Review Cerpen "Sang Pembunuh"
Oleh: DenologisSepuluh tahun yang lalu, kampung kami kedatangan serombongan tamu dari kota. Mereka adalah rekanan Juragan Karta, orang terkaya sekampung. Ternyata, tujuan kedatangan mereka adalah untuk membangun pabrik di kampung. Buktinya, keesokan harinya Juragan Karta mengumumkan rencana itu dengan dalih untuk meningkatkan SDM dan SDA di kampung. Bahkan, disertai ancaman bagi yang menolak untuk mendukung rencana tersebut. Pak Lurah pun mengiyakan dan menyatakan dukungannya. Karena menolak menyerahkan tanah sawah dengan ganti rugi yang sangat sedikit, aku dan Mas Karjo dimusuhi habis-habisan oleh Juragan Karta dan anak buahnya. Mereka juga menghasut hampir seluruh warga desa untuk membenci kami. Hingga pada puncaknya, Mas Karjo dibunuh dengan sadis, dan aku difitnah sebagai pembunuhnya. Akupun divonis penjara selama 10 tahun, dan sampailah aku di penjara yang pengap ini. Namun, semangatku kembali menyala karena sepekan lagi aku akan bebas….
Menurut saya, cerpen berjudul Sang Pembunuh ini cukup menarik, karena ide ceritanya yang cukup membumi. Relevan dengan kondisi riil sosial Indonesia, di mana pembangunan proyek kerap mengorbankan dan memaksa sejumlah warga seperti Aku untuk menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak setimpal. Selain itu, alur dalam cerpen ini juga cukup bagus karena menggunakan timing method khas penulisnya, present -> past -> future. Alur khas yang unik dan seharusnya tidak mudah ditebak. Namun, lebih dari itu, saya kira cerpen ini kurang memiliki taste. Diawali dengan blunder inkonsistensi kata ganti tokoh utama -yang sebenarnya tidak perlu terjadi-. Perhatikan perubahan kata “aku” dan “saya”. Terhitung ada 3 kata “aku” dan 51 kata “saya”. Cerpen ini menjadi terkesan terasa sepo (dingin) karena menggunakan kata “saya” sebagai kata ganti orang pertama. Bandingkan jika menggunakan “aku”. Selain itu, ritme cerita juga terkesan terlampau datar, tanpa adanya kejutan yang signifikan. Coba bandingkan dengan irama emosional dalam cerpen Marto Klawung atau Kang Panut. Sangat berbeda bukan? Seperti pada paragraf ke-3 dan ke-4. Terasa cemplang (drastis) ketika memasuki paragraf ke-4. Padahal, saya mengira penulis akan melanjutkan harapan-harapan “wah” di paragraf ke-3 pada paragraf ke-4. Juga ketika tokoh Aku sudah bebas dari penjara, keram
0 komentar:
Posting Komentar