Meniti Sembilu

Cerpen Beni Setia
Dimuat di Suara Karya (09/12/2009)

KEMBALI, lewat Genah: Ibu minta supaya aku pulang sebelum puasa dimulai, untuk berziarah bersama ke makam Bapak-dan terutama membersih kuburan, lantas memperbaiki makam Bapak yang semenjak tiga tahun lalu retak dan ambles separuh. "Apa tidak cukup Rp 2.000.000,- untuk memperbaikinya? Kenapa selalu bilang tidak punya duit untuk sekedar membuatnya utuh sebagai makam berkramik seperti punya Durakhim?" kata Ibu saat Lebaran dua tahun lalu. Aku termangu.

"Gimana, kang?" kata Ginah di seberang. Aku cuma memperhatikan lalu lintas jalanan yang padat di kersang siang Jakarta dari jendela lantai 9, aku tidak tahu harus bilang apa selain mengiyakan. Bilang kalau Sabtu mendatang-dan memburu kembali di kantor pada 18 Agustus mendatang-aku pasti akan pulang. "Bener, kang?" katanya lebih mengharapkan datang dengan membawa oleh-oleh dan bukan sekedar duit untuk memperbaiki makam Bapak. "Iya" gumanku-mematikan telepon setelah terpaksa, seperti biasa, mengontak balik ke telepon rumah Ginah-untuk mendengarkan seluruh keluhan Ibu. Selalu. Senantiasa.
"Jadi mudik?"

"Harus jadi, Wok. Ini sudah telepon ketiga kali. Harus membersihkan makam, harus memperbaiki makam, harus slamatan dan mendoakan agar Bapak tenang."
"Repot ya,"

Aku tersenyum. Di setiap sebelum puasa aku harus pulang karena itu saat untuk menunjukkan bakti pada orang tua dalam keguyuban bersama seluruh saudara-meski dari Jakarta aku selalu datang sendiri, dan baru pada hari Lebaran aku datang bersama Sumira-istri-dan Ellisa-anak-, lengkap dengan oleh-oleh Jakartaan yang memenuhi mobil. Itu juga setelah separuh darinya dibagikan di rumah mertua di Purwokerto-di mana kami biasanya ikut Idul Fitri dan berhari pertama Lebaran. Lantas, di sore hari-memburu Magrib-kami berangkat ke udik dan lebur di rumah Ibu. Selalu-sejak Mei Sumira sibuk mencicil belanja baju-baju di seantero sale dari tiap Mal di Jakarta. Dan karena itu pula aku selalu memilih berangkat sendiri dengan kereta api, dengan uang lanang khusus, yang tak pernah dianggarkan tiap tahun. Tapi bisakah aku menghindar dari kewajiban-lebih tepatnya: kebiasaan-itu? Tapi tahukah Ibu, Ginah dan yang lain tentang duit lanang khusus yang diam-diam diperoleh dari lembur dan sabetan-yang entah halal entah haram-itu?

* * *

TIDAK seorangpun tahu kalau aku selalu pulang memakai kereta ekonomi-naik dari Jatinegara-cukup dengan membawa ransel berisi handuk, satu celana, tiga kaus, satu kemeja dan tiga CD. Jaket dipakai-dengan perlengkapan mandi dalam kantung depan. Duduk menghenyak dan menikmati jejalan penumpang yang banyak omong di tengah seliweran penjaja makanan dan pengamen. Menikmati sorga karcis Rp 26.000 sambil mengenangkan fakta: aku tak berjarak terlampau jauh dari mereka. Sama-sama harus pulang, berziarah, dan membagikan oleh-oleh-kabar kemakmuran yang bagi sebagian dari mereka mungkin cukup dengan cerita tentang Jakarta dan yang bagiku itu harus berupa sedikit duit.

Sama-sama memendam rasa terkelucak menjadi tumpuan semua harapan, yang tiap tahun-di saat Lebaran terutama-harus selalu berbagi keberhasilan. Semacam doa yang utuh, karena bersinggungan langsung dengan si Santa Klaus yang cukup dengan telepon di tengah malam-mengindari tarif normal interlokal-mereka berharap semua angan dan impian akan terkabul. Ibu minta makam Bapak direhabilitasi padahal pos anggaran untuk hal itu sudah disedot oleh improvisasi kemenakan kawin, bude atau bulik ke RS, dan pinjaman jutaan mendadak yang entah kapan dibayarnya dan harus disegerakan-dari pihakku dan juga dari pihak Sumira.

Tak ada kata mustahil dalam kamus minta mereka, yang diekspresikan dengan penghormatan dan pengistimewaan ketika kami mudik Lebaran tiap tahun-sekaligus minta jatah. "Kenapa kita tak mengembara di Kutoarjo saja," kata Sumira mengeluh. Sambil tertawa aku bilang, bila lebih dekat merekapun akan lebih sering berkunjung, bahkan untuk sekedar memperbaiki genteng yang pecah. Sumira membelalak. Lantas aku cerita tentang Ginah-yang suaminya hanya guru SD sehingga ia harus membuka toko pracangan-, atau Sumarto, adik Sumira 4 tahun lalu kena PHK, yang mencari nafkah dengan jadi pengendara ojek dan sesekali blantik sapi. "Apa makna semua itu, mas?" katanya. Aku mengangkat bahu.

