Kamar Mandi
Cerpen Yetti A KADimuat di Jurnal Nasional (04/19/2009)
Saya rebahkan badan di lantai kamar mandi, telentang menghadap pagu. Rambut saya terserak di lantai, mirip tumpukan kain pel. Saya rentangkan kedua lengan, membentuk garis horizontal, lalu dua kaki saya merapat, jadilah saya sebuah pesawat terbang mainan. Benda belaka. Tentu enak menjadi benda, ia tidak punya emosi. Ia mati. Namun saya benda yang tidak mati. Saya terlihat memprihatinkan, bukan? Saya...ah, entah. Saya kurang yakin apa motif saya. Yang saya tahu saya sedang kesal padanya dan saya lepas kendali.
Sejujurnya, saya berada di kamar mandi ini saja, sudah membuat saya ragu, apa memang sudah seharusnya saya berlari ke kamar mandi seakan ada yang memporandakan kehidupan saya, padahal yang terjadi tadi cuma soal remeh temeh, dan selama ini saya tidak terganggu sedemikian rupa, apalagi sampai membanting pintu segala seraya merutuk, “Brengsek!”, kecuali beberapa kali, dapat dihitung dengan jari, ketika saya sedang hamil besar, dan itu dapat saja dipahami sebagai luapan dari kondisi psikis yang sedikit terguncang karena saya yang senang jalan-jalan keluar kota menjadi tidak bisa ke mana-mana selain olah raga pagi dan mengikuti kelas prenatal di sebuah sanggar, berjarak seratus meter dari rumah. Kali itupun selalu kami akhiri dengan sangat romantis. Saya ingat betul, dia menggedor-gedor pintu kamar mandi dan memanggil nama saya berkali-kali. Ia cemaskan keadaan saya (atau bayi kami?). Selang beberapa waktu, saya pun membukakan pintu, dan ia langsung merenggut tubuh saya yang sudah basah, ia peluk saya erat sekali, dan berkata, “Sayangku, Sayangku.” Saya tidak kuasa menahan gejolak perasaan dari kejadian yang amat dramatis itu. Tubuh saya berdenyut-denyut. Saya mau pingsan, rasanya. Di kedua lengannya saya menumpangkan kehidupan saya saat itu. Saya percaya ia pasti menjaga saya, sebagaimana ia meyakinkan saya bahwa ia tidak pernah bisa melihat saya terluka.
Tempat saya sekarang ini, kamar mandi yang sama, tanpa ada yang berubah. Bahkan aroma sabun yang menguar dari kotak itu masih sama. Juga sabun cuci atau pembersih porselen. Semua bercampur, bau khas kamar mandi, segar. Karena itu saya suka tempat ini. Terlebih bila saya marah atau tersinggung atau kecewa. Bau itu membantu perasaan saya sedikit lebih tenang. Semacam aromaterapi yang mengendurkan pikiran. Kemudian yang saya harapkan tentu saja dia akan memanggil nama saya, berkali-kali, menunjukkan tingkat kecemasan di titik tertentu, sampai ia membukakan pintu, dan kami kembali mengulangi drama sepasang kekasih yang mengharukan. Kami berbaikan, lagi-lagi membuat janji sederhana bahwa kami akan saling menjaga, saling memberi tempat sebesar-besarnya satu sama lain supaya kami merasa tidak tersisih di antara sekian kesibukan. Terutama akhir pekan. Kami sepakat melewatinya tanpa diganggu urusan kerja sama sekali. Bahkan kami mematikan HP di hari libur itu. Berjaga-jaga dari gangguan tidak terduga.
Tapi kini ia belum juga mengetuk pintu dan memanggil nama saya, padahal saya masih yakin ia mencintai saya. Keyakinan yang sama persis saat kami kencan dan mulai membincangkan harapan-harapan ke depan, termasuk ingin punya tujuh anak dalam lima belas tahun perkawinan, lelaki semua. Tujuh anak lelaki. Bayangkan betapa penuhnya rumah kami. Mereka berlari kian kemari. Membuat berantakan ruang tamu dan memecahkan keramik kesayangan saya. Saya tidak peduli tentang keramik itu. Terserah mau pecah semua. Saya mau mereka menganggap rumah sebagai tempat bermain yang menyenangkan, bebas dari aturan-aturan yang membatasi ekspresi mereka.
“Kamu mencengangkan,” dia berkomentar.
“Karena aku sudah membayangkan jadi seorang ibu,” balas saya saat itu.
“Hanya itu?” kejarnya.
“Karena aku dicintai dan itu membuatku bisa berpikir berbeda,” tambah saya.
Dan mungkinkah ia berubah saat kami baru punya satu anak lelaki, dan saya tidak menyadarinya sama sekali. Ada perempuan lain? Gadis muda?
