Sepasang Ular di Salib Ungu
Cerpen Triyanto TriwikromoDimuat di Kompas (04/12/2009)
Akhirnya setelah mencicipi sihir James Bond Martini di balkon The Coogee Bay Hotel yang disaput dingin dan asin angin, Margareth Wilson, yang kupastikan berjalan sambil tidur, membaca juga nubuat tentang perahu kencana dalam Kitab Ular Kembar yang kabur dan penuh bercak darah itu. Kubayangkan ia harus memaknai segala tanda, gambar, simbol-simbol, dan kadang-kadang menyelam ke lautan misteri huruf-huruf Latin yang distilasi menjadi semacam reptil-reptil kecil dari gurun yang purba dan jauh itu.
Nubuat itu, kau tahu, agak berbelit-belit, sehingga untuk memahami pesannya, siapa pun akan seperti seekor koala yang kesulitan mencari jalan keluar dari labirin busuk yang mengepung dan membelit. Meskipun demikian seperti seorang penafsir peta harta karun piawai, Margareth tak kesulitan sedikit pun menyusupkan wahyu semesta yang mungkin penting itu ke lorong-lorong otak.
Walaupun sudah tiga hari tiga malam aku menemani Margareth menyisir pantai, memandang bintang lama-lama, dan berteriak keras-keras menyemangati orang-orang yang sedang hanyut dalam lomba dayung perahu, tak sedikit pun aku tahu apa isi ramalan itu. Hanya secara tak terduga, saat memandang Bukit Coogee didera sinar bulan kuning keperakan, aku mendengar penari yang kucintai itu mendesiskan semacam ayat yang tak pernah kudengar di kitab-kitab suci mana pun.
Pada akhirnya perahu kencana itu menghunjam dari langit kelabu. Setelah amblas ke dasar laut tak jauh dari pantai, seorang penari cantik bakal menyelam mencari bangkai perahu itu dan menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti. Patung-patung itu kelak akan ditata oleh sang penari di sebuah bukit sehingga membuat Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai.
Pada saat mendesiskan kata-kata aneh di bawah kucuran air dari gagang shower, Margareth kadang-kadang meloncat-loncat seperti kanguru, kadang-kadang melenggak-lenggok bagai Medusa menari di ujung jalan, dan tak jarang berdiri tegak seperti patung gladiator sesaat sebelum berkelahi dengan singa kelaparan. Aku sebenarnya keberatan melihat tingkah sableng Margareth, tetapi cinta telah menyihir perempuan tangguh sepertiku cuma jadi kucing penurut. Aku bahkan tak bisa mencegah Margareth membuktikan betapa pada suatu malam nubuat tentang perahu kencana menjadi kenyataan.
”Dan akulah penari yang akan menemukan patung-patung itu, April. Aku bakal menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni.”
”Kau tak takut disambar ikan setan?” aku mendengus tak mampu menyembunyikan kepanikan.
”Tak akan ada binatang buas dari samudra paling ganas yang berani memangsaku, Sayang. Hanya binatang rakus sepertimu yang boleh melahapku. Bukan gurita sialan. Bukan hiu urakan.”
”Apakah aku boleh menemanimu menyelam?”
Margareth tak segera menjawab pertanyaanku. Ia justru memelukku dari belakang dan mendengus-dengus tak keruan. ”Kecuali Sang Utusan, tidak seorang pun boleh menyusup ke kabin suci, Sayang. Jadi, tunggulah aku di atas bukit agar kelak kau menjadi penyaksi pertama keajaiban semesta yang ditumpahkan dari langit sebagaimana Tuhan mencurahkan cahaya aneh pada kercik hujan.”
Tentu aku tak bisa memercayai semua ucapan Margareth yang kadang tertata seperti baris-baris puisi Octavio Paz itu. Margareth, sebagaimana aku, hanyalah penari murahan di teater-teater kecil yang tersebar di Sydney. Ia juga tidak ke gereja atau wihara sehingga kecil kemungkinan kelinci kecil indahku itu dipilih oleh Tuhan dari agama apa pun menjadi nabi atau sekadar orang suci untuk menyembuhkan dunia dari kegilaan dan kiamat yang menyedihkan.
Tetapi sekali lagi cinta telah menumpulkan otak sehingga aku terpaksa mendukung apa pun yang dilakukan Margareth. Dan malam itu dalam amuk harum Martini, aku sama sekali tidak bisa menolak ketika Margareth menyeretku ke atas Bukit Coogee. Tidak! Tidak! Mungkin dengan setengah terpejam, ia menyangka menggandengku dengan lembut sebagaimana Bapa Abraham membimbing putra terkasih ke gunung untuk disembelih. Mungkin ia malah membayangkan diri menjadi Musa yang menyeret rasa cinta untuk bertemu dengan Tuhan di Puncak Sinai.
