Gaya Bahasa Dunia Maya dan Kepentingan Berekspresi
Kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi, agaknya telah memberikan pengaruh besar terhadap pola dan gaya interaksi umat manusia. Jarak dan luas wilayah komunikasi telah menembus batas dimensi ruang dan waktu. Manusia masa kini tak cukup hanya berkomunikasi secara sosial di dunia nyata, tetapi juga telah jauh merambah berinteraksi secara maya melalui media internet. Tak berlebihan kalau jumlah pengguna internet belakangan ini meningkat tajam. Menurut Direktur Marketing First Media, Dicky Moechtar, pengguna internet --berdasarkan www.internetworldstats.com-- tumbuh lebih 1.000 persen dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2008 saja, total pengguna internet mencapai 25 juta. Jumlah itu dipastikan terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah jejaring sosial yang memberikan kemudahan dan memanjakan penggunanya dalam berinteraksi secara maya sebagai media ekspresi untuk beraktualisasi diri.
Meningkatnya jumlah pengguna internet, disadari atau tidak, juga berimbas terhadap meningkatnya pengguna layanan web atau blog. Para pengguna internet tak hanya puas sebagai pengguna pasif, tetapi juga telah meningkat intensitasnya sebagai pengguna aktif dengan menciptakan rumah maya, baik dalam genre web atau blog, sebagai bagian dari “kebutuhan hidup” ketika sekat-sekat geografis tak lagi mengenal jarak. Web atau blog telah berubah fungsi sebagai “hunian maya” yang dengan mudah ditemukan alamatnya melalui mesin pencari.
Meningkatnya jumlah pengelola web atau blog jelas akan berimplikasi terhadap penggunaan ragam bahasa di media internet sebagai sarana untuk berekspresi. Bahasa tak semata-mata dimanfaatkan sebatas untuk menyampaikan informasi, tetapi juga digunakan sebagai media untuk memberikan hiburan dan memengaruhi publik. Melalui web atau blog, seorang pemegang akun web atau blog bisa memanfaatkan bahasa untuk berbagai macam kepentingan sesuai dengan “mazab” yang dianutnya. Dengan kata lain, bahasa telah menciptakan sebuah conditio sine qua non di jagad maya ketika “kebutuhan” akan aktualisasi diri menjadi bagian esensial dalam dinamika kehidupan manusia masa kini.
Persoalannya sekarang, mampukah web atau blog yang secara kuantitas menunjukkan perkembangan yang cepat dan dinamis memberikan pengaruh positif terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar? Mampukah web atau blog memerankan dan memosisikan dirinya sebagai media virtual yang mampu berkiprah secara intens dalam mewujudkan bahasa Indonesia yang lebih terhormat dan bermartabat?
Ragam Bahasa Web atau Blog
Bahasa pada hakikatnya merupakan kombinasi berbagai macam simbol yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi secara arbitrer (mana suka). Simbol-simbol yang tertata secara sistematis akan melahirkan kata sebagai bagian esensial dari sebuah bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu hingga akhirnya melahirkan sebuah wacana, baik lisan maupun tulisan. Karena berupa lambang atau simbol, dengan sendirinya bahasa membutuhkan kesepakatan, sehingga antara komunikator dan komunikan bisa saling memahami maksud yang tersirat di balik simbol-simbol bahasa yang digunakan. Ini artinya, seorang pengguna bahasa –secara sosial-- tak bisa bersikap ala Tarzan dengan menciptakan sistem dan pola kebahasaan sendiri tanpa memperhatikan konteks kultur dan latar sosialnya.
Ragam bahasa media internet, khususnya dalam web atau blog, pun tak bisa melepaskan diri dari konteks kultur dan latar sosial keindonesiaan ketika kesepakatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah komunikasi telah muncul lebih dari delapan dasa warsa yang silam. Dalam konteks demikian, penggunaan bahasa web atau blog perlu memperhatikan kode bahasa, kode sosial, dan kode budaya sesuai dengan kepentingan ekspresi pengelolanya sehingga pesan-pesan yang disampaikan kepada publik bisa berlangsung efektif dan tepat sasaran.
Secara umum, ada dua kecenderungan penggunaan web atau blog di media internet. Pertama, web atau blog yang digunakan untuk kepentingan ekspresi pribadi (personal). Kedua, web atau blog yang digunakan untuk kepentingan ekspresi institusi (organisasi).
Dari ranah penggunaan bahasa, antara blog pribadi dan institusi memiliki perbedaan yang cukup kontras. Web atau blog pribadi cenderung menggunakan ragam bahasa santai dan tidak resmi dengan beragam kepentingan berekspresi yang bernuansa menghibur. Hal ini tampak pada blog yang digunakan untuk curhat, mendedahkan pengalaman hidup, atau memublikasikan tema-tema tulisan yang ringan dan santai. Meski demikian, tak sedikit juga web atau blog pribadi yang digunakan untuk menyampaikan informasi, opini, refleksi, atau memengaruhi orang lain dengan menggunakan ragam bahasa resmi, tanpa mengabaikan sisi efektivitas berkomunikasi.
Web atau blog institusi, dalam pengamatan awam saya, lebih banyak digunakan untuk membangun pencitraan dan sekaligus dimanfaatkan sebagai corong institusi yang bersangkutan dalam menyampaikan informasi dan memengaruhi publik sesuai dengan kepentingan visi dan misinya. Oleh karena itu, web atau blog institusi pada umumnya cenderung menggunakan ragam bahasa baku dan sebisa mungkin menghindarkan ragam bahasa santai untuk menghapuskan kesan ketaksaan atau pengaburan pesan.
Dalam situasi seperti itu, bahasa sesungguhnya memiliki peran yang amat penting sebagai media untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, baik melalui blog pribadi maupun institusi. Dengan kata lain, web atau blog tak akan pernah bisa lahir dan eksis tanpa dukungan media bahasa. Ini artinya, kedudukan bahasa Indonesia seharusnya makin terhormat dan bermartabat seiring dengan meningkatnya jumlah web atau blog yang terus bermunculan di internet.
