Sebuah Pura di Air Terjun Gitgit

Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Dimuat di Jawa Pos (03/28/2010)

Om Sang Hyang Pramasti Adi Guru. Byoh Angadeg ring luhur tan kening lupute

Gusti Madi Agung menuntun lelaki botak berambut penuh uban yang berjalan tertatih-tatih itu setelah dia turun dari motornya. Lelaki itu dituntunnya masuk ke rumah berdekorasi China dengan warna merah yang dominan.

Seorang gadis cilik, mungkin berusia lima tahun, yang sedang sibuk membantu kakeknya menata kotak-kotak obat menyapa, ''Silakan masuk.'' Maksudnya masuk terus ke ruang belakang.

''Ah, sudah pinter sekarang,'' kata lelaki botak bungkuk itu. Dia ingat, beberapa tahun lalu ketika dia sering berkunjung ke rumah ini, gadis cilik itu hanya bisa tersenyum atau tertawa di gendongan ibu atau neneknya kalau dia datang menyapa. Waktu itu dia bisa turun sendiri dari boncengan motor anaknya dengan mudah dan berjalan sendiri tanpa dituntun menuju ruang belakang yang dikenalnya. Di ruang itu dia duduk di lantai beralaskan permadani berwarna merah, setelah meletakkan canang di lantai yang lebih tinggi yang sudah dipenuhi canang serta dupa-dupa yang sudah padam, menghadap ke dinding selatan yang dipenuhi patung-patung sosok yang tak begitu dikenalnya. Yang sebuah terletak di sebelah kiri memang patung yang dikenalnya dengan baik: Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Di sebelah kanan patung dewa bertangan empat, mungkinkah patung Dewa Wisnu, sang Pemelihara?

Merapat ke dinding sebelah kiri ada relief sebuah pura di bukit dengan jalan setapak yang digambarkan dengan jelas. Dulu setelah beberapa kali dia datang, lelaki yang mengenakan sarung dan baju putih, pakaian seorang pemangku yang kuat merokok itu bercerita, ''Saya bikin ini semua begitu saja Pak. Saya bukan pelukis dan bukan pematung, dan tak pernah belajar seni rupa. Tetapi ada yang mendorong pikiran dan angan saya untuk mengerjakannya. Dan, jadilah.''

Lelaki itu percaya saja sebab dia pernah membaca buku The Creative Process puluhan tahun silam, dan kemudian dibacanya ulang dengan lebih cermat, dan menemukan bukti-bukti bahwa sosok-sosok jenius menciptakan komposisi musik bahkan sebuah rumus kimia dengan begitu saja. Seperti kemampuan Tuhan saat mengatakan kun fayakun. Tetapi dia yakin manusia bukan Tuhan, tak mungkin mencipta, dia hanya mampu menggubah. Dari bacaan lain, seorang penulis Arab, dia membaca bahwa Walmiki, penggubah kisah Ramayana, tidaklah mereka-reka kisah itu. Katanya, Walmiki melihat di depan matanya pemandangan di istana ayahanda Rama, siapa saja yang hadir di sana dan langsung mencatatnya, sebagaimana seorang reporter melaporkam suatu peristiwa. Dan selanjutnya dia hanya mengikuti perjalanan Rama dan Sinta serta Laksmana ke dalam hutan dan menuliskannya.

''Saya percaya,'' katanya saat itu. Dan dia menjawabnya dengan yakin karena dia sudah mengalaminya. Banyak kisah yang ditulisnya, baik berupa cerita pendek, novelette, maupun novel mengalir begitu saja melalui ujung jarinya, mula-mula dengan mesik ketik manual beberapa buah. Ketika mesin ketiknya rusak, dia membeli mesin tulis baru merek Imperial seharga Rp 110.000,- di Jalan Gajah Mada Denpasar. Dia mampu membelinya dengan uang honorarium beberapa tulisannya. Ketika novel pendeknya dimuat dan mendapat honor Rp 500.000,- harga mesin tulis sudah naik, dan dia sudah membeli sebuah mesin tulis elektrik di London seharga seratus sepuluh pound. Dan ketika honor sebauh novel yang dimuat sebuah koran kecil yang terbit di Jakarta sebesar Rp 570.000,- dia sudah membeli sebuah mesin tulis elektronik dengan huruf-huruf daisywheel seharga US$ 320 di Columbus. Dan, ketika novelnya dimuat di sebuah koran besar dengan honor Rp 2.500.000,- dia sudah mampu membeli sebuah komputer. Semua alat itu kemudian menjadi barang rongsokan.

Dengan alat-alat itu dia merasa mendapat anugerah Allah untuk membuahkan tulisan-tulisan yang makin banyak. Tetapi makin hari dia merasakan ada yang tak beres dengan kakinya. Karena itu dia datang ke rumah Cik Amyong yang terkenal sebagai ahli pijat urat. Pasiennya dari mana-mana, temasuk para turis yang dibawa ke sini oleh pemandunya dan menurut Cik Amyong, mereka merasa puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikannya.

Cik Amyong bukan saja memijatnya, tetapi juga mengajarinya teknik pernapasan dan olah raga sederhana untuk menghidupkan urat-urat yang kurang kuat. Sambil berbaring dia harus menarik telapak kakinya ke arah luar dengan menarik napas, dan kemudian menarik telapak kaki itu ke dalam dengan menghembuskan napas serta menahannya beberapa saat.

''Itu urat naga yang harus dihidupkan,'' kata Cik Amyong sambil meraba tulang kering lelaki itu.

Madi Agung sambil duduk mendengarkan dengan tekun saat Cik Amyong mengulang kata-katanya itu ketika dia berkunjung lagi. Lelaki itu diharuskan membuka baju, kemudian miring ke kiri menghadap tembok dan mengangkat tangan kanannya yang sakit itu tinggi-tinggi dan meletakkkanya di tembok sementara Cik Amyong memijat bahu dan kemudian urat di ujung tulang belakangnya.

''Sekarang bergerak,'' kata Cik Amyong. Lalu, dia menyapa Madi Agung yang saat masih duduk di bangku SMA sering datang ke tempat lelaki China itu.

''Ini anak didik saya. Sudah tamat, tetapi nggak diterima jadi guru.''

''Padahal saya sebetulnya lulus tes,'' begitu kata Madi Agung.

''Kok tahu?''

''Ada yang kasih tahu dari Jakarta, tetapi nama saya nggak ada dalam pengumuman. Belum hoki. Sekarang saya mau melamar kerja di bank saja.''

Lalu tiba-tiba Cik Amyong bertanya, ''Mau bersembahyang di Gitgit? Bawa HP? Coba tulis!''

Lalu dia mendiktekan sebaris doa. ''Kalau bisa hari ini, hari baik karena sedang tilem. ''

''Baik, Cik,'' katanya.

Selesai memijat dan membantu lelaki itu berdiri, Cik Amyong memberikan obat-obat China impor dari Hongkong sebanyak dua botol dan sebuah tabung semprot yang menyebabkan kulit yang disemprot panas. Dia memakainya sesuai dengan petunjuk: di sekitar lengannya yang sakit dan di wilayah pinggul. Satu botol berisi pil untuk memperkuat tulang dan sendinya dan sebuah lagi pil untuk menguatkan fungsi hatinya.

Dalam boncengan lelaki itu berkata, ''Sore ini laksanakan pergi ke Gitgit. Cari sebuah pura di jalan menurun ke arah air terjun. Bapak pernah turun ke sana, udaranya segar dan air di kaki air terjun menyejukkan dan orang percaya juga membawa kesembuhan.''

''Ya, Pak.''

''Niatkan dan jangan batalkan niat itu walau apa yang terjadi. Guru Bapak pengajarkan, janji harus ditepati, apalagi janji pada diri sendiri yang tidak merugikan orang lain. Tetapi kalau janji itu tak ditepati, akibatnya pada diri sendiri buruk. Biasakan tepati janji apa pun."

Sore hari sebelum Madi Agung berangkat ke pura. Langit kelam dan guntur berdentur-dentur, lalu hujan bagaikan ditumpahkan dari langit. Padahal dia sudah mengenakan pakaian adat Bali untuk bersembahyang ke pura. Bahkan dia sudah membeli canang . Dia tertegun di atas sadel motornya, kemudian menepikan motor ke tempat teduh di depan kamar kosnya. Air membasahi wajahnya.

''Ah, besok saja,'' pikirnya. Tetapi dia ingat apa yang dikatakan oleh dosennya tadi.

''Aku harus berangkat.'' Lalu dia mengambil jaketnya serta tas punggung yang telah dikosongkan dan diisi dengan canang, senteng dan baju, sarung serta udeng . Semua terbungkus kantung plastik. Dengan mengucap niat di dalam hati dia berbasah kuyup melajukan motornya ke arah selatan. Sepanjang perjalanan dia tidak bersua dengan sepeda motor. Hanya mobil dan truk yang berpapasan.

Sampai di Sukasada, dia masih berbasah kuyup dan motornya tetap dipacunya ke arah selatan. Masih tujuh kilometer lagi jauhnya, dan belum ada tanda-tanda bahwa hujan hendak reda. Padahal dia harus memarkir motornya di tepi jalan, kemudian setelah melalui gapura yang dibangun untuk menandai objek wisata itu, dia harus berjalan kaki menuruni lembah.

''Aku harus bersembahyang sore ini juga seperti yang kuniatkan,'' kata Madi Agung dalam hati.

Berjalan di lahan becek dalam guyuran hujan memang tidak nyaman tetapi dia bergerak terus, menuruni jalan setapak. Dia tak bertemu siapa pun, tidak juga seorang turis. Dia akhirya menemukan pura kecil yang disebut Cik Amyong. Doa yang dicatatnya di dalam HP sudah hapal. Begitu dia sampai di depan gerbang pura, tiba-tiba hujan yang menerpa berhenti, seolah ditahan oleh tangan raksasa entah dari mana.

''Suksma, Guru,'' dia melepaskan jaketnya yang basah, dan mendapati bajunya juga basah, apalagi sarungnya. Sebelum memasuki halaman pura ia mengganti pakaiannya yang terbungkus tas plastik di dalam tas punggungnya. Korek api dan dupa juga kering terbungkus kantung plastik pula. Kemudian dia melangkah ke dalam pura, meletakkan canang di piasan dan kemudian menyalakan dupa dengan korek api kering. Doa itu meluncur dengan lancar dari mulutnya, seolah sudah dihapalnya bertahun-tahun lamanya. Tak puas dia mengucapkannya sekali saja namun entah sampai berapa puluh kali. Selesai mengucapkan doa dan keinginannya, langit terbelah terang benderang, sisa cahaya sore memerah dan dia merasa tubuhnya ringan. Dengan hati ringan pula dia mendaki balik ke atas tanpa mengenakan jaketnya yang basah. Orang-orang yang dijumpainya di jalan itu nampaknya heran kenapa dia berpakaian kering sementara hujan baru saja reda.

Malamnya dia masih bersembahyang di Pura Jagatnatha yang terletak di pusat kota. Walau Cik Amyong tidak berpesan agar ia ke pura besar itu, dia berpikir tak ada salahnya kalau dia bersembahyang juga di sana. Dia bernapas lega penuh pengharapan.***

Singaraja, 17-19 Desember 2009
READ MORE - Sebuah Pura di Air Terjun Gitgit

Jimat Sero

Cerpen Eka Kurniawan
Dimuat di Suara Merdeka (01/30/2010)

Kamu masih sering dipukul orang?” tanya teman lamaku, waktu kami berjumpa di rumah nenek, Lebaran lalu. ”Ya, enggak, lah,” jawabku sambil nyengir.

Ia mengingatkanku pada masa kecil kami. Saat itu ibuku baru melahirkan adik, dan bapak menitipkanku ke rumah nenek di kampung. Di sekolah yang baru, hanya aku yang pakai sepatu dan hanya aku yang punya rautan pensil. Sial sekali memang. Dengan tubuh kecil, ringkih, hidung penuh ingus dan sering pilek, aku menjadi bulan-bulanan teman sekelas. Setiap hari mereka merampok uang jajanku.

Satu hari tiga anak memukuliku, karena aku sengaja tidak membawa uang jajan. Nenek mengetahuinya. Seharusnya Nenek mendatangi Kepala Sekolah dan mengadukan kelakuan anak-anak itu. Atau mengembalikan aku ke rumah ibuku, seperti keinginanku.

Rupanya Nenek punya cara sendiri. Sore hari ia membawaku ke sebuah gubuk di tepi mata air. Kelak aku mengetahui, pekerjaan pemilik gubuk itu memang menjaga mata air tersebut. Gubuk itu mungil saja, dengan asap mengepul dari celah atap sirapnya. Barangkali penghuni rumah sedang memasak di tungku dapur. Nenek mengetuk dan tak lama kemudian pintu terbuka.

Di depan kami berdiri seorang lelaki tua yang langsung mempersilakan Nenek duduk. ”Enggak usah, aku cuma mampir sebentar,” kata Nenek sambil menoleh ke belakang lelaki tua itu. Di sana berdiri seorang anak lelaki, lebih tua dariku, memerhatikan kami dengan penasaran. ”Kelas berapa anakmu, si Rohman itu?” tanya Nenek.

”Kelas empat,” si lelaki tua menjawab sambil menoleh ke anaknya dan berkata kepada anak itu, ”Suruh emakmu bawa teh.”

Tapi Nenek buru-buru memberi isyarat Rohman agar tidak pergi, dan menyuruh mendekat. Rohman menghampiri Nenek, dan tanpa mempedulikan lelaki tua itu, Nenek berkata kepada Rohman:

”Dengar, mulai besok, kamu belajar di kelas dua dan duduk satu bangku dengan cucuku ini. Jika seseorang mengganggunya, kau boleh menghajar mereka sesuka kamu.”

Dengan kebingungan, Rohman menoleh ke ayahnya. Si lelaki tua hanya tersenyum, kemudian berkata, ”Jangan khawatir. Besok ia akan duduk di kelas dua.”

