Ahmad Tohari yang Suka "Tapa Ngrame"

Ahmad TohariNama Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan sudah lama dikenal. Kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya sungguh layak dikagumi. Puluhan novel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi sudah lahir dari tangannya. Sosok Ahmad Tohari sesungguhnya tak hanya menarik dibicarakan berdasarkan karya-karyanya, tetapi juga kesantunan dan kesederhanaan gaya hidupnya. Ia dikenal sangat alergi terhadap simbol-simbol feodalisme dan kapitalisme yang konon sudah demikian kuat membelit sendi-sendi kehidupan bangsa. Sungguh beruntung saya bersama beberapa pengurus Agupena Jawa Tengah yang lain bisa sedikit ngobrol dengan novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jentera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari di sela-sela acara menjelang seminar nasional yang digelar di LPMP Semarang pada hari Kamis, 25 Juni 2009, itu.

“Saya sangat marah ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sebagian kemarahan saya tercermin dalam novel Blantik itu,” katanya. Lebih lanjut, sastrawan yang sering disapa dengan “Ramane Srintil” itu mempertanyakan tentang keadiluhungan budaya Jawa yang gencar digembar-gemborkan itu.

“Adiluhung yang mana? Bisakah itu disebut adilihung kalau dibangun berdasarkan nilai-nilai feodalisme yang justru mematikan hak rakyat kecil dalam memperjuangkan eksistensi hidupnya!” ungkapnya dengan nada getir. Dalam masyarakat Jawa, katanya, dikenal strata berlapis tujuh yang menunjukkan status sosial seseorang. Hal itu terlihat dari undha-usuking bahasa, mulai dari sapaan “Sampeyan Dalem” sampai “Kowe”.

“Sekadar untuk menyampaikan pendapat saja kepada “Sampeyan Dalem”, orang Jawa yang menduduki strata “kowe” harus melewati tujuh lapis. Kapan rakyat kecil bisa memiliki kedudukan yang egaliter?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

Ya, ya, ya, begitulah sisi lain yang tampak jelas tercermin di balik sosoknya yang bersahaja. Kang Tohari bisa demikian marah dan geram ketika menyaksikan wong cilik diperlakukan secara tidak adil. Dia tak hanya sekadar beretorika, tetapi benar-benar menyatu dan meleburkan hidupnya di tengah-tengah kehidupan wong cilik. Tak heran kalau dia tetap merasa betah dan nyaman hidup di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika masyarakat urban.

Dalam menggelar perhelatan pernikahan putri bungsunya, dokter Din Alfina binti Ahmad Tohari dan Wiwid Ardhianto SE pun, sejak Jumat hingga Minggu (21/6), Kang Tohari sengaja mengambil tema “Kembali ke Kampung” yang menggambarkan “pemberontakan kultural” terhadap menguatnya akar feodalisme dan kapitalisme itu.

Sebagaimana dilaporkan Suara Merdeka, Kang Tohari sengaja membuat setting perhelatan pernikahan dalam nuansa kampung orang gaplek. Tamu yang hadir silih berganti mengaku gumun memasuki halaman belakang rumah yang menjadi panggung utama dalam pagelaran mantenan itu. Pelataran belakang rumah yang sekaligus menjadi halaman musala Al Hidayah itu disulap menjadi suatu perkampungan, seperti tergambar dalam novel masterpiece Tohari itu. ”Kiye tah mantene wong gaplek (Ini dia perkawinan orang gaplek),” seru Edhi Romadhon, penggerak Komunitas Gethek.

Tohari lantas menunjukkan sekumpulan ketela pohon yang sudah dikupas dan disebar di atap rumah welit (atap ilalang) yang menjadi tempat pengantin jejer. Singkong yang dibiarkan terkena hujan dan panas selama berbulan-bulan itulah yang disebut gaplek. Di masa paceklik, singkong yang sudah ditumbuhi jamur itu jadi makanan pokok warga. Cermin kemiskinan itu selaras dengan gubuk bambu yang dinaunginya.

Seperti seniman lain saat punya gawe, suami Samsiah yang kerap disapa kiai ini rupanya juga sedang bermain simbol. Selain gaplek, tamu-tamu juga tercengang ketika mantenan ini menampilkan apa-apa yang serba ndesa.

”Suasana ini menjadi akar budaya saya, termasuk orang-orang yang kini sudah keluar dari kemiskinan. Sambil mantenan, sah-sah saja dong saya mengajak mereka untuk mengingat orang yang masih kelaparan, di tengah kebahagiaan kita,” kata Tohari.

Hmmm … Begitulah sisi lain sosok Ahmad Tohari yang tidak hanya gencar menyuarakan nasib wong cilik yang terpinggir dan dipinggirkan ke dalam teks sastra, tetapi juga menyelaraskan dan menyatukan “darah kehidupan”-nya di tengah-tengah kehidupan wong cilik yang kesrakat dan bersahaja. Meminjam istilah Bakdi Sumanto, Ahmad Tohari bisa dibilang sebagai seorang resi yang “tapa ngrame”, bertapa di tengah keramaian kehidupan rakyat kecil yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern dan kosmopolit yang sejatinya dengan mudah bisa dia nikmati dalam kemegahan yang sarat dengan sentuhan gebyar duniawi dan godaan nilai-nilai hedonisme. ***
READ MORE - Ahmad Tohari yang Suka "Tapa Ngrame"

Tak Ada Lagi Alasan untuk Mengebiri Sastra

Secara jujur harus diakui, selama ini sastra belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam dunia pendidikan kita. Selalu saja ada dalih untuk mengebirinya. Entah lantaran kurikulumnya, ketidaksiapan gurunya, sulitnya menentukan bahan ajar, atau minimnya minat siswa. Beberapa alasan klasik untuk menutupi nihilnya "kemauan baik" untuk memosisikan sastra pada aras yang berwibawa dan bermartabat. Yang lebih memprihatinkan, masih ada opini "menyesatkan" bahwa sastra hanya sekadar produk dunia khayalan dan lamunan yang tak akan memberikan manfaat dalam kehidupan nyata.

Sastra pada hakikatnya merupakan "prasasti" kehidupan; tempat diproyeksikannya berbagai fenomena hidup dan kehidupan hingga ke ceruk-ceruk batin manusia. Sastra bisa menjadi bukti sejarah yang otentik tentang peradaban manusia dari zaman ke zaman. Hal ini bisa terjadi lantaran sastra tak pernah dikemas dalam situasi yang kosong. Artinya, teks sastra tak pernah diciptakan lepas konteks dari masyarakat, tempat sang pengarang hidup dan dibesarkan. Dengan kata lain, teks sastra akan mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah produk budaya, dengan sendirinya teks sastra tak hanya merekam kejadian-kejadian faktual pada kurun waktu tertentu, tetapi juga menafsirkan dan mengolahnya hingga menjadi adonan teks yang indah, subtil, dan eksotis. Kepekaan intuitif sang pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan menjadi modal yang cukup potensial untuk melahirkan teks-teks sastra yang mampu mengharubiru emosi pembaca.


Karena diciptakan dengan mempertimbangkan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra, sebuah teks sastra memiliki kandungan nilai yang sarat dengan sentuhan kemanusiawian. Dengan membaca teks sastra, nurani pembaca menjadi lebih peka terhadap persoalan hidup dan kehidupan. Teks sastra juga mampu memberikan "gizi batin" yang akan mempersubur khazanah rohani pembaca sehingga terhindar dari kekeringan dan "kemiskinan" nurani. Tek sastra juga mampu merangsang peminat dan pembacanya untuk menghindari perilaku-perilaku anomali yang secara sosial sangat tidak menguntungkan. Agaknya masuk akal kalau Danarto pernah bilang bahwa kaum remaja-pelajar yang suka tawuran dan selalu menggunakan bahasa kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan potret kegagalan pengajaran sastra di sekolah. Mereka tak pernah membaca teks sastra sehingga tidak memiliki kepekaan dan kearifan dalam menghadapi masalah kehidupan yang mencuat ke permukaan.

Persoalannya sekarang, masihkah kita mencari-cari alasan untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan ketika peradaban benar-benar sedang "sakit"? Masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral? Masihkah kita mengambinghitamkan kurikulum pendidikan ketika apresiasi sastra di kalangan pelajar menjadi mandul, bahkan banyak pelajar kita yang mengidap "rabun sastra"?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Sastra bukan "sihir" yang sekali "abrakadabra" langsung bisa mengubah keadaan. Sastra lebih banyak bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian sehingga hasilnya tak kasat mata. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi sastra berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya. Proses apresiasi sastra semacam itu akan menghasilkan "kristal-kristal" kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Ini artinya, mengebiri sastra dalam kehidupan tak jauh berbeda dengan upaya pengingkaran terhadap nilai-nilai kemuliaan dan martabat manusia itu sendiri.