“Euforia” Berekspresi
Namun, secara jujur harus diakui, menjamurnya jumlah web atau blog belum bisa menjadi jaminan kalau keberadaan dan kedaulatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Munculnya gejala campur kode yang menggabungkan antara ragam bahasa prokem, dialek, Indon-English, dan berbagai ragam bahasa campur-aduk ke dalam sebuah teks virtual, disadari atau tidak, justru telah menghilangkan esensi bahasa sebagai media komunikasi yang seharusnya perlu mempertimbangkan penggunaan simbol-simbol dan kode-kode bahasa secara sistematis. Tidak sedikit bahasa blog yang terjebak ke dalam atmosfer “euforia” berekspresi semata sehingga tidak lagi memperhatikan batasan-batasan sosio-kultural pembacanya. Pengelola blog sibuk bermain-main dengan bahasa yang sesuai dengan selera personalnya, sehingga pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada publik yang beragam latar belakang sosio-kulturalnya gagal terwujud secara efektif.
Salahkah kalau seorang pengelola web atau blog menggunakan gejala campur kode ke dalam sebuah postingan hingga terperangkap ke dalam “euforia” berekspresi? Saya pikir, persoalannya bukan salah atau benar, melainkan lebih kepada persoalan efektif atau tidaknya pesan-pesan yang hendak disampaikan itu kepada publik. Ibarat sebuah rumah, web atau blog menjadi hak prerogatif dan urusan pribadi sepenuhnya dari sang pemilik. Mau menggunakan desain dan corak content apa pun, tak seorang pun yang bisa mengusiknya. Meski demikian, tak ada salahnya kalau desain blog yang bagus diimbangi dengan penggunaan bahasa yang terbebas dari ketaksaan alias pengaburan makna. Dengan cara demikian, pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada publik bisa berlangsung lebih efektif dan terbebas dari tafsir ganda.
Dinamika dan perkembangan bahasa, termasuk bahasa Indonesia, akan sangat ditentukan oleh semangat penggunanya dalam berekspresi dan berkomunikasi. Ketika interaksi dan komunikasi tidak lagi terbelenggu oleh sekat-sekat geografis dan perkembangan web atau blog menunjukkan peningkatan signifikan secara kuantitas, keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus juga sebagai bahasa resmi akan terus diuji oleh semangat zamannya. Dalam konteks demikian, kearifan para pengelola web atau blog sebagai penjaga gawang dunia virtual dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai piranti utama dalam berekspresi akan ikut menjadi penentu kehormatan dan kedaulatan bahasa Indonesia. ***
READ MORE - Gaya Bahasa Dunia Maya dan Kepentingan Berekspresi
Meningkatnya jumlah pengguna internet, disadari atau tidak, juga berimbas terhadap meningkatnya pengguna layanan web atau blog. Para pengguna internet tak hanya puas sebagai pengguna pasif, tetapi juga telah meningkat intensitasnya sebagai pengguna aktif dengan menciptakan rumah maya, baik dalam genre web atau blog, sebagai bagian dari “kebutuhan hidup” ketika sekat-sekat geografis tak lagi mengenal jarak. Web atau blog telah berubah fungsi sebagai “hunian maya” yang dengan mudah ditemukan alamatnya melalui mesin pencari.
Meningkatnya jumlah pengelola web atau blog jelas akan berimplikasi terhadap penggunaan ragam bahasa di media internet sebagai sarana untuk berekspresi. Bahasa tak semata-mata dimanfaatkan sebatas untuk menyampaikan informasi, tetapi juga digunakan sebagai media untuk memberikan hiburan dan memengaruhi publik. Melalui web atau blog, seorang pemegang akun web atau blog bisa memanfaatkan bahasa untuk berbagai macam kepentingan sesuai dengan “mazab” yang dianutnya. Dengan kata lain, bahasa telah menciptakan sebuah conditio sine qua non di jagad maya ketika “kebutuhan” akan aktualisasi diri menjadi bagian esensial dalam dinamika kehidupan manusia masa kini.
Persoalannya sekarang, mampukah web atau blog yang secara kuantitas menunjukkan perkembangan yang cepat dan dinamis memberikan pengaruh positif terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar? Mampukah web atau blog memerankan dan memosisikan dirinya sebagai media virtual yang mampu berkiprah secara intens dalam mewujudkan bahasa Indonesia yang lebih terhormat dan bermartabat?
Ragam Bahasa Web atau Blog
Bahasa pada hakikatnya merupakan kombinasi berbagai macam simbol yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi secara arbitrer (mana suka). Simbol-simbol yang tertata secara sistematis akan melahirkan kata sebagai bagian esensial dari sebuah bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu hingga akhirnya melahirkan sebuah wacana, baik lisan maupun tulisan. Karena berupa lambang atau simbol, dengan sendirinya bahasa membutuhkan kesepakatan, sehingga antara komunikator dan komunikan bisa saling memahami maksud yang tersirat di balik simbol-simbol bahasa yang digunakan. Ini artinya, seorang pengguna bahasa –secara sosial-- tak bisa bersikap ala Tarzan dengan menciptakan sistem dan pola kebahasaan sendiri tanpa memperhatikan konteks kultur dan latar sosialnya.
Ragam bahasa media internet, khususnya dalam web atau blog, pun tak bisa melepaskan diri dari konteks kultur dan latar sosial keindonesiaan ketika kesepakatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah komunikasi telah muncul lebih dari delapan dasa warsa yang silam. Dalam konteks demikian, penggunaan bahasa web atau blog perlu memperhatikan kode bahasa, kode sosial, dan kode budaya sesuai dengan kepentingan ekspresi pengelolanya sehingga pesan-pesan yang disampaikan kepada publik bisa berlangsung efektif dan tepat sasaran.
Secara umum, ada dua kecenderungan penggunaan web atau blog di media internet. Pertama, web atau blog yang digunakan untuk kepentingan ekspresi pribadi (personal). Kedua, web atau blog yang digunakan untuk kepentingan ekspresi institusi (organisasi).
Dari ranah penggunaan bahasa, antara blog pribadi dan institusi memiliki perbedaan yang cukup kontras. Web atau blog pribadi cenderung menggunakan ragam bahasa santai dan tidak resmi dengan beragam kepentingan berekspresi yang bernuansa menghibur. Hal ini tampak pada blog yang digunakan untuk curhat, mendedahkan pengalaman hidup, atau memublikasikan tema-tema tulisan yang ringan dan santai. Meski demikian, tak sedikit juga web atau blog pribadi yang digunakan untuk menyampaikan informasi, opini, refleksi, atau memengaruhi orang lain dengan menggunakan ragam bahasa resmi, tanpa mengabaikan sisi efektivitas berkomunikasi.