Jika sekadar itu saya dapat saja memaklumi. Kakek saya pernah selingkuh dengan tetangga yang hanya berjarak tiga rumah. Ayah saya juga pernah memajang foto perempuan lain di meja kerjanya, perempun yang tidak lebih cantik dari ibu tapi dapat membuat ayah menyingkirkan ibu beberapa waktu lamanya. Paman saya membawa lari seorang janda seksi beranak satu selama sebulan lebih. Di balik kejadian itu, nenek saya mampu bertahan dari gunjingan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga kakek yang menyalahkan nenek karena tidak pandai menjaga suami. Ibu saya, awalnya memang sering menangis, bermalam-malam, terpuruk, merasa tidak berharga, sangat marah karena merasa ia mendapat karma dari kesalahan seorang ayah, setelah itu ia biasa-biasa saja, malah bisa bangkit dari keadaan buruk itu. Bibi saya masih membukakan pintu ketika paman kembali padanya membawa lima kotak dodol garut dan setoples gula-gula, kebiasaan dalam keluarga besar kami bila seseorang baru pulang dari bepergian jauh, biasanya dari Jawa, tanpa permintaan maaf atau setidaknya menunjukkan rasa malu.
Benarkah ada perempuan lain dalam rumah saya. Uhh! Apa matanya sebagus mata kelinci. Sungguh manis. Sungguh lucu. Perempuan itu mungkin pernah datang ke rumah ketika saya sedang bermalam di rumah orang tua saya. Dia memakai kamar mandi saya, mencuci rambutnya yang ikal (saya tahu suami saya selalu suka perempuan berambut ikal). Bisa jadi ia juga menghabiskan shampo dan sabun mandi saya. Menggunakan gunting saya untuk memotong poni atau ujung rambutnya yang mulai bercabang. Memakai gunting kuku saya untuk membersihkan kuku kakinya. Atau juga memakai pisau cukur saya untuk merapikan alisnya. Lalu ia bercermin dan berdandan di depan lemari rias saya. Suami saya dan perempuan itu saling menatap lewat cermin. Suami saya memeluknya dari belakang dan mereka cekikikan sepanjang hari. Tawa mereka lalu merambat ke dinding-dinding yang dingin. Berhari-hari, sebelum menguap, menjadi bagian dari udara yang saya hirup ketika saya kembali ke rumah, masuk ke paru-paru saya, menggerogoti hidup saya, pelan-pelan.
Kurang ajar! Saya jengah memikirkan itu. Bukan karena cemburu, tapi sangat menyebalkan jika membayangkan seseorang lain, perempuan pula, memakai kamar mandi pribadi saya, sebab di sanalah satu-satunya tempat yang saya yakini bebas dari campur tangan orang lain, di mana seringkali saya bertanya tentang diri, tentang begitu banyak keinginan yang ingin saya raih di waktu yang akan datang atau sesekali tempat saya membayangkan sejumlah mantan pacar yang bahkan masih bisa saya rasakan napas mereka yang hangat di balik telinga. Saya menuntut pada bayangan mantan pacar itu untuk terus membiarkan saya berada dalam hidupnya. Saya tidak mau buru-buru disingkirkan atau dibuang lewat jendela pada tengah malam gulita disertai kata-kata melankolis, “Tolong, pergilah dari hidup saya!” Saya ingin di hati mereka. Selama mungkin. Dan saya merasa tidak berbuat jahat karena itu.
“Saya tidak bisa melakukan itu,” kata suami saya suatu pagi sambil mengunyah sekeping biskuit rasa kacang. Ia kurang bersemangat mendengar cerita soal mantan pacar saya. Wajah bulatnya sedikit merah dan terkesan lebih kencang, seperti menahan marah.
Saya tertawa nakal, “Kamu cemburu?”
Ia melotot sejenak, mengangkat bahu sambil memasukkan lagi satu gigitan biskuit ke mulutnya.
Tentu ia tidak terlalu berminat atas apa yang saya lakukan dalam cerita saya itu. Setidaknya bagi dia atau kebanyakan lelaki lebih baik mengajak kencan perempuan yang baru dikenalnya di taman saat lari pagi ketimbang mengingat-ingat sejumlah mantan pacar menjelang tidur malam. Saya berani bertaruh tentang itu.
Suami saya menyeringai. Sedikit menakutkan. Lalu ia berujar, Aku cinta padamu. Ungkapan yang terdengar posesif. Saya bilang, Kau kurang tulus kali ini. Aku rindu kau yang dulu.
Ia tercengang. Sejenak kami sama-sama kikuk. Ia menggigit lagi biskuit kegemarannya. Terdengar napasnya agak kacau. Dia meninggalkan saya. Katanya, ia ada urusan dengan teman. Kenapa mendadak, saya mencecarnya. Kau menyebalkan pagi ini, akhirnya ia mau terbuka. Saya balas, Kau juga sudah berubah. Kau sekarang bukan lagi lelaki humoris dan hangat. Dia berteriak, Terserah. Saya balas berteriak, Dasar penipu. Dia menutup pintu pagar keras-keras. Saya berlari ke kamar mandi. Beberapa menit lamanya. Setelah itu ia kembali. Mengeluarkan saya dan mengaku salah karena bersikap tidak menyenangkan pagi itu. Saya memberinya kesempatan. Kami tertawa. Melanjutkan sarapan yang sempat terganggu.