Dan di tengah semua urbanis itu-sebagian malah bercerita tidak bisa mudik saat Lebaran, tapi lega karena akan berziarah dan slametan bersama keluarga-aku merasa beban itu kini ditanggung bersama, dan karena kami saling mengeluh lantas tertawa bersama. Tak ada kaya, tak ada miskin, tak ada si berpenghasilan Rp 10.000.- sehari atau Rp 5.000.000.- sebulan, dan tak ada yang punya cicilan a Rp 250.- sehari untuk panci kreditan dari si Mang Tasik atau punya kewajiban cicilan Rp 3.000.000.- per bulan untuk mobil kedua. Semua jadi bagian dari kebersamaan, di mana lara miskin di desa disampirkan ke anggapan kami ini di Jakarta hidup berkecukupan. Tapi benarkah begitu? Di kantor, sambil menulis esei sastra sebagai upaya lembur cari duit lanang-dari siapa aku meniru menulis cerpen dengan nama samaran-, Matroji bilang kita ini harus mengucapkan syukur dan mengamininya karena senantiasa didoakan oleh para saudara di desa.

* * *

AKU makan di warung soto depan statsiun. Mengenangkan masa SMA sebelum kuliah di Jakarta-sukses dengan bea siswa Super Semar-, dan momentum ketika aku bimbang berangkat untuk ambil keberhasilan PMDK FISIP. Aku tidak tahu aku harus berlagak bagaimana agar diterima sebagai mahasiswa UI, aku juga tak tahu aku akan tidur di mana bila yang aku punyai hanya biaya makan untuk dua bulan, dan aku lebih memilih tidak akan berangkat kalau Bapak tak mengatakan: "Apakah kamu itu punya pilihan lain, di sini kamu sengsara dan paling banter jadi honorer KB, jadi petani atau pelayan toko-malah tukang becak-, sementara di Jakarta akan sama menderita tetapi tak kehilangan impian. Berangkatlah...!"

Aku berangkat. Tidur di mesjid, dan kemudian memanpaatkan sekretariat Hima Fakultas untuk diam-diam mengetik cerpen dan puisi. Itu membuatku memperpanjang uang makan, dan kemudian membuatku bisa nyewa kamar-dan kontrak nulis novel, yang terbit bersambung, dengan mesin tik pinjaman. Tahun ketiga aku ditawari jadi redaktur. Aku OK selama bisa menyelesaikan membuat skripsi. Di tahun keempat aku menyelesaikannya, membeli tiket KA untuk Bapak, Ibu, Ginah, Gunadi, Gunarto dan Gungun untuk ikut wisuda dan piknik di Jakarta. Di saat itu aku bilang, bahwa semua itu karena dukungan semangat dari Bapak.

Bapak tersenyum. Sambil lalu bilang agar aku mendukung agar semua adik bisa kuliah. Tapi Ginah kawin setamat SMA dengan Warto yang baru lulus SPG, Gunadi dan Gunarto ngambil IKIP dan kini jadi guru di Ambarawa dan Karanganyar, dan si bungsu Gungun tidak jadi apa-apa karena terlalu disubsidi-menikah tiga kali, punya tujuh anak tanpa kerja dan melulu ngrepoti Ibu.

Di warung itu aku dijemput Warto. Lalu pelan-pelan meniti di hamparan sawah gersang yang berdebu tak sempat ditanami kedelai atau semangka, menikmati udara petang yang masih panas, dan merasakan kembali kemiskinan yang memiutku semasa kanak. Saat tidak ada yang bisa diharapkan selain impian berbentuk Aladin, jin atau Dajjal yang menawarkan sedikit kenikmatan meski harus ditukar nyawa. Tak ada yang bisa diharapkan-bahkan air untuk mandi karena yang diutamakan buat minum doang-dan aku memang tak punya harapan. Berkonsentrasi belajar, menyelesaikan SMA dengan angka mencengamgkan dan mendapat bea siswa-ke Jakarta dengan imajinasi yang liar ditumbuhkan kemiskinan dan karenanya produktif menulis. Ingin lari dari kutuk kesekitaran yang miskin-karenanya setiap tahun aku minimal tiga kali pulang: saat mau puasa, saat Lebaran, dan di puncak kemarau ketika semuanya serba sulit.

Pulang untuk meneguhkan kemiskinan dan membangkitkan imajinasi liar-yang jadi sumber utama karier sastra di luar karier jurnalistik yang rasional. Dan justru hal itu yang selalu bangkit ketika membersihkan makan Bapak, memperhatikan makam yang retak dan ambles separuh, dan merasakan sengatan matahari di perbukitan yang seluruh pohonnya ranggas dan rumputnya memutih dan angin membawa panas yang diruapkan pesawahan yang pematangnya remuk disengat siang dan tunggul jeraminya melapuk bagai tengkorak korban perang yang dikubur dangkal-terlantar. Merasakan kemiskinan dan mengenangkan nasihat Bapak, bahwa di sini hanya ada kesengsaraan dan melulu kelucak musim yang memiut semua harapan sementara di Jakarta aku bisa banting tulang dan kepayahan tapi tetap punya impian-harapan.