Web atau blog institusi, dalam pengamatan awam saya, lebih banyak digunakan untuk membangun pencitraan dan sekaligus dimanfaatkan sebagai corong institusi yang bersangkutan dalam menyampaikan informasi dan memengaruhi publik sesuai dengan kepentingan visi dan misinya. Oleh karena itu, web atau blog institusi pada umumnya cenderung menggunakan ragam bahasa baku dan sebisa mungkin menghindarkan ragam bahasa santai untuk menghapuskan kesan ketaksaan atau pengaburan pesan.
Dalam situasi seperti itu, bahasa sesungguhnya memiliki peran yang amat penting sebagai media untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, baik melalui blog pribadi maupun institusi. Dengan kata lain, web atau blog tak akan pernah bisa lahir dan eksis tanpa dukungan media bahasa. Ini artinya, kedudukan bahasa Indonesia seharusnya makin terhormat dan bermartabat seiring dengan meningkatnya jumlah web atau blog yang terus bermunculan di internet.
“Euforia” Berekspresi
Namun, secara jujur harus diakui, menjamurnya jumlah web atau blog belum bisa menjadi jaminan kalau keberadaan dan kedaulatan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Munculnya gejala campur kode yang menggabungkan antara ragam bahasa prokem, dialek, Indon-English, dan berbagai ragam bahasa campur-aduk ke dalam sebuah teks virtual, disadari atau tidak, justru telah menghilangkan esensi bahasa sebagai media komunikasi yang seharusnya perlu mempertimbangkan penggunaan simbol-simbol dan kode-kode bahasa secara sistematis. Tidak sedikit bahasa blog yang terjebak ke dalam atmosfer “euforia” berekspresi semata sehingga tidak lagi memperhatikan batasan-batasan sosio-kultural pembacanya. Pengelola blog sibuk bermain-main dengan bahasa yang sesuai dengan selera personalnya, sehingga pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada publik yang beragam latar belakang sosio-kulturalnya gagal terwujud secara efektif.
Salahkah kalau seorang pengelola web atau blog menggunakan gejala campur kode ke dalam sebuah postingan hingga terperangkap ke dalam “euforia” berekspresi? Saya pikir, persoalannya bukan salah atau benar, melainkan lebih kepada persoalan efektif atau tidaknya pesan-pesan yang hendak disampaikan itu kepada publik. Ibarat sebuah rumah, web atau blog menjadi hak prerogatif dan urusan pribadi sepenuhnya dari sang pemilik. Mau menggunakan desain dan corak content apa pun, tak seorang pun yang bisa mengusiknya. Meski demikian, tak ada salahnya kalau desain blog yang bagus diimbangi dengan penggunaan bahasa yang terbebas dari ketaksaan alias pengaburan makna. Dengan cara demikian, pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada publik bisa berlangsung lebih efektif dan terbebas dari tafsir ganda.
Dinamika dan perkembangan bahasa, termasuk bahasa Indonesia, akan sangat ditentukan oleh semangat penggunanya dalam berekspresi dan berkomunikasi. Ketika interaksi dan komunikasi tidak lagi terbelenggu oleh sekat-sekat geografis dan perkembangan web atau blog menunjukkan peningkatan signifikan secara kuantitas, keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekaligus juga sebagai bahasa resmi akan terus diuji oleh semangat zamannya. Dalam konteks demikian, kearifan para pengelola web atau blog sebagai penjaga gawang dunia virtual dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai piranti utama dalam berekspresi akan ikut menjadi penentu kehormatan dan kedaulatan bahasa Indonesia. ***
Mengakrabi Sastra, Membangun Karakter Bangsa
Mengakrabi Sastra, Membangun Karakter Bangsa *)
Oleh: Sawali **)
Sudah lama negeri kita dikenal sebagai negeri yang kaya budaya. Hampir setiap daerah memiliki corak budaya yang khas sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang diangkatnya. Dongeng rakyat, misalnya, yang telah lama menjadi bagian dari tradisi sastra lisan, memuat nilai-nilai kearifan lokal yang amat besar manfaatnya untuk memperkuat jati diri bangsa. Demikian juga halnya dengan puisi lama yang terwujud dalam bentuk pantun, gurindam, karmina, seloka, syair, dan semacamnya, sudah teruji oleh sejarah sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang perlu terus dilestarikan dan dikembangkan.
Seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai “wajah” terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan “asupan” gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Oleh karena itu, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
***
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Pertama, aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan, dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Ia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Simaklah puisi berikut ini!
Pelangi
Merah kuning hijau warnamu.
Membentang di langit biru
Sungguh indah ciptaan-Mu
Pelangi kau bagaikan dewi
Warnamu sungguh indah
Tak jemu aku memandangmu
Ingin ku berlari ke tempatmu
Ke angkasa yang luas membiru
(Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma Parta, kelas IVA SD Saraswati 6 Denpasar
(Sumber: http://sdsaraswati6.blogspot.com/2009/12/puisi-karya-siswa.html)
Sebuah puisi yang sederhana, tetapi indah dan imajinatif, bukan? Si aku lirik begitu mengagumi keindahan pelangi yang penuh warna-warni, sampai-sampai berkeinginan untuk berlari menuju ke tempat pelangi berada.
Simak juga kutipan cerita berikut ini!
....
Sudin anak yang pandai dan hemat, sehingga ia masih dapat menabung dari hasil penjualan korannya. Ayah dan ibunya sangat menyayangi Sudin. Seperti biasanya, Sudin sibuk mencari pembeli di perempatan jalan. Ia berlari sambil berteriak-teriak menawarkan koran-korannya. Dengan penuh semangat, ia berjualan sampai tak menghiraukan panas yang menyengat dan trotoar kota. Tiba tiba ia melihat anak kecil yang menyeberang jalan sendirian. Dengan melongokkan kepalanya, Sudin sibuk mencari di mana keluarga anak kecil itu. Secara spontan, Sudin berlari menghampiri anak tadi. Akan tetapi, malang nasib Sudin yang telah berkorban untuk anak yang ditolongnya. Anak itu selamat, dan Sudin tertabrak mobil. Kaki kanannya patah dan seluruh tubuhnya luka-luka.
