Cahaya Hijau Membubung Langit
Cerpen S Prasetyo UtomoDimuat di Suara Merdeka (02/10/2008)
CAHAYA hijau, sebesar buah kelapa, terangkat dari padang ilalang. Mencapai puncak ketinggian pepohonan. Kembali turun, pelan, lembut, menerangi padang sunyi. Cahaya itu mengendap, lambat, terus turun, hingga lenyap pada padang ilalang. Kembali gelap. Kembali senyap. Lelaki tua itu -yang biasa dipanggil Mbah Karso- bangkit dari berendam air sendang. Tubuhnya basah. Air menetes-netes. Terheran-heran ia memandangi ketenteraman puncak malam atas padang ilalang.
Ia mesti kembali ke rumah, berhadapan dengan Ratri, istrinya. Dibayangkannya perempuan belia itu dingin dan penuh kebencian biIa tersentuh tangannya. Ia berjaIan kaki, pelan dan menggigil. Memandangi lembah senyap tempat cahaya hijau membubung, turun dan lenyap terhisap bumi. Ia berharap, cahaya hijau yang membubung ke langit menerangi juga kegelapan hatinya. Ia ingin Ratri tak Iagi menghindar darinya. Tak lagi menjauhinya dengan kebencian. Pada waktu menikah dulu, tak ada paksaan di antara mereka. Ratri sendiri yang memilih untuk menikah dengannya -duda tanpa anak. Tapi kenapa tubuh ranumnya tak mau tersentuh? Enam purnama sudah ia tak tersentuh semenjak pernikahan yang penuh gunjingan.
Tengah maIam, ketika Mbah Karso merasakan lembab angin di bawah rindang pepohonan, dan pijar bintang jatuh menggaris langit, ia merindukan hangat tubuh istrinya. Tiba di rumah, ia menghadapi istri yang membukakan pintu dengan tatapan mata dingin. Tak menegur, mengapa tengah maIam begini baru puIang dari berendam diri di sendang.
Ratri menyeduh kopi, kental, manis, harum. Diletakkan begitu saja di meja, tanpa kata-kata. Mbah Karso menghirupnya dengan bibir membiru menggigil. Meramu tembakau yang dipilinnya sendiri menjadi sebatang rokok. Sebelum menyalakan korek, ia cium dulu harum tembakau di ujung rokok. Saat ia menatap kuncup biru korek api, teringat lagi di tanah ladang sunyi: cahaya hijau membubung langit.
***
BERJALANLAH seorang pengembara setengah baya dari kota, pada rekah siang yang gersang. Menahan haus. Ia memerlukan air untuk membasahi kerongkongannya. Langkahnya menyuruk-nyuruk debu, pada padang iIaIang yang kering, yang menghamburkan bunga-bunga tipis keputihan, terserak-serak dipusar angin. LeIaki pengembara itu mencapai tepi sendang. Ia menemukan Ratri sedang mencuci. Menahan diri.
LeIaki pengembara itu segera dapat mengenali Ratri sebagai seorang istri yang kesepian, tak berpaut rasa dengan sang suami. Ratri tergagap tersentuh cahaya mata lelaki pengembara yang menembus jiwanya.
Pada saat pengembara itu mendekat, menuruni sendang, Ratri meloncat. Menjauh. Takut, sangat takut, terutama pada sepasang mata itu. Ia merasa sepasang mata itu menerobos jauh ke dasar lubuk hatinya. Hati yang gundah dan bimbang. Hati yang kering dan merasa bersaIah pada suami. Sang pengembara yang kehausan, kepanasan, menuruni jaIan setapak. Memasuki sendang. Menghirup air bening beberapa teguk. Mencelupkan kepalanya, membasuh rambut berdebu. Ratri menjauhi sendang. Terus berlari mencari sang suami. Lelaki tampan itu, daIam pikiran Ratri, sungguh kurang ajar dengan mata yang bercahaya dan menembus isi pikirannya. Mata itu menakutkan. Sang pengembara, yang melihat Ratri berlari, malah mengikutinya. Menguntit. Menyusuri jaIan setapak ke desa yang senyap. Desa yang hanya dihuni beberapa rumah, berpencaran, menghadap lembah. Menghampar sawah hingga sungai kecil bening di dasar pegunungan.
Di pelataran rumah, Ratri memeluk Mbah Karso. Tubuh perempuan belia itu bergetar. Terengah-engah. Dia peluk tubuh suaminya yang merapuh, erat, rapat, hangat. "Aku dikejar lelaki tampan. Ia memburuku."
"MasukIah. Biar dia kuhadapi."
Mbah Karso terdiam memandangi lelaki pengembara yang memasuki pelataran rumahnya. Ia tergagap. Aneh. Belum pernah ia tergetar begini berhadapan dengan seseorang. Ini bukan Iantaran ia berhadapan dengan orang asing. Tetapi sepasang mata lelaki pengembara itu memancarkan hal yang sama dengannya: keteduhan air telaga, diam dan dalam. Sepasang mata yang sejuk.