Dalam konteks demikian, sesungguhnya tak ada alasan lagi untuk melakukan proses marginalisasi terhadap sastra, apalagi dalam dunia pendidikan yang notabene menjadi "agen perubahan" untuk melahirkan generasi masa depan yang cerdas, bermoral, dan religius. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun kini sudah amat akomodatif dan bersahabat dengan sastra. Jika kurikulum sebelumnya membidik sastra hanya sekadar tempelan seperti dalam sebuah mozaik, kini sastra sudah menjadi bagian esensial dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Lihat saja Standar Kompetensi (SK) dan KD mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP di sini! Keterampilan mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis, tak hanya dioptimalkan dalam pembelajaran aspek kebahasaan, tetapi juga dalam pembelajaran aspek kesastraan. Jadi, dalam pembelajaran sastra di SMP, kini sudah ada keterampilan mendengarkan sastra, berbicara sastra, membaca sastra, dan menulis sastra. Jelas ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya tidak ada alasan lagi untuk mengebiri sastra dalam dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan yang memberikan ruang gerak secara leluasa kepada para guru bahasa dalam mengelola proses pembelajaran, jelas akan memberikan prospek yang cerah dalam gerak dan dinamika apresiasi sastra di kalangan siswa.

Nah, kalau kurikulum sudah memberikan atmosfer yang cukup kondusif, ternyata siswa masih "rabun sastra", bagaimana? Bisa jadi ada kesalahan pada aras implementasinya. Guru, jelas, menjadi faktor utama. Menyajikan materi kesastraan jelas sangat berbeda dengan menyajikan materi kebahasaan. Untuk memberikan sugesti kepada siswa, guru sastra diharapkan memiliki wawasan sastra yang "canggih" sekaligus mampu memberikan keteladanan tentang kecintaannya terhadap sastra. Sarana pendukung, seperti perpustakaan dan fasilitas pembelajaran lainnya, juga menjadi penentu. Bagaimana siswa bisa belajar apresiasi sastra dengan baik kalau rak perpustakaan sekolah hanya dihuni buku-buku usang?

Yang tidak kalah penting adalah memperbanyak agenda kegiatan sastra, semacam pentas baca puisi atau cerpen, lomba dan festival, atau menyediakan media publikasi (cetak) untuk menerbitkan karya-karya siswa. Dengan cara demikian, sastra tak akan terjebak menjadi pengetahuan kognitif dalam ranah memori siswa, tetapi menyatu dalam sikap dan emosi, yang akan terus melekat dan mengakar dalam khazanah batin siswa hingga kelak mereka menjadi insan yang memiliki sikap responsif terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Nah, bagaimana? ***
READ MORE - Tak Ada Lagi Alasan untuk Mengebiri Sastra

Badar Besi

Cerpen Damhuri Muhammad
Dimuat di Jawa Pos (06/14/2009)

(1)

Centeng los daging yang ditakuti para pemalak di pasar ini di masa lalu hanya seorang tukang cukur. Meski begitu, menjadi tukang cukur, baginya, adalah sebuah kuasa yang belum tentu dimiliki oleh pembunuh bertangan dingin sekalipun. Betapa tidak? Tanpa gamang dan was-was, leluasa tangannya menekan, menekuk, dan bila perlu memelintir tempurung kepala siapa saja yang sedang dicukurnya. Di tangannya, semua kepala sama harganya, atau barangkali tak berharga. Tak peduli orang terpandang, tetua adat yang pantang disentuh bahkan ujung rambutnya sekalipun, atau jawara kampung yang kerap menagih jatah begitu gilirannya duduk di kursi cukur, bila bertingkah macam-macam, tukang cukur itu tentu sangat berpeluang menggunting daun kupingnya.

Di suatu senja yang sepi pelanggan, ia kedatangan bocah sembilan tahun yang memohon-mohon, merengek-rengek, agar rambutnya lekas dipangkas. Rona mukanya ketakutan, matanya merah-sembab. Ia mengaku rusuk dan pinggangnya memar setelah dicambuki bapaknya dengan ikat pinggang ukuran sedang. Bapaknya naik darah, sebab sudah kerap ia disuruh pangkas rambut, tapi suruhan itu bagai masuk di telinga kanan, tapi keluar lagi di telinga kiri.

''Upah pangkas dari bapak sudah habis untuk beli gundu. Begitu ada uang jajan lagi, akan saya bayar.''

Tukang cukur tak berpikir panjang. Dililitkannya kain belacu buram di leher anak itu hingga tertutup sekujur tubuhnya, agar bekas-bekas potongan rambut tidak lengket di bajunya. Gunting di kanan, sisir di kiri. Tak berselang lama, ia merasa ada yang janggal. Rambut anak itu tak seperti rambut pelanggan biasanya --yang begitu dimakan gunting langsung jatuh berserak di atas kain belacu. Ia mengira mungkin guntingnya sudah majal lantaran lama tak diasah, karena itu digantinya dengan yang lebih tajam. Tapi rambut itu tetap tak mempan digunting. Begitu keras, begitu kesat, bagai menggunting kawat.

''Ini rambut atau kawat baja? Semua gunting dan pisauku pepat dibuatnya,'' gerutu tukang cukur yang mulai berkeringat.

Anak itu diam, sementara ia mulai menduga-duga. Jangan-jangan bukan rambutnya saja yang tak mempan dimakan mata gunting. Mungkin kulitnya juga tak bisa dilukai. Diam-diam digoreskannya pisau cukur paling tajam di kuduk anak itu. Diulangnya sekali lagi. Ditikamnya lebih dalam, lebih mencukam. Lagi-lagi pisau itu bagai tumpul. Jangankan luka, tergores pun tidak. Rupanya ia benar-benar sedang berhadapan dengan bocah kebal.

''Apa yang kau simpan dalam saku celanamu?'' tanya tukang cukur.

''Cuma batu. Saya menukarnya dengan batu milik bapak. Cukup licin dan bulat untuk main gundu-gunduan,'' jawabnya sambil menunjukkan batu seukuran gundu yang baru saja dirogohnya dari saku. ''Bila suka, ambil saja. Lumayan buat batu cincin, daripada dibuang.''

''Ayolah, kau harus segera dicukur.''

''Bagaimana dengan upahnya?''

''Tak usah pikirkan soal itu!''

Sejak itu, tak tampak lagi batang hidung si tukang cukur. Orang-orang bilang, ia hengkang sebab upah cukur tidak lagi memadai. Diterimanya tawaran seorang sejawat untuk membuka usaha pangkas rambut di rantau orang. Diboyongnya anak-bini ke tanah seberang, hingga orang-orang kampungnya harus merelakan kepala mereka di tangan tukang pangkas keliling yang kadang datang, kadang tidak, lantaran ia menyambi sebagai kusir bendi. Ada pula yang bercukur di kampung sebelah, meski mutu cukuran itu tidak ada apa-apanya dibanding kerapian cukuran tukang pangkas cekatan yang sudah terbang-hambur itu.

(2)

Tanbasa nyaris dihabisi oleh tiga sejawatnya karena ia sembarangan menyimpan barang berharga hasil penggalian mereka selama berbulan-bulan. Satu di antara tiga sejawat itu, Sitorus, mantan anggota polisi yang meminta pensiun dini setelah menemukan selembar peta usang dalam sebuah penggeledahan di rumah yang ditengarai sebagai markas pengedar ganja. Bukan sembarang peta, tapi peta yang menandai tempat-tempat rahasia penyimpanan barang-barang berharga peninggalan orang-orang di masa dahulu. Peta harta karun, barangkali. Menurut perkiraan Sitorus, bila satu titik saja berhasil digali, nilainya setara dengan kekayaan tujuh turunan. Dari sekian banyak tempat yang tertandai, terpilih satu titik di lereng sebelah selatan Bukit Tui yang menurut mereka paling aman. Tanbasa, petani kentang yang begitu tekun, terbujuk iming-iming Sitorus. Kentang yang mulai matang tidak lagi diurusnya. Istrinya kerap marah-marah karena Tanbasa sibuk bolak-balik ke lereng Bukit Tui. Selalu pulang larut malam, karena harus memperlihatkan setiap hasil penggalian pada Nisar, dukun pilih tanding yang dipercaya Sitorus mengawal penggalian itu. Selepas dua minggu penggalian, Nisar menyampaikan kabar baik. Menurut penglihatan mata batinnya, di lubang yang telah mereka gali itu tersimpan sebuah peti besi berisi bongkahan-bongkahan emas, batu-batu permata, dan barang-barang pecah-belah berusia ratusan tahun. Namun, makhluk penunggu lubang itu baru bisa memberikan sebuah batu seukuran gundu. Barang siapa memegang dan menyimpan batu itu, niscaya semua anggota tubuhnya kebal dari semua senjata yang berasal dari unsur besi. Orang-orang dulu menyebutnya Badar Besi. Maka, pada malam yang telah ditentukan, Nisar turun ke lokasi penggalian. Dikerahkannya segenap kesaktian guna membangkitkan Badar Besi dari lubang itu. Tanah di sekeliling lubang retak-rengkah, nyaris terbelah dua, lalu serpihan-serpihannya membesut ke permukaan. Nisar menyediakan kain seukuran sapu tangan yang katanya dirajut dari benang tujuh rupa, guna menampungnya saat jatuh kembali ke permukaan. Badar Besi ada dalam salah satu serpihan itu.