Kemudian Sudin dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah diobati dan dirawat pihak rumah sakit, Sudin akhirnya siuman. Ayah dan ibunya merasa lega sekali. Orang tua anak kecil yang telah ditolongnya meminta maaf dan berterima kasih kepada Sudin. Mereka sanggup membiayai pengobatan Sudin di rumah sakit. Setelah dipikir-pikir, Sudin pernah bertemu dan mengenal ayah dan ibu si anak kecil. Kemudian Pak Adi (nama ayah anak kecil yang ditolong Sudin) berbicara kepada Sudin dan mengatakan bahwa ia akan menjadi orang tua asuh bagi Sudin. Sebetulnya Pak Adi sudah mengenal karena berlangganan koran pada Sudin. Jadi, Sudin sangat gembira setelah menerima kabar tersebut. Meskipun merasa sakit di sekujur tubuhnya, Sudin merasa bahagia sekali. Memang Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba yang senantiasa berbuat kebaikan. (Sumber: “Pengorbanan”)
Sebuah kisah yang menyentuh dan mengharukan, bukan? Ya, ya, dengan membaca cerita semacam itu, kita akan terlatih memiliki sikap peka dan belajar berempati terhadap nasib sesama.
Kedua, aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Perhatikan dengan saksama kutipan puisi berikut ini!
.....
Di depan-Mu sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha ....
("Di Depanmu Aku Sirna Mendebu", Budiman S. Hartojo)
....
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
....
(“Diponegoro”, Chairil Anwar)
Nah, ternyata nilai ketuhanan dan kepahlawanan yang terkandung dalam dua kutipan puisi tersebut terkesan lebih kuat dan indah jika diekspresikan secara lisan, bukan?
Ketiga, aktivitas berkreasi. Kegiatan ini berkaitan dengan aktivitas penciptaan dan/atau penulisan karya sastra dalam berbagai genre. Aktivitas bersastra acapkali dihubungkan dengan kata kreativitas. Hal ini didasari oleh lekatnya proses penciptaan sebuah karya sastra dengan kegiatan kreatif.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya. Namun, kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Nah, bagaimana cara mendayagunakan imajinasi dalam karya sastra hingga mampu melahirkan karya-karya kreatif? Bisa jadi, setiap pengarang memiliki cara yang berbeda-beda. Namun, secara umum, ketajaman berimajinasi diawali dari proses perenungan dengan melibatkan kekuatan batin kita di dalam mernafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekeliling kita. Proses perenungan yang mendalam akan mendorong kita untuk melahirkan karya sastra yang lebih menyentuh dan mengharukan nurani, hingga mampu menawarkan pencerahan, kedalaman, kearifan pikiran, dan berbagai macam nilai.
Meskipun demikian, imajinasi saja tidaklah cukup. Seorang pengarang juga perlu mengungkapkannya dengan bahasa yang tepat sesuai dengan gayanya yang khas dan unik. Bahasa memiliki kekuatan luar biasa untuk mengekspresikan dunia imajinasi yang berada di balik kepala sang pengarang. Bahasa yang ekspresif semacam inilah yang bisa membuat karya sastra sang pengarang selalu menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, seorang calon pengarang dianjurkan untuk banyak membaca karya sastra para pengarang yang sudah lebih dahulu lahir. Dengan banyak membaca, seorang calon pengarang memiliki banyak kemungkinan dalam menggunakan gaya bahasa yang mampu mewakili pikiran dan perasaannya.
Simaklah kutipan cerita berikut!
....
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada ....
(“Legenda Telaga Bidadari”, http://dongeng.org/cerita-rakyat/nusantara/legenda-telaga-bidadari.html)
Sebuah kisah yang menarik, bukan? Kisah imajinatif tersebut menjadi lebih indah ketika dikemas dan disajikan dengan menggunakan bahasa yang ekspresif dan khas.
***
Mengakrabi sastra merupakan aktivitas yang menarik dan menyenangkan. Ada proses penyelaman dan pendalaman pengalaman batin manusia. Dari titik ini, kita banyak bersentuhan dengan berbagai pola perilaku dan karakter manusia. Semakin banyak perilaku dan karakter manusia yang kita tangkap, kita akan semakin terlatih untuk membangun sikap empati, peka, dan responsif terhadap berbagai macam nilai hidup dan kehidupan, sehingga tak gampang tergoda untuk melakukan tindakan negatif yang bisa merusak nilai-nilai keharmonisan hidup.
Dalam satu dekade belakangan ini, nurani kita digelisahkan oleh maraknya aksi kekerasan yang terjadi di berbagai lapis dan lini masyarakat. Aksi-aksi vandalisme dan premanisme dengan berbagai macam bentuk dan variannya (nyaris) menjadi fenomena tragis yang gampang kita saksikan di atas panggung sosial negeri ini. Perkara-perkara sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang arif dan dewasa tak jarang dituntaskan di atas ladang kekerasan yang berbuntut darah dan air mata. Dalam keadaan semacam itu, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang dulu dimuliakan dan diagung-agungkan sebagai karakter dan jatidiri bangsa seperti telah memfosil ke dalam ceruk peradaban.
Kekerasan agaknya telah menjadi “budaya baru” di negeri ini. Jalan penyelesaian masalah berbasiskan kejernihan nurani dan kepekaan akal budi telah tertutup oleh barikade keangkuhan dan kemunafikan. Okol lebih dikedepankan ketimbang akal. Belum lagi aksi para preman yang mempertontonkan tindakan fasis dan brutal di tengah-tengah keramaian penduduk. Pembakaran, perusakan, dan penganiayaan pun marak terjadi di berbagai tempat. Budaya kekerasan agaknya benar-benar telah berada pada titik nazir peradaban, sehingga menenggelamkan karakter “genuine” bangsa ini yang telah lama ditahbiskan sebagai bangsa yang cinta damai, santun, ramah, dan berperadaban tinggi. Yang menyedihkan, budaya kekerasan dinilai juga telah bergeser ke dalam ranah dunia pendidikan kita. Mereka tidak lagi mempertontonkan kesantunan dan kearifan dalam melakukan rivalitas di bidang keilmuan dan intelektual, tetapi bersaing memperlihatkan kepiawaian memainkan pentungan dan senjata tajam. Kaum remaja-pelajar kita, khususnya yang hidup di kota-kota besar, tidak lagi akrab dengan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, tetapi lebih suka menggauli kekerasan, pesta, dan seks bebas.
Dalam situasi seperti itu, bersastra menjadi penting dan bermakna untuk membangun pilar-pilar karakter bangsa ketika berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan gejala yang kurang kondusif dalam upaya menciptakan peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tugas kemanusiaan generasi masa depan negeri ini adalah menguatkan dan mengokohkan karakter bangsa. Salah satunya adalah dengan mengakrabi sastra.