"Masuklah. Apa yang kaucari?"
"Aku lelaki yang gundah. Yang baru saja tersingkir dari kedudukanku. Aku sedang mencari ketenangan. Mengembara kemari. Mencari makam leluhurku. Beliau dikuburkan di perbukitan di balik desa ini. Beruntung aku bertemu denganmu. Mungkin kau bisa menunjukkan makam itu."
"Siapa leluhurmu itu?"
"Eyang Ngabehi Surodipati."
"Oh, semua orang tahu makam itu," suara Mbah Karso merendah, santun. "Dulu beliau meninggalkan keraton, menyepi di desa ini pada masa tuanya, sampai meninggal dunia. Makamnya sangat ramai dikunjungi orang. Mari, kuantar ke sana."
Mendaki jalan setapak di antara ilalang tumbuh mengering pada musim kemarau, Mbah Karso mengiring Iangkah lelaki pengembara itu. Aneh. Angin begitu semilir dan matahari tak menyengat mengiringi langkah lelaki pengembara itu. Kupu-kupu terbang mengitari bunga-bunga liar di sekitar makam. Burung-burung pun terbang di antara dahan dan ranting, di sekitar makam Eyang Ngabehi Surodipati.
LeIaki pengembara itu terdiam di sisi makam. Mata terpejam. Lama. Tak berbincang-bincang. Membiarkan angin yang Iamban. Matahari hilang sengatan ketajamannya. Ia membiarkan dirinya tak tersentuh apa pun: angin, daun-daun luruh, dan kupu-kupu yang mendadak memenuhi sekitar makam.
Ketika sepasang mata lelaki pengembara itu terbuka, terperanjatIah Mbah Karso. Sepasang mata itu seperti mata air yang mengalir, sesaat, dan menghanyutkan pikirannya. Ia tersentak. Ia merasa alur pikirannya teIah tercuri. LeIaki pengembara itu seperti menyusup daIam benaknya, memahami jaIan hidupnya. Tersenyum menebar makna.
Di pendapa rumah Mbah Karso, ketika mereka mencecap teh hangat pelan-pelan, tak bisa disembunyikan kegugupan lelaki tua itu berhadapan dengan sang pengembara dari kota. LeIaki pengembara itu tentu berasal dari kalangan orang berada. Tampak lebih banyak merenung dan tersenyum.
Ketika lelaki pengembara itu memandang Ratri, sekiIas, yang menyuguhkan minuman, sempat bergumam, "Kau akan memiliki anak dari istrimu."
"Oh, bagaimana mungkin? Ia tak tersentuh."
"Tidak lagi, setelah hari ini," tukas lelaki pengembara itu. "Ini karena kau sudah melihat cahaya hijau membubung ke langit semalam di tanah berumput sepulang dari sendang."
"Bagaimana kau tahu?"
LeIaki pengembara itu tersenyum. Tidak menampakkan kecongkakan. Tersenyum santun sekali. Ia mohon diri. Pelataran rumah Mbah Karso temaram. Matahari sore menyapukan angin pegunungan yang lembab.
"Biar aku teruskan perjalananku. Cukup kauantar sampai di sini."
Mbah Karso menghentikan langkah di bawah pohon nangka depan rumahnya. Ia memandangi punggung lelaki pengembara itu sampai menghiIang. Pada saat ia memasuki pendapa rumah, terperanjat, memergoki Ratri tengah meminum sisa teh dari cangkir lelaki pengembara, serupa perempuan kehausan.
***
KEMBALI Mbah Karso melihat cahaya hijau membubung ke langit, teduh dan memancar bening. Cahaya itu lenyap perlahan-lahan di atas padang ilalang kering. Kali ini ia melihat cahaya itu dari pelataran rumahnya. Ini bukan sebuah kesengajaan. Ia tengah menyendiri. MenyaIakan rokok, duduk di atas batu, daIam langit geIap dan angin mati. Ia sudah tak lagi berendam di sendang. Ratri tak memperkenankannya meninggalkan kamar pada malam hari.
Sepekan Mbah Karso tak lagi berendam di telaga itu. Tiap malam Ratri memintanya untuk ditemani tidur. Sungguh aneh, perempuan itu tak lagi takut
didekatinya. LeIaki pengembara itu teIah mengubah segalanya pada perilaku Ratri. Wajah Ratri senantiasa berseri-seri.
Pintu pendapa bergerit. Tersaruk suara langkah yang lembut di belakang punggung Mbah Karso. LeIaki itu tak menoleh. Ia sudah tahu, ini pasti langkah kaki Ratri. Perempuan belia itu suka menemaninya duduk di batu besar di pelataran rumah, memandang hamparan kehitaman lembah, padang ilalang, dan sendang di kejauhan. Tapi lelaki tua itu tak pernah berani cerita, ia pernah melihat cahaya hijau membubung ke langit. Cahaya hijau yang jernih, dan perIahan-Iahan turun terteIan padang ilalang.