Benarkah kini kami telah begitu jauh meninggalkan diri kami yang dulu; hubungan yang sederhana, mengalir, selalu banyak tawa. Saling mengerti dan berusaha tidak saling menyakiti. Saya ingat ia amat manis, semua yang ada dalam dirinya.
Ah, sudah sepuluh menit saya di kamar mandi ini, entah kenapa, pelan-pelan saya rapuh dan merasa tidak lebih dari gelas tipis yang dibeli dari tawaran diskon besar-besaran di sebuah pusat perbelanjaan, gelas yang sangat mudah pecah! Lima belas menit, saya mulai dirayapi kesepian yang dalam. Dua puluh menit, saya mulai mengeluarkan kemarahan dengan kata-kata kurang senonoh dan untungnya cukup saya dengar sendiri. Dua puluh lima menit, tetap tidak ada yang mengetuk pintu dan bertanya, “Kau baik-baik saja, Sayangku?”
Saya tahu ia masih di sana, di ruang tengah tempat biasa kami berkumpul, hanya sepuluh langkah orang dewasa dari kamar mandi di mana saya sekarang berada. Ia bercengkerama, tentunya, dengan bayi kami yang berumur dua puluh empat bulan. Tawanya cempreng. Sekali dua kali. Saya bertanya-tanya, kenapa ia tidak buru-buru menyadari ada satu tempat kosong di sana, lalu ia segera ingat saya, dan mengeluarkan saya dari tubuh pesawat terbang mainan ini, kemudian kami memulai hubungan yang baru, lebih dalam dan lekat. Banyak orang mengatakan setelah pertengkaran merupakan momen paling bagus untuk membuat hubungan semakin hangat jika kita mampu mengambil peluang itu.
Hanya saja bukankah kami tidak benar-benar bertengkar. Tiba-tiba saya tidak enak hati dan mengurung diri di kamar mandi ini. Jangan-jangan ia sama sekali tidak menyadari kalau saya ada dalam kamar mandi dengan kondisi yang menyedihkan. Karena itu saya begitu yakin peluang itu tidak mungkin kami dapatkan. Terlepas begitu saja. Belakangan ia kurang sensitif, sedikit acuh, sibuk sendiri. Saya melemaskan tubuh saya. Entah kenapa saya mulai berpikir untuk melayang ke tempat lebih tinggi, seperti orang yang frustasi saya ingin melepaskan diri dari kengerian masa depan saya bersama lelaki itu.
Saya berdiri, keluar dari tubuh pesawat terbang mainan. Saya perhatikan gunting yang tergantung dekat tissue. Saya mengambilnya. Kemudian gunting itu saya arahkan ke rambut saya yang sepinggang. Tidak cukup satu menit, lebih dari setengah rambut saya sudah jatuh ke lantai. Mendadak tubuh saya lebih ringan. Setelah itu saya memotong rambut yang tersisa di kepala saya dengan cara membabi buta. Saya melihat diri saya lewat cermin. Dalam cermin itu saya melihat wajah saya yang dungu. Saya geram. Mata saya tertuju pada botol pembersih lantai merk tertentu. Saya mengambil botol itu dan membuka tutupnya. Aroma lavender segera menyengat hidung saya. Saya memejamkan mata. Lagi-lagi saya dengar dia tertawa. Mereka seakan asyik sekali. Bahagia. Sementara saya semakin sepi. Semakin merasa ditinggalkan.
Saya perhatikan lagi botol pembersih lantai itu lekat-lekat sembari membayangkan terbang di keharumannya yang damai. Dengan mata nyalang saya mengangkat botol itu hingga dalam sekejap seluruh isinya sudah berpindah ke perut saya. Setelah itu usus saya serasa terbakar dan berantakan.
Sampai kapan ia menyadari kalau ada tempat kosong di kehidupan mereka, lalu buru-buru ingat saya, mencari saya ke mana-mana, termasuk ke dalam kamar mandi sebelum saya benar-benar melayang ke tempat lebih tinggi. Atau ia betul-betul akan membiarkan saya pergi, menganggap saya sesuatu yang tidak berguna lagi dalam kehidupannya.
***
“Morin…”
“Aku di mana?”
“Kamu di rumah sakit.” Dia menempelkan tangan saya ke dadanya, “Jangan pergi dariku...” Lelaki itu menangis. Ia tampak terpukul.
“Aku mimpi buruk,” kata saya.
“Itu sudah berlalu.”
“Maafkan aku. Aku bingung sekali.”
Dia mengusap pipi saya, berkata, “Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa.”
“Aku bahkan tidak tahu kenapa begitu kalut seolah-olah aku menjadi
orang lain dan aku tidak bisa mengendalikannya.”
“Sayangku, sungguh, kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa.” Dia mengecup pipi saya, dan berbisik, “Tidurlah. Aku akan menjagamu.” ***
Jalan Enam Mei, Oktober 2008
0 komentar:
Posting Komentar