Hal yang membuat aku malas menjadikan makam Bapak terlihat makmur dengan keramik dan cungkup. Karena-sejak 15 tahun lalu-aku selalu pulang untuk mereguk kepedihan kemiskinan dan kelucak musim, agar punya semangat untuk menaklukkan Jakarta. Memang!***
READ MORE - Meniti Sembilu

Nyanyian Seribu Bulan

Cerpen Abidah El Khalieqy
Dimuat di Jawa Pos (09/13/2009)

Mungkin Hawa namanya. Tak penting! Ia datang setiap malam tanpa salam. Mencari lubang da lam pori-pori kulit ini. Berumah da lam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Ada Ken De des di betis mulusnya. Ada Roro Jonggrang di mata beloknya. Ada De wi Yunani di senyum bibirnya. Ada Fatimah ber bunga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan mencera cau dalam kepalaku. Selalu. Tak kuasa aku menampiknya. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam is tana kesendirianku.

''Maaf, karena telah kerasan!'' Ia girang menyapa.

Aku hidup dari sunyi dan Hawa membawaku ter bang melayang-la yang. Katanya kami bakal meng gapai surga. Matanya yang pur nama menulariku mengeja matahari. Ia buka mataku dan me nun tunku memasuki lorong-lorong bumi. Alam ini indah bagi pa ra ilmuwan keindahan, bi siknya. Tapi mataku? Hanya retina dan optik yang perih dan luka. Mungkin silau oleh gempuran cahaya ke indahan yang tiba-tiba.

Begitulah awalnya. Sejak entah aku berdiam di re lung hampa. Pu tus jalinan hati antaraku dan hu bungan darah para handai taulan. Sejak bumi mengafani Ayah dan Ibundaku, mataku kehila ngan matahari. Dan tubuhku kecurian planet. Aku su wung! Berja lan ngelangut sesiang semalam tanpa gigi tanpa kepala. Ruhku, ba­rangkali ruhku saja nyelinap di antara halaman buku sejarah yang ber debu di toko loak.

Sesosok jemari halus memungutnya. Memberi nya sentuhan cin ta. Tergeragap bangun kaget dan bingung. Aku menjurai bayangan liar dan satin. Seperti orang lain, perempuan lain, tak penting sia pa nama, menjebol pintu belakang rumah ber sama angin.

Mata lelah dan sengsara, rambut gimbal baju mo yak, serasa pe ngemis yang datang dari dunia jelaga. Berjalan ia meremas hari tak pasti. Banyak lo rong dan ceruk dari batu-batu dan luka yang mes ti dilewati. Kadang ia menawar senja. Pabila bu rung-burung ber baris syahdu merindu sangkar nya, ia tengadah membuka sebaris gigi keropos yang telah habis dipalu masa. Ia jalan terus mencari ti mur di barat, mengejar utara di selatan.

''Aduhai hari-hariku,'' ia cerita apa adanya.

Menerawang. Perempuan itu menjumpa api da­lam gedung ting gi. Api yang disentuhnya de ngan sepuluh jari bersama degup jan tung yang pas ti. Stabil. Matanya berubah menyala. Bibirnya me rekah pink. Berayun-ayun tangannya gemulai me­narikan sebuah melodi.

''Di sini hari masih pagi. Dan selalu pagi.''

Lalu ia tinggal di gedung itu mengeja pagi. Mem baca banyak ma ta dan bau mulut beraneka aroma. Dilihatnya juga banyak ta ngan teracung ke udara. Atau mengepal tinju ke angkasa. Suatu ka li ia kebagian jatah menepukkan dua telapak tangan dalam so rak gembira. Karena tangannya hitam dan berdaki, bertumpuk daki, soraknya terdengar paling kuat. Cukup kuat untuk memutar se kian ratus kepala dari wajah-wajah yang ber minyak pagi.

Tak percaya. Ia kembali bersorak menepuk riang, membahasakan matahari pagi. Tak dinyana pula, ratusan kepala itu menjadi ribuan, me mutar wajahnya menatap tajam kagum dan se nang, ke arah matanya.

''Ke arah mataku mereka memandang,'' keluhnya bahagia.

Mata-mata itu lalu berubah jadi api yang membakar dadanya. Pe rempuan itu naik ke podium dan merebut separo simpati dari audiens. Dikunyahnya jam bersama menit dan detik-detiknya. Ter nyata ia lebih canggih dari sekadar mitos dan le genda yang pernah tergantung di pundaknya. Ter senyum ia menikmati karunia yang pernah hi lang itu. Kembali dalam ayunan ibu.

Matahari menyorot dari balik matanya. Seakan tokoh politik yang turun dari podium, perempuan itu lahir kembali jadi beraneka rupa. Berdesakan dalam pasar ikan bau. Suatu kali terlihat tengah sibuk menata menu dalam perjamuan makan ma lam bersama orang-orang penting. Para pah la wan dan penjahat dari berbagai negeri. Kala lain ia tampil dalam fashion show melenggokkan ma ta-mata narsis, dan ratusan mulut buaya yang mendesis. Saat lain pula ia akan bertarung memperebutkan kejua raan dalam arena lomba. Mengalahkan lawan main dengan cara yang muskil.