Begitulah cara Nenek menyelesaikan persoalanku. Sejak saat itu, Rohman turun kelas dua tingkat. Hebat juga anak itu, sejak ia duduk sebangku denganku, tak seorang pun berani menggangguku lagi. Sepatuku terbebas dari injakan kaki-kaki dekil. Ah ya, kadang-kadang di luar sekolah, masih ada anak yang tak tahu apa-apa menggangguku, dan esok harinya, Rohman bisa menghajarnya hingga babak-belur.

Tapi tak lama setelah itu, Ayah mengambilku kembali dari rumah Nenek. Aku tak tahu apa yang terjadi. Ibu hanya pernah bercerita, aku menangis berhari-hari meminta pulang. Aku tak ingat apa yang membuatku menangis. Aku juga tak tahu apa yang terjadi dengan Rohman: apakah ia kembali melompat dua kelas sebagaimana mestinya, atau tetap meneruskan tingkatannya saat itu. Di sekolah yang baru, kadang-kadang ada yang mengganggu, tapi aku bisa mengatasinya. Di SMP, aku punya banyak teman dan tak ada yang mengganggu. Di SMA aku mengencani beberapa gadis cantik dan pintar, dan karena ”gadis cantik yang pintar” jarang jadi rebutan, aku nyaris tak punya saingan. Aku masuk universitas dan jadi kutubuku. Aku bahkan nyaris lupa pernah punya teman sebangku bernama Rohman. Kini aku bertunangan dengan anak gadis bosku, Raisa, dan tak seorang pun berani mengusik hubungan kami.

Kemudian, Lebaran lalu aku mengunjungi Nenek dan berjumpa dengan si Rohman ini, dan pertanyaannya sungguh konyol: ”Kamu masih suka dipukuli orang?”

Kami berdua duduk di beranda dan berbagi segala hal yang kami tidak ketahui selama perpisahan itu. Rohman berkata, ”Setiap kali pulang kampung, aku selalu menemui nenekmu hanya untuk tahu kabar tentangmu.” Aku hanya tersenyum dan menepuk lututnya. Lalu ia menambahkan, ”Sampai sekarang aku masih sering kuatir, ada orang memukulimu.”

Aku tertawa dan kembali menepuk lututnya. ”Enggak usah berlebihan begitu.”

Tapi dengan tatapan serius ia memandangku dan kembali berkata, ”Di mana kamu sekarang tinggal? Aku akan memberimu sebuah jimat.”

”Jimat?”

”Jimat. Kamu bakal tahan pukul dan kebal senjata.”

***

JIMAT itu sekarang berada di tanganku. Namanya jimat sero. Kata Rohman, yang sengaja datang ke apartemenku, itu memang terbuat dari ekor sero. Rubah.

Karena tak tahu harus berbuat apa, aku bertanya apakah aku harus membayar? Berapa? Rohman hanya tertawa sambil menggeleng. Tidak, katanya, kamu tak perlu membayar sepeser pun. Ia memberikan jimat itu benar-benar karena ia mengkhawatirkanku. Ingat, katanya, dulu ia berjanji untuk menjagaku. Tapi ia tak mungkin menjagaku terus-menerus. Ia hanya bisa memberiku jimat itu.

Aku yang tak terbiasa memperoleh sesuatu secara cuma-cuma mencoba bertanya mengenai pekerjaannya. Barangkali ia punya anak, dan seperti kebiasaan orang desa, barangkali ia mencoba menitipkan anaknya untuk dimasukkan ke perusahaan tempatku bekerja, atau ke kantor-kantor kenalanaku. Tapi jelas ia tak membutuhkan apa pun. Ia sudah jadi juragan kopra di Banten selatan dan anaknya yang paling tua masih berumur sebelas tahun. Ia benar-benar tak membutuhkan apa pun dariku.

Setelah memaksanya menginap semalam dan mengajaknya berkeliling Jakarta untuk sekadar bersantai, ia akhirnya pulang.

Dan jimat itu bersamaku. Jimat sero.

Selama beberapa hari aku mencoba menghiraukannya, tapi semakin aku mencoba melupakan bahwa aku memiliki jimat, semakin aku mengingatnya. Jimat itu tebungkus dalam kantung kain katun kecil, dengan tali untuk mencantelkan, sebesar gelang tangan. Aku sudah memeriksanya, dan memang itu tampak seperti ekor binatang yang sudah kering. Tak ada tanda-tanda benda itu memiliki kesaktian apa pun. Bahkan aku ragu ia bisa melindungi dirinya sendiri.

”Kamu harus membawanya jika ingin merasakan keampuhan jimat ini. Masukkan ke saku celana sudah cukup,” begitu kata Rohman sebelum pergi.

Aku malah menggeletakkannya di meja, di samping komputerku.

Sampai kemudian terpikir olehku bahwa satu-satunya cara untuk meyakinkan apakah benda itu berguna atau tidak adalah dengan menjajalnya. Tapi sebelum itu tentu saja aku harus memastikan sesuatu. Sepuluh hari selepas kunjungan Rohman, aku meneleponnya.

”Setahuku setiap jimat selalu ada pantangannya,” kataku. ”Katakan apa yang tidak boleh kulakukan?”

Rohman tertawa dan menggeleng, ”Tak ada yang perlu kamu risaukan.”

***

SEUMUR hidup aku tak pernah berkelahi. Tentu saja bukan berarti aku tak pernah memiliki masalah dengan orang lain. Apa pun yang terjadi, aku selalu mencoba mengakhiri setiap perselisihan dengan siapa pun tanpa berkelahi. Teman-temanku bilang, aku pandai dalam hal membuat musuh menjadi teman. Tapi sejujurnya, adakalanya aku harus menghindar. Lebih tepatnya, mengalah.

Saat pertama kali kupikirkan untuk mencoba jimat sero, aku langsung membayangkan beberapa orang yang menyebalkan, yang seharusnya kuhajar: sopir taksi yang pernah mengajakku berkeliling sambil berpura-pura tersesat, lalu memaksaku membayar dengan harga argometer yang melambung ke langit; preman kecil yang pernah menodongku di Tanah Abang, bertahun-tahun lalu ketika aku pertama kali datang ke Jakarta; dan barangkali seorang kolonel yang pernah aku lihat menabrak seorang perempuan tua di pinggir jalan, lalu pergi begitu saja seolah tak merasa bersalah.

Dengan sedikit was-was, kuambil jimat sero dari atas meja dan kutimang-timang sejenak di telapak tangan. Benarkah aku percaya omong-kosong mengenai jimat ini? Bukan hal yang aneh jika orang semacam Rohman bisa memiliki jimat, bahkan membuatnya. Aku tak tahu bagaimana seorang anak kecil tukang berkelahi menjelma seorang lelaki penuh klenik yang mampu menyediakan jimat. Tapi setelah kupikir-pikir, itu bukan hal yang aneh, sebenarnya.

Ayahnya, si tukang menjaga mata air, konon juga pemilik beragam ajian. Dan selama bertahun-tahun, ia merupakan orang kepercayaan Nenek dan Kakek. Ayah dan ibuku tak pernah menyinggung soal itu dan aku juga tak terlalu menaruh perhatian, tapi aku mengetahui hal itu.

Kumasukan jimat ke saku kiri celanaku. Itu tempat yang aman, sebab aku tak pernah menaruh apa pun di sana. Jimat itu tak akan jatuh secara tidak sengaja (misalnya karena aku mengambil uang receh atau telepon genggam). Dan untuk sejenak kucoba merasakan sekiranya ada tanda-tanda tertentu yang diberikan jimat itu kepadaku.

Tak ada apa-apa.

Rasanya aku jadi agak ragu-ragu. Benarkah ia membuatku kebal pukul dan senjata? Jangan-jangan jika aku mencobanya, aku malah babak-belur. Masih untung jika tidak langsung mati.

Aku bergidik dan kulirik pisau cukur.

”Tidak, kamu akan berdarah jika kamu lakukan sendiri. Jimat itu hanya bekerja jika seseorang memukulmu atau mencoba melukaimu dengan senjata.”

Tak ada cara lain untuk membuktikannya, pikirku. Setelah memikirkan hal itu selama beberapa saat, akhirnya aku pergi ke tempat kerjaku. Tak apa, toh sebenarnya tak ada keharusan untuk membuktikannya. Jika aku takut jimat itu ternyata tak bekerja sebagaimana yang dijanjikan, aku tak perlu berkelahi dengan siapa pun. Aku bisa melanjutkan hidupku sebagaimana biasa, sebagaimana hari-hari ketika jimat sero belum ada.

Umurku dua puluh sembilan tahun, dan aku baik-baik saja tanpa jimat sero. Dengan pikiran seperti itu, entah kenapa, aku tetap membawa jimat sero di saku celanaku.

***

AKU berjalan kaki ke apartemenku sambil menggigil. Aku tak tahu seberapa kusut diriku. Orang-orang melihatku dengan tatapan curiga. Aku tak peduli dan terus berjalan. Kulihat tanganku. Darah kering di mana-mana. Bahkan kemejaku juga berpelotan. Aku bisa melihat jemariku meregang satu sama lain dan aku tak yakin bisa menggerakkannya. Mereka bergerak sendiri. Ikut menggigil.

Terbayang olehku tubuh Nasrudin tersungkur ke pojok kamar mandi. Ada darah dari sudut bibirnya. Aku sangat senang melihat darah itu. Ternyata darah tidak semerah yang kubayangkan. Darah lebih gelap daripada merah. Merah itu warna bendera dan darah tidak berwarna seperti bendera. Darah lebih seperti warna kelopak mawar yang membusuk. Dan aku suka warna itu mengalir dari sudut bibir Nasrudin.

”Itu untuk mulut najismu,” kataku.

Aku membencinya sejak lama. Ia selalu mencari muka di depan bosku, dan selalu berupaya menjatuhkanku. Ia selalu punya cara untuk membantah gagasan-gagasanku, dan menjungkirkannya seolah-olah gagasanku merupakan gurauan orang bodoh. Aku tahu bosku termakan omongannya, tatapannya memandangku sedih. Hanya karena aku bertunangan dengan Raisa, tempatku di kantor tak tersentuh siapa pun. Meskipun begitu, sungguh, sesekali aku ingin menghajar Nasrudin.

Ingatan tersebut kembali membuatku menggigil.

Hari itu aku berhasil membuatnya marah dan aku menunggu apakah ia akan memukulku. Peristiwa itu terjadi di kamar mandi, setelah sebagian besar teman kerja kami pulang. Ia tidak memukulku, maka aku kembali memancingnya. Akhirnya ia menghampiriku, menyentuh pangkal kemejaku dan bertanya:

”Maumu apa?”

Aku meludahi mukanya.

Ia tercekat sejenak. Tentu saja ia tak akan percaya aku melakukan itu. Ia mengusap mukanya dengan lengan kemajanya, tanpa melepaskan genggamannya di pangkal kemejaku. Ia memandangku. Aku tersenyum mengejek. Ia masih memandangku. Kupandang kembali matanya. Itu saat-saat yang sangat menegangkan. Aku menunggu apa yang akan dilakukannya.

Lalu, bug, ia mengirimkan jotosannya ke rahangku. Aku terdorong beberapa langkah, tapi aku tak merasakan apa pun. Aku tersenyum dan menghampirinya.

Ia memukulku lagi. Aku tak merasakan pukulannya. Ia kembali memukul. Aku menerimanya bagaikan karung pasir. Ia memukuliku selama sekitar sepuluh menit, atau tiga puluh menit? Ia benar-benar kebingungan pukulannya tak berpengaruh apa-apa padaku. Hingga akhirnya aku melancarkan serangan balasan.

Satu pukulan mengirimnya ke samping pintu. Pukulan kedua membuat memar dahinya. Pukulan ketiga membuatnya terhuyung-huyung. Entah pukulan keberapa ia tersungkur di sudut kamar mandi dan darah mulai keluar dari ujung bibirnya.

”Ampun, ampun,” katanya.

Aku keluar dari kamar mandi. Aku tersenyum. Lalu tertawa. Lalu menggigil.

Aku masih menggigil tapi juga dilanda kesenangan ketika membuka kunci pintu apartemen. Ketika aku masuk ke dalam, aku merasa ada orang di dalam apartemenku. Tentu saja itu Raisa, pikirku. Raisa memiliki kunci apartemenku, dan ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Kadang-kadang ia tidur di tempatku, dan saat-saat seperti itu tentu saja kami akan bercinta. Pagi hari ia akan pulang, kembali ke rumah orang tuanya.

Kunyalakan lampu dan kulihat Raisa di tempat tidur. Yang tidak biasa, ia di sana tidak sendirian. Ia bersama seorang lelaki. Aku hanya duduk di sofa, sambil memandang mereka melalui pintu kamar terbuka.

Aku mencopot sepatu, melepas kaus kaki. Kupandangi tanganku yang penuh noda darah. Kuintip kembali Raisa dengan lelaki itu. Kudengar desahan suara Raisa yang sangat kukenal.

Kemudian segalanya selesai.

Ia turun dari tempat tidur dan menghampiriku. ”Hai, sudah pulang?” tanyanya. Suaranya kukenal baik. Rohman.

Aku tak menjawab. Aku tak tahu apakah aku tertidur atau tidak. Mungkin di antara itu.

***

KEMUDIAN aku teringat apa yang dulu membuatku menangis berhari-hari di rumah Nenek. Malam itu, aku melihat Nenek di atas tempat tidur bersama si penjaga mata air. Kakek hanya duduk di dipan rotan. Pemandangan itu menakutkanku, dan aku menangis sejak malam itu.

Entah bagaimana aku bisa melupakannya. Tapi malam ini, bertahun-tahun kemudian, aku mengingatnya. Tapi aku senang-senang saja. Aku senang melihat darah di tanganku. Aku senang melihat Raisa mandi keringat di tempat tidur. Aku senang melihat Rohman berjalan telanjang ke arahku. Terutama aku senang memiliki jimat sero di saku kiri celanaku. ***
READ MORE - Jimat Sero

Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Cerpen Agus Noor
Dimuat di Jawa Pos (01/31/2010)

1.

''AKU sudah resmi jadi orang miskin," katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. ''Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.''

Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan kosong.

''Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.''

2.

Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. ''Kelak, mereka pasti akan men­jadi orang miskin yang baik dan sukses,'' gu­mamnya.

Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­nik­mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, ''Ceritakan ki­sah paling lucu dalam hidup kita...''

''Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,'' jawab istrinya.

Mereka pun tertawa.

Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.

3.

Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. ''Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin," ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.

Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. ''Kamu memang punya bakat jadi orang miskin," kata dukun itu. ''Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.''

Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

4.

Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ku. ''Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya," katanya. ''Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.''

''Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?''

Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, ''Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber­tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.''

5.

Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.

''Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-anak,'' ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.

Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

6.

Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis­kin itu mengajak lapar bermain-teka-teki, untu­k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da­tang ber­tandang.

''Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­tika lapar?'' Dan orang miskin itu akan menja­wabnya sendiri, ''Musik keroncongan.''

Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.

7.

Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. ''Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,'' katanya. ''Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.''

''Wah, hebat banget!'' ujarku. ''Semua kuliah, ya?''

''Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.''

8.

Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. ''Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan­casila dan UUD 45," begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. ''Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!''

Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.

9.

Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi. ''Orang miskin per­lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin," ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. ''Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.'' Kemudian pelan-pe­lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.

Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.

10.

Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.

Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.

Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta­ngisnya.

11.

Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. ''Jangan sa­lah paham,'' katanya. ''Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se­kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.''

Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang perlente. Se­jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.

12.

Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.

13.

Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:

Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, ''Kenapa kamu sembunyi?'' Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, ''Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.''

Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. ''Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,'' begitu ia selalu mengakhiri cerita.

14.

Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. ''Beginilah enaknya jadi orang miskin,'' katanya. ''Di­tu­duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!''

Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.

15.

Banyak orang berkerumun sore itu. ''Ada yang mati,'' kata seseorang. Kukira orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. ''Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma­kanya ia memilih membakar diri.''

Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

16.

Sepertinya ini memang lagi musim orang mis­kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.

''Tak gampang memang jadi orang miskin,'' ujar orang miskin itu. ''Hanya orang miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,'' ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. ''Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.''

17.

Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa­ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa­ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru­mahku sambil menenteng telepon genggam.

''Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!'' katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, ''Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo...."

Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.

18.

Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na­ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem­pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.

19.

Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis­kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon­sel, sambil bersiul entah lagu apa. ''Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me­ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,'' ka­tanya. ''Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya­man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.''

Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam­bal terasi dan nasi -yang tambah sampai tiga kali- disantapnya dengan lahap. Sementa­ra aku hanya memandanginya.

''Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,'' katanya. ''Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.''

Sambil bersiul ia segera pergi.

20.

Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. ''Beginilah enaknya jadi orang miskin,'' batinnya, ''dapat fasilitas gratis tidur di lantai.'' Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.

Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. ''Anda sudah sumbuh,'' kata pe­rawat, lalu memberinya obat murahan.

Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. ''Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.''

Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.

21.

Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.

Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.

22.

Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis­kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa­kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.

''Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,'' bi­sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me­nunjuk orang-orang yang sedang antre memba­yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis­kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan­da Miskin miliknya, ''Ini kartu kredit saya.''

Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.

23.

Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. ''Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,'' katanya. ''Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.''

Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.

24.

Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.

Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. ''Bagaimana, mau dikubur tidak?'' Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu.

Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.

25.

Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.

''Dasar orang miskin keparat,'' begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, ''mau mati sa­ja pakai nipu.''

''Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.''

''Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.''

''Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare­na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!''

Orang-orang pun tertawa ngakak.

26.

Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.***

Jakarta-Singapura, 2009
READ MORE - Perihal Orang Miskin yang Bahagia

Pengunyah Sirih

Cerpen S Prasetyo Utomo
Dimuat di Kompas (01/10/2010)

Mulut Sukro senantiasa memerah. Bibir, gigi, dan lidah lelaki setengah baya itu mengundang perhatian orang lantaran memerah. Ludahnya merah segar. Kebiasaannya mengunyah sirih, sebagaimana dilakukan para wanita zaman dulu, membekaskan warna memerah di mulutnya. Tapi menjelang dini hari, di bawah pohon trembesi, bukan hanya mulutnya yang memerah. Sekujur tubuhnya memerah, melelehkan darah. Luka-luka tubuhnya menganga. Darah mengucur kental, merembes di berbagai bagian tubuh dan wajah.

Tak lagi terdengar Sukro mengerang. Orang-orang kampung berhenti melampiaskan kemurkaan: menganiayanya dengan kayu, batu, dan senjata tajam. Tubuh Sukro terkulai. Seseorang memeriksa detak nadi lelaki setengah baya itu. Tak berdenyut. Tubuhnya tak bergerak. Tapi kebencian orang padanya masih tersungkup sumpah serapah, ”Ayo, tampakkan kesaktianmu, Sukro! Mana buktinya kalau kamu kebal? Hiduplah kembali!”

Seekor sapi yang dicuri Sukro berdiri di dekat pembantaian tubuh lelaki setengah baya itu. Pemilik sapi diam-diam meninggalkan bawah pohon trembesi, menjauhi lelaki-lelaki beringas pembantai Sukro. Menuntun sapinya, mencari jalan setapak pulang. Orang-orang lain mengikuti jejaknya. Keriuhan orang di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua, dalam gelap dini hari, surut seketika. Senyap. Udara yang murni, segar, mengapungkan anyir darah yang meleleh di sekujur tubuh Sukro.

Tinggal tubuh Sukro—pencuri ternak itu—yang tergeletak di bawah pohon trembesi, dekat kuburan tua dengan makam keramat di atasnya. Di sekelilingnya terserak potongan kayu, bambu, batu-batu, dan ceceran darah di rerumputan gersang. Tak ada gerak. Tak ada napas. Angin mati. Begitu cepat orang-orang menelusuri jalan setapak di rerumputan, melintasi lereng bukit cadas yang tandus, keras, dan senantiasa dikeruk buldoser, diangkat dengan truk ke daerah-daerah yang jauh sejak fajar rekah, sepanjang cahaya matahari tercurah ke bumi hingga jauh larut malam.

Masih terlentang tubuh Sukro, melelehkan darah kental. Dari liang-liang luka, darah merembes. Di tempatnya tergeletak, orang-orang tak menyisakan jejak pembantaian. Seekor sapi yang dicuri Sukro telah dibawa pulang pemiliknya, jauh meninggalkan kuburan tua dan makam keramat di sisi bukit cadas yang hampir rata dengan tanah.

Dari kejauhan Pak Lurah memandangi pembantaian Sukro. Membuang muka. Geram. Tak mau terlibat. Buru-buru meninggalkan kuburan tua dan daerah bukit cadas yang digempur. Mencari jalan pulang. Tak ingin dilihat orang.

***

Tubuh Sukro merasakan getar panas telaga api tanpa tepi. Tubuh-tubuh serupa bayangan, tinggi besar, menyeret tubuhnya yang ringan ke telaga api. Menyiksanya. Mengayun-ayun tubuhnya, hendak menceburkannya ke telaga api. Sukro berteriak-teriak. Meronta-ronta. Tapi lelaki-lelaki bertubuh bayangan itu menyekapnya paksa. Lidah api yang terjulur-julur, serupa debur ombak mengisap tubuhnya. Cahayanya berkilau-kilau dengan warna merah besi berkarat, pekat panas, menyerap tubuhnya untuk menyatu ke dalamnya.

Membebaskan diri dari gelombang api yang menjalar, Sukro beringas. Ketakutan, Sukro meronta dari sekapan lelaki-lelaki bertubuh bayangan, tinggi besar, yang memburunya. Menjauhi telaga api. Menghindari siksa. Memasuki kembali tubuhnya yang terkapar di bawah pohon trembesi. Ia terbangun, merintih, menggeliat pedih memandangi kuburan tua. Tak bisa menggerakkan sekujur tubuhnya. Lumpuh. Tanpa kekuatan. Terus merintih. Tubuhnya pedih. Tubuh yang tak berbentuk. Tubuh yang remuk. Hanya suara rintihannya yang terdengar lirih. Napas tersengal. Mata berkedip-kedip.

Tak seorang pun mendengar suara rintihan Sukro, ketika pagi rekah. Deru alat berat mengeruk tanah mulai meratakan bukit cadas di sisi kuburan tua. Gemuruh. Truk-truk tanpa muatan berdatangan dan meninggalkan bukit cadas dengan sarat beban batu cadas. Deru truk menenggelamkan suara rintihan lelaki setengah baya itu.

***

Lelaki muda buta itu baru saja selesai memijat Pak Lurah, melintasi jalan setapak di celah bukit cadas dan kuburan tua. Ia mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan yang akan dilaluinya. Telinganya yang peka mendengar suara rintihan seseorang yang tergeletak di rerumputan dekat kuburan tua. Lelaki muda buta itu mencari sosok tubuh yang merintih dengan ujung tongkatnya. Berjongkok. Meraba tubuh Sukro yang berlumur darah. Ia membersihkan darah yang meleleh, memijat sekujur tubuh Sukro, bergemeretak tulang-tulang yang patah diluruskannya.

”Sirih, sirih,” rintih Sukro. Lelaki buta itu usai sudah memijat sekujur tubuh Sukro, yang disangka telah mati. Terdengar Sukro meminta sirih. Lelaki pemijat itu pulang. Memetik daun-daun sirih. Kembali lagi dia dan memberikannya segulung daun sirih untuk dikunyah-kunyah lelaki setengah baya yang terkapar itu.

Menahan nyeri tubuh, lelaki setengah baya yang hampir sekarat itu bisa mengunyah-ngunyah daun sirih, pelan, sesekali terhenti. Tidak sampai lumat. Masih tampak sebagai lembaran-lembaran daun sirih yang lentur. Ia meminta lemah, ”Tempelkan daun sirih ini pada luka-lukaku.”

Terus-menerus Sukro mengunyah daun sirih. Tidak lumat benar. Lembar-lembar daun sirih yang lembek setelah dikunyahnya, dilekatkan lelaki buta pada sekujur tubuh yang menganga luka. Lelaki buta itu selesai menempel lembar daun sirih lembek ke liang-liang luka di tubuh Sukro. Ia tersenyum tenang setelah tak terdapat lagi liang luka yang dibiarkan mengucurkan darah.

Lelaki buta pemijat itu bimbang sejenak. Merenung. Dan ia memutuskan untuk meninggalkan Sukro berbaring sendirian di bawah pohon trembesi. Ia menjenguk lelaki setengah baya yang terkapar itu pada sore hari. Mengantar makan, minum. Tapi Sukro masih belum bisa menelan makanan. Ia meminta minum. Hari kedua barulah lelaki yang terluka parah itu bisa makan beberapa suap. Hari ketiga ia bisa bergerak lebih leluasa. Hari keempat ia tergagap-gagap bangun. Hari kelima ia berdiri tertatih-tatih. Hari keenam ia berjalan terseret-seret. Hari ketujuh ia meninggalkan pohon trembesi.

Sore hari lelaki buta datang dengan makanan, minuman, dan pakaian bersih. Sukro sudah tak ditemukannya di bawah pohon trembesi.

”Aku di makam keramat,” seru Sukro, ”kemarilah!”

Lelaki buta itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya, mencari jalan setapak ke kuburan tua, dan menemukan rumah papan makam keramat. Ia merasa lega, Sukro sudah bisa berjalan, meski terseret-seret. Tapi ia cemas bila pencuri ternak itu dimusuhi orang-orang kampung.

”Kukira kau tak perlu lagi menolongku,” kata Sukro, ”di sini banyak buah-buahan dan tanaman yang bisa kumakan setiap hari. Aku akan tinggal di kuburan tua ini. Kabarkan pada istri dan anakku, mereka tak perlu mencariku.”

***

Pelan-pelan lelaki buta itu melakukan perjalanan ke sudut desa, mencari rumah Sukro, dan menemukan rumah yang terpencil di bawah rumpun bambu itu kosong. Istri dan kedua anak Sukro sudah meninggalkan rumah. Lelaki buta itu tak mengerti, kapan rumah itu ditinggalkan. Ia hanya bisa merasakan kesunyian dan kekosongan di dalamnya. Ia bisa mencium aroma tungku perapian yang telah lama tak digunakan memasak. Ia tak mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah yang terkunci.

Ia menenteramkan hatinya sendiri. Ia tahu tetangga-tetangga Sukro memandanginya dengan tatapan curiga. Tapi ia tenang-tenang saja. Ia tetap dengan tongkatnya. Mencari jalan kembali ke rumah. Ia merasa telah selesai menolong Sukro, pencuri ternak yang teraniaya di bawah pohon trembesi dekat kuburan tua.

***

Sukro tak pernah meninggalkan makam keramat, kecuali subuh dini hari dan lepas maghrib lelaki setengah baya itu menyusuri jalan setapak ke sungai. Tertatih-tatih. Terpincang-pincang. Kaki kanannya terseret-seret. Sepanjang hari ia membersihkan makam. Berkebun di sekeliling kuburan tua. Ia memakan umbi dan buah-buahan dari kuburan itu. Terdapat pohon sirih menjalar subur di samping makam keramat. Ia senantiasa memetik dan mengunyah daun-daun sirih.

Sesekali memang peronda malam mengelilingi kuburan tua. Menyorotkan lampu senter ke makam keramat. Di situlah Sukro tidur. Makam keramat itu selama ini tak pernah dikunjungi orang. Kini banyak orang diam-diam mengintai curiga.

Meski belum seorang pun berani mendaki kuburan tua dan menjenguk Sukro ke dalam makam keramat, orang-orang yang lewat kadang sekilas memandangi makam keramat itu dengan curiga. Bila menyapukan pandangan ke kuburan tua, tatapan mereka penuh selidik, dendam, dan kebencian. Mereka tak pernah berani menatap kuburan dan makam keramat itu terlalu lama, takut bila Sukro diam-diam menebar ancaman pada keselamatan ternak-ternak mereka. Tubuh Sukro tak pernah mereka lihat dengan jelas. Hanya suara cangkul dan sabit yang terdengar. Kadang terlihat kepulan asap. Ia tengah membakar ubi dalam gemeretak ranting kering dan kayu bakar di sudut kuburan tua.

