Pemuja Durga

Cerpen S Prasetyo Utomo
Dimuat di Suara Merdeka (02/15/2009)

TIAP kali Danu melihat deras arus kali, ia ingin mencebur ke dalamnya. Ingin mandi di antara bebatuan sungai, bening air, dan lembut amis lumut batu. Setelah seharian berjalan meninggalkan rumah —istri, lima anak lelaki, dua menantu, dan tiga cucu— Danu memerlukan tempat yang nyaman untuk tinggal. Lelaki tua itu mencapai desa di lereng gunung, dengan sungai mengalir bening, dan sebagian orang masih memuja arca Durga berlumut ratusan tahun di pelataran home stay tempat ia menginap.

Lelah, Danu tak ingin berjalan lagi. Telah jauh ia meninggalkan kota tempat tinggalnya. Lagi pula, ia merasa tak terlacak lagi dari kota asalnya. Ditempatinya sebuah kamar yang disewakan untuk dihuni orang-orang kota yang ingin menyepi. Danu —ensiunan pejabat di kota— menemukan kesunyian, tanpa pertikaian, dengan pagi berkabut, dan gemericik sungai sepanjang hari.

Dilihatnya lelaki-lelaki penambang pasir, truk yang turun ke dasar kali, dan mobil patroli dengan lelaki-lelaki muda bersenapan. Alangkah aneh. Lelaki-lelaki bersenapan itu terlalu tangguh, di antara para penambang pasir yang berpunggung lengkung legam berkilat-kilat. Apakah maknanya? Bakal ada kerusuhan di antara penambang pasir dan orang-orang desa? Danu menggeleng. Berkali-kali. Dia tak pernah berpikir bakal bermunculan orang-orang desa dari celah batang pohon kelapa dan rimbun rumpun bambu yang senantiasa berderit diembus angin.

Teringatlah Danu akan leluhurnya —ayah, paman, dan kakek— yang mencangkul sawah ladang, serupa penambang pasir di dasar kali. Tapi kakek tak mengenal lelaki-lelaki muda bersenapan yang mengelilinginya, kecuali lenguh sekawanan kerbau para petani usai membajak sawah. Danu tak memiliki keinginan apa pun, pada saat ia menuruni tebing sungai, menyentuh dingin air, berkecipak di antara udang-udang kecil meluncur di betis, dan lembut pasir pada telapak kakinya. Masih terngiang di telinga, tajam suara istrinya, ‘’Pergilah! Aku lebih suka kau meninggalkan rumah, daripada selalu memaki anak-anak kita!’’

Cuah. Anak-anak yang menganggur. Makan. Minta uang. Berjudi. Mabuk. Bertengkar. Makan lagi. Kegaduhan yang terlalu bising. Kenapa dibela? Danu mengambil beberapa pakaian, dimasukkannya dalam tas, tanpa uang, menyeret sandal usang, dan berjalan. Berhenti bila letih. Berjalan lagi hingga sandal bututnya terkelupas. Ia baru sadar ketika pagi berkabut terasa dingin. Ia telah mencapai lereng gunung, di sebuah home stay milik penduduk setempat yang disewakan, dengan arca Durga di pelataran, ladang jeruk, dan bentangan arus sungai bening di lereng tebing.

Tercengang Danu saat bertemu gadis berkulit langsat, berkacamata, menegurnya, ‘’Selamat pagi, Bapak!’’ dengan keramahan yang tulus, membungkuk, dan meneruskan melukis para penambang pasir. Gadis itu memperkenalkan diri bernama Ratih, dengan murah senyum. Inilah yang mendorong Danu menuruni tebing, mendekati para penambang pasir —sesuatu yang tak pernah dilakukannya, sebelum ia pensiun.

***

‘’INI, ambil sekopmu!’’ seru mandor penambang pasir pada Danu, saat lelaki tua itu mendekat ke arah mereka. ‘’Tunggu apa lagi? Naikkan gundukan pasir itu ke bak truk!’’ Masih tercengang, tergagap, tak menduga apa yang bakal terjadi, Danu mengikuti perintah kasar mandor setengah baya. Belum pernah ia menaikkan pasir ke bak truk. Mula-mula tubuhnya masih kaku dan lemah. Lama-kelamaan ia menemukan tenaga, keringat, dan gairah yang belum pernah dialaminya selama ini: menjadi penambang pasir kali di lereng gunung. Saat lapar ia menerima nasi bungkus, yang dimakannya dengan lahap, rakus, dan kenikmatan tiap butir nasi. Menjelang senja, truk-truk meninggalkan dasar kali, menderu di jalan tanah berbatu, yang bergelombang, meneteskan air dari bak terbuka yang sarat muatan.

