Paman Darajat
Cerpen Adek AlwiDimuat di Suara Karya (01/23/2010)
Paman Darajat, adik bungsu ibu, suka melihat peta Indonesia. Kalau ia mudik usai Lebaran dan bermalam di rumah kami dengan istrinya, pasti dia buka-buka atlas yang ada di meja belajarku. Jika tak ia jumpai, akan dia tanya, "Eh, mana petamu?" Aku pun buru-buru mencari atlas di sela buku lalu kuserahkan padanya. Setelah dua-dua kali begitu, aku dapat ide. Selain yang ada di meja, aku bingkai peta Indonesia dan kugantung di dinding. Nah, saat paman datang lagi peta-peta itu dipandangnya lama-lama sambil tersenyum dan manggut-manggut bak guru ilmu bumiku di sekolah dasar. Padahal, jangankan guru, SD pun tak tamat pamanku itu.
Adik ibuku itu berjualan di Jakarta, Tanah Abang; sebelumnya di Senen dan Pasar Baru. Mula-mula, menurut ibu, pamanku itu berjualan di kaki lima lalu kemudian, berkat hemat, rajin dan ulet, dia mampu beli toko sehingga tidak lagi berpanas-panas di bawah matahari di tepi jalan, sambil bersorak dan berdendang menarik perhatian pembeli. Calon pembeli pun banyak datang ke tokonya, walau tentu tak semua diakhiri dengan transaksi. Tetapi menurut ibu, sejak itu keadaan paman jadi lebih baik. Bukan cuma urat lehernya tak lagi meliuk-besar bak cacing, kulitnya juga kembali terang-bersih. Tak kalah penting, dompet paman tambah padat-berisi.
"Hebat nianlah pamanmu itu. Mamacik dia sejak bertoko," kata ibu. Maksud beliau, banyak duit paman kami itu sejak punya toko.
Sayangnya, Paman Darajat tak punya anak. Padahal ibu serta saudara-saudaranya yang lain kembang-biak seperti kelinci, bertaburan di mana-mana; sejak Pulau Sumatera, Jawa, dan entah mana lagi. Hebatnya lagi (atau sayang?) paman tak sudi menambah istri. Jangankan dua apalagi tiga, satu saja tidak. "Tidak, Kak," katanya konon pada ibu, dulu, waktu aku masih kecil. "Biar Marni saja pasanganku selama hayat. Tak akan kuganti atau kuduakan dia. Toh ia tak mandul dan aku pun, kata dokter, sehat saja. Rahasia Tuhan-lah mengapa kami tak diberi-Nya anak." Ibu dan delapan saudaranya maklum, memupus niat mereka mencari istri tambahan untuk adik yang banyak duit tapi miskin turunan itu.
Tetapi, dipikir-pikir, malah keluargaku yang untung dengan tidak punya anaknya Paman Darajat. Sebagai janda dengan lima anak yang masih kecil, serta masih bersekolah waktu ayahku wafat, ibu jelas kepayahan menata hidup kami dengan uang pensiun ayah.
Maklumlah, pensiunan pegawai negeri masa dulu. Dan, meski ibuku punya penghasilan dari berjualan sayur di pasar, tapi sampai pucat pun tangan beliau menjual lobak, kangkung, bayam, kol, sawit dan entah sayur apa lagi, hasilnya tetap tak cukup menutupi kebutuhan.
Meskipun keadaan ibu begitu, saudara-saudaranya yang banyak dan bertaburan di mana-mana seperti tak peduli. Atau mungkin peduli, tapi mereka sendiri repot walau tak sesak napas seperti ibu. Atau, barangkali pula keadaan ibu telah mereka pikirkan, dengan keputusan, Paman Darajat yang tepat membantu ibu. Karena pamanku itu yang kemudian turun tangan membantu kami. Maka, seingatku tak lama benar ibu kepayahan walau masa yang tidak lama itu sempat menguruskan tubuh beliau, bikin pucat wajah, serta membuat mata ibu yang sebelumnya tampak indah jadi kuyu. Ibu juga sempat menginap di rumah sakit karena kurang tidur, letih, dan kurang makan.