Nah, selamat mengakrabi sastra, semoga kelak benar-benar menjadi generasi masa depan yang memiliki basis karakter dan kepribadian yang kuat! Salam budaya! ***
*) Disajikan dalam “Workshop Nasional Sastra Anak” sebagai rangkaian kegiatan Final Olimpiade Sastra Indonesia (OSI) Siswa SD di Surabaya, 11 November 2010.
**) Sawali, cerpenis dan guru SMP 2 Pegandon, Kendal, Jawa Tengah.
Bahasa Indonesia sebagai Media Pembebasan?
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (BI) sudah berusia delapan dekade. Jika dianalogikan dengan usia manusia, BI seharusnya sudah memasuki masa-masa kematangan dan kearifan hidup. Kenyang pengalaman dan sudah banyak merasakan pahit getirnya dinamika hidup. Namun, secara jujur mesti diakui, semakin bertambah usia, BI justru seperti anak-anak yang kehilangan orang tuanya. BI sering dibangga-banggakan sebagai bagian jati diri bangsa, tetapi sekaligus juga sering dinistakan dalam berbagai ranah komunikasi.
Yang lebih menyedihkan, bahasa dinilai sudah menjadi bagian dari sebuah entitas kekuasaan yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan, propaganda, atau tipu muslihat demi melanggengkan kekuasaan. Penggunaan ragam bahasa eufemisme, misalnya, jelas-jelas merupakan sebuah bentuk penghalusan terselubung untuk menutupi tindakan-tindakan kasar, vulgar, dan menindas. Rakyat kecil yang tertindas dan dikorbankan tak jarang dihibur dengan bahasa yang manis dan eufemistik, hingga akhirnya rakyat merasa tidak lagi tertindas, ternistakan, dan dikorbankan. Dalam konteks demikian, bahasa tak hanya sebatas digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah sosial, tetapi juga telah dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan media politik pencitraan untuk menggapai ambisi dan kepentingan tertentu sesuai dengan selera penggunanya. Kekuatan bahasa eufemistik memungkinkan fakta yang busuk dan sarat bopeng tampak menjadi lebih segar, santun, dan manis.
Bisa jadi, berlarut-larutnya masalah yang tak kunjung terselesaikan hingga memfosil menjadi akumulasi masalah yang multikompleks dan multidimensi di negeri ini merupakan dampak sebuah kebijakan kekuasaan yang abai terhadap perbaikan nasib rakyat. Melalui penggunaaan bahasa manipulatif, rakyat sekadar dihibur lewat jargon dan slogan-slogan eufemistik, hingga akhirnya masyarakat jadi kehilangan kontrol terhadap laju kekuasan yang amburadul dan “semau gue”. Dari sisi ini, agaknya pemakai bahasa kekuasaan telah kehilangan moralitasnya. Bahasa bukan lagi menjadi media untuk menyampaikan masalah secara jelas dan nyata, melainkan justru sengaja dikaburkan dan disamarkan hingga menimbulkan banyak tafsir. Semakin banyak tafsir, para elite penguasa semakin mudah mencari celah dalam melakukan pembelaan dan pembenaran terhadap kebijakan kekuasaan yang diluncurkannya.
Kebijakan Visioner
Bahasa memang bersifat arbitrer (manasuka) dan memiliki kekuataan personal yang tak mudah diganggu gugat oleh pihak lain. Namun, sesuai dengan hakikatnya sebagai media komunikasi publik, penggunaan bahasa tutur akan membawa dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Itulah sebabnya, kita sangat mengapresiasi kebijakan visioner para pendahulu negeri yang telah menetapkan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional. Pengakuan dan penetapan bahasa nasional ini jelas memiliki kekuatan yang mampu mengikat para penuturnya secara emosional, sehingga bahasa nasional bisa dimanfaatkan secara optimal di ranah publik berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati.
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia juga telah ditetapkan sebagai bahasa negara (resmi), bahkan telah ditinggikan derajatnya melalui momentum “Bulan Bahasa” yang jatuh setiap bulan Oktober. Melalui kebijakan politik bahasa semacam ini, setidaknya segenap memori anak bangsa tergugah dan teringatkan bahwa ternyata kita memiliki warisan kultural yang telah menyejarah dan benar-benar telah teruji keberadaannya sebagai media pengokoh kebhinekaan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia telah menjadi pengikat nilai persaudaraan sesama anak bangsa secara emosional dan afektif. Namun, kebijakan visioner tak selamanya berjalan mulus. Bahasa Indonesia yang seharusnya mampu dioptimalkan sebagai media pembebasan, justru telah terperangkap dalam kubangan hegemoni yang dengan amat leluasa dimodifikasi sebagai alat kekuasaan oleh para elite-nya.
Penyadaran Kolektif
Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi media pembebasan untuk mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Hal ini bisa terwujud apabila kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan penting dan krusial; bukan menggunakan bahasa kaum elite yang berbelit-belit dan cenderung menyesatkan publik.
Kita sungguh prihatin menyaksikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus didera berbagai masalah besar. Tak hanya deraan konlfik internal dan eksternal, tetapi juga tikaman bencana yang terus berdatangan secara bergelombang. Dalam situasi krusial seperti ini, sungguh disayangkan, bahasa Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembebasan dalam ikut menyelesaikan masalah-masalah yang datang menghadang. Bahasa rakyat dan bahasa kaum elite tak pernah berada dalam satu titik temu, hingga persoalan-persoalam besar itu gagal tertuntaskan.
Kini, setelah bahasa Indonesia berusia lebih dari delapan dasawarsa, perlu ada gerakan penyadaran secara kolektif untuk memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi publik yang mencerahkan dan membebaskan. Bahasa tidak dimanfaatkan lagi untuk memburu kepentingan kekuasaan, tetapi lebih dioptimalkan untuk membangun kemaslahatan bersama-sama rakyat, hingga akhirnya persoalan multikompleks dan multidimensi yang mendera negeri ini secara bertahap dan berkelanjutan bisa tertangani.
Dirgahayu Bahasa Negeriku! ***
READ MORE - Bahasa Indonesia sebagai Media Pembebasan?