''Karena hidup, kau mesti terus mengalir,'' bi siknya padaku.

Kakinya memanjang berkilometer, beratus ber ibu-ribu, sejauh ja lan membentang. Sampai api yang pernah menyentuhnya jadi hilang, tak sega rang dulu. Maka hilang juga matahari dalam ru­mahnya. Sebab rumah tinggal pilu dan luka. Tak ada yang mesti di­pertahankan dari kampung dan kota yang disesak kebodohan. Jiwa butuh re fre shing. Otak perlu kanal yang mengalir nuju sa mu de ra, melarung hari-hari berkerudung takziah.

''Di mana kau kini, Hawa!?'' Aku bertanya.

''Inilah perjalanan pertama dari seribu episode pe­tualangan. Ka rena seluruh bumi adalah asing. Wi layah baru beserta segala yang runtuh. Usai om bak hitam yang bangkit dari tidur lautnya. Te gak tiga tombak. Laju gulung keruk. Satu kilo meter per menit. Sambar apa saja dilalui. Meng ge ram mendesis bak kobra lapar berabad me lahap ma nusia berikut peradabannya. Maka, lihat itu Adam, be tapa bi ngungnya ia tanpa peta. Betapa pusingnya ia terlipat om bak dalam da danya, hing ga peta itu dipinjam laut tak kembali.''

''Tapi aku tahu. Aku mesti jalan ke depan,'' te riakku.

''Banyak daerah yang tak dikenal di masa depan. Kau akan kesasar!'' jawabnya.

Lalu pergi begitu saja. Lenyap dalam nyanyian se ribu bulan. Pua sa tak henti-henti. Lapar haus meng­geleparkan diri. Gerimis mengundang. Petir dan kabut bergulung meninggalkan jalan be cek ber lumpur. Kampung ramai dikepung pe­nyakit dan air comberan. Aspal rekah berbuih. Ma tahari merah saga membawa pergi semua yang telah diberi nama. Gunung, laut, sungai, batu, pa sir, debu, ber gema di ruang kepalaku. Sampai Adam tiba-tiba datang di si siku, menatap ca kra wala. Mengurai kemegahan hidup yang meng hampar di tepi pantai. Ia resap anginnya. Ia hirup napas semesta. Lalu karam hatinya da lam tum pu kan tanda tanya.

''Di mana kau sem bu nyikan ke kasihmu, sobat?'' Aku mem bi sik gelisah telinga nya bersa ma ombak yang kemarin sa pa la ngit dan menjamah da rat dengan kuku Izrail.

''Kau bawa semua, bu kan. Dan kau tinggal kan aku sendiri, ngungun di gigir sepi!''

''Dan pilu,'' kataku.

''Hah! Siapa kau?'' Ia tergagap, menatapku ba gai kilat.

''Sahabat Izrail. Sang Mikail!''

''Dan urusanmu datang kemari?''

''Urusan kemalaikatan!''

''Haaa!!'' Ia tergagap lagi dan pikun.

Batin Adam alzheimer! Benda-benda lenyap da ri batok kepalanya. Puluhan triliun dikira ha nya beberapa puluh miliar. Dolar datang membanjir dari langit hujan persaudaraan, berpuluh kontainer minyak tanah berubah jadi air mata, dari bu mi kembali ke bumi. Di atas derita sebuah ne geri, di atas tindih luka lara, masih juga ada tangan yang mengambil bukan haknya. Begitu mungkin ia berpikir. Seperti Karun sibuk menge lu­pasi mangsa. Mencucup darah sesama sampai sekarat dan koma dalam tiga puluh dua kali dua belas purnama.

''Nyanyian seribu bulan, maksudmu?''

''Bukan.''

''Lalu apa?''

''Kau memang pelupa kelas kakap.''

''Bukan Adam jika tak pelupa.''

Nihil benar jawabnya. Pengungsi akhirat tamu-ta mu dunia. Alangkah aneh dan ajaibnya. Tak me rasa terlempar ke planet asing tak berkampung Tak berkota. Diri tanpa kepala. Burung-burung kembali ke sarang namun kami tak ada rumah tak ada halaman ke mana pulang. Pelancong be nar dunia tanpa halte, bisikku. Dan barak-barak ada lah rombongan mudik ke negeri tanpa istana. Tak ada desir angin. Malam ngungun. Burung-bu rung hilang kicauan. Rumputan diam. Gunung-gu nung menangis. Kami berlelehan air mata.

''Mengapa tanganmu meminjam tangannya, sobat?''

Sendu menyulap sunyi di mata Adam. Dan su nyi menjelma belati. Siap menghunjam meremuk w­ajah kuasa yang bertengger di pucuk sana. Ka rena romantikus pemberontak adalah tanah yang di urap bening air mata. Narsistik! Ia jarang man di karena setia bau tubuhnya. Tak ngaruh nasionalisme semu. Haram laundry karena menghalang upa ya pencarian diri. Ia melihat dunia bagaimana harusnya. Bukan begitu adanya.