***

Masih pagi ketika Pak Lurah turun dari mobil mewah, bersama seorang cukong dari kota, yang licin kepalanya, berpandangan dingin di balik kacamatanya. Mereka memandangi kuburan tua yang bersih, tak lagi terlihat kesan angker, rimbun, dengan pepohonan liar. Makam keramat itu pun tampak bersih. Menjalar pohon sirih yang segar pada sebatang pohon jambu biji, dengan daun-daun hijau segar.

”Pabrikku akan didirikan dari daerah bekas bukit cadas hingga mencapai kuburan tua ini,” kata cukong itu. ”Perkara ganti rugi makam dan penggusuran kuburan, kuserahkan padamu.”

Lelaki setengah baya itu, lurah desa ini, mengerutkan kening. Mengisap rokok. Dan melihat kekayaan di balik bukit cadas dan kuburan tua yang bakal terjual untuk pabrik. Tapi ia segera berkerut. Di makam keramat itu tinggal Sukro. Sesaat ia tersenyum.

”Serahkan semua ini padaku. Ini bukan hal yang sulit,” Pak Lurah meyakinkan. ”Dalam seminggu, semua akan beres.”

Mereka kembali naik ke dalam mobil. Tak terlihat asap. Mobil itu pelan-pelan meninggalkan jalan berumput yang menghubungkan kuburan tua, bukit cadas yang rata dengan tanah, dan desa.

Dari balik celah papan makam keramat, sepasang mata Sukro memandangi gerak-gerik mereka dengan curiga. Meradang. Sepasang mata yang memendam rasa nyeri penganiayaan. Sepasang mata manusia yang bersembunyi dalam kekeramatan makam, kesunyian, dan alam kematian. Sepasang mata yang terkucil berbulan-bulan, dalam ancaman dan kecurigaan.

***

Kegaduhan itu terjadi di kuburan tua, menjelang dini hari. Obor-obor, senter berpancaran di gundukan tanah makam yang bersih, dikelilingi kebun. Wajah-wajah berkilatan. Menampakkan kebencian, kedengkian. Orang-orang berteriak, terus mendaki kuburan tua, ”Maling! Maling! Maling!”

Orang-orang susul-menyusul memburu maling ternak. Mereka garang membawa parang, sabit, pentungan, dan senter. Dari empat arah orang-orang desa memburu, mendaki kuburan tua. Kerumunan orang murka terhenti di dekat makam keramat. Sesosok tubuh lelaki berlumur darah tergeletak di sisi makam keramat, diinjak kaki Sukro, yang terus-menerus mengunyah sirih, dan diludahkan pada tubuh lelaki yang diinjaknya.

”Lelaki ini mencuri ternak kalian!” seru Sukro. ”Tanyakan padanya, siapa yang menyuruhnya mencuri sapi membawanya kemari!”

Tak jauh dari tubuh yang tergeletak, seekor sapi yang dicuri, sedang dipegang ujung talinya oleh seseorang. Dari gelap kuburan tua mendaki Pak Lurah, berseru, ”Tangkap Sukro! Hajar dia! Dialah malingnya!”

Berkacak pinggang, Sukro seperti menantang siapa pun yang mengepungnya. Tak seorang pun yang berani menangkapnya. Bulan sabit memucat, dan kelelawar-kelelawar hinggap di sela dahan trembesi, mencari tempat berlindung. Orang-orang tergeragap, serupa kelelawar-kelelawar yang memerlukan dahan untuk berlindung. Pak Lurah berseru garang, merenggut ujung tali pengikat sapi, dan membentak, ”Sukro inilah pencuri sapi. Tangkap dia!”

Ludah sirih yang disemburkan Sukro ke mata kiri sapi, cuah, memedihkan, dan mengejutkan binatang itu. Mata kiri sapi yang pedih, gelap, telah membangkitkan kemarahannya. Binatang itu menyeruduk Pak Lurah. Merobek lambung. Menginjak-injaknya. Tak terkendali. Mengamuk. Sapi itu memburu orang-orang di kuburan tua. Orang-orang berlari. Takut bila mereka terobek tanduk sapi.

***

Menjelang fajar lelaki muda pemijat mendaki jalan setapak kuburan tua. Ia telah mendengar kegaduhan semalam. Tubuh Pak Lurah yang berlumur darah baru saja diselamatkan orang-orang desa. Kini ketika kegaduhan itu reda, lelaki muda pemijat mencari-cari Sukro, dan tersenyum mendengar suara lelaki itu, ”Kemarilah! Rawat pencuri sapi ini dengan pijatanmu! Hentikan aliran darahnya dengan daun-daun sirih ini!”

Lelaki pencuri sapi itu tergeletak penuh luka dalam perkelahian dengan Sukro. Ia terluka parah setelah diinjak-injak sapi yang dicurinya sendiri. Lelaki setengah baya pencuri sapi itu mengerang kesakitan ketika lelaki buta memijat sekujur tubuhnya.

”Ini orang suruhan Pak Lurah yang mencuri sapi dan membawanya ke kuburan. Dia memfitnahku!” ujar Sukro sambil mengunyah daun sirih. ”Jangan kau benci dia. Rawatlah seperti kau merawatku dulu.” ***

Pandana Merdeka, Desember 2009
READ MORE - Pengunyah Sirih

Perempuan Hujan

Cerpen Adek Alwi
Dimuat di Jurnal Nasional (01/10/2010)

“AKU suka hujan,” kata perempuan di sebelah Bram, bak nyeletuk.

“Ya?” Bram menengok. “Oh, mengapa begitu?” susulnya buru-buru.

“Gemeretak suara hujan di atas genteng selalu membawaku ke mana-mana,” kata perempuan itu.

“Maksudmu, hujan membuatmu ingin muter-muter keliling kota?”

“Bukan.” Perempuan itu tersenyum, bagai baru sadar tak bicara ke diri sendiri. Kulitnya bersih, kuning dekat ke putih. Matanya tampak bagus. “Hujan membawaku ke masa lalu yang indah. Ke masa depan yang juga indah,” dia bilang.

“O.” Bram manggut-manggut, balas tersenyum.

Saat itu mereka di rumah kawan yang merayakan ulang tahun perkawinan dan gerimis tiba-tiba turun di luar. Perempuan itu teman nyonya rumah, Bram kawan tuan rumah. Di situ keduanya berkenalan.

Empat, atau lima hari kemudian Jakarta kembali basah. Kali ini benar-benar karena hujan, tidak lagi sekadar gerimis. Padahal sebelumnya cerah, tak tampak gabak di hulu bak disebut-sebut petuah lama itu. Bram dalam perjalanan pulang dan tiba-tiba dia teringat perempuan itu. “Halo, Ria,” sapanya di HP. “Ini saya, Bram. Apa kabar?”

“Baik. Bang Bram bagaimana, sehat?”

“Baik, sehat. Saya lagi di jalan. Kamu di mana?”

“Di rumah.”

“Lo, sudah pulang kantor?”

“Memang tidak masuk. Lagi malas.”

Bram ikut ketawa. Lalu, “Di sini hujan,” ia bilang. “Di tempatmu bagaimana?”

“Ini sedang deras-derasnya.”

“Oh. Saya tidak mengganggu perjalananmu bersama hujan, kan?”

“Belum berangkat.” Perempuan itu tertawa. “Malah bisa ditunda jika ada yang mampir.”

Bram mampir. Ya, di tengah hujan begitu. Pakaian dan rambutnya basah sebab dia harus berlari dari pinggir jalan ke rumah Ria, tetapi perempuan itu menyambutnya cerah, tidak seperti hari menyambut senja dengan hujan beserta langit yang muram-basah. Mata perempuan itu pun makin bagus saat bercakap. Dada Bram kian berdebar melihatnya. Aku tahu aku menyukai perempuan ini, bisik laki-laki itu di hati. Dan itu karena matanya.

Sebetulnya, tidak cuma mata perempuan itu yang memesona. Rambutnya juga. Hitam, subur, sedikit berombak dan ia biarkan tergerai melampaui pundak. Begitu pun tubuhnya. Terawat, membuat ia tak seperti 30-an tahun, juga punya anak. Perempuan itu singlet parent sejak suaminya wafat. Tetapi jika diperingkatkan, mata serta alisnya yang tak dicabut apalagi dicukur menempati peringkat teratas ketertarikan Bram. Alis perempuan itu lengkung rapi, asli, meneduhi matanya yang bagus. Rambut perempuan itu di peringkat kedua, Bram menegaskan di hati.

Setelah kunjungan itu dua atau tiga kali mereka pergi bersama; makan di resto di kawasan BSD, juga Bintaro, dan Bram tambah yakin dia tertarik kepada perempuan itu. Lebih dari tertarik, dia rasakan ada yang tumbuh di hati; ya, pada usianya yang tak muda lagi. Sesuatu yang indah, lembut, bikin hari terasa cerah.

“Saya menyayangimu, saya mencintaimu,” akhirnya ia berucap. Lelaki itu merasa kalimat itu tak sepenuhnya mampu melukiskan perasaan indah dan lembut itu, tapi ia tak dapat mencari ungkapan lain yang lebih tepat.

Perempuan itu tak membalasnya dengan kata. Dia biarkan jari digenggam, dan perlahan dia balas menggenggam. Ungkapan cinta memang tak selalu dibalas melalui ucapan, kata Bram dalam hati, meyakinkan diri bahwa perempuan itu pun memiliki perasaan indah serta lembut kepadanya. Lelaki itu tambah yakin dengan pendapatnya ketika hari-hari berlalu dan perempuan itu membalas SMS yang dia kirim.

“Saya pun menyayangi Abang,” tulis Ria. Hari-hari berikut dia tambah dan bunyinya jadi begini: “Saya menyayangi Abang. Abang jangan pernah lupakan saya.” Bram membalasnya bersemangat, “Tidak. Tak akan pernah. Percayalah.”

Juga pernah, usai mereka bercinta di luar kota Bram kemudian duduk di muka jendela, memandang ke luar. Hotel itu di pegunungan, sunyi dari bunyi kendaraan. Dan langit tampak cerah. Perempuan itu menghampiri dari belakang. “Kenapa Abang melamun?” dia bilang. “Menyesal?”

“Kok menyesal? Saya justru sedang di sebaliknya.”

“Ada apa di sebalik sesal?”

“Saya merasa dari hari ke hari rasa sayang saya terus tumbuh dan membesar.”

“Dan, itu masalah?”

“Saya takut. Hantamannya juga amat besar jika hubungan ini berakhir.”

“Siapa yang akan mengakhiri? Abang?”

“Saya jelas tidak.”

“Saya juga tidak,” balas Ria. “Saya menyayangi Abang. Sangat sayang.”

Bram menariknya dan mereka duduk bersisian. Rambutnya dia belai, dia cium keningnya. Bibir mereka bertemu. Ketika mereka toleh pula lewat jendela, eh, gerimis turun di luar. Sungguh tak diduga, tidak pakai aba-aba. Atau, lagi-lagi tak peduli pada ujaran lama “gabak di hulu tanda kan hujan” itu. Bram memeluk lagi, seraya berbisik, “Jangan pergi. Jangan pergi ke mana-mana bersama hujan.”

“Tidak,” kata perempuan itu. “Aku tak akan pergi. Toh ada Abang bersamaku.”

Akhir-akhir percakapan seperti itu tidak sekadar menyuburkan perasaan indah-lembut itu. Bram kadang-kadang jadi kelewat yakin hingga adakalanya dia lontarkan guyon-guyon yang sebenarnya hanya sedap diucapkan tetapi tidak sebagai kenyataan. “Ada dua kemungkinan dapat terjadi pada hubungan ini,” kata laki-laki itu, misalnya. “Pertama, kita tetap seperti ini dan suatu ketika nanti berakhir dengan happy.”

Perempuan itu tak menanggapi. Cuma senyum, matanya tampak makin bagus.

“Kedua, kamu jumpa dan jatuh cinta pada lelaki yang....”

“Jangan teruskan.”

Tapi Bram melanjutkan, “Umurnya jauh di bawahku, sedikit di atasmu. Kalian bisa disebut sepantar, malah serasi. Lalu, saat kita jumpa pula....”

“Jangan dilanjutkan,” perempuan itu kembali menukas.

Bram tetap bicara, “Kamu bilang: Abang, maaf. Hubungan ini tak dapat lanjut. Abang punya keluarga dan saya jumpa lelaki yang....”

“Stop,” sela perempuan itu. Ia susul, “Sebetulnya, itu yang Abang inginkan?”

“Tentu tidak,” balas Bram.

“Lalu....”

“Ah, itu cuma guyon, kok.”

“Tapi tidak baik. Juga menyakitkan.”

“Oh, maaf. Sudahlah, lupakan.”
***

Kemudian Juli datang, malah hampir berakhir. Musim hujan belum saatnya tiba. Tapi, kau tahu sekarang cuaca tak mudah dipahami. Empat hari hujan turun dari pagi kadang juga hingga petang, dan selama itu Bram bertanya-tanya apa yang tengah menerpa hubungannya dengan perempuan itu. Teleponnya tak pernah diangkat. SMS-nya tak dibalas. Di rumah, saat ia datangi, di tengah hujan, perempuan itu tak ada. Dia datangi ke kantor, juga di tengah hujan, rekannya bilang sedang ke luar. Ke mana Ria, perempuan itu? Pergi bersama hujan ke masa lalu yang indah? Ke masa depan yang juga indah? Sungguh bikin bingung. Menggelisahkan.

Hari kelima, tatkala hujan tidak lagi turun tapi langit tetap muram bagai wajah seusai tangis, tak disangka-sangka perempuan itu angkat telepon Bram. “Oh.” Lelaki itu mengatur napas dan pikiran yang berdesakan. “Kamu ke mana?”

“Tidak ke mana-mana.”

“Saya cari ke rumah, juga kantormu, tidak ada.”

“Saya ada, kok.”

“Telepon-telepon saya juga tidak diangkat.”

“Maaf.”

“Kenapa SMS-SMS saya tidak dibalas? Ada apa sebetulnya?”

“SMS? Mungkin tidak masuk.”