Yang lebih menyedihkan, bahasa dinilai sudah menjadi bagian dari sebuah entitas kekuasaan yang dengan sengaja dimanfaatkan untuk melakukan politik pencitraan, propaganda, atau tipu muslihat demi melanggengkan kekuasaan. Penggunaan ragam bahasa eufemisme, misalnya, jelas-jelas merupakan sebuah bentuk penghalusan terselubung untuk menutupi tindakan-tindakan kasar, vulgar, dan menindas. Rakyat kecil yang tertindas dan dikorbankan tak jarang dihibur dengan bahasa yang manis dan eufemistik, hingga akhirnya rakyat merasa tidak lagi tertindas, ternistakan, dan dikorbankan. Dalam konteks demikian, bahasa tak hanya sebatas digunakan sebagai media komunikasi dalam ranah sosial, tetapi juga telah dimanfaatkan sebagai alat propaganda dan media politik pencitraan untuk menggapai ambisi dan kepentingan tertentu sesuai dengan selera penggunanya. Kekuatan bahasa eufemistik memungkinkan fakta yang busuk dan sarat bopeng tampak menjadi lebih segar, santun, dan manis.
Bisa jadi, berlarut-larutnya masalah yang tak kunjung terselesaikan hingga memfosil menjadi akumulasi masalah yang multikompleks dan multidimensi di negeri ini merupakan dampak sebuah kebijakan kekuasaan yang abai terhadap perbaikan nasib rakyat. Melalui penggunaaan bahasa manipulatif, rakyat sekadar dihibur lewat jargon dan slogan-slogan eufemistik, hingga akhirnya masyarakat jadi kehilangan kontrol terhadap laju kekuasan yang amburadul dan “semau gue”. Dari sisi ini, agaknya pemakai bahasa kekuasaan telah kehilangan moralitasnya. Bahasa bukan lagi menjadi media untuk menyampaikan masalah secara jelas dan nyata, melainkan justru sengaja dikaburkan dan disamarkan hingga menimbulkan banyak tafsir. Semakin banyak tafsir, para elite penguasa semakin mudah mencari celah dalam melakukan pembelaan dan pembenaran terhadap kebijakan kekuasaan yang diluncurkannya.
Kebijakan Visioner
Bahasa memang bersifat arbitrer (manasuka) dan memiliki kekuataan personal yang tak mudah diganggu gugat oleh pihak lain. Namun, sesuai dengan hakikatnya sebagai media komunikasi publik, penggunaan bahasa tutur akan membawa dampak sosial yang begitu luas dan kompleks. Itulah sebabnya, kita sangat mengapresiasi kebijakan visioner para pendahulu negeri yang telah menetapkan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa nasional. Pengakuan dan penetapan bahasa nasional ini jelas memiliki kekuatan yang mampu mengikat para penuturnya secara emosional, sehingga bahasa nasional bisa dimanfaatkan secara optimal di ranah publik berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disepakati.
Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia juga telah ditetapkan sebagai bahasa negara (resmi), bahkan telah ditinggikan derajatnya melalui momentum “Bulan Bahasa” yang jatuh setiap bulan Oktober. Melalui kebijakan politik bahasa semacam ini, setidaknya segenap memori anak bangsa tergugah dan teringatkan bahwa ternyata kita memiliki warisan kultural yang telah menyejarah dan benar-benar telah teruji keberadaannya sebagai media pengokoh kebhinekaan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia telah menjadi pengikat nilai persaudaraan sesama anak bangsa secara emosional dan afektif. Namun, kebijakan visioner tak selamanya berjalan mulus. Bahasa Indonesia yang seharusnya mampu dioptimalkan sebagai media pembebasan, justru telah terperangkap dalam kubangan hegemoni yang dengan amat leluasa dimodifikasi sebagai alat kekuasaan oleh para elite-nya.
Penyadaran Kolektif
Bahasa Indonesia sesungguhnya bisa menjadi media pembebasan untuk mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Hal ini bisa terwujud apabila kaum elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa rakyat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan penting dan krusial; bukan menggunakan bahasa kaum elite yang berbelit-belit dan cenderung menyesatkan publik.
Kita sungguh prihatin menyaksikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus didera berbagai masalah besar. Tak hanya deraan konlfik internal dan eksternal, tetapi juga tikaman bencana yang terus berdatangan secara bergelombang. Dalam situasi krusial seperti ini, sungguh disayangkan, bahasa Indonesia belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai media pembebasan dalam ikut menyelesaikan masalah-masalah yang datang menghadang. Bahasa rakyat dan bahasa kaum elite tak pernah berada dalam satu titik temu, hingga persoalan-persoalam besar itu gagal tertuntaskan.
Kini, setelah bahasa Indonesia berusia lebih dari delapan dasawarsa, perlu ada gerakan penyadaran secara kolektif untuk memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi publik yang mencerahkan dan membebaskan. Bahasa tidak dimanfaatkan lagi untuk memburu kepentingan kekuasaan, tetapi lebih dioptimalkan untuk membangun kemaslahatan bersama-sama rakyat, hingga akhirnya persoalan multikompleks dan multidimensi yang mendera negeri ini secara bertahap dan berkelanjutan bisa tertangani.
Dirgahayu Bahasa Negeriku! ***
SIHIR BAHASA INDONESIA
Oleh: Maman S. Mahayana
Bahasa Melayu –yang kemudian menjadi bahasa Indonesia— sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sesosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal selok-beloknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia berfungsi sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.
Bagi siapa pun yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti terjadi begitu saja, alamiah. Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes—fleksibel, egaliter, demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah, ia memancarkan sihirnya.
Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan, selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten, misionaris yang bergelandang ke pelosok Nusantara, membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Prancis bagi orang Belanda. “Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan.” Dikatakan A. Teeuw (1994), “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”
Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.
Pesona bahasa Melayu terlanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga keberbudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga-berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu, memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosa kata bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya, tak terelakkan menjadi ekspresi kultural. Begitu juga, penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres itu sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan. Maka, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah-olah tetap disimpan rapi dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
***
Usia bahasa Indonesia kini melewati 10 windu. Rentang usia yang bagi manusia tinggal menunggu malam, lantaran makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.
Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosa kata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif. Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosa kata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi bahasa secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.
Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek bahkan juga idiolek, muncul di mana-mana. Kosa katanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosa kata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warganegara sendiri. Kini, kosa kata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosa kata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia diekspresikan sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.
Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon Jawa dan perhitungan feng shui, kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), Cina (feng shui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separoh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia yang seenaknya menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
***
“Bahasa menunjukkan bangsa!” begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa Indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.
Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana, tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan dan peralatan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers? Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial. ***
READ MORE - SIHIR BAHASA INDONESIA
Bahasa Melayu –yang kemudian menjadi bahasa Indonesia— sudah sejak lama mengandung dan mengundang sihir. Ia menyimpan kekuatan magis. Siapa pun yang berhubungan intim dengannya, bakal terjerat pesona. Menggaulinya laksana menggerayangi sesosok tubuh yang penuh misteri. Semakin mengenal selok-beloknya, semakin ingin mengungkap daya pukaunya. Di situlah, bahasa Indonesia berfungsi sebagai saluran ekspresi. Ketika bahasa etnik mampat dan gagal menjadi alat komunikasi yang dapat dipahami etnik lain, ketika itulah bahasa Indonesia tampil sebagai pilihan.