''Mengapa, Adam? Nadamu hujatan berseru?''

''Karena amanah yang dikotori. Karena bening langit dicemar lumpur bumi. Hati yang busuk dan sakit!''

''To the point aja,'' kataku.

''Semua semu. Harta rakyat diguna tutup hutang ne gara. Tapi orang masih bisa bangga selamatkan negara dalam duka. Hihi, fabiayyi 'ala irabbikuma tukadzdziban?''

''Ah! Yang benar?''

''Religius bukan?''

''Bukan?!'' jawabku keras.

''Bukan! Haha... dari zaman lama sampai yang ba ru, mungkin juga kini, rakyat kita sudah ditabal sebagai modal para kuasa. Bendera hampir hilang warnanya, tinggal tanah menyala api zamrut ka tulistiwa.''

''Gombal, ah!''

''Tak boleh merdeka! Ahistorik namanya. Itu ba ru gombal.''

''Tapi negeri ini tak mau gila. Entar diprovo kasi separatis lagi. Maka itu aku suka seribu bulan di atas danau!'' Aku berkata semau-mau.

''Dasar!''

''Emang dasar! Di sini piutang, di sana tumpukan uang! Bikin ekonomi putaran luka. Wal ba la wal laba..."

''Masa iya sih?''

''Kalau mau cari uang tak perlu ke mana-mana. Se perti sepotong hati yang dipaksa mati!''

''Ah! Yang benar?''

Adam alzheimer lagi mengingat semuanya. Pa ra relawan yang berbondong datang mengu sung janji dan pamflet dan panji dan bendera dan partai-partai. Legislatif jadi intip di dasar ketel ibu pertiwi. Tong kosong semua. Ada yang datang dengan truk berisi uang, katanya. Lalu mereka per gi dengan truk tetap penuh. Di hari lain datang lagi hingga purnama jadi gulita. Yang berdiri ha nya kerangka, daging hilang entah ke mana.

''Pilihan raja itu seperti gempa. Bumi diayu n-ge rakkan. Lalu kampung-kampung jadi puing. Ja lanan rekah, gedung-gedung nukik ke bawah. Kemanusiaan hanyalah listrik padam. Hati pecah di kegelapan.''

''Bukan! Tapi bumi sedang ditata ulang. Kam pung-kampung sekarat mesti diremajakan. Aspal usang penuh sejarah korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik padam memberi jeda bagi manusia untuk menyepi, berjuang keluar dari pengap du nia penuh tipu dan sesak kotoran.''

''Ini bulan lapar dan dahaga. Kau mesti menang,'' kataku.

''Kau sedang mengigau diterjang gempa,'' ka tanya.

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Ku rangkum segala pikiran tentang takdir, tak ke temu juga larik puisi, sajak cinta, dan kesimpulan. Ayat suci jadi keranda di televisi. Sorban dan peci haji bergambar ular. Pulau-pulau kepulkan asap naga hitam.

''Bangsa-bangsa yang dihancurkan biasanya akan bangkit lebih cerdas dan gemilang,'' katanya lagi.

''Tak usah menghiburku dengan pelajaran sejarah.''

''Setuju, sebab aku butuh sepiring nasi.''

''Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, kawan!''

''Bukankah si pencuri paling suka hati?''

''Hati mati di sayap garuda.''

Ingatan mengembara pada baju-baju dan kenda raan. Juga kampung mati, para janda dan piatu. Begitu banyak yang sudah dikorbankan untuk membangun semuanya. Bertahun-tahun. Ber puluh-tahun. Tetapi rupanya, bukan wajahnya, negeri ini selalu ingin digempa dari tidur pan jang. Sementara yang tidur dalam kondisi le bam sakit mules dan diare. Dehidrasi. Deaqua. Demoral. Sesak napas di ranjang yang kotor dan pengap. Rakyat pilu dan megap-megap.

Aku berlari nuju sungai baru. Kotor juga airnya se perti rumah sakit gratisan. Tengok kiri kanan dan mendapati semesta berwajah pasi. Meregang nya wa. Ini sakit akbar tempat berpuluh juta jiwa se karat dan koma. Menunggu sang penyembuh yang kabarnya tengah lelap di atas kursi goyang istana.

Aku tergagap. Merinding bulu kuduk saat bersitatap dengan tampangnya. Ini Adam atau lelaki kuntilanak? Pasti ini salah alamat. Sebab ia ha nya mengikik sebelum kutanya. Sampai aku terkesima. Memandangi guratan tokek di sekujur tubuhnya. Aku tak yakin sedang berhadapan dengan manusia ataukah komodo. Demi sebuah jawaban, nyali kupompa habis.

Dupp! Aku meringis. Revolver itu meletup di ka ki kirinya. Menggesek tulang menembus kulit dan melolonglah ia, jatuh dan mengaduh tak ka ruan. Beberapa orang sibuk dengan niat kebaikan. Tapi lolong itu terus meninggi menembus berjuta daun telinga dan terpana. Bisik-bisik dan takut merajalela. Saling bertanya. Diri ini Adam atau Hawa. Yang ketemu jawabnya malah manusia merana.