''Bagaimana cara kami membaginya, sementara hanya ada satu batu?''

''Barang itu hanya bisa menjadi milik bersama.''

''Bagaimana kalau dijual? Hasilnya dibagi rata.''

''Begitu lebih baik. Tapi, tak boleh ada keculasan. Bisa celaka.''

Mereka memercayai Tanbasa sebagai orang yang paling layak menyimpan Badar Besi sebelum tiba saatnya dijemput oleh seseorang, tentu setelah mereka sepakat perihal imbalan yang setimpal dengan kehebatan Badar Besi. Calon pembeli yang duitnya konon tak berseri itu bahkan berkenan menanggung berapa pun biaya yang diperlukan untuk penggalian selanjutnya, tentu setelah terbukti bahwa Badar Besi yang berada di tangan Tanbasa benar-benar asli. Celakanya, Badar Besi itu ternyata omong kosong belaka. Orang suruhan pembeli membelitkan Badar Besi yang masih terbungkus sapu tangan dari rajutan benang tujuh rupa itu di leher seekor kucing. Ia menyembelihnya, dan kucing itu menggelepar-gelepar sebelum tumbang berlumur darah, sebagaimana penyembelihan biasa. Badar Besi yang semula bakal mengubah peruntungan Sitorus, Tanbasa, Tuninjun, dan Jukamba telah ditukar seseorang dengan batu lain. Meski warna, kebulatan dan kelicinannya hampir sama, tapi itu palsu, tak lebih bernilai dari batu akik yang biasa dijajakan di kaki lima.

''Bila Badar Besi tidak kembali, kusembelih kau seperti kucing kurap itu!'' gertak Sitorus yang mulai naik pitam.

''Gara-gara penggalian itu, anakku sering kerasukan setan. Dan, kau lalai menjaga barang itu. Setan!'' tambah Tuninjun.

''Kau sia-siakan kepercayaan kami. Keparat busuk!''

(3)

Bertahun-tahun mereka menunggu. Badar Besi tiada kunjung kembali. Sia-sia belaka kerja keras mereka. Sialnya lagi, mereka tak henti-henti dirundung petaka. Para penggali itu tak setangguh dulu. Kini, Sitorus lumpuh. Separo badannya mati-rasa, terkulai tak berdaya di atas kursi roda. Orang-orang bilang ia terserang stroke, sementara Sitorus yakin bahwa penyakit itu akibat dari penggalian harta karun yang ia pimpin puluhan tahun silam. Anak laki-laki Tuninjun tak kunjung sembuh. Saat kerasukan, ia mengunyah-ngunyah pisau silet seperti mengunyah keripik talas. Belum ada dukun yang sanggup mengobatinya, termasuk Nisar, yang semakin menurun saja kesaktiannya. Begitu pun Jukamba, ia sering mengeluh lantaran hidupnya tak pernah tenteram sejak malam penemuan Badar Besi itu. Kerap ia dihantui mimpi buruk. Dalam mimpi itu ia didatangi sosok berwajah iblis yang selalu mengingatkan bahwa tidak lama lagi ia akan mati, dan celakanya, kematian itu bakal berdarah-darah.

Hanya Tanbasa yang masih segar-bugar. Meski tubuhnya mulai ringkih, lelaki tua itu sehat walafiat, tak kurang satu apa pun. Tidak pula mengalami keganjilan-keganjilan sebagaimana sejawat-sejawatnya. Bila Sitorus, Tuninjun, dan Jukamba sudah membuang semua angan-angan muluk tentang Badar Besi, Tanbasa justru kian bergairah untuk kembali menemukan barang keramat itu.

''Dulu, bapak pernah menyambukimu dengan ikat pinggang hingga rusukmu memar. Masih ingat?'' tanya Tanbasa pada Juangkat, anak laki-lakinya yang mulai beranjak dewasa.

''Tentu. Hingga kini aku tidak pernah telat pangkas rambut.''

''Waktu itu bapak ingin menguji kekuatan Badar Besi di dalam saku celanamu. Kau menukarnya dengan batu gundu bukan? Tapi bapak biarkan saja.''

''Bapak juga tahu kalau batu itu kuberikan pada tukang cukur sebagai ganti upah cukur?'' tanya Juangkat.

''Untuk sementara Badar Besi lebih aman di tangan cukur itu.''

''Bapak lakukan itu agar kelak kau memilikinya. Kini saatnya kau merebutnya kembali.''

(4)

Lama sekali aku mengabdi sebagai kaki-tangan centeng los daging di pasar ini. Tapi ia tak pernah tahu asal-usulku. Lagi pula, itu tidak penting baginya, ia hanya perlu anak semang yang siap mati demi ketersohorannya. Tapi aku sangat mengenalnya, seperti aku mengenal puncak hidungku sendiri. Kutandai segala tindak-tanduknya, kuhapal segala pantangannya, kumata-matai di tubuh bagian mana ia menyembunyikan Badar Besi yang konon menjadi sumber kesaktiannya. Ia makin menua, tak sebengis dulu. Ia memang tak mempan ditikam, tapi mustahil ia kebal dari ajal. Akan tiba saatnya aku merenggut Badar Besi dari tangannya. Aku bukan Marpaung --kacung yang dipercayainya rela hilang nyawa demi nama besarnya. Tidak! Nama asliku Juangkat. Saat umurku sembilan tahun, aku pernah membuat ia berkeringat dingin lantaran rambutku tak mempan dimakan mata gunting dan mata pisau cukurnya.***

Jakarta, 2009
READ MORE - Badar Besi

Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Oleh: Sawali Tuhusetya



belantikSalah satu novel karya Ahmad Tohari yang cukup penting ialah Belantik (2001) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Persoalan menarik yang terdapat dalam novel Belantik adalah penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam dialog antartokoh. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam ikwal karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Masalah yang dikaji adalah: (a) apa sajakah karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik; (b) apa sajakah fungsinya; dan (c) hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi penggunaan tuturan tersebut. Tujuan penelitian adalah: (a) mengidentifikasi karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan; (b) mengidentifikasi fungsi tuturan tersebut; dan (c) memaparkan latar belakang penggunaan tuturan tersebut. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya stilistika dari sudut pandang pragmatik dan menambah khazanah pustaka karya ilmiah di bidang pragmatik. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi pembuka jalan terhadap penelitian teks novel dari sudut pandang pragmatik yang lain, misalnya, karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung implikatur percakapan. Selain itu, para calon pengarang novel bisa memanfaatkan hasil penelitian ini dalam menciptakan teks novel, khususnya dalam menciptakan konflik melalui dialog antartokoh.

Ada dua teori yang digunakan, yaitu teori novel dan teori pragmatik. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan stilistika (monisme) dan pragmatik. Pendekatan monisme digunakan untuk mengkaji fungsi dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, sedangkan pendekatan pragmatik digunakan untuk mengkaji karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian adalah metode telaah isi. Untuk memperoleh data yang benar-benar valid dilakukan validasi data, yaitu memilih data yang benar-benar sesuai dengan kriteria. Data yang telah dipilah-pilah dianalisis dengan menggunakan metode normatif, yaitu metode yang penggunaannya didasarkan pada fakta yang ada.

Data penelitian berupa penggalan teks yang berisi tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan sesuai dengan kriteria. Data penelitian ditafsirkan dengan menggunakan analisis monisme dan analisis pragmatik. Berdasarkan hasil penafsiran, hasil penelitian disimpulkan dengan metode generalisasi untuk mengidentifikasi karakteristik, fungsi, dan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan, serta memaparkan latar belakang penggunaan tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik.