‘’Terimalah upahmu!’’ seru mandor, menjulurkan beberapa lembar uang.

Seorang lelaki muda bersenapan mendekat, ‘’Tinggalkan sebagaian uangmu padaku!’’

Danu berdiri berhadapan dengan lelaki muda bersenapan itu. Tepat memandang pada kedua matanya yang menyala. Lelaki muda mengayunkan gagang senapan. Menghantam kepala Danu. Prak! Lelaki tua itu terjerembab. Meleleh darah dari kepalanya. Genggaman uangnya terserak. Lelaki muda bersenapan mengambilnya sebagian ceceran uang itu.

Sama sekali Danu tak mengeluh. Tak mengaduh. Ia bangkit. Meraup kembali upahnya. Ratih berlarian menuruni tebing sungai. Memetiki daun-daun petai cina. Mengunyahnya. Menangkupkan pada luka di kepala Danu. Membersihkan dengan sapu tangan lelehan darah yang mengucur dari kepala lelaki renta itu.

Gadis pelukis itulah yang menuntun Danu kembali ke kamar home stay dengan tubuh bergetar. Membaringkan lelaki tua itu. Gugup menyeduh secangkir teh. Menghidangkan untuk lelaki tua itu, yang meminumnya dengan tegukan besar, dan tanpa rasa sungkan. Ratih menemani lelaki tua itu berbincang-bincang, dan tak saling membuka diri. Danu tetap menyembunyikan masa lalunya. Ia tak mau mengisahkannya pada gadis penolongnya, yang dengan sangat akrab merawatnya.

Sewaktu Ratih kembali melukis di kamarnya, malam itu Danu bangkit dari pembaringan. Duduk bersila di pelataran, di depan patung Durga, mendengar desau air mengalir, dalam bayang-bayang purnama.

***

DALAM sunyi purnama merapuh, di sisi patung Durga, Danu mendengar suara gamelan dan tembang sinden di desa yang jauh. Dalang melakonkan pergelaran wayang, saat Gendari meratap dalam pemujaan terhadap Batari Durga, ‘’Duh, Sang Batari, dalam kegelapan mataku yang kututup rapat, aku memujamu, berharap anak-anak yang banyak dan berkuasa!’’ Suara Gendari itu lenyap dihanyutkan angin pegunungan, dan Danu teringat perkelahian kelima anak lelakinya, yang saling berebut harta. Pertengkaran itu menikam hati Danu dari waktu ke waktu.

Tercium kembali aroma dupa, kembang setaman, dan mantra dukun di lereng-lereng gunung yang selalu dilacak Danu. Kadang ia mesti menabur beras kuning. Berkali-kali melempar telur ayam kampung yang telah dihembusi mantra, pada tengah malam, pada suatu tempat. Ia ingin bertahan menikmati jabatan, uang, dan kemewahan. Lelaki tua itu tersentak: inikah kebutaan hati dalam mata yang nyalang?

Angin membawa kembali suara ki dalang dari desa yang jauh, suara anak-anak Gendari yang tertawa terbahak-bahak. Kian nyeri kepala Danu, menusuk pada liang luka hantaman popor senapan, kian tajam, dan ia berteriak, ‘’Aaaaghhfff!’’ Terengah-engah. Sesak. Ratih berlari mendekap, menenangkannya. Meminta lelaki tua itu menjauh dari patung Durga, menuruni tebing, dan duduk bersila di atas lempengan batu.

‘’Dengarkan gemericik air, udang-udang yang memercik di permukaan sungai, dan capailah ketenangan,’’ pinta Ratih.

Lelaki tua itu mula-mula duduk bersila. Menarik napas. Merasakan degup dada dan detak nadi. Mendengar gemericik air sungai. Matanya terpejam. Mata hatinya berpendar. Ia mencari ketenteraman.

***

SEPASANG mata istri Danu berselaput kegelapan. Tak pernah jelas menatap sesuatu. Selalu muncul bayangan kelabu, bayangan yang mengaburkan pandangan. Dia datang ke dokter mata, dan terkejut, ketika mendengar, ‘’Ibu akan mengalami kebutaan.’’ Kecemasan melingkupinya serupa gerhana dan lolong serigala bagi jiwa. Bagaimana mungkin mengalami kebutaan saat suami diusirnya meninggalkan rumah, dan hidup bersama kelima anak lelaki yang senantiasa bertengkar, berebut harta.