Aku tahu bahwa nasib manusia memang ada di tangan Sang Pencipta. Maka itu tak boleh kuasa sesukanya menentukan segala sesuai keinginan. Tapi di balik tangan sang kuasa itu, ada anugerah otak dan pikiran untuk menimbang baik dan buruk, memilih yang mulia dan nista, serta berusaha mencari yang terbaik bagi hidupnya. Itulah pen carian yang kini terus menggema mengumandang di balik kesadaran orang-orang gempa. Ingin mendengar nyanyian seribu bulan dari lidah langit. Seperti ditakdir hidupku dalam sunyi dan Ha wa membawaku terbang melayang-layang, meng hirup aroma surga yang berhembus dari ku bah miring diterjang gempa.

Dan aroma itu selalu datang setiap malam tan pa salam. Mencari lubang dalam pori-pori kulit ini. Berumah dalam tulang dan menjadi ombak di samudera hati. Tapi kini hanya Fatimah berbu nga-bunga di rambutnya. Ia tegak berdiri dan me nyanyi dalam kepalaku. Selalu. Berminggu malam sudah. Berbulan dan tahun mengabadi dalam istana kesendirianku. Pilu negeri ini mendayung ulu hati. Manusia kelimpungan tanpa bin­tang gemerlapan. Redup cahaya di dada. Alam bergolak dan bencana jadi upacara. Bersih bumi ber kali-kali. ***
READ MORE - Nyanyian Seribu Bulan

Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

selamat idul fitri



KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN:


SELAMAT IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN



SEMOGA KITA BENAR-BENAR KEMBALI KEPADA FITRAH-NYA, AMIIIN.


READ MORE - Selamat Idul Fitri 1430 Hijrah

Selamat Datang Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan


Ramadhan telah datang. Satu masa dalam setahun yang sangat tepat dijadikan sebagai media refleksi terhadap perilaku keseharian kita. Semoga kita bisa menunaikan kewajiban suci dan mulia ini dengan tenang, khusyu', dan penuh kegembiraan. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin.


READ MORE - Selamat Datang Ramadhan

Mengenang Tujuh Hari Kematian Rendra lewat Baca Puisi

Rabu, 12 Agustus 2009 (pukul 15.30 s.d. 16.15 WIB), Pendapa Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi kiprah sejumlah seniman dan wartawan yang tengah berupaya mengenang tujuh hari kepergian si Burung Merak, W.S. Rendra, dengan berorasi dan membacakan puisi-puisi karya penyair balada itu. Ada belasan puisi yang dibacakan secara bergantian oleh para penggiat seni yang hadir. Selain sejumlah seniman dan wartawan Kendal, hadir juga Bowo Kajangan dan rombongan dari Semarang yang ikut memeriahkan acara dadakan itu.

Tak ada acara protokoler resmi. Semuanya mengalir begitu saja ala kaum seniman. Mereka bebas berekspresi ketika didaulat untuk membacakan puisi-puisi naratif dan satiris karya sang penyair balada itu.

mengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendramengenang rendra

“Seragam kita boleh berbeda. Tapi kehadiran kita di sini hanya satu tujuan, yakni untuk mengenang seorang penyair besar yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kemajuan kesenian dan kebudayaan Indonesia,” kata salah seorang seniman sebelum membaca puisi.

Siapa pun yang tampil diberikan kebebasan untuk sedikit berorasi dan kembali mengingatkan bahwa di negeri ini pernah lahir seorang penyair besar yang dengan sangat sadar menjadikan penyair sebagai sebuah profesi kebanggaan dalam KTP-nya.

Ya, ya, ya, W.S. Rendra memang layak dikenang. Kepergiannya menghadap Sang Khalik merupakan sebuah kehilangan, tak hanya buat bangsa kita dan para pengagumnya, tetapi juga buat para pejuang kebudayaan yang tersebar di berbagai belahan dunia. Karya-karyanya yang memadukan antara romantisme alam dan geliat budaya yang multidimensi seperti telah menjadi “sihir” estetis yang menghipnotis banyak orang secara lintas-geografis. Karya-karya puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dijadikan sebagai bahan kajian ilmiah kesarjanaan, mulai level strata I hingga strata III.

Kesetiaan Rendra dalam menjaga gawang kesenian dan kebudayaan agaknya telah membuat hidup Rendra (nyaris) tak pernah bersentuhan dengan politik praktis. Kalau toh bicara soal politik, ia selalu menggunakan paradigma kesenian dan kebudayaan. Begitulah sosok Rendra yang bisa demikian konsisten dalam memperjuangkan nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran, meski harus ditebus dengan menjadi penghuni kerangkeng penjara. Di tengah peradaban yang makin gila dalam memberhalakan gaya hidup hedonistis dan konsumtif, Rendra tak pernah terperangkap untuk ikut-ikutan latah masuk dalam lingkaran kekuasaan. Ia tetap bersarang dalam sangkar kesenian dan kebudayaan.

