
Agama: Islam
Istri: Ken Zuraida
Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)
Karya-Karya
Drama:
- Orang-orang di Tikungan Jalan
- SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
- Oedipus Rex
- Kasidah Barzanji
- Perang Troya tidak Akan Meletus
- dll
Sajak/Puisi:
- Jangan Takut Ibu
- Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Empat Kumpulan Sajak
- Rick dari Corona
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
- Pesan Pencopet kepada Pacarnya
- Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
- Perjuangan Suku Naga
- Blues untuk Bonnie
- Pamphleten van een Dichter
- State of Emergency
- Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
- Mencari Bapak
- Rumpun Alang-alang
- Surat Cinta
- dll
Kegiatan lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih
Penghargaan:
- Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
- Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
- Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
READ MORE - W.S. Rendra: Kepiawaian Si Burung Merak

Sutardji Calzoum Bachri: Sang Presiden Penyair

sutardjiSutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.

Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.

Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.

Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.

O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. ***

—–

KREDO PUISI SUTARDJI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973.


***
Sajak-sajak
ANA BUNGA
Terjemahan bebas (Adaptasi) dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme

Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri







Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?

Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?

Sayembara :

Ana Bunga buahku
Merah Ana Bunga
Warna apa aku?


Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!

1999
Catatan: Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman.

OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999

AYO

Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri







Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata

para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam

kini airmata
lantang menderam

meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini

ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan

para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia

namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa

OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republika edisi : 28 November 1999

BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?

Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu


batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?

Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
READ MORE - Sutardji Calzoum Bachri: Sang Presiden Penyair

Butet Kertaradjasa: Berpotensi Mati Muda

buthetInilah Butet Kertaradjasa, salah satu seniman paling "rasional" yang dimiliki Jogja. Silahkan, katanya, jika orang mau menilainya sebagai seniman yang kompromistis. Karenanya, ia setengah mengutuk para seniman yang menjadikan seni sebagai legitimasi untuk abai terhadap keluarga. Seniman jenis ini, katanya, tak lebih dari egoisitis berlebihan yang mengharap semua orang memahami dirinya, sementara dirinya tak mau memahami orang lain, termasuk keluarganya.

Bagi Butet, kesenian kurang lebih sama dengan profesi lainnya. Karenanya, ia mesti dikelola dengan baik. Waktulah yang akan menjawab, seberapa besar seorang seniman telah mengelola kesenian dengan baik, dari sektor estetika, manajemen, dan kemanfaatan buat diri si seniman maupun orang lain.

Hasilnya, paling tidak Butet sudah merasa siap untuk mati, kapan pun Tuhan berkehendak "mengambilnya". Katanya, tanggung jawab sebagai manusia sudah ia kerjakan semampunya. Di antaranya, memberi jaminan "kesejahteraan" berupa asuransi, tanah dan rumah buat ketiga anaknya serta istrinya.

Maka, pada tiap menjelang tidur, doa Butet adalah, ia meminta maaf kepada Tuhan untuk kesalahannya terhadap keluarga, handai taulan, dan juga kepada Tuhan yang telah memeliharanya.

Keinginan Butet kini, adalah mati dalam situasi yang paling indah, yakni saat dirinya tidur. Keinginan lainnya, ia tak ingin mati dalam keadaan sakit, berutang, dan merepotkan keluarga yang ditinggalkan.
Lahir di Yogyakarta 21 November 1961. Anak ke 5 dari 7 bersaudara keluarga seniman (pelukis dan koreographer) Bagong Kussudiardja. Isteri: Rulyani Isfihana (Kutai, Kalimantan Timur). Anak: Giras Basuwondo (1981), Suci Senanti (1988), Galuh Paskamagma (1994). Pendidikan: Sekolah Menengah Seni Rupa (1978-1982), Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (1982-1987, jebol di tengah jalan).

Sebelum dikenal sebagai aktor teater, sejak 1978-1992 Butet pernah menjadi sketser (penggambar vignet) dan penulis freelance untuk liputan masalah-masalah sosial budaya untuk media-media lokal maupun nasional: KR, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik, Zaman, dan lain-lain. Ia juga aktif sebagai pelukis dan pengamat senirupa. Sampai sekarang masih menulis esai budaya atau kolom (tentang masalah sosial budaya) di berbagai media massa cetak nasional.