Bagi siapa pun yang lahir dan dibesarkan dalam kultur etnik, bahasa Indonesia ibarat doa pengasihan yang mengerti hasrat kreatifnya. Ia membebaskan beban linguistik etnisitas, sekaligus juga membuka ruang penerimaan kultur dan bahasa lain, meski kemudian dipandang sebagai perilaku menyerap unsur asing atau daerah. Akulturasi seperti terjadi begitu saja, alamiah. Bahasa Indonesia menjelma produk budaya yang paling toleran, akomodatif, luwes—fleksibel, egaliter, demokratis, bahkan juga cenderung liberal. Itulah kekuatan magis bahasa Indonesia. Dari sanalah, ia memancarkan sihirnya.
Sejak kedatangan bangsa Portugis yang terpukau keindahan bahasa Melayu pada abad ke-14, tarik-menarik bahasa asing dan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan dan administrasi pemerintahan, selalu pemenangnya jatuh pada bahasa Melayu. Dalam Itinerario (1596), Linschoten, misionaris yang bergelandang ke pelosok Nusantara, membandingkan bahasa Melayu seperti bahasa Prancis bagi orang Belanda. “Pada akhir abad ke-16, bahasa Melayu telah demikian maju, sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan.” Dikatakan A. Teeuw (1994), “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”
Jauh sebelum itu, bahasa Melayu pernah begitu reputasional yang di Nusantara berhasil membangun peradaban lewat keagungan Hindu, Buddha, dan Islam. Jaringan diplomatik dengan pusat-pusat kebudayaan di India, Parsi, Tiongkok, dan negara-negara Eropa menempatkan bahasa Melayu begitu populis, sekaligus elitis. Berbagai prasasti, surat-surat emas, dan naskah-naskah berbahasa Melayu menunjukkan bukti-bukti itu.
Pesona bahasa Melayu terlanjur kokoh sebagai lingua franca dan alat masyarakat merepresentasikan keberaksaraan, bahkan juga keberbudayaannya. Maka, masuknya unsur bahasa etnik dan bahasa asing, bagi bahasa Melayu, seperti tabungan deposito yang berkembang bunga-berbunga. Bahasa-bahasa etnik di Nusantara dan bahasa asing itu, memberi sumbangan dan menambah kekayaan kosa kata bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia (28 Oktober 1928), meski awalnya berbau keputusan politik, dalam perkembangannya, tak terelakkan menjadi ekspresi kultural. Begitu juga, penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo (1938), menunjukkan kedua aspek itu: kepada pemerintah kolonial, kongres itu sebagai gerakan politik, dan kepada masyarakat non-Melayu di Nusantara, sebagai gerakan kebudayaan. Maka, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang terus menggelinding itu adalah gerakan kultural. Sejak itulah, secara arbitrer bahasa Indonesia menyihir segenap etnis memasuki wilayah kultur keindonesiaan. Keberagaman para pemakainya seolah-olah tetap disimpan rapi dalam kotak etnik, dan perasaan kebangsaan dimanifestasikan lewat ekspresi bahasa Indonesia.
***
Usia bahasa Indonesia kini melewati 10 windu. Rentang usia yang bagi manusia tinggal menunggu malam, lantaran makin ringkih digerogoti kerentaan, kepikunan, dan serangan berbagai penyakit tua. Tetapi bahasa (Indonesia) adalah produk kebudayaan. Ia tak bakal mengalami kerentaan itu. Ia akan terus hidup selama tetap digunakan pemakainya dan tidak kehilangan pendukungnya. Bahasa Indonesia bergerak dinamis mengikuti zaman dan selalu akan menyesuaikan diri sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.
Kini bahasa Indonesia makin deras disusupi kosa kata bahasa Inggris. Apakah itu berarti telah terjadi pencemaran? Jika dianggap polusi, apakah akan berakibat buruk bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri yang ekornya akan memudarkan sendi-sendi nasionalisme? Tentu saja tidak. Justru itulah manifestasi sihir bahasa Indonesia yang inklusif, terbuka, toleran, luwes, dan akomodatif. Jadi, sungguh tak senonoh jika ada pihak-pihak yang kelewat mencemaskan perjalanan hidup bahasa Indonesia, hanya lantaran rentetan kosa kata bahasa Inggris berloncatan di depan mata. Dalam konteks ini, menempatkan diri sebagai polisi bahasa secara berlebihan akan berakibat pada terjadinya serangkaian pemasungan kreatif.
Sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Inggris, dialek bahkan juga idiolek, muncul di mana-mana. Kosa katanya merembes dan nongkrong seenaknya di antara kosa kata bahasa-bahasa negara lain, seolah-olah ia sudah menjadi warganegara sendiri. Kini, kosa kata bahasa Inggris secara laten diambil, diterima, dan digunakan tanpa ada rasa rikuh. Masuknya kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, juga sudah terjadi sejak lama sejalan dengan penerimaan kosa kata bahasa asing lainnya. Maka, ketika ia diekspresikan sebagai bahasa Indonesia, seketika kita lupa pada asal-usulnya.
Perhatikan contoh kalimat ini: Menurut kalkulasi primbon Jawa dan perhitungan feng shui, kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dapat menerobos masuk ruangan. Semua kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis (komputer), Portugis (meja, jendela, kaca), Cina (feng shui), Arab (kursi), dan Sanskerta (tanpa, seyogianya). Jika masih tak yakin, cermati Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka di sana kita akan menjumpai lebih dari separoh entri dalam kamus itu berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Itulah sihir bahasa Indonesia yang seenaknya menerima serapan dari berbagai bahasa, dan kita enteng saja mengungkapkannya tanpa dihantui kecemasan, tanpa merasa tercemar.
***
“Bahasa menunjukkan bangsa!” begitulah inklusivisme bahasa Indonesia merupakan representasi sikap bangsanya yang inklusif. Munculnya fenomena bahasa Indonenglish dalam iklan dan ruang-ruang publik, menunjukkan sikap pemakainya yang gemar memamah apa pun yang berbau asing, sekaligus juga sebagai manifestasi selera dan orientasi budayanya yang setengah matang.