”Dari bukit inilah kita akan melihat perahu kencana menghunjam dari langit, Sayang. Jangan sekali-kali kaupejamkan matamu. Jangan sekali-kali kau berpaling dari pemandangan menakjubkan itu.”
Kali ini aku tak memedulikan dengus dan desis Margareth. Saat itu, kau tahu, aku hanya takjub mengapa aku bisa mencintai perempuan bergaun hijau dalam dandanan model Kimora Lee Simmons yang dalam tidur sambil berjalan pun semenawan Ratu Cleopatra. Ketakjuban tanpa kesadaran itulah yang membuat aku tak peduli apakah saat itu bakal muncul perahu kencana atau sekadar desau angin busuk di perbukitan. Apa pun tak lebih penting daripada sihir kekasih yang sedang kasmaran bukan? Apa pun tak lebih berguna ketimbang memuja cinta yang sedang mekar seperti cahaya halilintar yang berpendar di samudra hambar bukan?
”April, tugasmu hanya satu, Sayang. Lindungilah aku dari polisi pantai yang sebenarnya sejak tadi menguntit kita. Lucifer, iblis paling galak, telah menyusup ke otak polisi sialan itu, sehingga membuat ia bisa lebih ganas dari teroris mana pun. Jika kau lengah atau sedetik saja terpejam, ia akan menembak jantungmu dan setelah itu lambungku. Ia akan menjadikan serpihan-serpihan daging kita yang tak berguna sebagai makanan hiu...,” desis Margareth di telingaku sambil memberikan pistol kecil bergagang hijau.
Tak kupedulikan setiap kata Margareth yang menjulur-julur dari lidah dan tertatih-tatih menyusup ke telingaku seperti lipan kepanasan itu. Aku justru membayangkan pada saat polisi mengejar Margareth terjun ke laut, aku akan melesatkan peluru-peluru panas ke tubuhnya. Dan karena udara terlalu dingin, mungkin darah tidak akan mengucur dari jantung yang berlubang. Mungkin tetesan darah itu akan mengkristal, melayang pelan-pelan bersama debu, dan akhirnya membentur air laut yang berdebur.
Kau tentu tak mendengar bunyi benturan itu. Tapi kau tak mungkin menampik keberadaan swara yang berbaur dengan gesekan sirip-sirip ikan dengan kelembutan air laut yang kian mengkristal dalam beku udara musim dingin itu.
Tetapi menunggu perahu kencana menghunjam dari langit tak bisa disetarakan dengan saat Estragon dan Vladimir menanti Godot dalam lakon Samuel Beckett. Godot, menurutku, masih memberikan harapan kepada kedua badut sinting yang menganggap waktu telah berhenti itu. Meskipun kedatangannya tertunda, Godot juga memberikan kepastian penyelamatan, sedangkan perahu kencana bukan tidak mungkin hanya berlayar di kepala Margareth.
Dan waktu tak berhenti di Pantai Coogee. Malam kian lingsir. Bayang-bayang gedung yang meruncing ke langit sedikit demi sedikit bergeser. Beberapa pasang kekasih mengakhiri ciuman panjang dan bergegas berjalan ke mobil atau pintu hotel. Semua yang bergerak dalam irama ritmis itu cukup membuktikan tak ada yang dibekukan oleh waktu bukan?
Justru karena semua bergerak—juga ingatan saat bersama Margareth tersuruk-suruk menatap dengan takjub bagaimana para serdadu menghajar Kristus dalam patung-patung kencana di Lourdes—aku jadi bosan menghadapi ketidakpastian yang menyiksa. Karena itu dengan bersungut-sungut aku berbisik pada Margareth, ”Tuhan tak akan pernah lagi memberikan keajaiban kepada manusia-manusia busuk seperti kita. Jadi, sudahlah, Sayang, mari kita kembali ke hotel. Kita reguk Martini yang tersisa. Kita percakapkan tentang sepasang tikus putih dan ular-ular hijau yang kita biarkan berkeliaran di kamar. Kita...”
Belum sempat merampungkan ajakan yang menggoda itu, mataku dihajar oleh cahaya kencana yang menyilaukan. Sial! Sesiluet perahu begitu cepat menghunjam ke ceruk mata dan tak kulihat apa pun kecuali bias segala benda yang kutatap sebelumnya.
Mataku telah buta? Tidak. Begitu bisa membebaskan diri dari pengaruh kilau sinar brengsek itu, aku segera mencari Margareth. Ia ternyata telah berada di bibir bukit dan bersiap terjun ke laut.
Kau tentu tahu apa yang bakal kulakukan. Kau tentu paham tidak mungkin aku membiarkan Margareth menyelam ke dasar laut sendirian. Membiarkan Margareth tenggelam sama saja aku seperti ribuan orang bodoh lain yang memperbolehkan Herodes membunuh setiap bayi laki-laki hanya karena keder terhadap keperkasaan Yesus. Membiarkan ia dimangsa hiu atau ikan setan urakan hanya akan membuat aku kehilangan kesempatan menyelamatkan manusia pilihan yang diberi kesempatan membuktikan keajaiban nubuat perahu kencana.