Karakteristik Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Karakteristik tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dipilah ke dalam empat kelompok berdasarkan: (1) situasi tutur; (2) jenis tuturan; (3) pelanggaran prinsip kerja sama; dan (4) pelanggaran prinsip kesantunan.

1. Berdasarkan Situasi Tutur
Berdasarkan situasi tutur, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki karakteristik berupa tuturan bernada: sinis, memuji, membujuk, mengancam, memaksa, sombong, menyindir, merendahkan harga diri pihak lain, umpatan, rendah hati, kurang percaya diri, dan vulger.

1.1 Tuturan Bernada Sinis
Tuturan bernada sinis adalah tuturan yang bersifat mengejek atau memandang rendah pihak lain tanpa melihat sisi kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik yang dimiliki pihak lain.














(1)HANDARBENI:Sudah, Mbakyu. Aku memang sudah mengatakan Lasi istriku. Sah. Tetapi Bambung tetap ngotot. ...
BU LANTING:... Dan bukan rahasia lagi, Anda pun biasa ngiler bila melihat perempuan cantik, tak peduli dia istri orang. Iya, kan? Nah, dari soal menggampangkan perempuan, kini Anda digampangkan orang dalam urusan yang sama. Tak aneh, ya?

(Belantik: 9)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sinis pada penggalan teks (1) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk memengaruhi Handarbeni agar mau "meminjamkan" Lasi kepada Bambung.
1.2 Tuturan Bernada Memuji
Tuturan bernada memuji adalah tuturan yang isinya berupa pernyataan rasa pengakuan atau penghargaan terhadap kelebihan pihak lain.















(2)


LASI:

Sama saja, Bu. Jadi kalau Pak Bambung mau datang kemari, ya datanglah.




BU LANTING:

Aduh, kamu memang anak manis, Las. Ya, apa salahnya menjadi pendamping orang gedean seperti Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (2) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memuji. Dalam percakapan tersebut, Lasi memilih sikap mengalah dengan berpura-pura mau menerima kehadiran Bambung. Namun, sikap Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting yang terus berusaha memengaruhi Lasi agar mau menuruti keinginan Bambung. sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada memuji.
1.3 Tuturan Bernada Membujuk
Tuturan bernada membujuk merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk meyakinkan pihak lain dengan kata-kata yang manis bahwa apa yang dikatakan itu benar.














(3)LASI:

Pokoknya nekat. Ibu sudah tahu bila orang sudah nekat.




BU LANTING:

Las, dokter bisa menggugurkan kandunganmu tanpa kamu harus merasakannya. Paling-paling kamu disuruh mengisap sesuatu dengan hidung, lalu tidur. Begitu kamu bangun dokter sudah selesai. Atau malah lebih mudah dari itu. Karena kandunganmu masih sangat muda, siapa tahu penggugurannya cukup dengan menelan obat. Nah, gampang sekali, kan?



(Belantik: 117)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan pada penggalan teks (3) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bertujuan untuk membujuk Lasi agar mau menggugurkan kandungannya sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang bernada membujuk.
1.4 Tuturan Bernada Mengancam
Tuturan bernada mengancam adalah tuturan yang menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.














(4)LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya....



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (4) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada mengancam. Dalam percakapan tersebut, Lasi bersikukuh untuk tidak mau melayani permintaan Bambung. Namun, pernyataan Lasi ditafsirkan secara keliru oleh Bu Lanting sehingga melahirkan tuturan sebagai produk tindak verbal yang tuturan bernada mengancam.
1.5 Tuturan Bernada Memaksa
Tuturan bernada memaksa adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.




















(5)BU LANTING:

Ya. bila benar kamu hamil, dia memang menghendaki kandunganmu digugurkan.




LASI:

Tidak bisa, Bu. Saya tidak mau.




BU LANTING:

Ah, apa iya? Bagaimana kalau kamu dipaksa?



(Belantik: 116-117)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (5) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada memaksa. Dengan berbagai cara, Bu Lanting memaksa Lasi agar mau menggugurkan kandungannya.
1.6 Tuturan Bernada Sombong
Tuturan bernada sombong merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menghargai diri sendiri secara berlebihan (congkak).














(6)PAK MIN:Jadi, Bapak juga percaya keutamaan pitutur kejawen?


HANDARBENI:Lho, Pak Min bagaimana? Sudah dibilang saya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut tetap priyayi Jawa. Jadi saya percaya semua pitutur kejawen. Percaya betul. Tetapi, Pak Min, seorang priyayi yang percaya terhadap pitutur itu tidak harus menjalankannya, bukan?

(Belantik: 18)



Tuturan Handarbeni mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada sombong. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta Handarbeni untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak Min justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada sombong.
1.7 Tuturan Bernada Menyindir
Tuturan bernada menyindir adalah tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk mencela atau mengejek pihak lain secara tidak langsung atau tidak terus terang.














(7)PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Tetapi orang hidup harus punya ambisi, punya keinginan. Artinya, orang harus mengejar apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Bila tidak, ya melempem, atau mati sajalah. Orang yang tak punya ambisi, yang nrima terus, tak bisa maju, kan? Mau tahu contohnya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada menyindir pada penggalan teks (7) terdapat dalam tuturan Handarbeni. Dalam percakapan itu, Pak Min diminta untuk menguraikan makna pitutur kejawen. Namun, pernyataan Pak justru direspons Handarbeni secara keliru sehingga melahirkan tuturan bernada menyindir.
1.8 Tuturan Bernada Merendahkan Harga Diri Pihak Lain
Tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran yang menganggap diri sendiri sebagai orang yang bermartabat dan terhormat, sedangkan pihak lain dianggap kurang bermartabat dan terhormat.















(8)


PAK MIN:Ya, Pak.


HANDARBENI:Contohnya, ya Pak Min sendiri. Dulu ayah Pak Min jadi pembantu di rumah orangtua saya. Sekarang Pak Min hanya jadi sopir saya. Nanti anak Pak Min jadi sopir atau pembantu anak saya?

(Belantik: 17)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain pada penggalan teks (8) terdapat pada tuturan Handarbeni. Kekeliruan inferensi tersebut dinyatakan dalam tuturan bernada merendahkan harga diri pihak lain, yaitu merendahkan harga diri keluarga Pak Min yang dicontohkan sebagai orang yang tidak mempunyai ambisi dan keinginan.
1.9 Tuturan Bernada Umpatan
Tuturan bernada umpatan merupakan tuturan yang mengandung perkataan keji atau kotor, cercaan, atau makian, yang terekspresi karena perasaan marah, jengkel, atau kecewa.















(9)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! ....



(Belantik: 115)



Tuturan Bambung pada penggalan teks (9) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada umpatan. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting terkejut setelah diberitahu kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting dipahami secara keliru oleh Bambung melalui pernyataan yang bernada umpatan.
1.10 Tuturan Bernada Rendah Hati
Tuturan bernada rendah hati merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran untuk menyatakan sikap rendah hati, tidak sombong, atau tidak angkuh.














(10)HANDARBENI:Nguawur! Tadi saya bertanya mengapa hidup yang empuk, angler nguler kambang bisa tiba-tiba berubah jadi panas dan memusingkan kepala?


PAK MIN:Oh, itu, Pak, yang begitu kok Bapak tanyakan kepada saya; mana bisa saya menjawabnya?

(Belantik: 15-16)



Tuturan Pak Min pada penggalan teks (10) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada rendah hati. Kekeliruan inferensi itu terjadi ketika Pak Min merespons pernyataan mitra tuturnya, Handarbeni, yang memintanya untuk menjawab pertanyaan Handarbeni. Pertanyaan itu dijawab secara keliru oleh Pak Min melalui tuturan yang bernada rendah hati.
1.11 Tuturan Bernada Kurang Percaya Diri
Tuturan bernada kurang percaya diri merupakan tuturan yang menyatakan sikap kurang yakin terhadap kebenaran, kemampuan, atau kelebihan diri sendiri.




















(11)KANJAT:

Mungkin, dirjen; direktur jenderal.




LASI:

Pokoknya begitulah. Kata Bu Lanting lagi, orang yang ingin menang di pengadilan juga bisa minta rek...rek...rek... apa?




KANJAT:

Rekomendasi.



(Belantik: 125-126)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada kurang percaya diri pada penggalan teks (11) terdapat pada tuturan Lasi. Tuturan yang diujarkan Lasi bermodus introgatif sebagai ekspresi sikap kurang percaya diri akibat tingkat pendidikannya yang rendah.
1.12 Tuturan Bernada Vulger
Tuturan bernada vulger adalah tuturan yang mengandung kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan, kejengkelan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada pihak lain.