Bram mulai merasa ada yang tengah berubah, seperti hujan mulai mengingkari musim, juga tanda-tanda pada ungkapan lama itu. Setengah mengajuk, lelaki itu lalu bertanya, “Atau, barangkali ada laki-laki lain?”

“Ya,” jawab perempuan itu.

Oh. Jelas sudah. “Tapi, kenapa?”

“Sebab saya menyayangimu. Sebab saya sayang Abang. Hubungan ini tak bisa lanjut. Kita makin hancur jika terlambat mengakhiri.”

Itu kilah. Malah dusta. Sebab, “Apa dia lelaki yang sendiri?” tanya Bram. Dan perempuan itu bilang tidak.

“Jadi, dia pun sudah berkeluarga?”

“Hmm... ya.”

“Lalu kenapa?”

“Sudah, ya. Nanti saja. Maaf.”

Alangkah aneh, juga sulit dipahami. Persis hujan masa kini yang mengingkari dan tak lagi peduli pada musim. Lelaki itu sempat terpikir dia adalah musim yang kini terasa jadi renta.

Tiga bulan lewat dan selama 120-an hari itu Bram selalu ingat perempuan itu. Ia begitu diikat perasaan indah dan lembut. Soalnya aku memang menyayangi dia, ia bilang di hati. Amat menyayanginya. Dia pernah berpikir mengekspresikan perasaan indah dan lembut itu ke wujudnya yang konkret. Tapi, itulah. Perempuan itu tiba-tiba menghentikan, seperti hujan yang tiba-tiba turun menyabot semua rencana kita di saat siang cerah bermatahari.

Kini tiga bulan lewat, dan tiga bulan sesudah akhir Juli atau awal Agustus itu mestinya musim hujan. Tetapi itu dahulu. Kini hujan tak turun setiap hari. Langit tempo-tempo amat cerah. Dan bila hujan turun ingatan Bram pun kian subur pada perempuan itu. Semua yang lalu jadinya seperti gambar-hidup, bergerak kembali.

“Abang cemburu jika kuceritakan satu peristiwa dahulu bersama suamiku?” kata perempuan itu saat mereka melintas antara Ciawi-Bogor, dan hujan turun tiba-tiba.

“Tidak.” Bram justru iba karena perempuan itu demikian setia, bahkan kepada peristiwa dan orang yang sudah tiada, pada masa lalu. Perasaan indah-lembut di hati lelaki itu menjadi-jadi. Ingin sekali ia membahagiakan perempuan itu. “Ceritalah,” dia bilang.

“Di sekitar sini juga saat itu. Kami pulang dari Puncak, hujan turun mendadak. Saya gembira sekali, Abang. Dia tahu itu dan dia matikan musik. Saya lalu menyimak gemeretak suara hujan pada kaca serta atap mobil. Lantas, saya turunkan kaca jendela, julurkan tangan keluar. Oh, indah sekali, Abang. Saya tertawa-tawa senang. Dia ikut ketawa dan meminta saya hati-hati, jangan sampai tangan saya disambar mobil lain.”

“Kini kamu ingin menjulurkan tangan ke luar jendela?” tanya Bram.

“Saya ingin menyusupkan jemari saya di jemari Abang. Saya ingin menyimak suara hujan dan tak ingin pergi bersamanya. Saya ingin bersama Abang.”

Bram menggenggam jemarinya dengan sayang.

Lalu hujan betul-betul turun hampir tiap hari, seolah-olah kembali patuh pada musim. Empat atau lima hari berturut-turut. Televisi menyebut hujan merata seantero Jakarta. Ingatan Bram pun makin subur dan subur juga pada perempuan itu. Ia seakan menaruh harapan melihat perilaku hujan saat itu kepada musim. Siapa tahu hujan kali ini membawa perempuan itu ke masa lalu yang indah. Dan ia tekan nomor perempuan itu. Tak ada sahutan, sampai nada sambung berakhir. Dia pencet lagi, lagi...

“HP-mu berbunyi,” lelaki di sebelah perempuan itu berucap di seberang.

“Aku tahu.”

“Kok tak diangkat?”

“Aku sedang ke masa depan bersama hujan.”

Di luar, hujan terus menderu dan perempuan itu senyum lalu bergelung dalam pelukan lelaki itu.***

Jakarta, Sabtu 24.10.2009
READ MORE - Perempuan Hujan

Tentang Ayam Jantan yang Jatuh Cinta pada Bulan

Cerpen Yanusa Nugroho
Dimuat di Jawa Pos (01/10/2010)

(Kepada: Sujiwo Tejo, Ags Arya Dipayana, dan Nanang Hape)

''BULAN purnama,'' begitu bisik seekor musang, sesaat ketika hendak menggigit leher ayam jantan muda itu, ''...memberimu pesona luar biasa. Sungguh malang, makhluk di bumi ini yang tak bisa bahkan menyaksikan cahayanya. Seperti kau ini...'' Lalu musang pun tergelak-gelak penuh kemenangan.

''Dunia ini sungguh adil. Di malam hari, kau dibutakan, sementara mataku dinyalangkan. Alam menjadikanmu sebagai santapanku. Hahahahaha... Sejak matahari tenggelam, kau buta. Dan aku yakin benar bahwa kisah tentang rembulan yang kini tengah bertengger megah, cantik, mempesona itu, belum pernah kau dengar sama sekali.

Makhluk malang. Tapi, barangkali saja, kau sedikit lebih beruntung daripada cacing. Dia bahkan tak bisa membedakan cahaya matahari dan bulan... Hahahahahahahaa...''

Mendidih darah muda ayam jantan itu, demi mendengar penghinaan yang melumuri jiwanya. Dia, keturunan ketujuh Sawung Galih, ayam petarung paling ditakuti dan disegani di zamannya, tak bisa menerima kenyataan dihina oleh seekor musang. Darahnya mendesir, menjalari seluruh tubuhnya.

Dan pelahan, kekuatannya pulih, setelah beberapa saat lalu bagai remuk ditubruk si musang celaka. Tajiku, taji Sawung Galih dan di sana menderas daya penghancur lawan. Jika dalam sekali tendang, kau tak hancur, jangan sebut aku keturunan Sawung Galih.

***

Maka, kisah taji Sawung Galih pun kembali mengharum di antara mereka. Jago-jago petarung dari berbagai daerah merasa gentar setiap mendengar kisah bagaimana sepasang taji itu berhasil mencungkil sepasang mata musang. Ke mana pun dia pergi, tak ada yang berani menatapnya, kecuali --tentu saja-- para betina, yang diam-diam berharap dapat menikmati kejantanannya.

Kokoknya akan membangunkan matahari dan kepak sayapnya membuat jago-jago lain memilih mencari kutu. Lehernya besar, kokoh dengan bulu-bulu merah darah berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. Paruhnya runcing, nyaris tak ada lekukan. Sepasang matanya nyalang, seakan menyelidik siapa yang bersikap menantang. Seekor ayam kate, diam-diam telah menyiapkan sebuah balada untuknya, namun yang selalu merasa gagal menemukan kata-kata.

***

Namun, itu semua dinikmatinya hanya ketika matahari masih menguasai bumi. Manakala senja turun, dan hanya keremangan yang melingkupi sepasang matanya, Sawung Galih --akhirnya nama itulah yang dikenakan kepadanya-- merasa kesepian. Aneh, kisah rembulan purnama yang dituturkan si musang beberapa waktu silam itu, selalu hadir ketika senja membayang.

Mungkinkah ini semacam kutukan? Bangsa ayam tak bisa menikmati indahnya purnama? Diam-diam, dia mencoba mengingat-ingat dongeng induknya, yang selalu berkisah tentang siapa Sawung Galih dan bagaimana kehebatan ayam jantan petarung itu di zamannya. Dongeng itu akan mengantarkannya pada mimpi indah, di balik kehangatan sayap induknya.

Namun, memang sangat jarang kata ''bulan'' muncul dari mulut induknya. Kalau pun ada, tentu hanya digunakannya sebagai bahan ejekan bagi kaum pungguk.

''Tapi, apakah ibu pernah melihat bulan?'' tanyanya suatu kali dulu.

''Untuk apa? Apakah matahari tak cukup baik bagimu? Tidur! Kau harus malu jika saat ini matahari masih mendengar suaramu,'' ujar induknya seraya merapatkan sayap-sayapnya.

Bangsa ayam ditakdirkan untuk hanya mengenal matahari dan meniadakan bulan dalam hidupnya. Itu sebabnya dia menjadi terheran-heran ketika suatu ketika --tanpa sengaja-- mendengar percakapan dua tikus muda dari balik reruntuhan kayu, yang berkisah tentang gemerlapnya bintang-bintang mengelilingi bulan. Dia sendiri tak paham setiap kata yang diucapkan, namun anehnya, keindahan yang diungkapkan para tikus itu seperti mendapatkan jalannya sendiri hingga sampai di pemahamannya yang paling dalam. Ayam jantan itu menghela napas.

Entah mengapa, Sawung diam-diam merasa iri pada kaum jangkrik, yang selalu menyanyi memuja-muji purnama. Setiap malam, begitu senja lenyap digantikan gelap, kaum jangkrik dengan riang gembira menyanyikan lagu. Mungkin juga mantra bagi hadirnya rembulan.

Pernah dia bertanya kepada seekor jangkrik yang saat itu nyasar.

Setelah paham bahwa si Sawung tak mungkin bisa mematuknya, timbullah keberanian si jangkrik. Dia pun menjawab setiap pertanyaan Sawung --yang dirasakannya sebagai ketololan kaum ayam.

''Kau pikir, kami menyanyi setiap malam untuk apa, kalau bukan demi munculnya purnama?''

''Apakah dengan begitu dia akan muncul?''

''Hahahaha... bodoh betul kau Sawung. Tentu saja tidak. Itu sebabnya kami terus menyanyi. Dan akan tetap menyanyi ketika pada hari ke empatbelas dia menampilkan keindahannya yang sempurna. Ah, aku harus mengirimkan bunga duka cita untuk kebodohanmu. Hahahahahaha...krik!''

''Jaga mulutmu! Kalau saja...''

''Apa? Kau mau apa? Di arena laga --aku tahu-- kaulah pemenangnya. Namamu mengharum di seantero dunia... ya, aku tahu. Tapi, bagiku, kau tak ada artinya, karena kau bahkan tak tahu apa itu keindahan. Hahaha... krik...krik...krik...''

''Ajari aku,'' gumamnya.

Si jangkrik terdiam tiba-tiba. Bagaimana mungkin sesosok jagoan mau tahu tentang keindahan, apalagi belajar dari seekor jangkrik? Di kejauhan, nyanyian jangkrik melaut bunyinya, menusukkan sepi di jiwa sang petarung.

***

Sejak pertemuannya dengan jangkrik, Sawung makin kelihatan murung. Ada yang tiba-tiba dirasakannya sebagai sebuah tusukan. Puluhan bahkan ratusan kali robekan taji lawan pernah dirasakannya, namun tak ada yang menyamai rasa sakit yang disebut kesepian.

Si ayam kate berusaha menghiburnya, dia pun menyanyi, ''O pahlawan, kepak sayapmu benteng bagi kaum betinaaaaa... keeok!'' Si kate menjerit, Sawung menggamparnya.

''Apa yang salah Sawung?''

''Berisik!''

''Oh, aku tahu, aku tahu... Mmmm... Sunyiiii... Keook!" Si kate terjungkal, kepalanya berkunang-kunang, namun dia tak bisa mengatakan bahwa kunang-kunang saat itu indah.

***

Keindahan rembulan, yang tak pernah disaksikannya, tiba-tiba menguasainya. Seperti sesuatu yang sebenarnya sudah ada namun tak pernah dipedulikannya. Sejak hari itu Sawung seperti linglung, di arena sabung dia seperti limbung. Tajinya sesekali mungkin merepotkan lawan, namun itu karena lawannya sudah gentar sebelum bertanding. Sawung sendiri pikirannya melambung, mencoba mencari sesuatu yang belum pernah disaksikannya. Dia seperti meninggalkan raganya, melayang jiwanya entah ke mana.

Cahaya yang tak pernah kusaksikan itu, yang memancar dari cerita mereka, menghancurkanku, meremukkanku hingga tak bisa kukenali siapa diriku lagi. Akan kucari kau, akan kutemukan kau, tak peduli walau sembunyi di kerak bumi sekalipun.

Akan kutelusuri malam demi malam, dengan segenap kebutaanku, seumur hidupku, mencari dan menemukanmu. Jika kau bersembunyi di balik matahari, maka akan kuhancurkan dia dengan tajiku. Jika kau berlindung di balik mendung, akan kusapu mendung dengan sepasang sayapku. Kokokan panjangku akan membelah petir dan membuatnya tak lebih dari sekadar percikan api tungku.

***

''Sawung, Sawung, Sawung!" teriakan-teriakan itu menggema memberinya semangat bertarung. Beberapa betina memamerkan pinggulnya, memberinya gairah kehidupan.

Sesaat Sawung seperti kembali ke bumi, dan sepijar kekuatannya menyala.

Tubuhnya melompat, sayapnya membutakan mata dan sepasang tajinya bergantian menembus leher lawan. Sorak-sorai menggema, si lawan sekarat.

Sawung tegak, mengepakkan sayap dan berkokok panjang. Dia dengan gairah kemenangannya melompat tinggi nyaris terbang. Melayang tubuhnya, sebelum akhirnya hinggap di semak-semak.

Akan kucari kau, jika perlu kubalik seisi dunia ini.

''Sudah kau temukan, apa yang kau cari?'' Tiba-tiba sebuah suara berat, tua dan putus asa menegurnya.

Sawung terhenyak. Hanya selangkah di depannya, seekor musang tua dengan sepasang mata butanya tengah duduk di kerimbunan semak. ''Aku tak bisa melihatmu, tetapi bukan berarti aku tak bisa mengendusmu.''

''Haha... musang tua, dendammu belum padam juga.''

''Apa pedulimu? Apakah sudah kau padamkan dendammu dalam mencari keindahan itu?''

''Bulan?''