"Kenapa lelaki pengembara itu tak lagi kemari?" tanya Ratri, penuh harap.
"Dia mencari makam leluhurnya. Dan kini sudah ketemu. Tentu tak akan lagi datang kemari."
Ratri memejamkan matanya. LeIaki pengembara itu begitu lekat dalam pelupuk matanya. Lelaki pengembara yang tampan itulah yang selalu dibayangkannya. Begitu pula saat ia bersama suami di kamar, dengan mata terpejam, dalam penyerahan, ia membayangkan lelaki pengembara.
"Leluhurku dulu menikah dengan Eyang Ngabehi Surodipati. Sebelum Eyang Ngabehi Surodipati meninggal, istrinya hamil muda. Anak perempuan inilah yang menurunkan leluhur kami. Tapi bagaimana menceritakan ini pada lelaki pengembara itu? Aku ingin mengisahkan cerita ini padanya bila ia datang kemari lagi."
Dada Mbah Karso terasa rekah. Dada itu mendadak sesak. Dia menahannya. Dia melonggarkan sesak dadanya dengan mengisap rokok, dengan pandangan ke ujung lembah, dengan embusan napas yang panjang dan daIam. Ingatan akan cahaya hijau di padang ilalang itu meneduhkannya. Tapi mendadak ia tersentak. Cahaya hijau itu memberi pertanda padanya, sang pengembara akan mendatangi makam leluhurnya.
***
MENJELANG petang datang sang pengembara. Mbah Karso sudah menduga kedatangan lelaki setengah baya dari kota itu. Mendadak ia gugup. Tapi ia tak berani menunjukkan perasaan tak senang, lantaran ia merasa, istrinya diam-diam memuja lelaki pengembara. Ia tetap meminta istrinya untuk menyuguhkan secangkir teh hangat, yang dicecap pelan-pelan. Dan menerima lelaki pengembara itu sebagai anugerah dalam rumahnya.
"Aku akan mengambil pusaka Eyang yang masih tertinggal di desa ini," kata pengembara itu. "Ada sebilah keris yang masih tertinggal, dan menjelma cahaya hijau di tengah padang ilalang pada maIam hari. Itulah yang kaulihat saat berendam di sendang."
Tergagap, Mbah Karso memandangi lelaki pengembara. Tapi segera luruh. Ia tak punya kekuatan untuk menatap mata jernih itu -lebih daIam dan menghanyutkan. Ia merasakan dinding tak tampak yang membatasinya dengan lelaki pengembara itu. Dinding yang menyebabkannya gagu, menaruh rasa hormat, dan sungkan.
"Selepas senja, aku akan mengambil pusaka itu," pelan, kata sang pengembara. Dan menjelang geIap langit, lelaki pengembara itu berpamitan. Kali ini Mbah Karso seperti kehiIangan sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupannya. Ia kehilangan sesuatu yang rasanya tak akan kembali.
Mbah Karso melihat istrinya yang gelisah. Perempan itu tergagap mendekatinya, "Aku mohon pamit. Akan kususul lelaki pengembara itu. Aku akan mengikutinya.
Leluhurku dulu merawat Eyang Ngabehi Surodipati. Tak tega aku membiarkannya hidup sebagai pengembara seperti ini. Aku mesti mengikutinya."
"Apa untungnya kau mengikutinya?"
"Ini bukan soal untung bagi kehidupanku: Ini soal kesetiaan."
Dalam gelap maIam, Mbah Karso melihat istrinya meninggalkan pendapa, menapaki pelataran, dan terus turun ke jalan setapak, menuju jaIan berumput. Perempuan itu menapaki jalan berumput, melacak lelaki pengembara itu. Ia tak ingin lagi berpura-pura meladeni Mbah Karso. Ia ingin membebaskan diri dari kepura-puraan itu. Memang pedih. Nyeri. Tapi beginiIah caranya membebaskan keterkungkungan. Ia mesti meIakukan pencarian. Tiap ayun langkah kaki perempuan muda itu memacu desir dadanya. Kian lama desir dada itu kian menyentak. Ia tak mau lagi menoleh surut ke rumah berpendapa, pelataran luas, dan batu besar tempat ia termangu bersama suami berumur tua. Tercium begitu pekat bau harum tubuh lelaki pengembara itu, yang tak bisa dilupakannya. Meski angin tak meniup, ia dapat menelusuri harum tubuh lelaki pengembara itu.
Duduk di batu besar pelataran rumahnya, Mbah Karso masih terkesan perkataan lelaki pengembara, "Kau akan memiliki anak dari istrimu." ***
Pandana Merdeka, Oktober 2007
0 komentar:
Posting Komentar