(12)


BU LANTING:

Apa? Hamil? Lasi hamil? Ah, dia tak bilang apa-apa sama saya? Jadi mana saya tahu?




PAK BAMBUNG:

Brengsek! Dengar ini! Aku tidak suka perempuan bunting. Tidak doyan! Tahu? Ingin mengerti sebabnya?



(Belantik: 115)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan bernada vulger pada penggalan teks (12) terdapat pada tuturan Bambung. Dalam percakapan tersebut, Bu Lanting menunjukkan sikap keterkejutannya dengan menggunakan tuturan bermodus introgatif karena dia memang belum mengetahui kalau Lasi hamil. Namun, keterkejutan Bu Lanting justru direspons secara negatif oleh Bambung dengan mengucapkan kata-kata bernada vulger.
2. Berdasarkan Jenis Tuturan
Berdasarkan jenisnya, tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan dalam novel Belantik memiliki karakteristik berupa tuturan: ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif, komisif, isbati, taklangsung, dan takharfiah.
2.1 Tuturan Ilokusi
Tuturan ilokusi adalah tuturan yang mengandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu.














(13)LASI:

Baik, Bu.


BU LANTING:

Anu, Las. Lebih baik kamu bawa pakaian. Soalnya kalau lelah, mungkin kita harus menginap.



(Belantik: 26)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ilokusi pada penggalan teks (13) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Permintaan Bu Lanting agar Lasi membawa pakaian karena kalau lelah kemungkinan harus menginap terkandung maksud, fungsi, dan daya tuturan tertentu, yaitu Lasi hendak dipertemukan dengan Bambung.
2.2 Tuturan Perlokusi
Tuturan perlokusi merupakan jenis tuturan yang mengacu kepada efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu.














(14)HANDARBENI:Sebentar, Mbakyu. Rasanya tak enak menyerah begitu saja kepada momok itu. Lagi pula, betapapun lobinya sangat kuat, dia toh sebenarnya bukan atasanku. Bagaimana menurut Mbakyu?
BU LANTING:Pak Han, Anda ini bagaimana? Kok Anda jadi bodoh begitu? Apa Anda nggak ngerti, sebenarnya Bambung bahkan sudah tak punya jabatan resmi lagi? Tetapi Anda harus ingat, baik punya jabatan resmi atau tidak, yang pasti dia tetap Bambung. Jaringan lobinya tetap kukuh dan canggih. Dia memang hebat. Bahkan dahsyat. Dan ikwal hal ini saya tahu betul. Dengan kekuatan seperti itu lobi Bang Bajul ini pasti akan mampu menembus birokrasi di atas Anda dengan mudah. ...

(Belantik: 9-10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi pada penggalan teks (14) terdapat pada tuturan Bu Lanting. Tuturan tersebut bisa memberikan efek ketakutan kepada Handarbeni sehingga bisa dikatakan mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan perlokusi.
2.3 Tuturan Representatif
Tuturan representatif (asertif) adalah tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.















(15)


LASI:

Pak sopir, saya tak jadi ke Cikini.




SOPIR TAKSI:

Daripada pergi tanpa tujuan, Bu, apa tidak baik kita nonton saja? Sekarang filmnya bagus. Bagaimana?



(Belantik: 64-65)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan representatif pada penggalan teks (15) terdapat pada tuturan sopir taksi karena mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan keinginannya kepada mitra tutur.


2.4 Tuturan Direktif
Tuturan direktif atau impositif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud ujaran agar mitra tutur melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan.















(16)


LASI:Jadi Ibu di situ sekarang?


BU LANTING:

... Tolong deh urus dia. Kalau perlu turuti apa maunya, toh kamu tidak akan rugi. Betul deh!



(Belantik: 44)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (16) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena mengacu pada maksud ujaran agar mitra tuturnya, Lasi, melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam tuturan, yaitu menyuruh Lasi agar mengurus Bambung.
2.5 Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk menyatakan penilaian.















(17)


BU LANTING:

Lain, Las, lain, karena kamu muda dan sangat, sangat pantas, hadir di tengah perempuan cantik lainnya. Duta Besar dan istrinya pasti akan tahu kamu memang bukan istri Pak Bambung. Tetapi mereka mau apa, sebab kamu adalah yang tercantik di antara semua perempuan yang pernah digandeng Pak Bambung. ...




LASI:

Anu Bu... tetapi, Bu... saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya ....



(Belantik: 35-36)



Pujian Bu Lanting pada penggalan teks (17) merupakan kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan ekspresif karena mengacu pada maksud ujaran untuk memuji mitra tuturnya agar mau memenuhi permintaan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.
2.6 Tuturan Komisif
Tuturan komisif merupakan tuturan yang mengacu pada maksud tuturan untuk mengikat penuturnya melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam tuturan.





















(18)


LASI:

Jangan, Pak. Jangan! Saya tidak siap. Saya tidak mau.




BAMBUNG:

... Las, kalau kamu menurut nanti kamu saya lelo-lelo, saya emban, saya pondhong. Bila menurut nanti kamu bisa minta apa saja atau ingin jadi apa saja. Apa kamu ingin jadi... komisaris bank? Atau anggota





parlemen? Ya, mengapa tidak? Kalau mau, nanti saya yang akan ngatur, maka semuanya pasti beres ....



(Belantik: 53)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan komisif pada penggalan teks (18) terdapat pada tuturan Bambung karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang memberikan janji kepada mitra tuturnya, Lasi, yaitu mau menuruti semua permintaan Lasi dengan syarat Lasi juga bersedia menuruti semua keinginannya.
2.7 Tuturan Isbati
Tuturan isbati adalah tuturan yang diacu oleh maksud tuturan yang di dalam pemakaiannya untuk menyatakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.














(19)BU LANTING:Lho, Pak Han, daripada Anda kehilangan jabatan dan karier politik? Sudah saya bilang, soal bekisar, Anda bisa mencari yang baru. Jangan khawatir, nanti saya bantu. Mau yang rambon Cina, Arab,

Spanyol, atau Yahudi? Atau malah rambon Cina-Irian? Yang terakhir ini lagi mode lho.
HANDARBENI:.... Urus saja Lasi dan aturlah kencannya dengan si sialan itu. Selanjutnya aku tak mau tahu lagi. ...

(Belantik: 12)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan isbati pada penggalan teks (19) terdapat dalam tuturan Handarbeni karena ujaran tersebut mengacu pada maksud tuturan untuk memutuskan sesuatu. Keputusan tersebut dinyatakan kepada mitra tuturnya, Bu Lanting, yaitu Handarbeni memutuskan untuk menyerahkan Lasi kepada Bambung dan meminta Bu Lanting untuk mengurusnya.
2.8 Tuturan Taklangsung
Tuturan taklangsung merupakan tuturan isbati yang digunakan untuk bertanya, memerintah, atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional.














(20)HANDARBENI:Betul! Maka dia adalah bajul buntung? Eh, Bambung? Nah!
BU LANTING:.... Namun di rumah? He-he-he ... dia tidak berkutik di bawah ketiak istri pertamanya yang peot dan nyinyir itu. Lalu mengapa Anda heboh? Belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti kebajulannya? ...

(Belantik: 8)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi yang memiliki karakteristik berupa tuturan taklangsung pada penggalan teks (20)terdapat pada tuturan Bu Lanting karena penutur melakukan kekeliruan dalam menafsirkan maksud tuturan mitra tuturnya dengan menggunakan tuturan bermodus ekspresif dan direktif secara tidak konvensional.
2.9 Tuturan Takharfiah
Tuturan takharfiah adalah tuturan yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.














(21)HANDARBENI:Lho, Mbakyu, kalau begini aku harus bagaimana? Masakan aku harus melepas bekisarku meski katanya, dia hanya mau pinjam sebentar? Bagaimana Mbakyu?
BU LANTING:Nanti dulu, Pak Han. Anda bercerita gugup seperti kondektur ketinggalan bus....

(Belantik: 7-8)



Tuturan Bu mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik berupa tuturan takharfiah karena tuturan tersebut mengacu pada maksud ujaran yang tidak sama dengan kata-kata yang membentuknya.



3. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja dijabarkan ke dalam empat bidal, yaitu bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi, dan bidal cara. Jika keempat bidal ini dilanggar akan tercipta percakapan yang tidak kooperatif.















(22)


LASI:

Yang penting duit ya, Bu?




BU LANTING:

Ah, kamu sudah mengatakannya. Meski tahu kamu berseloroh, namun aku menganggap kata-katamu betul. Itulah sikapku; dalam hidup yang penting duit. Maka bila jadi kamu, aku akan menuruti kata-kata ini: daripada sakit karena melawan pemerkosaan, lebih baik nikmati perkosaan itu. Ya, ini gila. Tetapi pikirlah. Kamu sudah membuktikan, ke mana pun lari kamu tak akan luput dari tangan Pak Bambung. ...