''Lidahmu sudah cukup fasih mengeja namanya. Namun, kurasa, kau baru sebatas mengeja dengan benar, kau belum siap menghadapi keindahan itu sendiri.''

''Akan kucari di mana pun dia bersembunyi!''

''Tak mungkin kau mampu.''

''Jelaskan, mengapa aku tak mampu.''

Musang menarik napas dalam-dalam, menoleh ke kiri. Sepi. ''Dengar, anak tolol. Apa yang kau gunakan untuk mencarinya? Coba jawab pertanyaan sederhana ini.''

''Tajiku akan mengoyak semua yang melindunginya. Sayapku akan menyibak segala yang melingkupinya.''

''Hmm... angkuh sekali. Kau pikir keindahan yang memancar dari bulan purnama adalah sebutir beras? Sawung, Sawung... ternyata kau bahkan lebih dungu dari yang kukira.''

''Apa maksudmu?''

''Kau pikir bisa kau taklukkan jarak semesta ini dengan sepasang sayapmu, yang bahkan tak sekuat pipit ketika melayang? Kau anggap bisa kau belah tabir keindahan dengan sepasang tajimu? Kau bahkan tak tahu apa-apa tentang sesuatu yang kau hadapi, tetapi suaramu seakan mampu membelah langit! Sadarlah bangsa rabun, kau tak akan bisa menemukan keindahan jika masih menggunakan cara bodohmu itu.''

***

Untuk kesekian kalinya, Sawung termenung. Tak disangkanya sama sekali, dia mendapat pelajaran penting dari bangsa pemangsanya.

''Ajari aku menemukan keindahan itu,'' ucapnya lirih dan putus asa.

Musang tergelak, tegak, dan lari menjauh --tentu setelah beberapa kali menabrak sesuatu. Dari kejauhan tiba-tiba musang berteriak, ''Carilah di balik keangkuhan jiwamu. Sanggupkah kau menghancurkan ke-aku-anmu?''

***

Sejak pertemuannya dengan musang tujuh hari lalu, Sawung makin murung, terlalu suka merenung dan mengurung dalam kesunyiannya. Telinganya mulai ditulikan dari teriak tantangan, bahkan tajinya diam-diam dikeratnya. Dia tak makan dan tak minum, tubuhnya merapuh, sayapnya melumpuh. Dalam usia keemasannya, dia seperti lebih tua seratus tahun. Seluruh bulu merah yang membuat para betina termimpi-mimpi, kini tampak seperti puluhan lintah gemuk yang menggelayuti leher kurusnya. Dia tengah menghancurkan dirinya sendiri, mencoba mencari keindahan yang bersembunyi di balik keangkuhannya.

Suatu malam, di hari keempat belas, keindahan itu datang menjemputnya. Sawung tak bisa berbuat apa-apa. Jiwanya kosong, dan karenanya dia mampu menerima keindahan itu seutuhnya. Air matanya berlinang, dia pun merasaan kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya.

***

Bangsa ayam berduka. Mereka menemukan jasad Sawung tergolek merana. Si ayam kate menyanyikan baladanya, ''Telah gugur jagoankuuuuuu.... Tu... keook!''

''Berisik!''

Dan malamnya, jutaan jangkrik melantunkan kidungnya, kaum musang menebarkan keharuman tubuhnya, dan bangsa pungguk terdiam seribu bahasa, menatap entah apa di atas sana. ***

Pinang, 982
READ MORE - Tentang Ayam Jantan yang Jatuh Cinta pada Bulan

Seekor Anjing Manis

Cerpen Sungging Raga
Dimuat di Kompas (01/17/2010)

Manisha nyaris terlambat sekolah. Ia bangun kesiangan karena semalam menonton televisi sampai larut, sampai-sampai justru televisi itu yang menonton dirinya terlelap di sofa ruang tamu. Mungkin acara televisi itu terbawa hingga ke dalam mimpinya, bahkan mungkin saja dalam mimpi itu Manisha kembali menonton televisi, lantas tertidur lagi, maka ia pun akan bermimpi di dalam mimpi. Betapa lelapnya tidur yang seperti itu.

Sayangnya, ia harus masuk sekolah. Maka pagi ini Manisha terjaga setelah ibunya tak henti-henti menggedor pintu kamar.

Ketika membuka mata, cahaya matahari sudah separuh menerangi kamarnya. Ia pun bangkit, melemparkan selimut, lalu mandi dengan sangat tergesa-gesa. ”Itu masih ada sabun di telingamu! Dibilas yang bersih!” bentak ibunya ketika ia baru keluar dari kamar mandi.

Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat jam dinding, sudah pukul tujuh kurang lima belas menit, padahal ia belum juga mengenakan seragam, apalagi sarapan. Dan seolah sudah bisa menebak, ibunya segera membungkus nasi yang sudah terhidang di meja makan. ”Ini, dimakan nanti kalau istirahat.” Kata ibunya, masih dengan nada tinggi. Manisha mencoba untuk tersenyum sebagai tanda terima kasih, tetapi tak bisa, atau lebih tepatnya, tidak sempat. Sementara itu, ayahnya pasti belum pulang, sebagai satpam bank, ayahnya sering mendapat giliran jaga malam, sangat jarang Manisha menemui sang ayah pagi hari, padahal kalau ayahnya ada, ia bisa bermanja-manja sebentar untuk meminta uang saku tambahan, bahkan ibunya bisa mendadak berubah sabar, tidak berbicara dengan nada tinggi seperti pagi ini.

Manisha selesai memakai sepatu, bungkusan nasi hangat hanya dengan lauk tempe itu dimasukkan ke dalam tas, lalu ia pun bergegas meninggalkan rumah. Ia sangat terburu-buru, sampai-sampai uang saku yang telah disiapkan ibunya di atas meja tidak diraihnya. Bahkan, ia tak sempat berpikir adakah pekerjaan rumah apa yang harus disiapkan hari ini. Ia berhambur keluar rumah tanpa sempat mencium tangan atau mengucapkan salam.

Ia segera berlari, suara buku-buku terguncang di dalam tas. Ia melewati beberapa petak bunga di pekarangan, lalu menelusuri trotoar yang berpasir. Sebenarnya sekolah Manisha tak begitu jauh, kalau berjalan santai, sepuluh menit saja sudah sampai. Sekolahnya terletak di seberang jalan raya, Manisha hanya harus melewati trotoar, lalu masuk ke sebuah gang, muncul di jalan raya, lantas menyeberang. Namun ternyata, selepas melewati trotoar, di sebuah gang itulah ia mendapat masalah.

Di gang sempit itu langkah Manisha terhenti dan memicingkan matanya.

”Sejak kapan ada anjing di situ?” gumamnya. Ia melihat seekor anjing yang sedang meringkuk di sudut gang, tentu saja ia heran, sebab kemarin-kemarin gang itu lengang, ia bisa melenggang bebas sambil menempelkan tangannya pada sepanjang dinding gang yang dingin dan lembab. Tetapi kenyataan berkata lain pagi ini, sudah terlambat masuk sekolah, ada anjing pula.

Sepertinya anjing itu sedang tidur. Hewan itu membaringkan dirinya agak jauh di tepi gang sana, Manisha sudah berjalan sampai ke tengah-tengah hingga akhirnya melihat anjing yang sedang menggeletak sangat santai itu, sepasang kaki depan dilipat untuk menopang dagu, dengan mata terpejam, seolah menunjukkan bahwa anjing itu pemalas, tetapi mungkin juga anjing itu sedang kekenyangan, mungkin baru selesai melahap kucing kumal yang memang tak lagi punya harapan untuk hidup. Mungkin sudah beberapa ekor kucing yang diterkam hingga hewan itu tak mampu menopang tubuhnya untuk sementara waktu sehingga kini memilih untuk berbaring saja.

Manisha terpaksa berhenti, napasnya masih tersengal setelah berlari di sepanjang trotoar, ia menggaruk-garuk kepalanya, rambut yang sudah tersisir rapi itu kini sedikit berantakan, sekarang ia diam saja, sementara waktu terus beranjak, detik demi detik beranak pinak. Manisha kebingungan, ia berharap anjing itu tidur saja yang lelap. Mata binatang itu memang banyak tertutup, tetapi bukankah pendengaran seekor anjing sangat peka? Ah, betapa sempitnya gang itu. Sepeda motor saja tak bisa datang dari dua arah, harus ada yang mengalah. Manisha menunggu sejenak, berharap ada yang lewat situ untuk memberinya pertolongan, sebab ia tidak mungkin pulang lagi, ibunya pasti marah besar. Terkadang ia menyesal mengapa punya rumah yang hanya bisa dilewati melalui sebuah gang. Sebenarnya dahulu tidak ada gang sempit itu, hanya saja, sejak lahan tak jauh dari rumahnya terkena dampak pembangunan mal, maka gang itu pun terbentuk dari sebuah mal di bagian kiri, dan toko bertingkat yang sudah lebih dulu ada di bagian kanan. Sejak itulah, kalau mau berangkat dan pulang sekolah, hanya gang tersebut jalan terdekat yang bisa dilewati. Sementara kalau lewat trotoar harus berputar terlalu jauh, lama, dan sangat melelahkan.

Waktu bergulir pelan tetapi pasti, Manisha semakin kebingungan, ia memandangi hewan yang masih tetap meringkuk di sudut gang. Anjing itu berbulu hitam legam, entah berasal dari ras apa, sepertinya kumuh sekali, kalau lebih diperhatikan, hidungnya berlendir, lidahnya juga terjulur, ada liur yang tak kunjung menetes ke tanah. Jangan-jangan sudah mati? Entah mengapa tiba-tiba Manisha sudah berada lebih dekat dengan anjing itu. Ia melangkah perlahan dalam keadaan setengah melamun, tetapi sewaktu sadar, ia pun kembali menjauh dengan jantung berdebar kencang.

”Kalau begini terus, tidak bisa sampai di sekolah.”

Manisha berpikir. Sayangnya, di kamusnya tak ada kata bolos, ia harus tetap masuk sekolah, sebab bolos adalah hal yang bisa membuat ibunya sangat murka, tadi pagi ibunya sudah marah-marah karena ia kesiangan, padahal ia paling takut dengan kemurkaan ibunya. Meski ia tahu ibunya sayang kepadanya, tetapi kalau marah tetap saja mengerikan. Biasanya, ia suka pura-pura tertidur kalau sedang dimarahi, menutupi telinganya dengan bantal agar tak mendengar suara ibunya yang terus-menerus berbicara, dan biasanya pula sang ibu akan menunggu, sampai kapan Manisha bisa sabar untuk pura-pura tertidur, terkadang ia bisa benar-benar tertidur pada akhirnya, terkadang pula tetap tak bisa tidur, hanya bisa menunggu emosi ibunya reda, dan akhirnya, mereka akan saling menunggu, siapa yang paling sabar di antara keduanya.

Sudah ratusan kali Manisha dimarahi ibunya, entah karena kesalahan fatal semacam menumpahkan gula dari stoples, atau membiarkan air keran kamar mandi terbuka yang menyebabkan airnya meluber, sampai beragam alasan yang menurutnya mengada-ada. Lama kelamaan, Manisha bisa dikriminalisasi oleh ibunya sendiri. Bahkan gadis itu sempat berpikir bahwa ibunya tidak benar-benar sayang kepadanya. Lebih jauh lagi, pernah terlintas seburuk-buruk pertanyaan dalam otaknya, apakah ia benar-benar anak kandung dari seorang wanita yang suka memarahinya nyaris setiap hari itu? Manisha pernah mendengar tetangga bercerita bahwa ia sebenarnya ditemukan di jalan, menangis dalam kardus yang digeletakkan di tepi trotoar, ada juga yang bilang bahwa ia diambil dari panti asuhan, tetapi ibunya selalu mengatakan itu semua tidak benar, dan ia percaya bahwa para tetangga memang hanya bercanda, apalagi banyak yang berkata bahwa hidung dan pipi Manisha mirip sekali dengan milik ibunya.

Meski begitu, Manisha tetap tak mengerti mengapa ibunya suka marah-marah, apakah ibunya mengidap penyakit? Ia terkadang iri kepada kawan-kawan sekelasnya, ia iri kepada Suminten yang suka dibawakan bekal bermacam-macam, ”Ibuku tadi pagi buat roti kismis, besok rencananya mau buat brownies.” Begitu biasanya Suminten akan berbangga-bangga, sementara Manisha cukup diam saja. Ia juga sering iri kepada Nalea, kawan sebangku yang selalu dijemput ibunya sepulang sekolah baik cerah ataupun hujan, sementara Manisha tak pernah dijemput, berangkat sendiri, pulang pun sendiri. Tetapi ia sadar bahwa ibunya memang tidak punya waktu untuk menjemput, ibunya adalah tukang cuci yang setiap hari sibuk berkeliling dusun untuk menerima cucian-cucian kotor. Oleh karena itulah Manisha sudah biasa melakukan banyak hal sendiri.

Jadi, kalau ia mendapat masalah seperti sekarang ini, Manisha harus menyelesaikan sendiri.

Dan ternyata ia juga lupa membawa jam tangan kecil, ia melihat pergelangan tangannya, hampa, ia tak tahu sekarang sudah jam berapa, ia tak tahu bel sekolah sudah berbunyi atau belum. Ia belum juga ingat bahwa ada dua pekerjaan rumah yang akan dikoreksi hari ini. Ia nyaris tak peduli lagi seandainya Bu Mursleh—guru Matematika berkacamata yang suka bawa camilan ke dalam kelas itu—tiba-tiba mengadakan ulangan mendadak. Sekarang perhatiannya hanya tertuju pada anjing itu. Tubuh hewan itu memang tidak cukup besar. Tetapi bulunya yang hitam legam nan lebat membuat Manisha ngeri. Tentu ia takut digigit, apalagi ia tahu gigitan anjing bisa menimbulkan penyakit, kemarin ia melihat berita wabah rabies yang menelan banyak korban di suatu daerah, siapa tahu anjing ini membawa penyakit yang sama!

Manisha menelan ludah, kalau harus digigit, ia lebih suka digigit si Jupritus saja, teman sekelas yang terlampau nakal itu.