Meski demikian, agaknya kita tak perlu larut dalam romantisme berlebihan ke dalam sosok Rendra dengan segenap sihir dan daya pesonanya. Ia sudah meninggalkan kita dan tengah melanjutkan kehidupan barunya di alam keabadian. Yang perlu kita lakukan adalah meneladani semangatnya dalam berkesenian dan kebudayaan di tengah ancaman gaya hidup yang serba hedonis dan serba memberhalakan gebyar lahiriah.

Berikut ini saya kutipkan beberapa puisi karya W.S. Rendra yang dibacakan di depan Pendapa Kabupaten Kendal dalam mengenang tujuh hari kematiannya.

ORANG-ORANG MISKIN
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

AKU TULIS PAMPLET INI

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
***

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
***


Meski berlangsung singkat, semoga acara dadakan ini bisa menjadi penanda bahwa semangat Rendra tak pernah mati, bahkan akan terus terpahat dalam prasasti nurani bangsa dari generasi ke generasi. Semoga!
READ MORE - Mengenang Tujuh Hari Kematian Rendra lewat Baca Puisi

Dunia Sastra Berduka

Innnalillahi wa’innaillaihi raji’un

ws rendraDunia sastra Indonesia berduka. WS Rendra, seorang budayawan, sastrawan, penyair, dan teaterawan, telah meninggal dunia pada hari Kamis (6 Agustus 2009), sekitar pukul 22.15 WIB di Depok, Jawa Barat.

Tokoh teater modern Indonesia itu meninggal dunia pada usia 74 tahun. Rendra meninggal karena penyakit yang dideritanya. Diduga Rendra meninggal akibat penyakit jantung koroner. Pendiri Bengkel Teater Rendra itu meninggal saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat. Sebelumnya, amarhum sempat dirawat di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Semoga arwah almarhum dilapangkan jalan menuju ke haribaan-Nya, diampuni segala dosa dan kesalahannya, dan diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya.

Untuk mengenang almarhum, berikut ini ada beberapa video pembacaan puisi dan wawancara sang penyair yang telah memiliki jasa besar dalam dunia sastra dan budaya Indonesia itu.








Selamat Jalan Rendra!
READ MORE - Dunia Sastra Berduka

Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?

Sastrawan Masuk Sekolah (SMS) yang dulu pernah gencar digelar oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas, agaknya kini tak terdengar lagi gaungnya. Agenda yang pernah menghadirkan sastrawan papan atas semacam Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, atau Taufik Ikram Jamil di balik tembok sekolah itu kini seolah-olah sudah "tamat" riwayatnya. Apakah lantaran The Ford Foundation tak lagi turun tangan menjadi sponsornya? Entahlah!


Memang, agenda SMS pernah dikritik oleh Mursal Esten. Ia khawatir, agenda semacam itu bisa membuat para guru dan siswa lebih tertarik pada akting sang sastrawan ketimbang secara suntuk melakukan penjelajahan komunikasi imajinatif terhadap teks-teks sastra yang merupakan arus utama dalam kegiatan apresiasi. Dengan kata lain, kehadiran sastrawan ke sekolah justru hanya akan melahirkan apresiasi semu yang berujung pada pendangkalan dan pengerdilan nilai-nilai sastrawi. Para guru dan siswa cenderung menjadi snobis gaya baru yang mengagumi sastrawan tertentu secara berlebihan, naif, dan "membabi buta", tanpa diimbangi dengan intensitas apresiasi yang sesungguhnya.


Kalau itu yang terjadi, bukankah SMS hanya akan menjadi ajang pameran bagi sastrawan tertentu guna mendapatkan pengukuhan, popularitas, dan legitimasi baru lewat institusi pendidikan?


Harus diakui, apresiasi sastra bukanlah pelajaran yang bisa dengan mudah "menghipnotis" siswa untuk menggemari teks-teks sastra. Pertama, pelajaran apresiasi sastra dianggap tidak prospektif dan menjanjikan masa depan, amat "miskin" nilai praktisnya jika dikaitkan dengan denyut kehidupan. Hal itu berbeda dengan pelajaran Fisika, Matematika, atau bahasa Inggris yang dianggap memiliki pertautan langsung dengan nilai-nilai praksis kehidupan dan masa depan. Tidak mengherankan jika hanya beberapa gelintir siswa yang memiliki "dunia panggilan" untuk bersikap serius, total, dan intens dalam mengapresiasi sastra.


Kedua, tidak semua guru sastra memiliki minat dan "talenta" sastra yang memadai. Alih-alih menyajikan teks-teks sastra secara menarik dan memikat bagi peserta didik, sekadar menafsirkan teks sastra untuk dirinya sendiri pun masih sering kedodoran. Akibatnya, proses pembelajaran apresiasi sastra berlangsung monoton, miskin kreativitas, sekadar mencekoki siswa dengan setumpuk teori model hafalan. Yang lebih memprihatinkan, pelajaran apresiasi sastra tak jarang dilewati begitu saja lantaran jarang diujikan dalam soal ulangan umum maupun ujian. Guru tidak mau bersikap konyol dengan menyajikan apresiasi sastra secara total dan serius kepada siswa didik kalau pada akhirnya nilai ujian nasional yang selama ini "didewa-dewakan" jadi merosot.


