Guru sebagai Hamba Kemanusiaan?
Sejarah kita telah mencatat, guru senantiasa tampil di garda depan dalam membebaskan generasi bangsanya dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan keterasingan peradaban. Lewat entitas pengabdian yang tulus, tanpa pamrih, total, dan intens, guru telah banyak melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, terampil, sekaligus bermoral. Tak dapat disangkal lagi, jasa guru dalam mewarnai dinamika peradaban dari zaman ke zaman benar-benar teruji oleh sejarah.Dulu, ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk padepokan atau pertapaan, seorang guru alias resi menjadi figur sentral, otonom, dan bebas menuangkan kreativitasnya dalam menggembleng para cantrik. Resi pada zamannya dinilai menjadi sosok yang benar-benar mumpuni, pinunjul, dan kaya ilmu, sehingga menjadi figur yang dihormati dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi dianggap sebagai “sabda” tak terbantahkan. Perilaku dan kepribadiannya menjadi cermin dan referensi bagi para cantriknya. Tak berlebihan kalau padepokan menjadi sebuah institusi yang kredibel dan begitu tinggi citranya di mata masyarakat.
Resi alias guru, sejatinya adalah hamba kemanusiaan. Mereka menjadi pelayan, abdi pendidikan. Mereka menjadi agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran sehingga mampu membuka mata dan nurani terhadap kesejatian diri, harga diri, harkat, dan martabat bangsanya.
Sebagai hamba kemanusiaan, dengan sendirinya guru sangat akrab dengan kehidupan anak-anak bangsa yang masih butuh sentuhan kearifan, kejujuran, kesabaran, dan ketulusan nurani. Karena tugasnya bersentuhan langsung dengan kehidupan sebuah generasi, guru tak hanya dituntut menguasai materi ajar, tetapi juga diharapkan terampil menyajikannya kepada siswa didik secara menarik sekaligus menyenangkan. Selain itu, guru juga dituntut memiliki integritas kepribadian yang baik sehingga tak gampang tergoda melakukan tindakan tercela yang akan meruntuhkan citra dan kredibilitasnya. Hal ini sangat beralasan, sebab tugas guru tak hanya sebagai pentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur baku kepada siswa didiknya.
Pergeseran Nilai
Seiring derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan, beban yang mesti dipikul guru jelas semakin berat. Modernisasi yang membawa imbas terjadinya pergeseran tata nilai menjadi persoalan krusial bagi guru. Guru mesti dihadapkan pada persoalan serius ketika nilai-nilai kemanusiaan mulai dimarginalkan, nilai-nilai moral dan agama semakin terbonsai, nilai kesalehan hidup (baik individu maupun sosial) makin terabaikan.
Dalam pandangan Erich Fromm, era modernisasi yang mengibarkan bendera peradaban teknologi, bukan perjuangan manusia mencapai kebebasan dan kebahagiaan, melainkan merupakan masa di mana manusia telah terhenti menjadi manusia. Manusia telah berubah menjadi mesin yang tidak berpikir dan berperasaan sehingga gampang kehilangan kontrol terhadap sistem yang telah dibangun bersama. Meminjam bahasa Max Weber, masyarakat tak ubahnya seperti ”kandang besi” yang memasung dan membelenggu kehidupan manusia modern.
Iklim dan atmosfer kehidupan modern semacam itu, disadari atau tidak, juga memiliki andil yang cukup besar terhadap munculnya generasi ”robot” yang kehilangan kepekaan etika, estetika, dan religi. Mereka telah menjadi generasi instan yang kehilangan apresiasi terhadap nilai kejujuran, kesabaran, dan ketelatenan. Untuk mencapai harapan dan keinginan, mereka tak segan-segan mencari jalan pintas dan suka menerabas.
Yang lebih mencemaskan, para pelajar masa kini dinilai juga mulai kehilangan sikap hormat dan respek terhadap gurunya. Hubungan guru dan murid telah kehilangan kedalaman komunikasi yang intens dan harmonis. Akibatnya, guru seringkali tak berdaya dalam menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif; efektif, menarik, dan menyenangkan.
Dalam kondisi demikian, diperlukan sinergi antara guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan elemen pendidikan yang lain Di tengah situasi peradaban yang makin rumit dan kompleks, stakeholder pendidikan perlu memiliki kesamaan visi dalam upaya membebaskan generasi masa depan negeri ini dari belenggu peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai luhur baku. Orang tua perlu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman nilai moral, budaya, dan agama. Kesibukan memburu gebyar materi jangan sampai menjadi penghalang untuk dekat dengan anak-anak. Demikian juga halnya dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka perlu mengembalikan fungsinya sebagai kekuatan kontrol terhadap berbagai perilaku menyimpang yang rentan dilakukan oleh anak-anak.
Sebagai hamba kemanusiaan, guru juga perlu mengembalikan ”khittah”-nya sebagai sosok yang benar-benar bisa ”digugu dan ditiru” sehingga tetap sanggup menjalankan perannya sebagai agen kebudayaan yang memberikan ruang penyadaran terhadap nilai-nilai kesejatian diri. ***
21 Juli 2009 pukul 04.02
Lha iki aku sing bingung...
Hamba Kemanusiaan.
Sakjane "kemanusiaan" kuwi sopo pak?
Kuwi makhluk hidup opo kata sifat opo jenis opo?.
Hamba Tuhan, Hamba Uang, Hamba Setan jelas genah.
Lha nek Hamba Kemanusiaan kuwi opo?.
Opo sejenis Kedung Hamba Purwodadi kuwi?
.-= marsudiyanto´s last blog ..Inguk² bin Melongok =-.
22 Juli 2009 pukul 09.26
Pergeseran nilai ini dari 3 sisi saya memandangnya, yaitu cara pandang masyarakat terhadap materi dan ilmu, sikap pemerintah terhadap dunia pendidikan, moralitas guru tergerus.
Kecenderungan semakin jelas bahwa kita mengejar nilai anak, guru kurang konsentrasi terhadap kualitas pendidikan namun sebatas hasil ..... Maaf jika pendapat saya keliru
26 Juli 2009 pukul 09.12
kalau dijawakan mungkin jadi kamanungsan, pak mar. dari sisi bahasa sungguh beda maknanya dengan kesetanan, heiks.
26 Juli 2009 pukul 09.13
saya kira ada benarnya juga, mas putut. jumlah guru di negeri ini memang snagat besar, sekitar 2,7 juta. bukan hal yang mudah untuk membangun karakter dan kometensi guru secara utuh dan komprehensif.