Kemudian Manisha mengingat sesuatu, rasanya ia pernah mendengar cerita-cerita tentang anjing, entah itu dari kawannya atau mungkin dari ayahnya, ia sudah lupa siapa yang bercerita, ia hanya ingat isinya, semacam teori, bahwa kalau lewat di dekat anjing yang tertidur harus tenang, tidak boleh lari, karena kalau lari anjing itu justru mengejar, sebab langkah kaki yang terburu-buru sangat mengganggu. Tetapi teori itu seperti berbalik di kepalanya, yang terbayang adalah: Kalau berjalan terburu-buru maka anjing itu akan memburunya dengan segera, kalau berjalan tenang maka anjing itu akan memakannya juga dengan tenang penuh kedamaian.

Tidak. Tidak. Manisha menggelengkan kepalanya. Ia menoleh ke belakang untuk kesekian kalinya, ia heran mengapa nyaris tak ada yang lewat gang itu. Hanya sosok orang-orang berkelebat saja, tak ada yang berbelok, tetapi ia juga tak mau ibunya tiba-tiba muncul di situ dengan wajah mengerikan. Ia ingin libur dari amarah sang ibu barang sehari—kalau pun bisa, apalagi di gang ini ia tak bisa pura-pura tertidur seperti biasa kalau ibunya tiba-tiba muncul di ujung situ.

Manisha mencoba untuk kembali melangkah, berat sekali. Dan semakin dekat, rasa takutnya justru semakin bertambah, apalagi sesekali anjing itu menggeliat, mungkin hewan itu tahu ada yang sedang menunggunya terjaga, mungkin hewan itu senang ada gadis kecil yang memerhatikannya. Itu artinya, Manisha dan seekor anjing sedang bermain kucing-kucingan perasaan.

”Anjing manis, Manisha mau lewat.” Ia mengucapkan kalimat itu seperti doa. Sebab, ia hanya bisa berharap anjing itu pergi dari gang. Cukup itu saja.

***

Matahari bergegas naik, cahaya berangsur-angsur terik. Di sebuah gang sempit yang tidak begitu kumuh, seekor anjing sedang tertidur pulas, binatang berkaki empat itu mungkin tengah bermimpi ada di sebuah kebun surga, merebah di pangkuan bidadari jelita. Sementara tak jauh dari situ, ada seorang anak SD yang sudah terlambat sekolah, dia berdiam di situ sebab takut melangkah, dia masih menunggu anjing tersebut pergi, dia mengira hewan mengerikan itu hanya pura-pura tertidur, sama seperti dirinya kalau sedang dimarahi ibunya. ***

(Situbondo, 2009)
READ MORE - Seekor Anjing Manis

Rajamuda

Cerpen Khrisna Pabichara
Dimuat di Jurnal Bogor (12/13/2009)

1

NAMANYA Ying. Lengkapnya, January Zhang Ying. Lahir awal Januari. Ia keturunan Tionghoa. Tapi ia kerap berkeras bahwa ia itu Indonesia sejati. Bukan karena sok nasionalis, tapi karena ia memang lahir di Indonesia, tumbuh besar di Indonesia, dan makan-minum di Indonesia. Bahkan, semasa di kampus, ia dikenal Indonesia banget.

Ying murah senyum. Ia tak pernah membedakan status sosial dalam bergaul. Budaya sipakatau, berdiri setegak duduk sejajar, sudah mendarah daging baginya. Semua manusia sama. Tidak ada sekat pembeda. Karena itu Ying bisa diterima siapa saja. Mata sipitnya bukan halangan baginya untuk berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Tidak heran jika namanya amat akrab bagi warga Kabupaten Gowa, terutama di kawasan Malino. Bahkan, pernah ada pemeo, jika ada yang kesasar di Gunung Bawakaraeng, sebut saja nama Ying. Maka, jika ia laki-laki, orang itu bakal diperlakukan bak Raja. Dan jika perempuan akan dilayani seperti Ratu.

Hanya satu yang kurang darinya. Gayanya urakan. Selebihnya, dia sempurna.

2

BELAKANGAN ini Ying sering merasa gelisah. Entah apa sebabnya. Apakah karena saya jatuh cinta, tanya hatinya. Tidak mungkin. Ia bukan perempuan yang mudah jatuh cinta. Bukan pula penganut mazhab jatuh cinta pada pandangan pertama. Michi salah besar.

“Kamu pasti jatuh cinta!” cecar Michi padanya.

Ah, mustahil. Kata “jatuh cinta” sudah lama ia singkirkan dalam sejarah hidupnya. Bahkan kata itu sudah ia hilangkan secara sengaja dalam kamusnya. Apalagi jatuh cinta pada lelaki yang sudah beristri dan punya satu anak. Itu siri’, perbuatan memalukan yang bisa menjatuhkan harga diri, sekaligus menorehkan luka. Bagi istri dan anak lelaki itu. Juga bagi dirinya. Apa kata orang nanti, seorang perempuan anti lelaki malah tega merampas suami perempuan lain. Oh, tidak!

”Tidak mungkin,” bantah Ying pagi itu.

“Pasti!”

Ying tergelak. Mata sipitnya semakin meripit. Tak ada sejenak waktu yang bisa diluangkan olehnya untuk beternak binatang bernama cinta. No way! Baginya, mencintai lelaki adalah sebuah kesalahan. Apalagi jika perempuan hanya menjadi objek bagi lelaki untuk menunaikan hajat biologis. Menjadi budak yang hanya bisa mengiya. Yang setiap hari menurut seperti kerbau dicucuk hidungnya.

”Hanya cinta yang bisa membuat seseorang bertingkah seaneh kamu.”

”Mustahil,” bantah Ying. Di matanya membayang kisah Sashi yang semaput dan nyaris koma ketika Vicky meninggalkannya tanpa alasan jelas.

“Lantas, mengapa kamu bisa berulah begitu aneh?”

3

SEMUA bermula pada tiga hari silam. Raja, temannya di facebook, mengajaknya kopi darat di pantai Losari. Karena penasaran ingin melihat sosok yang sering menemaninya chating, Ying bersedia menerima ajakan itu. Alkisah, mereka bertemu di gadde Daeng Kulle, warung khas Makassar di tepi Losari. Sembari menunggu matahari membenam, mereka menyeruput sarabba’ dan pisang epe’. Singkat sekali pertemuan itu. Tapi Ying begitu menikmatinya. Belum pernah ia merasa senyaman itu di dekat seorang lelaki. Duduk bersisian, memandangi Pulau Kayangan dari kejauhan, sesekali mengangsurkan uang ribuan kepada pengamen jalanan.

Rajamuda, begitu nama lengkap lelaki itu. Seorang keturunan bangsawan, tapi sikapnya sederhana dan bersahaja. Rambutnya cepak. Mukanya bersih. Jenggot tipis yang tertata rapi menghiasi lancip dagunya. Perawakannya sedang, tidak kerempeng tidak pula berotot. Dan, amboi, suaranya itu. Suaranya renyah dan empuk laksana suara penyiar radio ternama. Perjumpaan pertama itu makin mencengangkan, ketika mereka sepakat menonton pertunjukan Teater Tutur Jeneponto, di Benteng Somba Opu, malam minggu nanti.

Sungguh, pertemuan singkat yang mengesankan!

4

YING belum pernah ciuman. Pacaran saja tidak, apalagi ciuman. Sesekali terbersit di hatinya keinginan menjajal seperti apa rasanya ciuman itu. Perempuan seusianya kerap bercerita tentang pacaran. Juga pengalaman berciuman. Tapi, begitulah ia. Orangtua kaya raya seolah jadi benteng tangguh yang sulit diterobos kaum lelaki. Absahlah kiranya hingga umurnya menginjak angka duapuluh lima, ia tetap seorang jomblo. Memang ia menolak jadi koloni lelaki, namun ia tetap lazimnya perempuan, ingin dicinta dan mencinta. Ingin merasakan gelegak ciuman. Atau—setidaknya—pelukan.

Tapi, dengan siapa? Dan, rasanya seperti apa?

5

PERTEMUAN kedua, Raja tetap santun. Matanya saja enggan menjalari wajah Ying berlama-lama. Ia hanya tersenyum tipis atau mengangguk ramah. Biasa saja. Di atas pentas, lakon Sang Karaeng episode Kursi Panas, mulai mengocok perut dan menyentil hati. Hingga kotak susu di tangannya tandas dan sekantung kacang rebus berpindah ke perutnya, belum ada tanda-tanda Raja bakal memberinya pengalaman baru. Pengalaman yang diidamkannya sejak tiga hari lampau. Ia ingin bercinta bukan karena dorongan berahi. Ia hanya ingin tahu. Itu saja! Tapi ia tidak mau sembarangan memilih lelaki untuk memuaskan hasrat ingin tahunya itu.

Yang pasti, sepanjang pertunjukan teater, Raja tetap berlaku santun. Saking santunnya, menyentuh tangannya pun tidak.

Sungguh, pertemuan kedua yang mengesankan! Sekaligus mengecewakan!

6

”KAMU sudah gila, Ying?” gerutu Michi.

Ying mendelik, ”Gila kenapa?”

”Apa yang kurang darimu hingga harus jatuh cinta pada suami orang?”

”Aku tidak jatuh cinta, Michi!”

Michi menggeleng-gelengkan kepala. ”Aneh, kamu makin aneh. Ada yang salah pada syarafmu.”

”Jangan bawa-bawa syarif...?”

”Ying, kamu bisa mendapatkan lelaki mana saja,” sela Michi. “Kamu kaya, punya banyak relasi, dan cantik. Banyak lelaki jatuh hati padamu!”

Ying tertawa getir. ”Nyatanya saya masih jomblo.”

”Buka dirimu! Lihat sekeliling. Ingat bagaimana cara Raymond menatapmu. Ingat Bella yang suka menelan ludah setiap bertemu denganmu. Ingat apa yang membuat Joy gugup setiap berada di dekatmu. Tanya kenapa Kelvin selalu menitip salam untukmu!”

”Mereka tidak menggetarkan hati saya.”

”Dan lelaki beranak satu itu sanggup menggetarkan hatimu?”

”Yup,” jawab Ying mantap.

”Ommalek. Berarti kamu jatuh cinta.”

”Tidak,” bantah Ying. ”Ingin bercinta, bukan jatuh cinta.”

”Dengan lelaki yang sudah menjadi hak perempuan lain?” cecar Michi. “Itu siri’, Ying. Kamu tahu seluk-beluk adat Makassar, tapi mau menerjangnya.”

Ying tersedak. ”Raja mau cerai. Sekarang mereka pisah ranjang.”

”Tapi masih serumah?”

Ying mengangguk.

”Itu hanya strategi untuk memerangkap dirimu,” kata Michi. “Itu tipu daya lelaki, Ying. Hati-hati!”

Tiba-tiba handphone saya menjerit. Di layar terbaca sebuah nama. Buru-buru saya tekan tombol yes. Tidak lupa membunyikan speaker, biar Michi mendengarnya.

“Dinda, kanda kangen kodong!” tutur Raja, di seberang sana.

Michi mendelik. Ying tersipu. ”Dinda juga kangen. Daeng sih...!”

”Kenapa?”

”Tega memaksa dinda terkapar menahan rindu.”

”Hehehe, sama. Ketemuan yuk?”

”Di mana?” sergah Ying penuh suka cita. “Sekarang?”

”Di gadde Daeng Kulle. Langsung berangkat ya?"

”Ya!” sahut Ying seraya mematikan speaker.

Michi terkesima, ”Kamu mau menemuinya?”

Ying mengangguk.

”Sadar, Ying. Ia menjebakmu. Jangan menemuinya. Jika benar ia menginginkan kamu, biar ia yang mengejarmu, bukan kamu yang takluk dan menyerahkan dirimu. Mana prinsip hidupmu selama ini? Kamu perempuan, Ying. Ingat, kamu perempuan!”

Ying tertegun. Ya, saya memang perempuan!

7

RAHANG Raja tegang. Dahinya berkerut. Matanya seolah kehilangan binar cahaya. Tak ada suara. Hanya hela napas menderu sesekali. Pantai Losari tetap ramai. Tapi Ying merasa begitu sunyi. Ia sapu wajah Raja yang digayuti awan kelabu. Ia beranikan diri meremas jemari Raja, seolah hendak berbagi kekuatan. Kali ini Raja tidak menampiknya. Meski matanya tetap terpacak di pucuk ombak.

”Ada apa?”

”Minggu depan kami cerai.”

”Ah, bertahanlah. Kasihan anakmu...,” tutur Ying.

”Tak mungkin bertahan lagi,” ujar Raja, ”ia beralih ke lelaki lain.”

Lalu, hening lagi. Lama sekali.

”Maaf, dinda tak bermaksud mengorek lukamu...”

Raja menoleh, ”Tak apa.”

”Mau ke Malino?” pinta Ying.

Raja menatap mata Ying lekat-lekat. Dalam. Dan, lama.

”Dinda hanya ingin menemanimu, Daeng. Jangan salah paham.”

Raja kembali membisu. Ah!

8

“Daeng, saya hamil!”

“Apa? Hamil?” tanya Raja.

“Ya!” jawab Ying dengan pasti.

“Tapi...” ujar Raja ragu-ragu, “gugurkan saja!”

Ying tersentak, ”Apa?”

”Ini siri’, aib bagi keluarga. Saya tak mungkin menikahimu.”

”Katanya mau cerai?”

Raja gelagapan. ”Itu rekayasa...”

Tiba-tiba saja telapak tangan Ying melayang ke wajah Raja. Menyisakan jejak merah. Tapi Raja tenang-tenang saja, hanya mengusap pipinya. Sialan!

”Selain itu, kita beda suku beda agama, Ying. Keluarga saya...”

”Saya tidak butuh keluargamu. Saya butuh kamu,” tukas Ying. “Mana paccenu, rasa iba pada janin di rahim saya?”

”Sudahlah, gugurkan saja!”

”Tapi...”