Dan sekadar kau tahu, dalam amuk Martini dan situasi antara terjaga dan tidur, kau tidak bisa terus-menerus menggunakan otak. Segala tindakan lebih digerakkan oleh insting dan semacam perintah halus yang menyusup ke kalbu. Karena itu ketimbang tetap menunggu di atas bukit dan berkemungkinan mendapat hajaran dari polisi pantai, aku lebih memilih menyusul Margareth. Aku memilih ikut terjun ke laut. Apa pun risikonya.
Baik Margareth maupun aku bukanlah perempuan-perempuan ikan yang bisa leluasa menyelam ke dasar laut. Tetapi dalam pandanganku yang samar, dalam penglihatan yang segalanya berubah menjadi ungu, Margareth tampak seperti ikan duyung yang telah bertahun-tahun mengenal setiap lekuk-liku laut. Ternyata bukan hanya Margareth yang bermetamorfosis. Kian dalam menyelam aku seperti berjalan di keriuhan pasar. Tak diperlukan semacam insang untuk menjadi makhluk laut.
Apakah kami benar-benar menemukan bangkai perahu? Apakah kami menemukan patung pria tersalib, lelaki terkulai di pangkuan perempuan tanpa dosa, dan iblis yang tertawa tak kunjung henti? Menyelam ke kabin tergelap, setelah sebelumnya melewati ruang mesin penuh ikan warna-warni, kami tidak menemukan patung-patung itu. Kami justru berhadapan dengan manusia berdarah dan berdaging. Memandang dari jarak tiga meter aku melihat Margareth berusaha mendekat ke arah pria tersalib yang sedang dililit sepasang ular. Kepala sepasang ular itu saling berebut hendak melahap pria menyerupai Kristus.
”Selamatkan Ia!” aku berteriak.
Margareth tidak menjawab. Ia malah mendekat ke arah perempuan yang senantiasa membopong pria bermahkota duri yang terkulai dan berusaha meminta mereka menjauhkan diri dari bangkai perahu.
”Selamatkan Ia!” aku berteriak lagi.
Margareth masih tidak menjawab. Bersama perempuan yang memancarkan aurora ungu, ia melesat ke arah permukaan laut. Ia meninggalkan aku justru pada saat mataku bertumbukan dengan mata sepasang ular yang kian kuat melilit tubuh pria tersalib.
”Jangan pedulikan aku. Inilah takdirku. Percayalah pada apa yang kaulihat dan segera bantulah Margareth menyelamatkan Ibuku....”
Tak kupedulikan suara teduh itu. Aku mencoba mendekat dan berusaha menghalau sepasang ular jahanam yang sangat ingin menelan bulat-bulat pria tersalib di tiang pancang besi itu.
”Pulanglah. Kau atau siapa pun tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan Ia pun akan membiarkan aku terkulai dan mati pada saat tak seorang pun paham mengapa seorang penjahat harus diadili mengapa seorang pahlawan harus mati.”
Sekali lagi tak kupedulikan suara teduh itu. Aku kian mendekat dan ingin segera membebaskan pria tersalib dari belitan ular-ular itu dengan berbagai cara. Ah, aku salah duga. Semula kusangka ular-ular itu akan beralih mangsa. Ternyata cukup menyabetkan sepasang ekor, mereka bisa melemparkan tubuhku ke permukaan laut. Tubuhku begitu cepat melesat menembus asin air dan akhirnya kembali berada di balkon hotel tanpa basah sedikit pun.
Edan! Bagaimana aku harus menjelaskan peristiwa ini? “Kau telah berjalan sambil tidur, Sayang. Kau telah berjalan mengelilingi bukit dan mengigau tentang Kristus dan penyelamatan. Hmm, jangan-jangan semua itu terjadi karena kau mengenakan kalung Kristus yang kubeli di Afrika Selatan?”
Tak kupersoalkan apakah Margareth atau aku yang berjalan sambil tidur. Sambil meremas pria tersalib dililit sepasang ular di kalungku dengan ketakjuban yang tak tertahankan, aku memandang ke arah Bukit Coogee. Aku jadi ingat nubuat yang dibaca Margareth berulang-ulang saat ia mandi saat ia diamuk wangi Martini. ”Apakah aku harus mengajakmu menyelam ke dasar laut lagi agar kau mau memercayai kisah yang tak pernah termaktub dalam segala kitab dan puisi ini, Margareth? Apakah aku harus terus-menerus mengajakmu tersesat ke labirin mimpi yang absurd dan ganjil lagi?”
Tak perlu Margareth menjawab pertanyaan itu. Toh pada akhirnya nanti di Bukit Coogee Perempuan Suci dari Negeri Suci menampakkan diri di hadapan orang-orang yang dicintai.***
Semarang, 13 Maret 2009
0 komentar:
Posting Komentar