Teater, yang kemudian menjadi basis dia berkesenian, mulai ditekuni sejak 1978. Ia antara lain pernah bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang).

Puluhan repertoar teater yang pernah diikuti di Teater Gandrik antara lain Kesandung, Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, Isyu, Dhemit, Orde Tabung, Kera-Kera, Upeti, Proyek, Flu, Buruk Muka Cermin Dijual, Khayangan Goyang, Juru Kunci, Juragan Abiyoso, Tangis, Brigade Maling. Terakhir bersama Teater Koma, Butet terlibat dalam pementasan lakon Republik Bagong (2001).

Yogyakarta kemudian mencatat prestasi Butet yang pernah terpilih sebagai Aktor Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-2 pada tahun 1979, sebagai Aktor dan Sutradara Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-4 (1981).
Butet juga pernah terlibat di Sinetron untuk judul-judul seperti Kucing Pak Selatiban (1985), Ketulusan Kartika (1995), Asisten Sutradara "Tajuk" (1996), Air Kehidupan sampai (1998), Cintaku Terhalang Tembok (2001). Tahun 1999, dia pernah menjadi figur yang paling dibenci oleh anak-anak, karena perannya sebagai Pak Raden di film Petualangan Sherina.

Untuk Monolog, sebuah cabang kesenian dari seni teater, sebetulnya sudah lama dikenalnya. Butet mengawalinya sejak tahun 1986 lewat judul Racun Tembakau, kemudian Lidah Pingsan, Benggol Maling, Raja Rimba Jadi Pawang, Iblis Nganggur, Mayat Terhormat, dan Guru Ngambeg. Kepada Jodhi Yudono dari Kompas Cyber Media, pada Kamis (25/4/2002) lalu, di sebuah kafe di kawasan Blok M, Butet menuturkan romantika hidupnya.

Semua acaramu di Jakarta kebanyakan sudah terencana atau improvisasi?
Improvisasi. Saya nggak punya plan misalnya tahun depan mau ngapain. Saya ngalir saja. Paling nggak, kalau misalnya saya ada mood dan waktu saya memungkinkan ya saya pentas bersama Gandrik. Atau kalau tiba-tiba ada teman yang nawari untuk pentas panggung seperti Mas Nano (N Riantiarno, sutradara Teater Koma-Red) kemarin, saya on the spot saja. Mau nggak lu main, saya cocokkan waktunya, jalan. Atau kalau saya dan teman-teman mood main monolog, ya kita bikin. Jadi saya nggak punya plan jangka panjang. Tergantung situasi mood, mood saya atau moodnya Jadug.

Anda masih memenejeri Gandrik dan Kua Etnika? (Tahun 1995 Mendirikan Komunitas Seni Kua Etnika bersama Djaduk Ferianto, Purwanto dan Indra Tranggono. Komunitas ini merupakan wadah pengembagan gagasan kreatif di bidang seni pertunjukan: musik dan teater.)

Sekarang sudah ada pendelegasian tugas. Pada aspek pengelolan organisasi, di Kua Etnika saya sudah ada yang mewakili. Tapi semua masih bermuara ke saya untuk hal-hal yang sifatnya krusial. Kalau mereka nggak bisa mengambil keputusan dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit, mereka masih berkonsultasi dengan saya.

Kedudukanmu sekarang?
Ya tetap di manajemen Kua Etnika, Sinten Remen, Gandrik, terus di Galang (badan usaha berbentuk advertising) juga. Tapi di Galang saya sudah menyatakan non aktif, komisaris saja.

Galang sendiri pada perkembangannya bergerak di bidang apa saja?
Awalnya periklanan, tapi konsentrasinya ke desain grafis. Sekarang penerbitan, percetakan dan yayasan, tapi saya sudah mengambil jarak. (Tahun 1996 Mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis. Tahun 1997 Mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif jender.)