(Belantik: 108-110)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (22) mengandung kekeliruan inferensi yang melanggar prinsip kerja sama, khususnya bidal kuantitas, karena Bu Lanting memberikan informasi yang berlewah yang sebenarnya tidak diperlukan oleh Lasi.
4. Berdasarkan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan dijabarkan ke dalam enam bidal, yaitu bidal ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian. Jika keenam bidal prinsip kesantunan ini dilanggar akan tercipta tuturan yang tidak santun.














(23)HANDARBENI:Jadi aku harus menyerah? Jadi biarlah Lasi dipinjam si pelobi itu?
BU LANTING:Lho, saya tak bilang begitu. Saya hanya bilang, rasanya aneh. Di satu pihak Anda pernah memberi Lasi kebebasan meskipun saya tahu dia belum bisa menggunakannya. Di pihak lain, Anda kelabakan ketika Bung Bambung kepingin bekisar itu. Bagaimana? Kok sepi? ....

(Belantik: 10)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang memiliki karakteristik melanggar prinsip kesantunan bidal ketimbangrasaan pada penggalan teks (23) terdapat pada tuturan Bu Lanting karena memaksimalkan biaya kepada pihak lain dan meminimalkan keuntungan kepada pihak lain.



C. Fungsi Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik

Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan memiliki dua fungsi, yaitu sebagai (1) pemicu konflik eksternal; dan (2) pemicu konflik internal.
1. Pemicu Konflik Eksternal
Tuturan dalam novel Belantik yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal terinci ke dalam empat jenis konflik, yaitu percekcokan, pelecehan status sosial, penindasan, dan pemaksaan.


1.1 Percekcokan
Konflik eksternal yang berupa percekcokan ditandai dengan adanya percakapan yang mengandung pertengkaran atau perselisihan pendapat antara penutur dan mitra tutur.














(24)HANDARBENI:Mbakyu, jangan bicara begitu. Sebab, soal Lasi kuanggap lain. Dia tetap bekisar yang istimewa.
BU LANTING:Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi orang normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh berada dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alaaah, gampang sekali, kan?

(Belantik: 9-10)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (24) memicu terjadinya percekcokan dengan Handarbeni. Handarbeni tidak akan menyerahkan Lasi begitu saja kepada Bambung, apalagi Bambung bukan atasan Handarbeni. Pernyataan ini menimbulkan reaksi yang lebih keras dari Bu Lanting dengan mengeluarkan kata-kata ancaman.
1.2 Pelecehan Status Sosial
Konflik eksternal berupa pelecehan status sosial dalam novel Belantik terekspresi dalam wujud dialog antartokoh yang mengandung unsur pelecehan status sosial, yaitu memandang rendah, menghinakan, atau mengabaikan pihak lain.















(25)


PAK MIN:Jadi wewarah itu buat siapa?


HANDARBENI:He-he-he, ya buat para petani dan wong cilik lainnya seperti Pak Min itu.

(Belantik: 20)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (25) terdapat pada tuturan Handarbeni yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pelecehan status sosial, yaitu melecehkan status sosial Pak Min yang hanya berprofesi sebagai seorang sopir pribadi.
1.3 Penindasan
Konflik eksternal berupa penindasan terwujud dalam percakapan yang mengandung unsur penindasan, yaitu memperlakukan pihak lain dengan sewenang-wenang dan lalim.















(26)


LASI:

.... Bapak sudah mendengar semuanya. Kini saya sedang mengandung anak suami saya, Kanjat. Jadi, apakah Bapak tetap menghendaki saya tinggal di sini? Saya menunggu tanggapan Bapak.




PAK BAMBUNG:

Sampai saya memutuskan lain, kamu harus tetap di sini. Soal kehamilanmu akan menjadi urusan dokter.



(Belantik: 113)



Tuturan yang mengandung kekeliruan inferensi percakapan pada penggalan teks (26) terdapat pada tuturan Bambung yang memutuskan agar Lasi tetap tinggal di Jakarta sebelum ada keputusan lain. Selain itu, Bambung juga melakukan penindasan terhadap Lasi agar mengugurkan kandungannya.
1.4 Pemaksaan
Konflik eksternal yang berupa pemaksaan terekspresi dalam percakapan yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu mengharuskan pihak lain untuk melakukan suatu tindakan walaupun pihak lain tidak mau melakukannya.















(27)


LASI:

Sebentar, Bu. Kalau saya tak mau bagaimana? Atau, bagaimana bila kalung itu saya kembalikan?




BU LANTING:

E, jangan berani main-main dengan Pak Bambung. Dengar, Las. Dua-duanya tak mungkin kamu lakukan. Pak Bambung sangat keras. Kalau dia punya mau harus terlaksana. Dan kalau kamu mengembalikan kalung itu, dia akan menganggap kamu menghinanya. Maka kubilang jangan main-main sama dia. Kamu sudah tahu, suamimu pun tak berdaya.



(Belantik: 61-62)



Tuturan Bu Lanting pada penggalan teks (27) mengandung kekeliruan inferensi percakapan yang berfungsi sebagai pemicu konflik eksternal berupa pemaksaan terhadap mitra tutur, yaitu memaksa Lasi agar mau menuruti semua keinginan Bambung. (bersambung)
READ MORE - Karakteristik, Fungsi, dan Latar Belakang Penggunaan Tuturan yang Mengandung Kekeliruan Inferensi Percakapan dalam Novel Belantik (Bagian I)

Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Entah, tiba-tiba saja ingatan saya jatuh ke masa silam. Ingin mengenang tanah kelahiran, tempat sang guru menempa para cantrik menjadi insan peradaban yang diharapkan dapat mengenal dinamika zaman beserta pernak-perniknya.

Ya, ya, ya! Saya masih ingat, sekitar tahun ’70-an, tanah kelahiran saya bukanlah tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk hidup. Secara geografis, lokasinya hanya bisa dijangkau kendaraan ketika musim kemarau tiba. Saat musim hujan jatuh, tanah kelahiran saya tak lebih seperti sebuah perdikan yang dikelilingi tanah berlumpur. Nyaris tak ada jalan alternatif yang memungkinkan kaum pendatang untuk bisa sampai dalam keadaan bersih. Sebaliknya, jika kemarau tiba, sejauh mata memandang hanya tampak kegersangan di sana-sini. Kerusakan hutan akibat pembakaran hutan makin menyempurnakan derita di musim kemarau. Air jadi sulit didapat.

dsdsdsdsDalam kondisi seperti itu, saya masih beruntung bisa ikut mengenyam pendidikan di SD bersama teman-teman sebaya. Dari situlah saya mulai menyimpan banyak kenangan terhadap figur guru-guru saya. Merekalah yang telah memperkenalkan saya terhadap angka dan aksara, hingga akhirnya saya bisa mengenal calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Sungguh, tak bisa saya bayangkan kalau tanah kelahiran saya yang gersang dan tandus seperti itu tak ada guru; tak ada gedung sekolah. Meski nyaris ambruk, gedung SD yang atapnya bocor di sana-sini dengan dinding-dindingnya yang mulai keropos itu, telah menjadi tempat yang “nyaman” untuk belajar.

Saya juga beruntung sempat belajar kepada para guru yang total mengabdikan diri dalam dunia pawiyatan dengan penghasilan pas-pasan saat itu. Dari sinilah saya mendapatkan pendidikan formal untuk yang pertama kalinya. Masih jelas terbentang dalam layar memori saya, betapa sang guru harus berjalan kaki sekitar 15-an km untuk bisa tiba di sekolah. Jika musim hujan, mereka harus menenteng sandal jepit sambil mengepit tas butut. Namun, mereka tak pernah mengeluh. Bahkan, mereka masih bisa dengan fasih mengajak saya dan teman-teman sekelas untuk menyanyi lagu wajib bersama-sama, meski batin mereka sedih memikirkan asap dapur yang belum tentu bisa mengepul setiap saat.

Di mata saya, seorang guru SD adalah seorang “ilmuwan” general. Mereka mampu menyajikan semua mata pelajaran dengan fasih. Jelas, bukan tugas yang ringan, apalagi yang mereka hadapi adalah anak-anak antara usia 6-13 tahun. Usia yang masih terlalu dini untuk mengenal hidup dan kehidupan.