Perempuan tua itu mulai merasakan kehilangan suami. Ia merasa serupa si buta tanpa tongkat kayu di tangan. Sebelum ia benar-benar menjadi buta, ditinggalkannya rumah. Ia tak tahu mesti ke mana melangkahkan kaki mencari suaminya. Tapi ia percaya, suatu saat ia akan menemukan lelaki itu. Ia berjalan kaki meninggalkan rumah, sama seperti yang dilakukan suaminya. Tak berpamitan pada salah satu anak, menantu, atau cucunya ñ yang berjubel di rumah besar itu dengan keisengan mereka sendiri-sendiri.

Meninggalkan rumah dengan perhiasan dan uang, istri Danu merasa tenteram. Ketika seseorang merampas hartanya pada senja perjalanan kakinya meninggalkan kota, ia benar-benar merasa hidup sendirian, terlunta-lunta, dalam dunia gelap. Tak ada lagi acara pesiar, arisan, pesta, belanja, dan canda tawa bersama teman-teman yang memamerkan perhiasan. Tapi perempuan itu tak mau menyerah. Ia paham, suaminya paling suka pergi ke tempat-tempat sunyi di lereng gunung. Mencari ketenteraman. Mencari gemericik air sungai dari gunung. Ia mengarahkan langkah kakinya ke lereng gunung, dan mencari tanda dengan debar dada —sebagaimana dulu semasa ia gadis berharap kehadiran Danu.

***

BERSELAPUT kabut tipis, pagi itu Ratih sehabis mandi keramas di sungai. Basah rambutnya, menetes-netes di bahu, mengaliri kain yang melilit hingga dada. Bibirnya membiru. Sedikit menggigil. Belum lagi datang para penambang pasir. Sungai masih sunyi, dan air mengalir terasa hangat. Kabut tipis yang menggetarkan gadis pelukis itu menggigilkan bahunya pelan. Ia terhenti di depan patung Durga. Melihat seorang perempuan tua, buta sepasang matanya, mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya pada kaki patung. Gusar. Gugup.

‘’Di mana suamiku? Aku merasa, dia tak jauh dari tempat ini!’’ perempuan buta itu tak lagi mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya. Ia mengguncang-guncang kaki arca Durga, seperti merontokkan buah-buah jambu hingga berjatuhan di pelataran. Kaki patung itu tak bergerak. Patung itu telah berabad-abad tak bergeser dari tempatnya, dan tak pernah sebuah tangan pun yang berani menggesernya.

‘’Oh, ini bisa dilukis! Alangkah menakjubkan!’’ bisik Ratih. Ia membungkuk, menenangkan bahu perempuan tua yang buta sepasang matanya —perempuan dalam kegelapan hati, amarah, dan pencarian. Perempuan yang menyadari akan kerapuhan tubuhnya. ‘’Mari, Bu, ke kamarku. Nanti kucarikan suami Ibu.’’

Tangan Ratih di bahu perempuan tua buta itu menenteramkan. Tak lagi gusar. Tak lagi mengguncang-guncang kaki arca Durga. Bangkit. Mengikuti langkah Ratih yang menuntun ke kamarnya. Membiarkan Ratih membersihkan tubuhnya. Menerima secangkir kopi hangat, yang ditenggaknya sampai ke remah-remah hitam: rasa pahit yang meregangkan ujung lidah.

Dibiarkan perempuan tua buta itu berkisah. Terus mengisahkan perjalanannya mencari suami yang telah diusirnya dari rumah. Sesekali terhenti. Sesekali meratap. Sering penuh harga diri. Terkesan congkak. Lama Ratih merenung, dan merasa pasti, perempuan tua buta ini istri Danu, lelaki penambang pasir yang dihantam popor senapan.

‘’Nanti kupertemukan dengan suami Ibu. Sekarang istirahatlah!’’ pinta Ratih, menenteramkan.

***

DENGAN kepala dibebat perban, Danu memanggul sekop, menuruni tanggul sungai, dan aneh, bergairah di antara para penambang pasir. Truk-truk sudah berdatangan, menderu, dan terbentang pintu, hingga bak terbuka. Gundukan-gundukan pasir diayunkan sekop ke bak truk. Danu menahan nyeri pada luka di kepala, tiap kali ayunan sekopnya. Ditahan. Ia memerlukan uang untuk membayar uang sewa kamar dan makan di home stay. Menolak uluran tangan Ratih.