Kelompok-kelompok kesenian yang melibatkan Anda itu punya schedule nggak, untuk tahun ini Gandrik main, Kua Etnika main?
Maunya gitu, inginnya semuanya terencana tapi pada prakteknya ternyata nggak mungkin. Ada saja hambatannya, ternyata kita nggak bisa mempersamakan ambisi, tidak bisa mempersamakan dorongan kebutuhan berkesenian secara kolektif. Saya tak ingin terjadi andaikan itu terlaksana hanya karena ambisi saya, atau dorongan kreatif saya, saya nggak mau. Monolog pun begitu, saya nggak mau hanya dorongan saya saja sebagai pemain. Tapi maunya saya juga dorongan dari penulisnya. Tapi memang sulit, kadang ketika dorongan saya semangat untuk tampil, penulisnya enggak. Kalau itu saya paksakan, nanti yang kalang kabut cuma saya sendiri. Prinsip organisasi egaliter yang saya bayangkan nanti tidak terwujud.

Tapi akhirnya toh Anda dan Jadug yang kelihatan sangat dominan di dalam kelompok-kelompok itu ya?
Ya begitulah yang terjadi, dan itu sangat saya sayangkan. Seharusnya mereka berada dalam semangat dan dinamika yang sama, karena peluang itu kita berikan. Susahnya mereka mendudukan saya dan Jadug dalam posisi itu, sehingga mereka tergantung. Kadang-kadang kalau mereka fair sih nggak masalah. Artinya fair itu tahu peran, tahu posisi. Susahnya pada saat dituntut kewajiban... pada saat kewajiban itu tidak imbang, tapi pada saat hak mereka menuntut egalitarian. Itu yang kadang sangat memprihatinkan pada saat kita berhubungan dengan sejumlah kepala yang tidak sama dalam menyikapi dunia kerja itu.

Omong-omong dalam sebulan Anda kumpul sama keluarga berapa hari?
Sejak Januari tahun ini sangat sedikit. Frekwensinya lebih banyak ke luar kota. April ini, saya hanya enam hari berada di rumah. Besok Jumat saya pulang, Senin sudah berangkat lagi. Saya baru pulang lagi hari Kamis. Setelah itu bulan Mei saya full di Jogja kecuali hari Senin.

Dari seringnya Anda meninggalkan rumah tidak problem buat keluarga?
Karena sejak lama sudah terbiasa dengan mekanisme seperti ini, anak istriku itu sudah kulino (terbiasa) saya tinggal. Waktu saya jadi wartawan juga sudah kulino sudah latihan mereka, sudah ngerti dunia saya. Tapi memang sejak saya main di Teater Koma agak lama mereka saya tinggalkan. Untungnya mereka mengikhlaskan dan masih mempercayai saya. (Ketika menjadi wartawan, prestasi Butet juga di atas wartawan biasa. Ia pernah menjadi juara pertama Lomba Esai TIM (1982). Tahun 1983 sebagai Juara Pertama Lomba Esai Tentang Wartawan, LP3Y. Tahun 1986-1990, Butet pernah bekerja sebagai wartawan Tabloid Monitor)

Ada nggak perasaan curiga atau cemburu dari istri karena seringnya Anda jauh dari keluarga?
Mungkin ya ada, tapi komitmennya, kalau istri saya sedang mood dan ingin menyusul saya, any time, saya harus memfasilitasi, mengakomodasinya. Di mana pun.

Kalau anak-anak?
Kalau pas libur sekolah, kadang mereka juga ikut.

Ada kosekwensi logis nggak buat keluarga dari risiko sering ditinggal pergi?
Apa yang saya lakukan semua ini buat mereka juga. Semua yang saya peroleh baik bersifat materi maupun non materi buat mereka. Kalau saya pas pulang, waktu pulang saya itu menjadi hak mereka. Mereka mau ngajak renang, makan-makan, dan saya harus konsekwen untuk bertanggungjawab sebagai seorang ayah.