Saya sangat menghormati dan mengapresiasi sang guru di tanah kelahiran saya yang telah membukakan mata anak-anak untuk mencintai ilmu pengetahuan. Merekalah status pengabdi yang sesungguhnya; menganggap siswa didiknya sebagai anak-anak ideologisnya. Terlalu murah kalau status mereka mesti diganti dengan predikat profesional yang seringkali mengukur kerja dan keringatnya dengan uang, penghasilan, dan kesejahteraan.

Agaknya, kini telah terjadi pergeseran status guru; dari shi fu menjadi tenaga profesional. Di ladang dunia pendidikan saat ini, setiap tetesan keringat sang guru harus ada imbalannya. Sungguh kontras dengan kinerja sang guru di tanah kelahiran saya. Merekalah yang layak disebut pahlawan dalam arti yang sesungguhnya.

Terima kasih sang guru; semoga sang ibu pertiwi senantiasa memancarkan cahaya kasih sayang dan belaian lembutnya atas pengabdianmu yang tulus; tanpa pamrih!. ***
READ MORE - Mengenang Romantisme Tanah Kelahiran

Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

otakAllah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya, telah memberikan anugerah akal-budi yang tak ternilai harganya kepada umat manusia. Melalui akal-budi, manusia dapat menyimpan peristiwa masa silam ke dalam kantong memorinya, memikirkan peristiwa pada masa kini, sekaligus mampu membayangkan peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang. Yang luar biasa adalah kemampuan manusia untuk me-retrieve alias memanggil ulang peristiwa-peristiwa masa silam ke dalam layar kehidupan masa kini.

Bisa jadi, itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam hal berbahasa, misalnya, manusia adalah makhluk yang paling dinamis. Melalui akal budinya, manusia mampu mempelajari berbagai bahasa di dunia, apalagi jika bersentuhan langsung dengan kultur masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Lain dengan binatang. Ayam dan kucing, misalnya, tak akan pernah sanggup belajar berbahasa. Meski dikerangkeng dalam sebuah kurungan seumur hidup, ayam tak akan pernah sanggup mengeong seperti kucing. Kucing pun tak akan sanggup berkokok seperti ayam. Konon, binatang hanya sanggup mempertahankan hidup berdasarkan nalurinya secara statis dan stagnan.

Pernah dengar stigma bangsa yang “rabun” membaca? Yaps, stigma ini muncul akibat lumpuhnya bangsa kita dalam soal budaya membaca. Ada yang mengatakan bahwa bangsa kita mengalami lompatan budaya membaca yang tidak wajar; dari budaya praliterasi langsung melompat ke budaya posliterasi. Sedangkan, budaya literasinya (nyaris) tak lagi tersentuh. Budaya praliterasi muncul ketika bangsa kita belum sanggup baca-tulis. Mereka hanya mampu menggunakan media bahasa lisan dalam berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Dengan berkembangnya peradaban manusia, bangsa kita masuk pada budaya literasi yang ditandai dengan sentuhan-seuntuhan nilai pendidikan yang mampu membuka kesadaran baru tentang pentingnya keaksaraan dalam mengabadikan pemikiran-pemikiran kreatif.

Belum matang benar budaya literasi mengilusumsum dan bernaung turba dalam kehidupan masyarakat, muncul peradaban baru yang memiliki daya pukau dahsyat yang ditandai dengan temuan-temuan baru di bidang teknologi dan informasi. Anak buah teknologi, semacam TV-kabel, multimedia, atau sarana telekomunikasi bergerak lainnya mulai merambah ke tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Masyarakat pun mulai berubah pola dan gaya hidupnya. Mereka mulai dimanjakan dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan bermacam-macam piranti teknologi canggih sehingga melupakan budaya literasi yang seharusnya mereka lalui. Masyarakat demikian terpukau oleh kehadiran sarana dan fasilitas teknologi itu sehingga jadi malas dan lupa membaca. Ketika antena dan parabola menjamur di atap-atap rumah, masyarakat pun rela menghabiskan waktunya di depan “kotak ajaib” itu. Tumpukan buku dibiarkan melapuk dan tak tersentuh.

Sejatinya, membaca sangat erat kaitannya dengan aktivitas akal-budi. Membaca merupakan aksi intelektual yang mencerahkan dan mencerdaskan yang akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif sehingga menimbulkan rangsangan manusiawi untuk bertindak penuh kearifan dan kebajikan. Dalam diskursus yang lebih luas, membaca bisa dimaknai sebagai kemampuan menafsirkan “ayat-ayat” Tuhan yang tergelar di ruang semesta. Membaca sanggup “membunuh” benih-benih keangkuhan dan berbagai macam naluri purba yang serba naif dan menjijikkan. Orang yang memiliki kemampuan membaca, dengan sendirinya, tidak mudah terangsang untuk melakukan tindakan-tindakan korup dan biadab, karena tahu akan risiko dan imbasnya terhadap keseimbangan semesta.

Nah, bisa jadi, orang yang tega berbuat korup dan biadab, lantaran tak pernah melakukan aktivitas akal-budi, tak pernah membaca “ayat-ayat” Tuhan. Jika benar demikian, mereka hanya menggunakan naluri sekadar untuk memuaskan kebuasan hati, bukan menggunakan nurani untuk menjaga keseimbangan semesta. Lantas, apa bedanya dengan kucing dan ayam yang selalu statis dan stagnan sehingga tak pernah punya kesanggupan untuk membaca tanda-tanda zaman? Atau, bisa jadi, lantaran kesalahan kolektif bangsa kita yang mengalami lompatan tak wajar dalam budaya membaca? ***
READ MORE - Gegar Budaya dan Lompatan Budaya Literasi

"Pemberontakan" Para Pengarang

Pertanyaan yang tersirat dalam judul tulisan ini seringkali mengusik kegelisahan penulis atau calon penulis yang tengah memburu jatidiri. Dalam sebuah obrolan, banyak teman yang –entah sebagai pernyataan sikap minder atau rendah hati– bilang bahwa mereka tak punya bakat menulis. *Halah* Seperti biasanya, saya selalu “alergi” setiap kali mendengar pernyataan semacam itu. Banyak orang yang demikian “mendewakan” bakat dalam dunia kepenulisan. Padahal, sebenarnya nonsense saja. Siapakah sebenarnya yang tahu bakat seseorang? Bukankah bakat itu baru bisa dikenali setelah seseorang mampu melahirkan karya-karya hebat?

“Triyanto Triwikromo, Gus Tf. Sakai, atau Ayu Utami memang berbakat besar sebagai seorang sastrawan!” kata seorang teman suatu ketika. Yup, mereka, yang diberi label sastrawan itu diketahui berbakat setelah dari tangannya meluncur tes-teks sastra masterpiece. Hampir tak ada orang yang bisa menyebutnya seseorang itu memiliki bakat tertentu sebelum mampu membuktikan talentanya.

Saya kurang mempercayai betul adanya bakat. Keyakinan yang terlalu “mendewakan” bakat justru akan menjadi penghambat serius ketika kita sudah berniat mengibarkan bendera imajinasi kita dalam dunia kepenulisan. Tuhan menganugerahi kita dengan potensi-potensi “laten”. Semuanya butuh digali, digarap, dipupuk, dan dikembangkan hingga menjadi sebuah lahan yang subur. Baru menulis beberapa cerpen, tetapi tak satu pun yang bisa terselesaikan, lantas mengklaim dan mengutuk diri sendiri, “Kayaknya aku memang ndak berbakat nih. Bikin cerpen ndak pernah selesai!” Aduh, kenapa bisa berpandangan naif semacam itu, yak? Hehehehehe :lol:

Budi Darma pernah bilang jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan, cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya pengarang kita belum berbobot. Kutiplah keterangan dari pengarang dunia kaleber kakap. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Tentu Anda akan menjadi terkenal mendadak.

Paling tidak, ada dua kandungan tafsir yang tersirat di balik pernyataan pengarang novel Olenka itu. Pertama, sebagai “pasemon” terhadap kelatahan pengarang yang suka bikin sensasi lewat eksperimentasi penciptaan yang mentah dan konyol, tanpa dibarengi akuntabilitas moral dan etik. Artinya, “pemberontakan” hanya dilakukan untuk memburu ketenaran nama an-sich, tidak berbasiskan kultur penciptaan yang dengan sangat sadar dilakukan untuk melahirkan teks-teks kreatif yang bernilai.

Kedua, “pemberontakan” bisa dimaknai sebagai upaya pengarang (baca: sastrawan) dalam melakukan perburuan kreativitas penciptaan yang lebih berbobot, sehingga mampu mengembuskan napas dan arus kesadaran baru lewat teks-teks sastra masterpiece sekaligus menyejarah. Atau lewat” pemberontakan” yang dilakukannya, sang sastrawan sanggup menancapkan tonggak sejarah baru di tengah-tengah dinamika kesusastraan.