”Tidak ada tetapi. Lakukan saja!” kata Raja sembari merogoh tasnya. Mengambil buku cek, merobek selembar. Lalu menulis angka puluhan juta di atasnya. Tanpa sepatah kata, cek itu disorongkan ke arah Ying. Buku ceknya dimasukkan kembali ke dalam tas. Berdiri, lalu meninggalkan Ying, begitu saja.

”Daeng...”

***
READ MORE - Rajamuda

Pohon Mangga Alas Tua

Cerpen S Prasetyo Utomo
Dimuat di Kompas (07/29/2007)

Jalan setapak di tepi Alas Tua terus mendaki, licin, rimbun, dan sunyi. Salma menelusuri jalan setapak, sehabis diguyur hujan siang tadi. Ia melintasi tepian Alas Tua, hutan di tepi kota. Kandungannya membesar. Tinggal hitungan hari ia melahirkan. Perjalanan ke makam kedua orangtuanya kali ini didorong keinginan yang aneh tiap jengkal tanah. Dinikmatinya debur dada penuh harap. Ia ingin melahirkan anak lelaki yang tampan, yang memiliki rekah senyum menawan. Ia terus melangkah di antara jalan setapak, di bawah pohon-pohon mangga yang merimbun, dengan kuncup-kuncup daunnya yang hijau muda kemerahan.

Perempuan bunting itu tak mengenal rasa takut, malah memancarkan daya pikat yang kuat, pada senja berkabut. Senja melarutkan kesenyapan jadi detak harapan bagi perempuan bunting itu. Senyap senja menelannya jadi perempuan terselubung bayang-bayang pengharapannya sendiri. Ia takjub terhadap bayi yang diangankan lahir sebagai lelaki tampan.

Seorang lelaki muda, betapa tenang, memandangi Salma. Lelaki muda itu duduk di sebuah batu besar, di bawah pohon mangga. Di tangannya tergenggam buah mangga yang ranum jingga.

"Boleh kuminta buah mangga itu?" pinta Salma. Tergiur.

"Ini satu-satunya buah mangga yang berbuah di hutan ini. Kalau kau minta, aku tak punya lagi."

"Demi bayi yang kukandung, berikan buah mangga itu."

"Kalau kau makan buah mangga ini dan bayimu lahir lelaki, pasti tampan dan memikat!"

"O, aku suka anak lelaki yang tampan dan memikat."

"Tapi kau tak kan bisa melupakanku."

Termangu, lama terdiam, Salma menerima buah mangga itu dan bergegas memasukkannya dalam tas. Ia buru-buru meninggalkan lelaki muda yang tak pernah dikenalnya. Saat ia menoleh, lelaki muda itu sudah raib. Ia tak lagi bisa lupa wajah lelaki muda yang menjulurkan buah mangga padanya. Hari keburu berkabut, dan ia harus segera mencapai makam orangtuanya sebelum gelap. Ia mesti menabur bunga di makam ayah ibunya. Di kuburan itu peziarah sesekali datang dan pergi, dan lenyap dalam pekat pohon-pohon kamboja.

Sungguh aneh, bagi Salim, saat memandangi Salma, istrinya, yang memancarkan cahaya pada wajahnya. Ia tak berani menatap wajah bercahaya itu terlalu lama. Sebelumnya, ia selalu memandangi wajah itu dengan teduh. Wajah Salma memang selalu tampak bening. Menyejukkan, tapi kini tampak serupa bintang yang memancar dari langit tanpa tepi, jauh, tak terjangkau. Ada keangkuhan yang menyelubungi wajah perempuan itu. Tiap kali memandangi wajah istrinya, ia merasa teraniaya. Ia bukan lagi menjadi bagian dari kecemerlangan cahaya wajah Salma. Cahaya wajah itu mengasingkannya. Cahaya wajah yang membenamkannya dalam lumpur. Aneh. Sepulang Salma dari makam orangtuanya, dan makan buah mangga pemberian lelaki di Alas Tua, selalu saja ia memancarkan cahaya wajah secerah matahari rekah.

"Dari mana kau dapat buah mangga itu, Salma? Ini belum musim," tegur Salim.

"Seseorang telah memberiku. Kalau anak kita lahir lelaki, dan ganteng, katanya."

"Bagaimana mungkin?"

"Wajahnya akan selalu bercahaya."

Salim tak bisa memahami perilaku istrinya yang senantiasa memandangi cermin, mengusapi wajahnya, dan seakan wajah itu kian bercahaya setiap pagi. Wajah yang memancarkan harapan. Salim cemburu dengan harapan yang memancar dari wajah istrinya. Tapi kenapa ia makin merasa asing dengan perempuan bunting itu? Ia merasa telah terhalang tabir yang menjauhkannya dari perempuan itu. Salma kian cantik, kian rekah senyum terpendam dalam bibirnya. Keringat yang mengucur dari pori-pori perempuan itu harum. Ia merindukan pekat bau keringat istrinya selama ini, juga kecantikan yang ramah, pandangan mata yang teduh. Ia kian merasa bila Salma bukan lagi menjadi miliknya. Salma telah menjelma pribadi yang asing, yang sama sekali tak dikenali sebelumnya.

Takjub dan hampir tak percaya, ketika Salim memandangi wajah anak lelakinya: tampan dan bercahaya. Sewaktu pertama kali ia menimangnya, usai subuh, ia tak menduga, inikah anak lelakinya? Anaknya yang pertama, yang dinanti kelahirannya dengan dada yang berdegup cemas. Bayi itu berkulit bersih, halus, dan lembut. Salma senantiasa berbincang-bincang dengan bayinya.

Tak sekejap pun bayi lelaki itu berpisah dari Salma. Pada saat bayi itu bisa membuka mata, tampak sepasang matanya jenaka. Mata yang jernih. Bila pagi ia berceloteh. Berdua, Salma dan bayi itu, bercengkerama. Salim merasa tersia-siakan. Kehilangan perhatian Salma.

Lambat-laun Salim merasa sendirian, meski mereka bertiga di rumah. Salma tak lagi mengajaknya berbincang-bincang. Salma begitu asyik dengan bayi lelakinya. Terkesan tak memerlukan siapa pun.

Pada saat Salma mengemasi seluruh pakaiannya, barulah Salim tersentak. Ia tak paham, apa yang bakal dilakukan istrinya. Kopor-kopor pakaian itu dimasukkan dalam bagasi mobil.

"Kamu mau ke mana?" tegur Salim, tak paham. Ia tak pernah menemukan perilaku Salma yang aneh serupa ini.

"Aku mau menempati rumah peninggalan orangtuaku. Hidup berdua dengan anakku."

Tertegun, Salim memandangi Salma yang sibuk. Dia tak pernah menduga, Salma benar-benar berniat meninggalkannya.

"Aku tak mungkin hidup bersama lelaki yang berwajah murung."

"Jadi, karena wajahku murung, kau meninggalkanku?"

"Wajahmu begitu beku, tanpa gairah!"

Salim merenung: wajah yang murung—seperti yang selalu dikatakan Salma dulu—telah menjadi tabir penghalang. Dulu, sebelum mereka menikah, Salma memang pernah mengeluh, wajah Salim terlalu murung, muram, tanpa gairah. Tapi bukankah Salma tak pernah mempersoalkannya? Salma menerima segala hal yang ada pada dirinya, sampai perempuan itu hamil tua, dan pergi ke makam orangtuanya. Dia pulang dengan ketakjuban memakan buah mangga, seiris demi seiris, dan sangat enggan membuang bijinya ke tempat sampah.

Salma menolak, saat Salim ingin mengantarkannya. Perempuan itu menampakkan kegairahan saat meninggalkan rumah Salim yang kusam dan melapuk. Ini rumah yang dibeli Salim dengan susah payah, dengan berhutang, dan masih bertahun-tahun akan lunas. Memang sejak awal mula Salma menempati rumah ini, ia tampak bimbang. Ia kelihatan tertekan, dan Salim tahu, istrinya memaksakan diri untuk tinggal di rumah tua, di perkampungan pinggir kota. Salma sempat mengajukan permohonan pada Salim, agar mereka tinggal di rumah warisan orangtuanya—sebagai anak tunggal yang kini yatim piatu. Rumah itu dikosongkan, sungguh sayang karena luas, dengan empat kamar besar, ruang tamu, ruang makan, dapur, dan halaman tempat bocah-bocah bermain.

Tiba di rumah warisannya, Salma turun dari mobil, menggendong bayi mungil dan menciuminya. Yang paling menggetarkan, bagi Salma, saat ia berada di ruang tamu, memandang lukisan (mengenai) ayah dan ibunya. Lukisan dengan pancaran wajah yang menakjubkan. Selalu saja ia memandangi wajah ayahnya yang cemerlang, penuh harap. Dan wajah ibunya yang bijak.

Di rumah inilah Salma mencari masa lalunya. Semenjak bayi hingga ibunya meninggal, pada umurnya yang remaja, ia hidup dengan Ayah—yang kelak ia tahu, ayahnya menolak untuk menikah lagi. "Kau tak usah cemas, aku tak akan menikah lagi." Memang ayahnya tak lagi menikah, meski sempat sangat dekat dengan seorang gadis belia. Dari keseluruhan sosok gadis itu, yang paling memikat—menurut Ayah—wajahnya yang bersih, wajah yang memantulkan ketulusan hati. Tapi ayah memenuhi janjinya: tidak menikah dengan siapa pun hingga meninggal. Salma menikah dengan Salim, lelaki berwajah kuyu—seorang pegawai kecil, dengan gaji pas-pasan. Tinggal di rumah kecil, kusam, dan berhimpit-himpit dengan rumah tetangga. Betapa susah payah ia harus meletakkan mobil kesayangannya, karena pelataran yang sangat sempit.

Belum juga Salma bersua lelaki tampan, dengan wajah jernih, bercahaya, yang berdiam di Alas Tua. Salma tak lagi melihat kekuatan yang lain, yang bisa meruntuhkan hatinya untuk bersua lelaki tampan itu. Tiap sore ia melintas tepian Alas Tua, berziarah ke makam orangtuanya. Tapi, sungguh, tak sekejap pun ia bersua lelaki itu, meski cuma bayangan. Bahkan bertemu lelaki itu dalam mimpi pun, ia tak pernah.

Sungguh aneh, Salma tak bisa membebaskan diri dari wajah lelaki tampan pemberi buah mangga. Wajah yang jernih, tulus. Ia takjub dan terjerat pada wajah lelaki itu. Salma tak peduli, orang-orang yang memandanginya saat ia berdiam lama-lama menjelang gelap malam di tepi Alas Tua. Mengharap seorang lelaki tampan bakal muncul, mendekatinya. Di batu besar di bawah pohon mangga itu, Salma tak menemukan siapa pun. Hanya sebongkah batu. Orang-orang itu memandangi Salma yang berdiri terpaku di depan sebongkah batu. Mata mereka mencemooh. Tapi Salma tak peduli.

Haruskah, pikir Salim, Salma meninggalkannya dan tak kembali, hanya untuk mengikat seorang lelaki dengan wajah jernih, memancarkan pesona, yang lenyap dalam pekat Alas Tua? Benarkah pencaran wajah lelaki tampan pemberi buah mangga itu telah mengalahkan segala hal, termasuk kesetiaan dan harapan?

Salim cemas, bahkan gemas, lantaran wajahnya yang mengeruh, dan bukannya semakin jernih. Malah kian kotor dan belakangan mulai berkerut samar. Ia malas bercermin, melihat sendiri wajah letih yang memantul di hadapannya. Ia tak lagi bisa menatap wajahnya dengan kerelaan. Tiap kali ia menatap cermin, tampak wajahnya yang serupa abu dalam tungku mati, yang luruh. Ia makin membenci lelaki tampan dengan wajah indah yang dicari Salma. Ia ingin menemukan kembali jalan hidup bersama istrinya. Tapi bagaimana caranya?

Sesuatu tumbuh di tempat sampah, rekah dari biji mangga yang mengering. Batang menjulur dari rekah biji mangga, puncaknya diteduhi dua lembar daun yang terjuntai, hijau muda kemerahan. Salim tertegun, memandangi rintik gerimis yang mengayun-ayunkan daun itu. Masih rembang pagi, dan tunas pohon mangga itu menjadi daya pikat yang menggetarkan hati lelaki itu. Ia merasakan kegugupan yang penuh harap.

Pohon mangga yang tumbuh itu, bukankah dari biji mangga yang dimakan Salma? Salim menanam pohon mangga itu di sudut pelataran, dengan harapan, Salma bakal kembali suatu ketika kelak. Pohon mangga itu bakal menjadi besar, dan rimbun—entah berapa tahun lagi, kelak, dan tentu akan berbuah. Ia merasakan desir harapan dari dalam dadanya.

Dorongan hati yang aneh, menggugupkan, saat Salma menapaki jalan berumput ke makam orangtuanya. Lewat tepian Alas Tua, Salma berharap bertemu dengan lelaki muda pemberi buah mangga ranum saat ia mengandung. Ia melewati jalan setapak, di bawah batang-batang pohon yang meranggas—yang terbakar semalam—dan suara gergaji mesin, truk-truk, traktor, begu, dan lelaki-lelaki kekar penebang pohon. Alas Tua lenyap dalam sekejap. Akankah tumbuh sebuah kota dan pusat perbelanjaan? Salma menggigil, mencari-cari dalam kabut basah, di mana lelaki tampan dengan senyum rekah menawan itu.

Salma melihat samar bayangan tubuh lelaki tampan itu, di bawah kilau bulan, berdiri di antara batang-batang pohon ranggas terbakar, tersenyum. "Kalau kau ingin menemuiku, carilah di rumah suamimu. Di sana tumbuh pohon mangga, dari biji yang kau makan dulu."

Kilau bulan tersangkut di pucuk-pucuk ranting pepohonan hutan ranggas. Salma tergetar. Memandangi lelaki tampan yang menghilang, lenyap dalam semak-semak perdu terbakar. Kilau rembulan begitu tajam menerawang gaun Salma, dan ia melangkah bimbang: akankah segera kembali pada suami?***

Pandana Merdeka, Mei 2007
READ MORE - Pohon Mangga Alas Tua