Untuk urusan pendidikan anak-anak, semuanya diserahkan ke istri?
Sekolahan, formal. Karena saya dan istri saya hanya melakukan fungsi kontrol. Saya percaya, bahwa anak-anak itu akan melakukan pilihan-pilihan yang tepat. Karena saya tidak pernah mentargetkan apa pun kepada mereka. Sekolah tidak harus ranking-rankingan, nggak harus pinter-pinter banget, pokoknya penuhi sajalah kewajiban-kewajiban itu sebaik mungkin. Saya tumbuhkan kemampuan menyeleksi tindakan-tindakannya sendiri, karena saya mencoba meyakini kepada mereka bahwa apa pun yang terjadi merekalah yang menentukan. Termasuk kalau misalnya raport mereka merah, saya tidak akan marah. Kewajiban saya hanya menandatangani raport.

Kangen nggak sama mereka kalau ada di luar kota?
Kangen. Kangen sekali. Apalagi kalau sudah berada di hotel. Saya terhibur kalau pas ketemu teman-teman, sementara di hotel kan sepi. Sebab saya mengartikan bergaul itu juga sebagai kerja. Di hotel teman saya paling TV. Paling telpon-telponan sama mereka, mencari oleh-oleh buat mereka, sebisanya saya pulang membawa oleh-oleh buat mereka.

Biasanya mereka minta oleh-oleh apa?
Kalau anak sulung saya biasanya minta mentahannya saja, duit saja.

Sudah beli oleh-oleh apa buat anak-anak?
Anakku yang paling kecil banyak oleh-olehnya. buku bacaan, boneka. Anakku yang kedua minta dibeliin ponsel. Karena dia sudah kelas dua SMP, anak perempuan, fungsinya sebagai alat kontrol saja.

Nomor dua minatnya apa?
Minatnya musik, main drum, biola. Nomor tiga itu monolog, joged, nyanyi.

Anda ngajarin mereka?
Nggak. Anak saya yang belajar teater justru saya suruh ke mana-mana, jangan sama saya. Dia ikut teater Garasi. Dia saya suruh mencari. Anakku justru mendapatkan kepuasan karena tidak mendapat fasilitas dari saya. Seperti saya dulu, mecari. Saya sebagai penulis juga diakui, bukan karena katabeletje ayah saya. Saya main teater diakui juga karena jerih payah sendiri.

Anda merasa punya beban juga sebagai putranya Pak Bagong waktu masih dalam proses mencari itu?
Ya, beban buat saya. Sebab dengan mudah orang akan mengkait-kaitkan seakan-akan saya membonceng nama besar ayah saya. Hal yang sama sekarang terjadi juga pada anak-anak saya. Apalagi anak saya masuk ke wilayah teater. Buat mereka berat, makanya saya selalu bilang, kamu jangan dekat-dekat saya, sekali waktu boleh. Kalau kamu mau mendapatkan eksistensi, kamu harus belajar dengan orang lain, supaya kamu juga dapat melihat bahwa bapakmu ini nggak sempurna, ada kesalahan, dan kamu bisa melihatnya. Kalau kamu di sini, kamu akan menyangka bahwa aku ini pusat kebenaran.

Kalau yang sulung minatnya apa?
Kalau si mbarep (sulung) ke teater, pantomim dan film independen. Dia minta kamera tapi belum saya penuhi karena mahal.

Mahal gimana, kan Anda laris sekali..
Maksud saya, saya tidak ingin kalau memang anak saya mau jadi kameraman, itu akan saya penuhi, saya akan usahakan secara maksimal. Tapi karena dia ingin menjadi sutradara, sampai dia ngotot memiliki kamera, jangan-jangan dia butuh kamera hanya untuk kebutuhan melegitimasi dalam pergaulan sosialnya. Ya saya suruh merenungi itu. Kalau itu yang dia inginkan, pertanyaan saya kepada dia, apa kamu mau dihargai teman-teman kamu bukan karena prestasi? Tapi hanya karena kamera, dan itu pun pemberianku. Terus dia bilang, okelah lupakan soal kamera. Tapi ketika dia bilang begitu, saya malah berpikir, nanti kalau ada duit sekali waktu saya belikan deh.

Beberapa kali pementasan kan cukup
Kalau sekedar memenuhi hasrat itu bisa, tapi karena konon seorang ayah juga harus mendidik, saya tidak ingin menjadikan dia terlalu mudah mendapatkan kemudahan-kemudahan itu. Sebab saya dulu harus bergulat untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Begitu saya manjakan fasilitas, sebetulnya diam-diam saya sedang membunuh dia. Saya tidak ingin melakukan itu.