Menjelang siang datang mobil patroli dengan lelaki-lelaki muda bersenapan. Danu sudah tak mau menggubris mereka. Dia terus mengayunkan sekop berisi gundukan pasir ke bak truk. Pinggangnya memang sesekali mengejang. Dadanya sesak. Ia memerlukan menghela nafas sejenak, mengalirkan tenaga baru. Kembali mengayunkan sekop berisi gundukan pasir. Gemericik air sungai yang bening seringkali menenteramkan hati lelaki tua yang gundah itu.

Lelaki tua itu terpana melihat istrinya dituntun Ratih, menuruni tebing sungai, sambil memegangi tongkat. Rasanya ia tak percaya, perempuan tua itu telah menjadi buta, tergagap-gagap dengan tongkat dan langkah kakinya kehilangan arah. Mencebur air sungai, dan lama tak mau melangkah lagi.

‘’Kamu tidak menipu, aku akan ketemu suamiku?’’

‘’Sebentar lagi Ibu akan bertemu suami. Ayo, Bu, terus saja melangkah. Jangan ragu.’’

Berhenti di hadapan Danu, perempuan tua buta itu tergagap, ragu, dan setengah memaki. ‘’Suamiku dulu seorang pejabat. Mana mungkin ia menjadi penambang pasir di sini?’’

‘’Cobalah Ibu raba tubuhnya!’’ pinta Ratih.

Mula-mula perempuan tua itu enggan meraba tubuh Danu. Ratih memaksa. Perempuan tua itu meraba wajah, kepala, bahu, dada, hingga lutut. Ia berhenti meraba ketika telapak tangannya merasakan butiran pasir melumuri kaki lelaki tua yang dirabainya. Ia menggeleng. Berpaling. Mengutuk.

‘’Bukan ini suamiku! Aku harus meneruskan perjalanan!’’

Bergegas perempuan tua itu meninggalkan sungai. Suara kecipak telapak kakinya memercikkan air ke mana-mana. Dia murka. Memaki-maki Ratih. Hampir memekik, perempuan tua buta itu memaksa meninggalkan kamar home stay. Dengan tongkat kayunya, ia meneruskan mencari suami yang diyakininya bukan lelaki tua yang baru saja dirabai tubuhnya. Ia merasa terhina, dipertemukan dengan lelaki tua penambang pasir di lereng gunung.

Kaki kanan perempuan tua buta itu terantuk arca Durga. Mengaduh. Terguling. Memaki. Mengumpat. Kembali diguncang-guncangnya kaki arca Durga, sambil meratap, ‘’Di mana suamiku? Di mana suamiku?’’

Berdiri dengan susah payah, perempuan tua buta itu meneruskan langkah kaki yang tak pernah dimengerti ke mana arahnya. Danu memandangi dari kejauhan, di tepi sungai, di antara penambang pasir. Ingin ia mencegah kepergian perempuan tua buta itu. Tapi ia seperti kehilangan seluruh tenaganya.

Ratih menahan diri. Ingin menolong perempuan tua buta itu. Tapi merasa tak perlu melakukannya.

***

SUDAH dikemasi seluruh lukisan. Demikian juga kopor pakaian. Malam ini Ratih mesti turun ke kota, kembali ke galerinya. Dua jam perjalanan menuruni lereng gunung bakal ditempuhnya dengan mobil sedan yang diparkirnya di samping home stay. Aroma buah-buah jeruk yang baru dipanen, tercium pekat, dan suara gemericik air sungai alangkah hening ke sanubarinya. Para penambang pasir telah meninggalkan sungai. Angin dari puncak gunung tak memudarkan hembusan asap putih di atasnya.

Tinggal berpamitan pada lelaki tua penambang pasir, yang kini duduk di sisi arca Durga. Ratih bimbang. Lelaki tua itu seperti menahan diri. Tak bicara apa pun. Dadanya tipis. Kepalanya diperban, dan masih merembeskan darah. Dalam keremangan senja, lelaki tua itu seperti patung kayu lapuk, yang menunggu sekali sentuhan, luruh.

Berdiri di sisi tubuh lelaki tua penambang pasir itu, Ratih tak berani membungkuk, menjabat tangannya, untuk berpamitan. Memang ia baru beberapa hari bertemu lelaki tua itu ñ seorang bekas pejabat, yang terlunta-lunta, terusir dari rumahnya. Tubuh Ratih kian tergetar. Diguncang kebimbangan. Menyesakkan dada: akankah sanggup meninggalkan lelaki tua itu dalam kegetiran sunyi lereng gunung ini? ***

Pandana Merdeka, April 2008

0 komentar:

Posting Komentar