Ketiga, langkanya buku-buku teks sastra di sekolah. Sudah bukan rahasia lagi, "kemauan politik" pemerintah untuk membumikan sastra lewat dunia pendidikan masih amat minim. Diakui atau tidak, para birokrat masih punya basis asumsi klise bahwa sastra tidak memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Bahkan, tidak jarang yang memahami bahwa parodi dan kritik dalam teks sastra sebagai penghambat laju pembangunan, sehingga perlu dilakukan sensor ketat terhadap teks-teks sastra yang hendak diluncurkan ke sekolah. Tidak berlebihan jika pusat perbukuan amat jarang --lebih tepat dibilang langka-- memasok buku-buku sastra mutakhir yang berbobot ke sekolah. Yang tersedia di perpustakaan sekolah hanyalah teks-teks sastra pendukung kebijakan penguasa yang tergolong "basi" dan ketinggalan zaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Akibatnya, wawasan dan "kecanggihan" sastra para guru dan siswa didik (nyaris) tak pernah bergeser dari kondisi stagnan.


***


Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi yang ditandai dengan makin terbukanya persaingan di era pasar bebas, sastra justru menjadi penting dan urgen untuk disosialisasikan melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global secara arif, matang, dan dewasa. Dalam konteks demikian, sastra menjadi semakin penting, bukan saja lantaran sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pergulatan dan pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, para siswa akan mendapatkan bekal pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai kompleksitas persoalan yang dihadapinya.


Untuk membedah kompleksnya nilai-nilai estetika dan dimensi hidup yang terkandung dalam teks sastra jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan pemahaman dan penghayatan secara serius dan total lewat pembimbingan apresiasi secara intensif; bukan sekadar digelembungkan lewat slogan dan retorika.


Nah, ketika guru sastra mulai gencar dipertanyakan kapabilitasnya dan dianggap tak berdaya dalam melakukan sosialisasi dan apresiasi sastra kepada siswa didik, apa salahnya menghadirkan sastrawan ke sekolah untuk memberikan "sugesti" dan "injeksi" agar muncul gairah apresiasi baru dalam proses pembelajaran sastra. Ini artinya, agenda SMS perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya untuk ikut menjawab kegelisahan dan kegagapan guru sastra di sekolah yang dinilai "miskin" kreativitas dan kurang "canggih" dalam menyajikan apresiasi sastra, sehingga tingkat apresiasi sastra peserta didik berada pada titik yang rendah.


***


Kekhawatiran bahwa SMS hanya akan menyesatkan apresiasi sastra siswa lantaran hanya memunculkan kekaguman pada "keaktoran" sastrawan ketimbang pada teks sastranya, memang sah-sah saja apabila tidak diimbangi dengan kreativitas sang sastrawan dalam meluncurkan teks-teks sastra berbobot yang mengalir dari tangannya. Kehadiran mereka tak lebih dari seorang selebritis yang menaburkan mimpi keglamoran bagi penggemar dan pengagumnya. Namun, sepanjang kepiawaian sang sastrawan dalam berakting disempurnakan lewat kiprah dan gairah bersastra yang tak henti-hentinya mengalir, kehadiran mereka justru akan mampu menjadi "oase" bersejarah di tengah kegersangan apresiasi sastra yang sudah lama dirasakan oleh dunia pendidikan.


Jelas, yang dibutuhkan bukan sastrwan yang semata-mata pandai berakting mengartikulasikan teks-teks sastra di depan guru dan siswa didik, melainkan mereka yang mampu mengomunikasikan nilai estetika dan ide-ide cemerlang yang terpancar dari teks-teks sastra secara cerdas sehingga mampu memberikan imaji positif sekaligus mampu membebaskan mitos sastra sebagai dunia kaum pengkhayal yang miskin kontribusinya terhadap gerak dan dinamika peradaban.


Lewat kehadiran sastrawan ke sekolah, teks-teks sastra yang selama ini berada di puncak keterasingan bisa membumi dan tersosialisasikan secara intensif di bangku sekolah. Harapannya, teks sastra tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah produk budaya, tetapi juga sebagai sebuah kenikmatan rohaniah yang mencerahkan.


Persoalannya sekarang, kenapa para sastrawan lokal --yang tak kalah hebatnya dengan sastrawan ibukota-- dan sekolah-sekolah yang ada di daerah belum juga tergugah untuk membangun jaringan mutualistis yang identik dengan SMS? Sudah bukan saatnya lagi sekolah menjadi "tempurung" ilmu pengetahuan yang tabu dimasuki sumber-sumber belajar dari luar. Justru sebaliknya, sekolah harus benar-benar memosisikan diri sebagai basis pendidikan nilai, menggambarkan diorama masyarakat mini yang lentur dan terbuka terhadap segala tantangan dan perubahan konstruktif dalam mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Demikian juga sang sastrawan. Mereka diharapkan tidak hanya sekadar melahirkan teks sastra, tetapi juga dituntut untuk mengomunikasikan kepada publik, termasuk lewat agenda SMS.


Sampeyan punya cara lain? ***


READ MORE - Sastrawan masuk Sekolah: Apa Kabar?