Anda mulai booming itu pas momen apa ya?
Pas Soeharto-Soehartoan itu, tahun 1998. Maksudnya ketika orang di luar komunitas kesenian mengenal saya.

Anda laku sekali setelah itu, tiap hari ada yang mengundang Anda?
Ya tidak setiap hari, tapi frekwensinya jadi lebih padat.
Sebelum momen itu Anda mengandalkan nafkah dari apa?
Dari Galang. Saya membangun basis ekonomi melalui Galang itu. Kadang-kadang nulis, diajak main sinetron sama temen. Main teater tidak bisa diandalkan.

Sekarang ini "jualan" Anda apa saja?
Macem-macem, ada sinetron, acara-acara di berbagai perusahaan yang aneh-aneh itu. Misalnya, saya diundang sebuah perusahaan untuk memotivasi karyawan yang patah semangat karena krisis moneter. Aneh kan? Aku sendiri lupa apa yang aku omongkan, tapi intinya memotivasi semangat hidup. Berbagi pengalaman dengan mereka, sambil guyon. Pengetahuan saya di bidang marketing yang sedikit ya saya bagi dengan mereka.

Harga tanggapannya berbeda dong, untuk kebutuhan komunitas kesenian dan mereka yang membuat anda merasa "terpaksa"?
Ya

Pasti lebih tinggi untuk yang "aneh-aneh" itu?
Jelas. Kalau untuk Gandrik sendiri saya malah nggak berpikir soal honor.

Untuk monolog Anda, bisanya siapa yang menulis skenarionya?
Biasanya Agus Noor, dulu ada Indra Tranggono. Kalau kepepet ya saya tulis sendiri.

Omong-omong soal Indra Tranggono, dia pernah berkata, mestinya Butet sudah mulai berbagi dengan komunitas kesenian yang membesarkan dirinya, apa tanggapan Anda?
Pengertian berbagi seperti apa?

Barangkali Anda jadi semacam maisenas buat kelompok-kelompok teater di Jogja
Kalau toh saya melakukan itu, pertama-tama bukan karena disuruh orang lain. Kedua, harus dipahami bahwa saya bukan sinterklas. Dan ketika saya tumbuh pun saya tidak mau dimanja seperti itu. Tapi saya tahu maksudnya Indra adalah moral obligation. Mengartikan moral obligation tidak sesederhana itu dan tidak harus seperti itu. Kedua, kalaupun saya berderma, saya tidak ingin memamerkan kedermawanan saya untuk diketahui orang lain. Okelah, kalaupun tidak berbentuk material, moral.

Moral obligation apa yang sudah Anda berikan kepada dunia kesenian?
Dengan memberikan kemungkinan-kemungkinan akses yang saya punya untuk kepentingan grup-grup kesenian di Jogja. Saya tidak pernah pelit memberikan akses saya yang saya peroleh kepada teman-teman, siapa pun mereka. Tergantung mereka mau mengolah akses itu apa tidak. Itu moral obligation saya, saya tidak pelit. Tapi artinya orang harus bekerja untuk mengolah akses. Orang tidak bisa hanya tidur, kemudian menerima hasil. Kalau tidak mengolah akses, ya tidak akan mendapatkan apa-apa. Tapi diam-diam, terpaksa saya omongkan karena saya ditanya, kepada sejumlah anak muda yang melakukan kegiatan, entah teater, pembuat film independen, datang kepada saya dan kebetulan pada saat itu saya punya uang, sedikit-sedikitnya saya menunjukkan konsen kepada mereka, tapi seharusnya tidak saya omongkan. Jadi kalau yang diistilahkan tadi berbagi, saya tidak bisa menerima sebuah pikiran memaksakan kehendak orang kepada diri saya. Itu namanya tiran. Pertanyaanku, apakah secara spesifik hanya ditujukan kepada saya? Apakah juga untuk mereka yang tumbuh dalam atmosfir kesenian Jogja? Kalau kita berpikirnya egaliter, secara fair itu harus diaplikasikan kepada siapa pun, termasuk Indra Tranggono sendiri.