Munculnya fenomena itu, patutlah disikapi secara bijaksana, tanpa harus menempatkan diri sebagai polisi bahasa yang ke mana pun selalu membawa pentungan dan peralatan antihuru-hara. Bukankah bahasa yang berkembang di masyarakat (awam) berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam dunia pendidikan dan kehidupan pers? Jadi, biarkanlah semua berjalan sesuai kodratnya, sesuai dengan dinamika masyarakat dan aturan mainnya sendiri. Biarkanlah bahasa Indonesia tetap memancarkan sihirnya, meski sihir itu diterjemahkan secara berbeda oleh setiap kelas sosial. ***
Efisiensi Bahasa Gaya Jurnalistik
Ragam bahasa jurnalistik memang sering ditandai oleh efisiensi penggunaan tanda baca, diksi, dan kalimat. Akan tetapi, efisiensi itu tak jarang harus dibayar mahal, karena berbuntut kebingungan pada diri pembaca.
“Maunya irit koma, tapi yang terjadi justru orot (boro-Red) pikiran. Sebab, dengan penghilangan koma, pembaca malahan jadi kebingungan. Jadi, mana yang lebih mahal, harga sebuah titik atau kebingungan npembaca?” kata pakar linguistik, Dr. Sudaryanto, di depan guru-dosen bahasa dan redaktur Suara Merdeka.
Sudaryanto mengemukakan hal itu pada Dialog Bahasa dengan Guru-Dosen di kantor Redaksi Suara Merdeka, Jl. Kaligawe, Selasa (29/10/2002). Selain Sudaryanto, tampil sebagai pembicara guru SLTP 2 Pegandon, Drs. Sawali Tuhusetya dan redaktur bahasa Suara Merdeka Gunawan Budi Susanto, SS.
Dosen Universitas Widya Dharma Klaten itu juga mengemukakan, ragam bahasa jurnalistik mengandung kekuatan yang nggegirisi, menggentarkan, dan menggetarkan. “Kekuatan itu bisa muncul dalam aneka bentuk, pancamuka. Bisa bermuka raksasa ganas bila daya ledak tinggi yang ditonjolkan; bisa berwajah bengawan waskita bila kesejukan angin pegunungan yang disemilirkan; bisa bertampang pemabuk teler bila aroma minuman keras yang ditebarkan. Semua itu bergantung pada niat sang jurnalis yang memanfaatkan ragam jurnalistik, katanya.
Kepolosan Hati
Karena itu, menurut dia, bagi seorang jurnalis, alasnya adalah “kepolosan hati” dengan orientasi “terketahuinya persitiwa demi peristiwa kebenaran atau kenyataan yang tak terbantahkan.”
Senada dengan Sudaryanto, Sawali mengungkapkan, prinsip efisiensi berbahasa pada ragam jurnalistik tak jarang memunculkan gejala deviasi. “Sebenarnya sah-sah saja ragam bahasa jurnalistik mengekspresikan ide-ide dengan karakteristik itu. Akan tetapi, jangan terlalu banyak menabrak kaidah bahasa standar jika bahasa jurnalistik ingin memainkan misi pendidikan bahasa bagi masyarakat,” katanya.
Distansi yang terlalu jauh antara ragam bahasa jurnalistik dan ragam bahasa standar yang diajarkan di sekolah, kata Sawali, akan membingungkan para siswa. “Karena itu diperlukan kebijakan untuk memperpendek jarak tersebut,” katanya. ***
READ MORE - Efisiensi Bahasa Gaya Jurnalistik
“Maunya irit koma, tapi yang terjadi justru orot (boro-Red) pikiran. Sebab, dengan penghilangan koma, pembaca malahan jadi kebingungan. Jadi, mana yang lebih mahal, harga sebuah titik atau kebingungan npembaca?” kata pakar linguistik, Dr. Sudaryanto, di depan guru-dosen bahasa dan redaktur Suara Merdeka.
Sudaryanto mengemukakan hal itu pada Dialog Bahasa dengan Guru-Dosen di kantor Redaksi Suara Merdeka, Jl. Kaligawe, Selasa (29/10/2002). Selain Sudaryanto, tampil sebagai pembicara guru SLTP 2 Pegandon, Drs. Sawali Tuhusetya dan redaktur bahasa Suara Merdeka Gunawan Budi Susanto, SS.
Dosen Universitas Widya Dharma Klaten itu juga mengemukakan, ragam bahasa jurnalistik mengandung kekuatan yang nggegirisi, menggentarkan, dan menggetarkan. “Kekuatan itu bisa muncul dalam aneka bentuk, pancamuka. Bisa bermuka raksasa ganas bila daya ledak tinggi yang ditonjolkan; bisa berwajah bengawan waskita bila kesejukan angin pegunungan yang disemilirkan; bisa bertampang pemabuk teler bila aroma minuman keras yang ditebarkan. Semua itu bergantung pada niat sang jurnalis yang memanfaatkan ragam jurnalistik, katanya.
Kepolosan Hati
Karena itu, menurut dia, bagi seorang jurnalis, alasnya adalah “kepolosan hati” dengan orientasi “terketahuinya persitiwa demi peristiwa kebenaran atau kenyataan yang tak terbantahkan.”
Senada dengan Sudaryanto, Sawali mengungkapkan, prinsip efisiensi berbahasa pada ragam jurnalistik tak jarang memunculkan gejala deviasi. “Sebenarnya sah-sah saja ragam bahasa jurnalistik mengekspresikan ide-ide dengan karakteristik itu. Akan tetapi, jangan terlalu banyak menabrak kaidah bahasa standar jika bahasa jurnalistik ingin memainkan misi pendidikan bahasa bagi masyarakat,” katanya.
Distansi yang terlalu jauh antara ragam bahasa jurnalistik dan ragam bahasa standar yang diajarkan di sekolah, kata Sawali, akan membingungkan para siswa. “Karena itu diperlukan kebijakan untuk memperpendek jarak tersebut,” katanya. ***
Bahasa Indonesia di Tengah Pertarungan Globalisasi
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.
Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir.
Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.
Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia?masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi?
Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah “laku”. Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.
Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara.
Tiga Agenda
Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.
Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi “patron” dan anutan.
Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.
Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang moden, tetap tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya. ***
READ MORE - Bahasa Indonesia di Tengah Pertarungan Globalisasi
Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir.
Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.
Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia?masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi?
Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah “laku”. Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.
Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara.
Tiga Agenda
Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.
Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi “patron” dan anutan.
Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.
Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang moden, tetap tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya. ***