Saat itulah Paman Darajat datang. Dia sesali kenapa ia tak lekas diberi tahu.
"Kita bersaudara, Kak. Sedarah!" ia bilang. Dan saat dia balik lagi ke Jakarta dua abangku yang saat itu sudah SMA dibawanya. Dua kakak perempuanku tidak diajak agar ada teman ibu di rumah. Kalau saatnya tiba, ada jodoh, kakak malah akan dikawinkan agar hidupnya tak payah pula nanti.
Aku tak dibawa, tentu karena masih kecil. Tak apa. Yang penting napas ibu tidak sesak lagi dan dua abangku disekolahkan Paman Darajat di Jakarta. Siapa tahu mereka kelak jadi orang, lantas giliranku mereka biayai sampai jadi dokter bagai harapan ibu.
"Karena itu jangan kau malas belajar!" kata ibu mengingatkan tidak sekali dua kali. Aku mengangguk patuh dan membulatkan tekad.
"Bayangkan," kata ibu lagi. "Siapa tak bangga kelak.
Anak pedagang sayur, yatim tidak berayah, menjadi dokter!" Mata ibu berkaca-kaca seolah aku sudah mengenakan jas putih seperti dokter yang memeriksa beliau di rumah sakit.
Semangatku tambah menjadi-jadi, menggetarkan badan. Juga ada rasa haru yang naik, menyekat di kerongkongan. Dalam hati aku berdoa agar abangku cepat usai kuliah, kerja, membiayai sekolahku sampai tinggi. Karena, menurut ibu, tak elok bila kami terus bergantung kepada Paman Darajat. "Sekalipun dia adik Ibu dan tak pernah keberatan, tapi tidak elok kita terus membebaninya. Sudah cukup pamanmu itu membantu. Itu saja sudah membuktikan hatinya mulia, derajatnya memang beda dari kebanyakan orang. Tepatlah almarhum kakek dan nenekmu memberinya nama Darajat," ujar ibu memuji adiknya itu.
Paman Darajat memang tak pernah berubah. Walau dua abangku kemudian sudah jadi orang, pejabat tinggi, membiayai sekolahku, paman masih meweseli ibu meski ia tak lagi sejaya dulu. Dari tiga tokonya, tersisa rumah makan kecil di ujung gang tempat dia tinggal, yang dia urus dengan istri dan anak yang dia angkat setelah abangku tidak tinggal di rumahnya. Usia tua rupanya membuat paman tidak campin lagi menyergap peluang. Malah, sekadar mempertahankan yang dimiliki pun tampaknya dia sudah payah.
"Kasihan pamanmu sekarang," kata ibu, ketika suatu hari kulihat beliau berlinang air mata menerima wesel dari adiknya itu. "Telah berkali-kali kularang masih dikiriminya aku duit. Padahal"
Tiap habis Lebaran Paman Darajat pun tetap mudik ke kampung, ziarah ke pusara kakek-nenekku, bersilaturahmi dengan sanak-famili. Setelah itu dia kunjungi kota tempat mukim kami bersama istrinya, menginap di rumah agak dua-tiga hari. Kemudian, sambil kembali ke Jakarta dia kunjungi saudara-saudaranya yang ada di kota-kota lain, sambil menyampaikan salam ibu; kakak sulung mereka yang sudah lisut tubuhnya dan putih tiap helai rambutnya yang tersisa. "Kalian beri maaf aku, pun Kak Niar," kata Paman Darajat. "Salam dari dia untuk kalian. Tak kuat lagi dia berjalan jauh, kian rapuh tubuhnya kini."
Habis Hari Raya kemarin juga demikian. Begitu datang, istri pamanku berpelukan dan bertangisan dengan ibu. Lalu ibu menangis memeluk Paman Darajat. "Tidak Darajat, tidak. Aku yang patut minta maaf kepadamu, Dik," kata ibu.
Paman Darajat membujuk dengan mengusap-usap bahu ibu. "Sudah. Sudahlah, Kak. Tidak baik kita berduka di hari bahagia begini," ujarnya. Aku, dua kakakku dengan suami dan anak-anak mereka, merasa terharu, meski adegan itu tidak sekali itu kami saksikan.