Apa Anda ada masalah dengan Indra Tranggono?
Saya merasa tidak ada masalah dengan dia, tapi dia yang tidak mau saya dekati, tidak mau lagi membantu saya.

Sejak kapan "berpisah" dengan dia?
Ya sejak tiga bulan ini. Saya sangat menyayangi dia, mencintai dia, karena dia juga teman saya sejak SMP. Tapi Indro sudah menyatakan tidak mau bekerjasama lagi dengan saya. Saya tidak tahu masalah apa sebenarnya, karena saya merasa tidak pernah punya masalah.

Situasi kesenian di Jogja sendiri sekarang macam apa?
Saya tidak melihat yang mengkhawatirkan kalau melihat semangat mereka. Mereka yang berproses dengan kesungguhan masih ada. Yang ke industri juga ada. Mereka yang melakukan pencarian-pencarian kreatif juga masih ada. Artinya, dinamika kesenian sebagaimana dulu ketika saya tumbuh, itu masih berlangsung dengan wajar dalam format mereka, dalam semangat mereka. Saya tidak bisa memaksakan romatisme saya yang dulu kepada anak muda sekarang.

Karena putra-putra Pak Bagong sebagian sibuk, macam Anda dan Jadug, hubungan sesama anggota keluarga Bagong Koesudiardjo bagaimana?
Baik. Tapi dengan bapak saya lama nggak ketemu, karena saya sering pergi.

Masih ada sisa-sisa romantisme Anda sebagai anak Pak Bagong?
O masih, kalau ada waktu saya sempatkan main ke rumah bapak. Guyon-guyon.

Bisa kumpul di rumah bapak biasanya pas momen apa?
Ya kalau hari raya, Natal, lebaran, tahun baru, atau pas slametan ibuku, pasti kumpul.

Biasanya apa yang diperbicangkan kalau kumpul di rumah Pak Bagong?
Paling-paling cuma ngomong saru (jorok). Pokoknya nggak ada omongan serius, yang ada ya guyon saja. Waktu anak-anak sih serius, sekarang anak-anak sudah mempunyai kepercayan diri dan kemandirian.

Hubungan Anda dengan adik Anda, Jadug, sangat akrab sekali. Keakraban yang egaliter itu sudah terjalin sejak kapan?
Sejak dia mulai berkesenian. Dia ngendang itu sejak SD. Aku main teater dia sudah musikin saya. Tahun 77/78 dia masih pakai celana pendek. Aku main teater, dia main musik.

Kalau Pak Bagong punya kegiatan, Anda masih suka membantu?
Ya, dulu. Sekarang sudah sibuk, jarang. Dulu aku jadi manajer produksinya.

Kalau nggak ada pekerjaan kesenian, kegiatan anda apa?
Paling-paling kalau di luar kota ya ke warnet. Buat ngecek surat-surat. Browsing sudah nggak sempet. Kalau ada order ya bikin tulisan buat media, atau bikin karangan untuk acara, atau bisa juga bikin proposal. Paling kalau di hotel ya cuma nonton TV dan baca.

Sebagai orang sibuk, perangkat kerja Anda apa? Laptop barangkali?
Nggak ada. Apa, ya cuma diriku. Kalau kepingin ngetik ya di warnet.

Nggak butuh asisten?
Nggak, ndak konangan (nanti ketahuan honornya).

Pernah ada masalah nggak dengan jadwal acara Anda yang padat karena nggak ada asisten?
Nggak. Saya itu nasibnya tergantung ini (Butet mengambil sebuah buku agenda kecil dari saku celana). Nyawaku ada di sini. Ini ilang, kacau aku. Sejak sebelum 1998 saya sudah mempunyai tradisi pakai agenda harian. Mulainya karena Tempo dan Jakarta Post selalu memberi agenda kepada saya tiap akhir tahun, karena saya punya biro iklan itu (Galang-Red), beberapa media cetak suka ngirim souvenir. Jadi saya punya kebiasaan mencatat apa yang akan saya lakukan. Seperti ini (menunjukkan agenda acara), sampai bulan September ada sejumlah kegiatan yang harus saya tangani. Jadi saya tidak perlu sekretaris. Sekretarisku ya yang di kantong ini.