Hampir setiap angkatan sejarah mencatat kemunculan para “pemberontak” yang berupaya melakukan pembebasan “mitos” penciptaan teks-teks sastra. “Pemberontakan” yang mereka lakukan bukanlah sikap latah yang berambisi melambungkan namanya di tengah jagat kesusastraan, tetapi lebih berupaya mencari dan menemukan bentuk pengucapan yang sesuai dengan tuntutan hati nurani dan kepekaan estetikanya.

Marah Rusli lewat Siti Nurbaya pada masa Balai Pustaka, Armyn Pane lewat Belenggu pada masa Pujangga Baru, Chairil Anwar lewat sajak “Aku” pada Angkatan ‘45, Sutarji Calzoum Bachri (penyair) lewat antologi O, Amuk, Kapak, atau Danarto lewat antologi Godlob pada era 1970-an adalah beberapa nama yang bisa dibilang sukses melakukan “pemberontakan” kreatif, sehingga bobot kesastraan mereka amat diperhitungkan dalam diskursus sastra kita. Tentu masih banyak pengarang lain yang dengan sangat sadar meniupkan roh dan semangat “pemberontakan” dalam karya-karya mereka.

camus.jpgDalam sastra dunia, konon Albert Camus yang pernah mendapatkan hadiah Nobel Sastra tahun 1957, sebenarnya juga seorang “pemberontak”. Lewat bukunya L’Home Revolte (Manusia Pemberontak), ia mengatakan, manusia perlu memprotes nasibnya. Bahkan, jika perlu ia harus memprotes seluruh makhluk dan kehidupan yang ada di dunia ini sesuai dengan kondisi yang ada (Atmosuwito, 1989). Ini artinya, “pemberontakan” kreatif yang dengan sangat sadar dilakukan oleh seorang sastrawan, baik dalam aspek muatan maupun aspek penyajian, akan mampu menciptakan dan melahirkan teks sastra baru yang inovatif dan “monumental”.

Harus diakui, kesusastraan mutakhir kita baru memiliki beberapa gelintir sastrawan yang dengan sangat sadar melakukan “pemberontakan” kreatif lewat teks-teks sastra yang diluncurkannya, bahkan bisa dibilang miskin “pemberontakan”. Sebut saja Ahmad Tohari, seorang ulama yang sukses mengeksplorasi dunia ronggeng daerah Banyumas lengkap dengan warna lokalnya yang khas –blaka suta dan cablaka–dalam triloginya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Karyanya bisa “melegenda” lantaran keberaniannya melakukan “pcmberontakan” dengan mengungkap pernik-pernik kehidupan dan kultur sosiologis masyarakat grass-root yang ditabukan bagi kalangan santri.

Darmanto Jatman juga bisa dibilang sastrawan “pemberontak”. Lewat teks-teks puisinya, ia melakukan eksplorasi bahasa yang dipadukan dengan penggalian tema-tema manusia marginal, masyarakat paria, yang tak berdaya menghadapi bayang-bayang “adikuasa”. Demikian juga sastrawan muda Triyanto Triwikromo lewat teks-teks cerpen terornya, baik yang terkumpul dalam Rezim Seks maupun Pintu Tertutup Salju (kumpulan cerpen bersama Herlino Soleman) yang berupaya melakukan eksplorasi tema-tema peradaban yang sakit dengan corak penyajian yang dinilai “nyempal” dari tradisi penciptaan cerpen yang pernah muncul.

Keminiman potensi sastrawan “pemberontak”, disadari atau tidak, telah membikin sastra mutakhir kita menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Hingga kini belum muncul Ahmad Tohari atau Darmanto Jatman baru yang sanggup meluncurkan teks-teks sastra kreatif yang “menghebohkan” publik dan pencinta sastra. Dalam konteks ini, Ayu Utami lewat novel Saman-nya –yang lahir dari sebuah ajang festival– bisa dikatakan sebuah fenomena. Nama yang selama ini (nyaris) tidak menampakkan gairah penciptaan teks-teks sastra lewat media cetak, tiba-tiba saja sanggup meluncurkan sebuah karya yang dipuji banyak pengamat.

Mengapa dinamika sastra mutakhir kita menjadi demikian stagnan? Selain kemiskinan “pemberontakan” kreatif yang dilakukan oleh para pengarang, menurut hemat saya, ada beberapa asumsi yang bisa dikemukakan. Pertama, negeri ini mungkin bukan ladang yang subur bagi pertumbuhan sastra. Gairah penciptaan dan kreativitas para pengarang memang terus mengalir di berbagai media cetak. Namun, hal ini belum bisa jadi bukti eksisnya kehidupan sastra di negeri ini. Apalagi, tradisi kritik, apresiasi publik, dan penghargaan finansial terhadap dunia kesusastraan masih berada pada aras yang amat rendah. Imbasnya, tidak sedikit sastrawan yang hengkang dari kampung halaman dan mengadu nasib ke kota lain. Jarang –lebih tepat dibilang langka– sastrawan yang benar-benar bisa hidup dari dunia yang digelutinya. Pameran dan peluncuran buku atau pentas dan diskusi sastra pun sepi peminat.

Kedua, kelangkaan penerbit yang memiliki idealisme untuk menggairahkan dan menghidupkan buku-buku sastra. Eksistensi seorang pengarang akan terasa makin “sempurna” bila tangannya telah mampu melahirkan sebuah buku. Namun, mewujudkan impian itu tidak mudah, apalagi penerbit mustahil mau menanggung risiko rugi jika kelak buku sastra yang diterbitkannya tak terjamah konsumen. Kondisi penerbitan yang terlalu berorientasi pada keuntungan itu jelas sangat tidak kondusif bagi idealisme pengarang.

Dan ketiga, mandulnya peran Dewan Kesenian (cq Komite Sastra) dalam memberdayakan kantong-kantong sastra di daerah. Keberadaan Dewan Kesenian tak lebih dari sebuah perpanjangan tangan birokrasi yang mengurus persoalan-persoalan administratif dan pendanaan ketimbang substansi dan esensi kesastraan. Akibatnya, potensi local genius kesusastraan tak bisa berkembang. Aktivitas sastra yang bisa dijadikan sebagai ajang untuk menggairahkan dunia penciptaan teks-teks sastra dan apresiasi publik tak pemah tersentuh. Dialog dan curah pikir kesastraan yang mestinya dilakukan secara serius dan intensif pun jarang dilakukan.

Jika kondisi di atas terus berlanjut, bukan mustahil nasib kesusastraan mutakhir kita makin merana dan tak terurus. Dalam konteks demikian, dibutuhkan kesadaran kolektif semua pihak yang masih memiliki kepedulian untuk menghidupkan dunia sastra kita.

Sebagai kreator, sastrawan dituntut memiliki nyali “pemberontakan” kreatif dalam melakukan perburuan, inovasi, eksplorasi aspek muatan hidup dan aspek penyajian sehingga mampu menancapkan tonggak yang “melegenda” dalam khazanah sastra. Jika proses ini berhasil, penerbit yang memiliki idealisme terhadap persoalan-persoalan budaya dan kemanusiaan pasti akan memburunya. Dimensi hidup dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat perlu terus digali dan diangkat ke dalam teks-teks sastra, sehingga mampu memancarkan aura kemanusiaan bagi penikmatnya. Fenomena dan perubahan semesta kehidupan memang akan terus tcrjadi. Dengan kepekaan intuitifnya, sastrawan diharapkan mampu menafsirkan dan menerjemahkan berbagai persoalan mikro dan detil kehidupan menjadi lebih bermakna.

Para calon pengarang hendaknya juga jangan terlalu mempercayai adanya bakat. “Pemberontakan” dengan menampilkan teks-teks baru yang lebih liar dan mencengangkan justru akan lebih bernilai dan bermakna ketimbang berdebat soal ada atau tidaknya bakat kepengarangan. Proses kreatif-lah yang akan lebih menentukan keberhasilan seorang pengarang atau calon pengarang.

Masih banyak persoalan sastra yang belum tergarap secara serius, termasuk upaya meningkatkan apresiasi publik terhadap sastra. Dunia pendidikan sebagai wadah pemberdayaan generasi perlu dijadikan ajang apresiasi dan “pembumian” kesusastraan. Bahkan jika perlu, mesti ada program “sastrawan masuk sekolah” –baik secara rutin maupun insidental– untuk membantu guru-guru sastra yang selama ini dianggap gagal menanamkan apresiasi sastra kepada peserta didiknya. Nah! ***
READ MORE - "Pemberontakan" Para Pengarang