"Ha, tambah tinggi kau sekarang!" kata Paman Darajat sewaktu aku dapat giliran menyalami dia dan istrinya. "Tentu sudah tidak SMP lagi kau, ya?" Suaranya tetap besar-cerah, seperti dulu, tapi tubuhnya tidak lagi gagah. Makin kurus, juga kelihatan rapuh.
"SMU, Paman. Kelas satu," kataku bangga.
"Oh, bagus. Bagus!" Mata Paman Darajat berkilat-kilat gembira mengamatiku.
Malamnya, seperti biasa di tahun-tahun yang sudah, datang dia ke meja belajarku. Tapi aku pun telah menyiapkan atlas masa SD, juga seperti tahun-tahun yang sudah. Dan kuletakkan di meja. Betul saja. Usai bertanya ini-itu soal sekolahku Paman Darajat segera mengambil atlas itu. Dia bolak-balik beberapa kali, berhenti, lantas ditatapnya peta bumi Indonesia lama-lama. Matanya kemudian beralih ke peta yang kubingkai dan kugantung di dinding. Dia tatap pula peta itu lama-lama. Lalu, terakhir, Paman Darajat mengangguk-angguk bak guru ilmu bumiku di sekolah dasar sambil terus memandangi peta Indonesia.
Keesokan harinya ketika adegan itu berulang kembali, aku sudah tak tahan untuk tidak bertanya.
Sudah bertahun-tahun aku ingin bertanya, sejak pertama dia menunjukkan kesukaan melihat peta, tapi tak pernah kesampaian karena aku tidak memiliki keberanian. Meski ia ramah dan suka bertanya, tetapi waktu kecil ngeri juga aku melihat kulit Paman Darajat yang hitam, disertai jambang dan kumis yang lebat serupa ijuk. Kini, jambangnya sudah hilang, kumisnya putih seperti rambutnya yang menipis-jarang.
"Kenapa Paman senang melihat peta?" Tiba-tiba saja aku sudah bertanya. Ajaib. Suaraku bahkan terdengar tenang, santai saja.
"Ya?" Mata Paman Darajat beralih menatapku. "Oh, karena aku merasa seperti salah satu pulau-pulau ini." Dia tunjuk pulau-pulau kecil yang bertebaran di dalam peta: dekat Kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan pulau-pulau besar lainnya.
"Mengapa begitu, Paman?" Kali ini Paman Darajat tak menyahut. Ia senyum saja melihatku. Tapi saat ia akan meninggalkan meja belajarku ia berbalik, menatapku.
"Eh," katanya.
"Bila kau jadi orang nanti, orang besar seperti kedua abangmu, kira-kira bersedia tidak kau mendatangi pulau-pulau itu?"
"Ah, jangan pula setelah jadi orang, Paman. Kini pun bila aku punya duit, keliling aku mengunjungi semua pulau di Indonesia," balasku girang sambil tertawa-tawa.
"Tapi, kira-kira ada hotel berbintang tidak di pulau-pulau kecil itu, Paman?"
Bukan menjawab, Paman Darajat terkekeh-kekeh meninggalkan meja belajarku.
Saat dia kembali ke Jakarta sambil singgah di kota-kota lain, mendatangi saudara-saudaranya yang lain, peristiwa itu kuceritakan pada ibu.
Tak kuduga, wajah ibu tiba-tiba berubah. Tampak pucat, juga berduka. Mulanya aku kira ibu sedih karena kalau ada umur baru tahun muka pula ia bisa jumpa dengan adik bungsunya yang baik itu. Tapi kemudian terdengar ibu berucap, serak, seperti dilumuri tangis, "Abang-abang kau itu yang tak tahu diuntung. Bak kacang lupa kulitnya. Padahal..."
Ibu terus bicara, penuh semangat, serta benar-benar menangis. Di mataku terbayang dua abangku yang sudah jadi orang, pejabat tinggi, namun satu kali pun mereka tak lagi sempat menginjak rumah Paman Darajat.***
0 komentar:
Posting Komentar