Terus kalau ada orang yang tiba-tiba memesan Anda pentas, padahal jadwal kegiatan Anda sudah penuh sampai September bagaimana?
Sebetulnya setiap saat bisa, asal waktunya cocok. Jadi kalau ada orang mau memesan saya, ya harus menyesuaikan dengan waktu yang masih bolong-bolong belum terisi itu.

Untuk menjaga stamina, jamu Anda apa?
Doping saya pakai obat Cina, ginseng cair yang di botol kecil. Tapi itu jarang, paling kalau mau pentas yang membutuhkan kegiatan fisik. Tapi sehari-hari obatnya ya tidur. Prinsipnya kalau ngantuk terus tidur, entah siang, sedang di dalam taksi. Tiba di hotel kalau ngantuk langsung tidur, nggak boleh ditunda.

Refreshingnya biasanya apa?
Makan bersama anak-anak, jajan soto, makan malam bersama mereka.

Punya tempat favorit kalau ngajak makan anak-anak?
Soto Kaditiro, soto Pak Slamet, kalau malam tongseng, sate Kletek, tongseng Tamansari. Anak-anakku ya ke mal.

Kalau refreshing ketika di luar rumah apa?
Seperti di luar kota ini? Ya ketemu teman-teman, ke kafe, diajak relasi-relasi, mereka itu seneng nraktir aku.

Menyeleweng nggak?
Ya harus mengaku nggak, hehehe

Pacar punya nggak?
Nggak

Untuk pencerahan batin?
Nggak, cukup istri saya

Karena sering makan enak, sudah mulai ada keluhan?
Ada, diabet dan kolesterol. Pernah kadar gulaku sampai 400, kolesterolnya 400. Dokter menyarankan saya supaya diet keras dan olahraga keras sampai mengeluarkan keringat. Sempat coba saya lakukan sampai sepuluh hari, hasilnya efektif. Jamunya pakai telor ayam dan asam cuka. Biasanya istriku yang ngurusi. Tapi kalau di luar kota begini jadi kacau nih acara jamu-jamuan.

Istri Anda kegiatannya apa di rumah?
Nanti pementasan Gandrik dia ikut. Kegiatan lain, dia bisnis kecil-kecilan, saya ikut memfasilitasi agar dia mandiri. Kenapa saya dorong dia untuk mandiri? Karena saya merasa saya punya potensi mati muda. Saya tidak ingin kalau saya mati ngrepotin orang. Kalau istri saya mandiri secara ekonomi, punya pengalaman melakukan usaha, relatif amanlah. Dan kalau saya tidak mati, saya memberikan kesempatan dia mandiri secara ekonomi. Karena kalau saya tidak lakukan itu, secara ekonomi istriku dan anak-anakku tergantung pada aku semua. Padahal aku ada batasnya kan? Fisik bisa hancur, bisa sakit, bisa mati pula. Karenanya dia saya fasilitasi untuk bisnis itu.

Soal potensi mati muda, memangnya Anda merasakan apa belakangan ini?
Ya menyadari keterbatasan fisik saya yang sudah terjangkit macam-macam penyakit, ada gula, ada kolesterol.

Anda siap mati kapan saja?
Ya, bahkan setiap mau tidur doa saya kepada Tuhan adalah, agar Tuhan memaafkan kesalahan saya kepada teman-teman saya, keluarga saya, kepada perilaku-perilakuku. Karena perasaan saya besoknya ketika bangun tidur saya akan mati. Cita-citaku kan mati tanpa sakit, mati nggak ngerepotin orang lain. Mati tanpa siksa. Itu mati yang indah buat saya.

Sudah melihat tanda-tandanya?
Ini kebetulan saya sedang membuat rumah. Teman-temanku, pada saat mereka membangun atau rumah selesai, itu mati. Jadi ketika saya memutuskan membuat rumah, aku bilang sama istriku, aku bisa mati ini. Sekarang rumahku sudah memasuki tahap finishing, aku ge-er ini aku bisa mati, udah deket nih matiku.

Untuk cadangan hari tua, apa yang sudah Anda perbuat buat masa depan anak-anak?
Saya meniru ayah saya. Dia itu ingin memfasilitasi anak-anaknya dalam hal sandang, pangan, papan. Saya membeli tanah, tidak untuk saya, tapi untuk anak saya. Saya dibelikan tanah oleh bapak saya, dibuatkan rumah, meskipun saya sekarang merenovasi rumah itu, sekarang saya sudah membeli tanah untuk anak-anak saya dalam ukuran yang pantas, sekitar 200 m2.

Menirukan gaya bicara orang masih suka dipakai di panggung?
Kadang masih, tergantung kebutuhan dan situasi. Tergantung konteknya. Ketika saya berkesenian, saya ya ge-er merasa diri saya seniman, tapi ketika orang mengundang saya untuk memotivasi karyawan, saya ya ge-er merasa sedang berjuang untuk perusahaan itu sambil menghibur. Ketika orang mengundang saya untuk mengisi acara agar publik tertawa karena mereka sedang sedih, saya ge-er bahwa diri saya sedang jadi seorang entertainer. ***
Nama: Butet Kertaradjasa
Lahir: Yogyakarta 21 November 1961
Ayah: Bagong Kussudiardja
Isteri: Rulyani Isfihana (Kutai, Kalimantan Timur)
Anak: Giras Basuwondo (1981), Suci Senanti (1988), Galuh Paskamagma (1994)
Pendidikan:
Sekolah Menengah Seni Rupa (1978-1982), Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (1982-1987, jebol di tengah jalan).
Kegiatan:
Tahun 1985 sampai kini, aktif di Teater Gandrik sebagai pemain dan organisator produksi. Sampai sekarang menekuni teater dan pertunjukan monolog sebagai media berekspresi. Bersama Teater Gandrik berpentas di beberapa kota di Indonesia, termasuk mewakili Indonesia dalam Second ASEAN Theatre Festival (1990), di Singapura, membawakan lakon "Dhemit". Dan mementaskan lakon yang sama di Kuala Lumpur, Malaysia; mendukung pementasan "Brigade Maling" Teater Gandrik di Monash University, Melbourne, Australia (1999). Tahun 1991 menjadi Redaktur (Budaya) Tamu di Bernas.
Teater, mulai ditekuni sejak 1978. Antara lain pernah bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang).
Puluhan repertoar teater yang pernah diikuti di Teater Gandrik antara lain Kesandung, Pasar Seret, Pensiunan, Sinden, Isyu, Dhemit, Orde Tabung, Kera-Kera, Upeti, Proyek, Flu, Buruk Muka Cermin Dijual, Khayangan Goyang, Juru Kunci, Juragan Abiyoso, Tangis, Brigade Maling. Terakhir bersama Teater Koma, dalam pementasan lakon Republik Bagong (2001).
Terlibat di Sinetron untuk judul-judul seperti Kucing Pak Selatiban (1985), Ketulusan Kartika (1995), Asisten Sutradara "Tajuk" (1996), Air Kehidupan sampai (1998), Cintaku Terhalang Tembok (2001). Tahun 1999, pernah menjadi figur yang paling dibenci oleh anak-anak, karena perannya sebagai Pak Raden di film Petualangan Sherina.
Untuk Monolog, diawali sejak tahun 1986 lewat judul Racun Tembakau, kemudian Lidah Pingsan, Benggol Maling, Raja Rimba Jadi Pawang, Iblis Nganggur, Mayat Terhormat, dan Guru Ngambeg.
Penghargaan:
Aktor Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-2 pada tahun 1979, sebagai Aktor dan Sutradara Terbaik Festival Teater SLTA se DIY ke-4 (1981).
Tahun 1999 dinobatkan sebagai "TOKOH SENI" oleh PWI Cabang Yogya dan tahun 2000 memperoleh "PENGHARGAAN SENI" dari Pemda DIY.

TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), Repro Kompas Cyber Media)

READ MORE - Butet Kertaradjasa: Berpotensi Mati Muda